BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Manajemen
2.1.1
Pengertian Manajemen
Menurut Robbins dan Coulter dalam bukunya yang berjudul
“Manajemen” (2004, P6-7), mendefinisikan manajemen sebagai proses
pengkoordinasian kegiatan-kegiatan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut
terselesaikan secara efisien (memperoleh output terbesar dengan input yang
terkecil; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu secara benar”)
dan efektif (menyelesaikan kegiatan-kegiatan sehingga sasaran organisasi
dapat tercapai; digambarkan sesuai “melakukan segala sesuatu yang benar”)
dengan dan melalui orang lain.
Manajemen penting digunakan dalam suatu organisasi, karena
manajemen merupakan suatu landasan dalam
organisasi,
sehingga
suatu
organisasi
dapat
melakukan kegiatan
melaksanakan
kegiatan
operasional dari organisasi tersebut.
Menurut Hasibuan dalam bukunya yang berjudul “Manajemen
Sumber Daya Manusia” (2005, P1), manajemen adalah ilmu dan seni
mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber
lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Maka dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan suatu ilmu
yang mempelajari bagaimana cara mengkoordinir kerja karyawan-karyawan
untuk menjalankan tugas yang sudah direncanakan untuk memudahkan
tercapainya tujuan tersebut.
7
8
2.1.2
Fungsi Manajemen
Beberapa fungsi manajemen yang dilakukan oleh para manajer
antara lain adalah sebagai berikut (Robbins dan Coulter, 2004, P8):
1. Perencanaan
Fungsi
perencanaan
mencakup
proses
mendefinisikan
sasaran,
menetapkan strategi untuk mencapai sasaran, dan menyusun rencana
untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan sejumlah kegiatan.
2. Pengorganisasian
Fungsi pengorganisasian mencakup proses menentukan tugas apa yang
harus dilakukan, siapa yang harus melakukan, bagaimana cara
mengelompokkan tugas-tugas itu, siapa harus melapor ke siapa, dan di
mana keputusan harus dibuat.
3. Kepemimpinan
Fungsi kepemimpinan mencakup memotivasi bawahan, mempengaruhi
individu atau tim sewaktu mereka bekerja, memiliki saluran komunikasi
yang paling efektif, dan memecahkan dengan berbagai cara masalah
perilaku karyawan.
4. Pengendalian
Fungsi
pengendalian
mencakup
memantau
kinerja
aktual,
membandingkan aktual dengan standar, dan membuat koreksinya, jika
perlu.
2.2
Manajemen Sumber Daya Manusia
2.2.1
Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (human resource – HR management) adalah
rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan
9
penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuantujuan organisasional (Mathis dan Jackson, 2006, P3).
Menurut pendapat Handoko (2000, P134), manajemen sumber daya
manusia sebagai manajemen yang mengatur manusia, yang diterima secara
universal pada masa sekarang ini.
Menurut Malayu (2002, P10), manajemen sumber daya manusia
adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar
efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan,
dan masyarakat.
Dari beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa manajemen
sumber daya manusia adalah manajemen yang mengatur hubungan dan
peranan manusia dan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu
terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat, yang diterima
secara universal pada masa sekarang ini.
Dalam
manajemen
sumber
daya
manusia
ada
ilmu
yang
mempelajari perilaku organisasi manusia, Fred Luthans (2006, P439)
mengemukakan bahwa secara tradisional, bidang perilaku organisasi
membahas stress dan konflik secara terpisah. Secara konseptual, stress dan
konflik adalah sama. Interaksi individu, kelompok, dan organisasi lebih
berhubungan dengan konflik. Pada tingkat individu (intrapersonal), stress
dan konflik dapat dibahas bersama.
2.2.2
Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Secara umum fungsi-fungsi operasional manajemen sumber daya
manusia menurut Panggabean (2002, P16) adalah sebagai berikut:
1. Pengadaan tenaga kerja
10
Fungsi pengadaan tenaga kerja yang dikenal juga sebagai fungsi
pendahuluan terdiri dari:
a. Analisis pekerjaan
Analisis pekerjaan merupakan suatu proses penyelidikan yang
sistematis
untuk
memahami
tugas-tugas,
keterampilan,
dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan dalam
sebuah organisasi.
b. Perencanaan tenaga kerja
Perencanaan tenaga kerja adalah suatu proses penyediaan tenaga
kerja dalam kuantitas dan kualitas yang diperlukan oleh sebuah
organisasi pada waktu yang tepat agar tujuannya dapat dicapai.
c.
Penarikan tenaga kerja
Penarikan tenaga kerja merupakan sebuah proses yang bertujuan
untuk memperoleh sejumlah calon pegawai yang memenuhi
persyaratan (berkualitas). Proses ini diawali dengan pemahaman
akan adanya lowongan, tugas-tugas yang dikerjakan, kualifikasi dan
sistem kompensasi yang berlaku, sehingga adalah wajar jika proses
ini merupakan langkah lanjutan dari analisis pekerjaan dan
perencanaan kerja maupun langkah-langkah yang diperlukan dalam
penetapan sistem kompensasi, seperti evaluasi pekerjaan dan survey
upah dan gaji.
d. Seleksi
Proses penarikan dan seleksi penerimaan pegawai bertujuan untuk
mendapatkan pegawai yang dapat membantu tercapainya tujuan
perusahaan atau usaha untuk memperoleh jumlah tenaga kerja yang
diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi.
11
Sasaran dari pengadaan adalah untuk memperoleh sumber daya
manusia dalam jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia yang
tepat bagi organisasi.
2. Pengembangan pegawai
Pengembangan pegawai dapat dilakukan melalui orientasi, pelatihan,
dan pendidikan. Pada hakikatnya yang ditujukan untuk menyesuaikan
persyaratan atau kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan
pekerjaannya dengan kualifikasi yang dimiliki pegawai sekarang.
3. Perencanaan dan pengembangan karir
Hal ini terdiri dari atas pengertian karir, perencanaan karir, dan
pengembangan karir. Karir dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian
aktivitas kerja yang terpisah, tetapi berhubungan dan memberikan
kesinambungan, keteraturan, dan arti kehidupan bagi seseorang.
Perencanaan karir adalah suatu proses yang memungkinkan seseorang
memilih tujuan karir dan mengenali cara atau jalur untuk mencapai
tujuan tersebut. Pengembangan karir adalah suatu pendekatan formal
yang diambil dan digunakan organisasi untuk menjamin agar orangorang dengan kecakapan dan pengalaman yang layak yang tersedia
ketika dibutuhkan.
4. Penilaian kinerja
Penilaian prestasi merupakan sebuah proses yang ditujukan untuk
memperoleh informasi tentang kinerja pegawai. Informasi ini dapat
digunakan sebagai input dalam melaksanakan hampir semua aktivitas
manajemen sumber daya manusia lainnya, yaitu promosi, kenaikan gaji,
pengembangan, dan pemutusan kerja.
12
5. Kompensasi
Merupakan segala bentuk penghargaan (outcomes) yang diberikan oleh
organisasi kepada pegawai atas kontribusi (inputs) yang diberikan
kepada organisasi. Kompensasi terdiri atas gaji pokok, insentif dan
kesejahteraan pegawai.
6. Keselamatan dan kesehatan kerja
Keselamatan kerja meliputi perlindungan pegawai dari kecelakaan di
tempat kerja, sedangkan kesehatan merujuk kepada kebebasan pegawai
dari penyakit secara fisik mental.
7. Pemutusan hubungan kerja
Pemutusan hubungan kerja dapat didefinisikan sebagai pengakhiran
hubungan antara pekerja dan pengusaha sehingga berakhir pula hak
dan kewajiban di antara mereka. Hal ini dapat disebabkan olehberbagai
macam alasan.
2.3
Kerja
2.3.1
Pengertian Kerja
Kerja
sengaja
dilakukan
oleh
manusia
untuk
mendapatkan
penghasilan dan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Kerja merupakan
realisasi diri manusia, yang bertitik tolak dari dalam kesenangan dan
kesukaan, serta merupakan suatu bentuk pelayanan bagi manusia lain baik
sebagai individu maupun bermasyarakat.
Dalam pandangan paling modern mengenai kerja dalam Anoraga
(2006, P14) dikatakan bahwa kerja merupakan bagian yang paling mendasar
atau esensial dari kehidupan manusia.
13
Menurut Anoraga (2006, P21), kerja adalah usaha yang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau kebutuhan umum, maka dapat
dikatakan bahwa, orang bekerja itu untuk mempertahankan eksistensi diri
sendiri dan keluarganya.
2.3.2
Tujuan Kerja
Dari pengalaman suatu seleksi atau pelatihan dan pengembangan
karyawan (training and development), pada umumnya makna kerja ini
mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan dan atau motivasi. Kebutuhan
adalah menyangkut hal-hal yang diperlukan seseorang, yang kalau terpenuhi
akan membuat orang itu senang dan tenang, sebaliknya apabila tidak
terpenuhi, maka yang bersangkutan akan merasa kurang sejahtera
kehidupannya – baik lahir maupun batin. Sedangkan motivasi adalah suatu
dorongan yang telah terarah, dan disebut sebagai suatu vektor, yang
memungkinkan seseorang bergerak untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Seringkali nampak, bahwa pada mereka yang taraf perkembangan
dirinya rendah, jawaban tentang arti kerja itu berorientasi pada kebutuhan.
Atau jawaban tersebut muncul secara otomatis sebagai suatu kebiasaan
saja.
Bagi mereka yang tingkatnya lebih tinggi, jawaban yang ada
seringkali berorientasi pada motivasi. Namun demikian tidak sedikit yang
berorientasi pada kebutuhan (Anoraga, 2006, P23).
14
2.4
Stress Kerja
2.4.1
Pengertian Stress
Dalam kehidupan modern yang makin kompleks, manusia akan
cenderung mengalami “stress” apabila ia kurang mampu mengadaptasikan
keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang ada, baik kenyataan
yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
Segala macam bentuk “stress” pada dasarnya disebabkan oleh
kekurangmengertian manusia akan keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Ketidakmampuan
untuk
melawan
keterbatasan
inilah
yang
akan
menimbulkan frustasi, konflik, gelisah, dan rasa bersalah yang merupakan
tipe-tipe dasar stress.
Menurut McShane dan Von Glinow (2005, P206)
“Stress is an individual’s adaptive response to a situation that is
perceived as challenging or threatening to the person’s well-being.”
Stress adalah suatu tanggapan seseorang terhadap suatu perubahan
yang dirasakan menggangu dan mengakibatkan dirinya terancam.
Menurut Robbins dan Judge (2007, P596)
“Stress is a dynamic condition in which an individual is confronted
with an opportunity, demand, or resource related to what the individual
desires and for which the outcome is perceived to be both uncertain and
important.”
Stress adalah suatu kondisi yang dinamik dimana seseorang
dihadapkan
dengan
kesempatan,
permintaan,
atau
sumber
yang
15
berhubungan dengan apa yang diinginkan oleh individu tersebut dan yang
dimana hasilnya adalah merasa sama-sama tidak pasti dan penting.
Menurut Greenberg dan Baron (2003, P122)
“Stress is the pattern of emotional states and physiological reactions
occuring in response to demands from within or outside an organization.”
Stress merupakan pola emosi dan reaksi fisiologis yang muncul
dalam menghadapi tuntutan dari dalam maupun luar organisasi.
Menurut Handoko (2001, P200)
Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang dinamik yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Stress yang
terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri karyawan berkembang berbagai
macam gejala stress yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.”
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa stress
adalah suatu kondisi dinamik dalam masa seseorang individu yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang.
2.4.2
Pengertian Stress Kerja
Sebenarnya pengertian stress kerja dengan stress itu hampir sama,
hanya saja ruang lingkup untuk pengertian stress jauh lebih luas, karena
bisa terjadi dan disebabkan oleh lingkungan kerja maupun di luar lingkungan
kerja, sedangkan stress kerja hanya terjadi di lingkungan kerja (Gibson dan
Ivanicevich, 2001).
16
Beehr dan Newman dalam Luthans (2006, P441) mendefinisikan
stress kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan
pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa
mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.
Menurut Luthans (2006, P441), stress kerja didefinisikan sebagai
respons adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan
fisik, psikologis, atau perilaku anggota organisasi.
Israel Posner dan De. Lewis Leitnor dalam Arden (2006, P10-11),
berpendapat bahwa ada dua faktor penting apakah stress dialami sebagai
tak terkendali atau sebagai dapat dikuasai.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stress kerja
adalah
dikarenakan
adanya
ketidakseimbangan
antara
karakteristik
kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan
dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut
tertentu dapat mempengaruhi daya tahan stress seorang karyawan.
2.4.3
Penyebab Terjadinya Stress di Tempat Kerja
Menurut Anoraga (2006, P118), di masa mendatang stress akan
timbul dengan frekuensi dan intensitas yang semakin meningkat.
Cooper dalam Arnold (2005, P395-410), terkait dengan seluruh jenis
pekerjaan, menjabarkan tujuh faktor yang menyebabkan terjadinya stress
kerja, antara lain:
1. Faktor-faktor intrinsik pekerjaan
Antara lain adalah:
•
Kondisi lingkungan kerja yang kurang baik
17
Misalnya lingkungan kerja yang bising, pencahayaan yang kurang
baik, tercium bau-bauan, dan lain sebagainya.
•
Kerja shift/ kerja malam
Kerja shift merupakan sumber utama dari stress bagi para pekerja.
Semakin lama waktu kerja shift, semakin tinggi tingkat stress yang
dialami. Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan
dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/ siang dan dampak
dari
kerja
shift
terhadap
kebiasaan
makan
yang
mungkin
menyebabkan gangguan-gangguan perut. Pengaruhnya adalah
emosional dan biologikal, karena gangguan ritme circadian dari
tidur/ daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme
pengeluaran adrenalin.
•
Jam kerja yang lama dan kerja yang terlalu overload
Menurut Sparks et al. dalam Arnold (2005, P398) bahwa jam kerja
yang panjang secara terus-menerus akan merusak kesehatan fisik
dan psikologikal individu tersebut.
Adapun dua tipe kerja yang terlalu overload (work overloaded), yaitu
overload kuantitatif yaitu banyaknya yang harus dikerjakan, dan
overload kualitatif yaitu mengacu pada pekerjaan yang terlalu sulit
untuk seseorang.
Munandar (2008, P384) menjelaskan jenis-jenis beban kerja, yakni:
beban berlebihan kuantitatif, beban terlalu sedikit kuantitatif, beban
berlebihan kualitatif, beban terlalu sedikit kualitatif, dan beban
berlebihan kuantitatif dan kualitatif.
•
Tingkat resiko dan bahaya yang dihadapi
18
Pekerjaan yang mempunyai resiko atau bahaya yang tinggi akan
menghasilkan tingkat stress yang tinggi, misalnya seorang pemadam
kebakaran.
•
Teknologi baru
Mengajarkan teknologi baru dengan cara dan metode yang lama
akan menambah beban karyawan yang sedang dilatih.
2. Peraturan dalam organisasi
Antara lain adalah:
•
Konflik peran dan ketidakjelasan peran
Role
conflict
atau
konflik
peran
merupakan
hasil
dari
ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi
adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan,
nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya seseorang
yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana yang
terombang-ambing, terjepit, dan serba salah.
Munandar (2008, P390-391) menjabarkan konflik peran timbul jika
seorang tenaga kerja mengalami adanya:
1. Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan
antara tanggung jawab yang ia miliki.
2. Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya
bukan merupakan bagian dari pekerjaannya.
3. Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan,
bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya.
4. Pertentangan
dengan
nilai-nilai
dan
sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.
keyakinan
pribadinya
19
Selain konflik peran yang sudah dijelaskan di atas, ketidakjelasan
peran juga merupakan salah satu penyebab terjadinya stress di
tempat kerja. Agar karyawan melaksanakan pekerjaan dengan baik,
para karyawan memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut
hal-hal yang diharapkan untuk mereka lakukan dan hal-hal yang
tidak harus mereka lakukan. Karyawan perlu mengetahui hak-hak,
hak-hak istimewa dan kewajiban mereka. Ketidakjelasan peran (role
ambiguity) adalah kurangnya pemahaman atas hak-hak, hak-hak
istimewa dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melakukan
pekerjaan.
Menurut Everly dan Girdano dalam Munandar (2008, P392), faktorfaktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran (ketidakjelasan
peran) adalah:
1. Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan kerja).
2. Kesamaran tentang tanggung jawab.
3. Ketidakjelasan tentang prosedur kerja.
4. Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain.
5. Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk-kerja
pekerjaan.
•
Tanggung jawab
Pada dasarnya, tanggung jawab terdiri dari 2, yaitu tanggung jawab
terhadap orang, dan tanggung jawab terhadap sesuatu, termasuk
anggaran, perlengkapan, dan bangunan. Tanggung jawab terhadap
orang lebih menyebabkan stress, lebih menyebabkan penyakit
jantung koroner daripada tanggung jawab terhadap sesuatu.
Mempunyai tanggung jawab terhadap orang biasanya memerlukan
20
waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan sesama,
menghadiri pertemuan-pertemuan, dan dihadapkan dengan batas
waktu (deadlines). Penelitian membuktikan bahwa senior executive
dan semakin besar tanggung jawabnya, maka semakin besar
kemungkinan terkena resiko penyakit jantung koroner.
3. Kepribadian
Seperti bisa diduga, penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan
tingkat
kecemasan
tinggi
lebih
menderita
akibat
konflik
peran
dibandingkan orang yang lebih fleksibel dalam pendekatan mereka
terhadap kehidupan. Kecemasan-pengalaman individu-individu yang
rawan konflik peran lebih akut dan bereaksi dengan ketegangan yang
lebih besar daripada orang-orang yang kurang kecemasan rentan; dan
lebih fleksibel individu menanggapi konflik peran yang tinggi dengan
perasaan ketegangan lebih rendah daripada rekan-rekan mereka yang
lebih kaku (Warr dan Wall, dalam Arnold, 2005, P403) . Dalam penelitian
lain, bila individu memiliki kebutuhan kuat untuk kognitif kejelasan atau
lebih rendah tingkat toleransi terhadap ambiguitas, stres terkait
pekerjaan telah ditemukan untuk menjadi lebih tinggi dan lebih lama.
4. Hubungan dalam pekerjaan
Orang lain dan kita dapat menjadi sumber utama dari stress dan
dukungan (Makin et al., dalam Arnold, 2005, P405).
•
Hubungan dengan superior
Dokter dan psikolog klinis mendukung gagasan bahwa masalahmasalah sering mengakibatkan cacat emosional ketika hubungan
antara bawahan dan atasan secara psikologis tidak sehat bagi satu
atau lain alasan.
21
Sosik dan Godshalk (dalam Arnold, 2005, P406) telah menunjukan
bahwa gaya kepemimpinan yang penuh inspirasi dapat secara
signifikan mengurangi jumlah stress yang dialami oleh bawahannya.
Sparks et al. (dalam Arnold, 2005, P406) menyatakan bahwa
tekanan kompetitif pada organisasi biasanya berarti tekanan pada
setiap manajer. Beberapa manajer menemukan ini sulit untuk
diatasi, dan banyak menanggapi dengan cara berperilaku tidak
menyenangkan terhadap bawahan mereka.
Untuk mengerti bagaimana cara mengelola atasan, penting untuk
dapat mengidentifikasi perbedaan jenis atasan. Cooper et al. (dalam
Arnold, 2005, P406) menemukan bahwa terdapat beberapa prototipe
atasan, yaitu: yang birokrat, yang otokrat, yang lihay, manajer yang
enggan terbuka, dan manajer yang terbuka. Masing-masing harus
ditangani dengan berbeda jika stress harus diminimalkan.
•
Hubungan antara bawahan dan rekan
Stress di antara rekan kerja dapat timbul dari kompetisi dan konflik
kepribadian. Karena kebanyakan orang menghabiskan begitu banyak
waktu di tempat kerja, hubungan antara rekan kerja dapat
memberikan dukungan yang berharga, atau sebaliknya dapat
menjadi sumber stress yang besar. French dan Caplan (dalam
Arnold, 2005, P407) menemukan bahwa dukungan sosial yang kuat
dari rekan-rekan kerja akan mereda ketegangan. Dukungan ini juga
mengurangi efek tekanan pekerjaan.
5. Pengembangan karir
22
Pengembangan karir merupakan pembangkit stress potensial yang
mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang
kurang (Munandar, 2008, P393-395).
a. Job insecurity
Ancaman akan kehilangan pekerjaan berkaitan dengan masalah
kesehatan yang parah.
b. Over and under promotion
Promosi dapat merupakan sumber dari stress, jika peristiwa tersebut
dirasakan sebagai perubahan drastis yang mendadak, misalnya jika
tenaga kerjanya kurang dipersiapkan untuk promosi.
6. Budaya dan iklim organisasi
Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan,
dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami sumbersumber stress potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam
organisasi: kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan
penilaian dari struktur dan iklim organisasi.
7. Home-work interface
Home-work interface atau pekerjaan rumah antarmuka biasanya diberi
label ‘konflik’ dalam literatur stress. Konflik ini dapat berupa salah satu
atau kedua dari dua arah: bekerja gangguan dengan keluarga (di mana
tuntutan pekerjaan menciptakan kesulitan untuk kehidupan rumah) dan
gangguan keluarga dengan pekerjaan (di mana tuntutan kehidupan
rumah menciptakan kesulitan untuk bekerja).
2.4.4
Stress dan Konsekuensinya
A Model of Stress menurut Robbins dan Judge (2007, P597-599):
23
Faktor lingkungan:
•
Ketidakpastian ekonomi disebabkan oleh perubahan dalam siklus bisnis.
•
Ketidakpastian politik disebabkan karena perubahan-perubahan dalam
badan politik.
•
Perubahan teknologi juga menjadi salah satu penyebab stress karena
teknologi dapat menggantikan pekerjaan seseorang.
Faktor organisasi:
•
Permintaan tugas adalah faktor yang berkaitan dengan pekerjaan
seseorang
•
Permintaan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan kepada
seseorang sebagai fungsi dari suatu peran yang dilakukannya dalam
organisasi.
•
Permintaan interpersonal adalah tekanan yang diciptakan oleh pekerja
lain.
Faktor personal:
•
Problem keluarga misalnya adalah problem pernikahan, perceraian,
problem disiplin dengan anak.
•
Problem ekonomi diciptakan oleh individual mengulur-ulur sumber
finansial mereka. Seperti pengeluaran yang lebih besar dari penghasilan.
•
Kepribadian juga dapat berpengaruh pada tingkat stress, misal orang
yang rajin dapat belajar lebih lama daripada orang yang malas.
•
Stressor (yang menyebabkan terjadinya stress) dapat bertumpuk.
Stressor bila ditambahkan ke tingkat stress yang sudah tinggi, dapat
membuat stress yang sangat tinggi.
24
Perbedaan Individual (Individual Differences):
•
Persepsi
Karyawan lebih memilih bekerja berdasarkan persepsi dari realita yang
mereka lihat daripada realita yang sebenarnya itu sendiri. Contohnya bila
suatu perusahaan berencana untuk memPHK beberapa karyawannya,
mungkin saja ada karyawan yang khawatir akan terkena PHK, namun
ada juga yang berpikir sebagai kesempatan untuk mendapat uang
pesangon yang besar untuk membangun usaha sendiri. Persepsi setiap
orang dapat berbeda walaupun hanya terdapat satu realita.
•
Pengalaman
Pengalaman sering dihubungkan dengan tingkat stress. Yang pertama
yaitu seseorang yang lebih tahan bekerja di perusahaan adalah
seseorang yang lebih tahan terhadap stress, atau yang lebih tahan
terhadap karakteristik stress di perusahaan itu. Yang kedua, bila lama
kelamaan mengalami stress itu, ia akan terbiasa dengan stress itu. Oleh
karena hal tersebut, yang lebih tahan terhadap stress adalah pekerja
senior.
•
Dukungan sosial
Lingkungan pergaulan dalam pekerjaan yang sesuai dengan diri sendiri
dapat bertindak sebagai buffer terhadap stress. Karena itu, walaupun
dalam pekerjaan dengan tingkat stress yang tinggi sekalipun, bila
lingkungan pergaulan memadai maka seseorang akan dapat bertahan.
•
Locus of control
Seseorang yang berpendapat bahwa hidupnya dikontrol oleh dirinya
sendiri dan bukan orang lain (internal locus of control) akan mempunyai
pandangan yang lebih positif terhadap stress pekerjaan daripada yang
25
berpendapat bahwa hidupnya dikontrol orang lain(external locus of
control).
•
Self-efficacy
Self-efficacy adalah kepercayaan individu bahwa ia bisa melakukan
sesuatu. Seseorang dengan self-efficacy tinggi akan bereaksi lebih positif
kepada paksaan dari jam kerja yang panjang daripada yang tidak.
•
Permusuhan dan kemarahan
Bukti
mengatakan
bahwa
ketidakpercayaan
terhadap
orang
lain
menambah tingkat stress dan resiko seranggan jantung. Hingga
akhirnya menambah tingkat stress.
Adapun konsekuensi dari stress:
•
Gejala fisik
Stress dapat menyebakan perubahan dalam metabolisme, penambahan
detak jantung dan pernapasan, tekanan darah tinggi, sakit kepala dan
serangan jantung. Terlebih terhadap orang yang berself-efficacy rendah.
•
Gejala mental
Secara mental stress dapat menyebabkan ketidakpuasan. Tetapi stress
itu sendiri ditunjukkan dengan cara psikologi seperti ketegangan,
kecemasan, lekas marah, kebosanan, dan penundaan kerja.
•
Gejala perilaku
Gejala perilaku termasuk dalam termasuk dalam perubahan dalam
produktivitas, kehadiran diri, dan pengunduran diri. Juga dalam
kebiasaan makan, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, berbicara
sendiri, perilaku gelisah, dan gangguan tidur. Grafik antara hasil kerja
26
dan stress berbentuk u terbalik dimana hasil kerja paling baik saat
tingkat stress sedang.
Di bawah ini merupakan gambar a model of stress:
Sumber: Robbins dan Judge (2007, P597-599)
Gambar 2.1 A Model of Stress
2.4.5
Dampak Stress terhadap Perusahaan
Rendall Schuller dalam Hasibuan (2005, P4-7) mengidentifikasi
beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi.
Menurut penelitian ini, stress yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi
dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja serta
tendensi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negatif
yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat berupa:
1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun
operasional kerja.
27
2. Menganggu kenormalan aktivitas kerja.
3. Menurunkan tingkat produktivitas.
4. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. Kerugian finansial
yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas
dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan
fasilitas lainnya.
2.4.6
Dampak Stress terhadap Karyawan
Menurut Arden (2002, P5), efek psikologis stress jangka panjang
bisa membatasi kemampuan karyawan untuk berprestasi dengan baik di
tempat kerja.
Banyak pekerja mengalami stress karena manajemen mendesak
mereka mengimbangi kelemahan-kelemahan perusahaan dengan bekerja
lebih keras. Pegawai diminta untuk bekerja dua kali lebih cepat, sambil
secara serentak menghadapi keluhan pelanggan akibat produk atau jasa
serampangan yang disebabkan karena mencoba berbuat terlalu banyak,
terlalu cepat, dengan sumber daya yang tidak memadai.
Luthans (2006, P456) mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian
diindikasikan tingkat kesulitan, sifat tugas yang dikerjakan, disposisi
personal, disposisi psikologis, dan neurotisme mungkin mempengaruhi
hubungan antara stress dan kinerja. Masalah karena tingkat stress yang
tinggi dapat ditunjukkan secara fisik, psikologis atau perilaku individu.
1. Masalah kesehatan fisik yang berhubungan dengan stress:
•
Masalah sistem kekebalan tubuh, dimana terdapat pengurangan
kemampuan untuk melawan sakit dan infeksi.
28
•
Masalah sistem kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi dan
penyakit jantung.
•
Masalah sistem musculoskeletal (otot dan rangka), seperti sakit
kepala dan sakit punggung.
•
Masalah sistem gastrointestinal (perut), seperti diare dan sembelit.
2. Masalah psikologis:
Tingkat stress tinggi mungkin disertai kemarahan, kecemasan, depresi,
gelisah, cepat marah, tegang, dan bosan. Sebuah studi menemukan
bahwa dampak stress yang paling kuat adalah tindakan agresif, seperti
sabotase, agresi antar pribadi, permusuhan, dan keluhan.
Jenis masalah psikologis tersebut relevan dengan kinerja yang buruk,
penghargaan
diri
yang
rendah,
benci
pada
pengawasan,
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan membuat keputusan, dan
ketidakpuasan kerja.
3. Masalah perilaku:
Perilaku langsung yang menyertai tingkat stress yang tinggi mencakup
makan sedikit atau makan berlebihan, tidak dapat tidur, merokok dan
minum, dan penyalahgunaan obat-obatan.
2.5
Konflik Kerja
2.5.1
Pengertian Konflik Kerja
Banyak komunikasi antarmanusia didasarkan atas kesalahpahaman.
Banyak dari kesalahpahaman ini terjadi di tempat kerja dan terutama
diucapkan selama periode ketika kita stress. Pekerjaan bisa menunjukkan diri
seperti panci presto untuk konflik sosial (Arden, 2002, P89).
29
Konflik terdiri dari konflik konstruktif (konflik yang menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat untuk individu tersebut) dan destruktif (konflik
yang menimbulkan hal-hal yang merugikan).
Menurut McShane dan Von Glinow (2005,P388)
“Conflict is a process in which one party perceives that its interests
are being opposed or negatively affected by another party.”
Konfik merupakan sebuah proses dimana seseorang merasa bahwa
minatnya sedang ditentang atau secara negatif dipengaruhi oleh orang lain.
Anoraga (2006, P98) mendefinisikan konflik sebagai suatu hal nyata
dalam kehidupan seseorang merupakan proses sosial orang-orang yang
berusaha mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang
disertai kekerasan.
Berbicara
mengenyampingkan
mengenai
konflik,
hubungannya
maka
dengan
kita
produktivitas
tidak
bisa
organisasi.
Produktivitas organisasi berasal dari sumbangan prestasi para pekerja yang
bekerja secara serius dengan menggunakan sumber daya manusia seminim
mungkin. Dengan demikian konflik yang berunsur negatif akan menurunkan
produktivitas seorang pekerja. Hal ini dikarenakan salah satu akibat dari
konflik adalah timbulnya perasaan kecewa dan tekanan jiwa (stress) bagi
seseorang yang mengalaminya. Masalah ini akan menghadapi tumpuan
perhatian seseorang terhadap pekerjaannya. Oleh karena itu, konflik yang
negatif, jikalau dapat terselesaikan secara baik akan dapat meningkatkan
produktivitas dan sudah barang tentu akan menguntungkan juga bagi
organisasi dan pekerjaannya.
30
Maka dapat disimpulkan bahwa konflik kerja adalah sebuah proses
sosial dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai kekerasan.
2.5.2
Sumber Konflik Kerja
McShane dan Von Glinow (2005, P391-394) menjabarkan beberapa
sumber yang memicu terjadinya konflik di tempat kerja. Sumber tersebut
antara lain:
1. Ketidakcocokan Tujuan (incompatible goals)
Ketidakcocokan tujuan terjadi ketika seseorang atau tujuan kerja
tersebut mengganggu orang lain atau tujuan departemen.
Misalnya terjadi konflik antara karyawan suatu perusahaan dengan
orang yang dahulunya pernah bekerja di perusahaan tersebut. Karyawan
yang sekarang bekerja di perusahaan tersebut menginginkan senioritas
yang paling tinggi untuk meningkatkan karir dan status pekerjaan
mereka. Tetapi jika karyawan-karyawan tersebut tercapai harapannya,
yaitu mendapatkan posisi senioritas paling tinggi, maka akan banyak
orang-orang yang dahulunya pernah bekerja di perusahaan tersebut
akan
mendapatkan
posisi
senioritas
yang
lebih
rendah,
yang
menyebabkan gaji yang lebih rendah dan kewajiban pekerjaan yang
lebih sedikit.
2. Perbedaan nilai dan kepercayaan (different values and beliefs)
Misalnya seperti perbedaan latar belakang, pengalaman, pandangan,
kebutuhan, nilai, kepercayaan, dugaan, waktu kerja, dan sebagainya.
3. Tugas yang saling ketergantungan (task interdependence)
31
Tugas yang saling ketergantungan ada ketika anggota suatu kelompok
harus berbagi input dengan pekerjaan mereka secara individu masingmasing, butuh interaksi dalam proses melaksanakan kerja mereka, atau
menerima hasil (seperti penghargaan) yang sebagian ditentukan oleh
kinerja orang lain. Semakin tinggi tingkat ketergantungannya, maka
semakin besar resiko konflik, karena peluang yang besar dimana
masing-masing pihak akan mengganggu tujuan pihak lain.
4. Sumber daya yang langka (scarce resources)
Sumber daya yang langka akan menghasilkan konflik karena banyaknya
orang yang bersaing dengan orang lain yang juga membutuhkan sumber
daya yang langka tersebut untuk mencapai tujuan mereka.
5. Peraturan yang ambigu (ambiguous rules)
Peraturan yang ambigu atau ketidakjelasan peraturan menghasilkan
konflik. Hal ini terjadi karena ketidakpastian meningkatkan resiko bahwa
salah satu pihak bermaksud untuk mengganggu tujuan pihak lain.
Ambiguitas juga mendorong taktik politik.
6. Masalah dalam komunikasi (communication problems)
Konflik
akan
terjadi
jika
sering
terjadi
kurangnya
kesempatan,
kemampuan, atau motivasi untuk berkomunikasi secara efektif. Pertama,
ketika
dua
orang
mempunyai
kesempatan
yang
kurang
untuk
berkomunikasi, mereka akan menggunakan persepsi yang subyektif, dan
bisa saja persepsi tersebut berbeda dari persepsi lawan bicaranya.
Kedua, beberapa orang kurang memiliki kemampuan berkomunikasi
dengan
baik.
Misalnya
ketika
seseorang
berkomunikasi
tentang
ketidaksetujuannya dengan sikap arogan, maka bisa menimbulkan
konflik dengan lawan bicara. Ketiga, ketidakefektifan komunikasi juga
32
menjadi pemicu: kurangnya motivasi berkomunikasi di masa yang akan
datang.
Umumnya
orang
akan
menghindar
berinteraksi
dengan
seseorang jika tidak nyaman. Selain itu, kurangnya motivasi untuk
berkomunikasi
juga
menjadi
pemicu
terjadinya
konflik.
Misalnya
seseorang merasakan ketidaknyamanan berkomunikasi dengan orang
yang berbeda budaya, sehingga kurang termotivasi berkomunikasi
dengan orang tersebut.
2.5.3
Jenis-jenis Konflik
Jenis-jenis konflik menurut Rival (2004, P509) terdiri atas:
1. Konflik dalam diri seseorang
Seseorang dapat mengalami konflik internal dalam dirinya karena ia
harus memilih tujuan yang saling bertentangan.
2. Konflik antar individu
Konflik antar individu sering kali disebabkan oleh adanya perbedaan
tentang isu tertentu, tindakan, dan tujuan dimana hasil bersama sangat
menentukan.
3. Konflik antar anggota kelompok
Suatu kelompok dapat mengalami konflik substantive atau konflik afektif.
konflik substantive adalah konflik yang terjadi karena latar belakang
keahlian yang berbeda. Sedangkan konflik afektif adalah konflik yang
terjadi didasarkan atas tanggapan emosional terhadap situasi tertentu.
4. Konflik antar kelompok
Konflik antar kelompok terjadi karena masing-masing kelompok ingin
mengejar kepentingan atau tujuan kelompoknya masing-masing.
5. Konflik intra perusahaan
33
Konflik intra perusahaan meliputi empat sub jenis, yaitu:
-
Konflik vertikal, terjadi antara manajer dengan bawahan yang tidak
sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan tugas.
-
Konflik horizontal, terjadi antara karyawan atau departemen yang
memiliki hierarki yang sama dalam organisasi.
-
Konflik lini staff, sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi
tentang keterlibatan staff dalam proses pengambilan keputusan oleh
manajer lini.
-
Konflik peran, terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu
peran yang saling bertentangan.
6. Konflik antar perusahaan
Konflik bisa juga terjadi antar organisasi karena mereka memiliki saling
ketergantungan satu sama lain terhadap pemasok, pelanggan, maupun
distributor. Seberapa jauh konflik terjadi tergantung kepada seberapa
besar tindakan suatu organisasi menyebabkan adanya dampak negatif
terhadap perusahaan yang lainnya.
2.5.4
Pemecahan Konflik
Menurut Nurwitri Hardono dalam Anoraga (2006, P105), dalam
suatu lingkungan perusahaan seorang karyawan mungkin sering atau pernah
mengalami suatu konflik, entah itu dengan atasan, teman sekerja, bawahan
atau dengan dirinya sendiri. Konflik ini tidak bersifat merusak, dan manakala
konflik ini tidak segera ditanggulangi bisa menyebabkan permusuhan abadi
yang mendorong seseorang memusuhi orang lain dan mencari cara untuk
menundukkan musuhnya, bukannya mencari cara penyelesaian masalah.
34
Manakala konflik itu semakin memburuk dan berlangsung lama, timbullah
suasana saling mencurigai dan saling tidak mempercayai.
Salah satu langkah yang dapat diambil untuk mengurangi konflik
adalah dengan menghindar. Cara ini tidak menyelesaikan konflik secara
tuntas. Kekurangan dalam teknik ini adalah tidak dapat mengenal secara
pasti sumber-sumber konflik dan sering kali dia tidak tepat waktu. Walaupun
demikian, cara ini dapat dipakai untuk mengatasi konflik dalam waktu yang
sementara sifatnya.
Bekerja sama juga merupakan salah satu langkah ke arah
pemecahan konflik. Di sini setiap pihak yang berkonflik akan mencoba
melihat pendirian masing-masing terhadap konflik itu dan mengenal secara
pasti pilihan yang dapat memuaskan kehendak kedua belah pihak.
Satu lagi cara untuk mengurangi konflik adalah dengan mengenali
secara
pasti
dan
memperbincangkan
sumber-sumber
konflik
untuk
mengetahui masalah masing-masing. Proses ini sering menimbulkan
konfrontasi. Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk memanfaatkan
kaidah ini. Salah satunya ialah melalui pertukaran wakil atau personil dari
masing-masing pihak yang berkonflik. Dengan cara ini organisasi dapat
meningkatkan komunikasi dan pergaulan antar pihak-pihak yang berkonflik.
Pertukaran wakil ini bukan saja dapat memahami apa yang berlaku dan
dipikirkan oleh pihak lawan tetapi juga pihak lawan dapat mengenali sikap
wakil itu dengan lebih mendalam.
Satu lagi cara konfrontasi ialah melalui penyelesaian masalah. Ini
dilaksanakan dengan membawa kedua belah pihak yang berkonflik
berhadapan untuk mengeluarkan pendapat dan pandangannya serta
perasaannya masing-masing. Dalam kaidah ini tidak timbul persoalan siapa
35
yang salah atau yang benar, tetapi berusaha mengenali secara pasti dan
menyelesaikan konflik yang ada (Anoraga, 2006, P101-102).
2.6
Motivasi Kerja
2.6.1
Pengertian Motivasi
Munandar (2008, P323) mendifinisikan motivasi sebagai suatu
proses
dimana
kebutuhan-kebutuhan
mendorong
seseorang
untuk
melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan
tertentu.
Siswanto (2008, P120) menjabarkan beberapa definisi motivasi,
yaitu:
(1)
Setiap perasaan atau kehendak dan keinginan yang sangat
mempengaruhi kemauan individu sehingga individu tersebut didorong untuk
berperilaku dan bertindak,
individu,
(3)
(2)
Pengaruh kekuatan yang menimbulkan perilaku
Setiap tindakan atau kejadian yang menyebabkan berubahnya
perilaku seseorang,
(4)
Proses yang menentukan gerakan atau perilaku
individu kepada tujuan.
Nawawi (2005, P351) juga menjelaskan bahwa kata dasar motivasi
adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang
melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang
mendorong atau menjadi sebab sadar. Dari pengertian tersebut berarti pula
semua teori motivasi bertolak dari prinsip utama bahwa: “manusia
(seseorang) hanya melakukan suatu kegiatan yang menyenangkannya untuk
dilakukan.” Prinsip itu tidak menutup kondisi bahwa dalam keadaan terpaksa
seseorang mungkin saja melakukan sesuatu yang tidak disukainya.
Dapat disimpulkan motivasi selalu berhubungan dengan kebutuhan,
keinginan, dan dorongan, berusaha untuk mencapai tujuan tertentu.
36
2.6.2
Pengertian Motivasi Kerja
Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, Ernest L. McCormick
dalam Mangkunegara (2002, P94) mengemukakan bahwa motivasi kerja
didefinisikan
sebagai
mengarahkan
dan
kondisi
memelihara
yang
perilaku
berpengaruh
yang
membangkitkan,
berhubungan
dengan
lingkungan kerja.
Anoraga (2006, P35) menjelaskan bahwa motivasi kerja adalah
sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu,
motivasi kerja disebut pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya
motivasi kerja seorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya
prestasinya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, motivasi kerja adalah
pendorong semangat kerja untuk mencapai tujuan tertentu dan ikut
menentukan prestasi kerja.
2.6.3
Proses Motivasi
Sumber: Munandar (2008, P323)
Gambar 2.2 Proses Motivasi
37
Sekelompok kebutuhan yang belum dipuaskan menciptakan suatu
ketegangan yang menimbulkan dorongan-dorongan untuk melakukan
serangkaian
mencapai
kegiatan
(berperilaku
tujuan-tujuan
khusus
mencari)
yang
akan
untuk
menemukan
memuaskan
dan
sekelompok
kebutuhan tadi yang berakibat berkurangnya ketegangan.
2.6.4
Ciri-ciri Motif Individu
Adapun ciri-ciri motif individu adalah sebagai berikut (Anoraga,
2006, P35-36):
•
Motif adalah majemuk
Dalam suatu perbuatan sebenarnya tidak hanya mempunyai suatu
tujuan tetapi beberapa tujuan yang berlangsung bersama-sama.
Misalnya, seorang karyawan yang melakukan kerja dengan giat, dalam
hal ini tidak hanya karena ia ingin lekas naik pangkat, tetapi juga ingin
diakui atau dipuji, mendapat upah yang tinggi dan sebagainya.
•
Motif dapat berubah-ubah
Motif
bagi
seseorang
seringkali
mengalami
perubahan.
Hal
ini
disebabkan keinginan manusia selalu berubah-ubah sesuai dengan
kebutuhan atau kepentingannya. Misalnya, seorang karyawan pada
suatu saat mengingini gaji yang tinggi, sedangkan pada waktu yang lain
menginginkan
pimpinan
yang
baik
atau
kondisi
kerja
yang
menyenangkan.
Dalam hal ini nampak bahwa motif sangat dinamis dan geraknya
mengikuti kepentingan-kepentingan individu.
•
Motif berbeda-beda bagi individu
38
Dua orang yang melakukan pekerjaan yang sama, ternyata memiliki
motif yang berbeda. Misalnya, dua orang karyawan yang bekerja pada
suatu mesin yang sama dan pada ruang yang sama pula, motivasinya
dapat berbeda. Yang seorang menginginkan teman sekerja yang baik,
sedangkan yang lain menginginkan kondisi kerja yang menyenangkan.
•
Beberapa motif tidak disadari oleh individu
Banyak tingkah laku manusia yang tidak disadari oleh pelakunya,
sehingga beberapa dorongan yang muncul, karena berhadapan dengan
situasi yang kurang menguntungkan, lalu ditekan di bawah sadarnya.
Dengan demikian kalau ada dorongan dari dalam yang kuat menjadikan
individu yang bersangkutan tidak bisa memahami motifnya sendiri.
Pada umumnya orang yang dibutuhkan oleh organisasi adalah orang
yang bekerja dengan motivasi yang tinggi. Ada perbedaan antara orang
yang bermotif untuk bekerja dengan orang yang bekerja dengan motivasi
yang tinggi. Orang yang bermotif untuk bekerja, ia bekerja hanya karena
harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang vital bagi diri dan
keluarganya. Baginya pekerjaan yang menyenangkan dan menarik, belum
tentu akan memberikan kepuasan baginya dalam menjalankan tugastugasnya.
Sedangkan orang yang bekerja dengan motivasi yang tinggi adalah
orang
yang
merasa
senang
dan
mendapatkan
kepuasan
dalam
pekerjaannya. Ia akan lebih berusaha untuk memperoleh hasil yang
maksimal
dengan
semangat
yang
mengembangkan tugas dan dirinya.
tinggi,
serta
selalu
berusaha
39
2.6.5
Faktor-faktor Motivasi Kerja
Menurut
Herzberg
dalam
Anoraga
(2006,
P39-40),
sistem
kebutuhan-kebutuhan orang yang mendasari motivasinya, dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu:
1. Hygiene factors
a. Status
b. Hubungan antar manusia
c. Supervisi
d. Peraturan-peraturan perusahaan dan administrasi
e. Jaminan dalam pekerjaan
f. Kondisi kerja
g. Gaji
h. Kehidupan pribadi
2. Motivational factors (motivators)
a. Pekerjaannya sendiri
b. Achievement
c. Kemungkinan untuk berkembang
d. Tanggung jawab
e. Kemajuan dalam jabatan
f. Pengakuan
2.6.6
Berbagai Pandangan Manajer terhadap Model Motivasi
Ditinjau dari sudut pandangan para manajer dalam rangka usahanya
memotivasi kerja para bawahannya, Sihotang (2007, P253) mengenalkan 3
(tiga) macam model motivasi, yaitu:
1. Model Tradisional
40
Model tradisional ini mengacu pada hasil penelitian dan pandangan
Frederik
Winslow Taylor, yaitu perlunya specialisasi tugas yang
sedemikian rupa, sehingga dapat mecapai efisiensi gerak dan waktu
yang sangat singkat untuk menghasilkan yang lebih banyak.
2. Model Motivasi Hubungan Manusia
Menurut model ini bahwa hubungan kontak sosial para karyawan sangat
penting
peranannya
untuk
memotivasi
kerja
karyawan
tanpa
mengurangi faktor pentingnya imbalan keuangan atau upah. Para
manajer memotivasi para karyawan dengan cara memperkenalkan
mereka pada kontak sosial, saling berbagi antar sesama pekerja,
memberikan
kebebasan
untuk
mengambil
keputusan
di
dalam
menjalankan pekerjaan mereka dan mengurangi pengawasan yang
terlalu ketat dan kaku yang sering membuat pekerja kehilangan
kreativitasnya.
3. Model
Manajemen
Sumber
Daya
Manusia
(Human
Resources
Development)
Timbulnya model human resources development ini merupakan kritik
terhadap model hubungan manusia. Menurut pendapat model human
resources development
ini bahwa memotivasi karyawan tidak cukup
hanya dengan upah yang tinggi dan kontak sosial yang longgar dari
pengawasan, akan tetapi juga diperlukan pengembangan tanggung
jawab bersama untuk mencapai tujuan organisasi. Para pekerja
diperkenankan dan dibebaskan untuk menjadi self direction dan self
controlling. Ini akan memungkinkan para karyawan meningkatkan
potensinya secara maksimal dan menghasilkan perpaduan antara
kepurusan organisasi dan kepuasan karyawan.
41
Sihotang (2007, P255) mengikhtisarkan bagaimana sebenarnya
perpaduan antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan para pekerja,
dan
tidak
perlu
dipertentangkan
melainkan
perlu
diidentikkan
dan
disejajarkan untuk pencapaiannya seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1 di
bawah ini:
Tabel 2.1 Perpaduan Antara Kebutuhan Organisasi dan Kebutuhan
Karyawan Berdasarkan Beberapa Motivasi
No.
Motivasi
Kebutuhan Organisasi
Kebutuhan
Karyawan
Dapat melakukan
1
Tantangan
Hasil yang lebih baik
pekerjaan yang lebih
spesifik
2
3
Kebebasan
Pengakuan
Delegasi wewenang dan
Kebebasan untuk
tanggung jawab
mempertimbangkan
Dapat mengerjakan yang
Menunjukkan dirinya
penting/bermakna
bernilai pada rekan
Kebutuhan utuk
mengetahui apa yang
4
Partisipasi
Kebutuhan rasa keterikatan
sebelum penyelesaian tugas
akan terjadi dan yang
berpeluang untuk
mempengaruhinya
Hasil yang
5
6
dicapai
Pembahasan
Memastikan bahwa sumber
Kebutuhan agar
daya yang dikeluarkan benar-
sarananya
benar berguna
diterima/disetujui
Kebutuhan akan gagasan
Kebutuhan agar
42
baru
gagasannya dapat
diterima
Sumber daya waktu
Perluasan
7
Menghindari
didayagunakan secara
Tugas
kebosanan/kelelahan
maksimal
PenugasanPerkayaan
Kebutuhan regenerasi merger
8
Tugas
penugasan baru
untuk promosi
Mengetahui
9
Kebutuhan/kes
Agar karyawan loyal pada
kontribusi pada
tabilan
organisasi
organisasi secara
keseluruhan
Kebutuhan akan
pekerjaaan yang
10
Perkembangan
Memiliki SDM yang dapat
(growth)
menangani tugas-tugas
menantang dan
membangkitkan
semangat
Sumber: Sihotang (2007, P255)
Dengan memperhatikan faktor-faktor perpaduan antara kebutuhan
organisasi dan kepuasan kerja karyawan di atas, akan memudahkan para
manajer
untuk
memotivasi
melaksanakan tugas-tugasnya.
para
karyawan
agar
lebih
baik
dalam
43
2.6.7
Manfaat Motivasi
Sumber: Arep Ishak dan Hendri Tanjung (2003, P17)
Gambar 2.3 Ciri-ciri Orang yang Termotivasi
Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja,
sehingga produktivitas meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh
karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan
dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai
standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta
orang senang melakukan pekerjaannya. Sesuatu yang dikerjakan karena ada
motivasi
yang
mendorongnya
akan
membuat
orang
senang
mengerjakannya. Orang pun akan merasa dihargai/diakui, hal ini terjadi
karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi,
sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena
dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka
44
tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan
tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat
juangnya akan tinggi (Arep Ishak dan Hendri Tanjung, 2003, P16-17).
2.6.8
Meningkatkan Motivasi Kerja
Adapun beberapa cara untuk meningkatkan motivasi kerja menurut
Munandar (2008, P342-346) antara lain:
a. Peran pemimpin/ atasan
Ada dua cara pokok untuk meningkatkan motivasi kerja, yaitu bersikap
keras (dengan memaksakan tenaga kerja untuk bekerja keras atau
dengan memberikan ancaman) dan memberi tujuan yang bermakna
(bersama-sama dengan tenaga kerja yang bersangkutan ditemukan
tujuan-tujuan yang bermakna, sesuai dengan kemampuannya, yang
dapat dicapai melalui prestasi kerjanya yang tinggi. Misalnya tenaga
kerja mengharapkan mampu mencicil rumah untuk dirinya setelah
bekerja selama lima tahun pada perusahaan. Cicilan setiap bulannya
tidak memberatkannya dan akan selesai dalam 10 tahun).
b. Peran diri sendiri
Dari dalam diri sendiri perlu mengubah diri menjadi tenaga kerja dengan
motivasi kerja yang proaktif.
c.
Peran organisasi
Berbagai kebijakan dan peraturan perusahaan dapat ‘menarik’ atau
‘mendorong’ motivasi kerja seorang tenaga kerja.
Gugus Kendali Mutu (GKM) merupakan satu kebijakan yang dituang
dalam berbagai peraturan yang mendasari kegiatan dan yang mengatur
pertemuan pemecahan masalah dalam kelompok kecil, khususnya
45
kelompok pekerja. Di Indonesia kegiatan GKM dilakukan di luar jam
kerja. Para pekerja yang mengikuti kegiatan GKM memperoleh upah
kerja lembur.
Kebijakan lain yang berkaitan dengan motivasi kerja ialah kebijakan di
bidang imbalan keuangan. Kebijakan dan peraturan lain dapat disusun
dan ditetapkan yang dapat mendorong atau menarik keluar motivasi
kerja tenaga kerja.
2.7
Kinerja
2.7.1
Pengertian Kinerja
Menurut Mathis dan Jackson (2006, P378), kinerja (performance)
pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan
meliputi elemen sebagai berikut: kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil,
ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, dan kemampuan bekerja sama.
Berdasarkan pendapat Vroom dalam Luthans (2006, P279), tingkat
sejauh mana keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya
disebut “level of performance”. Biasanya orang level of performance-nya
tinggi disebut sebagai orang yang produktif, dan sebaliknya orang yang
levelnya tidak mencapai standar dikatakan sebagai tidak produktif atau
berformance rendah.
Penilaian kinerja adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan
oleh seorang manajer atau pimpinan. Walaupun demikian, pelaksanaan
kinerja yang obyektif bukanlah tugas yang sederhana, penilaian harus
dihindarkan adanya “like dan dislike” dari penilai, agar obyektivitas penilaian
tetap terjaga. Penilaian kegiatan ini penting karena dapat digunakan untuk
46
memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik
kepada para karyawan tentang kinerja mereka.
Manfaat penilaian kinerja menurut Luthans (2006, P619) bahwa
manajemen sumber daya manusia tidak lagi berpuas diri hanya dengan
mencoba sesuatu yang baru dan berbeda dan berharap dapat meningkatkan
kinerja. Saat ini tekanan terhadap segala sesuatu perlu dibuktikan bahwa dia
memiliki nilai.
Kebutuhan akan empat tingkat evaluasi kirkpatrick dalam Luthans
(2006, P619) yang terkenal (reaksi, belajar, perubahan perilaku dan
peningkatan kinerja) lebih ditekankan.
2.7.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan
kinerja antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada di
bawah pengawasannya. Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat
yang sama namun produktivitas mereka tidaklah sama. Secara garis besar
perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu: faktor individu dan
situasi kerja.
Menurut Gibson, et al. (2007, P434) ada tiga perangkat variabel
yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, terdiri dari:
•
Kemampuan dan keterampilan: mental dan fisik
•
Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian
•
Demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin
2. Variabel organisasional, terdiri dari:
•
Sumberdaya
47
•
Kepemimpinan
•
Imbalan
•
Struktur
•
Disain pekerjaan
3. Variabel psikologis, terdiri dari:
2.7.3
•
Persepsi
•
Sikap
•
Kepribadian
•
Belajar
•
Motivasi
Orientasi Waktu Metode Penilaian Kinerja
Metode penilaian kinerja berdasarkan orientasi waktunya dapat
dibedakan ke dalam (Triton, 2007, P91-92) metode-metode penilaian
berorientasi masa lalu dan metode-metode penilaian berorientasi masa
depan.
Metode-metode
penilaian
berorientasi
masa
lalu
mempunyai
kelebihan dalam hal perlakuan terhadap kinerja terukur yang telah dihasilkan
dan dinilai. Perlakuan yang dapat dijadikan tindak lanjut adalah agar minimal
para karyawan mempunyai umpan balik mengenai berbagai upaya yang
telah dilakukan. Adapun beberapa metode penilaian kinerja berorientasi
masa lalu mencakup: rating scale, checklist, peristiwa kritis, tes dan
observasi prestasi kerja, dan evaluasi kelompok.
Berbeda dengan metode-metode penilaian kinerja berorientasi masa
lalu, maka metode-metode penilaian kinerja berorientasi masa depan lebih
memusatkan kinerja karyawan di waktu yang akan datang melalui penilaian
48
potensi karyawan atau melalui penetapan sasaran prestasi di masa datang
(future time). Adapun metode-metode yang dapat digunakan dalam
penilaian kinerja berorientasi masa depan adalah: penilaian diri (self
appraisals), penilaian psiktologis (psychological appraisals), dan pendekatan
management by objective (MBO).
2.7.4
Penggunaan-penggunaan dalam Penilaian Kinerja
Menurut Mathis dan Jackson (2006, P382-385), penilaian kinerja
(performance
karyawan
appraisal) adalah proses mengevaluasi seberapa baik
melakukan
pekerjaan
mereka
jika
dibandingkan
dengan
seperangkat standar, dan kemudian mengomunikasikan informasi tersebut
kepada karyawan. Penilaian kinerja juga disebut pemeringkatan karyawan,
evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja, dan penilaian hasil.
Penilaian kinerja digunakan secara luas untuk mengelola upah dan
gaji, memberikan umpan balik kinerja, dan mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan karyawan individual. Penilaian kinerja yang dilakukan dengan
buruk akan membawa hasil yang mengecewakan untuk semua pihak yang
terkait.
Organisasi biasanya menggunakan penilaian kinerja dalam dua
peran yang memiliki potensi konflik. Peran pertama untuk mengukur kinerja
dalam memberikan imbalan kerja atau keputusan administratif lainnya
mengenai karyawan. Promosi atau pemecatan dapat tergantung pada peran
diri, dimana sering kali menciptakan tekanan bagi para manajer untuk
melakukan penilaian. Peran kedua berfokus pada pengembangan individu.
Dalam peran ini, manajer berperan lebih sebagai seorang penasihat
dibandingkan seorang hakim, yang akan mengubah atmosfer hubungan.
49
Peran kedua tersebut menekankan dalam mengidentifikasi potensi dan
merencanakan kesempatan pertumbuhan dan arah karyawan.
1. Penggunaan Administratif
Sistem penilaian kinerja sering kali menjadi penghubung antara
penghargaan yang diinginkan karyawan dan produktivitas mereka.
Hubungan tersebut dapat diperkirakan sebagai berikut:
Produktivitas Æ Penilaian kinerja Æ Penghargaan
Kompensasi yang berbasis kinerja menegaskan ide bahwa kenaikan gaji
seharusnya
diberikan
untuk
pencapaian
kinerja
daripada
untuk
senioritas. Dalam sistem ini, manajer secara historis telah menjadi
pengevaluasi dari kinerja bawahan dan juga yang membuat rekomendasi
kompensasi untuk karyawan. Jika ada bagian dari proses penilaian yang
gagal, para karyawan yang berkinerja baik tidak menerima kenaikan gaji
yang lebih besar, yang akan menyebabkan adanya ketidakadilan dalam
kompensasi yang dirasakan karyawan.
Penggunaan penilaian kerja untuk menentukan gaji adalah umum. Para
karyawan khususnya tertarik dalam penggunaan administratif lainnya
dari penilaian kinerja, seperti keputusan mengenai promosi, pemecatan,
pemberhentian sementara, dan pemindahan tugas.
2. Penggunaan Pengembangan
Penilaian kinerja dapat menjadi sumber utama informasi dan umpan
balik untuk karyawan, yang sering kali merupakan kunci pengembangan
mereka di masa depan. Dalam proses mengidentifikasi kekuatan,
kelemahan, potensi dan kebutuhan pelatihan karyawan melalui umpan
balik penilaian kinerja, para supervisor dapat menginformasikan kepada
karyawan mengenai kemajuan mereka, mendiskusikan area-area yang
50
membutuhkan
pengembangan,
dan
mengidentifikasi
rencana
pengembangan. Peran manajer dalam situasi seperti ini sejajar dengan
peran seorang pelatih. Seorang pelatih akan menghargai kinerja yang
bagus dengan pengakuan, menjelaskan perbaikan apa yang diperlukan,
dan menunjukkan kepada karyawan bagaimana cara untuk maju.
Tujuan dari umpan balik pengembangan adalah lebih kepada mengubah
atau menguatkan perilaku individu, daripada untuk membandingkan
antarindividu. Penguatan
positif
untuk
perilaku
yang diharapkan
memberi kontribusi pada pengembangan individu dan organisasional.
Fungsi pengembangan dari penilaian kinerja juga dapat mengidentifikasi
bidang-bidang dimana karyawan ingin berkembang.
2.8
Hubungan antara Stress Kerja dengan Kinerja
Williams
et
al.
(Jurnal,
Organization
Communication,
Job
Stress,
Organizational Commitment, and Job Performance of Accounting Professionals in
Taiwan and America, P2), menekankan bahwa hasil jangka pendek dari stress
pekerjaan baik efek fisiologis dan perilaku mengakibatkan kiinerja yang buruk.
Menurut Robbins (2001, P569), pola yang paling meluas dipelajari dalam
hubungan antara stress dengan prestasi kerja adalah hubungan U-terbalik. Logika
yang mendasari U-terbalik itu adalah bahwa tingkat rendah sampai sedang dari
stress merangsang tubuh dan meningkatkan kemampuan untuk beraksi. Pada saat
itulah individu sering melaksanakan tugasnya dengan lebih baik dan lebih intensif,
atau lebih cepat. Tetapi terlalu banyak stress menempatkan tuntutan yang tidak
dapat dicapai atau kendala pada seseorang yang mengakibatkan prestasi kerja
menjadi lebih rendah. Pola U-terbalik ini juga menggambarkan reaksi terhadap stress
sepanjang waktu dan terhadap perubahan intensitas stress. Artinya stress tingkat
51
sedang dapat mempunyai pengaruh yang negatif pada kinerja jangka panjang
karena intensitas stress yang berkelanjutan itu meruntuhkan individu itu dan
melemahkan sumber daya energinya.
Tinggi
P
e
r
f
o
r
m
a
n
s
i
Stress
Rendah
Tinggi
Sumber: Robbins (2001, P569)
Gambar 2.4 Grafik U-Terbalik
2.9
Hubungan antara Konflik Kerja dengan Kinerja
Penelitian menunjukkan bahwa konflik pekerjaan – keluarga memiliki
dampak merugikan kinerja. Institut Keluarga dan Kerja menunjukkan bahwa para
karyawan yang tidak dapat menyeimbangkan tuntutan pekerjaan mereka dengan
tanggung jawab keluarga di rumah akan menyebabkan penurunan kinerja. (Jurnal,
Attitudinal and behavioral, consequences of work-family, conflict and family-work
conflict. Does gender matter?, P5).
52
2.10
Hubungan antara Motivasi Kerja dengan Kinerja
Jurnal Ajiyasa dan Bastian (2007, P3) menuliskan bahwa motivasi sebagai
alat pendorong yang menyebabkan seseorang merasa terpanggil dengan penuh
kesadaran serta senang hati melakukan suatu kegiatan yang dapat memberikan
sesuatu yang terbaik dalam pekerjaannya. Keberadaan karyawan dalam suatu
organisasi diatur dengan adanya pembedaan pemberian wewenang dan tanggung
jawab (authority and responsibility). Dengan jelasnya wewenang dan tanggung
jawab yang dilimpahkan kepada karyawan, maka kinerja mereka harus baik. Namun
pada kenyataannya tidak demikian, karena faktor seperti motivasi dan harapan. Pada
prakteknya, motivasi dan harapan para karyawan tercermin dalam perilaku disiplin,
inisiatif, wewenang, dan tanggung jawab akan mencerminkan apakah organisasi
berjalan secara efektif dan efisien. Efektivitas dan efisiensi akan menentukan kinerja
(performance) organisasi. Jadi, efektivitas dan efisiensi merupakan instrumen untuk
mengukur kinerja suatu organisasi.
2.11
Rerangka Pemikiran
Kerangka teoritis merupakan jaringan hubungan antar variabel yang
dibangun dari pemikiran logis dan hasil tinjauan literatur untuk memberi jawaban
atas masalah penelitian secara teoritis. Kerangka teoritis tersebut diwujudkan dalam
bentuk model sebagai berikut:
•
Variabel yang relevan harus dapat dijelaskan dan disebutkan dalam diskusi
•
Diskusi haruslah dapat mewujudkan bagaimana dua atau lebih variabel
berhubungan satu sama lain
•
Harus ada indikasi arah hubungan antar variabel apakah positif atau negatif
•
Harus ada alasan mengapa mengharapkan hubungan tersebut tetap akan terjadi
53
•
Skema diagram yang menjelaskan hubungan teoritis harus dapat diperlihatkan
sehingga mempermudah pembaca memahami bagaimana hubungan antar
variabel secara teoritis.
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2009
Gambar 2.5 Rerangka Pemikiran
Berdasarkan gambar 2.5 kerangka konseptual, dapat dijelaskan bahwa
dengan
demikian
variabel
stress
kerja,
konflik
kerja,
dan
motivasi
kerja
mempengaruhi kinerja karyawan.
2.12
Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang diajukan, tujuan penelitian, dan tinjauan
pustaka di atas, maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
54
1. Stress kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan.
2. Konflik kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan.
3. Motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan.
4. Stress kerja, konflik kerja, dan motivasi kerja kerja berpengaruh secara simultan
dan signifikan terhadap kinerja karyawan.
Download