BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan sejak tahun 2013 masih mempunyai beberapa komoditi unggulan di bidang pertanian dan peternakan dengan kondisi geografis yang relatif kering. Luasnya adalah 101,13 km2, dengan suhu sekitar 24-300 C dan curah hujan rata-rata 1.976,0 mm. Selain pertanian dan pekerjaan di sektor jasa, biasanya masyarakat Kecamatan Kuta Selatan juga memelihara sapi (Badan Pusat Statistik, 2010). Jumlah sapi di Kecamatan Kuta Selatan pada tahun 2010 mencapai 10.732 ekor sapi. Dari data geografis kecamatan Kuta Selatan dapat disimpulkan bahwa letak geografis Kecamatan Kuta Selatan dapat menjadi faktor yang mendukung pertumbuhan bakteri Coliform termasuk E. coli. Salah satu jenis sapi potong yang cukup terkenal di Indonesia dan merupakan plasma nutfah asli Bali adalah sapi bali, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan. Sapi bali mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan, tahan terhadap beberapa penyakit, dan daya reproduksi tinggi (Batan, 2006). Oleh karena itu, sapi bali sangat cocok untuk dikembangkan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Salah satu upaya untuk melestarikan sapi bali adalah dengan menjaga kesehatan melalui pencegahan atau penanggulangan penyakit. Pemeliharaan ternak sapi di Bali umumnya masih sangat sederhana dan tradisional, yaitu di lahan yang sempit, limbah ternak dibiarkan tanpa dikelola dengan baik, sehingga terjadinya pencemaran lingkungan peternakan terutama air dan infeksi bakteri pada sapi cukup tinggi. Sapi bali di Bali, banyak yang hidup tanpa kandang, dan dari hari ke hari sapi hanya ditambatkan di bawah pohon yang rindang (Batan, 2006). Selain keuntungan yang diperoleh dari sapi bali, terdapat pula penyakit-penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, maupun jamur yang dapat menginfeksi ternak. Agen penyebab infeksi bakterial salah satunya adalah bakteri Escherichia coli penyebab penyakit kolibasilosis pada ternak sapi. Bakteri Coliform dan Escherichia coli merupakan mikroba normal di dalam saluran pencernaan hewan. Menurut Ginns (2000) E. coli dapat menyebar melalui debu yang terkontaminasi atau melalui pakan dan minuman yang terkontaminasi dengan feses. Escherichia coli dapat tumbuh optimum pada suhu 37° C dan pH optimum pertumbuhannya antara 7,0 sampai 7,5 (Holt et al., 1994). Escherichia coli O157 merupakan salah satu dari beratus-ratus strain Escherichia coli yang dapat menyebabkan entero haemorrhagic atau disebut EHEC. Di dalam saluran pencernaan manusia, serotipe E. coli O157:H7 yang tumbuh dan berkembang dapat menghasilkan toksin. Toksin yang dihasilkan oleh E. coli O157:H7 adalah verotoxin atau disebut sebagai shiga-like toxin (Stx) (Mainil and Daube, 2005). Shiga toxin yang dihasilkan E. coli (STEC) saat ini diakui sebagai kelompok penting dari bakteri Enteropathogens, setidaknya ada 100 serotipe dari E. coli yang mampu menghasilkan Shiga toxin, tetapi serotipe E. coli O157 yang paling dikenal dalam mikrobiologi dan masyarakat umum (Nataro and Kaper, 1998). Bakteri ini pertama kali diidentifikasi pada 1982 pada penyakit haemorrhagic colitis (HC) di USA (Riley et al., 1983). Sejak saat itu, STEC O157 terlibat dalam kasus sporadis wabah diare di dunia. Shiga like toxin yang dihasilkan E. coli O157:H7 akan memasuki lumen gastrointestinal tubuh hospes melalui sel epitel, pada awalnya bereaksi langsung dengan monosit di daerah submukosa dari sel epitel yang melepaskan mediator peradangan, hal ini berdampak pada semakin meningkatnya uptake toksin karena meningkatnya permeabilitas mukosa. Selanjutnya akan berdampak pada aktivasi pelepasan elemen protombin sehingga terjadi perdarahan pada daerah kolon atau terjadinya diare berdarah (O’Loughlin and Robins, 2001). Sebagai bakteri yang bersifat pathogen, E. coli O157: H7 memiliki beberapa faktor virulen yang membantu bakteri menyerang induk semangnya yaitu saluran pencernaan manusia. Suardana et al, (2013) melaporkan bahwa penderita yang terinfeksi oleh Stx-1 cenderung menderita gastrointestinal dengan gejala diare berdarah jika dibandingkan dengan Stx-2. Gejala klinis dapat muncul beberapa saat setelah mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi, maupun beberapa bulan kemudian. Bagi beberapa kelompok orang terutama anak-anak, manula, wanita hamil, dan orang yang memiliki sistem kekebalan yang rendah, foodborne disease akan sangat berbahaya. Kejadian hemorrhagic colitis biasanya ditandai dengan gejala klinis crampy abdominal pain diikuti dengan diare cair pada 24 jam pertama selanjutnya diikuti adanya perdarahan, muntah, tetapi tidak diikuti peningkatan suhu tubuh. Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 9 hari (Andriani, 2004). Oleh karena itu, belum adanya penelitian tentang keberadaan gen Shiga like toksin 1 (Stx1) dari E. coli O157:H7 khususnya dari hasil isolasi feses sapi di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, menjadi menarik untuk dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu apakah ada gen Stx-1 pada E. coli O157:H7 dari hasil isolasi feses sapi di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi gen Stx-1 dari E. coli O157:H7 dari hasil isolasi feses sapi di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung sebagai salah satu marka virulensi E. coli O157:H7. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi kepada pihak terkait yaitu dinas kesehatan dan dinas peternakan, perikanan, dan kelautan kota Denpasar, mengenai potensi bahaya dari E. coli O157:H7 pada sapi terhadap kesehatan manusia. 1.5 Kerangka Konsep Shiga toxin yang dihasilkan E. coli (STEC) saat ini diakui sebagai kelompok penting dari bakteri Enteropathogens, setidaknya ada 100 serotipe dari E. coli yang mampu menghasilkan Shiga toxin, tetapi serotipe E. coli O157 yang paling dikenal dalam mikrobiologi dan masyarakat umum (Nataro and Kaper, 1998). Beberapa wabah besar pernah terjadi, seperti di Jepang lebih dari 9000 anak yang terinfeksi (Michino et al., 1998). Adanya hasil temuan E. coli O157:H7 pada feses dan daging domba di Yogyakarta sebesar 13,2% dan 2,6% (Sumiarto, 2004) dan temuan Suardana et al. (2007) dan Suardana et al. (2008) yang berhasil mengidentifikasi E. coli O157:H7 di Kabupaten Badung, Bali pada feses sapi sebesar 7,61%, pada daging sapi sebesar 5,62% dan pada feses manusia sebesar 1,3%, menguatkan hipotesis bahwa serotipe lokal dari bakteri ini juga berpotensi besar sebagai agen zoonosis yang harus diwaspadai sehingga perlu dikaji secara lebih mendalam. Penemuan Hananto et al. (2014) menunjukkan bahwa dari 60 sampel yang diuji, ditemukan positif E. coli O157:H7 sebanyak 5 isolat (8,33%). Isolat yang ditemukan sejauh ini belum dilakukan penelitian lebih lanjut terutama dari aspek molekuler terhadap penanda virulensi gen Stx1 maupun gen Stx2 (gen yang mengatur ekspresi toksin Stx1 dan Stx2), dan gen eae (gen yang mengatur ekspresi protein yang berkaitan dengan attaching dan effaching). Perkembangan penelitian untuk mendeteksi kehadiran STEC secara pesat telah dimulai sejak tahun 1987 (Doyle et al., 2006; Pradel et al., 2000). Mohammad et al. (1985) dalam Samadpour et al., (2002) dengan teknik penghitungan secara langsung terhadap toksin yang dihasilkan. Hasil penelitiannya berhasil menemukan 28 dari 172 sampel (16%) feses sapi positif STEC. Deteksi dengan menggunakan DNA probe Stx-I dan Stx-II juga telah digunakan oleh beberapa peneliti (Samadpour et al., (2002). Selain metode diatas saat ini telah populer dikembangkan teknik deteksi yang cepat dan akurat yaitu perkembangan metode deteksi yang didasarkan atas Polymerase Chain Reaction (PCR) sebagai suatu metode yang sangat membantu karena tingkat sensitifitas dan spesifitasnya tinggi (Moon et al, 2004 dalam Suardana et al, 2013). 1.6 Hipotesis Penelitian Isolat lokal E.coli O157:H7 dari hasil isolasi feses sapi di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung membawa penanda virulensi yaitu gen Stx-1.