Program Stimulus Sangat Lemah Kamis, 5 Februari 2009 JAKARTA (Suara Karya): Perencanaan dan implementasi program stimulus fiskal untuk mengantisipasi dampak krisis keuangan global sangat lemah. "Sangat sulit mengharapkan peranan kebijakan fiskal yang lebih agresif untuk memulihkan ekonomi Indonesia. Ini karena adanya kelemahan dalam perencanaan dan implementasi stimulus serta track record of underperformance (rekam jejak otoritas fiskal," kata ekonom Economics, Industry, and Trade (Econit) Advisory Group, Rizal Ramli, di Jakarta, Rabu (4/2). Padahal, menurut Rizal, ini salah satu motor, bahkan satu-satunya motor, pertumbuhan yang diharapkan menjadi bagian dari kebijakan yang ada terkait masalah fiskal. Apalagi efektivitas penggunaan kebijakan moneter dalam bentuk pelonggaran likuiditas dan penurunan tingkat bunga sudah sangat terbatas. Belum lagi dampak kebijakan likuiditas dan tingkat bunga yang terlalu longgar, justru dapat memicu tekanan spekulatif dan nilai tukar rupiah. Jadi, harapannya tinggal pada kebijakan fiskal. "Tapi sayangnya efektivitas kebijakan fiskal selama empat tahun terakhir sangat rendah. Seperti tingkat penyerapan anggaran dan pencapaian sasaran-sasaran ekonomi makro yang nyaris tidak pernah tercapai," ujarnya. Menurut Rizal, jika dalam kondisi normal saja efektivitas kebijakan fiskal sangat rendah, maka sulit diharapkan kebijakan fiskal akan efektif pada saat terjadi perlambatan perekonomian. Apalagi setelah lima kali berganti-ganti penetapan besaran stimulus fiskal, pemerintah akhirnya mengumumkan anggaran stimulus sebesar Rp 71,3 triliun. Sebagian besar stimulus fiskal itu (sekitar 81 persen) adalah dalam bentuk potongan pajak. Ini hanya berakibat pada pengurangan potensi penerimaan pajak, bukan pengeluaran langsung pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi. "Pola stimulus seperti ini sangat berbeda dengan program stimulus yang dilakukan negara-negara lain. Mereka lebih mengutamakan pengeluaran langsung untuk memacu pemulihan ekonomi," tuturnya. Utang Di sisi lain, Econit juga mengingatkan bahwa tingkat bunga pinjaman luar negeri akan melambung pada 2009. Untuk itu, pemerintah harus hati-hati merealisasikan pinjaman luar negeri untuk menutup defisit dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2009. "Dalam suasana pasar yang berat seperti sekarang ini, sulit menerbitkan pinjaman sebesar itu. Kalaupun dilakukan, biaya bunganya akan jauh lebih tinggi," kata Rizal. Pernyataan Rizal terkait rencana pemerintah menerbitkan global bond hingga miliaran dolar AS untuk menutup defisit APBN 2009 yang meningkat dari 1,0 persen menjadi 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Menurut dia, krisis keuangan menyebabkan negara-negara maju harus mengalokasikan dana yang sangat besar untuk biaya penanggulangan krisis. Ini termasuk biaya penyelamatan bank-bank dan stimulus untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Di AS, misalnya, biaya krisis dapat mencapai 3,5 triliun dolar AS, sehingga defisit anggaran pada 2009 diperkirakan akan mencapai 25 persen dari PDB. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara lain. Namun pembiayaan defisit yang sangat besar itu pada suatu saat akan menaikkan tingkat bunga internasional dan mengakibatkan crowding out atau semakin sulitnya negara berkembang mendapatkan akses kredit dan pasar uang. Econit juga mengingatkan bahwa jumlah utang Indonesia pada saat ini sudah semakin besar dan akan terus besar dengan rencana pemerintah menaikkan defisit APBN 2009 itu. "Memang 10 tahun lalu (1997-1998), rasio utang terhadap PDB lebih tinggi (50 persen) dibanding tahun 2008 (37,3 persen)," katanya. Tetapi stok utang pada 2008 ini telah mencapai 146 miliar dolar AS atau lebih tinggi daripada stok utang pada 1997 yang hanya 129 miliar dolar AS. (Indra)