BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Manajemen 2.1.1 Pengertian Manajemen Menurut Robbins dan Coulter dalam bukunya yang berjudul “Manajemen” (2004, P6-7), mendefinisikan manajemen sebagai proses pengkoordinasian kegiatan-kegiatan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut terselesaikan secara efisien (memperoleh output terbesar dengan input yang terkecil; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu secara benar”) dan efektif (menyelesaikan kegiatan-kegiatan sehingga sasaran organisasi dapat tercapai; digambarkan sesuai “melakukan segala sesuatu yang benar”) dengan dan melalui orang lain. Manajemen penting digunakan dalam suatu organisasi, karena manajemen merupakan suatu landasan dalam organisasi, sehingga suatu organisasi dapat melakukan kegiatan melaksanakan kegiatan operasional dari organisasi tersebut. Menurut Hasibuan dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Sumber Daya Manusia” (2005, P1), manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Maka dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara mengkoordinir kerja karyawan-karyawan untuk menjalankan tugas yang sudah direncanakan untuk memudahkan tercapainya tujuan tersebut. 7 8 2.1.2 Fungsi Manajemen Beberapa fungsi manajemen yang dilakukan oleh para manajer antara lain adalah sebagai berikut (Robbins dan Coulter, 2004, P8): 1. Perencanaan Fungsi perencanaan mencakup proses mendefinisikan sasaran, menetapkan strategi untuk mencapai sasaran, dan menyusun rencana untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan sejumlah kegiatan. 2. Pengorganisasian Fungsi pengorganisasian mencakup proses menentukan tugas apa yang harus dilakukan, siapa yang harus melakukan, bagaimana cara mengelompokkan tugas-tugas itu, siapa harus melapor ke siapa, dan di mana keputusan harus dibuat. 3. Kepemimpinan Fungsi kepemimpinan mencakup memotivasi bawahan, mempengaruhi individu atau tim sewaktu mereka bekerja, memiliki saluran komunikasi yang paling efektif, dan memecahkan dengan berbagai cara masalah perilaku karyawan. 4. Pengendalian Fungsi pengendalian mencakup memantau kinerja aktual, membandingkan aktual dengan standar, dan membuat koreksinya, jika perlu. 2.2 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia (human resource – HR management) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan 9 penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuantujuan organisasional (Mathis dan Jackson, 2006, P3). Menurut pendapat Handoko (2000, P134), manajemen sumber daya manusia sebagai manajemen yang mengatur manusia, yang diterima secara universal pada masa sekarang ini. Menurut Malayu (2002, P10), manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Dari beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah manajemen yang mengatur hubungan dan peranan manusia dan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat, yang diterima secara universal pada masa sekarang ini. Dalam manajemen sumber daya manusia ada ilmu yang mempelajari perilaku organisasi manusia, Fred Luthans (2006, P439) mengemukakan bahwa secara tradisional, bidang perilaku organisasi membahas stress dan konflik secara terpisah. Secara konseptual, stress dan konflik adalah sama. Interaksi individu, kelompok, dan organisasi lebih berhubungan dengan konflik. Pada tingkat individu (intrapersonal), stress dan konflik dapat dibahas bersama. 2.2.2 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Secara umum fungsi-fungsi operasional manajemen sumber daya manusia menurut Panggabean (2002, P16) adalah sebagai berikut: 1. Pengadaan tenaga kerja 10 Fungsi pengadaan tenaga kerja yang dikenal juga sebagai fungsi pendahuluan terdiri dari: a. Analisis pekerjaan Analisis pekerjaan merupakan suatu proses penyelidikan yang sistematis untuk memahami tugas-tugas, keterampilan, dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan dalam sebuah organisasi. b. Perencanaan tenaga kerja Perencanaan tenaga kerja adalah suatu proses penyediaan tenaga kerja dalam kuantitas dan kualitas yang diperlukan oleh sebuah organisasi pada waktu yang tepat agar tujuannya dapat dicapai. c. Penarikan tenaga kerja Penarikan tenaga kerja merupakan sebuah proses yang bertujuan untuk memperoleh sejumlah calon pegawai yang memenuhi persyaratan (berkualitas). Proses ini diawali dengan pemahaman akan adanya lowongan, tugas-tugas yang dikerjakan, kualifikasi dan sistem kompensasi yang berlaku, sehingga adalah wajar jika proses ini merupakan langkah lanjutan dari analisis pekerjaan dan perencanaan kerja maupun langkah-langkah yang diperlukan dalam penetapan sistem kompensasi, seperti evaluasi pekerjaan dan survey upah dan gaji. d. Seleksi Proses penarikan dan seleksi penerimaan pegawai bertujuan untuk mendapatkan pegawai yang dapat membantu tercapainya tujuan perusahaan atau usaha untuk memperoleh jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. 11 Sasaran dari pengadaan adalah untuk memperoleh sumber daya manusia dalam jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia yang tepat bagi organisasi. 2. Pengembangan pegawai Pengembangan pegawai dapat dilakukan melalui orientasi, pelatihan, dan pendidikan. Pada hakikatnya yang ditujukan untuk menyesuaikan persyaratan atau kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaannya dengan kualifikasi yang dimiliki pegawai sekarang. 3. Perencanaan dan pengembangan karir Hal ini terdiri dari atas pengertian karir, perencanaan karir, dan pengembangan karir. Karir dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian aktivitas kerja yang terpisah, tetapi berhubungan dan memberikan kesinambungan, keteraturan, dan arti kehidupan bagi seseorang. Perencanaan karir adalah suatu proses yang memungkinkan seseorang memilih tujuan karir dan mengenali cara atau jalur untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan karir adalah suatu pendekatan formal yang diambil dan digunakan organisasi untuk menjamin agar orangorang dengan kecakapan dan pengalaman yang layak yang tersedia ketika dibutuhkan. 4. Penilaian kinerja Penilaian prestasi merupakan sebuah proses yang ditujukan untuk memperoleh informasi tentang kinerja pegawai. Informasi ini dapat digunakan sebagai input dalam melaksanakan hampir semua aktivitas manajemen sumber daya manusia lainnya, yaitu promosi, kenaikan gaji, pengembangan, dan pemutusan kerja. 12 5. Kompensasi Merupakan segala bentuk penghargaan (outcomes) yang diberikan oleh organisasi kepada pegawai atas kontribusi (inputs) yang diberikan kepada organisasi. Kompensasi terdiri atas gaji pokok, insentif dan kesejahteraan pegawai. 6. Keselamatan dan kesehatan kerja Keselamatan kerja meliputi perlindungan pegawai dari kecelakaan di tempat kerja, sedangkan kesehatan merujuk kepada kebebasan pegawai dari penyakit secara fisik mental. 7. Pemutusan hubungan kerja Pemutusan hubungan kerja dapat didefinisikan sebagai pengakhiran hubungan antara pekerja dan pengusaha sehingga berakhir pula hak dan kewajiban di antara mereka. Hal ini dapat disebabkan olehberbagai macam alasan. 2.3 Kerja 2.3.1 Pengertian Kerja Kerja sengaja dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan penghasilan dan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Kerja merupakan realisasi diri manusia, yang bertitik tolak dari dalam kesenangan dan kesukaan, serta merupakan suatu bentuk pelayanan bagi manusia lain baik sebagai individu maupun bermasyarakat. Dalam pandangan paling modern mengenai kerja dalam Anoraga (2006, P14) dikatakan bahwa kerja merupakan bagian yang paling mendasar atau esensial dari kehidupan manusia. 13 Menurut Anoraga (2006, P21), kerja adalah usaha yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau kebutuhan umum, maka dapat dikatakan bahwa, orang bekerja itu untuk mempertahankan eksistensi diri sendiri dan keluarganya. 2.3.2 Tujuan Kerja Dari pengalaman suatu seleksi atau pelatihan dan pengembangan karyawan (training and development), pada umumnya makna kerja ini mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan dan atau motivasi. Kebutuhan adalah menyangkut hal-hal yang diperlukan seseorang, yang kalau terpenuhi akan membuat orang itu senang dan tenang, sebaliknya apabila tidak terpenuhi, maka yang bersangkutan akan merasa kurang sejahtera kehidupannya – baik lahir maupun batin. Sedangkan motivasi adalah suatu dorongan yang telah terarah, dan disebut sebagai suatu vektor, yang memungkinkan seseorang bergerak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Seringkali nampak, bahwa pada mereka yang taraf perkembangan dirinya rendah, jawaban tentang arti kerja itu berorientasi pada kebutuhan. Atau jawaban tersebut muncul secara otomatis sebagai suatu kebiasaan saja. Bagi mereka yang tingkatnya lebih tinggi, jawaban yang ada seringkali berorientasi pada motivasi. Namun demikian tidak sedikit yang berorientasi pada kebutuhan (Anoraga, 2006, P23). 14 2.4 Stress Kerja 2.4.1 Pengertian Stress Dalam kehidupan modern yang makin kompleks, manusia akan cenderung mengalami “stress” apabila ia kurang mampu mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang ada, baik kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Segala macam bentuk “stress” pada dasarnya disebabkan oleh kekurangmengertian manusia akan keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasan inilah yang akan menimbulkan frustasi, konflik, gelisah, dan rasa bersalah yang merupakan tipe-tipe dasar stress. Menurut McShane dan Von Glinow (2005, P206) “Stress is an individual’s adaptive response to a situation that is perceived as challenging or threatening to the person’s well-being.” Stress adalah suatu tanggapan seseorang terhadap suatu perubahan yang dirasakan menggangu dan mengakibatkan dirinya terancam. Menurut Robbins dan Judge (2007, P596) “Stress is a dynamic condition in which an individual is confronted with an opportunity, demand, or resource related to what the individual desires and for which the outcome is perceived to be both uncertain and important.” Stress adalah suatu kondisi yang dinamik dimana seseorang dihadapkan dengan kesempatan, permintaan, atau sumber yang 15 berhubungan dengan apa yang diinginkan oleh individu tersebut dan yang dimana hasilnya adalah merasa sama-sama tidak pasti dan penting. Menurut Greenberg dan Baron (2003, P122) “Stress is the pattern of emotional states and physiological reactions occuring in response to demands from within or outside an organization.” Stress merupakan pola emosi dan reaksi fisiologis yang muncul dalam menghadapi tuntutan dari dalam maupun luar organisasi. Menurut Handoko (2001, P200) Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang dinamik yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri karyawan berkembang berbagai macam gejala stress yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.” Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa stress adalah suatu kondisi dinamik dalam masa seseorang individu yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. 2.4.2 Pengertian Stress Kerja Sebenarnya pengertian stress kerja dengan stress itu hampir sama, hanya saja ruang lingkup untuk pengertian stress jauh lebih luas, karena bisa terjadi dan disebabkan oleh lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja, sedangkan stress kerja hanya terjadi di lingkungan kerja (Gibson dan Ivanicevich, 2001). 16 Beehr dan Newman dalam Luthans (2006, P441) mendefinisikan stress kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka. Menurut Luthans (2006, P441), stress kerja didefinisikan sebagai respons adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, atau perilaku anggota organisasi. Israel Posner dan De. Lewis Leitnor dalam Arden (2006, P10-11), berpendapat bahwa ada dua faktor penting apakah stress dialami sebagai tak terkendali atau sebagai dapat dikuasai. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stress kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat mempengaruhi daya tahan stress seorang karyawan. 2.4.3 Penyebab Terjadinya Stress di Tempat Kerja Menurut Anoraga (2006, P118), di masa mendatang stress akan timbul dengan frekuensi dan intensitas yang semakin meningkat. Cooper dalam Arnold (2005, P395-410), terkait dengan seluruh jenis pekerjaan, menjabarkan tujuh faktor yang menyebabkan terjadinya stress kerja, antara lain: 1. Faktor-faktor intrinsik pekerjaan Antara lain adalah: • Kondisi lingkungan kerja yang kurang baik 17 Misalnya lingkungan kerja yang bising, pencahayaan yang kurang baik, tercium bau-bauan, dan lain sebagainya. • Kerja shift/ kerja malam Kerja shift merupakan sumber utama dari stress bagi para pekerja. Semakin lama waktu kerja shift, semakin tinggi tingkat stress yang dialami. Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/ siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Pengaruhnya adalah emosional dan biologikal, karena gangguan ritme circadian dari tidur/ daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin. • Jam kerja yang lama dan kerja yang terlalu overload Menurut Sparks et al. dalam Arnold (2005, P398) bahwa jam kerja yang panjang secara terus-menerus akan merusak kesehatan fisik dan psikologikal individu tersebut. Adapun dua tipe kerja yang terlalu overload (work overloaded), yaitu overload kuantitatif yaitu banyaknya yang harus dikerjakan, dan overload kualitatif yaitu mengacu pada pekerjaan yang terlalu sulit untuk seseorang. Munandar (2008, P384) menjelaskan jenis-jenis beban kerja, yakni: beban berlebihan kuantitatif, beban terlalu sedikit kuantitatif, beban berlebihan kualitatif, beban terlalu sedikit kualitatif, dan beban berlebihan kuantitatif dan kualitatif. • Tingkat resiko dan bahaya yang dihadapi 18 Pekerjaan yang mempunyai resiko atau bahaya yang tinggi akan menghasilkan tingkat stress yang tinggi, misalnya seorang pemadam kebakaran. • Teknologi baru Mengajarkan teknologi baru dengan cara dan metode yang lama akan menambah beban karyawan yang sedang dilatih. 2. Peraturan dalam organisasi Antara lain adalah: • Konflik peran dan ketidakjelasan peran Role conflict atau konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana yang terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. Munandar (2008, P390-391) menjabarkan konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya: 1. Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki. 2. Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya. 3. Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya. 4. Pertentangan dengan nilai-nilai dan sewaktu melakukan tugas pekerjaannya. keyakinan pribadinya 19 Selain konflik peran yang sudah dijelaskan di atas, ketidakjelasan peran juga merupakan salah satu penyebab terjadinya stress di tempat kerja. Agar karyawan melaksanakan pekerjaan dengan baik, para karyawan memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut hal-hal yang diharapkan untuk mereka lakukan dan hal-hal yang tidak harus mereka lakukan. Karyawan perlu mengetahui hak-hak, hak-hak istimewa dan kewajiban mereka. Ketidakjelasan peran (role ambiguity) adalah kurangnya pemahaman atas hak-hak, hak-hak istimewa dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan. Menurut Everly dan Girdano dalam Munandar (2008, P392), faktorfaktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran (ketidakjelasan peran) adalah: 1. Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan kerja). 2. Kesamaran tentang tanggung jawab. 3. Ketidakjelasan tentang prosedur kerja. 4. Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain. 5. Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk-kerja pekerjaan. • Tanggung jawab Pada dasarnya, tanggung jawab terdiri dari 2, yaitu tanggung jawab terhadap orang, dan tanggung jawab terhadap sesuatu, termasuk anggaran, perlengkapan, dan bangunan. Tanggung jawab terhadap orang lebih menyebabkan stress, lebih menyebabkan penyakit jantung koroner daripada tanggung jawab terhadap sesuatu. Mempunyai tanggung jawab terhadap orang biasanya memerlukan 20 waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan sesama, menghadiri pertemuan-pertemuan, dan dihadapkan dengan batas waktu (deadlines). Penelitian membuktikan bahwa senior executive dan semakin besar tanggung jawabnya, maka semakin besar kemungkinan terkena resiko penyakit jantung koroner. 3. Kepribadian Seperti bisa diduga, penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan tingkat kecemasan tinggi lebih menderita akibat konflik peran dibandingkan orang yang lebih fleksibel dalam pendekatan mereka terhadap kehidupan. Kecemasan-pengalaman individu-individu yang rawan konflik peran lebih akut dan bereaksi dengan ketegangan yang lebih besar daripada orang-orang yang kurang kecemasan rentan; dan lebih fleksibel individu menanggapi konflik peran yang tinggi dengan perasaan ketegangan lebih rendah daripada rekan-rekan mereka yang lebih kaku (Warr dan Wall, dalam Arnold, 2005, P403) . Dalam penelitian lain, bila individu memiliki kebutuhan kuat untuk kognitif kejelasan atau lebih rendah tingkat toleransi terhadap ambiguitas, stres terkait pekerjaan telah ditemukan untuk menjadi lebih tinggi dan lebih lama. 4. Hubungan dalam pekerjaan Orang lain dan kita dapat menjadi sumber utama dari stress dan dukungan (Makin et al., dalam Arnold, 2005, P405). • Hubungan dengan superior Dokter dan psikolog klinis mendukung gagasan bahwa masalahmasalah sering mengakibatkan cacat emosional ketika hubungan antara bawahan dan atasan secara psikologis tidak sehat bagi satu atau lain alasan. 21 Sosik dan Godshalk (dalam Arnold, 2005, P406) telah menunjukan bahwa gaya kepemimpinan yang penuh inspirasi dapat secara signifikan mengurangi jumlah stress yang dialami oleh bawahannya. Sparks et al. (dalam Arnold, 2005, P406) menyatakan bahwa tekanan kompetitif pada organisasi biasanya berarti tekanan pada setiap manajer. Beberapa manajer menemukan ini sulit untuk diatasi, dan banyak menanggapi dengan cara berperilaku tidak menyenangkan terhadap bawahan mereka. Untuk mengerti bagaimana cara mengelola atasan, penting untuk dapat mengidentifikasi perbedaan jenis atasan. Cooper et al. (dalam Arnold, 2005, P406) menemukan bahwa terdapat beberapa prototipe atasan, yaitu: yang birokrat, yang otokrat, yang lihay, manajer yang enggan terbuka, dan manajer yang terbuka. Masing-masing harus ditangani dengan berbeda jika stress harus diminimalkan. • Hubungan antara bawahan dan rekan Stress di antara rekan kerja dapat timbul dari kompetisi dan konflik kepribadian. Karena kebanyakan orang menghabiskan begitu banyak waktu di tempat kerja, hubungan antara rekan kerja dapat memberikan dukungan yang berharga, atau sebaliknya dapat menjadi sumber stress yang besar. French dan Caplan (dalam Arnold, 2005, P407) menemukan bahwa dukungan sosial yang kuat dari rekan-rekan kerja akan mereda ketegangan. Dukungan ini juga mengurangi efek tekanan pekerjaan. 5. Pengembangan karir 22 Pengembangan karir merupakan pembangkit stress potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang (Munandar, 2008, P393-395). a. Job insecurity Ancaman akan kehilangan pekerjaan berkaitan dengan masalah kesehatan yang parah. b. Over and under promotion Promosi dapat merupakan sumber dari stress, jika peristiwa tersebut dirasakan sebagai perubahan drastis yang mendadak, misalnya jika tenaga kerjanya kurang dipersiapkan untuk promosi. 6. Budaya dan iklim organisasi Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan, dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami sumbersumber stress potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi: kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi. 7. Home-work interface Home-work interface atau pekerjaan rumah antarmuka biasanya diberi label ‘konflik’ dalam literatur stress. Konflik ini dapat berupa salah satu atau kedua dari dua arah: bekerja gangguan dengan keluarga (di mana tuntutan pekerjaan menciptakan kesulitan untuk kehidupan rumah) dan gangguan keluarga dengan pekerjaan (di mana tuntutan kehidupan rumah menciptakan kesulitan untuk bekerja). 2.4.4 Stress dan Konsekuensinya A Model of Stress menurut Robbins dan Judge (2007, P597-599): 23 Faktor lingkungan: • Ketidakpastian ekonomi disebabkan oleh perubahan dalam siklus bisnis. • Ketidakpastian politik disebabkan karena perubahan-perubahan dalam badan politik. • Perubahan teknologi juga menjadi salah satu penyebab stress karena teknologi dapat menggantikan pekerjaan seseorang. Faktor organisasi: • Permintaan tugas adalah faktor yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang • Permintaan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan kepada seseorang sebagai fungsi dari suatu peran yang dilakukannya dalam organisasi. • Permintaan interpersonal adalah tekanan yang diciptakan oleh pekerja lain. Faktor personal: • Problem keluarga misalnya adalah problem pernikahan, perceraian, problem disiplin dengan anak. • Problem ekonomi diciptakan oleh individual mengulur-ulur sumber finansial mereka. Seperti pengeluaran yang lebih besar dari penghasilan. • Kepribadian juga dapat berpengaruh pada tingkat stress, misal orang yang rajin dapat belajar lebih lama daripada orang yang malas. • Stressor (yang menyebabkan terjadinya stress) dapat bertumpuk. Stressor bila ditambahkan ke tingkat stress yang sudah tinggi, dapat membuat stress yang sangat tinggi. 24 Perbedaan Individual (Individual Differences): • Persepsi Karyawan lebih memilih bekerja berdasarkan persepsi dari realita yang mereka lihat daripada realita yang sebenarnya itu sendiri. Contohnya bila suatu perusahaan berencana untuk memPHK beberapa karyawannya, mungkin saja ada karyawan yang khawatir akan terkena PHK, namun ada juga yang berpikir sebagai kesempatan untuk mendapat uang pesangon yang besar untuk membangun usaha sendiri. Persepsi setiap orang dapat berbeda walaupun hanya terdapat satu realita. • Pengalaman Pengalaman sering dihubungkan dengan tingkat stress. Yang pertama yaitu seseorang yang lebih tahan bekerja di perusahaan adalah seseorang yang lebih tahan terhadap stress, atau yang lebih tahan terhadap karakteristik stress di perusahaan itu. Yang kedua, bila lama kelamaan mengalami stress itu, ia akan terbiasa dengan stress itu. Oleh karena hal tersebut, yang lebih tahan terhadap stress adalah pekerja senior. • Dukungan sosial Lingkungan pergaulan dalam pekerjaan yang sesuai dengan diri sendiri dapat bertindak sebagai buffer terhadap stress. Karena itu, walaupun dalam pekerjaan dengan tingkat stress yang tinggi sekalipun, bila lingkungan pergaulan memadai maka seseorang akan dapat bertahan. • Locus of control Seseorang yang berpendapat bahwa hidupnya dikontrol oleh dirinya sendiri dan bukan orang lain (internal locus of control) akan mempunyai pandangan yang lebih positif terhadap stress pekerjaan daripada yang 25 berpendapat bahwa hidupnya dikontrol orang lain(external locus of control). • Self-efficacy Self-efficacy adalah kepercayaan individu bahwa ia bisa melakukan sesuatu. Seseorang dengan self-efficacy tinggi akan bereaksi lebih positif kepada paksaan dari jam kerja yang panjang daripada yang tidak. • Permusuhan dan kemarahan Bukti mengatakan bahwa ketidakpercayaan terhadap orang lain menambah tingkat stress dan resiko seranggan jantung. Hingga akhirnya menambah tingkat stress. Adapun konsekuensi dari stress: • Gejala fisik Stress dapat menyebakan perubahan dalam metabolisme, penambahan detak jantung dan pernapasan, tekanan darah tinggi, sakit kepala dan serangan jantung. Terlebih terhadap orang yang berself-efficacy rendah. • Gejala mental Secara mental stress dapat menyebabkan ketidakpuasan. Tetapi stress itu sendiri ditunjukkan dengan cara psikologi seperti ketegangan, kecemasan, lekas marah, kebosanan, dan penundaan kerja. • Gejala perilaku Gejala perilaku termasuk dalam termasuk dalam perubahan dalam produktivitas, kehadiran diri, dan pengunduran diri. Juga dalam kebiasaan makan, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, berbicara sendiri, perilaku gelisah, dan gangguan tidur. Grafik antara hasil kerja 26 dan stress berbentuk u terbalik dimana hasil kerja paling baik saat tingkat stress sedang. Di bawah ini merupakan gambar a model of stress: Sumber: Robbins dan Judge (2007, P597-599) Gambar 2.1 A Model of Stress 2.4.5 Dampak Stress terhadap Perusahaan Rendall Schuller dalam Hasibuan (2005, P4-7) mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Menurut penelitian ini, stress yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja serta tendensi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat berupa: 1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja. 27 2. Menganggu kenormalan aktivitas kerja. 3. Menurunkan tingkat produktivitas. 4. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. Kerugian finansial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya. 2.4.6 Dampak Stress terhadap Karyawan Menurut Arden (2002, P5), efek psikologis stress jangka panjang bisa membatasi kemampuan karyawan untuk berprestasi dengan baik di tempat kerja. Banyak pekerja mengalami stress karena manajemen mendesak mereka mengimbangi kelemahan-kelemahan perusahaan dengan bekerja lebih keras. Pegawai diminta untuk bekerja dua kali lebih cepat, sambil secara serentak menghadapi keluhan pelanggan akibat produk atau jasa serampangan yang disebabkan karena mencoba berbuat terlalu banyak, terlalu cepat, dengan sumber daya yang tidak memadai. Luthans (2006, P456) mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian diindikasikan tingkat kesulitan, sifat tugas yang dikerjakan, disposisi personal, disposisi psikologis, dan neurotisme mungkin mempengaruhi hubungan antara stress dan kinerja. Masalah karena tingkat stress yang tinggi dapat ditunjukkan secara fisik, psikologis atau perilaku individu. 1. Masalah kesehatan fisik yang berhubungan dengan stress: • Masalah sistem kekebalan tubuh, dimana terdapat pengurangan kemampuan untuk melawan sakit dan infeksi. 28 • Masalah sistem kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. • Masalah sistem musculoskeletal (otot dan rangka), seperti sakit kepala dan sakit punggung. • Masalah sistem gastrointestinal (perut), seperti diare dan sembelit. 2. Masalah psikologis: Tingkat stress tinggi mungkin disertai kemarahan, kecemasan, depresi, gelisah, cepat marah, tegang, dan bosan. Sebuah studi menemukan bahwa dampak stress yang paling kuat adalah tindakan agresif, seperti sabotase, agresi antar pribadi, permusuhan, dan keluhan. Jenis masalah psikologis tersebut relevan dengan kinerja yang buruk, penghargaan diri yang rendah, benci pada pengawasan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan membuat keputusan, dan ketidakpuasan kerja. 3. Masalah perilaku: Perilaku langsung yang menyertai tingkat stress yang tinggi mencakup makan sedikit atau makan berlebihan, tidak dapat tidur, merokok dan minum, dan penyalahgunaan obat-obatan. 2.5 Konflik Kerja 2.5.1 Pengertian Konflik Kerja Banyak komunikasi antarmanusia didasarkan atas kesalahpahaman. Banyak dari kesalahpahaman ini terjadi di tempat kerja dan terutama diucapkan selama periode ketika kita stress. Pekerjaan bisa menunjukkan diri seperti panci presto untuk konflik sosial (Arden, 2002, P89). 29 Konflik terdiri dari konflik konstruktif (konflik yang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk individu tersebut) dan destruktif (konflik yang menimbulkan hal-hal yang merugikan). Menurut McShane dan Von Glinow (2005,P388) “Conflict is a process in which one party perceives that its interests are being opposed or negatively affected by another party.” Konfik merupakan sebuah proses dimana seseorang merasa bahwa minatnya sedang ditentang atau secara negatif dipengaruhi oleh orang lain. Anoraga (2006, P98) mendefinisikan konflik sebagai suatu hal nyata dalam kehidupan seseorang merupakan proses sosial orang-orang yang berusaha mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai kekerasan. Berbicara mengenyampingkan mengenai konflik, hubungannya maka dengan kita produktivitas tidak bisa organisasi. Produktivitas organisasi berasal dari sumbangan prestasi para pekerja yang bekerja secara serius dengan menggunakan sumber daya manusia seminim mungkin. Dengan demikian konflik yang berunsur negatif akan menurunkan produktivitas seorang pekerja. Hal ini dikarenakan salah satu akibat dari konflik adalah timbulnya perasaan kecewa dan tekanan jiwa (stress) bagi seseorang yang mengalaminya. Masalah ini akan menghadapi tumpuan perhatian seseorang terhadap pekerjaannya. Oleh karena itu, konflik yang negatif, jikalau dapat terselesaikan secara baik akan dapat meningkatkan produktivitas dan sudah barang tentu akan menguntungkan juga bagi organisasi dan pekerjaannya. 30 Maka dapat disimpulkan bahwa konflik kerja adalah sebuah proses sosial dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai kekerasan. 2.5.2 Sumber Konflik Kerja McShane dan Von Glinow (2005, P391-394) menjabarkan beberapa sumber yang memicu terjadinya konflik di tempat kerja. Sumber tersebut antara lain: 1. Ketidakcocokan Tujuan (incompatible goals) Ketidakcocokan tujuan terjadi ketika seseorang atau tujuan kerja tersebut mengganggu orang lain atau tujuan departemen. Misalnya terjadi konflik antara karyawan suatu perusahaan dengan orang yang dahulunya pernah bekerja di perusahaan tersebut. Karyawan yang sekarang bekerja di perusahaan tersebut menginginkan senioritas yang paling tinggi untuk meningkatkan karir dan status pekerjaan mereka. Tetapi jika karyawan-karyawan tersebut tercapai harapannya, yaitu mendapatkan posisi senioritas paling tinggi, maka akan banyak orang-orang yang dahulunya pernah bekerja di perusahaan tersebut akan mendapatkan posisi senioritas yang lebih rendah, yang menyebabkan gaji yang lebih rendah dan kewajiban pekerjaan yang lebih sedikit. 2. Perbedaan nilai dan kepercayaan (different values and beliefs) Misalnya seperti perbedaan latar belakang, pengalaman, pandangan, kebutuhan, nilai, kepercayaan, dugaan, waktu kerja, dan sebagainya. 3. Tugas yang saling ketergantungan (task interdependence) 31 Tugas yang saling ketergantungan ada ketika anggota suatu kelompok harus berbagi input dengan pekerjaan mereka secara individu masingmasing, butuh interaksi dalam proses melaksanakan kerja mereka, atau menerima hasil (seperti penghargaan) yang sebagian ditentukan oleh kinerja orang lain. Semakin tinggi tingkat ketergantungannya, maka semakin besar resiko konflik, karena peluang yang besar dimana masing-masing pihak akan mengganggu tujuan pihak lain. 4. Sumber daya yang langka (scarce resources) Sumber daya yang langka akan menghasilkan konflik karena banyaknya orang yang bersaing dengan orang lain yang juga membutuhkan sumber daya yang langka tersebut untuk mencapai tujuan mereka. 5. Peraturan yang ambigu (ambiguous rules) Peraturan yang ambigu atau ketidakjelasan peraturan menghasilkan konflik. Hal ini terjadi karena ketidakpastian meningkatkan resiko bahwa salah satu pihak bermaksud untuk mengganggu tujuan pihak lain. Ambiguitas juga mendorong taktik politik. 6. Masalah dalam komunikasi (communication problems) Konflik akan terjadi jika sering terjadi kurangnya kesempatan, kemampuan, atau motivasi untuk berkomunikasi secara efektif. Pertama, ketika dua orang mempunyai kesempatan yang kurang untuk berkomunikasi, mereka akan menggunakan persepsi yang subyektif, dan bisa saja persepsi tersebut berbeda dari persepsi lawan bicaranya. Kedua, beberapa orang kurang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik. Misalnya ketika seseorang berkomunikasi tentang ketidaksetujuannya dengan sikap arogan, maka bisa menimbulkan konflik dengan lawan bicara. Ketiga, ketidakefektifan komunikasi juga 32 menjadi pemicu: kurangnya motivasi berkomunikasi di masa yang akan datang. Umumnya orang akan menghindar berinteraksi dengan seseorang jika tidak nyaman. Selain itu, kurangnya motivasi untuk berkomunikasi juga menjadi pemicu terjadinya konflik. Misalnya seseorang merasakan ketidaknyamanan berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya, sehingga kurang termotivasi berkomunikasi dengan orang tersebut. 2.5.3 Jenis-jenis Konflik Jenis-jenis konflik menurut Rival (2004, P509) terdiri atas: 1. Konflik dalam diri seseorang Seseorang dapat mengalami konflik internal dalam dirinya karena ia harus memilih tujuan yang saling bertentangan. 2. Konflik antar individu Konflik antar individu sering kali disebabkan oleh adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan, dan tujuan dimana hasil bersama sangat menentukan. 3. Konflik antar anggota kelompok Suatu kelompok dapat mengalami konflik substantive atau konflik afektif. konflik substantive adalah konflik yang terjadi karena latar belakang keahlian yang berbeda. Sedangkan konflik afektif adalah konflik yang terjadi didasarkan atas tanggapan emosional terhadap situasi tertentu. 4. Konflik antar kelompok Konflik antar kelompok terjadi karena masing-masing kelompok ingin mengejar kepentingan atau tujuan kelompoknya masing-masing. 5. Konflik intra perusahaan 33 Konflik intra perusahaan meliputi empat sub jenis, yaitu: - Konflik vertikal, terjadi antara manajer dengan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan tugas. - Konflik horizontal, terjadi antara karyawan atau departemen yang memiliki hierarki yang sama dalam organisasi. - Konflik lini staff, sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staff dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. - Konflik peran, terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran yang saling bertentangan. 6. Konflik antar perusahaan Konflik bisa juga terjadi antar organisasi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain terhadap pemasok, pelanggan, maupun distributor. Seberapa jauh konflik terjadi tergantung kepada seberapa besar tindakan suatu organisasi menyebabkan adanya dampak negatif terhadap perusahaan yang lainnya. 2.5.4 Pemecahan Konflik Menurut Nurwitri Hardono dalam Anoraga (2006, P105), dalam suatu lingkungan perusahaan seorang karyawan mungkin sering atau pernah mengalami suatu konflik, entah itu dengan atasan, teman sekerja, bawahan atau dengan dirinya sendiri. Konflik ini tidak bersifat merusak, dan manakala konflik ini tidak segera ditanggulangi bisa menyebabkan permusuhan abadi yang mendorong seseorang memusuhi orang lain dan mencari cara untuk menundukkan musuhnya, bukannya mencari cara penyelesaian masalah. 34 Manakala konflik itu semakin memburuk dan berlangsung lama, timbullah suasana saling mencurigai dan saling tidak mempercayai. Salah satu langkah yang dapat diambil untuk mengurangi konflik adalah dengan menghindar. Cara ini tidak menyelesaikan konflik secara tuntas. Kekurangan dalam teknik ini adalah tidak dapat mengenal secara pasti sumber-sumber konflik dan sering kali dia tidak tepat waktu. Walaupun demikian, cara ini dapat dipakai untuk mengatasi konflik dalam waktu yang sementara sifatnya. Bekerja sama juga merupakan salah satu langkah ke arah pemecahan konflik. Di sini setiap pihak yang berkonflik akan mencoba melihat pendirian masing-masing terhadap konflik itu dan mengenal secara pasti pilihan yang dapat memuaskan kehendak kedua belah pihak. Satu lagi cara untuk mengurangi konflik adalah dengan mengenali secara pasti dan memperbincangkan sumber-sumber konflik untuk mengetahui masalah masing-masing. Proses ini sering menimbulkan konfrontasi. Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk memanfaatkan kaidah ini. Salah satunya ialah melalui pertukaran wakil atau personil dari masing-masing pihak yang berkonflik. Dengan cara ini organisasi dapat meningkatkan komunikasi dan pergaulan antar pihak-pihak yang berkonflik. Pertukaran wakil ini bukan saja dapat memahami apa yang berlaku dan dipikirkan oleh pihak lawan tetapi juga pihak lawan dapat mengenali sikap wakil itu dengan lebih mendalam. Satu lagi cara konfrontasi ialah melalui penyelesaian masalah. Ini dilaksanakan dengan membawa kedua belah pihak yang berkonflik berhadapan untuk mengeluarkan pendapat dan pandangannya serta perasaannya masing-masing. Dalam kaidah ini tidak timbul persoalan siapa 35 yang salah atau yang benar, tetapi berusaha mengenali secara pasti dan menyelesaikan konflik yang ada (Anoraga, 2006, P101-102). 2.6 Motivasi Kerja 2.6.1 Pengertian Motivasi Munandar (2008, P323) mendifinisikan motivasi sebagai suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Siswanto (2008, P120) menjabarkan beberapa definisi motivasi, yaitu: (1) Setiap perasaan atau kehendak dan keinginan yang sangat mempengaruhi kemauan individu sehingga individu tersebut didorong untuk berperilaku dan bertindak, individu, (3) (2) Pengaruh kekuatan yang menimbulkan perilaku Setiap tindakan atau kejadian yang menyebabkan berubahnya perilaku seseorang, (4) Proses yang menentukan gerakan atau perilaku individu kepada tujuan. Nawawi (2005, P351) juga menjelaskan bahwa kata dasar motivasi adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab sadar. Dari pengertian tersebut berarti pula semua teori motivasi bertolak dari prinsip utama bahwa: “manusia (seseorang) hanya melakukan suatu kegiatan yang menyenangkannya untuk dilakukan.” Prinsip itu tidak menutup kondisi bahwa dalam keadaan terpaksa seseorang mungkin saja melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Dapat disimpulkan motivasi selalu berhubungan dengan kebutuhan, keinginan, dan dorongan, berusaha untuk mencapai tujuan tertentu. 36 2.6.2 Pengertian Motivasi Kerja Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, Ernest L. McCormick dalam Mangkunegara (2002, P94) mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai mengarahkan dan kondisi memelihara yang perilaku berpengaruh yang membangkitkan, berhubungan dengan lingkungan kerja. Anoraga (2006, P35) menjelaskan bahwa motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu, motivasi kerja disebut pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya motivasi kerja seorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasinya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, motivasi kerja adalah pendorong semangat kerja untuk mencapai tujuan tertentu dan ikut menentukan prestasi kerja. 2.6.3 Proses Motivasi Sumber: Munandar (2008, P323) Gambar 2.2 Proses Motivasi 37 Sekelompok kebutuhan yang belum dipuaskan menciptakan suatu ketegangan yang menimbulkan dorongan-dorongan untuk melakukan serangkaian mencapai kegiatan (berperilaku tujuan-tujuan khusus mencari) yang akan untuk menemukan memuaskan dan sekelompok kebutuhan tadi yang berakibat berkurangnya ketegangan. 2.6.4 Ciri-ciri Motif Individu Adapun ciri-ciri motif individu adalah sebagai berikut (Anoraga, 2006, P35-36): • Motif adalah majemuk Dalam suatu perbuatan sebenarnya tidak hanya mempunyai suatu tujuan tetapi beberapa tujuan yang berlangsung bersama-sama. Misalnya, seorang karyawan yang melakukan kerja dengan giat, dalam hal ini tidak hanya karena ia ingin lekas naik pangkat, tetapi juga ingin diakui atau dipuji, mendapat upah yang tinggi dan sebagainya. • Motif dapat berubah-ubah Motif bagi seseorang seringkali mengalami perubahan. Hal ini disebabkan keinginan manusia selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan atau kepentingannya. Misalnya, seorang karyawan pada suatu saat mengingini gaji yang tinggi, sedangkan pada waktu yang lain menginginkan pimpinan yang baik atau kondisi kerja yang menyenangkan. Dalam hal ini nampak bahwa motif sangat dinamis dan geraknya mengikuti kepentingan-kepentingan individu. • Motif berbeda-beda bagi individu 38 Dua orang yang melakukan pekerjaan yang sama, ternyata memiliki motif yang berbeda. Misalnya, dua orang karyawan yang bekerja pada suatu mesin yang sama dan pada ruang yang sama pula, motivasinya dapat berbeda. Yang seorang menginginkan teman sekerja yang baik, sedangkan yang lain menginginkan kondisi kerja yang menyenangkan. • Beberapa motif tidak disadari oleh individu Banyak tingkah laku manusia yang tidak disadari oleh pelakunya, sehingga beberapa dorongan yang muncul, karena berhadapan dengan situasi yang kurang menguntungkan, lalu ditekan di bawah sadarnya. Dengan demikian kalau ada dorongan dari dalam yang kuat menjadikan individu yang bersangkutan tidak bisa memahami motifnya sendiri. Pada umumnya orang yang dibutuhkan oleh organisasi adalah orang yang bekerja dengan motivasi yang tinggi. Ada perbedaan antara orang yang bermotif untuk bekerja dengan orang yang bekerja dengan motivasi yang tinggi. Orang yang bermotif untuk bekerja, ia bekerja hanya karena harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang vital bagi diri dan keluarganya. Baginya pekerjaan yang menyenangkan dan menarik, belum tentu akan memberikan kepuasan baginya dalam menjalankan tugastugasnya. Sedangkan orang yang bekerja dengan motivasi yang tinggi adalah orang yang merasa senang dan mendapatkan kepuasan dalam pekerjaannya. Ia akan lebih berusaha untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan semangat yang mengembangkan tugas dan dirinya. tinggi, serta selalu berusaha 39 2.6.5 Faktor-faktor Motivasi Kerja Menurut Herzberg dalam Anoraga (2006, P39-40), sistem kebutuhan-kebutuhan orang yang mendasari motivasinya, dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1. Hygiene factors a. Status b. Hubungan antar manusia c. Supervisi d. Peraturan-peraturan perusahaan dan administrasi e. Jaminan dalam pekerjaan f. Kondisi kerja g. Gaji h. Kehidupan pribadi 2. Motivational factors (motivators) a. Pekerjaannya sendiri b. Achievement c. Kemungkinan untuk berkembang d. Tanggung jawab e. Kemajuan dalam jabatan f. Pengakuan 2.6.6 Berbagai Pandangan Manajer terhadap Model Motivasi Ditinjau dari sudut pandangan para manajer dalam rangka usahanya memotivasi kerja para bawahannya, Sihotang (2007, P253) mengenalkan 3 (tiga) macam model motivasi, yaitu: 1. Model Tradisional 40 Model tradisional ini mengacu pada hasil penelitian dan pandangan Frederik Winslow Taylor, yaitu perlunya specialisasi tugas yang sedemikian rupa, sehingga dapat mecapai efisiensi gerak dan waktu yang sangat singkat untuk menghasilkan yang lebih banyak. 2. Model Motivasi Hubungan Manusia Menurut model ini bahwa hubungan kontak sosial para karyawan sangat penting peranannya untuk memotivasi kerja karyawan tanpa mengurangi faktor pentingnya imbalan keuangan atau upah. Para manajer memotivasi para karyawan dengan cara memperkenalkan mereka pada kontak sosial, saling berbagi antar sesama pekerja, memberikan kebebasan untuk mengambil keputusan di dalam menjalankan pekerjaan mereka dan mengurangi pengawasan yang terlalu ketat dan kaku yang sering membuat pekerja kehilangan kreativitasnya. 3. Model Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Development) Timbulnya model human resources development ini merupakan kritik terhadap model hubungan manusia. Menurut pendapat model human resources development ini bahwa memotivasi karyawan tidak cukup hanya dengan upah yang tinggi dan kontak sosial yang longgar dari pengawasan, akan tetapi juga diperlukan pengembangan tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan organisasi. Para pekerja diperkenankan dan dibebaskan untuk menjadi self direction dan self controlling. Ini akan memungkinkan para karyawan meningkatkan potensinya secara maksimal dan menghasilkan perpaduan antara kepurusan organisasi dan kepuasan karyawan. 41 Sihotang (2007, P255) mengikhtisarkan bagaimana sebenarnya perpaduan antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan para pekerja, dan tidak perlu dipertentangkan melainkan perlu diidentikkan dan disejajarkan untuk pencapaiannya seperti yang ditunjukkan pada tabel 2.1 di bawah ini: Tabel 2.1 Perpaduan Antara Kebutuhan Organisasi dan Kebutuhan Karyawan Berdasarkan Beberapa Motivasi No. Motivasi Kebutuhan Organisasi Kebutuhan Karyawan Dapat melakukan 1 Tantangan Hasil yang lebih baik pekerjaan yang lebih spesifik 2 3 Kebebasan Pengakuan Delegasi wewenang dan Kebebasan untuk tanggung jawab mempertimbangkan Dapat mengerjakan yang Menunjukkan dirinya penting/bermakna bernilai pada rekan Kebutuhan utuk mengetahui apa yang 4 Partisipasi Kebutuhan rasa keterikatan sebelum penyelesaian tugas akan terjadi dan yang berpeluang untuk mempengaruhinya Hasil yang 5 6 dicapai Pembahasan Memastikan bahwa sumber Kebutuhan agar daya yang dikeluarkan benar- sarananya benar berguna diterima/disetujui Kebutuhan akan gagasan Kebutuhan agar 42 baru gagasannya dapat diterima Sumber daya waktu Perluasan 7 Menghindari didayagunakan secara Tugas kebosanan/kelelahan maksimal PenugasanPerkayaan Kebutuhan regenerasi merger 8 Tugas penugasan baru untuk promosi Mengetahui 9 Kebutuhan/kes Agar karyawan loyal pada kontribusi pada tabilan organisasi organisasi secara keseluruhan Kebutuhan akan pekerjaaan yang 10 Perkembangan Memiliki SDM yang dapat (growth) menangani tugas-tugas menantang dan membangkitkan semangat Sumber: Sihotang (2007, P255) Dengan memperhatikan faktor-faktor perpaduan antara kebutuhan organisasi dan kepuasan kerja karyawan di atas, akan memudahkan para manajer untuk memotivasi melaksanakan tugas-tugasnya. para karyawan agar lebih baik dalam 43 2.6.7 Manfaat Motivasi Sumber: Arep Ishak dan Hendri Tanjung (2003, P17) Gambar 2.3 Ciri-ciri Orang yang Termotivasi Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang mengerjakannya. Orang pun akan merasa dihargai/diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka 44 tetapkan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep Ishak dan Hendri Tanjung, 2003, P16-17). 2.6.8 Meningkatkan Motivasi Kerja Adapun beberapa cara untuk meningkatkan motivasi kerja menurut Munandar (2008, P342-346) antara lain: a. Peran pemimpin/ atasan Ada dua cara pokok untuk meningkatkan motivasi kerja, yaitu bersikap keras (dengan memaksakan tenaga kerja untuk bekerja keras atau dengan memberikan ancaman) dan memberi tujuan yang bermakna (bersama-sama dengan tenaga kerja yang bersangkutan ditemukan tujuan-tujuan yang bermakna, sesuai dengan kemampuannya, yang dapat dicapai melalui prestasi kerjanya yang tinggi. Misalnya tenaga kerja mengharapkan mampu mencicil rumah untuk dirinya setelah bekerja selama lima tahun pada perusahaan. Cicilan setiap bulannya tidak memberatkannya dan akan selesai dalam 10 tahun). b. Peran diri sendiri Dari dalam diri sendiri perlu mengubah diri menjadi tenaga kerja dengan motivasi kerja yang proaktif. c. Peran organisasi Berbagai kebijakan dan peraturan perusahaan dapat ‘menarik’ atau ‘mendorong’ motivasi kerja seorang tenaga kerja. Gugus Kendali Mutu (GKM) merupakan satu kebijakan yang dituang dalam berbagai peraturan yang mendasari kegiatan dan yang mengatur pertemuan pemecahan masalah dalam kelompok kecil, khususnya 45 kelompok pekerja. Di Indonesia kegiatan GKM dilakukan di luar jam kerja. Para pekerja yang mengikuti kegiatan GKM memperoleh upah kerja lembur. Kebijakan lain yang berkaitan dengan motivasi kerja ialah kebijakan di bidang imbalan keuangan. Kebijakan dan peraturan lain dapat disusun dan ditetapkan yang dapat mendorong atau menarik keluar motivasi kerja tenaga kerja. 2.7 Kinerja 2.7.1 Pengertian Kinerja Menurut Mathis dan Jackson (2006, P378), kinerja (performance) pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut: kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran, dan kemampuan bekerja sama. Berdasarkan pendapat Vroom dalam Luthans (2006, P279), tingkat sejauh mana keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya disebut “level of performance”. Biasanya orang level of performance-nya tinggi disebut sebagai orang yang produktif, dan sebaliknya orang yang levelnya tidak mencapai standar dikatakan sebagai tidak produktif atau berformance rendah. Penilaian kinerja adalah salah satu tugas penting untuk dilakukan oleh seorang manajer atau pimpinan. Walaupun demikian, pelaksanaan kinerja yang obyektif bukanlah tugas yang sederhana, penilaian harus dihindarkan adanya “like dan dislike” dari penilai, agar obyektivitas penilaian tetap terjaga. Penilaian kegiatan ini penting karena dapat digunakan untuk 46 memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang kinerja mereka. Manfaat penilaian kinerja menurut Luthans (2006, P619) bahwa manajemen sumber daya manusia tidak lagi berpuas diri hanya dengan mencoba sesuatu yang baru dan berbeda dan berharap dapat meningkatkan kinerja. Saat ini tekanan terhadap segala sesuatu perlu dibuktikan bahwa dia memiliki nilai. Kebutuhan akan empat tingkat evaluasi kirkpatrick dalam Luthans (2006, P619) yang terkenal (reaksi, belajar, perubahan perilaku dan peningkatan kinerja) lebih ditekankan. 2.7.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada di bawah pengawasannya. Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun produktivitas mereka tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu: faktor individu dan situasi kerja. Menurut Gibson, et al. (2007, P434) ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu: 1. Variabel individual, terdiri dari: • Kemampuan dan keterampilan: mental dan fisik • Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian • Demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin 2. Variabel organisasional, terdiri dari: • Sumberdaya 47 • Kepemimpinan • Imbalan • Struktur • Disain pekerjaan 3. Variabel psikologis, terdiri dari: 2.7.3 • Persepsi • Sikap • Kepribadian • Belajar • Motivasi Orientasi Waktu Metode Penilaian Kinerja Metode penilaian kinerja berdasarkan orientasi waktunya dapat dibedakan ke dalam (Triton, 2007, P91-92) metode-metode penilaian berorientasi masa lalu dan metode-metode penilaian berorientasi masa depan. Metode-metode penilaian berorientasi masa lalu mempunyai kelebihan dalam hal perlakuan terhadap kinerja terukur yang telah dihasilkan dan dinilai. Perlakuan yang dapat dijadikan tindak lanjut adalah agar minimal para karyawan mempunyai umpan balik mengenai berbagai upaya yang telah dilakukan. Adapun beberapa metode penilaian kinerja berorientasi masa lalu mencakup: rating scale, checklist, peristiwa kritis, tes dan observasi prestasi kerja, dan evaluasi kelompok. Berbeda dengan metode-metode penilaian kinerja berorientasi masa lalu, maka metode-metode penilaian kinerja berorientasi masa depan lebih memusatkan kinerja karyawan di waktu yang akan datang melalui penilaian 48 potensi karyawan atau melalui penetapan sasaran prestasi di masa datang (future time). Adapun metode-metode yang dapat digunakan dalam penilaian kinerja berorientasi masa depan adalah: penilaian diri (self appraisals), penilaian psiktologis (psychological appraisals), dan pendekatan management by objective (MBO). 2.7.4 Penggunaan-penggunaan dalam Penilaian Kinerja Menurut Mathis dan Jackson (2006, P382-385), penilaian kinerja (performance karyawan appraisal) adalah proses mengevaluasi seberapa baik melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan seperangkat standar, dan kemudian mengomunikasikan informasi tersebut kepada karyawan. Penilaian kinerja juga disebut pemeringkatan karyawan, evaluasi karyawan, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja, dan penilaian hasil. Penilaian kinerja digunakan secara luas untuk mengelola upah dan gaji, memberikan umpan balik kinerja, dan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan karyawan individual. Penilaian kinerja yang dilakukan dengan buruk akan membawa hasil yang mengecewakan untuk semua pihak yang terkait. Organisasi biasanya menggunakan penilaian kinerja dalam dua peran yang memiliki potensi konflik. Peran pertama untuk mengukur kinerja dalam memberikan imbalan kerja atau keputusan administratif lainnya mengenai karyawan. Promosi atau pemecatan dapat tergantung pada peran diri, dimana sering kali menciptakan tekanan bagi para manajer untuk melakukan penilaian. Peran kedua berfokus pada pengembangan individu. Dalam peran ini, manajer berperan lebih sebagai seorang penasihat dibandingkan seorang hakim, yang akan mengubah atmosfer hubungan. 49 Peran kedua tersebut menekankan dalam mengidentifikasi potensi dan merencanakan kesempatan pertumbuhan dan arah karyawan. 1. Penggunaan Administratif Sistem penilaian kinerja sering kali menjadi penghubung antara penghargaan yang diinginkan karyawan dan produktivitas mereka. Hubungan tersebut dapat diperkirakan sebagai berikut: Produktivitas Æ Penilaian kinerja Æ Penghargaan Kompensasi yang berbasis kinerja menegaskan ide bahwa kenaikan gaji seharusnya diberikan untuk pencapaian kinerja daripada untuk senioritas. Dalam sistem ini, manajer secara historis telah menjadi pengevaluasi dari kinerja bawahan dan juga yang membuat rekomendasi kompensasi untuk karyawan. Jika ada bagian dari proses penilaian yang gagal, para karyawan yang berkinerja baik tidak menerima kenaikan gaji yang lebih besar, yang akan menyebabkan adanya ketidakadilan dalam kompensasi yang dirasakan karyawan. Penggunaan penilaian kerja untuk menentukan gaji adalah umum. Para karyawan khususnya tertarik dalam penggunaan administratif lainnya dari penilaian kinerja, seperti keputusan mengenai promosi, pemecatan, pemberhentian sementara, dan pemindahan tugas. 2. Penggunaan Pengembangan Penilaian kinerja dapat menjadi sumber utama informasi dan umpan balik untuk karyawan, yang sering kali merupakan kunci pengembangan mereka di masa depan. Dalam proses mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, potensi dan kebutuhan pelatihan karyawan melalui umpan balik penilaian kinerja, para supervisor dapat menginformasikan kepada karyawan mengenai kemajuan mereka, mendiskusikan area-area yang 50 membutuhkan pengembangan, dan mengidentifikasi rencana pengembangan. Peran manajer dalam situasi seperti ini sejajar dengan peran seorang pelatih. Seorang pelatih akan menghargai kinerja yang bagus dengan pengakuan, menjelaskan perbaikan apa yang diperlukan, dan menunjukkan kepada karyawan bagaimana cara untuk maju. Tujuan dari umpan balik pengembangan adalah lebih kepada mengubah atau menguatkan perilaku individu, daripada untuk membandingkan antarindividu. Penguatan positif untuk perilaku yang diharapkan memberi kontribusi pada pengembangan individu dan organisasional. Fungsi pengembangan dari penilaian kinerja juga dapat mengidentifikasi bidang-bidang dimana karyawan ingin berkembang. 2.8 Hubungan antara Stress Kerja dengan Kinerja Williams et al. (Jurnal, Organization Communication, Job Stress, Organizational Commitment, and Job Performance of Accounting Professionals in Taiwan and America, P2), menekankan bahwa hasil jangka pendek dari stress pekerjaan baik efek fisiologis dan perilaku mengakibatkan kiinerja yang buruk. Menurut Robbins (2001, P569), pola yang paling meluas dipelajari dalam hubungan antara stress dengan prestasi kerja adalah hubungan U-terbalik. Logika yang mendasari U-terbalik itu adalah bahwa tingkat rendah sampai sedang dari stress merangsang tubuh dan meningkatkan kemampuan untuk beraksi. Pada saat itulah individu sering melaksanakan tugasnya dengan lebih baik dan lebih intensif, atau lebih cepat. Tetapi terlalu banyak stress menempatkan tuntutan yang tidak dapat dicapai atau kendala pada seseorang yang mengakibatkan prestasi kerja menjadi lebih rendah. Pola U-terbalik ini juga menggambarkan reaksi terhadap stress sepanjang waktu dan terhadap perubahan intensitas stress. Artinya stress tingkat 51 sedang dapat mempunyai pengaruh yang negatif pada kinerja jangka panjang karena intensitas stress yang berkelanjutan itu meruntuhkan individu itu dan melemahkan sumber daya energinya. Tinggi P e r f o r m a n s i Stress Rendah Tinggi Sumber: Robbins (2001, P569) Gambar 2.4 Grafik U-Terbalik 2.9 Hubungan antara Konflik Kerja dengan Kinerja Penelitian menunjukkan bahwa konflik pekerjaan – keluarga memiliki dampak merugikan kinerja. Institut Keluarga dan Kerja menunjukkan bahwa para karyawan yang tidak dapat menyeimbangkan tuntutan pekerjaan mereka dengan tanggung jawab keluarga di rumah akan menyebabkan penurunan kinerja. (Jurnal, Attitudinal and behavioral, consequences of work-family, conflict and family-work conflict. Does gender matter?, P5). 52 2.10 Hubungan antara Motivasi Kerja dengan Kinerja Jurnal Ajiyasa dan Bastian (2007, P3) menuliskan bahwa motivasi sebagai alat pendorong yang menyebabkan seseorang merasa terpanggil dengan penuh kesadaran serta senang hati melakukan suatu kegiatan yang dapat memberikan sesuatu yang terbaik dalam pekerjaannya. Keberadaan karyawan dalam suatu organisasi diatur dengan adanya pembedaan pemberian wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility). Dengan jelasnya wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan kepada karyawan, maka kinerja mereka harus baik. Namun pada kenyataannya tidak demikian, karena faktor seperti motivasi dan harapan. Pada prakteknya, motivasi dan harapan para karyawan tercermin dalam perilaku disiplin, inisiatif, wewenang, dan tanggung jawab akan mencerminkan apakah organisasi berjalan secara efektif dan efisien. Efektivitas dan efisiensi akan menentukan kinerja (performance) organisasi. Jadi, efektivitas dan efisiensi merupakan instrumen untuk mengukur kinerja suatu organisasi. 2.11 Rerangka Pemikiran Kerangka teoritis merupakan jaringan hubungan antar variabel yang dibangun dari pemikiran logis dan hasil tinjauan literatur untuk memberi jawaban atas masalah penelitian secara teoritis. Kerangka teoritis tersebut diwujudkan dalam bentuk model sebagai berikut: • Variabel yang relevan harus dapat dijelaskan dan disebutkan dalam diskusi • Diskusi haruslah dapat mewujudkan bagaimana dua atau lebih variabel berhubungan satu sama lain • Harus ada indikasi arah hubungan antar variabel apakah positif atau negatif • Harus ada alasan mengapa mengharapkan hubungan tersebut tetap akan terjadi 53 • Skema diagram yang menjelaskan hubungan teoritis harus dapat diperlihatkan sehingga mempermudah pembaca memahami bagaimana hubungan antar variabel secara teoritis. Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2009 Gambar 2.5 Rerangka Pemikiran Berdasarkan gambar 2.5 kerangka konseptual, dapat dijelaskan bahwa dengan demikian variabel stress kerja, konflik kerja, dan motivasi kerja mempengaruhi kinerja karyawan. 2.12 Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang diajukan, tujuan penelitian, dan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: 54 1. Stress kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. 2. Konflik kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. 3. Motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. 4. Stress kerja, konflik kerja, dan motivasi kerja kerja berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap kinerja karyawan.