BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gastritis Secara sederhana definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung secara histopatologi. Sedangkan definisi lain dari gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung sebagai respon terhadap jejas (injury) yang dapat bersifat akut maupun kronik.1,15 Mukosa lambung terdiri dari sel-sel yang memproduksi asam dan enzim. Asam dan enzim ini akan berperan dalam pencernaan makanan, sedangkan mukus berperan dalam melindungi mukosa lambung dari asam. Ketika mukosa mengalami inflamasi, maka produksi asam, enzim dan mukus akan terganggu. Gastritis merupakan gangguan kemerahan pada mukosa yang nampak pada saat pemeriksaan endoskopi dan tidak bisa mengantikan istilah dispepsia. Sampai saat ini masih belum jelas hubungan antara gambaran mikroskopi (histopatologi) dengan keluhan pada lambung. Hubungan antara gambaran mikroskopi dengan endoskopi juga tidak konsisten. Pada kebanyakan pasien dengan gambaran gastritis pada pemeriksaan PA sering tidak meunjukkan kelainan saat endoskopi . 16 2.2 Epidemiologi Gastritis Gastritis merupakan masalah kesehatan yang umum ditemui dalam pelayanan klinis. Sekitar 10% kunjungan pada unit gawat darurat merupakan kasus gastritis. Berdasarkan penelitian WHO (Word Health Organization) dilaporkan prevalensi gastritis dibeberapa negara sebagai berikut : Inggris 22%,China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan Perancis 29,5%. Sekitar 1,8-2,1 juta penduduk mengalami gastritis setiap tahunnya.17,18 Angka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO adalah 40,8% dan merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit. 17 22 Universitas Sumatera Utara 2.3 Etiologi Gastritis Terdapat beberapa penyebab gastritis diantaranya infeksi kuman Heliobacter pylori (H.pylori) ; gangguan fungsi sistem imun ; infeksi virus seperti : enteric rotavirus, calicivirus dan cytomegalovirus ; infeksi jamur seperti : candida species, histoplasma capsulatum dan mukonacea serta obat anti inflamasi nonsteroid, konsumsi alkohol, usia, stress oleh karena trauma, tindakan operatif, luka bakar, dll.15 Infeksi kuman H.pylori merupakan penyebab gastritis yang sangat penting. Prevalensi infeksi H.pylori pada orang dewasa di negara berkembang ± 90%. Di Indonesia, prevalensi kuman H.pylori yang dinilai melalui pemeriksaan urea breath test pada pasien dispepsia menunjukkan jumlah yang menurun .15 Gastritis dapat muncul secara tiba-tiba (gastritis akut) ataupun membutuhkan waktu yang lama (gastritis kronik). Gastritis akut adalah proses inflamasi akut pada mukosa lambung biasanya berupa kondisi erosi dan hemorgik. Penyebab yang paling sering diantaranya Non Steroid Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs), kortikosteroid, paparan zat kimia berupa alkohol, kondisi stress seperti luka bakar berat, myocard infarction, lesi intrakaranial dan periode postoperatif, kemoterapi dan iskemia. Secara endoskopi berupa hiperemis mukosa dengan erosi multipel, kecil dan superfisial serta dapat juga ditemukan ulkus. Secara mikroskopi dapat ditemukan epitel superfisial injury dan nekrosis pada kelenjar superfisial. Perdarahan pada lamina propria dapat ditemukan. Sel-sel inflamasi dijumpai dalam jumlah kecil, meskipun neutropil lebih dominan. Pada kasus ringan, pasien biasanya asimptomatik atau hanya memiliki gejala dispepsia ringan. Pada kasus sedang sampai berat, biasanya pasien dengan nyeri ulu hati, mual, muntah, hematemesis dan melena. Pada kasus berat, pasien biasanya telah mengalami ulkus yang dalam dan komplikasi berupa perforasi. 19 Sedangkan gastritis kronik didefinisikan secara histologi berupa peningkatan jumlah sel limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung. Berdasarkan etiologi, gastritis kronik dikelompokkan menjadi tipe A yaitu berasal dari autoimun, tipe B yaitu berasal dari infeksi H.pylori dan berapa kasus lain dengan etiologi yang belum jelas. Secara endoskopi, mukosa menunjukkan gambaran atropi. Sedangkan secara histologi ditemukan infiltrasi sel limfosit-plasma pada daerah mukosa sel-sel parietal. Neutrofil jarang ditemukan. Mukosa dapat menunjukkan perubahan ke arah metaplasia intestinal. Pada stadium akhir, mukosa atropi dan sel-sel parietal tidak ditemukan, namun H. Pylori dapat ditemukan. Gejala gastritis kronik dapat asimtomatik. Beberapa gejala yang dapat 23 Universitas Sumatera Utara ditemukan berupa : nyeri epigastrium ringan, mual dan tidak nafsu makan. Pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan oleh karena gastritis kronik berisiko terhadap terjadinya ca gaster. Pasien gastritis tipe A, memiliki kelainan autoimun pada organ lain khususnya penyakit tiroid. 19 Etiologi gastritis oleh Rugge (2011) atas dasar agen yang ditransmisikan yaitu : kimiawi, fisik, faktor imun, dan idiopatik. Rugge juga membagi etiologi gastritis berdasarkan 3 bentuk utama antara lain gastritis H.pylori, gastritis kimiawi, dan gastritis autoimun. Lalu Toljamo (2012) mengelompokkan etiologi gastritis menjadi 3 kelompok yaitu agen kimiawi, penyakit, dan faktor fisik/mekanik. Adapun Adibi (2014) menuliskan etiologi gastritis menjadi 2 bagian besar yaitu gastritis H. pylori dan gastritis non H. pylori.20,21 2.3.1 Etiologi Gastritis Berdasarkan Agen yang Ditransmisikan, Kimiawi, Fisik, Imun, dan Idiopatik Berikut ditampilkan tabel etiologi gastritis yang ditulis oleh Rugge (2011). 20 Tabel 2.1. .Etiologi Gastritis Berdasarkan Agen yang Ditransmisikan, Kimiawi, Fisik, Imun, dan Idiopatik 20 Etiologi Agen Agen yang Virus ditransmisi Kan Bakteri Fungi Parasit Etiologi Spesifik Klinis Keterangan Cytomegalovirus Virus herpes Helicobacter pylori Akut Akut Akut/kronik M. tuberculosis M. avian complex M. diphteriae Actinomyces Spirochetes Candida Histoplasma Phycomycosis Cryptosporidium Akut? Akut? Akut Akut Akut Akut Akut Akut Akut Strongyloides Anisakiasis Ascaris lumbricoides Akut Akut Akut Non atrofik** Non atrofik** Non atrofik& atrofik,tipe B*** Non atrofik* Non atrofik* Non atrofik* Non atrofik* Non atrofik* Non atrofik** Non atrofik* Non atrofik* Non atrofik* Non atrofik* Non atrofik* Non atrofik* 24 Universitas Sumatera Utara Agen kimiawi (paling sering menyebabka n gastropati) Lingkung an (diet dan obat) Agen Fisik Radiasi Immunomediated Idiopatik Faktor diet Kronik Obat:NSAID, ticlopidine Alkohol Kokain Empedu (refluks) Akut Akut Akut Akut/kronik Non atrofik & atrofik *** Non atrofik,tipe C*** Non atrofik,tipe C** Non atrofik,tipe C* Non atrofik,tipe C*** Akut/kronik Non atrofik atrofik* Autoimun Kronik Obat : Ticlopidine Gluten Sensitivitas makanan H.pylori (komponen autoimun) GVHD Idiopatik Akut Kronik Akut/kronik Kronik Atrofik korpus, tipeA** Gastritis limfositik** Gastritis eosinofilik** Non atrofik & atrofik Non atrofik & atrofik* Crohn’s disease Kronik? Sarkoidosis Kronik? Wegener’s granulomatosis Collagenous gastritis Kronik? Akut/kronik Akut/kronik Akut & Non atrofik/atrofik fokal** Non atrofik/atrofik fokal* Non atrofik/atrofik fokal* Non atrofik* Keterangan: prevalensi : *** tinggi, ** rendah, * sangat rendah 2.3.2 Etiologi Utama Adibi P menulis ada 2 etiologi utama dari gastritis yaitu gastritis H.pylori dan gastritis non H.pylori (Adibi, 2014). Berbagai macam penyebab terjadinya gastritis non H.pylori antara lain:21 1. Gastritis kimiawi i. Gastritis alkoholik ii. Gastritis yang diinduksi obat Obat yang berhubungan dengan gastritis antara lain acarbose, alkohol, antibiotik (eritromisin oral), bifosfonat, herbal (garlic, ginkgo, saw palmetto, feverfew, chaste tree berry, white willow), zat besi, 25 Universitas Sumatera Utara metformin, miglitol, NSAID (termasuk COX-2), opiat, orlistat, potasium klorida (KCl), teofilin (Loyd et al., 2011). iii. Gastritis refluks (empedu atau duodenal juice) iv. Gastritis kimiawi lainnya 2. Gastritis radiasi 3. Gastritis alergi 4. Gastritis autoimun 5. Bentuk khusus gastritis, gastritis NOS/ unspecified 6. Duodenitis 2.4 Klasifikasi Gastritis Sampai saat ini belum ada klasifikasi gastritis yang dapat diterima secara luas. Salah satu klasifikasi yang digunakan oleh banyak ahli adalah the Sydney System yang diperbaharui. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut (Dixon et al,1996):22 Tabel 2. Klasifikasi gastritis kronik berdasakan topograpi, morfologi & etiologi 22 Type of gastritis Nonatrophic Etiologic factors Helicobacter pylori?other factor Gastritis Synonyms Superficial Diffuse antral gastritis(DAG) Chronic antral gastritis(CAG) Intertitial-folicular Hypersecretory Type B+ Atropic Autoimune Autoimunity Type A+ Diffuse Corporal Pernicious anemiaassociated Helicobacter pylori Dietary ?Enviromental factors TypeB+,Type AB+ Enviromental Metaplastic Chemical irritation Bile NSAIDs Reactive Reflux NSAID Type C+ Multifocal atropic Special forms Chemical Radiation Lymphocytic Radiation Injury Idiopathic?Immune mechanism Varialforms(endosc 26 Universitas Sumatera Utara Gluten Drug(ticlopidine) ? H.Pylori Noninfectious Granulomatous Eosinophilic Other infectious gastritides opic) Celiac diseaseassociated Crohn,s disease Sarcoidosis Wegener,s granulomatous and other vasculitides Foreign substances Idiopatic Food sensitivity?other allergies Isolated granulamatous Bacteria (other than H.pylori) Alergic Viruses Phiegmoncus Fungi Parasites Gastritis dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu berdasarkan atas ada tidaknya atropi dan distribusi topografi dari atropi. Atropi yaitu tidak ditemukannya kelenjar pada mukosa atau terdapatnya fibrosis atau proliferasi fibromuskular atau hilangnya mukosa normal dan digantikan dengan intestinal metaplasia. Kelompok besar ini seperti terlihat pada gambar berikut (Dixon et al, 1994):22 Gambar 2.1. Skema representasi dari distribusi inflamasi dan atropi pada berbagai tipe gastritis kronik atropi dan nonatropi. Pada gastritis H.pylori nonatropi, inflamasi biasanya dominan pada daerah antral atau memiliki satu bentuk yang terdistribusi pada antrum dan corpus (kiri atas), tidak ditemukan atrofi signifikan (kiri bawah). Pada gastritis H.pylori atropi, inflamasi biasanya pada daerah antrum dan corpus (tengah atas). Atropi dan metaplasia intestinalbeawal dari insisura angularis dan pada zona transisional serta meluas ke arah proximal dan distal untuk membentuk jalur mukosa metaplasia atropi (tengah bawah). Pada gastritis autoimun, diantara inflamasi (kanan atas) dan atropi (kanan bawah) biasaya merestiriksi corpus. 22 27 Universitas Sumatera Utara Beberapa klasifikasi lain dari gastritis yaitu : klasifikasi berdasarkan infiltrat inflamasi yang membagi menjadi akut dan kronik; klasifikasi secara makroskopis yang membagi menjadi gastritis erosiva dan non erosiva; klasifikasi berdasarkan endoskopi yang membagi menjadi gastritis komplit, inkomplit, dan erosif hemoragik; serta klasifikasi menurut ICD-10.22 2.4.1 Klasifikasi secara Histopatologis Penelitian pemetaan dari sejumlah spesimen biopsi dengan H.pylori positif ditemukan dari pemeriksaan empat spesimen (dua daerah antrum dan dua daerah corpus). Kedua lokasi ini memiliki probabilitas H.pylori yang tinggi. Biopsi daerah corpus berfungsi untuk menilai respon terapi setelah pengobatan khususnya proton pump inhibitor. Biopsi pada corpus penting untuk menilai pattern gastritis yang berimplikasi penting dalam menilai risiko yang berhubungan dengan penyakit. Biopsi di incisura angularis penting untuk menilai atropi dan intestinal metaplasia serta merupakan daerah yang juga sering mengalami premalignan displasia. Ketiga regio ini merupakan regio yng dianjurkan untuk histologi. Berikut ini merupakan gambar sisi pengambilan spesimen biopsi (Dixon et al., 1996):22 Gambar 22. Skema daerah yang direkomendasikan untuk biopsi. Satu spesimen harus berasal dari daerah curvatura minor (A1) dan curvatura mayor (A2) daerah antrum yauitu kedua duanya berjarak 2-3 cm dari pylorus ; dari curvatura minor corpus sekitar 4 cm proximal dari angulus (B1); bagian tengah corpus dari curvatura mayor, sekitar 8 cm dari cardia (B2); dan dari insisura angularis (IA). 22 Sistem diagnosis gastritis yang dikembangkan sekarang adalah gabungan antara temuan endoskopi dan histologis yang dikenal dengan nama Sydney System. Klasifikasi Sydney dari gastritis per endoskopi bertujuan untuk menstandarisasi laporan klasifikasi gastritis per endoskopi berdasarkan tampilan mukosa seperti edema, punctuate and confluent erythema, friability, punctuate dan confluent exudate, flat dan raised erosion, rugal hyperplasia dan atrophy, visibility of vascular pattern, punctuate dan confluent 28 Universitas Sumatera Utara intramural bleeding spots, dan coarse nodularity. Semua hasil endoskopi dilaporkan termasuk penilaian subjektif dari tingkat keparahan seperti ringan, sedang, berat, lalu diklasifikasikan ke salah satu dari 8 kategori yaitu gastritis superfisial, gastritis hemoragik, gastritis erosiva, gastritis verukosa, gastritis atrofik, gastritis metaplastik, gastritis hiperplastik, dan gastritis khusus .23 2.4.2 Klasifikasi secara Makroskopis Klasifikasi ini membagi gastritis menjadi gastritis erosiva dan gastritis non erosiva. Gastritis erosiva merupakan erosi mukosa gaster disebabkan kerusakan/ defek pertahanan mukosa. Umumnya bersifat akut, bisa dengan perdarahan, namun bisa bersifat subakut atau kronik dengan sedikit gejala atau asimtomatis. Paling sering disebabkan oleh NSAID, alkohol, stres. Penyebab lain yang jarang seperti radiasi, infeksi virus, injuri vaskular, dan trauma langsung. Erosi superfisial dan lesi mukosa punktata bisa terjadi. Erosi dalam, ulkus, bahkan perforasi terjadi pada kasus berat atau yang tidak ditangani. Lesi khas muncul di korpus, tetapi antrum juga bisa terlibat. Ciri khas dari gastritis erosiva adalah lesi mukosa tidak menembus lapisan mukosa muskularis. Sementara gastritis non-erosiva mengacu pada kelainan histologis yang terutama akibat infeksi H.pylori. Kebanyakan pasien gastritis non-erosiva asimtomatis. 24 2.4.3 Klasifikasi Gastritis Berdasarkan Endoskopi Klasifikasi ini membagi gastritis menjadi gastritis komplit dengan tipe matur dan imatur, gastritis inkomplit, serta gastritis erosif hemoragik. 25 Tabel 2.3. Klasifikasi gastritis berdasarkan endoskopi 25 Main class Subclass I Complete Ia Mature type Ib Immature Type II Incomplete IIa IIb III Haemorrhagic Erosive gastritis Characteristic features Innumerable pinpoint-sized hemorahages on the Mucosal surface The surrounding mucosal elevation irreversible due to fibrosis The bulging border is due to oedema A simple defect of the mucosal layer Without Reaction to surrondings Erosion located on flat mucosa Erosion located on the prominent folds of the prepyloric region Innumerable pinpoint-sized hemorrhages on the Mucosal surface with erythrodiapedesis and Engorged blood vessels within mocosa and submucosa 29 Universitas Sumatera Utara 2.5 Gastritis H.pylori H.pylori pertama kali ditemukan oleh Robin Warren dan Marshall pada tahun 1983. H.pylori merupakan bakteri gram negatif yang ditemukan pada permukaan epitel lambung yang menginfeksi sekitar 50% dari populasi umum. H.pylori bersifat mikroaerofilik, berbentuk batang melengkung, berukuran panjang 1-3 µm dan lebar 0,30,6 µm serta berflagella pada satu ujung polenya. Bakteri ini memiliki adaptasi yang sangat baik pada kondisi asam. H.pylori mengekskresikan urease yang berperan dalam merubah urea menjadi amonia sehingga pH gaster meningkat. H.pylori juga dapat menghindari kontak dengan gastric juice yang bersifat asam melalui crossing lapisan tebal dari mukus dengan menggunakan flagelnya. 26 Epidemiologi H.pylori sekitar 50% populasi di dunia. Di negara barat seperti USA, prevalensi H.pylori < 30% pada usia < 30 tahun dan > 75% pada usia > 60 tahun. Di Asia, prevalensi H.pylori sangat tinggi namun jika dihubungkan dengan munculnya ca gaster berbeda pada masing-masing daerahnya. 26 Infeksi kronik dari H.pylori biasanya menyebabkan atrofi serta metaplasia dan juga diplasia serta ca gaster. H.pylori dapat menyebabkan ulkus peptikum (70%) dan ulkus duodeni (90%). Transmisi infeksi H.pylori melalui mulut ke mulut atau feses ke mulut. 26 Gejala klinis pada gastritis kronik biasanya asimtomatik. Tetapi pada gastritis akut oleh karena H.pylori biasanya berupa nyeri perut, mual, muntah dan kembali pulih setelah beberapa hari. Gejala khas gastritis kronik oleh karena H.pylori biasanya nyeri epigastrium, disertai kram, mual dan muntah. 27,28 Indikasi diagnosis dan terapi dari infeksi H.pylori berdasarkan American College of Gastroenterology guideline the management of H.pylori dpat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.4 Indikasi diagnosis dan terapi H.pylori Kondisi • Active peptic ulcer disease (gastric or duodenal ulcer) • Riwayat penyakit peptic ulcer ( tidak pernah diobati untuk H.pylori) • Gastric Malt lymphoma (low grade) • Setelah reseksi gaster oleh karena kanker gaster stadium awal • Uninvestigative dyspepsia ( prevalensi H.pylori tinggi) Kontroversi • Nonulcer dyspepsia • Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) 30 Universitas Sumatera Utara • • • Pengguna Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs Anemia Defisiensi Besi Populasi yang memilik risiko tinggi Ca gaster Nonulcer dyspepsia (Functional dyspepsia) merupakan kontroversi oleh karena pemeriksaan dan terapi H.pylori bergantung secara individu meliputi : usia, riwayat penggunaan NSAID, malignansi lambung ( suku, riwayat keluarga men derita kanker lambung). Sedangkan GERD tidak direkomendasikan untuk diagnostik dan terapi H.pylori langsung oleh karena terdapat pendapat yang menyatakan terjadi perburukan atau perbaikan GERD pada terapi H.pylori. Pada pengguna NSAID, diagnostik dan terapi H.pylori didasarkan pada hasil yang diperoleh. Pada anemia defisiensi besi, penurunan jumlah besi biasanya disebabkan oleh karena H.pylori biasanya menyebabkan pangastritis sehingga terjadi kondisi achlorhydria dan sekresi asam ascorbat menurun dan berefek terhadap penurunan absorbsi zat besi. Selain itu juga biasanya disertai dengan occult bleeding oleh karena gastritis erosiva dan pnggunaan zat besi yang meningkat oleh H.pylori. Namun dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa tidak terdapat hubungan sebab akibat antara H.pylori dengan anemia defisiensi besi. Pada populasi yang memiliki risiko tinggi terhadap H.pylori masih terdapat kontroversi diagnostik dan terapi H.pylori. 29 Metode diagnostik untuk mendeteksi kuman H.pylori dibagi menjadi pemeriksaan invasif dan pemeriksaan non invasif. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mendeteksi keberadaan infeksi kuman H. pylori, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.28,29 Tabel 2.4. Pemeriksaan diagnostik untuk H. pylori 29 31 Universitas Sumatera Utara Selain tabel di atas, terdapat keuntungan dan kerugian dari penggunaan masing-masing test untuk diagnostik H.pylori. Keuntungan dan kerugian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.6 Keuntungan dan kerugian test H.pylori 29 Test endoskopi 1. Histologi Keuntungan Sensitifitas spesifisitas tinggi 2. Rapid Urease Test Murah, hasil cepat, sensitivitas dan spesitifitas tinggi 3. Kultur Spesifisitas tinggi, dapat melihat sensitivitas bakteri Mahal, sulit dilakukan, ketersediaan terbatas, sensitifitas rendah Sensitifitas & spesifisitas tinggi, sensitifitas antibiotik Ketersediaan terbatas, metode tidak standar pada lab Murah, tersedia, NPV baik PPV bergantung pada prevalensi H.pylori, tidak direkomendasikan pada post terapi Identifikasi aktif H.pylori, NPV &PPV baik, berguna pada pre& post terapi Ketersediaan terbatas Identifikasi aktif H.pylori, NPV &PPV baik, berguna pada pre& post terapi Poliklonal test lebih baik dibandingkan UBT, tidak nyaman 4. Polimerase Reaction Chain Test non endoskopi 1. Antibody testing (quantitative & qualitative) 2. Urea Breath (13C dan 14C) Test 3. Faecal antigent test dan Kerugian Mahal, memerlukan infrastruktur & personal training Sensitifitas menurun sesudah terapi H.pylori dapat dideteksi dari endoskopi melalui histologi, kultur, maupun tes urease, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Semua metode berbasis biopsi tersebut dapat mengalami kesalahan pengambilan sampel karena infeksi tersebut bersifat patchy. Sekitar 14% pasien tidak mengalami infeksi di antrum namun memiliki H.pylori di suatu tempat di lambung, terutama jika pasien tersebut mengalami atrofi gaster, metaplasia intestinal, ataupun refluks empedu. Selain itu, pasca-eradikasi dengan efektivitas parsial, infeksi dalam kadar rendah dapat terlewatkan pada biopsi melalui endoskopi. Hal ini 32 Universitas Sumatera Utara menimbulkan overestimasi efikasi eradikasi dan tingkat reinfeksi. Penghambat pompa proton mempengaruhi pola kolonisasi H.pylori di lambung dan mengurangi akurasi biopsi di antrum. Oleh karena itu, pedoman konsensus merekomendasikan untuk dilakukan biopsi multipel dari antrum dan korpus untuk histologi dan satu untuk metode lain (baik kultur maupun pemeriksaan urease). 39 2.5.1 Pemeriksaan invasif 1. Histologi. Meskipun H.pylori dapat dikenali dari bagian yang diwarnai dengan hematoksilin dan eosin saja, dibutuhkan pengecatan tambahan (seperti Giemsa, Genta, Gimenez, perak Warthin-Starry, violet Creosyl) untuk mendeteksi infeksi dalam kadar rendah dan untuk menunjukkan karakteristik morfologi H.pylori. Keuntungan pemeriksaan secara histologi selain dapat disimpan, irisan dari biopsi dapat diperiksa kapanpun; dan adanya gastritis, atrofi, ataupun metaplasia intestinal dapat pula diperiksa. Spesimen biopsi dari bagian lain lambung dapat disimpan dalam formalin untuk diproses hanya jika histologi antrum tidak dapat disimpulkan. 39 2. Kultur. Isolasi mikrobiologi adalah baku emas teoritis untuk identifikasi infeksi bakteri, namun kultur H.pylori kurang dapat dipercaya. Risiko pertumbuhan berlebih maupun kontaminasi membuatnya kurang sensitif, dan metode ini adalah metode yang paling tidak mudah dikerjakan bersama endoskopi. Meskipun hanya sedikit pusat kesehatan yang secara rutin menawarkan isolasi mikrobiologis H.pylori, prevalensi strain multiresisten membuat metode kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotik menjadi persyaratan bagi pasien dengan infeksi persisten dengan kegagalan terapi.39 3. Uji urease. Metode ini bersifat cepat dan sederhana untuk deteksi infeksi H.pylori namun hanya menunjukkan ada atau tidaknya infeksi. Pemeriksaan CLO dan pemeriksaan urease yang lebih murah ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang serupa. Namun, sensitivitas pemeriksaan urease seringkali lebih tinggi dibanding metode berbasis biopsi karena seluruh spesimen biopsi ditempatkan di dalam media sehingga dapat menghindari sampel tambahan ataupun kesalahan proses terkait histologi maupun kultur. Sensitivitas pemeriksaan urease biopsi terlihat jauh lebih rendah (sekitar 60%) pada pasien dengan perdarahan saluran cerna atas. Namun kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan menempatkan beberapa sampel biopsi di dalam satu vial untuk pemeriksaan. 39 33 Universitas Sumatera Utara 2.5.2 Pemeriksaan non-invasif 1. Serologi. Infeksi H.pylori menimbulkan respon mukosa lokal dan antibodi sistemik. Antibodi IgG terhadap H.pylori dalam sirkulasi dapat dideteksi melalui antibodi enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) atau uji aglutinasi lateks. Pemeriksaan tersebut umumnya sederhana, reprodusibel, tidak mahal, dan dapat dilakukan terhadap sampel yang disimpan. Metode ini banyak digunakan dalam studi epidemiologi, termasuk studi retrospektif untuk menentukan prevalensi maupun insiden infeksi. Individu sangat bervariasi terkait respon antibodi terhadap antigen H.pylori, dan tidak ada antigen yang sama yang dapat dikenali melalui serum dari semua subyek. Oleh karena itu akurasi pemeriksaan serologis bergantung kepada antigen yang digunakan sehingga penting untuk melakukan validasi lokal terhadap ELISA H.pylori. Pada orang tua dengan infeksi yang telah berlangsung lama, gastritis atrofi dikaitkan dengan hasil negatif palsu. Konsumsi obat antiinflamasi non-steroid juga dilaporkan mempengaruhi akurasi ELISA. Titer antibodi turun secara perlahan pasca-keberhasilan eradikasi sehingga serologi tidak dapat digunakan untuk menentukan eradikasi H.pylori ataupun untuk menentukan tingkat reinfeksi. Meskipun titer antibodi IgM terhadap H.pylori menurun seiring bertambahnya usia, tidak ada assay yang menunjukkan akuisisi baru. Karena infeksi ini biasanya asimtomatik, sulit untuk mengidentifikasi dan menegakkan jalur transmisi. Keuntungan metode serologi adalah perkembangan uji finger prick yang menggunakan assay fase solid terfiksir untuk mendeteksi adanya imunoglobulin H.pylori. Near patient test (NPT) dapat dilakukan di pusat kesehatan primer dan lebih sederhana dibanding 13 C-urea breath test yang merupakan satu-satunya NPT yang digunakan saat ini. Namun akurasi NPT serologis lebih rendah dibanding yang dilaporkan untuk pemeriksaan ELISA standar menggunakan preparat antigen yang sama. Pemeriksaan ini sering digunakan untuk menenangkan pasien, namun saat ini belum ada studi yang membandingkan akurasi, efektivitas biaya, dan nilai jaminan dari 13 C-urea breath test 39 dengan NPT serologis di pusat kesehatan primer. 2. Urea breath test (UBT). Deteksi non-invasif terhadap H. pylori melalui uji 13C-urea breath test memiliki prinsip dasar yaitu larutan yang dilabel urea dengan karbon-13 akan dihidrolisasi secara cepat di sepanjang mukosa lambung dan melalui sirkulasi sistemik, diekskresikan sebagai 13CO2 dalam udara ekspirasi. Pemeriksaan ini mendeteksi infeksi saat ini dan tidak bersifat radioaktif, dapat digunakan sebagai uji skrining untuk H.pylori, menilai 34 Universitas Sumatera Utara eradikasi, dan mendeteksi infeksi pada anak. Pemeriksaan 14C-urea breath test mirip dengan 13 C-urea breath test namun bersifat radioaktif dan tidak dapat dilakukan di pusat kesehatan primer. 39 3. Faecal antigen test. Dalam pemeriksaan antigen di feses, ELISA sandwich sederhana digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen H. pylori yang terbungkus feses. Studi melaporkan sensitivitas dan spesifisitas yang mirip dengan 13C-urea breath test (>90%), dan teknik ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai NPT. Keutungan utama dari pemeriksaan ini adalah dalam studi epidemiologi berskala besar terhadap akuisisi H. pylori pada anak.39 2.6 Patofisiologi 2.6.1 Patofisiologi Gastritis secara Umum Terjadinya gastritis secara umum karena ketidakseimbangan faktor agresif dan defensif, di mana faktor agresif lebih dominan daripada faktor defensif. Yang termasuk faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks bilier, nikotin, alkohol, NSAID, kortikosteroid, H.pylori, dan adanya radikal bebas. Yang termasuk faktor defensif antara lain mikrosirkulasi mukosa, sel epitel permukaan, prostaglandin, fosfolipid, mukus, bikarbonat, dan motilitas saluran pencernaan. 30 Gambar 2.3. Patofisiologi gastritis 31 Keterangan : (A) mukosa gaster normal akibat adanya keseimbangan antara faktor agresif dan pertahanan mukosa. (B) pembentukan ulkus gaster karena ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor pertahanan mukosa. 31 35 Universitas Sumatera Utara 2.6.2 Patofisologi Gastritis H.Pylori H.pylori memiliki efek stimulasi terhadap respon non spesifik dan spesifik. Kolonisasi H.pylori pada mukosa gaster akan merangsang sistem imun non spesifik berupa aktivasi proinflamasi dan faktor antibakterial dari sel epitel gaster. H.pylori juga menstimulasi sistem imun spesifik yaitu selluler dan humoral. Meskipun demikian sangat sulit untuk mengeliminasi H.pylori dari mukosa gaster dan biasanya infeksi H.pylori menetap (persisten). Hal ini disebabkan H.pylori memiliki kemampuan untuk mempengaruhi respon imun untuk menghindari eliminasi serta menurunkan regulasi kerusakan jaringan. Respon H.pylori terhadap sistem imun humoral yaitu menstimulasi terbentuknya antibodi yaitu IgA dan IgG. Namun efek antibodi ini masih kontroversi yaitu melindungi sedangkan dari laporan lainnya menyebakan persistensi kolonisasi dan menghambat efek perlindungan. Sel T memiliki efek dominan dalam sistem imun H.pylori. Sel Th1 memproduksi IFN-γ dan akan menyebabkan munculnya proinflamasi lain seperti : TNF-α, IL-12 dan IL-18.31 H.pylori tinggal di lapisan mukus yang melapisi epitel gaster. H.pylori mensekresikan faktor-faktor, peptida, dan lipopolisakarida yang bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan monosit. In vivo, infeksi H.pylori di mukosa gaster menginduksi produksi sitokin-sitokin IL-1β, IL-6, IL-8 dan TNF-α. IL-1 atau TNF-α saja, maupun TNF-α bersinergis dengan IFN-γ menginduksi produksi IL-8 di sel gaster. Peningkatan produksi IL-8 bisa disebabkan infeksi H.pylori maupun sekunder dari peningkatan kadar IL-1 atau TNF-α. Produksi IL-8 oleh sel epitel gaster berkepanjangan dapat menyebabkan rekruitmen neutrofil dan limfosit ke jaringan yang terinfeksi.24 Gambar 2.4. Imunopatogenesis infeksi H.pylori 24 36 Universitas Sumatera Utara H.pylori menginduksi sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1β, IL-6, TNF-α, IL8 melalui aktivasi NF-κB. Respons inflamasi yang terjadi menyebabkan Treg mensekresikan sitokin imunosupresif, yang mempertahankan kadar H.pylori dalam mukosa gaster. Peran Treg dalam memodulasi respon imun pejamu selama infeksi H.pylori telah beberapa kali dipikirkan. Treg adalah subset dari sel T yang mensupresi respon imun pejamu dan berhubungan dengan kanker. Sel T khusus tersebut mengekspresikan marker seperti CD4, CD25, dan FoxP3. Treg meningkatkan toleransi terhadap antigen diri sendiri dan pada saat bersamaan memfasilitasi pertumbuhan tumor melalui imunosupresi. Beberapa studi menyebutkan peningkatan dari TH1, TH2, Treg, mengindikasikan keseimbangan imunomodulasi pejamu untuk inflamasi. Infeksi H.pylori memiliki respon TH1 yang kuat yang dimediasi oleh sitokin TH1 termasuk IFN-γ, IL-12, TNF-α, dll. Kondisi inflamasi ini diseimbangkan dengan IL-10 dari Treg untuk menyebabkan infeksi kronik dengan imunosupresi parsial. 32 Gambar 2.5 Respons Inflamasi akibat H. pylori 32 37 Universitas Sumatera Utara 2.7 Hubungan Sitokin Inflamasi dengan Gastritis 2.7.1 Sitokin Inflamasi terhadap Gastritis non H .pylori Kadar serum sitokin seperti IL-6, TNF-α, IL-1β, dan IFN-γ pada pasien yang mengalami inflamasi lebih tinggi daripada individu normal. Penurunan kadar IL-6 dan TNF-α merupakan petunjuk terjadinya perbaikan inflamasi. IL-6 disekresikan oleh sel T dan makrofag untuk menstimulasi respons imun terutama selama ada kerusakan jaringan yang menyebabkan terjadinya inflamasi. IL-6 juga berperan dalam melawan infeksi. TNF-α merupakan sitokin yang terlibat dalam inflamasi sistemik dan termasuk kelompok sitokin yang menstimulasi reaksi akut. TNF-α menginduksi apoptosis dan inflamasi. IL-6 dan TNF-α berperan dalam lesi di lambung. 14 Injuri gaster akibat kimiawi seperti NSAID bisa menyebabkan peningkatan ekspresi mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, maupun IL-8. Penelitian Lee et al (2012) pada tikus menemukan pemberian indometasin secara signifikan meningkatkan ekspresi TNF-α, IL-1β, IL-8 pada sel epitel gaster. Hal ini mengkonfirmasi mediator inflamasi berperan dalam kerusakan sel epitel gaster akibat indometasin. Menurut Tanigawa et al (2009), pemberian PPI bisa menurunkan produksi TNF-α dan IL-1β. Jadi PPI memiliki efek anti inflamasi dengan menekan secara langsung induksi TNF-α dan IL-1β melalui inhibisi NF-κB dan aktivasi ERK pada sel-sel inflamasi. Penelitian Tanigawa et al (2009) dan Lee et al (2012) mengkonfirmasi bahwa pada erosi gaster terjadi peningkatan sitokin-sitokin inflamasi. 12,13 Gastritis kimiawi/gastropati seperti NSAID memiliki berbagai patogenesis/ mekanisme yang menyebabkan cedera seperti inhibisi prostaglandin, efek toksik langsung dari NSAID, dan stimulasi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-6, IL8, IFN-γ dan infiltrasi sel-sel inflamasi di lamina propria yang menyebabkan penurunan aliran darah mukosa, hipoksia, dan penurunan pertahanan mukosa. 15,33 Pada percobaan terhadap model tikus yang terkena gastritis akibat diinduksi oleh HCl/etanol, terjadi peningkatan kadar serum dari IL-6 dan TNF-α. Adanya penurunan sitokin proinflamasi ini setelah mendapatkan gastroprotektor. 14 Penelitian Eamlamnam et al pada lesi gaster akut yang diinduksi asam asetat terjadi peningkatan leukosit, TNF-α, dan penurunan IL-10. Sehingga saat terjadi proses penyembuhan terjadi penurunan TNF-α dan leukosit serta peningkatan kadar IL-10. Pada inflamasi gaster kronik terjadi peningkatan IL-10 yang secara simultan mengurangi 38 Universitas Sumatera Utara inflamasi jaringan gaster. Peningkatan IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi guna menekan inflamasi di gaster. 34 Naito et al dan Jainu et al melaporkan bahwa inflamasi gaster mukosa akibat aspirin akibat peningkatan produksi TNF-α dan IL-1 yang berdampak pada akumulasi neutrofil. 35,36 Iskemia pun menginduksi lesi gaster, kemungkinan akibat banyak pembentukan radikal bebas, tetapi peranan sitokin proinflamasi seperti IL-1β dan TNF-α dalam proses penyembuhan lesi ini belum dipelajari mendalam. Konturek et al melakukan percobaan pada tikus menemukan bahwa lesi gaster dimediasi oleh pembentukan radikal bebas, menyebabkan supresi mikrosirkulasi gaster dan aktivitas sekresi dari gaster. Serta terjadi peningkatan superoksida dismutase dan pelepasan IL-1β dan TNF-α bisa mengaktivasi ekspresi ICAM-1 dan infiltrasi neutrofil, yang berperan penting dalam progresivitas iskemia yang menginduksi erosi gaster akut menjadi ulkus kronis. 37 2.7.2 Sitokin Inflamasi terhadap Gastritis H.pylori H. pylori yang menginfeksi kurang lebih 50% penduduk di seluruh dunia, yang menyebabkan inflamasi lambung kronis yang akan menjadi atrofi, metaplasia, displasia dan akhirnya kanker lambung. 4 Inflamasi kronis tersebut melibatkan netrofil, limfosit (sel T dan B), sel plasma, dan makrofag, sesuai dengan tingkat degenerasi dan kerusakan selnya. Mekanisme inflamasi lainnya melalui kontak langsung dengan sel epitel lambung dan merangsang pembentukan serta pelepasan sitokin inflamasi. Adanya inflamasi karena H pylori dapat ditunjukkan dengan peningkatan IL-1β, IL-2, IL-6, IL-8 dan TNF-α . 38 Inflamasi lambung ditemukan bervariasi pada pasien yang terinfeksi dengan H pylori tergantung dari respon imun pejamu terhadap organisme. Mekanisme inflamasi terhadap infeksi H pylori melibatkan respon imun spesifik dan imun non spesifik, seperti terlihat pada gambar di bawah ini. Proses tersebut juga akan menimbulkan keluarnya mediator sitokin, pada gastritis karena H pylori, seperti pada tabel di bawah. 39 Tabel 2.7 Sitokin yang dihasilkan sebagai implikasi dari gastritis H.pylori 40 Cytokines Mediator Usual actions TNFα IL-1αβ IL-6 IL-7 IL-10 Pro-inflamatory (activation of leukocytes) Pro-inflamatory (activation of leukocytes) Pro-inflamatory, B- and T-cell activation/differentiation T- and B-cell regulation Immune down-regulation 39 Universitas Sumatera Utara IL-12 IFN-γ GM-CSF Chemokines IL-8 GRO-α RANTES MIP-1α Stimulation of Th 1 response Pro-inflamatory, especially cellular immunity Pro-inflamatory, maturation factor Nuetrophil recruitment and activation Nuetrophil recruitment and activation Mononuclear cell recruitment and activation Mononuclear cell recruitment and activation Gambar 2.6. Inflamasi yang berhubungan dengan H. Pylori. 39 TNF-α berperan untuk meningkatkan reaksi inflamasi dan diyakini berperan penting dalam kerusakan mukosa gaster akibat H.pylori. TNF-α menyebabkan kaskade inflamasi terhadap infeksi, respons inflamasi berlebihan di mukosa gaster yang berhubungan dengan inhibisi sekresi asam lambung dan kerentanan yang lebih tinggi terhadap Ca gaster.40 Infeksi H.pylori berkontribusi terhadap rekrutmen neutrofil dan limfosit yang menyebabkan kerusakan epitel melalui pelepasan sitokin, salah satunya TNF-α. Bodger et al melaporkan bahwa ada hubungan signifikan antara IL-6, IL-8, TNF-α pada pasien yang terinfeksi H.pylori. Sitokin ini berkorelasi dengan derajat inflamasi dan aktivitas 40 Universitas Sumatera Utara neutrofil, di mana makin tinggi kadar sitokin sebanding dengan peningkatan derajat inflamasi dan aktivitas neutrofil. 8 Sementara IL-10 yang merupakan sitokin anti inflamasi dapat mengurangi inflamasi dan efek sitotoksik dari sitokin-sitokin proinflamasi. Lebih lanjut IL-10 dapat menghambat perlengketan monosit ke sel endotel. IL-10 diketahui bekerja menurunkan aktivitas sel imun dan inflamasi seperti sel T dan neutrofil. Semua data ini menunjukkan IL-10 potensial menekan inflamasi dan mendukung kolonisasi H.pylori yang lebih lama pada mukosa gaster.8.26,40 2.8. Interleukin-10 2.8.1 Definisi Interleukin 10 IL-10 merupakan sitokin imunoregulator yang poten dan bersirkulasi sebagai homodimer yang terdiri dari 160 protein asam amino. IL-10 ini terletak pada kromosom manusia 1q31-32. IL-10 pertama kali dikenal sebagai cytokine synthesis inhibiting factor (CSIF) oleh karena dapat menekan sintesis sitokin pada sel T tertentu. IL-10 merupakan anggota dari keluarga sitokin IL-10 yang terdiri dari IL-19, IL-20, IL-22, IL-24, IL-26, IL-28 dan IL-9. 26 IL-10 diproduksi oleh banyak sel diantaranya sel B, sel T khususnya Tregs (T cell regulatory), monosit dan makrofak serta sel dendritik, tetapi tidak diproduksi oleh sel-sel epitel. Sebuah penelitian yang meneliti tentang defisiensi IL-10 pada tikus menyebutkan bahwa Tregs merupakan sumber penting dalam produksi IL-10. Pada awalnya hanya T helper (Th)2 yang dapat memproduksi IL-10, namun pada saat-saat ini Th 1 juga dilaporkan dapat menghasilkan IL-10. Dendritic Cell (DC) yang diaktivasi oleh H.pylori akan memproduksi sejumlah sitokin diantaranya TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12 dan IL-23. TNF-α merupakan sitokin tertinggi yang diproduksi yaitu 1000-2000 kali lipat dibanding nilai basal, sedangkan IL-6 kenaikan 1000 kali lipat, IL-10 mengalami kenaikan 200-400 kali lipat, IL-8 mengalami kenaikan 10 kali lipat dan IL-1β 150 kali lipat. 41,42 IL-10 yang disekresikan oleh Tregs merupakan senyawa yang penting dalam mencegah penyakit pada saluran gastrointestinal. Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa terdapat banyak IL-10 pada intra epitel limfosit pada usus halus dan limfosit lamina propria pada kolon setelah stimulasi sel T reseptor. Kulberg dkk, melaporkan bahwa IL-10 yang diproduksi Tr1 dapat menekan Th1 dalam menghasilkan IFN-Y. IL41 Universitas Sumatera Utara 10 juga dapat mengontrol inflamasi dan mencegah terbentuknya antigen usus dan kerusakan epitel usus pada kolitis ulseratif. IL-10 dengan kadar tinggi merupakan prognosis yang rendah dari Ca gaster. 26 2.8.2. Mekanisme kerja Interleukin 10 Mekanisme kerja utama IL-10 adalah menekan inflamasi dan regulasi sel T. IL10 dapat secara spesifik menekan produksi IFN-Y dan IL-2 melalui Th1. Th1 merupakan sumber utama dari IFN-Y, yang bersifat mengaktivasi monosit dan menginhibisi proliferasi Th2. Melalui penekanan terhadap IFN-Y, IL-10 membantu memelihara polarisasi sel T helper pada Th2. IL-10 juga dapat menghambat produksi IFN-Y melalui sel Natural Killer (NK) dan menghambat aktivasi NF-Kb. Faktor-faktor transkripsi ini mengontrol proinflamasi dan gen antiapototik yang berperan penting dalam terjadinya inflamasi akut atau kronik. Melalui blokade aktivasi NF-Kb, IL-10 menginhibisi IL-1 dalam menginduksi sintesis COX-2 dan ekspresi COX-2 pada neutrofil. IL-10 juga dapat menghambat perlekatan monosit dengan sel-sel endotel. Disisi lain, IL-10 menunjukkan imunostimulator pada sel B dan sel endotel. IL-10 dapat mempengaruhi fungsi sel mast dan secara signifikan memperluas aktivitas pertumbuhan faktor stem sel pada sel ini. Berikut ini merupakan tabel yang berisikan beberapa faktor yang diregulasi oleh NF-kB sebagai respon terhadap H. pylori . 26 Peranan yang luas dari IL-10 pada penyakit-penyakit infeksi, termasuk infeksi H.pylori, memiliki dua gambaran utama yaitu sebagai pencegah berkembangnya lesi-lesi imunopatologi yang merupakan dampak dari respon imun protektif yang mengalami eksarsebasi, sedangkan di sisi lain IL-10 berperan dalam timbulnya persistensi patogen dengan cara mempengaruhi sistem imun alamiah dan adaptif. 3 Tabel 2.8. Beberapa faktor yang diregulasi oleh NF-kB sebagai respon terhadap infeksi H.pylori . 26 H.pylory-induced Host factors regulated by NFRole kB activation IL-8 Chemotaxis for neurotrophil and lymphocytes iNOS Enzyme that generates cell damaging NO COX-2 The rate limiting enzyme in the References (Chu et all., 2003) (Lim et al., 2001) (Kim et al., 2001) 42 Universitas Sumatera Utara hBD-2 MMP-9 and -7 IAP and Mel-1 IL-12p40.TNF-α. synthesis of prostaglandins (Wada et al., 2001) Anti-bacterial peptide Matrix metalloproteinases tumour (Mori et al., 2003; invasiveness Wroblewski et al., 2003) (Chang et al., 2004; Anti-apoptotic genes Pro-inflammatory cytokines IFN-γ. IL-2.IL-6 VEGF.HIF-α Bax PAI-2 Maeda et al., 2002) (Lu et al., 2005; Takesima et al., 2009; Angiogenic growth factors Apoptotic gene Inhibit fibrinolysis (degradation Of blood clots Toyoda et al., 2009) (Yeo et al., 2006) (Cha et al., 2009) (Varro et al., 2004) Ekspresi IL-10 minimal pada jaringan yang normal dan memerlukan pencetus dari flora patogenik maupun komensal. Induksi IL-10 melibatkan ERK1/2, p38, dan sinyal NF-κB, dan aktivasi transkripsi melalui promoter dari faktor transkripsi NF-κB dan AP1. Mekanisme IL-10 dalam imunoregulasi dan efek stimulasi dapat dilihat pada gambar berikut : 42,43 Gambar 2.7. Efek imunoregulator dan stimulator dari IL-10 43 43 Universitas Sumatera Utara IL-10 dilepaskan oleh sel T sitotoksik untuk menghambat kerja sel NK selama respons imun terhadap infeksi virus. IL-10 menurunkan ekspresi sitoksin Th1, antigen MHC kelas II, dan makrofag. IL-10 dapat meningkat masa hidup sel B, proliferasi, dan produksi antibodi. IL-10 mampu menghambat sintesis sitokin proinflamasi seperti IFN-γ, IL-2, IL-3, TNF-α, GM-CSF yang diproduksi oleh makrofag dan sel T regulator. IL-10 juga dapat menekan kapasitas presentasi antigen dari APC (Antigen Presenting Cells). Di satu sisi IL-10 dapat bersifat stimulasi terhadap Th2, sel mast, dan merangsang maturasi sel B dan produksi antibodi. 42,43 IL-10 secara spesifik menekan produksi IFN-γ dan IL-2 oleh sel Th. IL-10 juga dapat menghambat produksi IFN-γ oleh sel NK dan menghambat aktivasi NF-κB. Melalui blokade aktivasi NF-κB, IL-10 menghambat IL1 yang dimediasi oleh induksi sintesis protein COX-2 dan ekspresi protein COX-2 di neutrofil. Lebih lanjut IL-10 dapat menghambat perlengketan monosit ke sel endotel. IL-10 diketahui bekerja menurunkan aktivitas sel imun dan inflamasi seperti sel T dan neutrofil. IL-10 juga diketahui menekan sekresi IL-8 dan ekspresi molekul adhesi intraseluler-1 (ICAM-1). Semua data ini menunjukkan IL-10 potensial menekan inflamasi dan mendukung kolonisasi H.pylori yang lebih lama pada mukosa gaster. Pada model tikus, IL-10 terbukti melindungi dari perkembangan gastritis berat dan kerusakan mukosa dengan menurunkan H.pylori yang diinduksi oleh respons Th1. 41,42,43 Sitokin IL-10 merupakan agen utama dalam memodulasi berbagai penyakit. IL10 merupakan supresor alamiah dari reaksi imunologi. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Abdollahi H, et al, tidak terdapat perbedaan level IL-10 pada serum ataupun antrum dan corpus gaster. Pada beberapa kondisi IL-10 ini tidak terdeteksi pada H.pylori oleh karena beberapa alasan diantaranya: rendahnya respon sel Th2 terhadap H.pylori ataupun oleh karena aktivitas yang lemah dari endotoksin LPS (Lipopolisakarida). Disebutkan juga level serum IL-10 tidak tergantung pada infeksi H.pylori, namun peningkatan IL-10 terjadi pada kasus malignansi pada gaster. 44 2.8.3 Hubungan antara IL-10 dengan gastritis H.pylori Populasi yang terinfeksi H.pylori memiliki manifestasi yang berbeda-beda diantaranya ada yang simptomatik dan juga asimptomatik. Belum terdapat penjelasan yang pasti, namun disangkakan hal ini dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : bakteri, lingkungan dan genetik. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutton et al, 2000 44 Universitas Sumatera Utara melaporkan bahwa genetik dari host mempengaruhi inflamasi H.pylori serta genetik host juga mengontrol patogen dari H.pylori yaitu dengan cara memproduksi IL-10.45 H.pylori bertahan secara persisten pada mukosa lambung oleh karena terjadi hasil interaksi lingkungan gaster dengan sistem imun. Faktor dari H.pylori berupa kemampuan kolonisasi, kemampuan adhesi yang dipengaruhi oleh BabA serta virulen H.pylori lainnya. Kolonisasi H.pylori menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi seperti neutrofil, limfosit dan faktor proinflamasi kronik seperti sitokin : IL-1β, IL-6, IL-8,IL-17 dan TNF-α. Faktor virulens dari H.pylori dan Il-1β berkontribusi terhadap terjadinya ulkus peptikum dan metaplasia intestinal.46 Beberapa studi telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara IL-10 dengan gastritis H.pylori yaitu terdapat peningktan IL-10 diantaranya penelitian oleh Holck et al, 2003. Holck et al melaporkan terdapat peningkatan nilai IL-10 pada H.pylori dibandingkan non H.pylori dan juga terdapat hubungan antara IL-10 dengan skor aktivitas inflamasi, inflamasi kronik dan bacterial load. 8 Pada Penelitian Goll et al, 2007. Goll et al melaporkan sampel pasien dengan H.pyori (+) terjadi peningkatan IL-10 sebanyak 6,7 kali dibandingkan dengan pasien non H.pylori . Menurut Bodger, et al dilaporkan bahwa sekresi IL-10 pada epitel lambung dapat mereduksi respon imun lokal dalam menghadapi antigen intralumen, IL-10 juga berperan dalam mengontrol inflamasi pada saluran cerna. 11, 47,48 45 Universitas Sumatera Utara 2.9. Kerangka Teori Pasien Abdominal Discomfort Wawancara PADYQ: kuesioner dengan 11 pertanyaan yang mengevaluasi gejala nyeri epigastrium, mual, muntah, perut kembung, dan early satiation. Gejala nyeri epigastrium, mual, perut kembung bagian atas dinilai intensitas, durasi, dan frekuensi; sementara muntah dan early satiationdinilai frekuensi. Skor > 6 : dispepsia Dispepsia Endoskopi: mukosa mengalami edema, eritema (spotted, patchy, linear) /eksudat/ perdarahan/ erosif. CLO test: gel tetapkuning (negatif) / berubah warna menjadi merah (positif) Gastritis Biopsi dilakukan pada 5 tempat kurvatura mayor dan minor antrum, insisuraangularis, anterior dan posterior korpus H. pylori (+) IL-10 Hubungan IL-10 pada gastritis H. pylori (+) Biopsi Histopatologi: Dinilai derajat infiltrasi limfosit, neutrofil, atrofi, dan metaplasia intestinal. Skor 03 (ringan, sedang, berat) menurut system Sydney. H. pylori (-) Bakteri gram (-), berkoloni di gaster manusia,,memicu inflamasi IL-10 Hubungan IL-10 pada gastritis H. pylori (-) Gambar 2.8. Kerangka Teori 46 Universitas Sumatera Utara