BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, indra pendengaran , indra penciuman, indra perasa, dan indra peraba. Pengetahuan diperoleh dari su atu proses belajar terhadap suat u informasi yang diperoleh seseorang. Pengetahuan dapat juga diperoleh dari pengalaman yang secara langsung maupun dari pengalaman orang lain. P engetahuan juga dapat diperoleh dari proses pendidikan atau edukasi. Penelitan Rongers (1974) mengatakan bahwa s ebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi pr oses berurutan. Pertama adalah awarenes (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti men getahui stimulus (objek) terlebih dahulu. Kedua adalah interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus. Ketiga adalah evaluation (menimbangnimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Keempat adalah trial, yakni orang telah mulai mencoba perilaku baru . Kelima adalah adoption (beradaptasi), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. 2.1.2. Tingkat Pengetahuan Secara garis besar Notoatmodjo (2005) menyatakan pengetahuan yang dicakup di dalam domain tingkat pengetahuan (kognitif) mempunyai enam tingkatan yaitu: tahu (know), diartikan sebagai kemampuan menghafal, mengingat, mengulang informasi, yang pernah diber ikan sebelumnya, termasuk dalam pengetahu an ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau ra ngsangan yang telah diterima. “t ahu” merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah; m emahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan conto h, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari; aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan menggunakan informasi, teori, situasi, dan mengenai bagian -bagian serta hubungan dengan kondisi sebenarnya; analisis (analysis), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut yang masih ada kaitannya antara satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari membedakan, memisahkan, mengelompokkan d an sebagainya; sintesis (synthesis), diartikan sebagai kemampuan mengumpulkan komponen guna membentuk suatu pola pemikiran baru ; evaluasi (evaluation), hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria -kriteria yang telah ada. Menurut Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antar a faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, fasilitas, penghasilan dan sosial. Semakin banyak pengalaman seseorang yang diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain yang ada disekitarnya semakin luas pula pengetahuan orang tersebut. Merakou et al. (2002) menyebutkan bahwa jenis kelamin, usia, bidang ilmu di sekolah, dan jumlah sumber informasi merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan tentang HIV/AIDS pada remaja (Dewi, 2008). Hasil penelitiaan di Amerika menunjukkan bahwa remaja kelas X, XI dan XII (15-17 tahun) memiliki pengetahuan lebih banyak tentang HIV/AIDS dibandingkan kelas remaja IX (14 tahun) yang berusia lebih mudah dari mereka (Anderson et al., 1990). 2.2. Sikap Menurut Sarwono (1997), sikap m erupakan kecenderungan bertindak (secara positif atau negatif) orang, situasi atau objek tertentu. Menurut Notoatmodmojo (2007), sikap adalah reaksi seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan ataupun aktivitas, namun merupakan pre-disposisi tindakan atau prilaku. Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri atas berbagai tingkatan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003). Pertama adalah menerima (receiving), diartikan bahwa seseorang (subjek) mau dan memperhatikan s timulus yang diberikan (objek). Kedua adalah memberi reaksi (responding), memberikan jawaban bila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap, k arena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah berarti orang menerima ide itu. Ketiga adalah menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusik an suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ketiga. Keempat adalah bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif . Dalam bersikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu . Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu. Menurut Attkinson, R.I, dkk, dikutip dari Sunaryo (2004) sikap memiliki lima fung si. Pertama adalah fungsi instrumental, yaitu sikap yang dikaitkan dengan alasan praktis atau manfaat dan menggambarkan keadaan keinginannya atau t ujuan. Kedua adalah fungsi pertahanan ego, yaitu sikap yang diambil untuk melindungi diri dari kecemasan atau ancaman harga dirinya. Ketiga adalah fungsi nilai ekspresi, yaitu sikap yang menunjukkan nilai yang ada pada dirinya. Keempat adalah fungsi pengetahuan, setiap individu memiliki motif untuk ingin tahu, ingin mengerti, ingin banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan, yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kelima adalah fungsi penyesuaian sosial, yaitu sikap yang diambil sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungannya. Sikap seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor dalam proses pebentukannya. Azwar (2005) menyatakan bahwa ada berbagai faktor pembentukan sikap antara lain pengalaman pribadi, orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, med ia massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosional. Sikap seseorang dapat diukur menggunakan metode -metode pengukuran sikap diantaranya skala sikap atau kuesioner. Skala sikap terdiri dari beberapa pernyataan mengenai persoalan yang spesifik. Responden diminta untuk menyetujui atau menolak pernyataan tersebut. Skala Likert menyediakan pilihan antara sangat setuju dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan yang ada. (Niven, 1994). Sikap yang sangat setuju merupakan sikap yang sa ngat positif, sedangkan sikap yang sangat tidak setuju merupakan sikap yang sangat negatif (Azwar, 2005). 2.3. Remaja 2.3.1. Definisi Remaja Remaja (adolescent) adalah individu yang berkembang dari masa kanak -kanak menuju kedewasaan (Neufeldt dan Guralnik, 1996). Kata remaja berasal dari bahasa Latin adolenscentia yang berarti remaja yang mengalami kematangan fisik, emosi, mental dan sosial. Sarwono (2003) mengemukakan definisi remaja yang dikemukakan WHO pada 1974. Disebut bahwa remaja adalah individu yang berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda -tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak -kanak menuju dewasa, dan individu yang mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju suatu kemandirian. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan tahap dimana anak sedang menuju kedewasaan yang ditandai dengan adanya perubahan dalam berbagai as pek. Sarwono (2003) mengemukakan bahwa usia remaja berkisar antara 13 tahun sampai dengan 19 tahun, namun definisi remaja untuk masyarakat Indonesi a adalah individu yang berusia antara 11 tahun sampai dengan 24 tahun dan belum menikah. WHO mende finisikan bahwa seseorang digolongkan sebagai remaja saat berusia 10 sampai 20 tahun. Menurut Hockenberry (2005) menyatakan bahwa remaja dibagi menjadi 3 fase yakni remaja awal (usia 11-13 tahun), remaja tengah (usia 14 -17 tahun), dan remaja akhir (usia 18-20 tahun). Teori Piaget mengatakan bahwa dalam tahap perkembangan ini remaja telah mampu membayangkan rangkaian kejadian yang akan terjadi misalnya konsekuensi dari tindakan yang dilakukan (Hockenberry, 2005). 2.4. HIV/AIDS 2.4.1. Definisi HIV Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). HIV merupakan retrovirus yang menurunkan kemampuan sistem imun. Sekali terjangkit, HIV menghasilkan suatu spektrum penyakit yang akan berkembang dala m kebanyakan kasus, mulai dari laten yang bersifat klinis atau status asimptomatik sampai kondisi AIDS, ditandai dengan hitungan sel CD4<200 atau adanya infeksi oportinistik, tanpa memerhatikan hitung sel CD4 (Geri Morgan, 2009) Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan struktural yaitu gag (group antigen), pol (polymerase), dan env (envelope). Gambar 2.1. Struktur anatomi HIV (scoutawan,2011). 2.4.2. Definisi AIDS AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh men urunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Zubari Djoerban, Samsuridjal Djauzi, 2001). 2.4.3. Etiologi Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome disebabkan oleh dua jenis retrovirus yang berkaitan, dikenal dengan HIV -1 dan HIV-2. HIV-1 kerap ditemukan di Afrika Tengah dan Timur, Amerika, Eropa, serta Asia. HIV -2 kerap ditemukan di Afrika Barat, Prancis dan Portugal. Retrovirus ditransmisikan melalui pertukaran cairan tubuh (misalnya semen, darah, dan saliva) atau melalui transfusi produk darah. Individu y ang terinfeksi akan mendapat uji HIV negatif selama beberapa minggu dan kemungkinan selama 1 tahun. Kecepatan perkembangan penyakit ini bervariasi. Waktu rekaan perkembangan AIDS adalah 10 tahun. Sekitar 19% individu yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam 17 -20 infeksi (Morgan dan Hamilton, 2009). 2.4.4. Faktor Risiko Terdapat 5 kelompok orang dewasa yang m empunyai risiko terinfeksi HIV. Pertama adalah kelompok homoseksual dan biseksual. Ini merupakan kelompok terbesar di kebanyakan negara barat. Kedua adalah kelompok yang menggunakan narkoba secara in travena. Ini merupakan faktor risiko terbesar untuk golong an heteroseksual. Ketiga adalah kelompok haemophiliacs, namun setelah usaha memeriksa antibodi dan antigen HIV bermula pada tahun 1985, bilangan orang dalam kelompok ini s emakin berkurang. Keempat adalah penerima transfusi darah dan komponen darah. Contohnya adalah penerima platlet. Kelima adalah golongan yang mempunyai hubungan heteroseksual dengan empat golongan di atas. (Cotran, Kumar & Collins, 1999). 2.4.5. Epidemiologi Kasus pertama AIDS di Indonesia dila porkan dari Bali pada bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru -parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninja ya, 1998). Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Indonesia dari 1Januari hingga 31 Disember 2012 adalah 5,686 kasus (Ditjen PPM & PL Kemkes RI, 2012). Terjadi peningkatan kasus dari 1 Januari hingga 31 Desember 2012, sebanyak 21,511 terinfe ksi HIV, dan 1,146 kasus diantaranya telah meninggal dunia. Menurut jenis kelamin laki -laki sebanyak 23,702 kasus AIDS dan perempuan sebanyak 12,338 yang terinfeksi AIDS. Menurut golongan umur terbanyak adalah pada golongan umur 20 -29 tahun sebanyak 15,093 kasus (Ditjen PPM & PL Kemkes RI, 2012). Kementerian Kesehatan juga mencatat kasus AIDS menurut faktor risiko, yaitu: heteroseksual (25,534), homo -biseksual (1,009), injecting drug user (IDU) (7,752), transfuse darah (85) transmisi perinatal (1,158) kasus (Ditjen PPM & PL Kemkes RI, 2012). Prevalensi secara nasional kasus A IDS di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 18,05 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan prevalensi terting gi adalah Provinsi Papua (275,11 ), disusul Bali (85,95), DKI Jakarta (65,56), Kalimanatan Barat (38,65), dan Sulawesi Utara sebanyak (28,71) kasus (Ditjen PPM & PL Kemkes RI, 2012 ). 2.4.6. Patogenesis Human Immunodeficiency Virus tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV (partikel virus yang lengkap dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru terpancung di mana protein, p24 merupakan komponen struktur yang utama (Manssjoer, dkk, 2000). Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas glikoprotein, gp120 yang terkait pada protein gp 41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel -sel CD4 positif adalah gp120 dari HIV. Sel CD4 positif mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper (dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV). Limfosit T4 helper merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di atas. Sesudah terka it dengan membrane sel T4 helper HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper, dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase HIV akna melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terin feksi untuk membuat double stranded DNA (DNA atau ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian infeksi yang permanen (Manssjoer, dkk, 2000). Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang ter infeksi diaktifkan. Aktivitas sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitogen ( TNF alfa atau interleukin I) atau produk gen virus seperti: CMV ( cytomegalovirus), virus Epstein Barr, herpes simplek atau hepatitis. Sebagai akibatnya pad a sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 dihancurkan. HIV yang baru ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi CD4+ lainnya. Kalau fungsi limfosit T4 terganggu mikroorganisme yang bi asanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius. Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun dinamakan infeksi oportunistik. Infeksi monosit dan makrofag berlangs ung secara persisten dan tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sitem imun dan terangkut ke seluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi pelbagai jaringan tubuh (Manssjoer, dkk, 2000). 2.4.7. Cara Penularan Human Immunodeficiency Virus dapat ditemukan di darah dan cairan tubuh manusia seperti semen dan cairan vagina. Virus ini tidak dapat hidup lama di luar tubuh, maka untuk transmisi HIV perlu ada penukaran cairan tubuh dari orang yang telah terinfe ksi HIV. HIV dapat ditularkan melalui beberapa cara, antara lain: (AVERT, 2011). a) Hubungan seksual Secara global, penularan virus HIV paling banyak berlaku melalui heteroseksual. b) Pengguna narkoba jarum suntik Pengguna narkoba jarum suntik adalah kelompok risiko tinggi untuk mendapat HIV. Berkongsi penggunaan jarum suntik secara bergantian adalah cara yang efisien untuk transmisi virus yang menular melalui darah seperti HIV dan Hepatitis C. Cara ini ak an meningkatkan risiko tiga kali lebih besar daripada transmisi HIB melalui hubungan seksual. c) Penularan dari ibu ke anak Wanita hamil yang mempunyai HIV boleh mentransmisi virus ini saat hamil, partus dan saat menyusui. d) Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV. e) Infeksi di tempat kesehatan Hospital dan klinik harus berhati -hati dalam pencegahan penyebaran infeksi melalui darah (Fan, Conner dan Villarreal, 2011). Menurut Centre For Disease Control (CDC) (2007), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan melalui cairan tubuh lain seperti air mata, liur, keringat, air seni, tinja; kontak pribadi seperti ciuman di bibir, pelukan, berjabat tangan; kontak sosial sehari -hari misalnya sewaktu kerja, di sekolah, bioskop, restoran, dan sauna; air atau udara misalnya bersin, batuk, berenang di kolam bersama pengidap HIV; barang -barang seperti pakaian, telepon, dudukan toilet, handuk, selimut, sabun; dan serangga misalnya gigitan nyamuk atau serangga lain. Gambar 2.2: Cara penularan HIV (Infeksi menular seksual) 2.4.8. Tanda dan Gejala Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun, dapat terlihat sehat dari luar dan biasanya tidak mengetahui bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV (Komisi Penanggulangan AIDS, 2011). Orang tersebut akan menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain. Wartano, Chanif, Maryati, dan Subandrio (1999) membagi kelompok orang orang tanpa gejala ini menjadi 2 kelompok, yaitu: a) Kelompok yang sudah terinfeksi HIV tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif. Pada tahap dini ini, antibodi terhadap HIV dalam terbentuk. Waktu antara masuknya HIV ke dalam peredaran darah dan terbentuknya antibodi terhadap HIV disebut “windowed period”. Periode ini memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV. b) Kelompok yang sudah terinfeksi HIV tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan tanpa gejala seperti ini dapat berjalan lama sampai 5 tahun atau lebih. Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala min or (tidak umum terjadi): Gejala Mayor berupa: a) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan. b) Diare kronis yang berlangsung lebih da ri 1 bulan. c) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan. d) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis. e) Demensia/ HIV ensefalopati. Sedangkan, gejala minor berupa: a) Batuk menetap lebih dari 1 bulan. b) Dermatitis generalisata. c) Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang. d) Kandidias orofaringeal. e) Herpes simpleks kronis progresif. f) Limfadenopati generalisata g) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita h) Retinitis virus sitomegalo Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan mengikut fasenya. a) Fase akut Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3 -6 minggu selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah dema m, faringitis, limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash . Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala -gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri. b) Fase asimptomatik Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah. c) Fase simptomatik Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS. 2.4.9. Diagnosis HIV/AIDS Diagnosis ditujukan kepada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode: 1) Langsung : yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus ialah Polymerase Chain Reaction (PCR). 2) Tidak langsung : dengan melihat respon zat anti bodi spesifik, misalnya dengan enzyme immunoassays atau enzyme -linked immunosorbaent assay (ELISAs), immunoflurescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay ( RIPA) (Tjokronegoro & Hendra, 2003). Untuk diagnosis HIV, yang lazim dipakai: a) ELISA: sensitivitas tinggi, 98,1% - 100%. Biasanya memberikan hasil positif 2 -3 bulan sesudah infeksi. Dahul u, hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot. Tetapi sekarang menggunakan tes berulang dengan tingkat spesifisitas. b) PCR (Polymerase Chain reaction). Penggunaan PCR antara lain untuk tes HIV pada bayi, menetapkan status infeksi individ u yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi, tes pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, tes konfirmasi untuk HIV-2 (sebab ELISA sensit ivitasnya rendah untuk HIV -2) (Tjokronegoro&Hendra, 2003). Tiap Negara memiliki strategi tes HIV yang berbeda. Di Indonesia, skrining dan surveilans menggunakan strategi tes yang sama. Tes ELISA dan Western Blot telah digunakan pada waktu yang lalu, sekarang di Indonesia menggunakan Dipstik, ELISA 1, dan ELISA 2 untuk skrining dan surveilans (Utomo da n Irwanto, 1998). Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada pemeriksaan didasarkan pada sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagensia. Untuk diagnosis klien yang asimtomatik harus menggunakan strategi III dengan persyaratan reagensia sebagai berikut: 1) Sensitivitas reagen pertama >99% 2) Spesifisitas reagen kedua >98% 3) Spesifisitas reagen ketiga >99% 4) Preparasi antigen atau prinsip tes dari reagen pertama, kedua, dan ketiga tidak sama. Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua atau ketiga mempunyai prinsip pemeriksaan (misalnya EIA, dot blot, imunokromatografi atau aglutinasi) atau jenis antigen (misalnya lisat virus, rekombinan DNA atau peptide sint etik) yang berbeda daripada reagensia yang dapat dipakai pada pemeriksaan pertama. 5) Presentase hasil kombinasi dua reag ensia pertama yang tidak sama (discordant) kurang dari 5%. 6) Pemilihan jenis reagensia (EIA atau Simple/Rapid) harus didasarkan pada: a. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil b. Jumlah specimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan c. Sarana dan prasarana yang tersedia Untuk tujuan surveilans, reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99% spesifisitas reagen kedua >98% 2.4.10. Pengobatan Tujuan pengobatan Pengobatan penderita dengan p enyakit defisiensi imun umumnya ditujukan untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi dengan menjauhi subjek dengan penyakit menular, memantau dengan baik penderita terhadap infeksi, menggunakan antiviral/ antibakteri yang benar, imunisasi aktif atau pasi f bila memungkinkan dan memperbaiki komponen sistem imun dengan transfer pasif atau transplantasi (Bratawidjaja, 2006). a) Pemberian obat antivirus Menurut Budimulja dan Daili (2008) obat yang digunakan untuk pengobatan HIV/AIDS ialah kombinasi tiga oba t antiretroviral yaitu: 1) Zidovudin (AZN) Dosis: 500-600 mg sehari 2) Lamivudin (3TC) Dosis: 150 mg sehari dua kali 3)Neviropin Dosis: 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg sehari 2 kali. Menurut Bratawidjaja (2006) ada dua jenis obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV/ AIDS. Analog nukleotide mencegah aktivitas reverse transkriptase seperti Timidine-AZT, dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV dalam plasma. b) Transfusi Menurut Bratawidjaja (2006) transfusi diberikan dalam bentuk neutrofil kepada subjek dengan defisiensi fagosit dan pemberian limfosit autologus yang sudah menjalani transfeksi dengan gen adenosin deaminase (ADA) untuk mengobati Severe Combined Immunodeficiency. c) Transplantasi Transplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang untuk memperbaiki kompetensi imun (Bratawidjaja, 2006). d) Terapi genetik Terapi gen somatik menunjukkan harapan dalam terapi penyakit genetik. Prosedur tersebut antara lain menyisipkan gen n ormal ke populasi sel yang terkena penyakit. Hasil sementara menunjukkan bahwa limfosit T perifer mempunyai kemampuan terbatas untuk berproliferasi. Untuk pengobatan jangka panjang akan diperlukan penyisipan gen ke sel asal sumsum tulang yang pleuripoten ( Bratawidjaja, 2006). 2.4.11. Pencegahan Dalam upaya menurunkan ri siko terinfeksi HIV, berbagai organisasi kesehatan dunia termasuk Indonesia menganjurkan pencegahan melalui pendekatan ABCD E, yaitu: (WHO, 2000). a. A atau Abstinence, yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan kegiatan seksual sebelum menikah. b. B atau Be faithful, yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah. c. C atau Condom, yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan perilaku seks berisiko. d. D atau Drugs, yaitu tidak menggunakan napza terutama napza suntik agar tidak mengguanakan jarum suntik bergantian dan secara bersama -sama. Upaya pencegahan juga dilakukan dengan cara memberikan KIE (Komunikaasi, Informasi, dan Edukasi) mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat agar tidak melakukan perilaku berisiko, khususnya pada remaja. e. E atau Education, pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal -hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Ada lima tingkat pencegahan ( Five level prevention) menurut Level & Clark, yaitu: a. Promosi kesehatan (health promotion) b. Perlindungan Khusus (specific protection) c. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment) d. Pembatasan cacat (disability limitation) e. Rehabilitasi (rehabilitation) Dalam proses pencegahan terhadap sem akin meluasnya epidemik HIV/AIDS , semua elemen dari masyarakat bertanggung jawab terhadap proses pencegahan. Yang bertanggung jawab terhadap pencegahan persebaran HIV/AIDS adalah: a. Individu Seseorang harus mengadopsi gaya hidup dan perilaku yang sehat dan mengurangi risiko penularan HIV. Orang terinfeksi HIV harus menjadi orang yang bertanggungjawab untuk menjamin bah wa mereka untuk seterusnya tidak akan menyebarkan virus ke orang la in. b. Keluarga Keluarga harus mengadopsi nilai -nilai peningkatan kesehatan. Keluarga harus memberikan pemahaman dan rasa simpati serta perlindungan untuk menolong anggota keluarga yang divonis orang terinfeksi HIV dalam menghadapi situasi yang tidak normal dan memaksimalkan potensi kesehatan untuk mempertahankan diri dari infeksi yang lain. c. Masyarakat Masyarakat harus menghindari sikap diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV dan meningkatkan suasana lingkungan yang mendukung dengan norma sosial yang bersifat melindungi. Masyarakat juga harus berusaha keras meminimalkan kemiskinan yang cenderung memperburuk situasi. d. Petugas kesehatan Petugas kesehatan memiliki tanggungjawab ganda terhadap penyediaan perawatan konseling terhadap orang terinf eksi HIV. Mereka harus menyediakan tindakan pencegahan yang sesuai untuk mencegah penyebaran infeksi ke klien yang lain dan diri mereka sendiri. e. Media Media massa memiliki peran yang dengan mudah dapat dijangkau oleh banyak pembaca dan murah dalam me nyampaikan informasi tentang HIV/AIDS. Bersama dengan media dalam bentuk lain, media mas sa bias efektif menimbulkan kepedulian masyarakat tentang HIV/AIDS. Bagaimanapun, media ma ssa harus bertanggungjawab dalam melaporkan informasi tentang HIV/AIDS, menghi ndari ketidakakuratan yang mana mungkin menghasilkan perbedaan persepsi dan membutuhkan klarifikasi. f. Ahli Kesehatan dan LSM Para ahli kesehatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat membantu menyebarkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS de ngan melakukan proses pembelajaran di masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat umum, LSM dapat menjadi penghubung antara ahli kes ehatan dan masyarakat (WHO, 2000 ).