19 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Definisi yang berbeda mengenai konstipasi telah dijelaskan oleh berbagai literatur. The North American Society of Pediatric Gastroenterology and Nutrition mendefinisikan konstipasi sebagai terhambatnya atau sulitnya defekasi yang dialami 2 minggu atau lebih, dan cukup untuk menyebabkan masalah yang signifikan pada pasien. Konstipasi dikatakan idiopatik (disebut juga fungsional) ketika tidak bisa dijelaskan adanya abnormalitas anatomi, fisiologi, radiologi atau histopatologi. Hal ini yang membedakannya dengan konstipasi sekunder akibat penyebab organik.11,12 Konstipasi merujuk pada frekuensi defekasi dan konsistensi tinja. Kedua parameter ini berubah seiring perubahan usia dan pola diet, hal ini biasanya meningkatkan kekhawatiran di kalangan orang tua yang kompulsif memantau kebiasaan defekasi anaknya. Bayi normal cenderung buang air besar setelah setiap kali pemberian makanan, tetapi pola ini bervariasi. Bayi yang diberi ASI memiliki frekuensi defekasi yang lebih sedikit dibanding bayi yang diberi susu formula konvensional. Anak diatas 6 tahun cenderung buang air besar 1 kali sehari. Frekuensi buang air besar yang berkurang harus diperhatikan jika konsistensi tinja keras, kering, besar yang tidak seperti biasanya, atau sulit untuk dikeluarkan.9 2.2. Etiologi Penyebab konstipasi pada anak dibagi menjadi organik atau fungsional. Penyebab non-organik menjadi mayoritas (95%) pada kasus konstipasi.Penyebab yang sering adalah makanan, kurangnya aktivitas, perilaku, dan masalah psikososial.5,11 Universitas Sumatera Utara 20 Konstipasi primer (fungsional/idiopatik) dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu: normaltransit constipation (NTC), slow-transit constipation (STC), dan disfungsi dasar panggul. Tipe pertama merupakan tipe tersering, dimana tinja melewati usus besar dengan kecepatan normal, tetapi pasien mengalami kesulitan untuk mengeluarkannya. Tipe kedua digambarkan dengan pergerakan usus yang jarang, penurunan urgensi, atau usaha untuk buang air besar (sering terjadi pada perempuan). Disfungsi dasar panggul digambarkan sebagai gangguan fungsi dasar panggul atau sfingter anus. Pasien tipe ini sering mengeluhkan usaha yang berkepanjangan/berlebih untuk buang air besar, perasaan tidak puas, atau penggunaan tekanan perineal atau vagina saat defekasi untuk mengeluarkan tinja.13 Penyebab organik termasuk kelainan anatomi, neuromuskular, metabolik, endokrin, dan lain-lain.11,13 Konstipasi sekunder, sebagai contoh dikarenakan hipotiroid, penyakit Hirschsprun, atau perubahan kadar kalsium, merupakan hal yang jarang terjadi dan hanya sekitar kurang dari 10% kasus. Selain itu, alergi protein susu sapi, khususnya yang tidak dimediasi IgE, berkaitan dengan dismotilitas usus besar dapat menyebabkan konstipasi, dengan salah satu penelitian memperkirakan hingga 40% kasus konstipasi yang sulit diatasi (refrakter).11,14 Pemahaman pemicu konstipasi pada anak sangat penting. Berkembangnya konstipasi fungsional pada anak merupakan proses yang dipicu oleh interaksi banyak faktor yang ada, yang berakhir pada retensi tinja yang dikehendaki, dan apabila perilaku dibiarkan akan menjadi konstipasi kronik.15 Orang tua dari anak dengan konstipasi sering mengalami konstipasi ketika masa kanak-kanak. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya factor genetik berpengaruh. Diet memainkan peran dalam volume dan konsistensi material tinja. Beberapa makanan, seperti serat sayuran, cenderung membuat tinja lunak, sebaliknya makanan dan minuman lain, Universitas Sumatera Utara 21 seperti garam kalsium dari susu sapi, cenderung menyebabkan tinja keras. Diet elemental dan kimia tertentu yang mengurangi residu makanan dan dengan demikian mengurangi frekuensi buang air besar.9 Ketika peningkatan aktivitas dan diet tinggi serat dapat bersifat protektif, faktor predisposisi yang meningkatkan risiko terjadinya konstipasi adalah usia, depresi, inaktivitas, asupan kalori yang rendah, tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah, sejumlah obat-obatan yang dikonsumsi, kekerasan fisik dan seksual, mulainya toilet training, perubahan pola makan, perubahan dari ASI menjadi susu sapi, atau perubahan dari makanan lunak menjadi padat, kelahiran saudara baru, pertama kali berada ditempat penitipan anak, bepergian, tidak tersedianya toilet.11,16 Anak yang mengalami kesulitan saat toilet training cenderung mengalami konstipasi. Anak seperti ini biasanya kurang bisa beradaptasi dan memiliki mood negatif. Selain itu, konstipasi dapat juga terjadi akibat efek sekunder dari pergi ke sekolah yang terburu-buru di pagi hari, waktu penggunaan toilet sekolah yang cepat, penundaan buang air besar karena anak lebih tertarik mengerjakan hal lain. Terkadang tinja pada anak juga keras karena asupan cairan yang kurang saat liburan atau demam.14 2.3. Epidemiologi Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak di dunia, baik di pelayanan primer maupun sekunder, serta melibatkan 40% bayi dan 30% anak usia sekolah.5,14 Prevalensi dunia secara keseluruhan bervariasi karena perbedaan diantara tiap etnis tentang konstipasi yang dialami. Prevalensi konstipasi pada anak di dunia saat ini berkisar antara 0,7% sampai 29,6%.6 Prevalensi konstipasi fungsional pada anak berkisar dari 4% sampai 36%. Di rumah sakit, 3% konstipasi Universitas Sumatera Utara 22 anak dirujuk ke bagian pediatrik dan hingga 25% ke bagian pediatrik gastroenterologi.11,14 Konstipasi lebih jarang terjadi pada penduduk Afrika berkulit hitam dibandingkan dengan penduduk Afrika berkulit putih. Hal ini menunjukkan bahwa selain diet, faktor lingkungan lain juga memainkan peranan penting.13 Adanya riwayat keluarga dijumpai pada 28-50% anak konstipasi dan insiden yang lebih tinggi dilaporkan pada kembar monozigot dibandingkan dizigot.14 Umumnya perempuan lebih sering mengalami konstipasi dibanding laki-laki dengan rasio sebesar 3 berbanding 1.13,16 Meskipun demikian, konstipasi cenderung sama pada kedua jenis kelamin dibawah usia 5 tahun, lebih sering terjadi pada perempuan diatas usia 13 tahun, dan puncak insiden pada saat toilet training sekitar usia 2-3 tahun hingga usia sebelum sekolah.5,14 2.4. Patofisiologi Konstipasi Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan persafaran yang normal dari rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum oleh feses akan merangsang sistem saraf intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter ani eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Apabila relaksasi sfingter ani interna tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna akan berkontraksi secara refleks dan untuk selanjutnya akan diatur secara volunter. Otot puborektalis akan membantu sfingter ani eksterna sehingga anus mengalami konstriksi. Apabila konstriksi berlangsung cukup lama, refleks sfingter ani interna akan menghilang diikuti hilangnya keinginan defekasi.17 Universitas Sumatera Utara 23 Patofisiologi konstipasi pada anak berkaitan dengan banyak faktor. Borowitz, dkk. melaporkan bahwa defekasi yang menyakitkan adalah pencetus dari konstipasi. Nyeri saat defekasi akan membuat anak cenderung menahan defekasinya. Selama proses tersebut, mukosa rektum akan mengabsorbsi air dari feses, sehingga feses menjadi keras dan besar. Hal ini akan mengakibatkan defekasi menjadi semakin sulit. Karena sulitnya defekasi, terkadang dapat terjadi fisura anal yang akan memperburuk nyeri yang dialami anak. Hal ini akan membuat anak semakin berusaha untuk menahan defekasinya. Siklus retensi feses ini terjadi berulang-ulang dan menjadi reaksi otomatisasi. Seiring berjalannya waktu, akumulasi feses di rektum akan menyebabkan dilatasi rektum. Dilatasi rektum akan menyebabkan kemampuan sensorik rektum berkurang bersama dengan keinginan defekasi. Proses tersebut terjadi terus menerus dan mencetuskan konstipasi.3,8,17,18 2.5. Manifestasi Klinis Gejala yang paling umum didapati adalah riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Seiring meningkatnya retensi feses, manifestasi konstipasi yang lain bermunculan seperti nyeri dan distensi abdomen yang menghilang setelah defekasi. Terkadang dijumpai riwayat feses yang keras atau feses yang sangat besar sehingga menyumbat saluran toilet. Enkopresis diantara feses yang keras sering salah didiagnosis sebagai diare.4,8,17-19 Anak yang mengalami konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan. Hal ini akan berkurang jika konstipasi teratasi. Anak sering melakukan manuver menahan feses seperti menyilangkan kedua kaki serta menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan ke belakang sehingga kadang terkesan seperti kejang. Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih sering Universitas Sumatera Utara 24 berkaitan dengan konstipasi pada anak. Semakin lama feses berada di rektum, semakin banyak bakteri berkoloni di perineum sehingga akan meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.4,8,17 Pada pemeriksaan fisik, didapati distensi abdomen dengan peristaltik normal, meningkat atau berkurang. Dapat dijumpai massa yang teraba di regio abdomen kiri dan kanan bawah serta suprapubis. Pada kasus yang berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah epigastrium. Tanda penting lain dari konstipasi adalah fisura ani dan ampula rekti yang besar.8,17,19 Nyeri perut kronis dan retensi feses dapat menyebabkan kesulitan psikososial, gangguan dalam bergaul dan tekanan pada keluarga. Anak dengan konstipasi terlihat lebih pendiam, cenderung menarik diri, malu, kurang percaya diri dan marah saat dilakukan pemeriksaan dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki kelainan serupa.4,19,20 2.6. Diagnosis Anamnesis dan pemeriksaan fisik memegang peranan penting dalam diagnosis konstipasi. Dari anamnesis dijumpai manifestasi klinis seperti disebutkan di atas.8,1719,21 Temuan klinis tersebut kemudian disesuaikan dengan kriteria diagnosis konstipasi menurut ROME III. Diagnosis ditegakkan bila dijumpai setidaknya dua gejala selama sebulan pada anak usia kurang dari 4 tahun. Untuk anak usia lebih dari 4 tahun, harus dijumpai 2 gejala atau lebih yang tidak termasuk IBS dan gejalanya harus dijumpai setidaknya sekali dalam seminggu selama 2 bulan.8,15,17,19,21 Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung kurang dari 1-4 minggu dan konstipasi dikatakan kronis apabila keluhan berlangsung lebih dari 1 Universitas Sumatera Utara 25 bulan. Pendapat lain yang diajukan oleh Croffie menyatakan bahwa konstipasi dikatakan kronis apabila berlangsung lebih dari 8 minggu.17 Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis konstipasi Berdasarkan ROME III.8,17,19 Bayi/balita (usia < 4 tahun) Dalam 1 bulan paling kurang terdapat 2 kriteria dibawah ini : ≤ 2 x defekasi/ minggu ≥ 1 x episode inkontinensia/minggu setelah memperoleh toilet skill. Riwayat retensi feses yang berlebihan atau riwayat sangat nyeri atau sembelit. Terdapat massa feses yang besar di rektum. Terdapat riwayat feses yang berukuran besar yang menyumbat toilet. Keadaan tersebut dapat disertai dengan irritabel, Penurunan nafsu makan atau tidak nafsu makan. Hal ini juga dapat disertai oleh feses yang berukuran besar. Anak usia > 4 tahun Dalam 2 bulan paling kurang terdapat 2 kriteria di bawah ini : ≤ 2 x defekasi/ minggu. ≥ 1 x episode inkontinensia/minggu. Riwayat posisi menahan atau BAB tertahan. Riwayat nyeri saat buang air besar atau tinja yang keras. Terdapat massa feses yang besar di dalam rektum. Riwayat feses yang berukuran besar yang menyumbat toilet. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pengukuran kadar hormon tiroksin dan thyroid stimulating hormone (TSH), tes serologi, foto polos Universitas Sumatera Utara 26 abdomen, barium enema, manometri anorektal dan kolon, biopsi rektum, pemeriksaan transit marker radioopaque dan ultrasonorafi abdomen. Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding konstipasi.8,17,21 2.7. Diagnosis Banding Pesudokonstipasi adalah salah satu diagnosis banding yang sering dijumpai. Pada pseudokonstipasi orang tua mengeluh bahwa anaknya menderita konstipasi padahal bukan konstipasi. Mereka mengeluh bayinya sering menggeliat, wajahnya memerah dan tampak mengejan kesakitan saat buang air besar. Perlu ditanyakan mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi, dilakukan pemeriksaan abdomen dan colok dubur. Apabila tinja lunak dan tidak dijumpai kelainan dalam pemeriksaan fisik, hal tersebut merupakan kondisi normal.17 Apabila awitan konstipasi terjadi sejak lahir, perlu dipertimbangkan diagnosis banding penyakit Hirschsprung. Jika anak demam, anoreksia, mual, muntah dan terjadi penurunan berat badan perlu dipertimbangkan penyebab organik. Terdapat beberapa diagnosis banding lain dari konstipasi yang terkait gangguan psikis, organik, paparan obat dan lain-lain.8,17,18,21 2.8. Penatalaksanaan Prinsip penanganan konstipasi adalah menentukan akumulasi feses (fecal impaction), evakuasi feses (fecal disimpaction), pencegahan berulangnya akumulasi feses dan menjaga pola defekasi menjadi teratur dengan terapi rumatan oral, edukasi kepada orang tua dan evaluasi hasil terapi. Perlu dijelaskan kepada orang Universitas Sumatera Utara 27 tua bahwa penatalaksanaan konstipasi memakan waktu yang lama dan tidak ada solusi cepat pada kondisi tersebut.8,17,21 Edukasi kepada orang tua termasuk penjelasan patogenesis penyakit adalah langkah awal dari penatalaksanaan konstipasi. Edukasi kepada orang tua penting dilakukan agar mereka dapat mengatur pola makan yang tepat dan menghilangkan mitos-mitos yang tidak benar seputar konstipasi. Selain itu, edukasi kepada orang tua juga akan mengurangi kecemasan merekadan meningkatkan kemauan mereka untuk terlibat dalam penatalaksanaan.8,18,21 Evakuasi feses dapat dilakukan dengan terapi lewat rektum atau oral. Program evakuasi feses biasanya dilakukan selama 2-5 hari sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap dan sempurna. Terapi oral yang diberikan adalah mineral oil (paraffin liquid) dengan dosis 15-30 ml/tahun, maksimal 240 mL/hari kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) juga dapat diberikan dengan dosis 20 mL/kgBB/jam, maksimal 1.000 mL/jam yang diberikan dengan pipa nasogastrik selama 4 jam/hari. Evakuasi feses lewat rektum dapat dilakukan dengan mengunakan enema fosfat hipertonik (dengan dosis 3 mL/kgBB, 2 kali sehari, maksimal 6 kali enema), enema garam fisiologis (dengan dosis 600-1000 mL) atau mineral oil 120 mL. Pada bayi digunakan supositoria atau enema gliserin 2-5 ml.8,17,18,21 Universitas Sumatera Utara 28 Tabel 2.2. Pilihan Terapi Farmakologis untuk Konstipasi dan Efek Sampingnya.18 Laxativ dosis Osmotik laktulose 1-3 ml/kg/hr dosis terbagi tersedia sebagai larutan 70% menimbulkan gas, kejang pada perut sarbitol 1-3 ml/kg/hr dosis terbagi tersedia sebagai larutan 70% sama seperti laktulose extrak gandu 2-10 ml/240 ml dari susu atau jus magnesium hidroxide magnesium citrat 1-3 ml/kg/hr bayi rentan keracunan <6thn, 1-3 ml/kg/hr 6-12 thn, 100-150 ml/hr >12 thn, 150-300 ml/hr Dalam dosis terbagi bayi mudah keracunan magnesium PEG 3350 Suntikan osmotik Suntikan fospa LAVAGE Polyetylene Glycol-cairan Elektrolit Lubricant Mineral oil Stimulant Senna Bisacodil side efek keterangan lebih mahal dari laktulose cocok untuk minum bayi dari botol 1-1.5 g/kg/hr untuk 3 hr rasanya enak dan Diterima anak < 2thn tidak boleh diberikan ≥ 2 thn 6 ml/kg hingga 135 ml resiko trauma pada dinding anus, distensi perut, muntah beberapa anion akan diserab, tapi bila ginjal Normal keracunan tdk Terjadi. 25 ml/kg/hr (hingga 1000 ml/hr) (hingga 1000 ml/hr) melalui selang Nasogastrik sampai bersih atau 20 ml /kgbb/hr. Utk maintenance : utk anak Yang lebih tua 5-10 ml/kgbb/hr mual, perdarahan, kram perut, muntah, iritasi anus < 1 thn tidak direkomendasikan 15-30 ml/thn umur, hingga 210 ml/hr. Maintenance 1-3 ml/kg/hr. aspirasi lipoid pneumoni, Secara tiori dapat dapat Diserab dan larut dalam Lemak. Nyer perut, catartic Colon. BAB yang lunak, dan me nurunkan penyerapan air. 2-6 tahun : 2,5-7,5 ml/hr: 6-12 tahun ; 15 ml/hr. Persediaan : syr 8,8 mg Tersedia juga tablet kecil idiosintatik hepatitis, melanosis Coli, hipertrofik osteoartropati, analgetik nefropati. melanosis coli membaik setelah 4-12 minggu obat Dihentikan. ≥2 thn : 0.5-1 supositori 1-3 Tablet per dosis. Tersedia dalam 5 mcg tablet. 10 mcg supositori nyeri perut, diare,hipokalemi Mukosa rektal abnormal, proktitis Gliserin sebagian informasi diperoleh dari total irigasi colon, mungkin membutuhkan selang nasogastrik tidak ada efek samping. Terapi rumatan dilakukan dalam jangka waktu lebih lama yaitu beberapa bulan bahkan tahun untuk mencegah berulangnya konstipasi. Aspek penting dari terapi rumatan jangka panjang adalah membentuk kebiasaan defekasi yang teratur. Beberapa cara untuk metode ini antara lain modifikasi perilaku, pemberian diet serat, laksatif, terapi farmakologis dan pendekatan psikologis. Jumlah serat yang dianjurkan untuk dikonsumsi anak adalah 19-25 gram/hari dan pada kasus konstipasi jumlahnya ditingkatkan sampai 25-38 gram/hari. Serat diperoleh dari buah-buahan. Modifikasi perilaku dilakukan dengan melatih anak buang air besar Universitas Sumatera Utara 29 saat motilitas kolon paling tinggi (setelah bangun tidur dan setelah makan pagi atau malam). Diberikan waktu 10-15 menit bagi anak untuk buang air besar agar anak tidak tertekan. Toilet training juga dianjurkan untuk anak berusia 18 bulan sampai 3 tahun. Latihan dan aktivitas fisik bermanfaat dalam membantu melatih otot-otot yang mengatur defekasi dan memperbaiki gerakan usus. Penambahan asam palmitat, prebiotik oligosakarida dan whey protein yang terhidrolisa dapat melunakkan feses. Probiotik seperti Bifidobacterium lactis, Lactobacillus reuteri dan Lactobacillus casei rhamnosus bermanfaat dalam meningkatkan frekuensi defekasi.8,17,18,21 Gambar 2.1. Diagram Penatalaksanaan Konstipasi pada Anak.17 Konstipasi Evaluasi klinis dari riwayat dan hasil pemeriksaan Menentukan Penyebab karena penyakit organik Pemeriksaan yang sesuai positif negatif Penanganan khusus Konstipasi fungsional Latihan ke toilet dan penjelasan mengidentifikasi dan menyisihkan faktor resiko. Pengosongan rektal dari massa feses Pemberian PEG oral Respon negatif respon enema / supositoria maintenance Universitas Sumatera Utara 30 Osmotik laksatif laksatif stimulan Tidak ada respon respon follow up selidiki perjalanannya Manometri colon abnormal pemberhentian obat bertahap Operasi -Prosedur ACE -Reseksi sigmoid Manometri anorektal abnormal biofeedback 2.9. Komplikasi dan Prognosis Tingginya proporsi kekambuhan telah dilaporkan setelah keberhasilan penatalaksanaan awal. Kekambuhan ini dilaporkan lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Meskipun demikian, anak dengan konstipasi dibawah usia 5 tahun memiliki prognosis yang baik, dengan konstipasi dapat diatasi pada 88% anak pada kelompok usia ini.7 Konstipasi fungsional biasanya dapat diatasi dengan penatalaksanaan rutin walaupun kegagalan dilaporkan pada 20% anak.5,11 Anak yang tidak mengalami perbaikan datang dari keluarga dengan masalah psikososial, dimana diduga akibat menurunnya tingkat kepatuhan mengkonsumsi obat.14 Prognosis sembuh total yang didefinisikan sebagai tidak adanya inkontinensia fekal dan konstipasi, telah dilaporkan sebanyak 45% pada follow up 5 tahun.11 Pada 50% anak umumnya dengan konstipasi kronik akan sembuh setelah 1 tahun dan 65% sampai 70% setelah 2 tahun, dengan angka keberhasilan lebih tinggi pada keluarga yang termotivasi dan patuh. Dua penelitian menunjukkan 34% sampai 47% kasus menetap 3-12 tahun setelah memulai pengobatan.14 Universitas Sumatera Utara 31 Durasi konstipasi yang panjang sebelum didiagnosis berkaitan dengan hasil yang lebih buruk.4 Selain itu,Onset gejala yang lebih awal pada tahun pertama, riwayat konstipasi pada keluarga, percaya diri yang rendah dan kekerasan seksual berkaitan dengan prognosis yang buruk.11 Diagnosis yang cepat dan penatalaksanaan yang efektif dapat memberikan hasil yang lebih baik.4 Jika konstipasi terus berlanjut maka beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah inkontinensia fekal dan urin, hemoroid, fisura anus, impaksi fekal, perdarahan rektum, infeksi saluran kemih, obstruksi atau perforasi usus, prolaps rektum, dan lazy bowel syndrome (akibat ketergantungan laksatif). Meningkatnya tekanan intratoraks akibat usaha mengedan saat defekasi dapat mereduksi aliran arteri koroner, serebral serta perifer, dan dapat menyebabkan terjadinya hernia, perburukan refluks gastroesofageal, serangan iskemik transien dan sinkop pada pasien yang lebih tua.12,22 2.10. Konstipasi dan Kualitas Hidup Anak Meskipun konstipasi jarang berhubungan dengan komplikasi yang mengancam nyawa, anak dengan konstipasi akan mengalami gangguan kualitas hidup yang signifikan dibandingkan dengan populasi anak normal. Kualitas hidup berkaitan erat dengan kesejahteraan emosional dan fisik anak. Sebagai tambahan, bukan hanya kualitas hidup anak yang terganggu, melainkan kualitas hidup keluarga secara keseluruhan. Orang tua dan keluarga yang memiliki anak dengan konstipasi menunjukkan penurunan kualitas hidup di berbagai aspek.4,6,7,10,19 Penelitian di New jersey dari tahun 2002 sampai oktober 2003 membandingkan kualitas hidup anak dengan konstipasi beserta keluarganya dengan anak yang memiliki kelainan berupa Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan Universitas Sumatera Utara 32 Gastoesophageal Reflux Disease (GERD) serta kelompok anak normal dan keluarganya. Hasilnya menunjukkan bahwa anak dengan konstipasi memiliki ratarata kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan anak dengan IBD, GERD dan anak normal. Kualitas hidup anak yang rendah berkaitan dengan nyeri perut dan defekasi yang menyakitkan. Kualitas hidup orang tua anak dengan konstipasi menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan anak mereka sendiri. Orang tua anak dengan kelainan saluran cerna menunjukkan nilai kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan orang tua anak normal. Diantara kelainan yang diteliti, orang tua anak dengan konstipasi memiliki nilai kualitas hidup yang paling rendah. Lamanya gejala kontipasi pada anak dan adanya riwayat konstipasi pada keluarga berhubungan dengan rendahnya nilai kualitas hidup orang tuanya. Penelitian ini masih memiliki kekurangan karena menggunakan PedsQL yang menilai kualitas hidup anak secara umum dan tidak spesifik untuk konstipasi.4,20 Total skor nilai dari penyakit Skor Kualitas hidup Gambar 2.2. Nilai Total Kualitas Hidup Anak Berdasarkan PedsQL. HC= kelompok anak normal, IBD= kelompok anak dengan IBD, GERD= kelompok anak dengan GERD, CONS= kelompok anak dengan konstipasi.4 Penelitian di China tahun 2013 dengan menggunakan instrumen HRQOL menunjukkan bahwa nilai kualitas hidup anak dan orang tua dengan konstipasi lebih Universitas Sumatera Utara 33 rendah secara signifikan dibandingkan dengan anak yang normal. Hal-hal yang mempengaruhi hasil tersebut antara lain usia anak, hubungan anak dengan pengasuh, lamanya konstipasi, frekuensi defekasi, defekasi yang menyakitkan, nyeri perut yang tidak spesifik, tingkat pendidikan pengasuh, HRQOL dari pengasuh dan status ekonomi keluarga. Kelemahan penelitian ini sama dengan kelemahan pada penelitian yang dilakukan oleh Youssef, dkk. yaitu terkait instrumen penilaian kualitas hidup yang digunakan.19 Tabel 2.3. Nilai Rata-rata Kualitas Hidup Menurut PedsQL.19 Menurut penelitian di Srilanka melakukan penelitian terhadap anak berusia 13-18 tahun pada 4 sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa kualitas hidup terkait kesehatan pada anak dengan konstipasi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol pada keempat domain penilaian. Hal-hal yang berkaitan dengan kualitas hidup pada penelitian itu antara lain nyeri abdomen dan keparahan gejala saluran cerna. Selain itu, gejala somatik juga dijumpai lebih sering pada anak dengan konstipasi dibandingkan dengan anak normal. Universitas Sumatera Utara 34 Tabel 2.4. Nilai Rata-rata Kualitas Hidup Menurut PedsQL.20 Penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan antara konstipasi dengan kualitas hidup anak dilakukan di Australia dengan instrumen penilaian PedsQL, di Brazil dengan instrumen penilaian CHQ-PF50 dan di Belanda dengan instrumen penilaian DDL. Semua penelitian tersebut menunjukkan kualitas hidup yang lebih rendah pada anak dengan konstipasi dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.10,20 Penelitian di Amsterdam tahun 2009 terhadap orang dewasa muda yang mengalami konstipasi pada masa anak-anak di Belanda. Dari penelitian tersebut, dilaporkan bahwa kualitas hidup terkait kesehatan pada orang dewasa muda yang menjalani pengobatan dengan sempurna tidak berbeda dengan kelompok dewasa muda yang sehat. Perbedaan kualitas hidup terlihat pada kelompok dewasa muda yang gagal menjalani pengobatan dan tetap mengalami konstipasi sampai usia dewasa. Kelompok tersebut mengeluhkan nyeri saat berdefekasi dan penurunan kualitas kesehatan secara umum sehingga mengganggu kehidupan sosial mereka. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengobatan konstipasi yang tepat dan tuntas untuk memperbaiki kualitas hidup pasien.7 Universitas Sumatera Utara 35 2.11. Penilaian Kualitas Hidup Anak Penilaian kualitas hidup anak terkait kesehatan dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Terdapat berbagai kuesioner yang memiliki spesifisitas masing-masing dalam menilai kualitas hidup pasien terkait usia dan penyakit yang diderita. Pemilihan kuesioner yang tepat sangatlah penting dalam mendeteksi aspek spesifik dari kesejahteraan pasien. Kuesioner yang spesifik terhadap suatu penyakit akan cenderung menilai akibat dari penyakit itu sendiri tanpa mendeteksi perubahan umum dari fungsi keseharian pasien. Oleh karena itu, kuesioner yang optimal adalah kuesioner yang menggabungkan aspek spesifik dan umum dari kualitas hidup. Namun hal ini akan menambah kerumitan dari penelitian dan memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi kuesioner tersebut.10 Kuesioner yang bersifat umum untuk pasien anak antara lain PedsQL dan CHQ-PF50. PedsQL dikembangkan oleh Varni, dkk. yang terdiri dari pertanyaan untuk penilaian terhadap anak dan orang tua yang telah divalidasi untuk anak usia 28 tahun. Orang tua dan anak menjawab pertanyaan tersebut secara terpisah dan pertanyaan biasanya dibacakan untuk anak kurang dari 7 tahun. Terdapat 23 pertanyaan yang menilai fungsi fisik, emosi, sosial dan sekolah. Setiap pertanyaan dinilai dengan 5 skala secara berurutan dimana 0 berarti “bukan merupakan masalah” dan 4 berarti “selalu menjadi masalah”. Skala penilaian dikonversi menjadi nilai bulat dimana semakin tinggi nilai bulat, semakin baik kualitas hidup.4,10,19 CHQPF50 terdiri dari 50 pertanyaan untuk menilai kesejahteraan psikososial dan fisik anak usia 5-18 tahun. Terdapat 15 domain kesehatan yang dinilai dari 50 pertanyaan di dalam kuesioner tersebut. Setiap domain akan diberi nilai 0-100 dimana semakin tinggi nilainya, maka semakin baik kualitas hidup pasien.Instrumen penilaian kualitas hidup yang spesifik untuk konstipasi adalah Defecation Disorder Universitas Sumatera Utara 36 List (DDL). Kuesioner ini ditujukan kepada anak usia 7-15 tahun. Kuesioner ini terdiri dari 37 pertanyaan yang mencakup 4 domain yaitu konstipasi, fungsi emosi, fungsi sosial dan pengobatan atau intervensi.10 Gambar.2.3. Kerangka konseptual Asupan cairan Aktivitas anak Obat yang Asupan serat diminum Penderita konstipasi Rome Criteria III Konstipasi fungsional Kualitas hidup PedsQL Tanpa Konstipasi fungsional Kualitas hidup PedsQL : yang diamati dalam penelitian : Kualitas hidup Universitas Sumatera Utara