usulan penelitian

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifkasi dan botani sengon
Sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang tumbuh cepat di daerah
tropis dan ditemukan pertama kali oleh Teysman di Pulau Banda pada tahun 1871
(Santosa 1992). Jenis-jenis P. falcataria terdapat di berbagai macam habitat dari
permukaan laut hingga ketinggian 1600 m atau lebih, di hutan primer terutama di
hutan basah sekunder di dataran rendah, juga di hutan pegunungan, hutan lumut,
dan dataran berumput atau di sepanjang tepi jalan dekat laut. Tumbuh pada tanah
berpasir dan pada tanah laterit dengan drainase cukup baik.
Di Indonesia, P. falcataria mempunyai nama daerah bermacam-macam. Di
Jawa misalnya dikenal dengan nama jeunjing, sengon laut, albizia, sengon landak,
sengon lendi, sengon sarang dan kalbi. Di Sulawesi dikenal dengan nama tedehu
pute, sedangkan di Maluku dikenal dengan nama rawe, selawoku, selawoku
merah, sika, sika bot, tawasela atau sikas dan di Irian Jaya dikenal dengan nama
bae, bai, wahogon, wai atau wikie. Di Madura dikenal dengan nama jing laut
sedangkan di Malaysia dan Brunei Darussalam dikenal dengan nama puah dan
batai atau kayu macis (Samingan 1982).
Gambar 2. Pohon sengon
6
Menurut Samingan (1982) sistematika taksonomi Paraserianthes falcataria
adalah sebagai berikut :
Divisi
: Spermatophita
Sub-divisi
: Angiospermae
Klas
: Dikotyledone
Ordo
: Rosales
Famili
: Leguminoseae
Sub-famili
: Mimosaceae
Genus
: Paraserianthes
Spesies
: Paraserianthes falcataria
Sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang tumbuh cepat di daerah
tropis dan ditemukan pertama kali oleh Teysman di Pulau Banda pada tahun 1871
(Santosa, 1992). Pada umur satu tahun dapat mencapai tinggi 7 m dan pada umur
12 tahun dapat mencapai tinggi 39 m dengan diameter 63,5 cm. Diameter pohon
yang sudah tua dapat mencapai 100 cm dan kadang- kadang lebih. Batang
umumnya tidak berbanir, lurus dan silindris. Kulit licin berwarna abu-abu atau
kehijau- hijauan. Tajuk berbentuk perisai, jarang dan selalu hijau (Hidayat et al.
2002).
Kayu sengon termasuk kelas kuat dan kelas awet IV – V (Abdurachman &
Hadjib 2009). Sengon merupakan salah satu jenis pohon yang dikembangkan
dalam program Hutan Tanaman Industri. Tanaman ini mempunyai sifat-sifat
unggul yaitu dapat tumbuh cepat pada tanah miskin hara dan drainase yang
kurang baik, batang lurus, dan multi guna sebagai kayu pertukangan maupun
bahan baku industri pulp. Sifatnya yang tumbuh cepat sangat sesuai digunakan
dalam reboisasi dan penghijauan lahan-lahan kritis sebagai penyubur tanah.
Tanaman sengon bersifat multiguna
dan bermanfaat sebagai tanaman
produksi, konservasi dan reboisasi. Beberapa kegunaan sengon antara lain sebagai
pohon pelindung, meningkatkan kesuburan tanah karena bersimbiose dengan
bakteri bintil akar, kayunya dimanfaatkan sebagai bahan industri seperti tusuk
gigi, korek api, sumpit, peti kemas sampai mebel, pulp dan kertas, kerajinan, kayu
7
lapis, venir, bahan bangunan, perabot rumah tangga dan kayu bakar dan daunnya
untuk makanan ternak dan pupuk hijau (Anggraeni 2008).
P. falcataria termasuk jenis kayu yang diprioritaskan untuk hutan tanaman
karena kayunya sesuai untuk bahan baku pulp, kertas dan kayu pertukangan
selain karena pertumbuhannya yang cepat. Kayu sengon memiliki massa jenis
sekitar 0.4 g/cm3 (Ishiguri et al. 2007; Yahya 2010). Dibandingkan jenis-jenis
lain dengan massa jenis yang sama, keawetan kayu ini lebih tinggi sehingga
sengon banyak dipergunakan sebagai bahan bangunan (Prajadinata & Masano
1989).
Kayu sengon memiliki panjang dan diameter serat 1.373 dan 0.0160 mm.
Berdasarkan dimensi serat dan juga massa jenisnya, kayu sengon sesuai untuk
digunakan sebagai bahan baku pulp sebagaimana yang dikemukakan oleh Haroen
(2006), bahwa umumnya massa jenis kayu yang digunakan untuk pulp massa
jenisnya lebih kecil dari 0.7, panjang serat lebih dari 0.9 mm, kadar lignin kurang
dari 33% dan ekstraktif lebih kecil dari 5%. Demikian pula jika ditinjau dari sifat
fisik dan mekanik kertas yang dibuat dari kayu sengon, kualitasnya termasuk
kategori kualitas
1 dengan keunggulan sifat fisik dan mekanik
diantaranya
kekutan sobek (burst factor), tensile strength, daya regang (stretch) dan panjang
putus (breaking length) dengan nilai berturut-turut 88.78, 6.44, 3.74 dan 10.23
(Yahya 2010).
Permasalahan pada industri pulp dan kertas
Sejalan dengan peningkatan kebutuhan pulp dan kertas dunia, industri pulp
dan kertas dituntut untuk meningkatkan efisiensi produksi dengan tetap menjaga
kelestarian sumber bahan baku. Selain itu tuntutan mutu lingkungan dengan
menekan pencemaran industri, mendorong penelitian yang sangat intensif di
bidang teknologi proses maupun rekayasa jenis tanaman bahan baku pulp.
Modifikasi bahan baku pulp dengan meminimalkan faktor-faktor pembatas pada
proses pembuatan pulp akan meningkatkan efisiensi proses.
Proses industri pulp yang memanfaatkan kayu sebagai bahan baku
umumnya menggunakan proses sulfat/Kraft. Proses tersebut mempunyai
keuntungan diantaranya dapat mengolah berbagai jenis kayu baik yang sejenis
8
maupun campuran, waktu pengolahan yang relatif pendek dan menghasilkan
pulp dengan kualitas tinggi, namun demikian pulp yang dihasilkan berwarna gelap
sehingga membutuhkan banyak bahan pemutih dan menghasilkan limbah berupa
bahan organik terklorinasi (Siagian 2003).
Pulp coklat (unbleached pulp) yang merupakan hasil pencucian kemudian
disaring, diputihkan, atau dikelantang pada unit pemutih (bleaching) yang
umumnya dilakukan dalam tiga hingga enam tahap. Pada proses pemutihan
menggunakan zat-zat kimia dari golongan klorin terutama Cl2, akan bereaksi
dengan lignin menghasilkan limbah berupa senyawa organoklorin yang umumnya
beracun. Bleaching pulp ditinjau dari segi proses industri sangat penting karena
derajat putih pulp tidak hanya merupakan standard kualitas yang digunakan oleh
industri tetapi juga sebagai salah satu kriteria pemilihan oleh konsumen.
Warna gelap pada pulp umumnya disebabkan oleh lignin, salah satu
komponen utama penyusun kayu yang tergolong ke dalam senyawa fenolik yang
sangat mudah teroksidasi. Pada sisi lain, limbah organik terklorinasi yang
dihasilkan dari
proses bleaching sulit untuk didegradasi atau didaur ulang
sehingga berpotensi sebagai bahan pencemar yang membahayakan lingkungan.
Lebih dari sepuluh tahun terakhir ini, telah ditempuh beberapa cara untuk untuk
menekan limbah berbahaya dalam industri pulp yaitu melalui pengolahan pulp
dengan memanfaatkan
mikroba (biopulping) maupun modifikasi proses
bleaching.
Pengolahan pulp secara biologi
merupakan proses yang memanfaatkan
mikroba yaitu jamur pelapuk putih (white rot fungi) untuk melemahkan struktur
kayu melalui cara degradasi lignin sehingga akan mengurangi pemakaian bahan
kimia dan energi didalam pemisahan serat (Siagian et al. 2003). Modifikasi proses
bleaching yaitu Totally Chlorin Free (TCF) bleaching yang menggunakan bahan
kimia hidrogen peroksida dan ozon (Johnston et al. 1996) telah berhasil
menurunkan toksisitas efluen menjadi lebih rendah dibanding proses yang umum
dipakai sebelumnya yaitu Elemental Chlorin Free (ECF).
Namun demikian,
bagaimanapun juga modifikasi proses bleaching pulp tidak dapat menghilangkan
sama sekali limbah berbahaya tetapi hanya menurunkannya saja.
9
Program minimisasi limbah dalam industri kertas yang efektif akan
mengurangi biaya produksi dan beban pengelolaan limbah berbahaya sehingga
akan meningkatkan efisiensi dan kualitas produk. Teknik minimisasi limbah yang
dapat dilakukan selain yang terkait langsung dengan proses produksi seperti
perencanaan produksi dan tahapannya, penyesuaian peralatan/proses atau
modifikasi, pemisahan limbah dan daur ulang limbah, penggantian (substitusi)
bahan baku juga merupakan salah satu alternatif minimisasi limbah (Setyorini
2002). Substitusi bahan baku yang dapat diterapkan untuk efisiensi produksi pulp
adalah penggunaan bahan baku dengan komposisi lignin yang memudahkan
proses pulping sehingga dapat menekan biaya produksi.
Struktur lignin
Lignin merupakan komponen penyusun dinding sel tumbuhan (17-33%)
dengan komposisi
bahan penyusun yang berbeda-beda bergantung jenisnya.
Lignin adalah polimer dari unit fenilpropana: unit guaiasil (G) dari prekusor transconiferyl-alcohol,
siringil
(S)
unit
dari
trans-sihapyl-alcohol,
dan
p-
hydroxyphenyl (H) unit dari prekursor trans-p-coumaryl alcohol. Lignin terutama
terakumulasi pada batang tumbuhan berbentuk pohon dan semak. Pada batang,
lignin berfungsi sebagai bahan pengikat komponen penyusun lainnya, sehingga
suatu pohon bisa berdiri tegak. Berbeda dengan selulosa yang terbentuk dari
gugus karbohidrat, struktur kimia lignin sangat kompleks dan tidak berpola sama.
Gugus aromatik ditemukan pada lignin, yang saling dihubungkan dengan rantai
alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon. Ikatan yang menghubungkan unit-unit
fenilpropana kebanyakan adalah ikatan eter (lebih dari 2/3) dan sisanya dengan
ikatan karbon-karbon.
Senyawa ini dikelompokkan ke dalam 3 grup berdasarkan unit monomer
penyusunnya (Gambar 3) yaitu gymnosperm lignin (disusun oleh monomer
coniferil alkohol), angiosperm lignin (disusun oleh monomer coniferil alkohol dan
sinapil alkohol) serta grass lignin (terdiri dari campuran monomer coniferil
alkohol, sinapil alkohol dan ρ-coumaril alkohol) (Higuchi 1980).
Berdasarkan klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia, prosentase kadar
lignin kayu dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu lignin tinggi (33%), lignin
10
sedang (18-33%) dan lignin rendah (18%) (Pari 1996). Kadar lignin kayu sengon
umumnya adalah 26.8%, dan pada penelitian Pari et al. (1997) kadar lignin
bervariasi tergantung umur yaitu pada sengon yang berumur 5, 10 dan 15 tahun
kadarnya berturut-turut adalah 29.10%, 29.79% dan 30.19%.
A
B
C
Gambar 3. Struktur kimia penyusun lignin (A) p-koumaril alkohol, (B) koniferil
alkohol, (C) sinafil alkohol (Fengel dan Wegener 1995).
Lignin dalam kayu terutama terdapat dalam lamela tengah dan dinding sel
sekunder (Fengel & Wegener 1995). Lignin bersama-sama dengan selulosa
merupakan suatu komponen penting pada tumbuhan berpembuluh dan dapat
ditemukan dalam jumlah yang besar pada dinding sel sekunder, serat dan
pembuluh angkut xilem. Fungsi lignin dalam tumbuhan selain sebagai penunjang
mekanik juga sangat penting dalam membantu pertahanan tumbuhan terhadap
patogen.
Komposisi lignin di alam sangat bervariasi tergantung pada spesies
tanaman, yang dapat dikelompokkan berdasarkan kayu daun jarum, kayu daun
lebar, dan rumput-rumputan. Kayu lunak terutama tersusun atas unit guaiasil,
sedangkan kayu keras juga tersusun atas unit siringil. Kayu lunak ditemukan lebih
resisten untuk didelignifikasi dengan ekstraksi basa daripada kayu keras. Hal ini
diduga karena guaiasil lignin membatasi pemekaran (swelling) serat dan dengan
demikian menghalangi serangan enzim terhadap siringil lignin. Beberapa studi
yang terbaru mengenai lignin ditemukan bahwa terdapat struktur lignin yang
11
bermacam-macam seperti terdiri dari daerah amorphous dan bentuk-bentuk
terstruktur seperti partikel tabung dan globul. Ada indikasi pula bahwa struktur
kimia dan dimensi tiga lignin sangat dipengaruhi oleh matrik polisakarida.
Simulasi dinamik menunjukkan bahwa gugus hidroksil dan metoksil di dalam
prekusor lignin dan oligomer mungkin berinteraksi dengan mikrofibril selulosa
sejalan dengan fakta bahwa lignin memiliki karakteristik hidrofobik. Sebagai
contoh ditemukan bahwa tipe ikatan utama lignin di dalam kayu spruce adalah
ikatan eter-aril eter. Gugus fungsional yang mempengaruhi reaktifitas lignin
meliputi gugus phenolic hydroxyl bebas, methoxyl, benzylic hydroxyl, benzyl
alcohol, noncyclic benzyl ether dan carbonyl. Guaiasil lignin mengandung lebih
banyak gugus phenolic hydroxyl dibanding siringil.
Lignin pada kayu daun lebar disusun terutama oleh unit guaiasil dan siringil.
Kadar lignin dan rasio siringil/guaiasil (S/G) berbeda-beda tergantung jenis dan
lapisan selnya. Perbedaan rasio S/G ini mempengaruhi sifat kimia dan kecepatan
degradasinya
pada
proses
pulping
sehingga
sangat
penting
untuk
mengkarakterisasi lokalisasi unit guaiasil dan siringil pada dinding sel kayu keras
(Watanabe
2004).
Berdasarkan
komposisi
unit
strukturalnya,
diklasifikasikan kedalam beberapa tipe. Lignin pada kayu daun jarum
lignin
atau
disebut lignin guaiasil atau G lignin sebagian besar disusun oleh unit guaiasil
(sekitar 90%) dan p-kumaril alkohol (sekitar 10%). Lignin pada kayu daun lebar
atau disebut lignin guaiasil siringil atau G-S lignin disusun oleh unit guaiasil dan
siringil dengan perbandingan tertentu, tergantung dari jenis kayu, umur kayu,
tempat tumbuh dan iklim (Davin & Lewis 2005).
Kompleksitas struktur lignin hingga kini masih belum jelas. Namun
demikian struktur dominan lignin telah diteliti seiring dengan semakin
berkembangnya metoda identifikasi degradasi produk dan model sintesis.
Beberapa studi berhasil menjelaskan repesentasi struktur lignin. Diketahui bahwa
ikatan antar unit fenilpropana dan berbagai gugus fungsi menyebabkan lignin
memiliki stuktur yang unik dan kompleks (Gambar 4). Ikatan yang dominan pada
kayu lunak misalnya adalah ikatan β-O-4. Makromolekul lignin juga memiliki
berbagai gusus fungsional yang berpengaruh terhadap reaktivitasnya. Kebanyakan
12
lignin mengandung gugus methoxyl, phenolic hydroxyl serta sedikit gugus aldehid
terminal. Hanya sebagian kecil saja proporsi gugus phenolic hydroxyl yang bebas
karena sebagian besar terikat dengan fenilpropana lainnya. Gugus-gugus karbonil
dan hidroksil alkohol terikat dalam struktur lignin ketika proses dehidrogenasi
enzimatik.
Gambar 4. Diagram struktur lignin kayu daun jarum (Raiskilla et al. 2008)
13
Biosintesis lignin dan enzim-enzim terkait
Lignin terbentuk dari polimerisasi dehidrogenasi monolignol p-koumaril
alkohol, koniferil alkohol, and sinapil alkohol. Monolignol tersebut disintesis
melalui jalur biosintesis fenilpropanoid yang diinisiasi dari deaminasi fenil alanin
oleh enzim fenilalanin ammonia liase (Zong & Morrison 2000a; Harakava 2005).
Pada beberapa tanaman telah diketahui enzim-enzim yang berkaitan
dengan biosintesis lignin diantaranya phenylalanine ammonia–lyase (PAL) (Kao
et al. 2002), o-methyltransferase (CCoAoMT) (Ibrahim et al. 1998; He et al.
1998); 4-coumarate CoA ligase (4CL) (Allina et al 1998; Ehlting et al. 1999;
Chukovic et al. 2000; Ehlting et al. 2001: Rogers et al. 2005), cinnamoyl-CoA
reductase (CCR) dan cinnamyl alcohol dehydrogenase (CAD) (Ralph et al. 1998).
Enzim-enzim tersebut terlibat di dalam jalur biosintesis lignin yang dimulai dari
konversi prekursor fenil alanin hingga pembentukan monolignol (Gambar 5).
Gambar 5. Jalur biosintesis prekursor monolignol lignin. 4CL, 4-coumarate CoA
ligase; C3H, p-coumarate 3-hydroxylase; C4H, cinnamate 4hydroxylase,; CAD, cinnamyl alcohol dehydrogenase; CCoAOMT,
caffeoyl CoA O-methyltransferase; CCR, cinnamoyl CoA reductase;
COMT, caffeic acid O-methyltransferase; F5H, ferrulate 5hydroxylase; hydroxycinnamoyltransferase; PAL, phenyl ammonialyase (Baucher 2003).
14
Gen-gen penyandi enzim yang berkaitan dengan biosintesis lignin telah
diisolasi dan dikarakterisasi. Saat ini sudah banyak dilaporkan data sekuen DNA
yang berupa fragmen cDNA ataupun sekuen gen utuhnya. Sekuen yang terdaftar
pada data gene bank jumlahnya sangat banyak hingga mencapai ratusan jenis
sekuen dari berbagai macam tanaman juga organisme lainnya. Berdasarkan studi
EST (Expressed Sequence Tag), diketahui bahwa masing-masing enzim memiliki
aktivitas terhadap substrat yang spesifik (Tabel 1).
Tabel 1. Aktivitas katalitik beberapa enzim yang terlibat dalam biosintesis lignin
(Harakava 2005).
Jenis enzim
Aktivitas katalitik
Phenylalanine ammonia-lyase – PAL
deaminasi
fenilalanin
untuk
menghasilkan asam trans sinamat
Cinnamate 4-hydroxylase - C4H
menghidroksilasi
asam
sinamat
menjadi asam p-coumarat.
4-coumarate CoA ligase -4CL
esterifikasi CoA p-coumaric acid,
caffeic acid, ferulic acid, 5hydroxyferulic acid dan sinapic acid.
Hydroxycinnamoylmengubah p-coumaroyl-CoA dan
CoA:shikimate/quinate
caffeoyl-CoA menjadi shikimate atau
hydroxycinnamoyltransferase – HCT
quinate ester
Caffeoyl CoA O-methyltransferase – mengkatalisis metilasi caffeoyl CoA
CCoAOMT
menjadi
feruloyl CoA.
Caffeic acid O-methyltransferase – mengubah 5-hydroxyconiferaldehyde
COMT
atau 5-hydroxyconiferyl alcohol
menjadi sinapilaldehyde
atau sinapyl alcohol
Cinnamoyl CoA reductase - CCR
mengubah hydroxycinnamoyl CoA
esters menjadi
aldehid
Ferulate 5-hydroxylase - F5H
mengubah ferulic acid menjadi 5hydroxyferulic acid atau
coniferaldehyde /coniferyl alcohol
menjadi synapaldehyde/sinapyl
alcohol
Cinnamyl alcohol dehydrogenase mengkatalisis konversi cinnamyl
CAD
aldehyde menjadi alkohol
15
Modifikasi transgenik komposisi lignin kayu dan prospek proses pulping
yang lebih efisien
Pada proses pembuatan pulp lignin harus dihilangkan untuk memperoleh
serat selulosa. Pemisahan lignin dari selulosa memerlukan bahan kimia dan energi
dalam jumlah yang besar sehingga biaya yang diperlukan juga tinggi disamping
menimbulkan resiko pencemaran lingkungan. Banyak upaya yang telah dilakukan
untuk mengembangkan varitas bibit pohon dengan kadar lignin rendah atau
termodifikasi untuk mendukung efisiensi produksi pulp. Modifikasi transgenik
dengan cara mengatur ekspresi gen-gen terkait dengan metabolism fenilpropanoid
sangat memungkinkan untuk dikembangkan guna mendapatkan kayu dengan
kadar lignin rendah atau yang lebih mudah didelignifikasi.
Perbaikan genetik tanaman berkayu seperti tanaman kehutanan dan buahbuahan dibatasi oleh berbagai faktor antara lain ukuran pohon, siklus hidup yang
panjang dan kurangnya informasi mengenai basis genetik. Teknologi DNA dapat
menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Penelitian mengenai
transgenik tanaman tinggi ditemukan lebih dari 100 laporan yang meliputi
ketahanan
terhadap herbisida dan serangga (Strauss & Bradshaw 2001) dan
modifikasi lignin tanaman berkayu melalui represi ekspresi enzim yang berkaitan
dengan biosintesis lignin (Hauffe 1993; Kajita 1997; Lee 1997; Zhong et al.
2000b).
Pendekatan
untuk
menekan
biosintesis
lignin
adalah
dengan
memanfaatkan fenomena PTGS (Post Trancriptional Gene Silencing) yang dapat
dilakukan diantaranya dengan konstruk antisense.
Pada tanaman model Arabidopsis transformasi konstruk antisense dapat
menurunkan aktivitas enzim 4CL hingga tersisa 8% dan menyebabkan perubahan
rasio G/S lignin (Lee et al. 1997). Bahkan pada tanaman kehutanan transgenik
subtropis yang cepat tumbuh yaitu aspen (Populus tremuloides) mengandung gen
penyandi 4CL yang dikonstruksi secara antisense sehingga terjadi down regulated
ekspresi 4CL menyebabkan turunnya kadar lignin hingga 45% dan kadar selulosa
meningkat hingga 15%, selain itu terbukti pula memacu pertumbuhan daun, akar
dan batang (Sederoff 1999, Harding et al. 1999).
Selain upaya mengurangi kadar lignin kayu, cara modifikasi dilakukan
untuk meningkatkan komposisi atau rasio siringil/guaiasil lignin sehingga lebih
16
mudah dipisahkan dari selulosa yang akan sangat menguntungkan bagi industri
pengolahan pulp karena akan menghemat energi dan biaya disamping dapat
menekan limbah berbahaya. Siringil lignin yang tersusun atas monomer sinapil
alkohol lebih peka terhadap degradasi kimia maupun enzimatik dibanding guaiasil
lignin, karena unit posisi C5 aromatik pada guaiasil bebas berikatan antar karbon.
Ferulate
5-hydroxylase
(F5H)
terlibat
dalam
jalur
sintesis
5-hidroksi
koniferaldehid berupa prekursor sinapilalkohol sebagai penyusun siringil lignin.
Over ekspresi ferulate 5-hydroxylase Arabidopsis pada poplar, menghasilkan
kayu poplar transgenik dengan kadar siringil lignin tinggi yang dapat
meningkatkan efisiensi proses pulping yaitu dalam hal peleraian selulosa dari
lignin (U.S. Departement of Energi 2006). Over ekspresi F5H sweetgum dibawah
kontrol promotor xylem-specific Pt4CLIP
pada aspen transgenik berhasil
meningkatkan rasio siringil/guaiasil (S/G) hingga 2.5 kali (Baucher et al. 2003).
Demikian pula over ekspresi ferulate 5-hydroxylase Arabidopsis pada poplar,
menghasilkan kayu poplar transgenik dengan kadar siringil lignin tinggi yang
dapat meningkatkan efisiensi pulping yaitu dalam hal peleraian selulosa dari
lignin (Boudet et al. 2003).
Perbaikan sifat tanaman dengan cara konvensional yaitu melalui hibridisasi
seksual (persilangan) akan membutuhkan waktu lama terutama karena panjangnya
siklus hidup tanaman kehutanan. Dengan demikian usaha perbaikan sifat tanaman
melalui teknologi DNA atau rekayasa genetika untuk memodifikasi kadar lignin
kayu sengon akan lebih menguntungkan karena modifikasi terjadi dalam waktu
relatif singkat.
Pendekatan untuk menekan biosintesis lignin adalah dengan memanfaatkan
fenomena PTGS (Post Transkriptional Gene Silencing) yang dapat dilakukan
diantaranya dengan konstruk antisense dan RNAi (RNA interference) yang
selanjutnya ditransformasikan pad tanaman. Efektivitas PTGS yang dihasilkan
melalui teknik antisense umumnya sekitar 50%. Knock out gen dengan teknik
RNAi dapat lebih tinggi dibanding antisense, misalnya efek silencing beberapa
gen (GUS, PVY dan FAD2∆12-desaturase) pada tanaman tembakau, arabidopsis,
tomat dan padi mencapai 90-100% (Wesley et al. 2001).
17
Pada Pinus radiata konstruk RNAi 4CL dapat menurunkan kadar lignin
total hingga 36% - 50% dan rasio S/G meningkat, tetapi pada beberapa individu
bentuk fenotifiknya menjadi kerdil (Wagner et al. 2009) . Mengingat peranannya
yang penting dalam struktur dinding sel dan
ketahanan terhadap hama dan
penyakit, penurunan kadar lignin kayu bisa dilakukan hingga batas tertentu yang
tidak mengganggu fenotif dan kekuatan pohon.
Percobaan laboratorium untuk mengetahui karakteristik pulping kayu
transgenik rendah lignin yang dipelihara di rumah kaca telah dilakukan
diantaranya pada kayu poplar transgenik down regulasi CCR dan CAD, pinus
mutan cad dan overekspresi F5H (Baucher et al. 2003). Pulp Kraft dari kayu
transgenik tersebut menunjukkan bilangan Kapa yang rendah (salah satu
parameter pulping yang baik) dan berkurangnya kebutuhan bahan kimia untuk
proses pulping. Percobaan untuk mengetahui efisiensi pulping pada skala besar
(pabrik) masih merupakan kendala karena belum adanya area field trial yang
dapat menghasilkan kayu transgenik rendah lignin yang cukup untuk proses
pabrik serta keterbatasan industri pulp yang bisa bekerjasama untu pengujian kayu
transgenik.
18
Download