bab ii tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian dan Peran Ekosistem Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara mangue (bahasa Portugis)
yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan
kecil. Menurut Mac Nae (1978), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis
pohon-pohon atau semak-semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat
pasang dan batas air terendah sampai di atas rata-rata permukaan air laut.
Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No. 60/Kpts/Dj./I/1978, hutan mangrove
dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan
dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada pasang dan bebas
genangan pada waktu surut. Snedaker (1978) menyatakan bahwa hutan mangrove
merupakan sekelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai
tropika dan subtropika yang terlindung dan memiliki bentuk lahan pantai dengan
tipe tanah anaerob. Hutan mangrove merupakan vegetasi yang hidup di muara
sungai, daerah pasang surut, dan tepi laut (Baehaqie dan Indrawan, 1993).
Menurut Kusmana et al., (2005) hutan mangrove adalah tipe hutan yang
tumbuh di daerah pasang-surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara
sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang
komunitas tumbuhannya toleran terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove
merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang
berinteraksi dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove. Hutan
mangrove juga dikenal dengan istilah tidal forest, coastal woodland,
vloedbosschen dan hutan payau.
Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri
khusus karena lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi
oleh salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut
air. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis,
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Haroen, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hutching dan Saenger (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi
keberadaan mangrove adalah (1) suhu udara; (2) media lumpur; (3) air garam; (4)
kisaran pasang surut; (6) arus laut dan (7) pantai yang dangkal. Tumbuhan
mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi yang
ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta
kondisi tanah yang kurang stabil (Noor et al., 1999).
Flora mangrove dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori (Chapman,
1976) yaitu (1) Flora mangrove inti, merupakan flora mangrove yang mempunyai
peran ekologi utama dalam formasi mangrove, yakni Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Deris, Acanthus,
Lumnitzera, Scyphiphora, Smythea dan Dolichandrone; (2) Flora mangrove
peripheral (pinggiran), merupakan flora mangrove yang secara ekologi berperan
dalam formasi hutan, yakni Excoecaria agallocha, Acrostichum aureum, Cerbera
manghas, Heritiera littoralis, Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain.
Secara ekologis susunan sebaran jenis pohon di hutan mangrove mulai dari
laut ke arah daratan berturut-turut adalah jenis-jenis Avicennia, Sonneratia,
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera dan Xylocarpus dengan batas sebar
yang tidak jelas. Pada umumnya hutan mangrove didominasi oleh jenis-jenis
Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops yang kayunya mempunyai nilai ekonomi
tinggi. Frekuensi genangan air laut sangat menentukan ragam jenis vegetasi yang
dapat tumbuh dan pada umumnya jenis-jenis bakau (Rhizophora spp) tumbuh
terbanyak (Perum Perhutani, 1994).
Ekosistem mangrove mempunyai peran yang penting dalam mendukung
kehidupan organisme yang terdapat pada ekosistem tersebut. Adapun fungsi hutan
mangrove menurut Arief (2003) dapat dibedakan menjadi lima, yaitu fungsi fisik,
fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi, dan fungsi lain (wanawisata) seperti
dibawah ini. Fungsi fisik: (a) Menjaga garis pantai agar tetap stabil; (b)
melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan
atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat; (c) Menahan sedimen
secara periodik sampai terbentuk lahan baru; (d) Sebagai kawasan penyangga
proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi
tawar; (e) Mencegah terjadinya erosi pantai.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi kimia: (a) Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang
menghasilkan oksigen; (b) Sebagai penyerap karbondioksida; (c) Sebagai
pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di
lautan. Fungsi biologi: (a) Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan
sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan detritus, yang kemudian
berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar; (b) Sebagai
kawasan pemijah bagi udang, ikan, kepiting, dan kerang yang setelah dewasa akan
kembali ke lepas pantai; (c) Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta
berkembang biak bagi burung dan satwa lain; (d) Sebagai sumber plasma nutfah
dan sumber genetik. Fungsi ekonomi: (a) Penghasil kayu; (b) Penghasil bahan
baku industri; (c) Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung.
Fungsi lain (Wanawisata): (a) Sebagai kawasan wisata alam pantai; (b) Sebagai
tempat pendidikan, konservasi, dan penelitian.
Naamin dan Hardjamulia (1991), menyatakan bahwa besarnya peran
ekosistem mangrove terhadap kehidupan dapat diamati dari keanekaragaman jenis
organisme, baik yang hidup di perairan, di atas lahan, maupun ditajuk-tajuk
tumbuhan mangrove serta ketergantungan manusia secara langsung terhadap
ekosistem ini. Bagian tanaman mangrove, termasuk batang, akar dan daun yang
berjatuhan memberikan habitat bagi spesies akuatik yang berasosiasi dengan
ekosistem mangrove. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat untuk memelihara
larva, tempat bertelur dan sumber pakan bagi berbagai spesies akuatik, khususnya
udang dan ikan bandeng (Sikong, 1978).
2.2.
Peran Bakteri dalam Ekosistem Mangrove
Bakteri berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik.
Aktivitas bakteri mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara melalui proses
mineralisasi karbon dan asimilasi nitrogen (Blum et al., 1988). Mikroorganisme
membutuhkan molekul-molekul organik dari organisme lain sebagai nutrisi agar
mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Adanya aktivitas bakteri
menyebabkan tingginya produktivitas ekosistem mangrove (Lyla dan Ajmal,
2006).
Universitas Sumatera Utara
Bakteri merupakan salah satu komponen penting yang berperan dalam
penguraian serasah daun di ekosistem mangrove. Hampir semua bakteri laut
bersifat Gram negatif dan ukurannya lebih kecil dibanding dengan bakteri non
laut. Bakteri Gram positif hanya 10% dari total populasi bakteri laut dan proporsi
terbesar terdiri atas bakteri Gram negatif berbentuk batang, yang umumnya
aktivitas gerakan dilakukan dengan bantuan flagel. Bakteri bentuk kokus
umumnya lebih sedikit dibanding bentuk batang. Keberadaan bakteri laut Gram
positif terbanyak ditemukan pada sedimen (Kathiresan dan Bingham, 2001).
Dalam proses dekomposisi di perairan mangrove, peran aktif bakteri mutlak
diperlukan. Bakteri akan menguraikan serasah secara enzimatik melalui peran
aktif dari enzim proteolitik, selulolitik dan kitinolitik. Bakteri kelompok
proteolitik berperan dalam proses dekomposisi protein adalah Pseudomonas,
sedangkan kelompok bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi selulosa
adalah
bakteri
Cytophaga,
Sporacytophaga,
kelompok
bakteri
yang
mendekomposisi kitin meliputi Bacillus, Pseudomonas dan Vibrio (Lyla dan
Ajmal, 2006).
Bakteri memainkan peran penting dalam penguraian mangrove, juga
diketahui bahwa sedimen mangrove merupakan bahan penting dalam proses aliran
karbon pada hutan mangrove. Pada bagian atas sedimen mangrove dengan
ketebalan 2 cm ditemukan 3,6 x 1011 sel bakteri/gram bobot kering sedimen
(Hogarth, 1999). Menurut Adel (2001) jumlah bakteri aminolitik yang ditemukan
pada serasah mangrove sebanyak 1,46 x 106 CFU/g. Komunitas bakteri mangrove
di ekosistem mangrove India, menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang hidup
bebas berkisar antara 8,1 x 106 sampai 10,9 x 106 dan yang berpigmen berkisar
antara 0,18 x 106 sampai 1,95 x 106 CFU/g. Penelitian yang dilakukan oleh
D’Costa et al, (2004) pada komunitas mangrove di India ditemukan 10 genus
bakteri yaitu Bacillus, Micrococcus, Pseudomonas, Beijerinckia, Erwinia,
Microbacterium, Rhodococcus, Serratia, Staphylococcus dan Xanthomonas.
Menurut Kolm et al, (2002) Escherichia coli ditemukan di perairan estuaria teluk
Paranagua dan Antonina Brazil pada tingkat salinitas 1 ppt sampai 33 ppt
sedangkan menurut Terrones et al, (2005) Escherichia coli ditemukan di estuaria
Yalku Mexico pada tingkat salinitas 15 ppt sampai 35 ppt. Kerapatan populasi
Universitas Sumatera Utara
bakteri yang terdapat pada serasah daun yang mengalami dekomposisi pada umur
enam hari dapat mencapai 6 x 108 sel/cm2/jam (Benner et al., 1988). Bakteri laut
umumnya lebih kecil dibanding bakteri non-laut, dan proporsi terbesar terdiri atas
bakteri gram negatif bentuk batang, serta pada umumnya aktivitas pergerakan
dilakukan dengan bantuan flagella. Bakteri berbentuk bola (cocci) umumnya lebih
sedikit dibanding bakteri yang berbentuk batang. Kebanyakan bakteri laut terikat,
atau bergabung sesamanya untuk membentuk permukaan yang kuat (solid) karena
adanya bahan berlendir sehingga sel-sel saling terikat. Dengan cara ini bakteri
bisa membentuk lapisan permukaan yang mengakibatkan bakteri bisa hidup pada
alga, rumput laut dan tumbuhan mangrove (Hutching dan Saenger, 1987). Daya
tahan hidup dan perkembangan bakteri dipengaruhi oleh kelembaban, suhu dan
cahaya matahari dan jumlah bakteri berubah dari satu musim ke musim berikutnya
(Bell, 1974).
2.3.
Proses Dekomposisi Serasah Mangrove
Dekomposisi merupakan kegiatan atau proses penguraian dan pemisahan
bahan-bahan organik menjadi bagian yang hancur (Satchell, 1974). Menurut
Nybakken (1993) Dekomposisi merupakan proses penting dalam fungsi ekologis.
Organisme yang telah mati mengalami penghancuran menjadi pecahan-pecahan
yang lebih kecil, dan akhirnya menjadi partikel-partikel yang lebih kecil.
Dekomposisi adalah proses penghancuran bahan organik dengan berat molekul
yang lebih besar menjadi komponen dengan berat molekul yang lebih besar
menjadi komponen dengan berat molekul yang lebih kecil melalui mekanisme
enzimatik (Saunder, 1980). Sejalan dengan itu Smith (1980) menyatakan bahwa
proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur
fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan
organik menjadi senyawa anorganik. Serasah adalah bagian vegetatif dan
generatif yang terlepas dari tanaman yang bisa disebabkan oleh senescense atau
stress, oleh faktor mekanisme seperti angin, kombinasi kedua faktor ini atau mati
(Brown, 1984). Menurut Arief (2003), Serasah merupakan bahan organik yang
mengalami beberapa tahap proses dekomposisi dapat menghasilkan zat yang
penting bagi kehidupan dan produktivitas perairan, terutama dalam peristiwa
Universitas Sumatera Utara
rantai makanan. Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu (1)
lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah; (2) bahan bahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan (Yunasfi, 2006).
Menurut Mason (1977) terdapat 3 tahap proses dekomposisi serasah yaitu:
1.
Proses pelindian (leaching), yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan yang
terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air.
2.
Penghawaan (wathering), merupakan mekanisme pelapukan oleh faktorfaktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air.
3.
Aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh
makhluk hidup yang melakukan dekomposisi.
Bakteri adalah komponen biotik yang berperan penting dalam proses
dekomposisi (Mason, 1977). Menurut Saraswati dan Sumarno (2008), Proses
dekomposisi dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh bakteri yang
mampu mendekomposisi jaringan mati melalui mekanisme enzimatik. Bakteri
mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks
seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati. Beberapa enzim
yang terlibat dalam perombakan bahan organik antara lain Betta-glukosidase,
lignin peroksidase (LiP), manganese peroksidase (MnP), lakase dan reduktase.
Enzim reduktase merupakan penggabungan dari LiP dan MnP yaitu enzim
versatile peroksidase. Proses dekomposisi bakteri sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan terutama ketersediaan oksigen terlarut khususnya bakteri aerobik
(Saunder, 1980).
2.4.
Kandungan Unsur Hara C, N dan P Serasah Daun Mangrove
Dekomposisi bahan organik yang tersedia di kawasan hutan mangrove
berasal dari bagian-bagian pohon, terutama yang berupa daun. Hasil analisis
laboratorium menunjukkan bahwa daun R. apiculata mengandung unsur hara
karbon 50,83%, nitrogen 0,83%, fosfor 0,025%, kalium 0,35%, kalsium 0,75%
dan 0,80% (Arief, 2003). Tanah hutan mangrove di daerah tropis dan subtropis
bersifat semi aerobik, rendahnya kandungan unsur hara, memiliki konsentrasi
logam berat yang tinggi dan salinitasnya lebih tinggi dibanding dengan tanah
terestrial. Serasah daun yang banyak kandungan nitrogen dan fosfor mengalami
Universitas Sumatera Utara
pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada keadaan
aerobik (Ito dan Nakagiri, 1997). Faktor yang mempengaruhi aktivitas bakteri
dalam penguraian bahan organik tumbuhan adalah jenis tumbuhan dan iklim.
Faktor tumbuhan biasanya terbentuk sifat fisik dan kimia daun yang tercermin
dalam perbandingan antara unsur karbon dan unsur nitrogen yang dinyatakan
sebagai
nisbah
C/N
(Thaiutsa
dan
Granger,
1979).
Meningkatnya
keanekaragaman bakteri mempengaruhi laju proses dekomposisi dan pola
pelepasan unsur hara. Selama proses dekomposisi, kehilangan masa ditentukan
oleh kandungan nitrogen dan rasio C/N pada substrat (Handayani et al., 1999).
Rasio C/N yang tinggi menunjukkan tingkat kesulitan substrat terdekomposisi.
Menurut Bross et al, (1995) rasio lignin/N merupakan indikator yang baik untuk
mendeteksi laju kehilangan masa. Selain itu, lignin juga turut berpengaruh
terhadap proses degradasi secara enzimatis pada karbohidrat dan protein (Mellilo
et al., 1982).
2.5.
Salinitas
Salinitas merupakan kandungan garam dalam air laut yang dinyatakan
dalam satuan ppt atau gram dalam satu kilogram air laut. Tingkat salinitas
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan serta pertumbuhan
mikroorganisme pada ekosistem mangrove. Menurut Polunin (1986), Ada
beberapa macam respons mikroorganisme terhadap salinitas, yaitu:
1.
Mikroorganisme tidak mampu bertoleransi dan akan mati pada kondisi
salinitas tinggi, umumnya mikroorganisme yang berasal dari air tawar.
2.
Mikroorganisme mungkin toleran pada salinitas tertentu tetapi akan
tumbuh lebih baik pada salinitas rendah.
3.
Mikroorganisme hanya dapat tumbuh pada kondisi dengan salinitas
dengan adanya ion natrium.
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola
sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Lapisan dengan
salinitas homogen, maka suhu juga biasanya homogen, selanjutnya pada lapisan
bawah terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas yang besar yang
menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Salinitas
Universitas Sumatera Utara
permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan dimana garamgaram akan mengendap atau terkonsentrasi (Nontji, 2007). Aksornkoae (1993)
menyatakan bahwa salinitas merupakan lingkungan yang sangat menentukan
perkembangan organisme. Menurut Chester (1989) kandungan air laut terbanyak
adalah NaCl dengan ion Cl- terlarut rata-rata sebanyak 55% dari jumlah garam.
Komposisi ion-ion garam dalam air laut yang salinitasnya 35 ppt adalah Cl(19,354 ppt), SO42- (2,71 ppt), Br- (0,067 ppt), F- (0,001 ppt), B- (0,005 ppt) Na+
(10,770 ppt), Mg2+ (1,290 ppt, Ca2+ (0,412), K+ (0,399 ppt) dan Sr2+ (0,08 ppt).
Beberapa garam sangat efektif mempengaruhi suhu pertumbuhan bakteri yaitu
NaCl > LiCl > MgCl2 > KCl2 > RbCl (Ljunger, 1962). Tekanan osmotik sel
berhubungan dengan salinitas yang selanjutnya mempengaruhi terhadap suhu
pertumbuhan bakteri (Stanley dan Morita, 1986). Aktivitas enzim maksimum
bakteri Halobacterium cutirubrum setelah penambahan 2M NaCl (Lanyi, 1969).
Universitas Sumatera Utara
Download