BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Dividen 1.1 Pengertian Dividen Tujuan utama sebuah perusahaan adalah memaksimumkan harga saham dari perusahaan tersebut. Salah satu faktor yang menentukan harga saham adalah kemampuan perusahaan dalam meningkatkan aliran kas kini dan pada masa yang akan datang. Dengan demikian perusahaan selaku emiten mampu mengelola usaha secara produktif guna memberikan keyakinan kepada para pemegang saham untuk memperoleh pendapatan (dividen atau capital gain) di masa yang akan datang. Setiap kebijakan dividen dapat menjadi bahan penilaian oleh investor mengenai kinerja suatu perusahaan. Pengumuman dividen merupakan salah satu informasi yang akan direspon oleh pasar. Pengumuman dividen dan pengumuman laba pada periode sebelumnya adalah dua jenis pengumuman yang paling sering digunakan oleh para manajer untuk menginformasikan prestasi dan prospek perusahaan. Menurut Hery (2013:7), dividen adalah pembayaran kepada pemilik perusahaan yang diambil dari keuntungan perusahaan, baik dalam bentuk saham maupun tunai. Penentuan pembagian dividen ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pendapat lainnya menurut Simatupang (2010:39), 15 16 dividen adalah keuntungan bersih setelah dikurangi pajak yang diberikan perusahaan penerbit saham kepada para pemegang saham. Dividen dibagikan kepada pemegang saham secara proporsional sesuai dengan jumlah lembar saham yang dipegang oleh masing-masing pemilik. Dapat disimpulkan bahwa dividen merupakan distribusi atas hasil kinerja operasional perusahaan dalam bentuk kas, saham atau dalam bentuk lainnya kepada pemegang saham sebesar proporsi dari jumlah saham yang dimilikinya. 1.2 Kebijakan Dividen Menurut Hery (2013:14), kebijakan dividen merupakan suatu keputusan pendanaan perusahaan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham dan akan diinvestasikan kembali atau ditahan di dalam perusahaan. Semakin besar laba yang ditahan, maka akan semakin kecil jumlah laba yang dialokasikan untuk pembayaran dividen. Alokasi penentuan laba sebagai laba ditahan dan pembayaran dividen merupakan aspek utama dalam kebijakan dividen. Pendapat lainnya menurut Harjito, et al (2012:181), kebijakan dividen (dividend policy) merupakan keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah modal guna membiayai investasi di masa yang akan datang. Dengan kata lain kebijakan dividen merupakan suatu keputusan pihak manajemen yang menentukan apakah membayar return (perolehan) kepada pemegang saham atau mempertahankan return tersebut untuk diinvestasikan kembali di dalam perusahaan. 17 Menurut Hery (2013:16-21) menyebutkan ada beberapa teori-teori tentang kebijakan dividen. Teori-teori tersebut adalah : 1. Dividend Irrelevance Theory Kebijakan dividen tidak relevan atau tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham (nilai perusahaan). Nilai perusahaan hanya ditentukan oleh risiko bisnis dan kemampuannya dalam menghasilkan laba, bukan pada besar kecilnya dividen yang dibagikan, sesuai teori Modigliani dan Miller (M-M). 2. The Bird-in-the-Hand Theory, Teori ini diberikan oleh Bhattacharya sebagai tanggapan terhadap teori Modigliani dan Miller. Teori ini menyatakan bahwa seekor burung ditangan akan lebih berharga dari pada seribu burung di udara. Investor lebih menyukai dividen karena dividen merupakan sesuatu yang pasti untuk didapatkan saat ini, berbeda dengan keuntungan dari capital gain yang mengandung ketidak pastian mengenai saat naiknya harga pasar saham di masa yang akan datang. Teori ini juga berpendapat bahwa meningkatnya dividen akan meningkatkan harga saham yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan nilai perusahaan. 3. Tax Preference Theory Investor menyukai perusahaan yang membayar dividen yang rendah untuk alasan pajak. Besarnya tarif pajak untuk dividen adalah jauh lebih tinggi dibanding tarif pajak untuk capital gain, sehingga investor menginginkan perusahaan menahan labanya untuk menghindari pajak yang lebih tinggi. 4. Residual Dividend Theory 18 Dalam hal ini, dividen yang dibayarkan adalah sama dengan laba bersih dikurangi dengan laba yang ditahan untuk membiayai investasi perusahaan. Perusahaan akan membayar dividen hanya ketika menghasilkan keuntungan yang tidak digunakan untuk investasi. Dividen residual ditentukan dengan cara : 1. Mempertimbangkan kebutuhan atau peluang investasi perusahaan yang menguntungkan. 2. Mempertimbangkan target struktur modal perusahaan untuk menentukan besarnya modal sendiri yang dibutuhkan untuk investasi. 3. Memanfaatkan laba ditahan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan modal sendiri. 4. Membayar dividen hanya jika ada sisa laba. 5. Signaling Hypothesis Theory Perubahan dividen mengandung informasi mengenai perubahan prospek perusahaan di masa mendatang. Dividen yang dibayarkan oleh perusahaan dapat digunakan oleh investor untuk memprediksi kondisi perusahaan di masa mendatang, termasuk harga saham perusahaan. Peningkatan dividen yang membuat pasar memiliki reaksi positif akan mendorong signaling theory. Pasar akan cenderung menginterprestasikan peningkatan dividen sebagai pertanda baik prospek perusahaan, dan sebaliknya bahwa pasar akan beraksi negatif jika terjadi penurunan dividen yang dianggap sebagai pertanda tidak baik mengenai prospek perusahaan di masa mendatang. Pengumuman 19 perusahaan untuk meningktakan pembayaran dividen dapat dijadikan sebagai indikator bahwa perusahaan memiliki prospek masa depan yang baik. 6. Clientele Effect Theory Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini dalam bentuk dividen, seperti contohnya pada individu yang sudah pensiun, menghendaki perusahaan menetapkan dividend payout ratio yang tinggi. Sebaliknya, kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang pada saat ini, lebih senang jika perusahaan menahan sebagian besar laba bersih karena bagi mereka bahwa pembagian dividen yang besar berarti pajak yang dibayarkan juga akan semakin besar. Menurut Hery (2013:7-12), dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham ditinjau dari bentuknya ada 3 (tiga) macam, yaitu : 1. Dividen Tunai (Cash Dividend) Merupakan bagian keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk cash (tunai). Dividen tunai adalah bentuk pembagian keuntungan yang paling sering dilakukan. Ada tiga hal yang penting yang membuat perusahaan dapat membayarkan dividen tunai, yaitu tersedianya laba ditahan, cukup uang kas dan adanya tindakan resmi dari dewan direksi. 2. Dividen Saham (Stock Dividend) Distribusi sebagian keuntungan perusahaan dalam bentuk saham kepada para pemegang saham dinamakan sebagai dividen saham. Pada umumnya, dividen 20 saham dibagikan dalam bentuk saham biasa dan diterbitkan kepada pemegang saham biasa. 3. Dividen Properti (Property Dividend) Adalah dividen yang dibagikan dalam bentuk aktiva selain kas. Aktiva yang dibagikan bisa berbentuk saham dari perusahaan lain yang dimiliki oleh perusahaan, barang dagangan, atau aktiva-aktiva lainnya. Pada prakteknya, perusahaan cenderung memberikan dividen dengan jumlah yang relatif stabil atau meningkat secara teratur. Menurut Hery (2013:13), kebijakan ini kemungkinan besar disebabkan oleh asumsi bahwa : 1. Investor melihat kenaikan dividen sebagai suatu tanda baik bahwa perusahaan memiliki prospek yang cerah, demikian sebaliknya. Hal ini membuat perusahaan lebih senang mengambil jalan aman, yaitu tidak menurunkan pembayaran dividen. 2. Investor cenderung lebih menyukai dividen yang tidak berfluktuasi (stabil). Pengumuman dividen merupakan salah satu informasi yang akan direspon oleh pasar. Menurut Hery (2013:13) ada beberapa tujuan pembagian dividen,yaitu : 1. Untuk memaksimumkan kemakmuran bagi para pemegang saham, karena tinggi dan stabilnya dividen yang dibayarkan akan mempengaruhi harga saham. 2. Untuk menunjukkan likuiditas perusahaan. Dengan dibayarkannya dividen, diharapkan bahwa kinerja perusahaan di mata investor akan terlihat bagus. 3. Untuk menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghadapi gejolak ekonomi 21 yang terjadi, serta menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memberikan hasil kepada investor. 4. Untuk menarik investor karena sebagian besar investor memandang risiko dividen lebih rendah dibanding risiko capital gain. 5. Sebagai alat komunikasi antara manajer dan pemegang saham. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi penentuan besarnya dividen tunai yang dibagikan kepada pemegang saham. Menurut Hery (2013, 1-2), kebijakan dividen suatu perusahaan dapat dipengaruhi oleh tingkat likuiditas, kebutuhan dana untuk membayar utang, peluang investasi atau potensi pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, posisi arus kas dan profitabilitas perusahaan. 1.3 Dividend Payout Ratio (DPR) Dividend payout ratio (DPR), rasio ini mengukur berapa besar bagian laba bersih setelah pajak yang dibayarkan sebagai dividen kepada pemegang saham (Sudana, 2011:24). DPR merupakan persentase dari pendapatan yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai cash dividend (Riyanto, 2012:267). Dividend payout ratio (DPR) mengukur porsi penghasilan yang dibayarkan dalam dividen. Rasio pembayaran dividen atau dividend payout ratio (DPR) dapat dihitung dengan membagi dividen per lembar saham dengan penghasilan per lembar saham. Menurut Rahardjo (2009:151), rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) mengukur porsi penghasilan yang dibayarkan dalam dividen. 22 Rasio pembayaran dividen (dividend payot ratio) menentukan jumlah laba yang dibagi dalam bentuk dividen kas dan laba yang ditahan sebagai sumber pendanaan. Rasio ini menunjukkan persentase laba perusahaan yang dibayarkan kepada pemegang saham yang berupa dividen kas. Apabila laba perusahaan yang ditahan untuk keperluan operasional perusahaan dalam jumlah besar, berarti laba yang akan dibayarkan sebagai dividen menjadi lebih kecil. Sebaliknya jika perusahaan lebih memilih untuk membagikan laba sebagai dividen, maka hal tersebut akan mengurangi porsi laba ditahan dan mengurangi sumber pendanaan intern. Namun, dengan lebih memilih membagikan laba sebagai dividen tentu saja akan meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham, sehingga para pemegang saham akan terus menanamkan sahamnya untuk perusahaan tersebut. Menurut Rahardjo (2009:151), rumus rasio pembayaran dividen atau dividend payout ratio (DPR) adalah sebagai berikut: Dividen per Lembar Saham (DPS) Dividend Payout Ratio (DPR) = Penghasilan per Lembar Saham (EPS) Sumber: Rahardjo (2009:151) Untuk mencari rumus dividend payout ratio (DPR) maka kita harus mencari dahulu penghasilan per lembar saham atau earning per share (EPS) dan dividen per lembar saham atau dividend per share (DPS). Menurut Sugiyono, et al (2008:74) rumus penghasilan per lembar saham atau earning per share (EPS) adalah sebagai berikut: 23 Laba Bersih Earning Per Share (EPS) = Jumlah lembar Saham Sumber: Sugiyono dan Edy Untung (2008:74) Menurut Rahardjo (2009:102), dividen per lembar saham atau dividend per share (DPS) adalah sebagai berikut: Dividen untuk Saham Biasa Dividend Per Share (DPS) = Jumlah Lembar Saham Sumber: Rahardjo (2009:102) 2. Pasar Modal yang Efisien Pasar modal dikatakan efisiensi bila informasi dapat diperoleh dengan mudah dan murah oleh pemakai modal, sehingga informasi yang relevan dan terpercaya dan telah tercermin dalam harga-harga saham. Sebagian besar saham dihargai dengan tepat dan pemodal dapat memperoleh imbalan normal dengan memilih secara acak saham-saham dalam resiko tertentu. Karena penyampaian informasi begitu sempurna, tidak mungkin bagi pemodal manapun untuk memperoleh laba ekonomi (imbalan abnormal) dengan memanipulasi informasi yang tersedia khusus baginya. Ciri penting efisiensi pasar adalah gerakan acak (random walk) dari harga pasar saham. Harga saham secara cepat bereaksi terhadap berita-berita baru yang tidak terduga, sehingga arah gerakannya pun tidak bisa diduga. Sepanjang 24 suatu kejadian bisa diduga, kejadian itu sudah tercermin pada harga saham (Anoraga, 2011:83). Jadi yang dimaksud dengan pasar modal yang efisien adalah pasar dimana semua informasi yang tersedia secara luas dan murah untuk para informasi dan investor yang relevan telah dicerminkan dalam harga-harga sekuritas tersebut. Pasar modal efisien terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu (Anoraga, 2011:85): a. Pasar efisien bentuk lemah (weakform) Adalah suatu pasar modal dimana harga saham sekarang merefleksikan semua informasi historis (seperti harga dan volume perdagangan dimasa lalu). Lebih lanjut informasi masa lalu dihubungkan dengan harga saham untuk membantu menentukan harga saham sekarang. Oleh karena itu, informasi historis tersebut tidak bisa langsung digunakan untuk memprediksi perubahan dimasa yang akan datang karena sudah tercermin pada harga saham saat ini. Berbagai kecenderungan harga dapat ditemukan oleh analisis kecenderungan informasi masa lalu. Jadi, pasar modal efisien bentuk lama, harga saham mengikuti kecenderungan tersebut. b. Pasar efisien bentuk setengah kuat (semi strong) Pasar efisien bentuk setengah kuat adalah pasar dimana harga saham pada pasar modal menggambarkan semua informasi yang dipublikasikan (seperti earning, dividen, pengumuman stock split, penerbitan saham baru dan kesulitan keuangan yang dialami perusahaan) sampai ke masyarakat keuangan. Tujuannya adalah untuk meminimalkan ketidaktahuan mengenai operasi perusahaan dan dimaksudkan untuk menjelaskan dan menggambarkan 25 kebenaran nilai dari suatu efek yang telah dikeluarkan oleh suatu institusi. Jadi semua informasi yang relevan dipublikasikan menggambarkan harga saham yang relevan. Jadi dapat disimpulkan dalam pasar efisien bentuk setengah kuat ini investor tidak dapat berharap akan mendapatkan abnormal return jika strategi yang dilakukan hanya didasari oleh informasi yang telah dipublikasikan. c. Pasar efisien bentuk kuat (strong form) Pasar modal yang efisien dalam bentuk kuat merupakan tingkat efisien pasar yang tertinggi (konsep pasar yang tertinggi). Konsep pasar efisien bentuk kuat mengandung arti bahwa semua informasi direfleksikan dalam harga saham baik informasi yang dipublikasikan maupun informasi yang tidak dipublikasikan (private information), sehingga dalam pasar bentuk ini tidak akan ada seorang investorpun yang bisa memperoleh abnormal return. Private Information adalah informasi yang hanya diketahui oleh orang dalam dan bersifat rahasia karena alasan strategi. 3. Rasio Keuangan 3.1 Analisis Rasio Keuangan Analisis laporan keuangan, menurut Harahap (2013:189-190), terdiri dari dua kata yaitu Analisis dan Laporan Keuangan. Untuk menjelaskan pengertian kata ini kita dapat menjelaskannya dari arti masing-masing kata. Kata analisis adalah memecahkan atau menguraikan sesuatu unit menjkadi berbagai unit terkecil. Sedangkan laporan keuangan adalah Neraca, Laba/Rugi dan Arus 26 Kas (dana). Kalau dua pengertian ini digabungkan, maka analisis laporan keuangan berarti : “menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau mempunyai makna antara satu dengan yang lain baik antara data kuantitatif maupun data non-kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat”. Mengadakan interprestasi atau analisa terhadap laporan keuangan suatu perusahaan akan sangat bermanfaat bagi penganalisa untuk dapat mengetahui keadaan dan perkembangan keuangan dari perusahaan yang bersangkutan. Pimpinan perusahaan atau manajemen sangat berkepentingan terhadap laporan keuangan dari perusahaan yang dipimpinnya. Dengan mengadakan analisa laporan keuangan dari perusahaannya, manajer akan dapat mengetahui keadaan dan perkembangan keuangan dari perusahaannya dan akan dapat diketahui hasil-hasil keuangan yang telah dicapai di waktu-waktu yang lalu dan waktu yang sedang berjalan. Dengan mengadakan analisa data keuangan dari tahun-tahun yang lalu dapat diketahui kelemahan-kelemahan dari perusahaannya serta hasil-hasil yang telah dianggap cukup baik. Hasil analisa historis tersebut sangat penting artinya bagi perbaikan penyusunan rencana atau policy yang akan dilakukan diwaktu yang akan datang. Rasio keuangan dirancang untuk membantu mengevaluasi laporan keuangan perusahaan. Hal ini termasuk beban bunga dan kemampuan perusahaan membayar kembali hutangnya yang dapat dievaluasi dengan membandingkan 27 setiap hutang perusahaan terhadap aktiva dan membandingkan bunga yang harus dibayar terhadap laba yang tersedia untuk membayar bunga. Perbandingan seperti ini dilakukan dengan menggunakan analisis rasio. Untuk menganalisis rasio keuangan, diperlukan perhitungan rasio keuangan yang mencerminkan aspek-aspek tertentu. Rasio keuangan mungkin dihitung berdasarkan atas angka-angka yang tercantum di neraca saja, di laporan laba rugi saja, atau keduanya. Setiap analisis keuangan bisa saja merumuskan rasio tertentu yang dianggap mencerminkan aspek tertentu. Agar rasio keuangan bisa mencerminkan manfaat maka diperlukan standar-standar untuk perbandingan. Salah satu pendekatannya adalah membandingkan rasio-rasio perusahaan dengan pola untuk industri atau lini usaha perusahaan yang secara dominan beroperasi. Pendekatan ini didasarkan pada premis bahwa beberapa kekuatan ekonomi dan bisnis yang mendasar memaksa seluruh perusahaan dalam suatu industri untuk berprilaku serupa. Namun demikian, tetap saja mungkin rasio keuangan perusahaan kecil akan berbeda dari rasio keuangan perusahaan besar. 3.2 Manfaat Rasio Keuangan Rasio keuangan digunakan untuk membandingkan risiko dan tingkat imbal hasil dari berbagai perusahaan untuk membantu investor dan kreditor untuk membuat keputusan investasi dan kredit yang baik. (White et al:2012:50). Salah satu tujuan dan keunggulan dari rasio adalah dapat digunakan untuk membandingkan hubungan return dan risiko dari perusahaan dengan ukuran yang berbeda. Rasio juga dapat menunjukkan profil suatu perusahaan, 28 karakteristik ekonomi, strategi bersaing dan keunikan karakteristik operasi, keuangan dan investasi. Adapun manfaat yang bisa diambil dengan dipergunakannya rasio keuangan, menurut Fahmi (2011:109), yaitu : a. Analisis rasio keuangan sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai alat menilai kinerja dan prestasi perusahaan. b. Analisis rasio keuangan sangat bermanfaat bagi pihak manajemen sebagai rujukan untuk membuat perencanaan. c. Analisis rasio keuangan dapat dijadikan sebagai alat untuk mengevaluasi kondisi suatu perusahaan dari perspektif keuangan. d. Analisis rasio keuangan juga bermanfaat bagi para kreditor dapat digunakan untuk memperkirakan potensi risiko yang akan dihadapi di kaitkan dengan adanya jaminan kelangsungan pembayaran bunga dan pengembalian pokok pinjaman. e. Analisis rasio keuangan dapat dijadikan sebagai penilaian bagi pihak stakeholder organisasi. 3.3 Current Ratio (CR) Current ratio (CR) mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar seluruh kewajiban lancarnya dengan menggunakan seluruh aktiva lancarnya. Menurut Rahardjo (2009:139), current ratio (CR) adalah perbandingan antara aktiva lancar dengan kewajiban pendek (hutang lancar). Pendapat lainnya menurut Simatupang (2010:58), current ratio (CR) yaitu rasio yang 29 menggambarkan kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya yang bersifat jangka pendek yaitu dengan membandingkan antara aktiva lancar dengan utang lancar. Selanjutnya menurut Sugiyono, et al (2008:61), current ratio (CR) digunakan untuk mengetahui sejauh mana aktiva lancar perusahaan digunakan untuk melunasi hutang (kewajiban) lancar yang akan jatuh tempo/segera dibayar. Current ratio (CR) merupakan salah satu rasio yang paling umum digunakan untuk mengukur likuiditas atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek tanpa menghadapi kesulitan. Semakin besar current ratio (CR) menunjukkan semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya (termasuk didalamnya kewajiban membayar dividen kas yang terutang). Unsur-unsur yang mempengaruhi nilai current ratio (CR) adalah aktiva lancar dan utang jangka pendek. Dalam hal ini aktiva lancar terdiri dari uang kas dan juga surat-surat berharga antara lain surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar uang dan pasar modal. Di lain pihak utang jangka pendek dapat berupa utang pada pihak ketiga (bank atau kreditur lainnya). Menurut Rahardjo (2009:139), rumus current ratio (CR) adalah sebagai berikut: Jumlah Aktiva Lancar Current Ratio (CR) = Total Kewajiban Lancar 30 3.4 Total Asset Turnover (TATO) atau Perputaran Total Aset Menurut Kasmir (2014:185), total asset turrnover (TATO) atau perputaran total asset merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur perputaran semua aktiva yang dimiliki perusahaan dan mengukur berapa jumlah penjualan yang diperoleh dari tiap rupiah aktiva. Menurut Harahap (2013:309), total asset turnover (TATO) menunjukkan perputaran total aktiva diukur dari volume penjualan dengan kata lain seberapa jauh kemampuan semua aktiva menciptakan penjualan. Pendapat lainnya menurut Fahmi (2011:135), total asset turnover (TATO), rasio ini melihat sejauh mana keseluruhan asset yang dimiliki oleh perusahaan terjadi perputaran secara efektif. Semakin besar rasio ini, maka semakin efisien penggunaan asset dan semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk kas. Apabila rasio rendah itu merupakan indikasi bahwa perusahaan tidak beroperasi pada volume yang memadai bagi kapasitas investasinya. Menurut Kasmir (2014:186), total asset turnover (TATO), rumusnya adalah sebagai berikut : Penjualan Total Asset Turnover (TATO) = Total Aktiva Sumber : Kasmir (2014:186) 3.5. Debt to Equity Ratio (DER) Menurut Sugiyono, et al (2008:72), rasio leverage, rasio ini bertujuan untuk menganalisa pembelanjaan yang dilakukan berupa komposisi hutang dan 31 modal serta kemampuan perusahaan untuk membayar bunga dan beban tetap lainnya. Faktor hutang mempengaruhi kebijakan perusahaan dalam pembayaran dividen pada share holder. Dalam penelitian ini leverage menggunakan debt to equity ratio (DER). Menurut Harjito, et al (2012:59), debt to equity ratio (DER) adalah rasio total hutang dengan modal sendiri merupakan perbandingan total hutang yang dimiliki perusahaan dengan modal sendiri (ekuitas). Menurut Simatupang (2010:56) debt to equity ratio (DER), yaitu rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan menutupi seluruh utangnya dengan modal sendiri. Pendapat lainnya menurut Sutrisno (2013:224) rasio hutang dengan modal sendiri (debt to equity ratio) merupakan imbangan antara hutang yang dimiliki perusahaan dengan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini berarti modal sendiri semakin sedikit dibanding dengan hutangnya. Bagi perusahaan, sebaiknya besarnya hutang tidak boleh melebihi modal sendiri agar beban tetapnya tidak terlalu tinggi. Untuk pendekatan konservatif besarnya hutang maksimal sama dengan modal sendiri, artinya debt to equity-nya maksimal seratus persen. Semakin besar rasio ini, menunjukkan semakin besar kewajibannya dan begitu juga sebaliknya. Peningkatan hutang ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham, artinya tingginya kewajiban perusahaan akan semakin menurunkan kemampuan perusahaan dalam membayar dividen menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat solvabilitas permodalan yang tinggi cenderung memiliki rasio pembayaran rendah untuk mengurangi biaya yang berkaitan dengan transaksi pembiayaan eksternal. Menurut Simatupang (2010:56), rumus debt to equity ratio (DER) adalah sebagai 32 berikut: Total Hutang Debt to Equity Ratio (DER) = Total Modal Sendiri Sumber : Simatupang (2010:56) 3.6 Return on Equity (ROE) Rasio profitabilitas atau keuntungan menurut Sutrisno (2013:228), Rasio keuntungan untuk mengukur seberapa besar tingkat keuntungan yang dapat diperoleh oleh perusahaan. Semakin besar tingkat keuntungan menunjukkan semakin baik manajemen dalam mengelola perusahaan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi. Intinya adalah penggunaan rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan. Rasio yang lazim dan paling banyak dipakai para investor untuk mengetahui profitabilitas atau keuntungan perusahaan adalah return on equity (ROE). Rasio ini menunjukkan kemampuan dari modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham. Menurut Sutrisno (2013:228), return on equity (ROE) ini sering disebut dengan rate of return on Net worth yaitu kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri yang dimiliki, sehingga ROE ini ada yang menyebut sebagai rentabilitas modal sendiri. Laba yang diperhitungkan adalah laba bersih setelah dipotong pajak atau EAT. Return on equity (ROE). Menurut Sugiyono, et al (2008:72), rasio ini 33 mengukur tingkat penembalian dari bisnis atas seluruh modal yang ada. ROE merupakan salah satu indikator yang digunakan pemegang saham untuk mengukur keberhasilan bisnis yang dijalani. Menurut Harjito, et al (2012:61) return on equity (ROE) atau sering disebut rentabilitas modal sendiri dimaksudkan untuk mengukur seberapa banyak keuntungan yang menjadi hak pemilik modal sendiri. Pendapat lainnya menurut Kasmir (2014:204), return on equity atau rentabilitas modal sendiri merupakan rasio untuk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Return on equity (ROE), yaitu rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari modal sendiri yang dimiliki. Pada umumnya semakin tinggi rasio ini semakin tinggi harga sahamnya, Return on equity (ROE) merupakan tingkat pengembalian atas ekuitas pemilik perusahaan, dalam penelitian ini profitabilitas diukur dengan return on equity (ROE). Semakin besar ROE menunjukkan kinerja perusahaan yang semakin baik, karena tingkat pengembalian investasi (retrun) semakin besar. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa return yang diterima oleh investor dapat berupa pendapatan dividen (dividend yield), dan capital gain. Menurut Sugiyono, et al (2008:72), rumus return on equity (ROE) adalah sebagai berikut: Laba Bersih Return on Equity (ROE) = Total Ekuitas Sumber : Sugiyono, et al (2008:72) 34 3.7 Asset Growth atau Pertumbuhan Aset Aset menunjukkan aktiva yang digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan. Semakin besar aset diharapkan semakin besar hasil operasional yang dihasilkan oleh perusahaan. Peningkatan aset yang diikuti peningkatan hasil operasi akan semakin menambah kepercayaan pihak luar terhadap perusahaan. Dengan meningkatnya kepercayaan pihak luar (kreditor) terhadap perusahaan, maka proporsi hutang semakin lebih besar daripada modal sendiri. Hal ini didasarkan pada keyakinan kreditor atas dana yang ditanamkan ke dalam perusahaan dijamin oleh besarnya aset yang dimiliki perusahaan. Menurut Saidi (2009:45), pertumbuhan aset adalah perubahan (peningkatan atau penurunan) total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan. Pertumbuhan aset dihitung sebagai persentase perubahan aset pada tahun tertentu tahun sebelumnya. Rasio pertumbuhan aset menurut Harahap (2013:309-310), rasio ini menunjukkan persentasi kenaikan aset tahun ini dibanding dengan tahun lalu. Semakin tinggi rasio ini maka semakin baik. Pertumbuhan aset adalah perubahan aset pada laporan keuangan per tahun. Rasio pertumbuhan aset menurut Fahmi (2011:137), yaitu rasio yang mengukur seberapa besar kemampuan aset perusahaan dalam mempertahankan posisinya di dalam industri dan dalam perkembangan ekonomi secara umum. Rasio pertumbuhan aset bertujuan mengukur kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kedudukannya. Analisis pertumbuhan (growth analysis), kita membandingkan pos yang sama dalam dua periode, di mana pos yang digunakan 35 sebagai pembanding itu ikut bergerak. Perhitungan pertumbuhan aset menurut Prasetyo (2011:110), dirumuskan sebagai berikut : Total Aset t – Total Aset (t-1) Asset Growth (Pertumbuhan Aset) = Total Aset (t-1) Sumber : Prasetyo (2011:110) 3.8 Kepemilikkan Institusional Kepemilikan institusional merupakan proporsi saham yang dimiliki oleh pihak institusi pada akhir tahun yang diukur dalam persentase (Listyani, 2003). Tingkat saham institusional yang tinggi akan menghasilkan upaya-upaya pengawasan yang lebih intensif sehingga dapat membatasi perilaku opportunistic manager yaitu manager melaporkan laba secara opportunis untuk memaksimumkan kepentingan pribadinya (Scott, 2000). Kepemilikan institusional memiliki kemampuan analisis yang lebih baik dalam mengevaluasi kinerja perusahaan dibanding kepemilikan individu. Selain itu, kepemilikan institusional memiliki kontrol yang lebih kuat dalam mengendalikan dan memonitor para manajer sehingga lebih efisien menekan terjadinya masalah agensi yang ada di perusahaan. Sistem kepemilikan institusional pada sebuah perusahan berpengaruh terhadap keputusan - keputusan yang diambil dalam tiap periode, karena bisa saja keputusan yang diambil pihak perusahaan akan berdasarkan kemauan dari pihak 36 institusional yang mempunyai kepemilikan yang lebih besar. Jika kepemilikan institusional dalam sebuah perusahaan jumlahnya besar, maka akan lebih memilih untuk mengalokasikan keuntungan yang didapatkan perusahaan dalam bentuk dividen serta dengan persentase yang lebih stabil. Perhitungan kepemilikan institusional menurut Tarjo (2008:25), dirumuskan sebagai berikut : Jumlah saham institusi Kepemilikan Institusional = Jumlah saham yang beredar Sumber : Tarjo (2008:25) 4. Pengaruh Antar Variabel Penelitian 4.1 Pengaruh Current Ratio terhadap Kebijakan Dividen Current ratio merupakan salah satu rasio yang paling umum digunakan untuk mengukur likuiditas atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek tanpa menghadapi kesulitan. Suatu perusahaan yang mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi, maka perusahaan tersebut dapat dikatakan likuid. Current ratio yang baik mengindikasikan akan perusahaan tercukupi likuiditasnya dan tentunya akan mengakibatkan keuntungan bagi perusahaan di masa yang akan datang. Semakin besar current ratio menunjukkan semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, termasuk di dalamnya kewajiban membayar dividen kas yang terutang. Makin tinggi dividen tunai yang dibayarkan, berarti semakin kuat posisi 37 likuiditas perusahaan, maka kemampuannya untuk membayar dividen akan semakin besar pula (Riyanto, 2012:267). Adapun rasio likuiditas yang digunakan dalam penelitian ini adalah current ratio. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis alternatif yang diajukan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : H1 : Current ratio (CR) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. 4.2 Pengaruh Total Asset Turnover (TATO) terhadap Kebijakan Dividen Total asset turnover (TATO) merupakan rasio antara jumlah aktiva yang digunakan dengan jumlah penjualan yang diperoleh selama periode tertentu. Rasio total asset turnover (TATO) dipengaruhi oleh besar-kecilnya penjualan dan total aktiva, baik lancar maupun aktiva tetap. Karena itu, total asset turnover (TATO) dapat diperbesar dengan menambah aktiva pada satu sisi dan pada sisi lain diusahakan agar penjualan dapat meningkat relatif lebih besar dari peningkatan aktiva atau dengan mengurangi penjualan disertai dengan pengurangan relatif terhadap aktiva. Semakin besar TATO akan semakin baik karena semakin efisien seluruh aktiva yang digunakan untuk menunjang kegiatan penjualan, tentunya juga akan menaikan laba perusahaan, akhirnya dividen yang dibagikan perusahaan meningkat pula. Dengan demikian maka kenaikan atau penurunan total asset turnover akan mempunyai pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan dividen. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis alternatif yang diajukan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : H2 : Total asset turnover (TATO) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. 38 4.3 Pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) terhadap Kebijakan Dividen Debt to equity ratio (DER), rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan menutupi seluruh utangnya dengan modal sendiri. Semakin kecil rasio ini semakin baik dan semakin tinggi DER menunjukkan komposisi total hutang semakin besar di banding dengan total modal sendiri, sehingga berdampak semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar (kreditur) dan akan mengurangi pembayaran dividen kas yang akan diterima para investor, atau dengan kata lain semakin besar rasio ini, menunjukkan semakin besar kewajibannya dan begitu juga sebaliknya. Peningkatan hutang ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham, artinya tingginya kewajiban perusahaan akan semakin menurunkan kemampuan perusahaan dalam membayar dividen (Simatupang, 2010:56). Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis alternatif yang diajukan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : H3 : Debt to equity ratio (DER), berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. 4.4 Pengaruh Return on Equity terhadap Kebijakan Dividen Return on equity (ROE) merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan dari total modal atau ekuitas untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham. Return on equity mengukur persentase laba yang diperoleh atas total modal atau ekuitas yang dilakukan pemegang saham, angka tersebut menunjukkan seberapa baik manajemen memanfaatkan total modal atau ekuitas para pemilik saham. Nilai return on equity yang semakin tinggi menunjukkan 39 suatu perusahaan mempunyai laba yang tinggi artinya semakin efisien dalam memanfaatkan total modal atau ekuitas untuk memperoleh laba, sehingga nilai perusahaan meningkat pula. Jadi semakin tinggi nilai ROE menunjukkan kinerja keuangan perusahaan (nilai perusahaan) semakin baik. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa return yang diterima oleh investor dapat berupa pendapatan dividen (dividend yield) dan capital gain. Return on equity juga akan mempengaruhi besar kecilnya dividen yang akan dibagikan atau dengan kata lain return on equity juga akan meningkatkan pendapatan dividen (terutama dividen kas). Dengan demikian meningkatnya return on equity juga akan meningkatkan pendapatan dividend payout ratio suatu perusahaan. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis alternatif yang diajukan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : H4 : Return on equity (ROE) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. 4.5 Pengaruh Asset Growth (AG) terhadap Kebijakan Dividen Asset growth (pertumbuhan aset) adalah sebagai perubahan (tingkat pertumbuhan) tahunan dari total aset. Pertumbuhan aset mencerminkan manifestasi keberhasilan investasi periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan masa yang akan datang. Perusahaan dapat menggunakan pertumbuhan aset untuk mendanai investasi-investasi yang menguntungkan, sehingga terbuka prospek pertumbuhan earnings dan dividen yang bagus di masa mendatang. Pertumbuhan aset tinggi, maka akan mencerminkan pendapatan akan meningkat pula, sehingga kebijakan dividen yang tercermin pada rasio pembagian 40 (pembayaran) dividen suatu perusahaan atau dividend payout ratio (DPR) suatu perusahaan tentunya akan cenderung meningkat pula. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis alternatif yang diajukan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : H5 : Asset growth berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. 4.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kebijakan Dividen Sistem Kepemilikan Institusional pada sebuah perusahan berpengaruh terhadap keputusan - keputusan yang diambil dalam tiap periode, karena bisa saja keputusan yang diambil pihak perusahaan akan berdasarkan kemauan dari pihak institusional yang mempunyai kepemilikan yang lebih besar. Jika kepemilikan institusional dalam sebuah perusahaan jumlahnya besar, maka akan lebih memilih untuk mengalokasikan keuntungan yang didapatkan perusahaan dalam bentuk dividen serta dengan persentase yang lebih stabil. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi berdampak pada semakin baiknya kinerja manajemen guna meningkatkan laba perusahaan karena diawasi secara optimal oleh institutional ownership. Dengan peningkatan laba perusahaan, berdampak langsung pada meningkatnya dividen payout ratio (DPR) yang juga akan berdampak pada peningkatan kemakmuran dari pemegang saham (Sampurno, et al:2012). Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis alternatif yang diajukan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : H6 : Kepemilikan Institusional berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. 41 B. Tinjauan Penelitian Sebelumnya Hanim, et al (2015), penelitian tersebut menggunakan beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pembayaran dividen atau dividend payout ratio (DPR) atau kebijakan dividen yaitu : cash ratio, current ratio, total asset turnover, return on equity, earning per share dan debt to equity ratio. Secara parsial (sendiri-sendiri) dihasilkan cash ratio, current ratio, total asset turnover dan debt to equity ratio berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan pembayaran dividen atau dividend payout ratio (DPR). Secara simultan (keseluruhan) dihasilkan cash ratio, current ratio, total asset turnover, return on equity, earning per share dan debt to equity ratio berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan pembayaran dividen atau dividend payout ratio (DPR). Aisyah (2014), penelitian tersebut menggunakan beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dividen atau dividend payout ratio (DPR) yaitu : earning per share, debt to equity ratio, return on investment, price book value dan total asset turnover. Secara parsial (sendiri-sendiri) dan simultan (keseluruhan) dihasilkan earning per share, debt to equity ratio, return on investment, price book value dan total asset turnover berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan dividen atau dividend payout ratio (DPR). Rahayuningtyas, et al (2014), penelitian tersebut menggunakan beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap dividend payout ratio (DPR) atau kebijakan dividen yaitu : current ratio, return on equity, total asset turnover, debt to equity ratio dan price earning ratio. Secara parsial (sendiri-sendiri) dihasilkan price earning ratio berpengaruh secara signifikan 42 terhadap dividend payout ratio (DPR) atau kebijakan dividen. Sedangkan untuk variabel current ratio, total asset turn over, debt to equity ratio dan return on equity tidak berpengaruh terhadap dividend payout ratio. Secara simultan (keseluruhan) dihasilkan current ratio, return on equity, total asset turnover, debt to equity ratio dan price earning ratio berpengaruh secara signifikan terhadap dividend payout ratio (DPR) atau kebijakan dividen. Rasyina (2014), penelitian tersebut menggunakan beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dividen atau dividend payout ratio (DPR) yaitu : return on assets, current ratio, debt to equity ratio dan pertumbuhan aset perusahaan. Secara simultan (keseluruhan) dihasilkan return on assets, current ratio, debt to equity ratio dan pertumbuhan aset perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap kebijakan dividen atau dividend payout ratio (DPR). Namun secara parsial, variabel current ratio, debt to equity ratio, dan pertumbuhan aset tidak berpengaruh terhadap dividend payout ratio (DPR). Asiah (2015), melakukan penelitian dengan menggunakan variabel bebas current ratio (CR), quick ratio (QR), debt to equity ratio (DER), return on equity (ROE) terhadap variabel terikat kebijakan dividen atau dividend payout ratio (DPR). Variabel return on equity (ROE), current ratio (CR), quick ratio (QR) tidak mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap kebijakan dividen atau dividend payout ratio (DPR),namun untuk debt to equity ratio (DER) berpengaruh terhadap dividend payout ratio (DPR). Kartika, et al (2015), dalam penelitian nya menggunakan variabel bebas return on assets (ROA), return on equity (ROE),dan asset growth (AG). Hasil 43 penelitiannya menunjukan bahwa untuk variabel tersebut secara parsial maupun simultan berpengaruh terhadap dividen payout ratio (DPR). Ibnu (2013), melakukan penelitian dengan menggunakan variabel bebas debt to equity ratio (DER), return on asset (ROA), cash ratio, dan total asset turn over (TATO) dan variabel terikatnya yaitu dividend policy. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa variabel debt to equity ratio (DER) dan return on asset (ROA) berpengaruh terhadap dividend policy sedangkan untuk variabel cash ratio dan total asset turnover tidak berpengaruh terhadap dividend policy. Sumiadji (2011), meneliti beberapa variabel keuangan yang mempengaruhi kebijakan dividend. Variabel keuangan tersebut adalah return on asset (ROA), current ratio (CR), debt to equity ratio (DER), earning per share (EPS), dan total asset turnover (TATO). Hasil penelitiannya membuktikan variabel current ratio (CR), earning per share (EPS), dan total asset turnover (TATO) berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Sedangkan variabel return on asset (ROA), dan debt to equity ratio (DER) tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividend. Secara simultan keseluruhan variabel bebas tersebut mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dividen. Laim, et al (2015), telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dividend payout ratio (DPR) dengan variabel bebas current ratio (CR), debt to equity ratio (DER), return on asset (ROA), firm size (SIZE), dan asset growth (AG). Penelitian tersebut menunjukan bahwa debt to equity ratio (DER) berpengaruh terhadap dividend payout ratio (DPR), Sedangkan current ratio (CR), return on asset (ROA), firm size (SIZE), dan asset growth 44 (AG) tidak berpengaruh terhadap dividend payout ratio (DPR) sedangkan secara simultan semua variabel tersebut berpengaruh terhadap dividend payout ratio (DPR). Sampurno, et al (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh cash position, firm size, growth opportunity, ownership, dan return on asset terhadap dividend payout ratio. Penelitian tersebut menyatakan bahwa variabel ownership dan return on asset berpengaruh positif terhadap dividend payout ratio, sedangkan untuk variabel cash position, firm size, dan growth opportunity berpengaruh negatif terhadap dividend payout ratio. Dewi (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh kepemilikan managerial, kepemilikan institusional, kebijakan hutang, profitabilitas dan ukuran perusahaan terhadap kebijakan dividen. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa kepemilikan managerial, kepemilikan institusional, kebijakan hutang, profitabilitas dan ukuram perusahaan berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Santoso, et al (2012) melakukan penelitian mengenai analisis faktorfaktor yang mempengaruhi kebijakan dividen. Dalam penelitian tersebut menyatakan hasil penelitian yang menyatakan bahwa variabel leverage, growth, dan collateral asset tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Sedangkan untuk variabel kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. 45 C. Rerangka Pemikiran Teori kebijakan dividen yang optimal artinya rasio pembayaran dividen yang ditetapkan dengan memperhatikan kesempatan untuk menginvestasikan dana serta berbagai preferensi yang dimiliki para investor mengenai dividen daripada capital gain. Kebijakan dividen tersebut juga dipandang untuk menciptakan keseimbangan dividen saat ini dan pertumbuhan mendatang sehingga memaksimumkan harga saham. Kebijakan dividen bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau untuk digunakan di dalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut harus ditahan dalam perusahaan (Riyanto,2012:265) atau dengan kata lain kebijakan dividen berkaitan dengan penentuan berapa proporsi dari laba yang akan dibagikan sebagai dividen dan berapa proporsi yang ditahan untuk diinvestasikan kembali. Pembayaran dividen dalam bentuk tunai lebih banyak diinginkan investor daripada dalam bentuk lain, karena pembayaran dividen kasi membantu mengurangi ketidakpastian investor dalam melaksanakan investasinya di dalam perusahaan. Penelitian bertujuan untuk memperoleh bukti mengenai current ratio, total asset turnover, debt to equity ratio, return on equity, asset growth dan kepemilikan institusional terhadap kebijakan dividen atau dividend payout ratio (DPR) pada perusahaan sektor industri barang dan konsumsi yang terdaftar di BEI. Dengan variabel dependennya ialah kebijakan dividen (Y), sedangkan variabel independen ialah current ratio (X1), total asset turnover (X2), debt to 46 equity ratio (X3), return on equity (X4), asset growth (X5), dan kepemilikan institusional (X6). Model Penelitian dalam penelitian ini adalah: Current Ratio (X1) (CR) Total Asset Turnover (X2) (TATO) Debt to Equity Ratio (X3) (DER) Kebijakan Dividen (Y) (DPR) Return On Equity (X4) (ROE) Asset Growth (X5) (AG) Kepemilikan Institusional (X6) (KI) Gambar 2.1 Model Penelitian D. Hipotesis Hipotesis dari penelitian yang akan dilakukan berdasarkan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai adalah : Ha1: Current ratio (CR) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Ha2: Total asset turnover (TATO) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Ha3: Debt to equity ratio (DER) berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. 47 Ha4: Return on equity (ROE) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Ha5: Asset growth (AG) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Ha6: Kepemilikan Institusional (KI) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.