PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan radikal pada kehidupan manusia yang semakin modern berdampak pada tingkat kesehatan yang semakin menurun dan menimbulkan penyakit-penyakit baru penyebab kematian terbesar di dunia. Penyebab kematian terbesar di dunia kebanyakan merupakan penyakit degeneratif utama seperti CVD (Cardio Vascular Disease), kanker, dan diabetes. Dari data Riset Kesehatan Dasar diketahui lebih dari 1/3 kematian di dunia disebabkan oleh CVD yang meliputi penyakit jantung koroner dan stroke. Penyakit jantung dan stroke merupakan penyebab kematian utama di negara maju dan negara berkembang. Data Global Cancer Statistic menunjukkan prevalensi penderita kanker di Indonesia mencapai 4,3 tiap 1000 orang. Prevalensi Diabetes Mellitus (DM) sebesar 366 juta jiwa penduduk dunia dan 80% penderitanya merupakan penduduk negara berkembang (International Diabetes Federation, 2012) dan saat ini DM merupakan penyebab kematian terbesar ke-2 penduduk perkotaan usia 45-54 tahun (Kementrian Kesehatan, 2012). Munculnya penyakit degeneratif tidak lepas dari kebiasaan yang dilakukan masyarakat. Pola hidup dan pola makan yang tidak baik: rendah sayur dan buah, konsumsi alkohol, pangan olahan penghasil peroksida lipid, bahan kimia dalam pertanian, bahan kimia yang ditambahkan dalam pengolahan pangan, obat-obat kimia yang dikonsumsi rutin, kurang olahraga, merokok, dan tingkat polusi kendaraan bermotor yang terus bertambah menyebabkan manusia terus-menerus terpapar racun berbahaya yang dapat mengganggu metabolisme tubuh. Universitas Sumatera Utara Penyakit degeneratif dapat dicegah dengan diet pangan fungsional (Marsono, 2013). Pangan fungsional diyakini memiliki kandungan zat gizi dan non-gizi yang bermanfaat bagi kesehatan. Konsensus tahun 1996 pada The First International Conference on East-West Perspective on Functional Food mengeluarkan definisi pangan fungsional sebagai pangan yang karena komponen bioaktifnya memberikan manfaat kesehatan. Menurut Badan POM definisi pangan fungsional merupakan pangan yang secara alami atau telah melalui pengolahan mengandung senyawa-senyawa yang berdasar kajian ilmiah telah terbukti memberikan fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan dan dikonsumsi layaknya makanan/minuman bukan seperti suplemen. Antioksidan digolongkan sebagai salah satu komponen pangan fungsional menurut Badan POM. Kementrian kesehatan Jepang juga memasukkan antioksidan dan fitokimia ke dalam 12 bahan yang terbukti bermanfaat bagi kesehatan. Antioksidan dibutuhkan tubuh untuk menyumbangkan satu buah elektron kepada radikal bebas, sehingga tubuh terlindung dari kerusakan oksidatif. Radikal bebas merupakan molekul atau atom yang memiliki elektron tidak berpasangan. Radikal bebas akan mengikat elektron dari senyawa lain dan menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi berantai yang berakibat pada kerusakan sel atau menghasilkan senyawa karsinogen yang tidak stabil atau senyawa radikal. Antioksidan bekerja seperti tameng dalam mencegah terjadinya oksidasi. Radikal bebas yang dihasilkan tubuh akan diredam oleh antioksidan yang juga diproduksi di dalam tubuh (antioksidan endogen), tetapi antioksidan endogen jumlahnya terbatas. Misalnya untuk menghasilkan glutation peroksidase dibutuhkan asupan vitamin C yang harus dipenuhi dari luar tubuh (eksogen), dengan cara Universitas Sumatera Utara mengonsumsi komponen fitokimia seperti senyawa fenolik (flavonoid, asam, fenolik, tannin, dan lignan) yang banyak terdapat pada tanaman. Keanekaragaman hayati Indonesia menempati posisi ke-2 teratas setelah Brazil. Oleh sebab itu, negara ini kaya akan berbagai tanaman pangan yang diduga banyak mengandung berbagai komponen bioaktif yang dapat digunakan sebagai pangan fungsional dalam menghambat berbagai penyakit degeneratif. Indonesia dengan keadaan suhu, iklim, kelembaban, dan intensitas matahari yang tinggi menyebabkan tanaman dapat menghasilkan metabolit sekunder seperti: antibakteri, antibiotik, maupun antioksidan sebagai bentuk pertahanan diri terhadap lingkungan. Metabolit sekunder ini dapat menghambat berbagai jenis penyakit degeneratif (Murakami et al., 1996), sehingga memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan pengobatan natural dari bahan-bahan yang mengandung komponen bioaktif tersebut dalam mengimbangi harga obat sintetik yang terus membumbung tinggi. Isoflavon merupakan senyawa bioaktif alamiah yang tergolong sebagai pangan fungsional. Isoflavon merupakan bagian dari kelompok fenolik. Komponen fenolik terbukti mampu menangkal radikal bebas. Isoflavon dari kedelai telah banyak diteliti dan terbukti memberikan manfaat bagi kesehatan. Konsumsi kedelai telah dihubungkan dengan rendahnya angka kejadian kanker baik bersifat hormonal maupun tidak. Studi yang dilakukan pada hewan percobaan menunjukkan bahwa isoflavon memiliki kemampuan sebagai antikanker dan menghambat pertumbuhan sel kanker payudara dan prostat. Isoflavon kedelai juga telah dibuktikan mampu menurunkan kolesterol darah, sehingga dapat mencegah penyakit kardiovaskuler (Song, et al., 1998). Universitas Sumatera Utara Suzuki (1998) dalam Astawan (2009) melaporkan bahwa tingkat kematian akibat jantung koroner, kanker payudara, kanker rahim, dan aterosklerosis relatif rendah karena asupan makanan asal kedelai seperti tahu, natto, misso, dan susu kedelai yang relatif tinggi. Hal tersebut diduga karena peran isoflavon kedelai memiliki aktivitas biologis sebagai fitoestrogen, antioksidan, dan antimutagen. Selain kedelai, tanaman yang terkenal karena kandungan isoflavonnya adalah bengkoang. Bengkoang tergolong familia Fabaceae. Familia leguminocea dan fabaceae telah banyak dilaporkan mengandung fitoestrogen dan sangat memungkinkan banyak mengandung flavonoid, sehingga bengkoang diduga merupakan sumber antioksidan potensial serta dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan kekurangan hormon estrogen. Namun secara historis, bengkoang belum digunakan untuk menyeimbangkan hormon dan mengontrol kesuburan. Bengkoang sejak lama telah digunakan sebagai tabir surya pemutih dan penyegar kulit (Lukitaningsih, 2010). Bengkoang banyak dikonsumsi segar atau diolah minimal menjadi campuran rujak, asinan, koktail, maupun tekwan. Umur simpan umbi bengkoang relatif rendah. Pengolahan umbi menjadi tepung bengkoang dapat meningkatkan nilai ekonomis, umur simpan, dan diversifikasi produk olahan bengkoang. Bengkoang memiliki khasiat bagi kesehatan karena mengandung vitamin C, vitamin B1, protein, dan serat kasar relatif yang tinggi. Bengkoang merupakan diet rendah kalori 39 kkal/100g (Noman, et al., 2007). Rasa manis bengkoang dihasilkan oleh inulin, oligosakarida yang tidak dapat dicerna. Bengkoang kaya akan antioksidan yang mampu menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) dan gula darah, serta mencegah penyakit degeneratif seperti CVD, kanker, dan DM. Universitas Sumatera Utara Beberapa penelitian mengenai antioksidan umbi bengkoang menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Jumlah antioksidan yang berbeda dapat dihubungkan dengan ekstraksi dan jenis pelarut yang digunakan. Antioksidan yang terkandung di dalam umbi bengkoang dapat diekstrak mengggunakan berbagai pelarut, seperti: air, metanol, dan aseton. Penelitian Huerta (2005) menunjukkan total antioksidan status umbi bengkoang tertinggi terdapat pada umbi bengkoang yang diekstrak dengan pelarut metanol. Selain jenis pelarut, umur panen umbi diduga dapat mempengaruhi jumlah antioksidan dan kandungan kimia umbi bengkoang. Untuk menentukan aktivitas antioksidan, proses pertama yang dilakukan adalah mengekstrak senyawa antioksidan dari bahan. Ekstraksi berfungsi untuk mendapatkan senyawa yang homogen, sehingga tidak lagi mengandung senyawa lain yang tidak memiliki aktivitas antioksidan. Salah satu metode penentuan aktivitas antioksidan adalah DPPH. Radikal bebas DPPH (2,2-diphenyl-1picrylhydrazyl) merupakan radikal stabil, pengukurannya mudah dan akurat. Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas senyawa uji dalam mereduksi radikal bebas DPPH. Reaktivitas DPPH dengan senyawa uji ditunjukkan dengan perubahan warna ungu menjadi kuning lemah dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm (Kuncahyo dan Sunardi, 2007). Berdasarkan uraian di atas, bengkoang diduga mengandung banyak senyawa antioksidan yang diharapkan dapat mencegah penyakit degeneratif. Untuk membuktikan hal tersebut maka penelitian dengan judul “Aktivitas Antioksidan Ekstrak Umbi Bengkoang pada Berbagai Umur Panen dengan Metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl)” perlu dilakukan. Universitas Sumatera Utara Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh umur panen umbi bengkoang terhadap komposisi kimia proksimat tepung bengkoang dan rendemen ekstrak metanolik yang dihasilkan. Dari penelitian ini juga dapat diketahui metode ekstraksi senyawa antioksidan yang menghasilkan aktivitas kuat, serta untuk mengetahui pengaruh umur panen umbi bengkoang dan konsentrasi ekstrak metanolik fraksi eter/air terhadap aktivitas antioksidan yang dinyatakan dengan nilai IC50 (Inhibition Concentration 50%) Kegunaan Penelitian Hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi petani dan masyarakat untuk menentukan umur panen bengkoang sesuai karakterisktik dan tujuan pemanfaatannya. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan secara ilmiah oleh semua pihak terkait, sehingga masyarakat dapat lebih mengetahui dan memahami manfaat umbi bengkoang dan fungsi utama antioksidannya dalam melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif yang berakibat pada gangguan kesehatan seperti kanker, penyakit jantung, disfungsi immune, katarak, dan DM (Diabetes Mellitus). Hipotesis Penelitian Ada pengaruh perbedaan umur panen umbi bengkoang terhadap komposisi kimia proksimat tepung bengkoang, rendemen ekstrak metanolik, dan aktivitas antioksidan ekstrak metanolik fraksi eter/air dalam meredam radikal bebas DPPH. Diduga jenis fraksi juga berpengaruh pada aktivitas antioksidan ekstrak metanolik umbi bengkoang berbagai umur panen yang dinyatakan dengan nilai IC50. Universitas Sumatera Utara