I. 1.1. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, hal ini dibuktikan dengan melimpahnya hasil pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor andalan untuk mengendalikan keberlangsungan hidup negara Indonesia terutama untuk menjaga dan mewujudkan ketahanan pangan. Salah satu usaha yang dilakukan adalah meningkatkan nilai tambah produk pertanian yang bertujuan agar pemanfaatan produk pertanian dapat dilakukan secara maksimal sehingga menghasilkan produk bernilai jual tinggi. Perkembangan zaman yang sangat pesat menuntut produsen untuk berinovasi terhadap hasil pertanian menjadi berbagai macam produk yang menarik, diminati konsumen, ekonomis serta bermanfaat bagi kesehatan (Hanawati, 2011). Usaha penganekaragaman pangan sangat penting artinya sebagai usaha untuk mengatasi masalah ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja, misalnya dengan mengolah serelia, kacang-kacangan dan umbi-umbian menjadi berbagai bentuk produk yang mempunyai rasa khas dan memiliki umur simpan yang panjang. Pengolahan produk umbi-umbian umumnya masih belum berkembang sehingga nilai gizinya rendah. Faktor penunjang keberhasilan program diversifikasi pangan dengan berbasis umbi-umbian adalah dengan melakukan teknologi yang sesuai, seperti mengolah umbi-umbian agar lebih menarik untuk dikonsumsi dan dapat meningkatkan kandungan gizinya. Selain itu, pada kondisi seperti sekarang ini dituntut kepraktisan dan hemat waktu dalam penyajian pangan apalagi untuk kebutuhan sarapan. Permintaan konsumen akan sarapan sekarang ini bergeser menjadi suatu produk sarapan yang praktis, cepat saji serta bergizi (Anggiarini, 2004). Banyak di antara kita tidak memperdulikan sarapan, padahal sarapan sangat penting. Sarapan penting bagi tubuh karena dapat membuat kadar gula darah menjadi normal sehingga konsentrasi pikiran menjadi baik. Sarapan memenuhi sekitar 25% dari total energi per hari yang dibutuhkan untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Proses penyiapan sarapan yang memerlukan waktu lama kurang menguntungkan. Padatnya kegiatan masyarakat dewasa ini menyebabkan sering terabaikannya kegiatan sarapan pagi. Solusinya adalah makanan yang cepat dan praktis dalam penyajiannya namun memenuhi kebutuhan standar gizi. Salah satu bentuk sarapan yang praktis adalah flakes. Flakes diartikan produk makanan kering berwarna kuning kecoklatan, tekstur renyah, berbentuk lembaran tipis, dan mempunyai kemampuan untuk melakukan rehidrasi (Gupta, 1990). Bahan pembuatan flakes umumnya adalah dari jenis serealia seperti jagung yang disebut corn flakes, namun pada perkembangannya dapat juga terbuat dari ubi jalar (sweet potato). Komposisi gizi yang terkandung dalam sweet potato flakes (100 g) adalah energi 337,9 kkal, protein 9,5 g, lemak 2,1 g, serat 9,1 g, air 6,66 g, mineral 2,10 g, karbohidrat 79,1 g. Sementara pada corn flakes adalah energi 372 kkal, protein 6,1 g, lemak 1,2 g, serat 1,9 g, karbohidrat 84,1 g, tanpa kandungan air dan mineral (Koswara, 2013). Penelitian tentang flakes sudah pernah dilakukan oleh Andarwulan et al., (2004) dengan bahan baku ubi jalar, kecambah kedelai, dan wheat germ. Demikian juga Khasanah (2003) pernah meneliti flakes dengan bahan baku ubi jalar (sweet potato). Dalam penelitiannya Anggiarini (2004) juga menggunakan ubi jalar sebagai bahan bakunya. Berdasarkan hal tersebut maka memungkinkan jika umbi-umbian lain seperti kentang dapat diolah menjadi flakes. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman dari suku Solanaceae yang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut "kentang" pula. Seperti yang telah diketahui bahwa kentang merupakan sebuah bahan masakan yang sangat digemari oleh hampir seluruh orang di penjuru dunia ini. Bahkan di sejumlah daerah, ada yang menjadikan kentang ini sebagai makanan pokok mereka. Cita rasanya netral sehingga mudah dipadupadankan dengan beragam bahan sebagai bahan baku kue tradisional dan modern. Selain itu, kentang juga kaya akan kandungan vitamin B, vitamin C, dan vitamin A yang sangat baik untuk mata kita. Kentang juga menjadi sumber karbohidrat yang penting di Indonesia ini. Indonesia merupakan penghasil kentang yang besar yaitu 1.060.805 ton pada tahun 2010 (Anon., 2010). Pada penelitian ini menggunakan kentang kukus sebagai bahan baku dikarenakan flakes yang dihasilkan mempunyai warna yang sesuai dengan yang diinginkan dibandingkan dengan menggunakan tepung kentang. Penggunaan tepung kentang menghasilkan warna yang lebih coklat sehingga tidak sesuai dengan flakes pada umumnya. 1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah perbandingan kentang kukus dengan terigu berpengaruh terhadap karakteristik flakes? 2. Berapakah perbandingan kentang kukus dengan terigu yang tepat sehingga dihasilkan flakes dengan karakteristik terbaik? 1.3. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengaruh perbandingan kentang kukus dengan terigu terhadap karakteristik flakes. 2. Untuk mengetahui perbandingan yang tepat antara kentang kukus dengan terigu yang mampu menghasilkan flakes dengan karakteristik terbaik. 1.4. Hipotesis 1. Perbandingan kentang kukus dengan terigu berpengaruh terhadap karakteristik flakes. 2. Perbandingan tertentu dari kentang kukus dengan terigu mampu menghasilkan flakes dengan karakteristik terbaik. 1.5. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa umbi-umbian seperti kentang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan flakes dengan perbandingan terigu yang sesuai sehingga dihasilkan flakes yang disukai untuk dikonsumsi. Selain itu memberikan informasi mengenai evaluasi sensoris flakes yang dihasilkan sesuai dengan perbandingan kentang dengan terigu yang digunakan.