11 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan
Hubungan keagenan yang dijelaskan oleh Jensen dan Meckling (1976)
merupakan sebuah kontrak, dimana pemilik perusahaan (principal) tidak mampu
mengelola perusahaannya sendiri, sehingga melimpahkan wewenang kepada
pihak manajer (agent) untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal.
Dalam hubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan yaitu terjadinya
asimetri informasi dan konflik kepentingan.
Pertama, asimetris informasi, yaitu suatu kondisi yang diakibatkan oleh
agen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan
yang sebenarnya dibandingkan prinsipal. Asimetri informasi antara agen dengan
prinsipal memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis atau
memperoleh keuntungan pribadi. Dengan asumsi bahwa individu-individu agen
bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan asimetri
informasi yang dimilikinya akan mendorong agen untuk menyembunyikan
beberapa informasi yang tidak diketahui prinsipal.
Kedua, konflik kepentingan merupakan sutau kondisi yang diakibatkan
ketidaksamaan tujuan, dimana agen tidak selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan pemilik. Pemilik tentunya menginginkan return yang tinggi atas
investasi yang mereka miliki, sedangkan di satu sisi manajemen mengharapkan
kompensasi yang tinggi atas kinerja mereka. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya konflik antara manajemen dengan pemilik.
11
Teori keagenan menjelaskan bahwa apabila kinerja perusahaan buruk,
manajer dapat bertindak oportunistik dengan menaikkan laba akuntansi untuk
menyembunyikan kinerja buruk, sebaliknya apabila kinerjanya baik, manajer
dapat bertindak oportunistik dengan menurunkan laba akuntansi untuk menunda
kinerja baiknya. Karena angka-angka akuntansi sering digunakan dalam kontrak
atau sebagai mekanisme monitoring dalam hubungan keagenan.
Teori keagenan, dalam kaitannya dengan pergantian CEO, mendeskripsikan
konflik yang timbul antara pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan
manajer (CEO) sebagai agen. Pendelegasian wewenang oleh prinsipal kepada
agen menjadikan agen memiliki kemampuan dalam mengendalikan aktivitas
perusahaan dan juga menjadikan dirinya memiliki informasi ataupun akses
informasi yang lebih baik dan lengkap dibandingkan prinsipal. Sehingga apabila
agen termotivasi menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk memenuhi
kepentingannya secara sepihak, misal perekayasaan kinerja perusahaan oleh CEO
untuk dapat memaksimumkan bonus pada periode akhir masa jabatannya atau
perekayasaan kinerja untuk dapat mempertahankan posisinya maka konflik
kepentingan atau masalah keagenan (agency problem) akan muncul.
2.1.2 Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory)
Teori akuntansi positif (positive accounting theory) sering dikaitkan dalam
pembahasan mengenai manajemen laba. Teori akuntansi positif menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen dalam memilih prosedur akuntansi
yang optimal dan mempunyai tujuan tertentu. Menurut Scott (2000), teori
akuntansi positif adalah teori yang memprediksi tindakan-tindakan pemilihan
12
akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana manajer merespon terhadap
usulan standar akuntansi yang baru.
Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang digunakan oleh
perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi
kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang tersedia untuk
meminimumkan biaya kontrak dan memaksimalkan nilai perusahaan. Dengan
adanya kebebasan itulah, maka menurut Scott (2000) manajer mempunyai
kecenderungan melakukan suatu tindakan yang menurut teori akuntansi positif
dinamakan sebagai tindakan oportunis (opportunistic behavior). Jadi, tindakan
oportunis adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh perusahaan dalam memilih
kebijakan akuntansi yang menguntungkan dan memaksimumkan kepuasan
perusahaan tersebut.
Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba.
Teori akuntansi positif mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba yang
dihubungkan oleh tindakan oportunistik yang dilakukan oleh perusahaan. Tiga
hipotesis menurut Watts dan Zimmerman (1986) dalam Sulistyanto (2008:44)
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis)
Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan yang menggunakan bonus
plan akan cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi
yang dapat meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode berjalan.
Hal ini dilakukan untuk memaksimumkan bonus yang akan mereka
peroleh karena seberapa besar tingkat laba yang dihasilkan seringkali
dijadikan dasar dalam mengukur keberhasilan kinerja. Jika besarnya
13
bonus tergantung pada besarnya laba, maka perusahaan tersebut dapat
meningkatkan bonusnya dengan meningkatkan laba setinggi mungkin.
Dengan demikian, diperkirakan bahwa perusahaan yang mempunyai
kebijakan pemberian bonus yang berdasarkan pada laba akuntansi, akan
cenderung memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan laba tahun
berjalan.
2) Hipotesis perjanjian utang (the debt covenant hypotesis)
Hipotesis ini berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi
perusahan di dalam perjanjian utang (debt covenant). Sebagian
perjanjian utang mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi
peminjam selama masa perjanjian. Dinyataka pula jika perusahaan mulai
mendekati suatu pelanggaran terhadap (debt covenant), maka perusahaan
tersebut akan berusaha menghindari terjadinya (debt covenant) dengan
cara memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba. Pelanggaran
terhadap (debt covenant) dapat menimbulkan suatu biaya serta dapat
menghambat kinerja manajemen. Sehingga dengan meningkatkan laba
perusahaan berusaha untuk mencegah atau setidaknya menunda hal
tersebut.
3) Hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis)
Dalam hipotesis ini dinyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang
dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan
perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba,
karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang tinggi dinilai akan
mendapat perhatian yang luas dari kalangan konsumen dan media yang
14
nantinya juga akan menarik perhatian pemerintah dan regulator sehingga
menyebabkan terjadinya biaya politis, diantaranya muncul intervensi
pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai macam
tuntutan lain yang dapat meningkatkan biaya politis.
2.1.3 Teori Sinyal (Signaling Theory)
Informasi merupakan hal yang penting bagi investor, dari sebuah informasi
investor dan pelaku bisnis akan mendapatkan gambaran mengenai keadaan pasar
baik di masa yang lalu maupun di masa yang akan datang. Informasi dapat
memberikan sinyal yang positif maupun sinyal negatif kepada investor untuk
melakukan investasi, ini dapat dilihat dari reaksi pasar yang timbul akibat
informasi tersebut.
Brigham dan Houston (2001) dalam penelitiannya menyataan bahwa teori
sinyal (signaling theory) adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen
perusahaan yang memberikan petunjuk bagi investor tentang bagaimana
manajemen memandang prospek perusahaan. Manajemen mempunyai informasi
akurat mengenai nilai perusahaan yang tidak diketahui investor, sehingga jika
manajemen menyampaikan suatu informasi ke pasar maka informasi tersebut akan
direspon oleh pasar sebagai suatu sinyal adanya peristiwa tertentu yang dapat
mempengaruhi nilai perusahaan (Assih, 2000).
Pada umumnya, manajer termotivasi untuk menyampaikan informasi yang
baik mengenai kondisi perusahaan kepada masyarakat luas karena melalui
penyampaian
informasi
tersebut
dapat
meyakinkan
masyarakat
untuk
menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Perusahaan akan dengan
senantiasa
memposisikan
diriya
sebagai
15
perusahaan
yang
baik
untuk
menunjukkan kualitas dirinya melalui sinyal-sinyal yang kredibel. Investor tentu
hanya memiliki keterbatasan informasi tentang kebenaran dari informasi yang
disampaikan. Jika manajer dapat memberikan sinyal yang meyakinkan kepada
investor dengan didukung data-data yang mendasarinya, maka investor akan
merespon secara positif. Berdasarkan sinyal-sinyal yang diterimanya, investor
dapat membuat suatu keputusan investasi, yang pada akhirnya tercermin dalam
fluktuasi harga saham.
Selain itu, didalam signaling theory dijelaskan bahwa seorang investor yang
rasional melakukan analisa sebelum membuat keputusan untuk berinvestasi
investor membutuhkan informasi yang akan dijadikan sinyal untuk menilai
prospek masa depan perusahaan. Dalam hal ini, informasi yang tersedia bisa
meliputi semua informasi yang tersedia baik informasi masa lalu, informasi saat
ini, maupun informasi yang bersifat sebagai pendapat atau opini rasional yang
beredar di pasar yang bisa mempengaruhi perubahan harga. Hal tersebut juga
dapat diketahui di dalam prospektus dan laporan keuangan tahunan perusahaan.
Informasi keuangan, penawaran umum, kegiatan, prospek perusahaan dsb
yang dipublikasikan dalam prospektus dan laporan keuangan tahunan merupakan
sumber informasi yang sangat penting, Karena dimanfaatkan sebagai sinyal untuk
investor potensial terkait dengan nilai perusahaan. Guna mempengaruhi keputusan
yang dibuat oleh para investor, maka manajer akan berusaha untuk menaikkan
jumlah laba yang dilaporkan. Informasi laba yang dilaporkan manajemen
merupakan sinyal mengenai laba di masa yang akan datang, oleh karena itu
pengguna laporan keuangan dapat membuat prediksi atas laba perusahaan di masa
yang akan datang. Akibatnya akan terjadi respon atau reaksi pasar berupa
16
perubahan harga saham perusahaan yang bersangkutan ke harga ekuilibrium yang
baru (Assih, 2000).
2.1.4 Manajemen Laba
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai batasan dan definisi
manajemen laba. Ada pihak yang mendefinisikan manajemen laba sebagai
kecurangan yang dilakukan seorang manajer untuk mengelabui orang lain,
sedangkan ada pihak yang mendefinisikannya sebagai aktivitas yang wajar
dilakukan manajer dalam menyusun laporan keuangan sepanjang tidak menyalahi
prinsip akuntansi yang berlaku. Sehingga, dapat dikatakan tindakan manajemen
laba merupakan tindakan yang berada di daerah abu-abu (grey area).
Menurut Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen
laba mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap
pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya
judgment yang dibutuhkan dalam mengistimasi sejumlah peristiwa ekonomi di
masa depan untuk ditujukan dalam pelaporan keuangan, seperti perkiraan umur
ekonomis dan residu aktiva tetap, tanggung jawab untuk pensiun, pajak yang di
tanggungkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Kedua, tujuan dari
manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi
perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi
yang tidak dapat diakses oleh pihak luar.
17
Menurut Scott (2000) terdapat empat pola atau aktivitas dalam melakukan
manajemen laba yaitu:
1) Income smoothing
Aktivitas ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat laba yang stabil dan
mengurangi fluktuasi naik turunnya laba sehingga perusahaan terlihat
stabil. Dalam hal ini laba akan diturunkan jika terjadi peningkatan yang
tajam dan menaikan laba jika tingkat laba berada di bawah tingkat laba
yang ditentukan. Tingkat laba yang stabil membuat pemilih perusahaan
percaya terhadap manajer.
2) Income minimization
Aktivitas manajemen laba dengan manjadikan laba pada laporan
keuangan periode berjalan lebih rendah daripada laba sesungguhnya.
Income
minimization
dilakukan
pada
saat
tingkat
profitabilitas
perusahaan cukup tinggi dengan asumsi jika laba pada periode mendatang
diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan laba periode sebelumnya.
Contoh penerapan aktivitas ini melakukan manajemen laba untuk
menghindari political cost.
3) Income maximization
Aktivitas manajemen laba dengan manjadikan laba pada laporan
keuangan periode berjalan lebih tinggi daripada laba sesungguhnya.
Income maximizartion dilakukan dengan tujuan memperoleh bonus yang
lebih besar, meningkatkan keuntungan, serta untuk menghindari
pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang. Income maximization
18
dilakukan dengan cara mempercepat pencatatan pendapatan, menunda
biaya dan memindahkan biaya untuk periode lain.
4) Takking a bath
Aktivitas ini dilakukan dengan melaporkan rugi sebesarnya sekaligus
ketika perusahaan mengalami kerugian sehingga dapat menciptakan
peluang laba yang lebih besar pada masa yang akan datang. Pola ini
sering terjadi pada saat reorganisasi perusahaan seperti pengangkatan
CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar sehingga
diharapkan dapat meningkatkan laba di masa mendatang.
2.1.5 Motivasi Manajemen Laba
Faktor-faktor yang mendorong tindakan manajer dalam melakukan kegiatan
manjemen laba menurut Scott (2000) dalam Rachmawati dkk. (2006) adalah :
1) Kontrak Bonus
Laba sering dijadikan indikator penilaian prestasi manajer perusahaan.
Healy (1985) menunjukkan kecenderungan manajemen yang secara
oportunistik mengelola laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka
berdasarkan program kompensasi perusahaan. Jika pada suatu tahun
tertentu laba bersih perusahaan tingi maka tindakan manajer adalah
menurunkan pendapatan, sehingga laba perusahaan akan menjadi lebih
rendah. Tindakan ini dilakukan karena manajer tidak akan mendapatkan
bonus yang lebih tinggi dari target yang telah ditentukan sehingga
bermaksud menunda penerimaan laba agar tercapainya target laba pada
tahun berikutnya. Di sisi lain, jika manajer perusahaan yang memperoleh
19
laba di bawah target laba, maka manajer akan melakukan manipulasi laba
dengan meningkatkan laba agar memperoleh bonus yang maksimal.
2) Stock Price Effect
Manajer perusahaan merekayasa informasi sedemikian rupa agar laporan
keuangan yang disajikan mampu menarik minat publik untuk merespon
penawaran secara positif. Atau dengan kata lain, dengan menyajikan
informasi yang lebih baik daripada informasi yang sesungguhnya
diharapkan dapat membuat publik mau membeli saham yang ditawarkan
dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada harga sesungguhnya.
Upaya merekayasa informasi ini disebabkan karena laporan keuangan
merupakan merupakan sumber informasi utama bagi investor yang ingin
mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan untuk menilai apakah
perusahaan bersangkutan tepat untuk dijadikan tempat berinvestasi
(Sulistyanto, 2008:25).
3) Faktor Politik
Menurut Na’im dan Hartono, Perusahaan-perusahaan dengan skala besar
dan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba guna mengurangi
tingkat visibilitas terutama saat periode kemakmuran yang tinggi. Upaya
ini dilakukan dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari
pemerintah.
4) Faktor Pajak
Menurut Sulistyanto (2008:46), undang-undang mengatur jumlah pajak
yang akan ditarik dari perusahaan berdasarkan atas laba yang diperoleh
perusahaan selama periode tertentu. Atau dengan kata lain, besar kecilnya
20
pajak yang akan ditarik oleh pemerintah sangat tergantung pada besar
kecilnya laba yang dicapai perusahaan. Kondisi ini lah yang merangsang
manajer untuk mengelola dan mengatur labanya dalam jumlah tertentu
agar pajak yang harus dibayarkan menjadi tidak terlalu tinggi. Hal ini
dapat dilakukan dengan menarik biaya pada periode yang akan datang
menjadi biaya periode berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan
periode berjalan menjadi pendapatan periode yang akan datang.
5) Pergantian Chief Executive Officer (CEO)
Manajemen laba juga terjadi disekitar waktu pergantian CEO. Hipotesis
program bonus memprediksi bahwa ketika waktu mendekati pengunduran
diri CEO maka tindakan yang dilakukan adalah memaksimalkan laba
untuk meningkatkan bonus mereka. Sedangkan CEO yang kinerjanya
buruk akan melakukan manajemen laba untuk memaksimalkan laba
mereka dengan tujuan mencegah atau menunda pemberhentian mereka.
Motivasi melakukan manajemen laba juga dapat dilakukan oleh CEO
baru, terutama jika cost dibebankan pada tahun transisi, melalui
penghapusan operasi yang tidak diinginkan atau divisi yang tidak
menguntungkan.
6) Penawaran Saham Perdana (IPO)
Pada umumnya, perusahaan yang akan melakukan penawaran saham
perdana (IPO) melakukan aktifitas manajemen laba pada periode terakhir
sebelum IPO. Saat perusahaan go public, informasi keuangan yang ada
dalam prospektus merupakan sumber informasi yang penting dan utama.
Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor tentang
21
nilai perusahaan untuk mempengaruhi calon investor, maka manajer
berusaha untuk menaikkan laba yang dilaporkan, agar harga saham tinggi
pada saat IPO.
2.1.6 Respon Pasar
Respon pasar atas informasi yang disampaikan oleh perusahaan ditunjukkan
dengan adanya perubahan harga saham perusahaan yang bersangkutan. Respon ini
dapat diukur dengan menggunakan return sebagai nilai perubahan harga atau
dengan menggunakan return tidak normal (abnormal return). Jika digunakan
abnormal return, maka dapat dikatakan bahwa suatu pengumuman laba yang
mempunyai kandungan informasi akan memberikan abnormal return kepada
pasar. Sebaliknya yang tidak mengandung informasi tidak akan memberikan
abnormal return kepada pasar (Jogiyanto, 2000:537).
Abnormal return merupakan selisih return yang sesungguhnya terjadi
dengan return normal. Return normal merupakan return ekspektasi (return yang
diharapkan oleh investor). Dengan demikian abnormal return merupakan selisih
antara return sesungguhnya yang terjadi dengan return ekspektasi. Sedangkan
Cummulative Abnormal Return (CAR) merupakan penjumlahan dari abnormal
return hari sebelumnya di dalam periode peristiwa untuk masing-masing sekuritas
(Jogiyanto, 2000:572).
2.1.7 Pergantian CEO
CEO adalah pemimpin utama manajemen dan memainkan peran yang
sangat penting dalam hidup perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa apabila
terdapat suatu kondisi dimana perusahaan akan cenderung melihat CEO sebagai
22
satu-satunya dalang penyebab terjadinya kegagalan tersebut. Pemicu utama
pergantian CEO adalah tidak tercapainya tujuan bersama antara manajer dengan
pemilik perusahaan (Jayanthi dan Putra, 2013).
Pergantian CEO adalah salah satu kebijakan yang diputuskan dalam RUPS.
Anggota direksi bertanggung jawab kepada RUPS, karena mereka diangkat dan
diberhentikan oleh RUPS. Informasi mengenai pengangkatan dan pemberhentian
anggota direksi dapat diketahui melalui pengumuman resmi yang dikeluarkan oleh
perusahaan
emiten
kepada
para
pemegang
sahamnya
yang
biasanya
dipublikasikan lewat media massa. Pengangkatan anggota direksi pertama kali
dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota direksi dalam akta
pendirian. Selain itu anggota direksi juga dapat diberhentikan secara sementara
oleh RUPS dengan menyebutkan alasannya yang kemudian diberitahukan secara
tertulis kepada direksi yang bersangkutan. Selama diberhentikan sementara,
anggota direksi tersebut tidak berwenang melakukan tugasnya. Dalam hal ini
direksi tersebut diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dan apabila
gagal maka ia dapat diberhentikan dari perusahaan (Desiantari, 2009).
Vancil (dalam Pourciau, 1993) mengklasifikasikan pergantian CEO menjadi
dua, yaitu: pergantian CEO secara rutin dan pergantian CEO nonrutin. Pergantian
CEO rutin merupakan pergantian CEO yang dilakukan berdasarkan struktur
perusahaan, dilakukan secara teratur, dan merupakan pergantian yang telah
direncanakan.
Pergantian CEO secara nonrutin meliputi semua pengunduran diri, baik
pengunduran diri secara sukarela (voluntary resignation) dan pengunduran diri
karena dipaksa (forced resignation). Pergantian nonrutin merupakan proses
23
pergantian yang tidak teratur, tidak direncanakan, dan dilakukan pada waktu
tertentu. Hal ini meliputi pengunduran diri CEO dan pemecatan atau penghentian
sebelum habis masa jabatannya. Dalam pergantian ini, perusahaan tidak memiliki
waktu yang cukup memadai untuk memilih CEO yang baru.
Pourciau
(1993)
menyatakan
bahwa
manajemen
laba
mempunyai
kemungkinan lebih besar terjadi pada kasus pergantian nonrutin. Pourciau juga
menyatakan bahwa terdapat penurunan kinerja perusahaan yang ditunjukkan
dalam penurunan laba pada tahun dilakukannya pergantian executive nonrutin,
namun untuk tahun-tahun berikutnya kembali membaik. Peningkatan laba ini
dapat menambah kepercayaan investor terhadap kinerja perusahaan setelah
dilakukannya pergantian executive nonrutin.
2.1.8 Studi Even (Event Study)
Event study merupakan studi yang mempelajari reaksi pasar terhadap suatu
event yang informasinya dipublikasikan sebagai suatu pengumuman (Jogiyanto,
2010: 536). Event study dapat digunakan untuk menguji kandungan informasi
(information content) dari suatu pengumuman. Jika pengumuman mengandung
informasi (information content), maka diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu
pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Reaksi pasar ditunjukkan dengan
adanya perubahan harga dari sekuritas yang bersangkutan.
Pengujian informasi hanya menguji reaksi dari pasar, tetapi tidak menguji
seberapa cepat pasar itu bereaksi. Jika pengujian melibatkan kecepatan reaksi dari
pasar untuk menyerap informasi yang diumumkan, maka pengujian ini merupakan
pengujian efisiensi pasar secara informasi (informationally efficient market). Well
(2004) menyatakan bahwa tujuan dari event study adalah untuk menentukan
24
apakah suatu event spesifik memengaruhi perilaku investor dan selanjutnya
memengaruhi return saham yang bersangkutan.
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Praktik Manajemen Laba pada Akhir Masa Jabatan CEO
Manajemen
laba
yang
dilakukan
oleh
CEO
disebabkan
karena
kecenderungan bahwa laba dijadikan sebagai suatu target dalam proses penilaian
prestasi usaha seorang CEO maupun perusahaan. CEO yang berencana berhenti
dari perusahaan memiliki dorongan untuk memanipulasi laba guna memperoleh
bonus yang lebih tinggi dan meningkatkan reputasi (Adiasih dan Wijaya, 2011).
Selain itu, berdasarkan penelitian Yasa dan Novialy (2012) diketahui bahwa CEO
yang akan kehilangan pekerjaannya akan berusaha menunjukkan kinerja terbaik,
salah satunya dengan meningkatkan laba perusahaan (income increasing).
Bagaimanapun juga, CEO yang berada dalam situasi ini adalah CEO yang
berpendapat bahwa langkah-langkah bisnis yang nyata untuk memaksimumkan
laba sudah tidak bisa lagi dilakukan, periode ini adalah periode akhir masa
jabatannya di perusahaan, dan sepertinya hampir mustahil untuk melakukan
perbaikan bisnis yang pesat hanya dalam satu tahun saja. Berdasarkan teori dan
hasil penelitian tersebut, maka hipotesis pertama yang diajukan adalah:
H1: Terjadi praktik manajemen laba dengan menaikkan laba (income increasing)
pada akhir masa jabatan CEO.
25
2.2.2 Perbedaan Respon Pasar Laba atas Praktik Manajemen Laba di
Sekitar Event Pergantian CEO
Teori keagenan menjelaskan bahwa hubungan antara pemilik dan pengelola
perusahaan merupakan hubungan kontraktual dimana masing-masing memiliki
keinginan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Investor selaku pemilik
perusahaan menginginkan adanya imbal balik atas investasinya berupa return
saham. Dari sisi lain, manajer selalu menginginkan bonus dari para pemilik atas
hasil kinerjanya. Berbagai usaha pun dilakukan oleh manajer agar laporan
keuangan terlihat baik demi menarik investor sehingga manajer akan
mendapatkan bonus tersebut yaitu melalui praktek manajemen laba.
Manajemen laba sering dilakukan oleh manajemen perusahaan disekitar
pergantian CEO. Manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen didasari oleh
adanya keinginan untuk mempertahankan posisinya sebagai manajer pada periode
berikutnya atau mendapatkan bonus yang lebih tinggi di akhir masa jabatan.
Disamping hal tersebut, keterbatasan informasi yang dimiliki investor mengenai
prospektus perusahaan mengakibatkan semakin tinggi peluang bagi manajemen
perusahaan untuk melakukan manajemen laba.
Teori sinyal menjelaskan bahwa manajemen mempunyai informasi akurat
mengenai nilai perusahaan yang tidak diketahui oleh investor luar. Ketika
perusahaan menyampaikan suatu informasi ke pasar maka informasi tersebut akan
direspon oleh pasar sebagai suatu sinyal adanya peristiwa tertentu yang dapat
mempengaruhi nilai perusahaan. Para investor harus secara cepat merespon
informasi baru untuk mendapat keuntungan dari berita-berita yang diinginkan atau
untuk mengurangi kerugian akibat berita-berita yang tidak diinginkan. Berita
mengenai pergantian CEO juga merupakan salah satu informasi yang penting bagi
26
para investor, karena peran CEO yang sangat vital dalam suatu perusahaan.
Penelitian Ball & Brown (1968) menyatakan harga saham akan cenderung naik
jika laba sesuai harapan dan harga saham akan cenderung turun jika laba yang
dilaporkan lebih kecil dari harapan.
Melalui manajemen laba, manajer dapat mengatur angka-angka laba yang
dilaporkan agar sesuai kepentingan pribadinya maupun perusahaan. Hal ini dapat
menyesatkan investor dalam mengestimai return yang diinginkan. Sehingga, jika
investor mengetahui adanya praktek manajemen laba yang dilakukan oleh
perusahaan tertentu, mereka akan mengetahui bahwa kondisi sesungguhnya
perusahaan tersebut dapat lebih baik atau lebih buruk dari yang dilaporkan,
sehingga investor akan memberikan reaksi berupa koreksi harga saham
perusahaan yang bersangkutan (Wahyuningsih, 2007). Berdasarkan teori dan
hasil-hasil penelitian tersebut, maka hipotesis ketiga yang diajukan adalah:
H2: Terdapat perbedaan respon pasar atas praktik manajemen laba di sekitar event
pergantian CEO.
27
Download