82 BAB 6 PEMBAHASAN UMUM Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia dan memegang peranan penting untuk memenuhi kebuhan minyak nabati dalam negeri. Untuk meningkatkan peranan kelapa sawit dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi tanaman kelapa sawit. Untuk mencapai peningkatan perluasan areal pertanaman kelapa sawit membutuhkan bibit yang sangat besar. Salah satu cara penyediaan bibit kelapa sawit dapat melalui kultur jaringan. Kelebihan melalui kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat. Namun, timbulnya masalah abnormalitas pada organ reproduktif dari tanaman hasil kultur jaringan. Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan penelitian karakterisasi abnnormalitas embrio somatik kelapa sawit. Karakterisasi abnormalitas embrio somatik (ES) berdasarkan morfologi terlihat perbedaan mulai dari tahap globular, skutellar berbentuk hati dan kotiledon. Hasil yang diperoleh dari 3 klon (klon 638, 636 dan 558) memberikan informasi bahwa abnormalitas morfologi terjadi pada masing-masing tahap perkembangan embrio somatik. Perubahan morfologi normal menjadi abnormal pada tahap globular, skutellar berbentuk hati dan kotiledon sangat beragam dari masing-masing klon. Perubahan morfologi yang jelas terlihat pada tahap skutellar berbentuk hati dan kotiledon. Pada embrio somatik normal memiliki pertumbuhan sel meristem yang teratur, perkembangan prokambial strand yang teratur atau tidak bercabang dan memiliki satu lapisan sel protoderm yang jelas. Karakterisasi abnormalitas secara histologi terlihat dari sel meristematik, prokambial strand dan protoderm. Pada embrio somatik abnormal terlihat jelas pada tahap skutellar berbentuk hati dan kotiledon. Pada ES abnormal memiliki prokambial strand yang bercabang dan lapisan sel protoderm tidak jelas. Embrio somatik abnormal secara morfologi dan histologi pada klon 638 dan klon 558, akan tetapi pada klon 636 ES tahap kotiledon secara morfologi abnormal tetapi secara histologi normal, oleh karena perubahan karakter secara morfologi dan histologi terlihat jelas pada klon 638 83 dan 558 maka penelitian lebih lanjut hanya digunakan 2 klon pada embrio somatik. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari perubahan morfologi dan histologi maka dilakukan deteksi perubahan sekuens DNA genom dengan teknik RAPD dan RAF. Karakterisasi secara genetik dideteksi dengan RAPD dan RAF. ES pada tahap globular normal dan abnormal tidak berbeda secara genetik, akan tetapi pada ES tahap kotiledon normal dan abnormal , antara planlet dan tanaman induk normal dapat dibedakan secara genetik. Deteksi dengan teknik RAPD menghasilkan pola pita DNA polimorfik berkisar 750 sampai 5000 bp. Dari sepuluh primer terdapat 5 primer yang dapat membedakan antara ES kotiledon normal dan abnormal pada klon 638 dan ada 3 primer yang dapat membedakan antara ES kotiledon normal dan abnormal pada klon 558. Berdasarkan hasil RAPD terdapat 5 primer yang dapat membedakan ES kotiledon normal dan abnormal maka penelitian lebih lanjut untuk deteksi genetik dengan teknik RAF digunakan hanya klon 638. Informasi yang diperoleh dengan teknik RAF untuk deteksi perubahan morfologi ES, planlet dan tanaman induk normal dapat diketahui perubahan sekuens DNA genom disekitar 90 – 380 bp. Perubahan morfologi ES kotiledon normal menjadi abnormal dapat dibedakan dengan perubahan fragmen antara 1-10 bp dan perubahan sekuens DNA genom dapat dibedakan dengan 6 primer. Dengan menggunakan primer yang sama (AP-20 dan W-15) dan teknik yang berbeda ternyata dapat membedakan ES kotiledon normal dan abnormal. Dengan teknik RAPD dapat membedakan pada pita 750 – 5000 bp, sedangkan RAF dapat membedakan pada 150 -358 bp. Dari deteksi genetik perbedaan yang sangat nyata pada tahap kotiledon maka dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pendugaan bahwa perubahan morfologi menjadi abnormal dapat bersifat epigenetik. Untuk itu dilakukan deteksi lokasi metilasi pada ES kotiledon abnormal dan tanaman induk normal. Dari hasil yang diperoleh bahwa metilasi sitosin terjadi pada ES kotiledon normal dan tanaman induk normal. Metilasi sitosin pada DNA genom dapat dideteksi lokasi metilasi internal, eksternal dan metilasi penuh (fully-metilated) dengan teknik RAF-sensitif metilasi. Hasil ini menunjukkan bahwa lokasi 84 terjadinya metilasi internal, eksternal dan metilasi penuh pada ES kotiledon abnormal berbeda dengan tanaman induk normal. Pada penelitian ini juga dilakukan deteksi kandungan metilasi sitosin dengan teknik RP-HPLC. Perubahan kandungan metil-sitosin antara ES normal dan abnormal sangat kecil sekitar 0,25 – 2,72 %. Perubahan kandungan metilasi sitosin pada ES pada klon 558 terjadi peningkatan atau terjadi hipermetilasi sedangkan pada klon 638 terjadi penurunan atau hipometilasi. Perubahan secara morfologi terjadi pada ES globular normal menjadi abnormal, perubahan bentuk secara morfologi terjadi tetapi secara histologi tidak terlihat jelas perubahan pada ketiga klon. Perubahan normal menjadi abnormal secara histologi dapat terlihat pada tahap scutellar berbentuk hati dan kotiledon pada klon 638 dan klon 558, sedangkan ES kotiledon pada klon 636 secara morfologi abnormal tetapi secara histologi normal, karena hasil histologi dari susunan anatomi sel protoderm yang rapi dan memiliki satu lapisan sel, sel meristemetik bagian apikal bakal jadi tunas dan meristem akar sangat terlihat jelas. Perubahan morfologi ini dapat terjadi akibat keragaman somaklonal pada masa kultur. Perubahan morfologi normal menjadi abnormal dapat disebabkan terjadinya differensiasi sel yang tidak beraturan oleh pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D yang sangat tinggi pada awal inisiasi. Pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D berperan menginduksi kalus embriogenik (Kysely dan Jacobsen, 1990). Menurut Griga et al. (1995), Griga and Letal (1995) differensiasi kalus menjadi embrio somatik menghasilkan keragaman somaklonal. Keragaman somaklonal didefinisikan sebagai keragaman genetik dan fenotipik (Bayliss, 1988; Sun and Zheng, 1990 ; Veilleux and Johson, 1998). Penyebab variasi somaklonal melalui proses kultur jaringan yang dipengaruhi oleh lingkungan atau media tumbuh. Embriogenesis somatik dapat didorong oleh faktor non-hormonal yaitu seperti stress lingkungan (Dijak et al. 1986), konsentrasi garam tidak optimal ( Kiyosue et al, 1989), antibiotik (Nakano and Mii, 1993), pemberian inorganik nitrogen seperti NO3- dan NH embrio ( Joy et al. 1996 ; Poddar et al. 1997). + 4 juga mendorong perkembangan 85 Morfologi embrio somatik pada tahap scutellar berbentuk hati normal berbentuk asimetri sedangkan pada abnormal tidak asimetri. Terjadi perubahan morfologi pada embrio somatik scutellar berbentuk hati melalui perubahan meiosis atau somatik. Variasi genetik dalam kultur didasari sebagai perubahan sitologi termasuk perubahan ploidi dan pematahan kromosom, mutasi gen tunggal dan aktivasi gen (Kaeppler et al. 1998). Hammerschlag (1992) mendata bukti ilmiah terjadinya keragaman somaklonal hasil kultur in vitro pada banyak tanaman, kemungkinan mekanismenya dan pemanfaatannya dalam pemuliaan tanaman. Mekanisme terjadinya keragaman somaklonal diantaranya disebabkan oleh perubahan genetik spesifik, misalnya mutasi titik (single nukleotide changes), perubahan jumlah kopi gen tertentu, aktivasi transposable element, perubahan jumlah kromosom, kromosomal rearrangements dan metilasi DNA. Pada ES tahap kotiledon normal hanya memilki satu kotiledon, sedangkan ES kotiledon abnormal memiliki lebih dari satu kotiledon dan morfologi yang terbentuk seperti bunga (cauli flower), bergerombol yaitu tidak terpisah satu sama lain (Gambar 4). Perubahan morfologi yang terjadi dari nomal menjadi abnormal sangat dipengaruhi lamanya perlakuan auksin dalam kultur (Hepher et al. 1988). Abnormalitas perkembangan embrio somatik ada beberapa sistem yaitu dapat disebabkan beberapa faktor yaitu kondisi kultur yang tidak mencukupi sering terjadi pada kultivar spesifik, terjadi fusi embrio, pembentukan kotiledon lebih dari dua dan kehilangan pembentukan apikal meristem proper (Alemanno et al. 1996). Abnormalitas embrio somatik tahap kotiledon terjadi pada Pisum sativum karena setelah terbentuk tahap globular, langsung terbentuk ES torpedo tanpa melalui tahap hati atau setelah terbentuk hati langsung terbentuk kotiledon tanpa melalui tahap torpedo, sehingga morfologi kotiledon berubah menjadi abnormal. Abnormalitas secara morfologi pada tahap kotiledon yaitu meningkatkan atau mengurangi jumlah kotiledon. Bentuk ES kotiledon abnormal seperti : bunga, daun , trumpet (Griga, 2002). Dari hasil karakterisasi secara histologi terlihat perubahan pracambial strand dan protoderm pada tahap scuttelar berbentuk hati dan perbedaan yang sangat nyata pada tahap kotiledon pada klon 638 dan 558. Hal ini terlihat jelas pada ES kotiledon abnormal terlihat procambial strand dan protoderm normal. 86 Dari hasil ini lebih lanjut dilakukan deteksi genetik dengan menggunakan teknik RAPD dan RAF. Deteksi RAPD dilakukan hanya pada klon 638 dan 558, karena hasil histologi pada klon 636 tidak terlihat jelas perbedaan antara ES normal dan abnormal. Pada penelitian ini dilakukan deteksi abnormalitas embrio somatik untuk melihat perubahan sekuens DNA genom embrio somatik melalui teknik RAPD. Hasil deteksi RAPD perubahan pola pita terlihat pada 750 bp – 5000 bp. Perubahan morfologi ES kotiledon normal menjadi abnormal disebabkan perubahan genetik. RAPD sebagai marka molekuler telah banyak digunakan dalam studi keragaman genetik, misalnya kelapa ( Ashburner et al. 1997), Sorghum (Menkir et al. 1997), Kedelai ( Doldi et al. 1997), blueberry (Levi dan Rowland, 1997) dan kelapa sawit (Shah, 1994 ; Moretzsohn, 2000 ; Rajanaidu et al. 2000). Dari hasil RAPD untuk klon 638 diperoleh 5 primer yang dapat membedakan antara kotiledon abnormal dan normal, maka untuk lebih jelas deteksi abnormalitas perubahan genetik pada ES kotiledon normal dan abnormal. Pada teknik RAF hanya menggunakan klon 638 dan terdapat 6 dari 8 primer yang dapat membedakan antara kotiledon normal dan abnormal, planlet dan daun tanaman induk normal. Teknik RAF ini memiliki keunggulan yaitu lebih selektif, efektif dan efisien dan dapat memperlihatkan perbedaan 1-10 bp. Perubahan sekuens DNA genom dapat dideteksi hingga satu pasang basa. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan primer AB-16 terdapat fragmen polimorfik pada 90 bp dan 91 bp, perubahan sekuen DNA genom ini disebut mutasi titik. Ada tiga dari enam primer (AO-12, BB-18 dan W-15) yang polimorfik menunjukan perbedaan antara ES kotiledon normal dan abnormal pada fragmen yang spesifik pada 150 bp. Penyimpangan genetik yang terjadi pada embrio somatik dengan teknik RAPD sekitar 47 % pada klon 638 dan 48 % pada klon 558 dan dengan teknik RAF sekitar 71% (lampiran 6). Dari hasil penyimpangan genetik terlihat bahwa teknik RAF lebih sensitif dibandingkan dengan teknik RAPD. Abnormalitas yang terjadi pada ES kotiledon disebabkan perubahan sekuen DNA genom atau mutasi titik. Mutasi titik yang terjadi pada DNA genom 87 ES kotiledon abnormal dapat disebabkan pemberian zat pengatur tumbuh 2,4 D dan sub kultur yang berulang kali. Zat pengatur tumbuh 2,4 D pada konsentrasi rendah akan menginduksi terbentuknya kalus, tetapi pada konsentrasi tinggi sering dianggap sebagai penyebab timbulnya mutasi karena bersifat herbisida dan akan menyebabkan perubahan jaringan tanaman untuk mempertahankan diri dengan mengubah sistem metabolismenya sehingga akan terjadi perubahan genetik atau epigenetik atau hanya perubahan fisiologi saja (Meins & Beinns 1977 ; Suryowinoto 1996). Hormon dapat mempengaruhi keragaman pada kultur jaringan yang menyebabkan penigkatan metilasi pada beberapa kultur monokotil, akan tetapi hormon yang terdapat pada media kultur jaringan seperti 2,4 D bersifat herbisida yang dapat meningkatkan transkripsi. Peningkatan transkripsi dapat mengubah struktur kromatin. Perubahan ini dapat merusak stabilitas genom dan menghasilkan sekuen yang berulang. Phillips et al. (1994) mengemukakan bahwa tanaman yang beregenerasi dari kultur kalus yang relatif tidak berdifferensiasi yang kemungkinan terjadinya perubahan genetik yang sangat besar. Perubahan tersebut mencakup perubahan dalam pengaturan kromosom dan mutasi gen tunggal umumnya yang resesif, metilasi DNA dan fenomena mutasi titik yang berulang yang biasanya disebut kesalahan pengaturan yang mempengaruhi premetiotik. Zat pengatur tumbuh 2,4D dapat menginduksi terjadinya mutasi yang disebabkan oleh repeat-induced point mutation (RIP) pada tanaman hasil kultur jaringan. Menurut Pavlica et al. (1991) menunjukkan bahwa 2,4-D menyebabkan perubahan pada kromatin dan struktur kromosom pada ujung akar tanaman shallot dan kultur sel manusia. ZPT 2,4-D diketahui menginduksi aberasi kromosom pada tanaman secara in vivo dan in vitro dan juga terjadi perubahan level ploidi (Ronchi et al. 1976). Karp (1995) melaporkan bahwa keragaman somaklonal juga dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan kedalam medium. Auksin 2,4-D merupakan zat pengatur tumbuh yang mampu meningkatkan frekuensi terjadinya mutasi didalam sel. Menurut Xu et al. (2004) menyatakan pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D ke media kultur menunjukkan perbedaan metilasi DNA pada kultur jaringan tanaman Rosa hybrida L 88 Dari hasil deteksi perubahan basa sekuens DNA dengan teknik RAF diperoleh abnormalitas ES kotiledon terjadi karena perubahan sekuen DNA genom. Perubahan ini terlihat pada satu pasang basa yang disebut mutasi titik yaitu pada situs 91 bp dengan primer AB-16. Untuk mendeteksi hubungan metilasi dengan terjadinya abnormalitas maka dilakukan deteksi situs terjadinya metilasi pada DNA genom embrio somatik dan tanaman induk normal. Pada deteksi situs terjadi metilasi sitosin pada DNA genom hanya dideteksi pada ES kotiledon abnormal dan tanaman induk normal.. Hasil yang diperoleh dapat diketahui situs terjadinya metilasi internal, metilasi eksternal dan metilasi penuh pada embrio somatik tahap ES kotiledon abnormal dan tanaman induk normal. Ada empat primer yang dapat mengamplifikasi hasil pemotongan enzim HpaII dan MspI dan dapat mendeteksi terjadinya metilasi internal, eksternal dan metilasi penuh pada ES kotiledon abnormal maupun tanaman induk normal. Pada ES kotiledon abnormal dan tanaman induk normal terdeteksi terjadi metilasi sitosin dengan situs yang berbeda dideteksi oleh tiga dari empat primer (AB-16, AO-11, AP-20). Hal ini yang sama juga terjadi pada tanaman bunga mawar (Xu et al. 2004) , tanaman apel (Li et al. 2002), 15 % sitosin termetilasi pada genom pisang ( Baurens et al. 2003). Metilasi sitosin dapat terdeteksi pada kotiledon abnormal maupun tanaman induk normal tetapi situs pada DNA genom berbeda. Dari hasil ini ditunjukkan bahwa abnormalitas ES kotiledon yang terjadi diduga dapat memicu terjadinya mutasi titik (Tabel 10). Diduga perubahan situs terjadinya metilasi pada ES kotiledon abnormal dapat memicu terjadinya mutasi titik. Menurut Zingg dan Jones (1997) menyatakan terjadinya deaminasi pada sitosin mengakibatkan terjadi perubahan sitosin menjadi timin, sehingga frekuensi mutasi terjadi secara spontan. Mutasi titik yaitu perubahan yang terjadi pada satu pasang basa DNA pada satu gen. Mutasi titik ini dapat terjadi melalui subtitusi pasangan basa yaitu pertukaran antara basa pirimidin dengan pirimidin ( transisi ) atau pirimidin dengan purin (transversi) (Madigan et al. 2000) Menurut Phillips et al. (1994) menyatakan berbagai tipe mutasi yang berhubungan dengan kultur jaringan merupakan faktor yang bertanggung jawab dalam berbagai perubahan fenotipik. Perubahan tersebut mencakup aberasi 89 sitologis yang disebabkan oleh patahnya ikatan kromosom, pertukaran basa tunggal, perubahan dalam jumlah kopi sekuens yang berurutan dan perubahan pola metilasi DNA. Perubahan-perubahan tersebut lebih disebabkan oleh lingkungan kultur yang dapat mengakibatkan terputusnya kontrol seluler dan menimbulkan perubahan genomik dalam proses selular akan menyebabkan abnormalitas. Tanaman menyimpan informasi genetiknya dalam genom inti maupun organel (khloroplas dan mitokondria). Genom adalah keseluruhan gen dari suatu organisme yang mengendalikan seluruh metabolisme sehingga organisme tersebut dapat hidup dengan sempurna. Gen dari setiap organisme dapat mengalami perubahan yang disebut mutasi. Proses mutasi dapat terjadi pada satu gen yang disebut mutasi gen, atau melibatkan potongan kromosom, kromosom utuh atau juga seluruh set kromosom secara kolektif yang disebut mutasi kromosom. Beberapa mekanisme mutasi seperti delesi, duplikasi, inversi dan translokasi yang dapat mengubah fenotipe tanaman. Dengan demikian penggunaan penanda DNA lebih mampu menggambarkan keadaan genom tanaman yang sesungguhnya. Dari hasil analisis kandungan metilasi sitosin DNA genom kelapa sawit dan hubungannya dengan embrio somatik in vitro dengan teknik RP-HPLC. Diperoleh informasi yaitu perbedaan kandungan metilasi sitosin DNA genom embrio somatik dan tanaman induk normal sangat kecil. Kandungan metilasi sitosin menurun pada kotiledon abnormal sekitar 0,38 % yaitu terjadi hipometilasi. Abnormalitas yang terjadi pada ES kotiledon disebabkan pengaruh tidak langsung dari kandungan metilasi sitosin yang menurun atau terjadi hipometilasi pada ES kotiledon. Kaeppler dan Phillips (1993a) melaporkan bahwa tanaman yang kurang nutrisi dan stress air tidak menunjukkan perubahan metilasi yang diamati pada regeneran kultur jaringan. Perubahan metilasi terjadi ditandai dengan pemberian zat pengatur tumbuh pada media kultur jaringan (Kaeppler et al. 1998). Menurut Kakutani et al. (1996) mengatakan hipometilasi DNA yang terjadi dapat meningkatkan laju mutasi disebabkan terjadinya peningkatan transposisi elemen atau peningkatan laju rekombinasi yang dimediasi pengaturan genom kembali dan mengakibatkan tanaman menderita cacat atau penyimpangan lain. 90 Kaeppler (1992) mengemukakan terjadinya hipometilasi DNA memiliki frekuensi yang sangat tinggi pada kultur jaringan. Akan tetapi pada kultur jaringan tidak selalu terjadi penurunan metilasi siotosin. Bucherna et al. (2001) melaporkan, ketika kultur dipelihara pada level sitokinin lebih dibandingkan dengan auksin sehingga kandungan metilasi sitosin DNA tinggi dalam kultur suspensi pada tanaman terung. Menurut Smulders et al. (1995) mendeteksi terjadi peningkatan metilasi pada kalus tomat dibandingkan dengan daun induk, sama halnya terjadi pada kacang hasil turunan dari kultur jaringan menunjukkan terjadi proses hipermetilasi (Cecchini et al. 1992), perubahan metilasi DNA pada tanaman kultur jaringan kentang (Hardining, 1994), pisang (peraza-Echeverria et al. 2001) dan kelapa sawit (Matthes et al. 2001). Jika regenerasi kultur jaringan dalam kondisi kultur sangat lama maka dapat terjadi frekuensi mutasi yang tinggi ( Fukui, 1983). Ini menunjukkan bahwa lamanya dalam kultur merupakan faktor mutagenik karena penelitian mutasi ini tidak dari sumber eksplan, tetapi perubahan metilasi terjadi dalam kondisi pertumbuhan kultur jaringan (Li et al. 2002). Demetilasi terjadi selama kondisi kultur jaringan menunjukkan bahwa gen-gen dapat diaktifkan melalui proses kultur jaringan (Finnegan et al. 1998). Woffe et al. (1999) metilasi pada C dalam DNA genomik memainkan peran kunci dalam regulasi ekspresi gen. Sebagian besar hipotesis mengatakan bahwa pola metilasi yang terbentuk selama perkembangan mengalami demetilasi pada jaringan spesifik dimana kelompok metil dilepaskan dari tempat kritis dari suatu gen yang telah dijadwalkan terekspresi pada tipe sel tertentu. Pola perkembangan sel embrio, sebagian besar gen termetilasi kemudian diferensiasi sel membentuk jaringan spesifik terjadi penghilangan kelompok metil pada basa sitosin (demetilasi) sehingga gen-gen terekspresi pada jaringan tersebut (Gardner et al. 1991). Tanaman dengan penurunan metilasi sitosin memperlihatkan sejumlah fenotip dan perkembangan abnormal meliputi menurun dominasi apikal, ukuran tanaman lebih kecil, ukuran dan bentuk daun berubah, fertilisasi menurun dan waktu pembungaan berubah (Finnegan et al. 1996).