HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan Balithi Cipanas selama delapan minggu, sedangkan aklimatisasi dilakukan di rumah plastik pada bak yang berisi media arang sekam steril selama enam minggu. Eksplan Krisan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari stek buku tunggal (nodus) yang diambil dari hasil sub kultur planlet krisan berumur 2 bulan. (Gambar 4). Stek buku tunggal Gambar 4. Kondisi awal eksplan yang diperoleh dari stek buku tunggal krisan (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) dalam botol kultur yang berisi media MS0. Secara umum, eksplan yang dikulturkan dapat tumbuh dengan baik. Persentase pertumbuhan eksplan yang diamati sebesar 100%. Eksplan yang dikulturkan menunjukkan kemampuan multiplikasi tunas. Hal ini dapat diketahui pada jumlah tunas dan jumlah daun tanaman krisan mulai dari pengamatan pertama pada 6 MSK dan terus berlanjut sampai akhir pengamatan. Pada tahap kultur in vitro, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap peubah waktu inisiasi tunas. Peubah jumlah tunas, jumlah daun per tunas, jumlah daun per eksplan, tinggi tunas dan panjang ruas tidak dipengaruhi oleh interaksi antara BA dan kultivar. Pada tahap aklimatisasi, hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, dan panjang ruas pada 6 MST, sedangkan pada jumlah tunas dan panjang ruas pada 2 dan 4 MST interaksi antara BA dan kultivar krisan tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis sidik ragam untuk semua peubah yang diamati disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil sidik ragam tampak bahwa perbanyakan tanaman krisan secara in vitro menunjukkan perlakuan tunggal BA berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas per eksplan, tinggi tunas, jumlah daun per eksplan, dan panjang ruas, sedangkan untuk jumlah daun per tunas perlakuan tunggal BA tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis sidik ragam juga menunjukkan bahwa perlakuan tungal kultivar berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas, panjang ruas, jumlah tunas (pada 7 dan 8 MSK), jumlah daun total (pada 8 MSK), sedangkan untuk jumlah daun per eksplan perlakuan tunggal BA tidak berpengaruh nyata. Tahap Kultur In Vitro Waktu Insiasi Tunas Secara umum, seluruh eksplan krisan ini melakukan inisiasi tunas pertama pada 2-4 Hari Setelah Kultur (HSK), baik untuk kultivar Puspita Asri maupun kultivar Puspita Nusantara. Menurut Windasari (2004), pada krisan yang dikulturkan dengan media MS dengan perlakuan kinetin dan NAA memiliki ratarata kecepatan tunas munculnya tunas sekitar tiga hari setelah tanam. Kondisi munculnya tunas pertama pada eksplan tersaji pada Gambar 6. Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh BA dan Kultivar terhadap Pertumbuhan Eksplan Krisan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 BA Perlakuan Kultivar BA*Kultivar KK(%) * ** ** ** ** ** * tn tn 7.25 3.57 3.32 * ** ** ** ** ** ** tn tn tn tn tn 2.95 2.27 2.56 2.93 tn tn tn tn tn ** tn tn tn 2.57 2.20 1.64 ** ** ** tn tn tn tn tn tn 4.11 4.10 3.65 ** ** ** ** ** ** tn tn tn 0.33 0.44 0.56 * * * ** ** ** ** * * 3.68 5.03 5.66 tn tn tn tn tn * ** ** ** 2.23 2.27 2.49 * ** * ** ** ** tn tn ** 0.42 0.63 0.68 tn tn tn 4.60 Tahap Kultur In Vitro Waktu inisiasi tunas 6 MSK 7 MSK 8 MSK Tinggi tunas 6 MSK 7 MSK 8 MSK Jumlah tunas Jumlah daun/tunas 6 MSK 7 MSK 8MSK Jumlah daun/eksplan 6 MSK 7 MSK 8 MSK Panjang ruas 6 MSK 7 MSK 8MSK Tahap Aklimatisasi Tinggi tanaman 2 MST 4 MST 6 MST Jumlah daun 2 MST 4 MST 6 MST Panjang ruas 2 MST 4 MST 6 MST Jumlah tunas 6 MST Keterangan : tn : Tidak nyata pada uji F 5 % * : Nyata pada uji F 5 % ** : Sangat nyata pada uji F 1 % MSK : Minggu Setelah Kultur MST : Minggu Setelah Tanam KK : Koefisien Keragaman Data yang disajikan merupakan hasil transformasi ln (x+10) Tunas pertama Gambar 5. Kondisi eksplan saat kemunculan tunas pertama pada 1 MSK Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap waktu inisiasi tunas (Tabel Lampiran 3). Waktu inisiasi tercepat diperoleh dari kombinasi perlakuan BA 0.00 µM dengan kultivar Puspita Asri (2.77 hari) dan tidak berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan BA 2.22 µM + Kultivar Puspita Asri (3.17 hari). Kombinasi perlakuan BA 8.88 µM dengan Kultivar Puspita Nusantara menghasilkan waktu inisiasi tunas yang paling lambat yaitu 4.05 hari (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Waktu Inisiasi Tunas BA (µM) Kultivar Puspita Asri Puspita Nusantara ...hari... 0 2.77d 3.36cb 2.22 3.17cd 3.77ab 4.44 3.44bc 3.94a 6.66 3.33bc 3.69ab 8.88 3.37bc 4.05a Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%. Berdasarkan hasil pengamatan, tampak bahwa pada setiap taraf konsentrasi perlakuan BA dengan konsentrasi yang sama, kultivar Puspita Asri memiliki rata-rata waktu inisiasi tunas yang lebih cepat dibandingkan kultivar Puspita Nusantara. Perbedaan waktu inisiasi tunas tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan faktor genetik dari kedua kultivar krisan tersebut (Tabel 2). Jumlah Tunas Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi BA berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas yang terbentuk mulai dari 6-8 MSK (Tabel Lampiran 4). Perlakuan BA 6.66 µM berbeda nyata dengan tanpa BA, 4.44 µM, dan 8.88 µM pada 8 MSK. Jumlah tunas terbanyak didapatkan dari perlakuan BA 6.66 µM dengan jumlah tunas 8.71, sedangkan jumlah tunas terkecil didapatkan dari perlakuan tanpa BA (kontrol). Tampak bahwa pemberian BA dapat mendorong pertambahan jumlah tunas krisan (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena fungsi BA sebagai sitokinin. Menurut Wattimena et al. (1992) pada konsentrasi tinggi BAP akan mendorong poliferasi tunas. Chawla (2002) menambahkan bahwa BA bermanfaat untuk pertumbuhan tunas pada tanaman yang ditumbuhkan secara In vitro. Tabel 3. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Tunas Perlakuan BA (µM) 0 2.22 4.44 6.66 8.88 Kultivar Puspita Asri Puspita Nusantara 6 Umur (MSK) 7 8 1.16c 3.75b 4.89ab 5.38a 4.61ab 1.16c 4.56b 6.68a 7.00a 6.38a 1.49c 5.77b 8.00a 8.71a 8.20a 3.63 4.29 4.20j 6.15k 5.23j 7.66k Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%. Analisis regresi pengaruh BA terhadap jumlah tunas pada 8 MSK menghasilkan persamaan y = -0.1609x2 + 2.1655x + 1.5763 (R2 = 0.998), seperti yang tersaji pada Gambar 7. Persamaan tersebut memberikan slope negatif terhadap jumlah tunas krisan yang terbentuk. Koefisien determinasi yang dihasilkan sangat tinggi (0.998), artinya sebesar 99 % keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi polinomial. y (6.73,9.48) x Gambar 6. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi BA terhadap Jumlah Tunas Krisan pada 8 MSK Pada Gambar 6 tampak bahwa penambahan BA 6.73 µM optimum untuk pertumbuhan jumlah tunas, pada titik tersebut dihasilkan jumlah tunas terbanyak 9.48 tunas. Pemberian BA melebihi 6.73 µM akan menurunkan jumlah tunas. Hal ini diduga karena pada titik konsentrasi BA 6.73 µM, telah memasuki titik jenuh pembelahan sel atau telah melewati konsentrasi optimumnya. Kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap pertumbahan jumlah tunas krisan, kecuali pada 6 MST (Tabel 3). Pada 8 MSK, kultivar Puspita Nusantara memiliki rata-rata jumlah tunas yang lebih besar (7.66 tunas) dibanding kultivar Puspita Asri (5.23 tunas). Hal ini diduga karena faktor genetik yang berbeda dari masing-masing kultivar, sehingga memberikan respon yang berbeda pula terhadap setiap perlakuan BA yang diberikan. Tinggi Tunas Pada penelitian ini, tinggi tunas diukur dari pangkal batang bagian bawah sampai ujung tunas apikal. Tinggi tunas diamati sebagai indikator pertumbuhan maupun untuk mengukur pengaruh lingkungan yang diterapkan. Hal ini didasarkan karena tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat (Anwar, 2007). Tunas yang diamati merupakan tunas yang terpanjang dari setiap eksplan yang dijadikan sampel pengamatan. Berdasarkan hasil analisis ragam tampak bahwa BA memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tunas mulai dari 6-8 MSK. Perlakuan 0.00 µM BA (kontrol) berbeda nyata terhadap perlakuan BA 2.22 µM, 4.44 µM, 6.66 µM dan 8.88 µM (Tabel Lampiran 5 dan 6). Perlakuan tanpa BA memiliki ratarata tinggi tunas tertinggi yaitu 9.79 cm, sedangkan rata-rata tinggi tunas terendah dihasilkan perlakuan BA 8.88 µM sekitar 4.11 cm. Chairunnisa (2004) menyatakan bahwa penambahan kinetin pada media MS menyebabkan planlet krisan yang dihasilkan memiliki tinggi tunas yang lebih pendek dibandingkan dengan plantlet yang dikulturkan pada media MS tanpa perlakuan kinetin. Tabel 4. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Tinggi Tunas Perlakuan BA (µM) 0 2.22 4.44 6.66 8.88 Kultivar Puspita Asri Puspita Nusantara 6 Umur (MSK) 7 8 5.26a 4.44ab 3.76b 3.32b 3.45b 7.40a 5.63b 4.97bc 4.24cd 3.70d 9.79a 6.21b 5.64bc 4.56cd 4.11d 5.26j 2.83k 6.73j 3.65k 7.75j 4.37k Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5% Berdasarkan Tabel 4, tampak bahwa tinggi tunas terus bertambah setiap minggunya. Hal ini menandakan terjadinya pemanjangan sel pada setiap tunas yang terbentuk. Salisbury (1995) mengungkapkan bahwa sitokinin dapat mendorong pertumbuhan tanaman, karena sitokinin merangsang pembelahan sel melalui sintesis protein dimana protein ini dibutuhkan untuk proses mitosis. Lakitan (1996) menyatakan bahwa sitokinin juga bisa meningkatkan plastisitas sel dan peningkatan gula tereduksi sehingga akan menyebabkan potensial osmotik sel menurun, air diserap lebih banyak sehingga tekanan turgor meningkat kemudian menyebabkan pembesaran sel. BA dapat menghambat pertumbahan tinggi tunas. Perlakuan kontrol menghasilkan planlet yang lebih tinggi dibandingkan dengan planlet yang diberi perlakuan BA. Hal ini diduga karena pengaruh BA sebagai sitokinin yang memberikan efek terhambatnya pertambahan tinggi tunas dan pertumbuhan ruas sehingga sitokinin menekan pertumbuhan ke arah samping. Adanya sitokinin memberikan fungsi antagonis terhadap efek auksin yaitu dominasi apikal (Davies, 1995), akibatnya pertumbuhan planlet lebih dominan pada pertumbuhan tunas dibanding pembentukan ruas. Moncalean et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan pemberian BA (sitokinin) pada tanaman Actinidia deliciosa dapat mengurangi panjang tajuk. Secara umum sitokinin berfungsi mempengaruhi pembelahan dan pembesaran sel ke arah samping sehingga menghambat panjang tunas. Kultivar krisan berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tunas krisan (Tabel Lampiran). Pada akhir pengamatan, kultivar Puspita Asri memiliki ratarata tunas yang lebih tinggi (7.75 cm) dibanding Puspita Nusantara yang hanya memiliki rata-rata tinggi tunas sekitar 4.37 cm (Tabel 4). Perbedaan tinggi tersebut diduga karena faktor genetik yang berbeda dari masing-masing kultivar, sehingga memberikan respon yang berbeda pula terhadap setiap perlakuan BA yang diberikan. Jumlah Daun per Tunas Pembentukan daun pada eksplan krisan relatif cepat dan terjadi sejak minggu pertama setelah kultur. Jumlah daun per tunas merupakan jumlah daun yang dimiliki oleh salah satu tunas tertinggi dari suatu eksplan. Pengamatan daun eksplan dilakukan setelah daun membuka sempurna. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tunggal BA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun per tunas untuk setiap minggu pengamatan (Tabel Lampiran 7). Hal ini berarti bahwa konsentrasi BA 0 µM (Kontrol), 2.22 µM, 4.44 µM, 6.66 µM, dan 8.88 µM memiliki kemampuan yang sama untuk mendorong pertumbuhan jumlah daun per tunas pada eksplan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa kultivar krisan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun per tunas tanaman krisan, kecuali pada 8 MSK. Kultivar Puspita Asri memiliki rata-rata jumlah daun per tunas yang lebih tinggi dibandingkan kultivar Puspita Nusantara (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Daun per Tunas Perlakuan BA (µM) 0 2.22 4.44 6.66 8.88 Kultivar Puspita Asri Puspita Nusantara 6 Umur (MSK) 7 8 13.89 11.75 12.05 10.72 11.80 15.10 14.71 15.26 14.27 13.96 15.60 15.26 15.82 15.72 15.32 12.14 12.00 15.04 14.28 16.65j 15.24k Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5% Jumlah daun per tunas pada setiap kombinasi perlakuan meningkat di setiap minggunya (Tabel 5). Daun yang terbentuk berwarna hijau, hal tersebut dikarenakan adanya sitokinin yang dapat menghambat perombakan butir-butir protein dan klorofil yang apabila terombak akan menyebabkan daun menjadi kuning (Wattimena, 1988). Jumlah Daun per Eksplan Jumlah daun per eksplan merupakan jumlah keseluruhan daun yang terdapat pada tunas-tunas suatu eksplan. Perlakuan BA memberikan pengaruh pada eksplan untuk mendorong pertumbuhan jumlah daun total. Pengaruh perlakuan tersebut mempunyai kesesuaian dengan pengaruhnya pada banyaknya jumlah tunas yang terbentuk, karena daun pada eksplan terbentuk setelah terbentuknya tunas. Apabila jumlah tunas yang terbentuk banyak, maka jumlah daun yang terbentuknya pun akan banyak. Banyaknya jumlah daun ini menunjukkan banyaknya tunas dan buku yang terbentuk. Semakin banyak jumlah tunas maka semakin banyak juga jumlah daun dan buku eksplan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan BA berpengaruh sangat nyata terhadap peubah jumlah daun per eksplan (Tabel Lampiran 8). Berdasarkan hasil analisis ragam tampak bahwa perlakuan BA 4.44 µM mampu mendorong petumbuhan daun per eksplan yang terbesar, yaitu 51.54 daun pada 8 MST dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan BA 6.66 µM (49.17 daun pada 8 MST) dan BA 8.88 µM (46.69 daun pada 8 MST). Perlakuan BA 6.66 µM berbeda nyata dengan perlakuan tanpa BA (16.00 daun pada 8 MST) yang memiliki rata-rata jumlah daun per eksplan terkecil dan berbeda nyata pula terhadap perlakuan BA 2.22 µM (39.37 daun pada 8 MST), seperti tersaji pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Daun per Eksplan Perlakuan BA (µM) 0 2.22 4.44 6.66 8.88 Kultivar Puspita Asri Puspita Nusantara 6 Umur (MSK) 7 8 14.60c 26.42b 41.81a 33.44b 31.71b 15.75c 30.90b 44.71a 40.46a 37.06ab 16.00c 39.37b 51.54a 49.17a 46.69ab 28.83 30.36 32.43 35.12 38.73 42.38 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5% Pengaruh perlakuan BA terhadap jumlah daun mencapai hasil maksimal pada konsentrasi 4.44 µM dan menurunkan kembali jumlah daun yang terbentuk pada penambahan konsentrasi BA (6.66 dan 8.88 µM). Hal ini diduga karena pemberian BA yang telah memasuki titik jenuh pembelahan sel atau telah melewati konsentrasi optimumnya, sehingga pembelahan sel menjadi lebih lambat. Hasil penelitian Chairunnisa (2004) terhadap perbanyakan krisan menunjukkan bahwa pemberian tunggal kinetin yang paling optimum untuk pertumbuhan jumlah daun yaitu pada konsentrasi 1 mg/l, sedangkan pemberian kinetin 2 mg/l memberikan efek menghambat untuk pertumbuhan jumlah daun karena telah melewati titik optimum pemberian kinetin sehingga menghasilkan jumlah daun yang lebih sedikit dibandingkan pemberian kinetin 1mg/l. Menurut Strabala et al. (1996), sitokinin berperan dalam perkembangan primordia daun. BA sebagai sitokinin sangat berperan dalam menghasilkan tunas tersebut, maka peningkatan BA dapat meningkatkan jumlah daun. Syara (2006) menyatakan bahwa pada konsentrasi BAP 13.32 µM merupakan konsentrasi optimum untuk pertumbuhan jumlah daun Anthurium andreanum. sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan penurunan jumlah daun seiring dengan penurunan jumlah tunas. Hasil penelitian Windasari (2004) terhadap pertumbuhan krisan varietas Delano Red menunjukkan bahwa penambahan kinetin 2.5 mg/L menghasilkan rata-rata jumlah daun tertinggi, sedangkan perlakuan tanpa kinetin menghasilkan rata-rata jumlah daun terendah. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa kultivar krisan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun per eksplan tanaman krisan di setiap minggu pengamatan (Tabel Lampiran 7). Dari data yang diperoleh jumlah daun total antara kultivar Puspita Asri dan Puspita Nusantara tidak berbeda signifikan (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa kultivar Puspita Asri dan Puspita Nusantara memiliki kemampuan yang sama dalam mendorong pertumbuhan jumlah daun. Panjang Ruas Panjang ruas merupakan jarak atau selang antara nodus satu dengan nodus berikutnya dan dapat dijadikan indikasi ukuran tinggi eksplan. Panjang ruas berkaitan erat dengan tinggi tanaman; semakin panjang ruas, semakin tanaman makin tinggi. Panjang ruas yang diamati adalah ruas yang terpanjang dari salah satu tunas tertinggi pada eksplan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tunggal BA berpengaruh sangat nyata terhadap panjang ruas pada 6-8 MSK (Tabel Lampiran 9 dan 10). Perlakuan tanpa BA berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Perlakuan BA 4.44 µM tidak berbeda nyata dengan perlakuan BA 6.66 µM dan 8.88 µM. Perlakuan BA 0.00 µM (kontrol) memiliki rata-rata panjang ruas tertinggi, yaitu 0.87 cm pada 8 MST, sedangkan perlakuan BA 8.88 µM cenderung menghasilkan panjang ruas terpendek sekitar 0.36 cm pada 8 MSK (Tabel 7). Tabel 7. Pengaruh BA dan Kultivar Krisan terhadap Panjang Ruas Perlakuan BA (µM) 0 2.22 4.44 6.66 8.88 Kultivar Puspita Asri Puspita Nusantara 6 Umur (MSK) 7 ...cm... 8 0.48a 0.38b 0.27c 0.21c 0.28c 0.83a 0.56b 0.36c 0.33c 0.32c 0.87a 0.60b 0.51bc 0.43bc 0.36c 0.42j 0.23k 0.57j 0.40k 0.66j 0.45k Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom umur dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%. Perlakuan BA memberikan efek terhambatnya pertambahan tinggi tunas dan pertumbuhan ruas. Adanya sitokinin memberikan fungsi antagonis terhadap efek auksin yaitu dominasi apikal (Davies, 1995), akibatnya pertumbuhan planlet lebih dominan pada pertumbuhan tunas dibanding pembentukan ruas. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kultivar krisan berpengaruh sangat nyata terhadap panjang ruas krisan di setiap minggu pengamatan (Tabel 7). Kultivar Puspita Asri cenderung memiliki rata-rata panjang ruas yang lebih besar (0.66 cm pada 8 MSK) dibanding kultivar Puspita Nusantara (0.45 cm pada 8 MSK). Tahap Aklimatisasi Proses aklimatisasi dimaksudkan untuk mengadaptasikan plantlet dari lingkungan botol dalam laboratorium (aseptik) ke lingkungan tanam baru pada bak berisi media arang sekam steril yang dimpan di rumah plastik (non aseptik) dengan tujuan mengurangi stres dan kematian tanaman. Kondisi awal planlet yang diaklimatisasi disajikan pada gambar 8. Pemilihan arang sekam ini didasarkan pada informasi sebelumnya yang menyatakan bahwa arang sekam dapat meningkatkan kemampuan planlet berfotosintesis (Douglas, 1985). Gambar 7. Kondisi Awal Planlet Krisan Kultivar Puspita Asri dan Puspita Nusantara yang Diaklimatisasi pada Bak Berisi Media Arang Sekam Steril Keberhasilan aklimatisasi krisan ini masih belum optimal, dengan persentase tumbuh sekitar 55%. Hal ini menunjukkan bahwa daya hidup eksplan krisan pada aklimatisasi masih sangat rendah. Masa aklimatisasi merupakan masa yang sangat kritis bagi kelangsungan hidup planlet hasil kultur jaringan, karena tanaman ini memiliki lapisan lilin (kutikula) yang tidak berkembang baik akibat kondisi mikro planlet saat di dalam botol dengan kelembaban antara 90-100%. Perbedaan lingkungan mikro dan makro dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Contoh dari lingkungan mikro salah satunya adalah kandungan hara pada media. Sedangkan lingkungan makro meliputi suhu, kelembaban, dan cahaya. Jumlah tanaman yang hidup di akhir pengamatan tidak sama dengan awal pengamatan, karena banyak tanaman yang mati di tengahtengah pengamatan. Kelembaban media tanam perlu mendapat perhatian dalam budidaya krisan, karena tanaman ini tidak toleran terhadap kekeringan, kelembaban yang rendah dan suhu yang tinggi terutama pada awal penanaman. Perbedaanperbedaan kondisi lingkungan tersebut mempengaruhi hasil pengamatan yang berbeda pada tahap kultur in vitro dengan aklimatisasi. Perubahan lingkungan tumbuh dari laboratorium (heterotrof) ke media aklimatisasi (autotrof) tersebut mempengaruhi daya tumbuh planlet saat aklimatisasi. Karena saat aklimatisasi tanaman asal kultur jaringan ini belum mampu untuk berfotosintesis optimal sehingga memerlukan waktu beradaptasi terlebih dahulu. Kelembaban lingkungan yang belum optimal diduga menjadi faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pada aklimatisasi. Kelembaban yang tidak optimal tersebut dapat mengakibatkan akar tanaman busuk yang akan mengakibatkan tanaman mati. Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman krisan (Tabel Lampiran 11). Kombinasi perlakuan BA 2.22 µM dengan kultivar Puspita Asri memberikan hasil tertinggi 19.16 cm, sedangkan untuk kultivar Puspita Nusantara diperoleh tanaman tertinggi yaitu 15.83 cm pada perlakuan tanpa BA atau kontrol. Kombinasi BA 8.88 µM dengan kultivar Puspita Nusantara menghasilkan tinggi terendah sekitar 4.32 cm (Tabel 8). Perbedaan rata-rata tinggi tanaman diduga karena perbedaan genetik dari masing-masing kultivar dan daya adaptasi yang berbeda yang menyebabkan pertumbuhan tanaman yang belum optimal. Menurut Hartmann dan Kester (1992), tanaman yang berbeda dapat merespon hormon (sitokinin) dalam berbagai kosentrasi secara bebeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan konsentrasi hormon endogen tumbuhan itu sendiri. Tabel 8. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Tinggi Tanaman saat Aklimatisasi pada 6 MST BA (µM) Kultivar Puspita Asri Puspita Nusantara ...cm... 0 13.30 ab 15.83a 2.22 19.16a 7.75bc 4.44 14.00ab 5.27c 6.66 14.19ab 7.88bc 8.88 13.05ab 4.32c Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom kultivar dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5% Jumlah Daun Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan Kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah daun tanaman krisan hanya pada 6 MST (Tabel Lampiran 12). Kombinasi antara kultivar Puspita Asri dengan perlakuan BA 2.22 µM menghasilkan jumlah daun terbanyak yaitu sekitar 17.55 daun, sedangkan untuk kultivar Puspita Nusantara jumlah daun terbanyak yaitu 16.55 pada perlakuan tanpa BA atau kontrol (Tabel 9). Perbedaan rata-rata jumlah daun yang diperoleh antara kombinasi kulvitar Puspita Asri dengan Puspita Nusantara dengan perlakuan BA diduga karena perbedaan faktor genetik dan daya adaptasi masing-masing kultivar. Kultivar Puspita Asri memiliki daya adaptasi yang lebih pada lingkungan aklimatisasi dibandingkan Puspita Nusantara, sehingga pertumbuhannya lebih optimal. Ziv (1986) menjelaskan bahwa kondisi planlet saat aklimatisasi memiliki morfologi daun yang tidak normal, stomata yang tidak sempurna, serta daya adaptabilitas yang rendah. Tabel 9. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Jumlah Daun saat Aklimatisasi pada 6 MST BA (µM) Kultivar 0 Puspita Asri 13.10 c Puspita Nusantara 16.55ab 2.22 17.55a 11.33c 4.44 14.00abc 11.44c 6.66 14.22abc 12.44bc 8.88 13.22bc 11.88c Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom kultivar dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%. Jumlah Tunas Pada aklimatisasi, tidak terjadi penambahan jumlah tunas di setiap minggunya. Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan tunggal BA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas krisan di setiap minggu pengamatan (Tabel Lampiran 13). Hal ini berarti bahwa konsentrasi BA 0 µM, 2.22 µM, 4.44 µM, 6.66 µM, dan 8.88 µM memiliki kemampuan yang sama untuk mendorong pertumbuhan jumlah tunas tanaman krisan saat aklimatisasi. Hal ini diduga karena tidak adanya perlakuan khusus yang diberikan saat aklimatisasi. Penambahan unsur-unsur atau ZPT yang lain dengan perbandingan yang sesuai dibutuhkan agar pertumbuhan lebih optimal (Ariani dan Suryowinoto, 1994). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kultivar krisan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas yang terbentuk (Tabel Lampiran 11). Jumlah tunas krisan tidak menunjukkan peningkatan mulai 2 sampai 6 MST. Pertumbuhan yang terjadi pada tanaman mengarah pada pertumbuhan ke atas, yaitu pada tinggi tanaman. Berbeda pada saat kultur in vitro, yang pertumbuhannya lebih mengarah ke arah samping, yaitu pertambahan tunas. Hal ini diduga karena efek BA sebagai sitokinin tambahan yang dapat mendorong pertambahan tunas sudah tidak ada. Hormon endogen berperan dalam pertumbuhan tanaman saat tidak adanya perlakuan ZPT. Panjang Ruas Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap panjang ruas tanaman krisan pada aklimatisasi (Tabel Lampiran 14). Kombinasi antara kultivar Puspita Asri dengan perlakuan BA 6.66 µM menghasilkan ruas terpanjang yaitu 1.32 cm, sedangkan untuk kultivar Puspita Nusantara ruas terpanjang yaitu 1.25 cm pada perlakuan tanpa BA atau kontrol (Tabel 10). Kombinasi antara kultivar Puspita Asri dengan perlakuan BA memiliki rata-rata panjang ruas yang lebih tinggi dibanding dengan interaksi antara kultivar Puspita Nusantara dengan perlakuan BA. Hal tersebut diduga karena perbedaan genetik dan daya adaptasi dari masing-masing kultivar. Tabel 10. Pengaruh Interaksi BA dan Kultivar Krisan terhadap Panjang Ruas saat Aklimatisasi pada 6 MST BA (µM) Kultivar Puspita Asri Puspita Nusantara ...cm... 0 1.06 ab 1.25a 2.22 1.26a 0.89bc 4.44 1.20ab 0.58cd 6.66 1.32a 0.72cd 8.88 1.14ab 0.43d Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom kultivar kultivar dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5% Rata-rata panjang ruas pada saat kultur in vitro dengan saat aklimatisasi tidak berbeda jauh. Hal ini diduga karena pertumbuhan pada aklimatisasi yang belum optimal. Pertumbuhan yang optimal tersebut salah satunya dapat diduga karena kecaman atau stres pada tanaman akibat perbedaan keadaan lingkungan saat aklimatisasi dengan saat kultur. Perubahan kondisi lingkungan yang drastis, dari lingkungan terkontrol ke tidak terkontrol, dari suhu relatif stabil ke suhu lingkungan yang fluktuatif, dari kelembaban tinggi ke rendah dan fluktuatif, dan dari cahaya rendah ke cahaya tinggi pada umumnya menyebabkan tanaman mudah mengalami cekaman atau stres, kehilangan air, layu, dan mati (Winarto, 2002).