Nama : Devi siti hamzah marpaung NPM : 124117330157 Tugas artikel Bahan mentah PENEGAKAN HUKUM DALAM NEGARA HUKUM[1] Oleh : Hendri Edison I. PENDAHULUAN Bagir Manan mengatakan bahwa keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan bergantung pada penerapan dan penegakannya. Apabila penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan bagaimanapun sempurnanya tidak atau kurang memberikan arti sesuai dengan tujuannya. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan.[2] Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum di Indonesia masih jauh dari sempurna. Kelemahan tidak saja hanya pada sistem hukum dan produk hukum, tetapi pada penegakan hukum. Harapan masyarakat untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum masih sangat terbatas. Penegakan dan pelaksanaan hukum belum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Seringkali terlihat bahwa Ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak tersangka koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan akhirnya. Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-tidaknya hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan pemahaman fakta hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi hukum apa yang mereka pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik semata yang dipergunakan ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi adalah deretan pertanyaan publik yang belum ada akhirnya. II. PENGERTIAN PENEGAKAN HUKUM DAN NEGARA HUKUM Penerapan dan Penegakan hukum merupakan dua istilah yang sesungguhnya tidaklah sama. Pengertian penerapan hukum adalah suatu peraturan atau perundang-undangan yang telah disahkan selanjutnya diundangkan dilembaran negara, posisi ini undang-undang atau peraturan tersebut telah diterapkan. Sedangkan pengertian penegakan hukum baru dimulai pada saat hukum yang diterpkan tersebut dilanggar, maka hukum tersebut ditegakkan. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan– hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Indonesia adalah negera hukum. Dalam undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen tidak ditambah lagi dengan embel-embel ”tidak berdasarkan kekuasaan belaka”, jadi hanya disebutkan Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Bagir Manan sendi utama negara berdasarkan atas hukum adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat yang satu dengan yang lain.[3] Dalam suatu negara hukum, apabila hukum tersingkirkan, maka negara tersebut tidak lagi dikatakan sebagai negara hukum, ia bisa berubah menjadi negara otoriter. Dalam konsep negara hukum kekuasaan negara dibatasi oleh aturan-aturan yang telah ditetapkan sehingga menghindari terjadinya tindakan kesewenang-wenangan. Frederich Julius Stahl ahli hukum dari Eropa kontinental memberikan ciri-ciri negara hukum (rechsstaat) sebagai berikut :1)Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia;2)Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan;3)Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur) dan 4) Adanya peradilan Administrasi dalam perselisihan.[4] Sementara itu A.V.Dicey, seorang ahli hukum dari kalangan Anglo Saxon memberikan ciri Rule of Law tersebut sebagai berikut :1) Supremasi Hukum dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum bila benar-benar melanggar hukum;2) Kedudukan yang sama di depan hkum bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; dan 3) terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.[5] III. PERAN HUKUM DALAM NEGARA HUKUM Theo Huijbers dalam bukunya Filsafat Hukum mengungkapkan bahwa hukum itu sangat erat dengan keadilan. Sehingga sebagian besar orang berkata bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum.[6] Bahwa hukum memang merupakan suatu bagian dari upaya manusia dalam kerangka mewujudkan suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Sehingga melalui penyusunan hukum yang adil maka orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan. Persoalan yang timbul adalah apakah keadilan itu sendiri merupakan istilah hukum atau tidak? Sulit untuk menjawabnya. Apa lagi bila dikaitkan dengan pandangan positivisme hukum, sebab dalam positivisme hukum keadilan adalah dalam konteks bila hukum yang dikeluarkan oleh penguasa atau otoritas yang berdaulat ditaati, tidak dipersoalan disini entah aturan itu adil atau tidak adil. Sehingga hukum merupakan kewajiban dan kewajiban pada hukum hanya bersifat ekstern. Dalam konteks hukum merupakan kewajiban apabila hukum yang dibuat (aturan-aturan yang diproduk) benar-benar memiliki nilai keadilan dan sesuai dengan suasana bathin. Namun hukum tidak lagi bersifat kewajiban dalam hal nilai-nilai hukum yang diproduk tidak mencerminkan rasa keadilan. Dalam konteks ini hukum telah beralih fungsi menjadi memaksa. Sebab itu orang-orang senantiasa tidak puas dengan norma-norma yang telah ada, orang senantiasa menantikan norma-norma yang adil. Dalam konteks ini penganut positivisme hukum sendiri menuntut supaya hukum yang dibentuk bersifat adil.[7] Karena itu dalam istilah hukum ada dua perbedaan yang merupakan pemisahan untuk menandakan istilah hukum yaitu : 1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan = iustitia) atau ius/recht. Disini diitilahkan hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicitacitakan. 2. hukum dalam arti undang-undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu dipadang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut. Perbedaan kedua istilah “hukum” ini memang sangat nyata. Bahwa istilah “hukum” mengandung suatu tuntan keadilan sedangkan istilah undang-undang merupakan normanorma yang secara nyata digunakan untuk memenuhi tuntutan keadilan tersebut, baik tertulis maupun tidak tertulis. Karena itu dalam positivisme hukum untuk menjadikan hukum itu berkeadilan, maka hendaklah norma-norma hukum (kaedah-kaedah hukum) yang dikeluarkan benar-benar bersumber dari kaedah moral, agama, maupun kebiasaan. Sehingga bagi masyarakat yang mentaatinya akan merasakan suasana bathin yang tentram dan dengan demikian hukum tersebut menjadi hukum yang berkeadilan. Harus dihindari suatu produk norma hukum yang dibuat oleh otoritas penguasa didasari pada kepentingan pemegang otoritas kekuasaan. Apalagi hukum dijadikan alat untuk menjaga dan mempertahankan kepentingan penguasa. Dalam konteks perspektif positivisme hukum sulit untuk diperoleh keadilan yang sesungguhnya, karena dalam paham positivisme hukum ini yang diutamakan adalah kepastian hukum bukan keadilan hukum. Dalam positivisme hukum sarat dengan ide pendokumenan dan pemformulan hukum alam wujudnya sebagai the statutoriness of law atau istilah lainnya birokasi hukum. Dalam ilmu yang legalistik positivistik, hukum merupakan pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Sehingga dalam positivisme hukum dilakukan penyerdehanaan aturan sehingga dalam pandangan positivisme hukum itu menyebut istilah bahwa hukum adalah suatu keteraturan. Sebagaimana yang dipahami kelahiran positivisme hukum berbarengan dengan kelahiran negara modern, sehingga dalam negara modern produk hukum dalam konteks positivisme hukum dibentuk atau dibuat oleh badan legislatif. Dalam hal ini nuansa politik sulit dihindari. Oleh karena itu acapkan kali terlihat produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh legislatif dalam konteks negara modern cendrung dipengaruhi oleh faktor-faktor politik. Sehingga hukum dapat digunakan oleh penguasa untuk melakukan rekayasa sebagaimana yang dikehendaki oleh Penguasa. Tidak menutup kemungkinan penguasa akan menggunakan hukum untuk melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena positivieme hukum yang lahir dalam atmosfir liberalisme dimana dalam konteks liberalisme pendewaan kepada individualisme sangat mencolok. Dan oleh karena itu positiviseme hukum dirancang tidak untuk memberikan keadilan bagi masyarakat atau orang banyak, melainkan untuk memberikan perlindungan kepada individu. Sehingga dalam positivisme hukum demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Bahwa hukum dalam bentuk perundang-undangan tidak saja diciptakan untuk memenuhi asas legalitas, tapi lebih jauh dari itu perundang-undangan yang diciptakan tersebut juga berfungsi sebagai sarana untuk membentuk masyarakat kearah yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Artinya hukum menjadi faktor kearah perubahan masyarakat, istilah inilah yang dikenal dengan Law is a tool of social engeeniring. Konsep ini mula-mula diperkenalkan oleh Roscoe Pound dalam tulisannya berjudul Scope and Purposes of Sociological Jurisprudence, Ia mengatakan bahwa hukum adalah alat rekayasa social. Jadi hukum dapat digunakan secara sadar untuk mengadakan perubahan masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, a tool of social engineering atau social engineering by law adalah sebagai berikut : “…Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin digunakan sebagai alat oleh Agent of change. Dan agent of Change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan mimimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan didalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, dan bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan social yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada dibawah pengendalian dan pengawasan pelopor perubahan tersebut.”[8] Melalui metode law is a tool of social engeeniring apa yang menjadi tujuan dari perubahan yang dipelopori oleh agent of change dapat tercapai. Namun demikian tidak semua perundang-undangan yang dibuat dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh undang-undang itu sendiri. Untuk itu agar metode “law as a tool of social engineering” dapat digunakan secara efektif, perlu diperhatikan 4 asas utama. Adam Podgorecki menggambarkan keempat asas utama itu sebagai berikut[9] : a. Menguasai dengan baik situasi yang dihadapi. b. Membuat suatu analisis tentang penilian-penilaian yang ada serta menempatkan dalam suatu aurutan hirarkhie. Analisis dalam hal ini mencakup pula asumsi mengenai apakah metode yang akan digunakan tidakaakan lebih menimbulkan suatu efek yang memerburuk keadaan. c. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis seperti apakah suatu metode yang dipkirkan untuk digunakan pada akhirnya nanti memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki. d. Pengukuran terhadap efek perundang-undangan yang ada. Konsep Law as tool of social engenering apabila penguasa tidak mengutamakan moralitas dalam penciptaan hukum, maka tidak menutup kemungkinan hukum akan dijadikan alat untuk kejahatan (law as tool of crime). Roni Rahman Nitibaskara, pernah mengungkapkan ini dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa dalam perkembangan praktik hukum ternyata acapkali hukum telah disalahgunakan yaitu untuk melakukan kejahatan.[10]. Judicial crime terjadi karena terdapat peluang untuk mempertukarkan kekuasan dengan materi melalui celah-celah kelemahan hukum. Kehebatan mereka dalam menggunakan hukum itulah, menghasilkan penyimpangan yang tampak sah secara hukum. Karena penyimpangan tersebut bergerak dalam bingkai hukum, maka kelihatan semuanya berjalan dan sesuai dengan hukum kendatipun ada pelanggaran hukum. Sering sekali secara tersembunyi dalam putusan hakim sesungguhnya terjadi judicial crime atau discretionary justice para penegak hukum. Hal inilah yang disebut dengan istilah kejahatan yang sempurna adalah kejahatan yang dibungkus dengan hukum (Perfect crime).[11] Aliran positivisme hukum yang menjadi standar ukuran untuk segala sesuatu adalah hukum yang tertulis diluar hukum yang tidak tertulis, maka itu bukan hukum. Dalam pandangan positivisme hukum tidak ada kaedah kebiasaan, kaedah moral, kaedah agama maupun kaedah kesopanan. Menurut Julis Moor yang memiliki pandangan tidak jauh berbeda dengan John Austin mengemukakan bahwa positivisme hukum dalam model analitik atau normatif merupakan hal yang semata-mata diproduksi oleh suatu otoritas publik penguasa dimasyarakat, dan oleh karenanya menuntut dua hal yaitu : a. Hukum semata-mata merupakan kaidah-kaidah atau kategori-kategori imperatif (keharusan-keharusan berprilaku) yang dibawah otoritas bulik diterbitkan) dan apapun yang telah diteribtkan sebagai hukum. b. Dalam aliran positivisme hukum dituntut adanya suatu pemisahaan yang tajam antara hukum positif dengan kaedah-kaidah moral dan kebijakan kemasyarakatan, sehingga dalam pandangan positivisme hukum keadilan identik dengan kepatuhan terhadap aturan-aturan.[12] Oleh karena itu penyimpangan hukum dapat terjadi dikarenakan semua hukum dan produk-produknya dibuat oleh para ahli hukum dengan tidak banyak mempertimbangkan aspek moral, dan keberlakuannya sangat ditentukan oleh yang berkuasa.[13] Hubungan antara hukum positif dengan moral ada 3 (tiga) kemungkinan yang dapat terjadi yaitu : Pertama, hukum dan moral harus berkaitan artinya apa yang ditetapkan oleh hukum positif dalam aturannya harus merupakan perwujudan moralitas atas asas-asas moral. Dengan demikian hukum positif yang tidak mengandung aspek moralitas, maka hukum positif tersebut dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat. Jadi ketaatan orang terhadap hukum identik dengan perbuatan moral. Kedua, hubungan hukum moral dengan hukum positif tidak berhubungan, dimana hukum positif mengatur semua perbuatan lahir, menyelenggarakan kedamaian dan keteranganan hidup manusia di masyarakat, sedangkan hukum moral mengatur perbuatan batin, dan menyempurnakan kehidupan manusia. Ketiga, hukum positif dan moralitas memiliki otonomi dan ruang lingkup yang ekslusif. Dalam hukum positif kekuatan hukumnya terletak pada pengundangnya yang formal. Sedangkan hukum moral hanyalah sekedar asas-asas seperti asas manfaat, tradisi dan kebiasaan masyarakat.[14] IV. PENUTUP Dalam negera hukum fungsi hukum sesungguhnya sangat signifikan, justru bila terjadi pelanggaran hukum dan penegakan hukum tidak dilaksankaan, maka kondisi suatu negara akan menjadi goyah dan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kekacauan (chaos). Oleh karena itu hukum harus dijadikan panglima (supreme of law). Akan tetapi dalam konteks hukum modern, kadang kala hukum juga dijadikan sarana untuk melakukan kebijakan-kebijakan publik (publik policy) yang justru kadang kala menyengsarakan masyarakat. Hukum yang demikian akan menjadikan hukum jauh dari citacita hukum yang sesungguhnya yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sebab itu dalam hukum modern yang merupakan buah dari aliran positivisme hukum memandang hukum sebagai perintah penguasa, sehingga dalam konteks ini hubungan hukum positif dan moral dapat terlihat dari pespektif penguasa atau otoritas pemegang kekuasaan yang melahirkan undang-undang. Sehingga otoritas penguasa yang bijaksana tentu akan melahirkan produk hukum yang berlandaskan asas-asas moralitas pula. Tugas bahan artikel ke 3 dengan materi HUBUNGAN ILMU HUKUM DENGAN PENEGAK HUKUM DI INDONESIA Selasa, 20 Maret 2012 Penegakan Hukum di Indonesia Sangatlah tidak sulit untuk memaparkan bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan. Banyak tangis dan ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, bahkan tidak jarang emosi masyarakat semakin tersulut dikala ada pihak – pihak tertentu memanfaatkan hukum dalam mencapai suatu tujuan tertentu tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum Indonesia tengah mendapatkan sorotan yang keras dari berbagai macam lapisan masyarakat internal maupun eksternal, terutama mengenai penegakan hukum di Indonesia. Sebelum bergerak mengenai penegakan hukum di Indonesia, baiknya kita memahami kembali defenisi dari pada hukum itu sendiri. “ Hukum adalah suatu sistem terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.” “ Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).” Sangatlah jelas bahwa segala sesuatunya harus bergantung dengan hukum yang berjalan di Indonesia. Indonesia sendiri memiliki hukum yang secara gambalang tertulis dalam Undang – Undang. Namun, kalau kita lihat secara kasat mata, akhir – akhir ini hukum sudah tidak berjalan dengan tegas. Kita ambil berbagai kasus mengenai aparatur negara yang tidak memiliki ujung penyelesaian yang jelas, bahkan dapat hilang begitu saja. Coba bandingkan dengan kasus yang mengenai kaum miskin, yang mungkin hanya dengan masalah kecil saja namun penyelesainnya sangatlah berlebihan bahkan di hukum hingga membabi buta. Sungguh sangat tragis, bukan? Yah.. itulah sebuah realita hukum di negara kita ini. Hukum sudah disusun dengan sebaik mungkin, namun pelaksanaannya jauh dari kata baik. Kalau ditanya sampai kapan adanya keseimbangan hukum akan berjalan dengan maksimal, mungkin tidak banyak orang hanya mampu mengernyitkan dahi dan berlalu pergi. Sangatlah disayangkan perjuangan pahlawan yang bersusah payah menuangkan buah pikir dengan berbagai sejuta harapan, namun sekarang realitanya semuanya berjalan buruk. Seharusnya pengegakan hukum itu harus mampu menyelaraskan pihak – pihak yang terkait hukum, tanpa memandang kiri ataupun kanan. Dalam artian, hukum harus bersifat netral dan harus memiliki faktor – faktor yang kuat, antara lain : Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. ( sumber wikipedia ) Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Suatu penegakan hukum tidak lepas dari namanya aparatur penegah hukumnya sendiri. Penegak hukum harus menjadi golongan panutan masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus mampu berkomunikasi dan mampu membawakan peranan yang mampu diterima masyarakat luas, antara lain bersikap : 1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru. 2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan 3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. 4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya. 5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan. 6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya. 7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib. 8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia. 9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain. 10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap. ( sumber wikipedia ) Ini menjadi sebahagian penting mengenai penegakan hukum di Indonesia ke arah yang lebih baik, dikarenakan masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan mengidentifikasikannya. Kalau sistem hukum tidak tegak dianggap karena pola perilaku penegak hukum tersebut sendiri. Masih besar harapan masyarakat kelak adanya perubahan yang baik mengenai penegakan hukum di Indonesia. Sangat diperlukan penegasan, dan pengertian masing – masing pihak dengan tetap bersifat netral, tidak condong ke kiri maupun ke kanan, demi kepentingan dan kebaikan hukum di tengah masyarakat internal maupun eksternal. Pengertian Supremasi HUKUM Dan Penegakan HUKUM Pengertian Supremasi HUKUM Dan Penegakan HUKUM I. PENDAHULUAN Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rule of law) bilamana superioritas hukum telah dijadikan sebagai aturan main (fair play) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama dalam memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya. Jhon Locke dalam karyanya “Second Tratise of Government”, telah mengisyaratkan tiga unsur minimal bagi suatu Negara hukum, sebagai berikut : 1. Adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai; 2. Adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pemerintahan; 3. Adanya badan yang tersedia diadakan untuk penyelesaian sengketa yang timbul di antara sesama anggota masyarakat. Dalam Negara hukum menurut Jhon Lockce, warga masyarakat/rakyat tidak lagi diperintah oleh seorang raja atau apapun namanya, akan tetapi diperintah berdasarkan hukum.Ide ini merupakan suatu isyarat bahwa bagi Negara hukum mutlak adanya penghormatan terhadap supremasi hukum. Bagaimana dengan negeri ini? Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara hukum Pancasila (rechsstaat/rule of law). Hal ini dengan tegas dirumuskan pada Pasal 1 ayat (3)UUD NRI Tahun 1945, bahwa : Negara Indonesia adalah Negara hukum. Namun bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide Negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral(Jimly Asshiddiqie, 2009:3). Penghormatan terhadap supremasi hukum tidak hanya dimaksudkan dengan galaknya pembangunan dan pembentukan hukum dalam arti peraturan perundang-undangan, akan tetapi bagaimana hukum yang dibentuk itu benar-benar dapat diberlakukan dan dilaksanakan, sehingga hukum berfungsi sebagai sarana (tool) penggerak aktifitas kehidupan bernegara, pemerintahan dan kemasyarakatan. Untuk dapatnya hukum berfungsi sebagai sarana penggerak, maka hukum harus dapat ditegakkan dan untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian dari system nilai kemasyarakatan yang bermanfaat bagi warga masyarakat, sehingga keberlakuan hukum benar-benar nyata pada rana empiris tanpa paksaan. Supremasi hukum hanya akan berarti bila ada penegakan hukum,dan penegakan hukum hanya akan mempunyai nilai evaluatif jika disertai dengan pemberlakuan hukum yang responsif.Artinya superioritas hukum akan terjelma dengan suatu penegakan hukum yang bersendikan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dengan dilandasi nilai dan rasa keadilan. II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Terminologi dan Deskripsi tentang Supremasi Hukum Istilah supremasi hukum, adalah merupakan rangkaian dari selingkuhan kata supremasi dan kata hukum, yang bersumber dari terjemahan bahasa Inggeris yakni kata supremacy dan kata law, menjadi “supremacy of law” atau biasa juga disebut “law’s supremacy”. Hornby.A.S (1974:869), mengemukakan bahwa secara etimologis,kata “supremasi” yang berasal dari kata supremacy yang diambil dari akar kata sifat supreme, yang berarti “Higest in degree or higest rank” artinya berada pada tingkatan tertinggi atau peringkat tertinggi. Sedangkan supremacy berarti “Higest of authority” artinya kekuasaan tertinggi. Kata hukum diterjemahkan dari bahasa Inggeris dari kata “law”, dari bahasa Belanda “recht” bahasa Perancis “droit” yang diartikan sebagai aturan, peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang wajib ditaati. Soetandyo Wignjosoebroto (2002:457), menyatakan bahwa secara terminology supremasi hukum, merupakan upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara Negara. Menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal dalam rangka melindungi seluruh lapisan masyarakat,oleh Charles Hermawan disebutnya sebagai kiat untuk memposisikan hukum agar berfungsi sebagai komando atau panglima(2003:1). Abdul Manan (2009:188), menyatakan bahwa berdasarkan pengertian secara terminologis supremasi hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segalagalanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima untuk melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Rumusan sederhana dapat diberikan bahwa supremasi hukum adalah pengakuan dan penghormatan tentang superioritas hukum sebagai aturan main (rule of the game)dalam seluruh aktifitas kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur(fair play). Pengertian sederhana tersebut, telah terhubungkan dengan idée tentang teori kedaulatan hukum (rechtssovereiniteit). Hukum adalah kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara, karenanya yang memerintah sesungguhnya adalah hukum, penyelenggara pemerintahan Negara hanya melaksanakan kehendak hukum, sehingga dalam konteks demikian hukum sebagai komando dan panglima. B. Deskripsi Penegakan Hukum Apa yang diartikan orang selama ini sebagai penegakan hukum (law enforcement) sepertinya hanya tertuju pada adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tegas terhadap penindakan pelaku criminal. Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi tanggungjawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh karena penegakan hukum konteksnya luas, termasuk tanggungjawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) melekat kewajiban untuk menegakkan hukum. Memang bagi orang awam, penegakan hukum semata dilihatnya sebagai tindakan represif dari aparat hukum, tindakan di luar dari aparat hukum hanya dipandangnya sebagai partisan hukum,misalnya tindakan informative terhadap aparat hukum adanya peristiwa hukum atau gejala akan terjadinya peristiwa hukum. Sebenarnya penegakan hukum dalam konteks yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan atau prilaku nyata atau faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau norma yang mengikat. Namun demikian, dalam upaya menjaga dan memulihkan ketertiban dalam kehidupan sosial maka pemerintalah actor security. Pada perspektif akademik,Purnadi Purbacaraka, menyatakan bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidahkaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (1977). Soerjono Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan prilaku nyata manusia (1983:13). Liliana Tedjosaputro, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, oleh karena penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata, yang bertujuanuntuk mencapai kedamaian dan keadilan (2003:66). Tugas utama penegakan hukum, adalah untuk mewujudkan keadilan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan (Liliana, 2003 : 66). Tanpa penegakan hukum, maka hukum tak ubahnya hanya merupakan rumusan tekstual yang tidak bernyali, yang oleh Achmad Ali biasa disebut dengan hukum yang mati. Untuk membuat hukum menjadi hidup harus ada keterlibatan nyata oleh manusia untuk merefleksikan hukum itu dalam sikap dan prilaku nyata yang konkrit.Tanpa cara demikian maka hukum tertidur pulas dengan nyenyak yang kemungkinannya hanya menghasilkan mimpi-mimpi. Karena itu tidak ada cara lain agar hukum dapat ditegakkan maka perlu pencerahan pemahaman hukum bahwa sesungguhnya hukum itu tidak lain adalah sebuah pilihan keputusan, sehingga takkala salah memilih keputusan dalam sikap dan prilaku konkrit, maka berpengaruh buruk terhadap penampakan hukum di rana empiris. C. Supremasi Hukum dan Penegakan Hukum Supremasi hukum dan penegakan hukum sudah menjadi masalah sentral dalam kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat.Masalah itu muncul oleh karena adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sen, dimana Negara mengklaim sebagai Negara hukum demokrasi (rechtsstaat democratie), sementara hukumnya compang camping dan penegakannya serampangan. Artinya supremasi hukum tidak dihormati dan penegakan hukum berjalan setengah hati dengan ibarat berada di persimpangan jalan panjang. Banyak contoh kasus di negeri ini yang menarik dijadikan sampel berkenaan dengan supremasi hukum dan penegakan hukum, antara lain bagaimana ketiadaan penghormatan supremasi hukum terhadap skandal Senturi. Bagaimana skandal mafia pajak yang salah satu aktornya “Gayus” dengan menampilkan pentas sandiwara hukum, yang oleh publik ditontonnya sebagai proses penegakan hukum yang setengah hati. Belum lagi menguaknya kasus Antasari Azhar (mantan Ketua KPK) yang diduga keras penuh rekayasa. Supremasi hukum dan penegakan hukum dua hal yang tidak terpisahkan, keduanya harus bersinergi untuk mewujudkan cita hukum, fungsi hukum dan tujuan hukum, yang sebesarbesarnya buat kemanfaatan, kebahagiaan dan kesejahtraan umat manusia yang bersendikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Abdul Manan (2009:189), menyatakan bahwa supremasi hukum merupakan doktrin sentral yang menjadi reason of existence hukum Eropa Barat. Secara embrio doktrin supremasi hukum sudah mulai berkembang sejak abad VII M. Lebih lanjut dikatakan bahwa term dan doktrin supremasi hukum telah dikenal sejak abad XI M, bahkan jauh sebelum itu pada abad VI M, Islam telah membawa misi reformasi besar untuk menegakkan supremasi hukum yang mengacu kepada upaya penciptaan kedamaian dan kesejahtraan yang mengantarkan manusia secara individu dan masyarakat sukses dan bahagia menjalani kehidupan dan selamat bahagia hidup di akhirat kelak (Abdul Manan,2009:190). Penegakan supremasi hukum dalam suatu Negara dapat berjalan dengan beberapa prinsip antara lain : 1. Prinsip Negara Hukum 2. Prinsip Konstitusi ad.1. Prinsip Negara Hukum Prinsip Negara hukum mengajarkan bahwa komunikasi dan interaksi sosial yang terdiri dari berbagai elemen komunitas berinteraksi dan bertransaksi untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Bahwa tatanan kehidupan dan komunikasi antar individu dalam suatu komunitas mengacu kepada aturan main yang disepakati dan dipakai sebagai acuan dan referensi para pihak dalam melakukan hubungan dan perbuatan hukum. Tidak pihak yang merasa dizalimi atau menzalimi(Soetandyo,2002:448). Atas dasar konsep tersebut, tidak ada kesemena-menaan yang dilakukan baik oleh penegak hukum maupun oleh pencari keadilan, sehingga melahirkan masyarakat sipil (civil society)di mana antar individu sebagai rakyat atau warga Negara mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat di depan hukum (equality before the law). ad.2. Prinsip Konstitusi Prinsip konstitusi dalam suatu Negara hukum mengajarkan bahwa landasan dan referensi yang dijadikan pedoman dalam bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara adalah konstitusi,sehingga hak-hak warga negara dan hakmasasi manusia masing-masing warga Negara dijamin, terayomi dan terlindungi oleh konstitusi. Prinsip tersebut di atas untuk perwujudannya diperlukan penegakan hukum, sehingga mutlak dilakukan langkah-langkah nyata enforscement, agar supremasi hukum bukan hanya symbol semata. Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan danmenerapkan hukum serta melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution)(Jimly asshiddiqie,2009:22). Bahkan penegakan hukum dalam arti yang lebih luas lagi, termasuk kegiatan penegakan hukum yang mencakup segala aktivitas yang bermaksud agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subyek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya (Jimly,2008:22). Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat dan badan-badan peradilan. Sudikno Mertokusumo (2005:160), menyatakan bahwa untuk memfungsikan hukum secara nyata, maka harus dilakukan penegakan hukum, oleh karena dengan jalan itulah maka hukum menjadi kenyataan dan dalam kenyataan hukum harus mencerminkan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan(gerechtigkeit). Demi supremasi hukum, maka penegakan hukum tidak boleh ditawar-tawar. Namun dalam implementasinya tetap harus dengan cara-cara yang mencerminkan nilai-nilai kemanusian, oleh karena hukum itu sendiri harus difungsikan sebagai sarana memanusiakan manusia.Bukan justru dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi manusia. Wahyuddin Husein Hufron (2008:211), menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah yang dapat menjamin kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkesejahtraan, berkepastian dan berkeadilan. Dari segi pendekatan akademik, dapat dikemukakan tiga konsep penegakan hukum sebagai berikut : 1. Total enforcement concept; 2. Full enforcement concept; 3. Actual enforcement concept. Konsep penegakan hukum yang bersifat total, menuntut agar semua nilai yang ada dibalik norma hukum turut ditegakkan tanpa kecuali. Konsep yang bersifat full yang menghendaki perlunya pembatasan dari konsep total dengan suatu hukum formil dalam rangka perlindungan kepentingan individual. Konsep penegakan hukum actual muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan yang ada dan kurangnya peran serta masyarakat (Wahyuddin H Hufron,2008:212). Bagaimana citra penegakan hukum di negeri ini?, pertanyaan tersebut dijawab bahwa semua mahfum dan bukan rahasia umum lagi penegakan hukum di negeri ini adalah merupakan barang langka dan mahal harganya. Hal ini terindikasi berada pada titik nadir (Wahyuddin H Hufron, 2008:212). Harkristuti. H (Wahyuddin,2008:212), menyatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini ditengarai mendekati titik nadir, telah menjadi sorotan yang luar biasa dari komunitas dalam negeri maupun internasional. Proses penegakan hukum, pada khususnya, acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Hikmahanto J (Dies Natalis ke 56 UI,2006), mengemukakan terdapat sekurang-kurangnya ada lima alasan mengapa hukum di Indonesia sulit ditegakkan atau dengan kata lain penegakan hukum di Indonesia sukar dilaksanakan, yaitu sebagai berikut : 1. Aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap; 2. Mafia peradilan marak dituduhkan; 3. Hukum seolah dapat dimainkan, dipelintirkan, bahkan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi; 4. Penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat; 5. Masyarakat apatis, mencemooh dan melakukan proses peradilan jalanan. Supremasi hukum dan penegakan hukum di negeri ini harus berjalan terus menerus sepanjang jalan Negara hukum Indonesia yang telah digariskan dalam UUD Negara RI 1945. Fiat justitia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum tetap harus ditegakkan. III. PENUTUP Supremasi hukum dan penegakan hukum bagi suatu Negara yang memilih sebagai Negara hukum rechtsstaat/rule of law atau apapun istilahnya, merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar.Demikian pulalah halnya Indonesia. Sejak semula bangsa ini mendirikan Negara the founding fathers telah memilih menjadi suatu Negara hukum, maka konsekuensi dari pada itu hukum harus menjadi fondasi dalam tatanan kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Namun tidak berhenti sampai disitu saja, akan tetapi berkelanjutan dengan pembangunan elemen-elemen hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai bangunan hukum yang dapat menaungi kepentingan segenap elemen bangsa dan dilakukan penegakan untuk menciptakan suasana yang kondusif dan memulihkan gangguan-gangguan yang timbul. Untuk itu semua, maka komitmen dari segenap elemen bangsa mutlak diperlukan untuk mendukung supremasi hukum dan penegakan hukum di negeri ini, agar kita tidak menjadi bangsa yang mengingkari dan bahkan menghianati pilihannya sendiri untuk bernegara dalam sebuah Negara hukum. Sumber : journal.umi.ac.id/pdfs/Supremasi_Hukum_dan_Penegakan_Hukum.pdf A. Latar belakang Ilum hukum adalah ilmu yang mandiri atau otonom, keberadaannya betul-betul independen lepas sama sekali dari anasir-anasir di luar dirinya. Ungkapan tersebut sudah lazim didengar terutama oleh mereka yang beraliran positifisme hukum. Bagi mereka hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan hukum yang dibuat oleh manusia[1]. Hukum yang dibuat oleh Tuhan adalah apa yang terdapat dalam kitab suci suatu agama yang memuat perintah maupun larangan seperti, perintah solat,puasa,zakat,menunaikan ibadah haji sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci umat Islam (Al-Qur’an) dan perintah yang lain yang terdapat dalam agama lain yang tertuang dalam kitab suci masing-masing. Adapun yang kedua adalah hukum yang dibuat oleh manusia dapat dibedakan menjadi dua yaitu hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dibuat oleh penguasa dalam hal ini pemerintah maupun institusi yang terkait, hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur, yaitu: perintah,sanksi,kewajiban dan kedaulatan.Kedua hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang berasal dari luar atau hukum yang bukan dari pemerintah itu sendiri, seperti hukum adat pada masyarakat adat dan lain-lain[2]. Apa yang diutarakan di atas merupakan pandangan dari aliran Analitical Jurisprudenci yang merupakan cabang positifisme hukum dimana tokoh penting dalam aliran tersebut adalah Jhon Austin. Berbeda halnya dengan. Aliran sosiologi hukum yang melihat hukum sebaliknya bahwa hukum tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat, kedua-duanya adalah saling menguatkan ketika proses pembuatan maupun ketika diberlakukan. Sehingga muncul istilah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat[3]. Kedua aliran atau mazhab hukum sebagaimana yang diungkapkan di atas melihat hukum berbedabeda hal ini tentu membawa konsekwensi perbedaan metologis masing-masing dalam melakukan kajian maupun penelitian terhadap hukum. Pada pembahasan kali ini sesuai dengan judul makalah studi hukum dalam perspektif ilmu sosial maupun pemanfaatn ilmu sosial pada hakikatnya samasama memiliki hubungan yang erat antara hukum maupun masyarakat kedua hal tersebut atau lebih sederhananya memiliki objek yang sama yaitu masyarakat. B. Pembahasan Seperti yang disinggung di atas pada dasarnya studi hukum dalam perspektif ilmu sosial maupun pemanfaatn ilmu sosial dalam studi hukum adalah dua hal yang menurut penulis sama-sama memberikan ruang yang terbuka antara satu dengan yang lain dalam melihat maupun merumuskan persoalan-persoalan hukum baik yang terjadi maupun masih dalam rancangan pembuatannya. Adanya keterbukaan hukum terhadap disiplin ilmu sosial merupakan sebuah bentuk dari ketidak puasan terhadap positifisme hukum yang sama sekali masih tertutup pada persoalan lain diluar dirinya, kompleksitas persoalan sosial yang terjadi telah mengubah pandangan para ilmuan hukum bahwa ketertutupan melihat persoalan-persoalan diluar dirinya menjadikan hukum tidak lebih dari musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum, atau seperti halnya seorang dokter yang hanya bisa menyembuhkan pasien tetapi tidak bisa memberikan saran supaya pasien tersebut tidak kambuh lagi, atau bagaimana caranya supaya seseorang supaya tidak terkena penyakit. Jika hukum diumpamakan seperti itu maka tidak cukup hanya berkutat pada persoalan norma dan aturan saja. Oleh karena itu menurut aliran sosiologi hukum atau aliran empiri pada umumnya berpendapat bahwa penstudi dan praktisi hukum harus melakukan kajian atau penelitian hukum secara sosiologi empiris. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa untuk mampu memahami hukum lalu lintas tidak bisa hanya membaca undang-undang lalu lintas saja, tetapi juga harus turun mengamati langsung apa yang terjadi dijalan raya[4]. Tujuan dari studi secara sosiologi empiri adalah dalam rangka menjawab problem sosial Selain itu dapat juga memberikan pemahaman yang utuh terhadap hukum baik dalam konteks norma maupun dalam konteks sosial dan juga memudahkan para penstudi hukum untuk mendorong perkembangan ilmu hukum yang mempunyai nilai guna bagi masyarakat, begitu pula akan berguna bagi para praktisi dan para legislator dalam merumuskan peraturan perundang-undangan agar bisa melindungi kepentingan masyarakat banyak sesuai dengan perkembangan zaman[5]. 1. Hukum dan masyarakat Menurut Satjipto Raharjo, hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari perspektif sosiologis hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur tangan manusia, sebagai golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun mereka yang wajib menjalankan ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia kedalam hukum[6]. Dalam karyanya yang lain Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyrakat. Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsi, yaitu[7]: a. Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang b. Penyelesaian sengketa-sengketa c. Menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahanperubahan sosial Dari tiga pekerjaan hukum sebagaimana disinggung di atas dapat digolongkan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial , yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Lebih lanjut Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa apabila proses pengontrolan sosial tersebut dihubungkan dengan bagan hubungan sibernetik dari parsons, maka tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh hukum itu tidak sama sekali otonom, melainkan kait-berkait dengan proses-proses lain yang berlangsung dalam masyarakat. Kait-berkait dalam arti, baik hukum itu mengontrol maupun dikontrol oleh berbagai proses dalam masyarakat ituserta bekerjanya hukum itu dikondisikan pula oleh proses-proses yang memuat energi lebih yang besar[8]. Suatu hal yang mustahil jika hukum bisa terlepas dan otonom dari unsur-unsur yang lain, oleh karena itu dalam hal ini Sabian Ustman melihat hukum sebagai fakta sosial tidaklah dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom dan atau mandiri, akan teteapi sebagai suatu institusi sosial yang selalu membumi secara riil dengan pola-pola dan atau variabel-variabel sosial yang senyatanya hidup dan berkembang serta berakar di masyarakat.[9] Lebih lanjut Sabian berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar anatara hukum sebagai fakta hukum dengan hukum sebagai fakta sosial. Hukum sebagai fakta hukum spekulatif teoritis dan normatif, sementara hukum sebagai fakta sosial bersifat sosiologis’empiris,non-doktrinal dan nonnormatif. Dengan demikian dapat dikatakan bahawa hukum dan dinamika sosial adalah dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat memberi hidup hukum sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana pandangan sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Lebih jauh Aliran ini berpandangan bahwa kaitannya dengan hukum yang positif,dia hanya akan bisa efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat dan pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justeru terletak di dalam masyrakat itu sendiri. Hal yang senada di ungkapkan oleh Awaludin Marwan yang berpendapat bahwa hukum tidak bisa lepas dari masyarakat secara sosial , hukum dilaksanakan dibuat dan diterapkan atas mandat masyarakat. Sehingga mempelajari hukum pertama-tama hendaknya mempelajari masyarakatnya. Tidak ada hukum tampa ada masyarakat[10]. Lebih lanjut Awaludin Marwan berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik dari masyarakat, yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan masyarakat. Hukum yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah hukum yang baik dan hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan dirobohkan. Senada dengan apa yang di ungkapkan oleh para pemeikir tersebut di atas Menurut Sulistiowati Irianto. Kegagalan gerakan pembangunan hukum dibeberapa negara berkembang dalam konteks tertentu baik dalam arus utama tidak dapat menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan yang rumit dan tidak bisa dijawab secara tekstual dan mono disiplin dan dalam kondisi seperti itu penjelasan yang lebih mendasar dan mencerahkan bisa didapatkan secara interdisipliner. Oleh karenanya menurutnya dibutuhkan suatu pendekatan hukum yang bisa menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks negara yang sedang berkembang studi ilmu hukum harus dapat mengkombinasikan antara ilmu sosial dan ilmu hukum[11]. Menarik untuk disimak pendapat para ahli hukum sebagaimana penulis sebutkan di atas, hukum tidak lagi sebagai sebuah musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum melainkan merupakan wujud dari dinamika kehidupan sosial. Dengan berangkat dari pendapat Satjipto Raharjo Bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan hukum untuk hukum merupakan sebuah paradigma baru melihat dan menyikapi hukum yang keberadaannya tidak bisa mengabaikan masyarakat begitu saja.. 2. Studi Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosiologi Dan Konsekuensi Metodeloginya Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial adalah sebuah upaya melakukan konstuksi hukum berdasarkan atas penomena sosial yang ada. Prilaku masyarakat yang dikaji adalah prilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat prilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif[12]. Contoh yang dapat digambarkan dalam model studi hukum dalam perspektif sosial adalah misalnya studi tentang hukum pertanahan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kita bisa mulai dari aturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Apakah ada ketidak sesuaian antara peraturan perundangan dengan kondisi masyarakat, sehingga menimbulkan konflik ketika pemrintah melakuakan pembebasan tanah dan seterusnya. Studi hukum perspektif sosiologi dapat menggambarkan hubungan hukum dengan masyarakat dalam bentuk: a. Kesesuaian antara semangat hukum dengan realitas masyarakat yang ada. b. Peluang dan tantangan ketika hukum tersebut di undangkan c. Mengetahui pengaruh ditetapkannya sebuah ketentua terhadap prilaku masyarakat Konsekuensi metodelogi yang digunakan dalam studi ini adalah perkawinan antara metode hukum dengan ilmu sosial yang kemudian menghasilkan metode kwalitatif sosiolegal dan etnografi sosiolegal[13]. 3. Studi sosiologi dalam ilmu hukum dan konsekuensi metodeloginya. Studi sosiologi berbeda dengan sosiologi hukum, dimana sosiologi hukum benih intelektualnya terutama berasal dari sosiologi arus utama, dan bertujuan untuk dapat mengkonstruksi pemahaman toritik dari sistem hukum. Ha itu dilakukan oleh para sosiolog hukum dengan cara menempatkan hukum dalam kerangka struktur sosial yang luas. Hukum, preskripsi hukum dan definisi hukum tidak diasumsikan atau diterima begitu saja, tetapi dianalisis secara problematik dan dianggap penting untuk dikaji kemunculan-artikulasi dan tujuan. Hukum sebagai mekanisme regulasi sosial dan hukum sebagai sesuatu profesi dan disiplin, menjadi perhatian dalam studi ini. Studi ini banyak memusatkan perhatian kepada wacana hukum yang merupakan bagian dari pengalaman dalam kehidupan keseharian masyarakat. Hukum yang dimaksud adalah kaidah atau norma sosial yang telah ditegaskan sebagai hukum dalam bentuk perundang-undangan. Lingkup kajiannya adalah mengenai berfungsi atau tidaknya hukum dalam masyarakat dengan melihat aspek struktur hukum, dan aparat penegak hukum. Beberapa konsep penting yang dikaji adalah mengenai pengendalian sosial, sosialisasi hukum, stratifikasi,perubahan hukum dan perubahan sosial. Karena menginduk pada sosiologi maka konsekwensi metodeloginya adalah menggunakan metodelogi penelitian sosiologis yang secara tradisi dicirikan berada dalam ranah kuantitatif[14].