BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya dalam kehidupannya. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia saling berkomunikasi satu sama lain. Untuk menciptakan komunikasi yang baik, manusia menggunakan bahasa yang digunakan dapat dimengerti. Secara tradisional, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi yang berarti media untuk menyatakan perasaan, pikiran, gagasan, dan konsep. Fungsi bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyampaikan pemikiran, namun juga dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. Ketika seseorang ingin menyatakan keinginannya kepada orang lain, maka hal yang ingin dikemukakan kepada orang tersebut umumnya berupa makna atau maksud kalimat. Penyataan maksud tersebut dituangkan dalam bentuk tindak tutur. Rohmadi (2004:29) menjelaskan bahwa berkomunikasi bukan hanya sekedar kalimat atau lambang, tetapi jauh lebih tepat bila diartikan sebagai hasil dari lambang atau kalimat yang terwujud dalam perilaku tindak tutur. Tindak tutur pertama kali dicetuskan oleh J.L. Austin yang merupakan seorang guru besar di Universitas Harvard. Awalnya tindak tutur merupakan materi kuliah, namun kemudian diterbitkan oleh J.O. Urmson pada tahun 1965 yang berjudul How to do Thing with Word. Kemudian teori Austin menjadi terkenal ketika Searle menerbitkan buku yang berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language pada tahun 1969. Chaer dan Agustina (2010:50) mengartikan tindak tutur merupakan suatu gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa yang dimiliki oleh si penutur dalam menghadapi sebuah situasi. Tindak tutur dapat dilihat dari makna dan arti tindakan dari tuturan yang diberikan oleh penutur. Tarigan (dalam Sendilatta 2013) menjelaskan bahwa tindak tutur adalah bagaimana cara melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kalimat. Austin (dalam Cutting 2002) juga menyatakan hal yang sama, yaitu bahwa tindak tutur sebagai perwujudan dalam mengatakan sesuatu. Dikatakan bahwa tindakan dilakukan ketika sebuah ucapan dapat dianalisis dengan tiga tingkatan yang berbeda. Adapun tiga tingkatan tersebut dibagi menjadi lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Lokusi merupakan tindak tutur dalam dalam bentuk sebuah kalimat yang dapat dipahami makna dan artinya. Tindak tutur lokusi menurut Wijana (dalam Sendilatta 2013) hanya sekedar membuat mitra tutur mengetahui apa yang dinyatakan tanpa disertai dengan adanya unsur-unsur lainnya seperti unsur nilai atau efek oleh mitra tuturnya. Tindak tutur ilokusi adalah sesuatu yang ingin dicapai ketika menuturkan sesuatu. Ibrahim (dalam Sendilatta 2013) membagi tindak tutur ilokusi menjadi enam kategori, yaitu konstantif, menyuruh, komisif, efektif, dan verdiktif. Kemudian yang dimaksudkan dengan perlokusi adalah tindak tutur yang tindak tutur yang berkenaan dengan ucapan dari orang lain yang berhubungan dengan perilaku atau sikap yang non linguistik dari orang tersebut (Chaer dan Agustina 2010:53). Banyak hal yang harus diperhatikan dalam bertindak tutur, seperti hubungan sosial antara penutur dengan mitra tutur, perbedaan umur yang ada di antara penutur dan mitra tutur, lokasi atau peristiwa berkomunikasi sedang berlangsung, tujuan tindak tutur, maksud tindak tutur tersebut, dan lain sebagainya. Dengan adanya faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam bertutur dapat mengakibatkan adanya hubungan antara kesantunan dengan tindak tutur. Prinsip kesantunan ini tentunya berhubungan erat dengan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat. Perilaku para anggota masyarakat tutur mencerminkan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat tersebut. Dengan kata lain, ada hubungan antara perilaku berbahasa dan nilai budaya dari kebudayaan itu sendiri. Seorang penutur yang hanya mementingkan nilai-nilai dalam berkomunikasi tanpa mengindahkan nilai-nilai kesantunan pasti akan mendapatkan masalah dalam berkomunikasi. Dalam kehidupan bersosialisasi, kesantunan dalam berinteraksi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kesantunan merupakan hal penting yang dijunjung tinggi dalam bersosialisasi. Seseorang akan dinilai negatif atau kurang baik ketika orang tersebut tidak memiliki kesantunan saat berinteraksi dengan orang lain. Hal tersebut terlihat sangat jelas ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, atau orang yang baru kenal. Ketika seseorang mengesampingkan kesantunan dalam berinteraksi, orang-orang akan menilai bahwa orang tersebut merupakan orang yang tidak berpendidikan. Sebaliknya, dengan adanya kesantunan dalam berinteraksi, seseorang akan terpandang lebih terpelajar. Misalnya, cara berpakaian, cara berbicara terhadap orang yang lebih tua atau orang yang baru dikenal, bahkan cara makan sekalipun dapat berpengaruh ketika berada di lingkungan yang berbeda. Kesantunan dalam bertindak tutur sangat dipengaruhi oleh wajah. Wajah mengacu pada citra diri seseorang yang harus dihargai. Citra diri seseorang akan jatuh ketika tindak tutur dilakukan tanpa memperhitungkan wajah dari mitra tutur. Ketika kesantunan terhadap lawan bicara dilakukan, itu berarti kita sedang menjaga wajah dari lawan bicara. Citra diri yang dimiliki oleh seseorang harus dijaga dengan baik. Hal-hal yang berkenaan dengan berhasilnya suatu interaksi sosial adalah strategi-strategi yang mempertimbangkan status kedua belah pihak. Strategi-strategi yang digunakan dapat menciptakan suasana kesantunan dalam berinteraksi tanpa mempermalukan penutur maupun mitra tutur. Wajah dikelompokkan menjadi dua, yaitu wajah positif dan wajah negatif. Wajah positif merupakan keinginan seseorang untuk dihargai, keinginan untuk diterima dalam suatu kelompok, dan keinginan dinilai baik atas semua yang ada dalam dirinya. Wajah negatif merupakan keinginan seseorang untuk bebas dari segala bentuk suruhan yang ditujukan kepadanya. Untuk menjaga wajah positif seseorang, dibutuhkan kesantunan positif, sedangkan untuk menjaga wajah negatif, dibutuhkan kesantunan negatif. Melihat adanya permasalahan dalam bertindak tutur untuk menyampaikan suatu keinginan, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh, khususnya mengenai strategi tindak tutur menyuruh dalam Bahasa Jepang. Dengan penelitian ini diharapkan para pembelajar Bahasa Jepang juga dapat lebih mengerti strategi yang tepat dalam bertindak tutur menyuruh, baik kepada masyarakat Jepang maupun masyarakat Indonesia yang dapat berkomunikasi dalam Bahasa Jepang. 1.2 Masalah Pokok Berdasarkan latar belakang di atas, pokok permasalahan yang akan dibahas adalah strategi tindak tutur menyuruh yang ada dalam anime Detective Conan dari episode 126,602-607,662. 1.3 Formulasi Masalah Penulis akan menjabarkan bentuk kalimat menyuruh dalam Bahasa Jepang. Kemudian penulis juga menganalisis strategi tindak tutur menyuruh yang muncul dalam anime Detective Conan dari episode 126,602-607,662. Setelah menganalisis strategi yang muncul, kalimat menyuruh yang muncul akan dikatikan dengan aspek-aspek penentu tingkat kesantunan dalam Bahasa Jepang. 1.4 Ruang Lingkup Dalam penelitian ini, dibatasi hanya pada penelitian strategi tindak tutur menyuruh pada anime yang berjudul Detective Conan yang ada pada episode 126,602607,662. 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi tindak tutur menyuruh dalam Bahasa Jepang. Manfaatnya adalah agar para pembelajar Bahasa Jepang lebih memahami strategi tindak tutur menyuruh dalam Bahasa Jepang. 1.6 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dalam penelitian ini dilakukan dari buku-buku, baik buku berbahasa Indonesia, buku berbahasa Inggris, mapun buku berbahasa Jepang. Selain dari buku-buku, penelitian ini didukung oleh jurnal-jurnal penelitian. Pada penelitian ini, akan diteliti mengenai strategi tindak tutur dalam bentuk suruhan yang sering muncul pada anime yang berjudul Detective Conan dari episode 126,602-607,662. Tindak tutur sering dikaitkan dengan kesantunan yang ada dalam budaya masyarakat. Jika seseorang bertutur tanpa menggunakan strategi, maka mitra tutur akan kehilangan wajahnya. Brown and Levinson memberikan konsep face atau wajah dalam strategi bertindak tutur. Menurut Brown and Levinson, wajah merupakan teori dasar dari kesantunan. Yule (2006:104) juga menyatakan bahwa wajah merupakan wujud pribadi seseorang dalam suatu masyarakat. Penelitian tentang tindak tutur pernah dilakukan oleh Gunarwan. Gunarwan dalam bukunya menulis tentang tindak tutur melarang yang dikaitkan pada Bahasa Jawa dan Bahasa Batak. Dalam bukunya, Gunarwan juga menggunakan konsep face atau wajah yang dikemukakan oleh Brown and Levinson. Dalam penelitian tersebut, Gunarwan membahas strategi bertindak tutur dalam bentuk kalimat melarang yang ada dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Batak. Adapun strategi yang digunakan adalah strategi yang dikemukakan oleh Brown and Levinson. Selain itu, teori tentang bentuk kalimat perintah dalam Jepang juga sudah banyak diteliti baik oleh orang Jepang maupun oleh orang asing seperti Axel Svahn. Svahn dalam penelitiannya yang berjudul The Perfective Imperative in Japanese membahas bentuk-bentuk kalimat yang isinya berupa kalimat suruhan baik dari bentuk formal hingga pada bentuk informal yang sering digunakan orang ketika menyuruh orang lain untuk mengikuti perintah yang diberikan.