BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejadian kasus infeksi disebabkan oleh bakteri yang terjadi di Indonesia masih tergolong banyak. Berdasarkan kajian yang dilakukan Kementerian Kesehatan dalam riset kesehatan dasar tahun 2013, kelompok umur yang sering mengalami kejadian infeksi adalah balita yang disebabkan oleh kekebalan tubuh yang belum terbentuk sempurna. Penggunaan obat golongan antibiotik sebagai terapi kuratif pada pasien infeksi telah umum dilakukan, bahkan terkadang pemberian obat melebihi batas yang dianjurkan (Depkes RI, 2011). Hal negatif yang terjadi akibat pemberian antibiotik yang berkelanjutan dan berlebihan bagi pasien antara lain mengakibatkan terjadinya reaksi hipersensitif, alergi, dan imunosupresi (Schinor et al., 2007). Penggunaaan antibiotik dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten. Resistensi bakteri terhadap antibiotik menyebabkan obat perlu ditingkatkan ke level yang lebih tinggi dan menyebabkan harga jual obat lebih mahal (Utami, 2012). Harga obat yang mahal menyebabkannya tidak terjangkau bagi semua lapisan masyarakat sehingga kejadian infeksi masih tetap tinggi dan menjadikannya kurang efektif untuk digunakan sebagai terapi kuratif. Pengobatan secara alami dengan menggunakan bahan-bahan alami sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk menghindari efek samping dari obatobat tertentu yang akan merugikan tubuh serta melihat dari keterjangkauan harga obat yang dibuat dari bahan alami dari lingkungan sekitar. Terapi kuratif tidak hanya dilakukan dengan cara konvensional seperti meminum 3 obat pada umumnya, namun bisa dilakukan dengan makan makanan tertentu yang mempunyai efek baik terhadap kesehatan. Penggunaan unsur tanaman untuk pengobatan dan kesehatan disebut dengan nutraceutical atau pangan fungsional. Nutraceutical adalah istilah yang diciptakan oleh Stephen DeFelice pada tahun 1979 (DeFelice, 1992). Istilah ini didefinisikan sebagai makanan atau bagian dari makanan yang dapat menyumbangkan manfaat bagi kesehatan meliputi pencegahan dan pengobatan penyakit selain fungsi dasarnya sebagai penyedia zat gizi (Tapas et al., 2008; Palupi, 2013). Alasan pemilihan bahan makanan sebagai terapi pengobatan dan pencegahan penyakit adalah karena mudah didapat di pasar, harga yang terjangkau, dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Labu kuning atau biasa disebut waluh merupakan bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Bahan makanan ini biasanya diolah sebagai lauk sayuran atau diolah sebagai makanan ringan (Purwanto et al., 2013). Tekstur yang lembut membuat bahan makanan ini biasa digunakan sebagai makanan pendamping ASI untuk bayi diatas 6 bulan. Labu kuning akan sangat berlimpah ketersediaannya terutama disaat panen dengan jumlah cukup banyak hingga 40 ton per hektar lahan dalam waktu yang singkat sekitar 2 bulan setelah penanaman (Rukmana, 1998). Selain kemudahan dalam budidaya, kelebihan beberapa jenis labu kuning adalah masa simpan yang lama, yakni sekitar 6-9 bulan dengan catatan buah dalam keadaan utuh dan tidak rusak (Rukmana, 1998). Kemudahan mendapatkan labu kuning membuatnya dapat dengan mudah diterapkan sebagai makanan fungsional di masyarakat. Syarat makanan fungsional adalah bentuk pangan bukan kapsul, tablet, atau serbuk dan berasal dari 4 bahan-bahan alami, serta dapat dikonsumsi sebagai bagian dari diet seharihari, dan mempunyai fungsi tambahan selain fungsi utama sebagai makanan pada umumnya (Palupi, 2013). Buah labu kuning mempunyai kandungan fitokimia yang diyakini dapat menjadi agen antibakteri terhadap gram positif maupun negatif (Gurav et al., 2014; Patel et al., 2013; Pupovic, 1971). Sehingga peneliti ingin mengetahui alternatif terapi antibiotik melalui buah labu kuning mengingat masih banyak kejadian infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mengkonsumsi makanan yang bermanfaat sebagai antibakteri mampu mengatasi masalah infeksi dengan memberikan waktu kepada sistem imun tubuh untuk bekerja membersihkan agen infeksi (Byarugaba, 2010). Kejadian infeksi umumnya disebabkan oleh bakteri gram negatif maupun positif, namun disini peneliti memfokuskan pada bakteri gram negatif yang diwakili oleh Escherichia coli. Bakteri ini dipilih karena kejadiannya dalam menyebabkan infeksi di masyarakat adalah yang tertinggi (Gaynes et al., 2005). Escherichia dapat menyebabkan infeksi apabila jumlahnya ≥ 105 CFU/ml (Oyetayo, 2004; Campanha et al., 1999). Sedangkan pada penelitian lain digunakan jumlah minimal bakteri 106 CFU/ml dan menghasilkan infeksi yang masih tergolong ringan (Nuraida et al., 2012). Penelitian ini akan melihat apakah labu kuning efektif digunakan sebagai salah satu bahan makanan yang mempunyai daya antibakteri, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai rujukan dalam penanganan maupun antisipasi kejadian infeksi. 5 B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut, timbul masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah ekstrak labu kuning dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli? 2. Apakah ekstrak labu kuning dapat membunuh Escherichia coli? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terbagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus : 1. Tujuan umum, yaitu untuk mengetahui daya antibakteri ekstrak labu kuning (Cucurbita maxima) terhadap pertumbuhan Escherichia coli ATCC 35218. 2. Tujuan khusus, yaitu : a) Mengetahui kadar hambat minimal (KHM) ekstrak labu kuning terhadap bakteri gram negatif Escherichia coli ATCC 35218. b) Mengetahui kadar bunuh minimal (KBM) ekstrak labu kuning terhadap bakteri gram negatif Escherichia coli ATCC 35218. D. Manfaat Penelitian 1. Mengetahui manfaat lebih lanjut buah labu kuning sebagai antibakteri. 2. Memberikan tambahan referensi kajian pemanfaatan labu kuning sebagai makanan nutraceutical. E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian oleh Singh (2012) dengan judul “Phytochemical Determination and Antibacterical Activity of Trichosanthes dioica Roxb (Patal), Cucurbita maxima (Pumpkin) and Abelmoschus esculentus Moench (Okra) Plant 6 Seeds”, dilakukan dengan menguji tiga ekstrak biji tanaman meliputi uji fitokimia bahan meliputi tanin, saponin, flobatanin, terpenoid, flavonoid, glikosida, antraquinon, antraquinon bebas, karotenoid, alkaloid, dan gula reduksi serta uji antibakteri terhadap bakteri Bacillus subtilis, Escherichia coli, Pseudomonas fluorescens, Staphylococcus aureus dan Kliebsiella pneumonia yang terdapat di laboratorium sains Department of Life Science National Institute of Technology, Rourkela, Odisha, untuk mengetahui zona hambat. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak biji tanaman uji mempunyai beberapa senyawa kimia yang dapat bertanggungjawab atas aksi farmakologis salah satunya sebagai antibakteri. a) Persamaan : Meneliti tanaman jenis Cucurbita maxima, dan pengujian terhadap antibakteri Escherichia coli dengan menggunakan zona hambat, b) Perbedaan : Bagian yang diuji adalah biji labu kuning, dan pengujian aktivitas antibakteri didahului dengan pembuktian fitokimia bahan uji. 2. Penelitian dilakukan oleh Sharma et al. (2013) dengan judul “Preliminary Phytochemical Evaluation of Seed Extracts of Cucurbita maxima Duchesne”, yaitu meneliti tentang kandungan fitokimia biji labu kuning. Penelitian dibagi dua tahap yaitu evaluasi fisikokimia dan fitokimia. Uji fisikokimia antara lain penetapan kadar abu, penetapan susut pengeringan, dan kadar ekstraktif. Kemudian dilanjutkan dengan uji fitokimia dengan mengekstrak biji menggunakan tiga pelarut yang berbeda, yaitu pelarut petroleum eter, etil asetat, dan alkohol. Kemudian ketiga ekstrak diujikan pada kandungan fitokimia dengan menggunakan 7 prosedur yang telah ditetapkan. Hasil dari penelitian berguna sebagai standarisasi dalam persiapan penelitian sejenis yang akan dilakukan di kemudian hari karena menyajikan beberapa informasi terkait identifikasi, autentifikasi, dan komponen kimia bahan uji. a) Persamaan : Meneliti tanaman jenis Cucurbita maxima, dan pengekstrakkan bahan menggunakan jenis alkohol. b) Perbedaan : Penelitian ini dilakukan terhadap sifat fitokimia & fisikokimia bahan uji, subjek penelitian adalah biji labu kuning, dan pengekstrakkan menggunakan 3 pelarut yang berbeda. 3. Penelitian berkaitan dengan labu kuning juga dilakukan oleh Saravanan dan Manokaran (2012) dengan judul “Physico-Chemical Studies and Evaluation of Diuretic Activity of Cucurbita maxima”. Pengujian dilakukan dengan menggunakan hewan uji berupa tikus albino dengan berat 150220 gram yang dibagi menjadi 4 grup. Grup perlakuan meliputi kontrol, grup obat diuretik standar acetazolamide, ekstrak labu dengan kadar 150 mg/kg berat tikus, dan ekstrak labu dengan kadar 300 mg/kg berat tikus. Hasil penelitian diketahui bahwa aksi diuretik ekstrak 150mg/kg kurang signifikan, sedangkan ekstrak 300 mg/kg berpengaruh signifikan sesuai dengan standar obat asetazolamid. a) Persamaan : Menggunakan tanaman jenis Cucurbita maxima. b) Perbedaan : Bagian yang diuji adalah pulp labu kuning, objek penelitian adalah tikus albino, pengujian dilakukan untuk melihat aktivitas diuretik, dan pengujian dibandingkan dengan kontrol menggunakan obat standar. 8 4. Penelitian mengenai labu jenis Cucurbita maxima dilakukan pula oleh Patel et al. (2013) dengan judul “Evaluation of Anti-Inflammatory Activity of Cucurbita maxima Fruit”. Penelitian dilakukan dengan mengekstrak buah labu menggunakan metanol (polar) dan petroleum ether (non polar). Kemudian dicari kadar polifenol serta flavonoid bahan. Objek penelitian ini adalah tikus albino yang dibagi menjadi 4 grup dan masing-masing terdiri dari 6 tikus. Penelitian dilakukan dengan membagi grup menjadi kelompok kontrol, kelompok berpenyakit yang hanya diberi karagenan sebagai penginduksi udema, kelompok standar dengan pemberian obat, serta kelompok uji dengan pemberian ekstrak labu kuning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak labu kuning jenis Cucurbita maxima dapat menjadi agen antiinflamasi dibuktikan dengan aksi penghambatannya terhadap edema tikus yang diinduksi oleh karegenan. a) Persamaan : Menggunakan buah labu jenis Cucurbita maxima, dan menggunakan grup kontrol terhadap grup uji. b) Perbedaan : Meneliti tentang efek antiinflamasi ekstrak labu kuning, dan pengekstrakkan menggunakan dua jenis bahan, yaitu petroleum ether dan metanol. 5. Penelitian lain dilakukan di India oleh Gurav et al. (2014) dengan judul “In Vitro Qualitative And Quantitative Phytochemical Analysis of Ethanolic and 50% Ethanolic Extracts of Tinospora Coordifolia, Momordica Charantia, Cucurbita Maxima, and Raphanus Sativus”. Penelitian secara kualitatif dilakukan dengan menguji keberadaan alkaloid, fenol, saponin, dan tanin pada tiga bahan uji yang masing-masing diekstrak dengan menggunakan etanol absolut dan etanol 50%. Sedangkan penelitian 9 secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung jumlah total flavonoid dan total fenol. Hasilnya diketahui bahwa beberapa senyawa dapat teridentifikasi dengan baik pada ekstraksi menggunakan etanol 50% dibandingkan dengan etanol absolut. Pada pengujian kuantitatif didapat hasil dengan nilai yang lebih tinggi pada pengekstrakkan dengan etanol 50% dibandingkan dengan etanol absolut. a) Persamaan : Menguji buah labu kuning jenis Cucurbita maxima, dengan pengekstrakkan menggunakan etanol. b) Perbedaan : Menguji fitokimia bahan uji secara kualitatif dan kuantitatif, esktraksi dilakukan dua macam konsentrasi etanol, yakni etanol absolut 100% dan etanol 50%. 10