BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom Down adalah suatu anomali kromosom autosomal yang banyak terjadi pada manusia. Sindrom Down dulu disebut sebagai “Mongoloid” karena tampilan mata yang khas seperti bangsa Mongol, namun sekarang istilah ini sudah tidak digunakan lagi karena dapat menyinggung perasaan bangsa tertentu. Anak sindrom Down memiliki karakteristik umum yaitu muka rata, hidung tipis (pesek), garis tangan yang khas (Simian crease), jarak ibu jari dan telunjuk pada jari kaki lebih besar, dan jarak antara kedua mata tampak lebih dekat. Adapun karakteristik khas pada rongga mulut anak sindrom Down antara lain maloklusi, hypodontia, microdontia, macroglossia, terlambatnya erupsi gigi, bibir dan lidah yang berfisur, tongue thrust, bruxism, clenching, mouth breathing, periodontitis, dan karies gigi. Angka kejadian sindrom Down diperkirakan 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup, tepatnya 20% anak sindrom Down dilahirkan oleh ibu yang berumur di atas 35 tahun. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, diperoleh bahwa prevalensi anak umur 24-59 bulan yang mengalami sindrom Down sebesar 0,13%.1-3 Beberapa penelitian mengatakan bahwa karies pada anak sindrom Down bukan merupakan masalah karena insidensinya lebih rendah dibanding anak normal. Menurut de Castilho (cit Normastura), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain terlambatnya erupsi gigi, banyaknya saliva dan microdontia yang membuat kemampuan daya self-cleansing dan buffer menjadi cukup baik. Namun, ada juga penelitian yang mengatakan bahwa pada anak sindrom Down dijumpai insiden karies gigi yang lebih tinggi. Insidensi karies yang tinggi pada anak sindrom Down kemungkinan disebabkan karena kurangnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi, tindakan kesehatan gigi dan mulut yang kurang memadai, kebiasaan makan yang tidak teratur, ketersediaan makanan yang mengandung sukrosa yang tinggi, kurangnya fluor, kelalaian orang tua dan kurangnya inisiatif terhadap pencegahan. Universitas Sumatera Utara Stabholz dkk (cit Asokan) menyatakan bahwa 84% bebas karies pada anak sindrom Down usia 8-13 tahun, sedangkan pada penelitian di India ditemukan prevalensi karies gigi pada anak sindrom Down cukup tinggi yaitu hanya 29,4% yang dinyatakan bebas karies. Pada penelitian di Indonesia juga ditemukan prevalensi karies gigi yang cukup tinggi pada anak sindrom Down tepatnya di kota Makassar yaitu sebesar 82,6% dengan nilai rata-rata DMF-T 3,69. Penelitian yang dilakukan di SLB-C kota Medan didapatkan bahwa nilai rata-rata DMF-T dan def-t pada masa gigi bercampur anak sindrom Down adalah 2,14 dan 4,36.4-7 Terdapat juga penelitian yang mengatakan bahwa karies pada anak obesitas cenderung lebih tinggi daripada anak normal. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kandungan gula dalam tubuh pada anak dengan berat badan lebih akan memicu potensi kariogenik sehingga terjadi karies, periodontitis, dan xerostomia. Pada penelitian di Jerman ditemukan rerata pengalaman karies (df-t) pada anak dengan berat badan normal adalah 2,09, anak dengan overweight adalah 2,48, dan anak dengan obesitas adalah 3,3. Namun, ada juga penelitian yang mengatakan bahwa pada anak dengan berat badan rendah cenderung memiliki insidensi karies yang tinggi. Insidensi karies yang tinggi pada anak dengan berat badan rendah kemungkinan disebabkan karena adanya gangguan fungsi pengunyahan pada anak tersebut. Pada penelitian yang dilakukan di Filipina dijumpai bahwa adanya hubungan yang bermakna (p < 0,001) antara indeks massa tubuh dengan karies yang tidak dirawat. Anak dengan karies mencapai pulpa (infeksi odontogenik) memiliki risiko indeks massa tubuh di bawah normal dibandingkan dengan anak tanpa infeksi odontogenik. Sebanyak 30,5% anak dengan status gizi kurang, 68,9% anak dengan status gizi normal, dan 0,6% anak dengan status gizi lebih memiliki skor pufa/ PUFA lebih dari 0.8-11 Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai penelitian tentang hubungan antara insidensi karies pada anak sindrom Down serta kaitan antara karies dan gizi ternyata menunjukkan hasil yang berbeda. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa anak sindrom Down memiliki insidensi karies yang tinggi dan terdapat pula penelitian yang mengatakan sebaliknya. Begitu pula dengan kaitan antara karies Universitas Sumatera Utara dengan gizi, ada yang menunjukkan bahwa anak dengan gizi lebih mempunyai insidensi karies tinggi dan terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa anak dengan gizi kurang memiliki insidensi karies tinggi. Berdasarkan latar belakang ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down di kota Medan.12 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1. Rumusan Masalah Umum Bagaimana gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan? 1.2.2. Rumusan Masalah Khusus 1. Bagaimanakah gambaran status karies gigi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan? 2. Bagaimanakah gambaran status karies gigi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan? 3. Bagaimanakah gambaran status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan? 4. Bagaimanakah gambaran status gizi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Umum Untuk mengetahui bagaimana gambaran status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan. 1.3.2. Tujuan Penelitian Khusus 1. Untuk mengetahui gambaran status karies gigi pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan. Universitas Sumatera Utara 2. Untuk mengetahui gambaran status karies gigi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan. 3. Untuk mengetahui gambaran status gizi pada anak sindrom Down usia 1218 tahun di SLB-C kota Medan. 4. Untuk mengetahui gambaran status gizi berdasarkan jenis kelamin pada anak sindrom Down usia 12-18 tahun di SLB-C kota Medan. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi akademisi dengan adanya hasil penelitian ini, dapat memberikan informasi tentang status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down. 2. Bagi praktisi kesehatan gigi dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat melakukan perencanaan usaha pencegahan dan perawatan terhadap karies gigi pada anak sindrom Down. 3. Bagi Dinas Kesehatan dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat digunakan sebagai dasar bagi program pemerintah dalam bidang kesehatan gigi dan mulut anak untuk meningkatkan kualitas hidup anak sindrom Down. 4. Bagi masyarakat dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi kepada orang tua/sekolah mengenai status karies gigi dan status gizi pada anak sindrom Down serta memotivasi orang tua/sekolah untuk memperhatikan, menjaga, dan memberikan pengarahan kepada anak sejak dini untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Universitas Sumatera Utara