BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Hubungan keagenan yang dijelaskan oleh Jensen dan Meckling (1976) merupakan sebuah kontrak, dimana pemilik perusahaan (principal) tidak mampu mengelola perusahaannya sendiri, sehingga melimpahkan wewenang kepada pihak manajer (agent) untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Dalam hubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan yaitu terjadinya asimetri informasi dan konflik kepentingan. Pertama, asimetris informasi, yaitu suatu kondisi yang diakibatkan oleh agen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarnya dibandingkan prinsipal. Asimetri informasi antara agen dengan prinsipal memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis atau memperoleh keuntungan pribadi. Dengan asumsi bahwa individu-individu agen bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan asimetri informasi yang dimilikinya akan mendorong agen untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui prinsipal. Kedua, konflik kepentingan merupakan sutau kondisi yang diakibatkan ketidaksamaan tujuan, dimana agen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Pemilik tentunya menginginkan return yang tinggi atas investasi yang mereka miliki, sedangkan di satu sisi manajemen mengharapkan kompensasi yang tinggi atas kinerja mereka. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya konflik antara manajemen dengan pemilik. 11 Teori keagenan menjelaskan bahwa apabila kinerja perusahaan buruk, manajer dapat bertindak oportunistik dengan menaikkan laba akuntansi untuk menyembunyikan kinerja buruk, sebaliknya apabila kinerjanya baik, manajer dapat bertindak oportunistik dengan menurunkan laba akuntansi untuk menunda kinerja baiknya. Karena angka-angka akuntansi sering digunakan dalam kontrak atau sebagai mekanisme monitoring dalam hubungan keagenan. Teori keagenan, dalam kaitannya dengan pergantian CEO, mendeskripsikan konflik yang timbul antara pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajer (CEO) sebagai agen. Pendelegasian wewenang oleh prinsipal kepada agen menjadikan agen memiliki kemampuan dalam mengendalikan aktivitas perusahaan dan juga menjadikan dirinya memiliki informasi ataupun akses informasi yang lebih baik dan lengkap dibandingkan prinsipal. Sehingga apabila agen termotivasi menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk memenuhi kepentingannya secara sepihak, misal perekayasaan kinerja perusahaan oleh CEO untuk dapat memaksimumkan bonus pada periode akhir masa jabatannya atau perekayasaan kinerja untuk dapat mempertahankan posisinya maka konflik kepentingan atau masalah keagenan (agency problem) akan muncul. 2.1.2 Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory) Teori akuntansi positif (positive accounting theory) sering dikaitkan dalam pembahasan mengenai manajemen laba. Teori akuntansi positif menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen dalam memilih prosedur akuntansi yang optimal dan mempunyai tujuan tertentu. Menurut Scott (2000), teori akuntansi positif adalah teori yang memprediksi tindakan-tindakan pemilihan 12 akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana manajer merespon terhadap usulan standar akuntansi yang baru. Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak dan memaksimalkan nilai perusahaan. Dengan adanya kebebasan itulah, maka menurut Scott (2000) manajer mempunyai kecenderungan melakukan suatu tindakan yang menurut teori akuntansi positif dinamakan sebagai tindakan oportunis (opportunistic behavior). Jadi, tindakan oportunis adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dalam memilih kebijakan akuntansi yang menguntungkan dan memaksimumkan kepuasan perusahaan tersebut. Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori akuntansi positif mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba yang dihubungkan oleh tindakan oportunistik yang dilakukan oleh perusahaan. Tiga hipotesis menurut Watts dan Zimmerman (1986) dalam Sulistyanto (2008:44) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang menggunakan bonus plan akan cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode berjalan. Hal ini dilakukan untuk memaksimumkan bonus yang akan mereka peroleh karena seberapa besar tingkat laba yang dihasilkan seringkali dijadikan dasar dalam mengukur keberhasilan kinerja. Jika besarnya 13 bonus tergantung pada besarnya laba, maka perusahaan tersebut dapat meningkatkan bonusnya dengan meningkatkan laba setinggi mungkin. Dengan demikian, diperkirakan bahwa perusahaan yang mempunyai kebijakan pemberian bonus yang berdasarkan pada laba akuntansi, akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan laba tahun berjalan. 2) Hipotesis perjanjian utang (the debt covenant hypotesis) Hipotesis ini berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi perusahan di dalam perjanjian utang (debt covenant). Sebagian perjanjian utang mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi peminjam selama masa perjanjian. Dinyataka pula jika perusahaan mulai mendekati suatu pelanggaran terhadap (debt covenant), maka perusahaan tersebut akan berusaha menghindari terjadinya (debt covenant) dengan cara memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba. Pelanggaran terhadap (debt covenant) dapat menimbulkan suatu biaya serta dapat menghambat kinerja manajemen. Sehingga dengan meningkatkan laba perusahaan berusaha untuk mencegah atau setidaknya menunda hal tersebut. 3) Hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) Dalam hipotesis ini dinyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang 14 nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis. 2.1.3 Teori Sinyal (Signaling Theory) Informasi merupakan hal yang penting bagi investor, dari sebuah informasi investor dan pelaku bisnis akan mendapatkan gambaran mengenai keadaan pasar baik di masa yang lalu maupun di masa yang akan datang. Informasi dapat memberikan sinyal yang positif maupun sinyal negatif kepada investor untuk melakukan investasi, ini dapat dilihat dari reaksi pasar yang timbul akibat informasi tersebut. Brigham dan Houston (2001) dalam penelitiannya menyataan bahwa teori sinyal (signaling theory) adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikan petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Manajemen mempunyai informasi akurat mengenai nilai perusahaan yang tidak diketahui investor, sehingga jika manajemen menyampaikan suatu informasi ke pasar maka informasi tersebut akan direspon oleh pasar sebagai suatu sinyal adanya peristiwa tertentu yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan (Assih, 2000). Pada umumnya, manajer termotivasi untuk menyampaikan informasi yang baik mengenai kondisi perusahaan kepada masyarakat luas karena melalui penyampaian informasi tersebut dapat meyakinkan masyarakat untuk menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Perusahaan akan dengan senantiasa memposisikan diriya sebagai 15 perusahaan yang baik untuk menunjukkan kualitas dirinya melalui sinyal-sinyal yang kredibel. Investor tentu hanya memiliki keterbatasan informasi tentang kebenaran dari informasi yang disampaikan. Jika manajer dapat memberikan sinyal yang meyakinkan kepada investor dengan didukung data-data yang mendasarinya, maka investor akan merespon secara positif. Berdasarkan sinyal-sinyal yang diterimanya, investor dapat membuat suatu keputusan investasi, yang pada akhirnya tercermin dalam fluktuasi harga saham. Selain itu, didalam signaling theory dijelaskan bahwa seorang investor yang rasional melakukan analisa sebelum membuat keputusan untuk berinvestasi investor membutuhkan informasi yang akan dijadikan sinyal untuk menilai prospek masa depan perusahaan. Dalam hal ini, informasi yang tersedia bisa meliputi semua informasi yang tersedia baik informasi masa lalu, informasi saat ini, maupun informasi yang bersifat sebagai pendapat atau opini rasional yang beredar di pasar yang bisa mempengaruhi perubahan harga. Hal tersebut juga dapat diketahui di dalam prospektus dan laporan keuangan tahunan perusahaan. Informasi keuangan, penawaran umum, kegiatan, prospek perusahaan dsb yang dipublikasikan dalam prospektus dan laporan keuangan tahunan merupakan sumber informasi yang sangat penting, Karena dimanfaatkan sebagai sinyal untuk investor potensial terkait dengan nilai perusahaan. Guna mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para investor, maka manajer akan berusaha untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan. Informasi laba yang dilaporkan manajemen merupakan sinyal mengenai laba di masa yang akan datang, oleh karena itu pengguna laporan keuangan dapat membuat prediksi atas laba perusahaan di masa yang akan datang. Akibatnya akan terjadi respon atau reaksi pasar berupa 16 perubahan harga saham perusahaan yang bersangkutan ke harga ekuilibrium yang baru (Assih, 2000). 2.1.4 Manajemen Laba Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai batasan dan definisi manajemen laba. Ada pihak yang mendefinisikan manajemen laba sebagai kecurangan yang dilakukan seorang manajer untuk mengelabui orang lain, sedangkan ada pihak yang mendefinisikannya sebagai aktivitas yang wajar dilakukan manajer dalam menyusun laporan keuangan sepanjang tidak menyalahi prinsip akuntansi yang berlaku. Sehingga, dapat dikatakan tindakan manajemen laba merupakan tindakan yang berada di daerah abu-abu (grey area). Menurut Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan dalam mengistimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditujukan dalam pelaporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan residu aktiva tetap, tanggung jawab untuk pensiun, pajak yang di tanggungkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Kedua, tujuan dari manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar. 17 Menurut Scott (2000) terdapat empat pola atau aktivitas dalam melakukan manajemen laba yaitu: 1) Income smoothing Aktivitas ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat laba yang stabil dan mengurangi fluktuasi naik turunnya laba sehingga perusahaan terlihat stabil. Dalam hal ini laba akan diturunkan jika terjadi peningkatan yang tajam dan menaikan laba jika tingkat laba berada di bawah tingkat laba yang ditentukan. Tingkat laba yang stabil membuat pemilih perusahaan percaya terhadap manajer. 2) Income minimization Aktivitas manajemen laba dengan manjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya. Income minimization dilakukan pada saat tingkat profitabilitas perusahaan cukup tinggi dengan asumsi jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan laba periode sebelumnya. Contoh penerapan aktivitas ini melakukan manajemen laba untuk menghindari political cost. 3) Income maximization Aktivitas manajemen laba dengan manjadikan laba pada laporan keuangan periode berjalan lebih tinggi daripada laba sesungguhnya. Income maximizartion dilakukan dengan tujuan memperoleh bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan, serta untuk menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang. Income maximization 18 dilakukan dengan cara mempercepat pencatatan pendapatan, menunda biaya dan memindahkan biaya untuk periode lain. 4) Takking a bath Aktivitas ini dilakukan dengan melaporkan rugi sebesarnya sekaligus ketika perusahaan mengalami kerugian sehingga dapat menciptakan peluang laba yang lebih besar pada masa yang akan datang. Pola ini sering terjadi pada saat reorganisasi perusahaan seperti pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar sehingga diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang. 2.1.5 Motivasi Manajemen Laba Faktor-faktor yang mendorong tindakan manajer dalam melakukan kegiatan manjemen laba menurut Scott (2000) dalam Rachmawati dkk. (2006) adalah : 1) Kontrak Bonus Laba sering dijadikan indikator penilaian prestasi manajer perusahaan. Healy (1985) menunjukkan kecenderungan manajemen yang secara oportunistik mengelola laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi perusahaan. Jika pada suatu tahun tertentu laba bersih perusahaan tingi maka tindakan manajer adalah menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih rendah. Tindakan ini dilakukan karena manajer tidak akan mendapatkan bonus yang lebih tinggi dari target yang telah ditentukan sehingga bermaksud menunda penerimaan laba agar tercapainya target laba pada tahun berikutnya. Di sisi lain, jika manajer perusahaan yang memperoleh 19 laba di bawah target laba, maka manajer akan melakukan manipulasi laba dengan meningkatkan laba agar memperoleh bonus yang maksimal. 2) Stock Price Effect Manajer perusahaan merekayasa informasi sedemikian rupa agar laporan keuangan yang disajikan mampu menarik minat publik untuk merespon penawaran secara positif. Atau dengan kata lain, dengan menyajikan informasi yang lebih baik daripada informasi yang sesungguhnya diharapkan dapat membuat publik mau membeli saham yang ditawarkan dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada harga sesungguhnya. Upaya merekayasa informasi ini disebabkan karena laporan keuangan merupakan merupakan sumber informasi utama bagi investor yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan untuk menilai apakah perusahaan bersangkutan tepat untuk dijadikan tempat berinvestasi (Sulistyanto, 2008:25). 3) Faktor Politik Menurut Na’im dan Hartono, Perusahaan-perusahaan dengan skala besar dan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba guna mengurangi tingkat visibilitas terutama saat periode kemakmuran yang tinggi. Upaya ini dilakukan dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah. 4) Faktor Pajak Menurut Sulistyanto (2008:46), undang-undang mengatur jumlah pajak yang akan ditarik dari perusahaan berdasarkan atas laba yang diperoleh perusahaan selama periode tertentu. Atau dengan kata lain, besar kecilnya 20 pajak yang akan ditarik oleh pemerintah sangat tergantung pada besar kecilnya laba yang dicapai perusahaan. Kondisi ini lah yang merangsang manajer untuk mengelola dan mengatur labanya dalam jumlah tertentu agar pajak yang harus dibayarkan menjadi tidak terlalu tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan menarik biaya pada periode yang akan datang menjadi biaya periode berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode yang akan datang. 5) Pergantian Chief Executive Officer (CEO) Manajemen laba juga terjadi disekitar waktu pergantian CEO. Hipotesis program bonus memprediksi bahwa ketika waktu mendekati pengunduran diri CEO maka tindakan yang dilakukan adalah memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonus mereka. Sedangkan CEO yang kinerjanya buruk akan melakukan manajemen laba untuk memaksimalkan laba mereka dengan tujuan mencegah atau menunda pemberhentian mereka. Motivasi melakukan manajemen laba juga dapat dilakukan oleh CEO baru, terutama jika cost dibebankan pada tahun transisi, melalui penghapusan operasi yang tidak diinginkan atau divisi yang tidak menguntungkan. 6) Penawaran Saham Perdana (IPO) Pada umumnya, perusahaan yang akan melakukan penawaran saham perdana (IPO) melakukan aktifitas manajemen laba pada periode terakhir sebelum IPO. Saat perusahaan go public, informasi keuangan yang ada dalam prospektus merupakan sumber informasi yang penting dan utama. Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor tentang 21 nilai perusahaan untuk mempengaruhi calon investor, maka manajer berusaha untuk menaikkan laba yang dilaporkan, agar harga saham tinggi pada saat IPO. 2.1.6 Respon Pasar Respon pasar atas informasi yang disampaikan oleh perusahaan ditunjukkan dengan adanya perubahan harga saham perusahaan yang bersangkutan. Respon ini dapat diukur dengan menggunakan return sebagai nilai perubahan harga atau dengan menggunakan return tidak normal (abnormal return). Jika digunakan abnormal return, maka dapat dikatakan bahwa suatu pengumuman laba yang mempunyai kandungan informasi akan memberikan abnormal return kepada pasar. Sebaliknya yang tidak mengandung informasi tidak akan memberikan abnormal return kepada pasar (Jogiyanto, 2000:537). Abnormal return merupakan selisih return yang sesungguhnya terjadi dengan return normal. Return normal merupakan return ekspektasi (return yang diharapkan oleh investor). Dengan demikian abnormal return merupakan selisih antara return sesungguhnya yang terjadi dengan return ekspektasi. Sedangkan Cummulative Abnormal Return (CAR) merupakan penjumlahan dari abnormal return hari sebelumnya di dalam periode peristiwa untuk masing-masing sekuritas (Jogiyanto, 2000:572). 2.1.7 Pergantian CEO CEO adalah pemimpin utama manajemen dan memainkan peran yang sangat penting dalam hidup perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terdapat suatu kondisi dimana perusahaan akan cenderung melihat CEO sebagai 22 satu-satunya dalang penyebab terjadinya kegagalan tersebut. Pemicu utama pergantian CEO adalah tidak tercapainya tujuan bersama antara manajer dengan pemilik perusahaan (Jayanthi dan Putra, 2013). Pergantian CEO adalah salah satu kebijakan yang diputuskan dalam RUPS. Anggota direksi bertanggung jawab kepada RUPS, karena mereka diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Informasi mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota direksi dapat diketahui melalui pengumuman resmi yang dikeluarkan oleh perusahaan emiten kepada para pemegang sahamnya yang biasanya dipublikasikan lewat media massa. Pengangkatan anggota direksi pertama kali dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota direksi dalam akta pendirian. Selain itu anggota direksi juga dapat diberhentikan secara sementara oleh RUPS dengan menyebutkan alasannya yang kemudian diberitahukan secara tertulis kepada direksi yang bersangkutan. Selama diberhentikan sementara, anggota direksi tersebut tidak berwenang melakukan tugasnya. Dalam hal ini direksi tersebut diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dan apabila gagal maka ia dapat diberhentikan dari perusahaan (Desiantari, 2009). Vancil (dalam Pourciau, 1993) mengklasifikasikan pergantian CEO menjadi dua, yaitu: pergantian CEO secara rutin dan pergantian CEO nonrutin. Pergantian CEO rutin merupakan pergantian CEO yang dilakukan berdasarkan struktur perusahaan, dilakukan secara teratur, dan merupakan pergantian yang telah direncanakan. Pergantian CEO secara nonrutin meliputi semua pengunduran diri, baik pengunduran diri secara sukarela (voluntary resignation) dan pengunduran diri karena dipaksa (forced resignation). Pergantian nonrutin merupakan proses 23 pergantian yang tidak teratur, tidak direncanakan, dan dilakukan pada waktu tertentu. Hal ini meliputi pengunduran diri CEO dan pemecatan atau penghentian sebelum habis masa jabatannya. Dalam pergantian ini, perusahaan tidak memiliki waktu yang cukup memadai untuk memilih CEO yang baru. Pourciau (1993) menyatakan bahwa manajemen laba mempunyai kemungkinan lebih besar terjadi pada kasus pergantian nonrutin. Pourciau juga menyatakan bahwa terdapat penurunan kinerja perusahaan yang ditunjukkan dalam penurunan laba pada tahun dilakukannya pergantian executive nonrutin, namun untuk tahun-tahun berikutnya kembali membaik. Peningkatan laba ini dapat menambah kepercayaan investor terhadap kinerja perusahaan setelah dilakukannya pergantian executive nonrutin. 2.1.8 Studi Even (Event Study) Event study merupakan studi yang mempelajari reaksi pasar terhadap suatu event yang informasinya dipublikasikan sebagai suatu pengumuman (Jogiyanto, 2010: 536). Event study dapat digunakan untuk menguji kandungan informasi (information content) dari suatu pengumuman. Jika pengumuman mengandung informasi (information content), maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Reaksi pasar ditunjukkan dengan adanya perubahan harga dari sekuritas yang bersangkutan. Pengujian informasi hanya menguji reaksi dari pasar, tetapi tidak menguji seberapa cepat pasar itu bereaksi. Jika pengujian melibatkan kecepatan reaksi dari pasar untuk menyerap informasi yang diumumkan, maka pengujian ini merupakan pengujian efisiensi pasar secara informasi (informationally efficient market). Well (2004) menyatakan bahwa tujuan dari event study adalah untuk menentukan 24 apakah suatu event spesifik memengaruhi perilaku investor dan selanjutnya memengaruhi return saham yang bersangkutan. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Praktik Manajemen Laba pada Akhir Masa Jabatan CEO Manajemen laba yang dilakukan oleh CEO disebabkan karena kecenderungan bahwa laba dijadikan sebagai suatu target dalam proses penilaian prestasi usaha seorang CEO maupun perusahaan. CEO yang berencana berhenti dari perusahaan memiliki dorongan untuk memanipulasi laba guna memperoleh bonus yang lebih tinggi dan meningkatkan reputasi (Adiasih dan Wijaya, 2011). Selain itu, berdasarkan penelitian Yasa dan Novialy (2012) diketahui bahwa CEO yang akan kehilangan pekerjaannya akan berusaha menunjukkan kinerja terbaik, salah satunya dengan meningkatkan laba perusahaan (income increasing). Bagaimanapun juga, CEO yang berada dalam situasi ini adalah CEO yang berpendapat bahwa langkah-langkah bisnis yang nyata untuk memaksimumkan laba sudah tidak bisa lagi dilakukan, periode ini adalah periode akhir masa jabatannya di perusahaan, dan sepertinya hampir mustahil untuk melakukan perbaikan bisnis yang pesat hanya dalam satu tahun saja. Berdasarkan teori dan hasil penelitian tersebut, maka hipotesis pertama yang diajukan adalah: H1: Terjadi praktik manajemen laba dengan menaikkan laba (income increasing) pada akhir masa jabatan CEO. 25 2.2.2 Perbedaan Respon Pasar Laba atas Praktik Manajemen Laba di Sekitar Event Pergantian CEO Teori keagenan menjelaskan bahwa hubungan antara pemilik dan pengelola perusahaan merupakan hubungan kontraktual dimana masing-masing memiliki keinginan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Investor selaku pemilik perusahaan menginginkan adanya imbal balik atas investasinya berupa return saham. Dari sisi lain, manajer selalu menginginkan bonus dari para pemilik atas hasil kinerjanya. Berbagai usaha pun dilakukan oleh manajer agar laporan keuangan terlihat baik demi menarik investor sehingga manajer akan mendapatkan bonus tersebut yaitu melalui praktek manajemen laba. Manajemen laba sering dilakukan oleh manajemen perusahaan disekitar pergantian CEO. Manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen didasari oleh adanya keinginan untuk mempertahankan posisinya sebagai manajer pada periode berikutnya atau mendapatkan bonus yang lebih tinggi di akhir masa jabatan. Disamping hal tersebut, keterbatasan informasi yang dimiliki investor mengenai prospektus perusahaan mengakibatkan semakin tinggi peluang bagi manajemen perusahaan untuk melakukan manajemen laba. Teori sinyal menjelaskan bahwa manajemen mempunyai informasi akurat mengenai nilai perusahaan yang tidak diketahui oleh investor luar. Ketika perusahaan menyampaikan suatu informasi ke pasar maka informasi tersebut akan direspon oleh pasar sebagai suatu sinyal adanya peristiwa tertentu yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Para investor harus secara cepat merespon informasi baru untuk mendapat keuntungan dari berita-berita yang diinginkan atau untuk mengurangi kerugian akibat berita-berita yang tidak diinginkan. Berita mengenai pergantian CEO juga merupakan salah satu informasi yang penting bagi 26 para investor, karena peran CEO yang sangat vital dalam suatu perusahaan. Penelitian Ball & Brown (1968) menyatakan harga saham akan cenderung naik jika laba sesuai harapan dan harga saham akan cenderung turun jika laba yang dilaporkan lebih kecil dari harapan. Melalui manajemen laba, manajer dapat mengatur angka-angka laba yang dilaporkan agar sesuai kepentingan pribadinya maupun perusahaan. Hal ini dapat menyesatkan investor dalam mengestimai return yang diinginkan. Sehingga, jika investor mengetahui adanya praktek manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan tertentu, mereka akan mengetahui bahwa kondisi sesungguhnya perusahaan tersebut dapat lebih baik atau lebih buruk dari yang dilaporkan, sehingga investor akan memberikan reaksi berupa koreksi harga saham perusahaan yang bersangkutan (Wahyuningsih, 2007). Berdasarkan teori dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka hipotesis ketiga yang diajukan adalah: H2: Terdapat perbedaan respon pasar atas praktik manajemen laba di sekitar event pergantian CEO. 27