BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan Keuangan 2.1.1.1 Pengertian Laporan Keuangan Laporan keuangan disusun oleh setiap perusahaan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Menurut PSAK No.1 Paragraf ke 7 (Revisi 2009), “ Laporan Keuangan adalah suatu penyajian terstuktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas”. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya laporan keuangan merupakan hasil akhir atau output dari proses akuntansi yang dapat digunakan oleh para pemakai laporan keuangan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi perusahaan secara keseluruhan. Laporan keuangan digunakan sebagai dasar ataupun bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan. Laporan keuangan dikatakan lengkap apabila memiliki beberapa komponen. Menurut PSAK No. 01 (revisi 2013), “Komponen laporan keuangan terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, dan informasi komparatif”. Berbeda dengan komponen laporan 9 keuangan menurut PSAK No.1 2009 yang hanya terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan laba rugi komprehensif, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. 2.1.1.2 Tujuan Laporan Keuangan Menurut PSAK No.1 Paragraf ke 7 (Revisi 2009), “ Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi”. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Menurut PSAK No.1 Paragraf ke 7 (Revisi 2009), “ Dalam rangka mencapai tujuan laporan keuangan, laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi: aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik dan arus kas”. Pada hakekatnya laporan keuangan dibuat oleh pihak manajemen perusahaan secara berkala sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pihak yang berkepentingan. Namun, data dari laporan keuangan tersebut tidak berarti apa-apa apabila tidak dianalisis dalam proses pengambilan keputusan. Data pada laporan keuangan akan menjadi informasi yang efektif apabila 10 mampu dianalisis dan diolah secara tepat sesuai dengan informasi yang dibutuhkan oleh pihak yang berkepentingan. 2.1.2 Laporan Arus Kas 2.1.2.1 Pengertian Laporan Arus Kas Laporan arus kas merupakan salah satu laporan keuangan utama selain laporan laba/rugi dan neraca. Laporan arus kas melaporkan transaksi-transaksi atau kejadian-kejadian selama periode tertentu dari segi pengaruhnya terhadap kas. Kieso, et all (2008) mengemukakan bahwa “Laporan arus kas melaporkan penerimaan kas, pembayaran kas dan perubahan bersih pada kas yang berasal dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan dari suatu perusahaan selama suatu periode dalam suatu format merekomendasikan saldo kas awal dan akhir”. Menurut Brigham & Houston (2009: 59), laporan arus kas adalah laporan yang melaporkan dampak dari aktvitivas-aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan oleh perusahaan pada arus kas selama satu periode akuntansi. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, pada dasarnya laporan arus kas menyajikan secara rinci mengenai pemasukan maupun pengeluaran suatu perusahaan dalam suatu periode tertentu. Laporan ini tidaklah mengandung semua transaksi atau rekening yang tidak tercermin dalam neraca atau laba rugi. Sebaliknya, laporan arus kas melaporkan transaksi-transaksi atau kejadian- 11 kejadian selama periode tersebut dari segi pengaruhnya terhadap kas. Laporan arus kas menyediakan informasi penting dari perspektif dasar tunai (cash basis) yang melengkapi laporan laba rugi dan neraca, sehingga menggambarkan lebih lengkap kegiatan-kegiatan usaha dan posisi keuangan perusahaan. 2.1.2.2 Tujuan Laporan Arus Kas Arus kas merupakan hal vital bagi perusahaan karena tidak dapat dipungkiri perusahaan membutuhkan kas dalam menjalankan segala aktivitas. Laporan arus kas memberikan informasi mengenai arus kas suatu perusahaan. Tujuan utama laporan arus kas adalah menyediakan informasi yang relevan mengenai penerimaan dan pembayaran kas sebuah perusahaan selama suatu periode. Menurut PSAK No. 02 (revisi 2009) alinea 04 dan 05, kegunaan informasi arus kas: Informasi arus kas berguna untuk menilai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas dan memungkinkan para pemakai mengembangkan model untuk menilai dan membandingkan nilai sekarang dari arus kas masa depan (future cash flows) dari berbagai perusahaan. Informasi tersebut juga meningkatkan daya banding pelaporan kinerja operasi berbagai perusahaan karena dapat meniadakan pengaruh penggunaan perlakuan akuntansi yang berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama. Informasi arus kas historis sering digunakan sebagai indikator dari jumlah, waktu, dan kepastian arus kas masa depan. Disamping itu, informasi arus kas juga berguna untuk meneliti kecermatan dari taksiran arus kas masa depan yang telah dibuat sebelumnya dan dalam menentukan hubungan antara profitabilitas dan arus kas bersih serta dampak perubahan harga. 12 Gambaran menyeluruh mengenai penerimaan dan pengeluaran kas hanya dapat diperoleh dari laporan arus kas. Setiap transaksi yang menyangkut dengan kas diuraikan secara terperinci dalam laporan arus kas. Namun, bukan berarti laporan arus kas menggantikan neraca ataupun laba rugi, melainkan saling melengkapi sehingga keputusan yang diambil oleh pihak yang berkepentingan sesuai dengan kondisi keuangan perusahaan secara keseluruhan. 2.1.2.3 Manfaat Laporan Arus Kas Laporan keuangan yang disusun oleh suatu entitas tentunya memiliki manfaat dan bukan hanya sekedar hasil output dari proses akuntansi. Laporan keuangan yang disusun memiliki manfaat tersendiri bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Seperti halnya laporan arus kas. Penyusunan laporan arus kas tidak hanya bermanfaat bagi pihak internal perusahaan, tetapi juga pihak eksternal perusahaan sebagaimana yang tercantum di PSAK No. 02 (revisi 2009) alinea 04 berikut ini: Informasi tentang arus kas suatu perusahaan berguna bagi para pemakai laporan keuangan sebagai dasar untuk menilai kemampuan perusahaan untuk menggunakan arus kas tersebut. Dalam proses pengambilan keputusan ekonomi, para pemakai perlu melakukan evaluasi terhadap kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas serta kepastian perolehannya. Jika digunakan dalam kaitannya dengan laporan keuangan yang lain, laporan arus kas dapat memberikan informasi yang memungkinkan para pemakai untuk mengevaluasi perubahan dalam aktiva bersih perusahaan, struktur keuangan (termasuk likuiditas dan 13 solvabilitas) dan kemampuan untuk mempengaruhi jumlah serta waktu arus kas dalam rangka adaptasi dengan perubahan keadaan dan peluang. 2.1.3 Analisis Laporan Arus Kas Informasi mengenai kinerja suatu perusahaan memang dapat diperoleh dengan membaca dan menganalisis laporan keuangan, namun dalam laporan arus kaslah terangkum segala transaksi yang mempengaruhi kas. Setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dikelompokkan dan diperinci dengan detail dalam laporan arus kas. Namun, angka-angka dalam laporan arus kas tidak akan berarti apa-apa apabila tidak dianalisis sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Data yang terdapat dalam laporan arus kas akan menjadi informasi yang berguna dan bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan apabila data yang terdapat dalam laporan arus kas dapat dianalisis dan diinterpretasikan sehingga laporan arus kas dapat digunakan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Perusahaan dapat menyajikan laporan arus kas dengan menggunakan dua metode, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Secara umum, laporan arus kas yang dihasilkan dari kedua metode tersebut hampir sama. Tidak ada perbedaan penyajian pada aktivitas arus kas untuk bagian investasi dan pendanaan baik dengan menggunakan metode langsung maupun tidak langsung. Perbedaan metode ini hanya terletak pada pelaporan aktivitas dari operasi dimana pada metode langsung, aktivitas operasi dikelompokkan dalam penerimaan dari pelanggan, pembayaran kepada pemasok, 14 pembayaran gaji karyawan, dll, sedangkan pada metode tidak langsung, aktivitas operasi mencantumkan seluruh kegiatan, baik yang menaikkan ataupun menurunkan kas dari aktivitas operasi. Entitas dianjurkan untuk melaporkan arus kas dari aktivitas operasi dengan menggunakan metode langsung. Metode ini menghasilkan informasi yang berguna dalam mengestimasi arus kas masa depan yang tidak dapat dihasilkan dengan metode tidak langsung (PSAK No. 02). Laporan arus kas dikelompokkan ke dalam tiga aktivitas utama. Menurut PSAK No. 02 (revisi 2009), aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dikelompokkan ke dalam tiga aktivitas utama, yaitu: 1. Aktivitas Operasi (Operating Activities) Aktivitas operasi adalah aktivitas penghasil utama pendapatan entitas (principal revenue-producing activities) dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan. Jumlah arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator utama untuk menentukan apakah operasi entitas dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi entitas, membayar dividen, dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar. 2. Aktivitas Investasi (Investing Activities) Aktivitas investasi adalah perolehan dan pelepasan aset jangka panjang serta investasi lain yang tidak termasuk setara kas. 3. Aktivitas Pendanaan (Financing Activities) Aktivitas pendanaan adalah aktivitas yang mengakibatkan perubahan dalam jumlah serta komposisi kontribusi modal dan pinjaman entitas. Analisis laporan arus kas dilakukan untuk mengetahui bagaimana perputaran kas dilakukan oleh perusahaan, terutama mengenai penerimaan yang diperoleh dan pengeluaran yang terjadi selama periode tertentu. Sebelum menganalisis laporan arus kas, ada baiknya mengenali pola 15 terjadinya arus kas terlebih dahulu. Menurut Prihadi (2012: 88), pola arus kas operasi (O) dapat diidentifikasi antara lain: Dalam kondisi perusahaan beroperasi secara normal, arus kas seharusnya positif. Hal ini dapat diartikan lebih banyak kas masuk dibandingkan dengan kas keluar. Arus kas positif diperoleh dari penjualan, sedangkan arus kas operasi lainnya adalah negatif. Jadi arus kas operasi positif berarti penerimaan dari penjualan seharusnya mampu menutup seluruh pengeluaran operasi yang bersifat rutin. Apabila arus kas operasi negatif, maka hal itu merupakan tanda bahwa perusahaan sedang bermasalah. Apabila kas operasi negatif perlu dilihat apakah hanya tahun tertentu atau menetap. Arus kas investasi (I) pada laporan arus kas mempunyai pola yang terbalik dengan arus kas operasi, yaitu: Dalam kondisi normal, seharusnya negatif. Pengertian negatif disini adalah perusahaan lebih banyak membeli peralatan, gedung dan aset tetap lainnya dibanding dengan menjualnya. Artinya perusahaan bertambah kapasitasnya, minimal bertahan dengan mengganti alat dengan alat baru. Arus kas positif secara terus menerus menunjukkan perusahaan sedang bermasalah. Ada kemungkinan perusahaan mengurangi kapasitas dengan menjual aset tetapnya. Bisa juga berarti perusahaan sedang melepas aset tetapnya sekarang yang di periode berikutnya diikuti dengan pembelian aset tetap lainnya. Kondisi yang terakhir ini terjadi pada perusahaan yang sedang berganti jenis usaha. Sementara untuk arus kas pendanaan (P) tidak mempunyai pola tertentu. Arus kas pendanaan sulit untuk dipastikan apakah arus kasnya akan positif atau negatif. Akhir-akhir ini, perhatian terhadap arus kas semakin tinggi, baik dalam analisis laporan keuangan maupun analisis yang lebih mendalam, seperti evaluasi perusahaan. Informasi arus kas dapat digunakan untuk menilai kualitas laba, fleksibilitas keuangan, dan membantu dalam 16 peramalan arus kas. Informasi arus kas juga memberikan indikasi likuiditas suatu entitas yang lebih baik, karena tidak ada hal yang lebih likuid selain kas. Apabila rasio arus kas dapat digunakan sebagai ukuran likuiditas, tentunya rasio arus kas dapat memprediksi kegagalan keuangan dan pada akhirnya, kebangkrutan. Hal ini dipertegas dengan penelitian yang dilakukan oleh Kordestani et. al. (2011) dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi arus kas, baik dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan dapat menyediakan informasi yang signifikan dalam memprediksi kondisi financial distress suatu perusahaan. Wild, Larsson, dan Chiapetta (2005: 510) mengkategorikan rasio arus kas yaitu: a. Cash Flow To Total Asset Rasio ini merefleksikan actual cash flow dan tidak dipengaruhi oleh akun pengukuran dan pengakuan pendapatan. Rasio ini dapat membantu dalam pengambilan keputusan bisnis untuk mengestimasi jumlah dan waktu aliran kas pada saat merencanakan dan menganalisis arus kas dari aktivitas operasi b. Cash Coverage Of Growth Rasio ini menunjukkan perbandingan antara arus kas dari aktivitas operasi dengan aliran kas keluar untuk investasi pada aset tetap. Jika rasio ini kurang dari satu berdampak ketidakcukupan kas dalam menutup pertumbuhan aset. c. Operating Cash Flow To Sales Rasio ini menunjukkan perbandingan antara arus kas dari aktivitas operasi terhadap penjualan bersih perusahaan. 2.1.4 Rasio Arus Kas 2.1.4.1 Rasio Arus Kas dari Aktivitas Operasi a. Operating Cash Index Ratio 17 Rasio ini membantu investor dan kreditor saat ini atau potensial dalam mengevaluasi "kualitas" dari laba perusahaan. Rasio ini juga menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kas internal dari operasi yang sedang berjalan. Rasio ini memberikan indikasi yang lebih realistis dari tingkat penyimpangan antara arus kas operasi dan laba yang dilaporkan. Umumnya, semakin tinggi rasio ini, semakin baik kualitas laba. Rumus untuk menghitung operating cash index ratio adalah: b. Cash Flow From Operation/Current Liabilities Rasio ini merupakan indikator yang lebih baik dalam mengukur kemampuan perusahaan yang sebenarnya dalam memenuhi kewajiban lancar daripada yang lebih sering kita kenal, seperti rasio lancar dan rasio cepat. Rasio ini memberikan indikasi kemampuan perusahaan untuk membayar hutang dan kewajiban yang jatuh tempo dalam satu tahun. Dengan demikian, saat ini rasio cakupan kewajiban adalah pengukuran likuiditas berdasarkan perbandingan arus kas operasi dengan waktu jatuh tempo suatu kewajiban. Apabila suatu perusahaan tidak cukup menghasilkan kas dari operasi untuk 18 memenuhi kewajibannya, diperlukan sumber pendanaan lain yang mungkin meningkatkan risiko default atau kebangkrutan. Dengan demikian, semakin tinggi rasio ini, kemungkinan perusahaan mengalami financial distress semakin rendah. Rumus untuk menghitung Cash Flow From Operation/Current Liabilities adalah: c. Asset Efficiency Ratio Rasio ini memberikan indikasi seberapa baik aset perusahaan dimanfaatkan untuk menghasilkan kembali arus kas. Secara umum, semakin tinggi rasio, semakin besar efisiensi penggunaan aset dan posisi keuangan perusahaan yang lebih baik. Dengan demikian, semakin tinggi asset efficiency ratio, maka semakin rendah kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Rumus untuk menghitung asset efficiency ratio adalah: 2.1.4.2 Rasio Arus Kas dari Aktivitas Investasi a. Investment in Property, Plant, and Equipment/Property, Plant, and Equipment Rasio ini menunjukkan perbandingan besarnya investasi aktiva tetap dengan total aktiva tetap yang 19 dimiliki oleh perusahaan. Rasio ini menunjukkan seberapa besar perusahaan mampu melakukan investasi dalam bentuk aktiva tetap. Dalam Koedestani et.al (2011) diperoleh hasil penelitian bahwa arus kas investasi yang negatif dapat digunakan untuk memprediksi financial distress perusahaan, dimana arus kas investasi yang negatif menunjukkan perusahaan yang sehat. Rumus untuk menghitung rasio ini adalah: b. Investment in Property, Plant, and Equipment/Total Use of Fund Rasio ini menunjukkan perbandingan antara investasi aktiva tetap dengan total penggunaan dana. Rumus untuk menghitung rasio ini adalah: 2.1.4.3 Rasio Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan a. Debt Investment/Total Source of Fund Rasio ini menunjukkan perbandingan antara perolehan hutang dengan total sumber dana. Semakin rendah rasio ini, maka semakin tinggi probabilitas perusahaan mengalami financial distress. Hal ini disebabkan karena perolehan hutang yang diperoleh 20 perusahaan tidak diimbangi dengan total sumber dana perusahaan sehingga kemungkinan perusahaan mengalami masalah keuangan. Rumus untuk menghitung rasio ini adalah: b. Net Debt/Total Source of Fund Rasio ini menunjukkan perbandingan antara hutang bersih dengan total sumber dana perusahaan. Net Debt sering digunakan sebagai ukuran bagi para investor untuk mengetahui posisi hutang sebenarnya. Net Debt dihitung dengan rumus short term liabilities+long term liabilities– cash and cash equivalent. Rumus untuk menghitung rasio ini adalah: 2.1.5 Altman Z-Score Z-Score dikembangkan pada tahun 1968 oleh Edward I. Altman , Asisten Profesor Keuangan di New York University, sebagai metode neraca kuantitatif menentukan kesehatan keuangan suatu perusahaan. Dalam penelitiannya yang pertama pada September 1986 dengan judul penelitian Financial Ratios, Discriminant Analysis And The Prediction Of Corporate Bankruptcy, beliau merupakan orang pertama yang menerapkan Multiple 21 Discriminant Analysis (MDA). Analisa diskriminan ini merupakan suatu teknik statistik yang mengidentifikasikan beberapa jenis rasio keuangan yang dianggap memiliki nilai paling penting dalam mempengaruhi suatu kejadian, lalu mengembangkannya dalam suatu model dengan maksud untuk memudahkan menarik kesimpulan dari suatu kejadian. Model Altman Z-Score dapat mengklasifikasikan perusahaan ke dalam kelompok yang mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk bangkrut atau kelompok perusahaan yang memiliki kemungkinan bangkrut yang rendah. Rumus Altman Z-Score mengalami beberapa perubahan, yaitu: 1. Untuk perusahaan manufaktur yang telah go public Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 0,999 X5 Keterangan: Z = bankrupcy index X1 = working capital / total asset X2 = retained earnings / total asset X3 = earning before interest and taxes/total asset X4 = market value of equity / book value of total debt X5 = sales / total asset 2. Untuk perusahaan pribadi Terdapat perubahan pada nilai X4 di mana X4 = book value of equity/liabilities Z-Score = 0.717 X1 + 0.847 X2 + 3.107 X3 + 0.420 X4 + 0.998 X5 22 3. Untuk perusahaan non-manufaktur Altman mengeliminasi variable X5 (sales/total asset) karena rasio ini sangat bervariatif pada industri dengan ukuran asset yang berbeda- beda. Z-Score = 6.56 X1 + 3.26 X2 + 6.72 X3 + 1.05 X4 Berdasarkan hasil penelitian Altman, perusahaan dikelompokkan menjadi tiga kategori: a. Jika nilai Z < 1.8 maka termasuk perusahaan yang bangkrut. b. Jika nilai 1.8 < Z < 2.99 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). c. Jika nilai Z > 2.99 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut. Dengan adanya model Altman Z-Score ini, tidak dipungkiri penelitian mengenai kebangkrutan sering dilakukan untuk menganalisis apakah model Altman Z-Score dapat diterapkan pada setiap perusahaan. Hasibuan (2010) melakukan penelitian dengan judul “Analisa Model Altman Z-Score untuk Memprediksi Gejala Financial Distress pada Perusahaan Tekstil dan Garment yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Alltman Z-Score dapat diimplementasikan dalam mendeteksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan tekstil dan garment. Hasil penelitian yang sama ditemukan 23 oleh penelitian Saragih (2011) yang menggunakan objek penelitian perusahaan farmasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Selain penelitian mengenai implementasi model Altman Z-Score pada masing-masing perusahaan, penelitian yang membandingkan Model Altman Z-Score dengan model kebangkrutan lainnya juga dilakukan. Darwis (2013) melakukan penelitian dengan membandingkan Model Altman ZScore dengan Model Springate untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil perhitungan Model Altman Z-Score dengan Model Springate dan model mana yang lebih akurat dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan manufaktur makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2009-2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil analisis kebangkrutan Model Altman Z-Score dan Model Springate, dimana model Altman Z-Score lebih akurat daripada model Springate dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan. 2.1.6 Financial distress 2.1.6.1 Pengertian Financial Distress Financial distress pada dasarnya sukar untuk didefinisikan secara tepat. Hal ini disebabkan oleh bermacam-macam kejadian kejatuhan perusahaan pada saat financial distress. Peristiwa kejatuhan perusahaan yang disebabkan financial distress hampir tidak ada akhirnya, seperti berikut ini: terjadinya pengurangan 24 dividen, penutupan perusahaan, kerugian-kerugian, pemecatan, pengunduran diri direksi, dan jatuhnya harga saham (Rodoni, 2014). Financial distress atau sering disebut dengan kesulitan keuangan, terjadi sebelum suatu perusahaan benar-benar mengalami kebangkrutan. Financial distress merupakan suatu kondisi dimana keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau krisis. Financial distress didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi (Platt dan Platt, 2002). Financial distress merupakan tahapan sebelum kebangkrutan. Tahapan dari kebangkrutan (stages of bankruptcy) dijabarkan sebagai berikut (Kordestani et. al., 2011): a. Latency. Pada tahap latency, Return on Assets (ROA) akan mengalami penurunan. b. Shortage of Cash. Dalam tahap kekurangan kas, perusahaan tidak memiliki cukup sumber daya kas untuk memenuhi kewajiban saat ini, meskipun masih mungkin memiliki tingkat profitabilitas yang kuat. c. Financial Distress. Kesulitan keuangan dapat dianggap sebagai keadaan darurat keuangan, dimana kondisi ini mendekati kebangkrutan. d. Bankruptcy. Jika perusahaan tidak dapat menyembuhkan gejala kesulitan keuangan (financial distress), maka perusahaan akan bangkrut. Financial distress bisa terjadi pada berbagai perusahaan dan dapat berperan sebagai early warning system bagi perusahaan. Jika perusahaan sudah memasuki tahapan financial distress, maka manajemen harus berhati-hati karena apabila secara berkelanjutan tetap dalam posisi financial distress, tidak dapat dipungkiri apabila 25 perusahaan berpindah ke tahap kebangkrutan. Manajemen dari perusahaan yang mengalami financial distress harus melakukan tindakan untuk mengatasi masalah keuangan tersebut dalam rangka mencegah terjadinya kebangkrutan. Dengan demikian, model financial distress perlu untuk dikembangkan, karena dengan mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini, diharapkan perusahaan dapat melakukan tindakan-tindakan ataupun kebijakan yang mampu mengantisipasi kondisi yang mengarah kepada kebangkrutan. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan suatu perusahaan mengalami kondisi financial distress atau tidak. Mengacu pada penelitian terdahulu mengenai prediksi kondisi financial distress, terdapat perbedaan dalam hal pengelompokkan perusahaan yang mengalami financial distress. Elloumi dan Gueyie (2001), mengkategorikan suatu perusahaan sedang mengalami financial distress jika perusahaan tersebut selama dua tahun berturut-turut mempunyai laba bersih negatif. Almilia dan Kristijadi (2003) menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami financial distress adalah perusahaan yang selama beberapa tahun mengalami laba bersih operasi (net operation income) negatif dan selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen. Brahmana (2007) mengkategorikan suatu perusahaan dikatakan mengalami financial distress adalah jika 26 perusahaan tersebut memiliki kinerja yang menunjukkan laba operasinya negatif, laba bersih negatif, nilai buku ekuitas negatif, dan perusahaan yang melakukan merger. Hardiyanti (2012) mengkategorikan suatu perusahaan dikatakan mengalami financial distress apabila (a) selama 2 tahun berturut-turut mengalami laba operasi negatif, (b) selama 2 tahun berturut-turut mengalami laba bersih negatif, (c) selama 2 tahun berturut-turut memiliki EPS (Earning per Share) negatif. Hidayat (2013) mengkategorikan suatu perusahaan dianggap sedang mengalami financial distress jika mempunyai interest coverage ratio yang kurang dari 1. Fenomena lain dari financial distress adalah banyaknya perusahaan yang likuiditas, dimana cenderung mengalami kesulitan ditunjukkan dengan semakin turunnya kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangannya kepada kreditur (Hanifah, 2013). 2.1.6.2 Penyebab Terjadinya Financial Distress Menurut Fahmi (2012: 105) penyebab terjadinya financial distress adalah: “Dimulai dari ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya, terutama kewajiban yang bersifat jangka pendek termasuk kewajiban likuiditas dan juga termasuk kewajiban dalam kategori solvabilitas. Permasalahan terjadinya insolvency bisa timbul karena faktor berawal dari kesulitan likuiditas. Ketidakmampuan tersebut dapat ditunjukan dengan 2 (dua) metode, yaitu Stock-based insolvency dan Flowbased insolvency. Stock-based insolvency adalah 27 kondisi yang menunjukkan suatu kondisi ekuitas negatif dari neraca perusahaan (negative net wort), sedangkan Flow-based insolvency ditunjukkan oleh kondisi arus kas operasi (operating cash flow) yang tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban lancar perusahaan.” Fachrudin (2008: 6) mengelompokkan penyebab-penyebab kesulitan keuangan sebagai berikut: 1. 2. 3. Neoclassical model, kebangkrutan terjadi jika alokasi sumber daya tidak tepat. Prediksi kesulitan keuangan dilakukan dengan menggunakan data neraca dan laporan laba rugi. Misalnya ukuran profitabilitas berupa return on assets dan ukuran solvabilitas berupa debt to assets ratio. Financial model, bauran aktiva benar tapi struktur keuangan salah dan dihadapkan pada batasan likuiditas. Hal ini berarti bahwa walaupun perusahaan dapat bertahan hidup dalam jangka panjang tapi ia harus bangkrut juga dalam jangka pendek. Hubungan dengan pasar modal yang tidak sempurna dan struktur modal yang inherited menjadi pemicu utama kasus ini. Prediksi kesulitan keuangan dilakukan dengan menggunakan indikator keuangan atau indikator kinerja seperti turnover/total assets, revenues/turnover, ROA, ROE, dan profit margin. Corporate Governance Model, kebangkrutan disebabkan bauran aktiva dan struktur keuangan yang benar tapi dikelola dengan buruk. Ketidakefisienan ini mendorong perusahaan menjadi out of the market sebagai konsekuensi dari masalah dalam tata kelola perusahaan yang tak terpecahkan. Prediksi kesulitan keuangan dilakukan dengan menggunakan informasi kepemilikan. Kepemilikan berhubungan dengan struktur tata kelola perusahaan dan goodwill perusahaan. 2.1.6.3 Manfaat Melakukan Prediksi Financial Distress Prediksi financial distress ini tidak hanya penting dari sisi perusahaan, tetapi juga dari berbagai pihak. Hal ini menjadi perhatian bagi berbagai pihak karena dengan mengetahui kondisi 28 perusahaan yang mengalami financial distress, maka dapat diambil suatu keputusan atau tindakan untuk memperbaiki keadaan tersebut ataupun untuk menghindari masalah. Berbagai pihak yang berkepentingan dalam hal prediksi atas kemungkinan terjadinya financial distress adalah (Almilia dan Kristijadi, 2003): a. Pemberi Pinjaman atau Kreditor. Institusi pemberi pinjaman memprediksi financial distress dalam memutuskan apakah akan memberikan pinjaman dan menentukan kebijakan mengawasi pinjaman yang telah diberikan pada perusahaan. Selain itu juga digunakan untuk menilai kemungkinan masalah suatu perusahaan dalam melakukan pembayaran kembali pokok dan bunga. b. Investor. Model prediksi financial distress dapat membantu investor ketika akan memutuskan untuk berinvestasi pada suatu perusahaan. c. Pembuat Peraturan atau Badan Regulator. Badan regulator mempunyai tanggung jawab mengawasi kesanggupan membayar hutang dan menstabilkan perusahaan individu. Hal ini menyebabkan perlunya suatu model untuk mengetahui kesanggupan perusahaan membayar hutang dan menilai stabilitas perusahaan. d. Pemerintah. Prediksi financial distress penting bagi pemerintah dalam melakukan antitrust regulation. e. Auditor. Model prediksi financial distress dapat menjadi alat yang berguna bagi auditor dalam membuat penilaian going concern perusahaan. Pada tahap penyelesaian audit, auditor harus membuat penilaian tentang going concern perusahaan. Jika ternyata perusahaan diragukan going concern-nya, maka auditor akan memberikan opini wajar tanpa pengeculian dengan paragraf penjelas atau bisa juga memberikan opini disclaimer (atau menolak memberikan pendapat). f. Manajemen. Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka perusahaan akan menanggung biaya langsung (fee akuntan dan pengacara) dan biaya tidak langsung (kerugian penjualan atau kerugian paksaan akibat ketetapan pengadilan). Oleh karena itu, manajemen harus melakukan prediksi financial distress dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk dapat 29 mengatasi kesulitan keuangan yang terjadi dan mencegah kebangkrutan pada perusahaan. 2.1.7 Rasio Arus Kas Sebagai Alat Untuk Memprediksi Financial Distress Kebanyakan rasio keuangan yang dihitung hanya terfokus pada data yang terdapat di neraca dan laporan laba rugi. Hal ini sangat disayangkan mengingat bahwa laporan arus kas (statement of cash flow) juga dapat memberikan informasi yang berguna dalam hal analisis rasio. Rasio yang diperoleh dari neraca hanya dapat memberikan informasi dari perspektif date-in-time, sedangkan laporan arus kas merepresentasikan aktivitas untuk jangka waktu terus menerus. Laporan laba rugi memberikan informasi mengenai hasil usaha suatu entitas untuk periode waktu tertentu, namun tidak mengungkapkan perubahan penting lainnya yang dihasilkan dari aktivitas pembiayaan dan investasi. Laporan arus kas melengkapi neraca dan laporan laba rugi dengan memberikan informasi tambahan mengenai kemampuan organisasi untuk beroperasi secara efisien, untuk membiayai pertumbuhan, dan membayar kewajibannya. Laporan arus kas dapat digunakan dalam hal untuk memprediksi financial distress suatu perusahaan. Faktor penting dalam memprediksi financial distress suatu perusahaan adalah posisi dari kas karena cash flow memberikan peramalan kondisi keuangan yang lebih akurat. Oleh karena itu, informasi yang terdapat dalam cash flow dijadikan sebagai indikator yang lebih akurat dalam mendeteksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan (Soo Wah Low et. al, 2001). 30 Analisis rasio arus kas mengungkapkan bahwa informasi arus kas memiliki explanatory power, yang artinya informasi yang terdapat pada laporan arus mampu menjelaskan secara rinci keseluruhan aktivitas perusahaan. Informasi arus kas yang diperoleh dari laporan arus kas mampu menguraikan hubungan umum antara entitas gagal dan non-gagal. Semakin tinggi rasio yang dihitung dari laporan arus kas, semakin rendah kemungkinan terjadinya kegagalan atau financial distress (Leonie Jooste, 2007). 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu yang berhasil ditemukan yang meneliti prediksi kondisi financial distress dengan menggunakan beberapa indikator yang berbeda. Berikut ini rincian peneliti terdahulu. Tabel 2.1 Tinjauan Peneliti Terdahulu Peneliti Almilia (2006) Judul Penelitian Prediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Go Public dengan Menggunakan Analisis Multinomial Logit Variabel Variabel dependen: Financial distress Variabel independen: Rasio keuangan yang berasal dari neraca dan laporan laba rugi berupa: Net Income(NI)/S; CA/CL; Working Capital/TA; CA/TA; NFA/TA; S/TA; S/CA; S/WC; NI/TA; NI/EQ; TL/TA; NP/TA; NP/TL; EQ/TA; Cash/CL; Cash/TA; Sales Growth Rate; Hasil Model regresi logistik yang dihasilkan dan kekuatan prediksi perusahaan financial distress dan non financial distress: 1) Dengan menggunakan rasio-rasio keuangan laporan neraca dan laba rugi hanya terdiri dari satu prediktor yang berpengaruh signifikan yaitu TL/TA dengan ketepatan prediksi model yang dihasilkan sebesar 79% yang terdiri dari 39,3 ketepatan memprediksi 31 Growth of NI/TA; Rasio keuangan yang berasal dari laporan arus kas Yulian (2010) Hidayat (2013) Analisis Rasio Keuangan Untuk Memprediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Dengan Menggunakan Regresi Logistik Variabel dependen: Financial distress Variabel independen: 1) Rasio likuiditas (Current Ratio, Quick ratio) 2) Rasio aktivitas (Receivable turnover, total asset turnover) 3) Rasio profitabilitas (return on sales, return on asset) 4) Rasio solvabilitas (Debt to total capital, times interest earned) 5) Rasio arus kas (Cash flow adequacy, Cash flow to sales, Cash flow per share, Cash flow return on equity) Prediksi Variabel dependen: Financial Financial distress Distress Variabel independen: Perusahaan 1) Rasio leverage Manufaktur Di (Total Debt to Asset perusahaan FD dan 81,3% ketepatan memprediksi perusahaan NFD; 2) Dengan menggunakan rasio-rasio keuangan laporan kas hanya terdiri dari satu prediktor yang berpengaruh signifikan yaitu CFFO/CL dengan ketepatan prediksi model yang dihasilkan sebesar 58% yang terdiri dari 3,6% ketepatan memprediksi perusahaan FD dan 60,4% ketepatan memprediksi perusahaan NFD; Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan rasio profitabilitas, financial leverage, likuiditas, aktivitas, dan arus kas antara perusahaan yang mengalami financial distress dengan perusahaan yang tidak mengalami financial distress. Penelitian ini juga menghasilkan kesimpulan bahwa rasio keuangan profit margin, ROA, net working capital to total assets ratio, sales to assets ratio, CFTS, dan CFTL merupakan variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap peluang terjadinya financial distress. Melalui uji regresi logistik , hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio leverage (total debt to assets ratio), rasio 32 Indonesia 2.3 Ratio) 2) Rasio likuiditas (Current Ratio) 3) Rasio aktivitas (Total Asset Turnover Ratio) 4) Rasio profitabilitas (Return on Asset) likuiditas (current ratio), rasio aktivitas (total assets turnover ratio) merupakan financial ratios yang paling signifikan dalam memprediksi terjadinya financial distress di suatu perusahaan, sedangkan rasio profitabilitas (return on asset) merupakan satusatunya financial ratios yang tidak signifikan dalam mempengaruhi financial distress di suatu perusahaan. Kerangka Konseptual Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka dapat disajikan kerangka konseptual untuk menggambarkan hubungan dari variabel independen, dalam hal ini adalah rasio arus kas dari aktivitas operasi, rasio arus kas dari aktivitas investasi, dan rasio arus kas dari aktivitas pendanaan terhadap variabel dependen yaitu financial distress. Adapun kerangka konseptual yang menggambarkan hubungan tersebut adalah sebagai berikut: 33 Variabel Dependen Variabel Independen Rasio arus kas dari aktivitas operasi H1 Rasio arus kas dari H2 Financial distress aktivitas investasi H3 Rasio arus kas dari aktivitas pendanaan H4 Gambar 2.1 Kerangka konseptual Arus kas dari aktivitas operasi suatu perusahaan yang normal biasanya positif yang berarti perusahaan memilik kas masuk dari aktivitas operasi yang lebih besar dibandingkan kas keluar dari aktivitas operasi. Arus kas operasi yang negatif menunjukkan ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan kasnya untuk menutupi pengeluaran operasional sehingga kemungkinan perusahaan mengalami financial distress tidak dapat dihindari. Rasio arus kas yang digunakan adalah CFFO/NI, CFFO/TA, dan CFFO/CL. Dimana semakin tinggi ketiga rasio tersebut, maka semakin rendah kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Arus kas dari aktivitas investasi menyangkut aset tetap. Perusahaan cenderung memiliki arus kas dari aktivitas investasi yang negatif dimana kas perusahaan digunakan untuk membiayai aset tetap yang baru. Arus kas investasi yang negatif bukan berarti bahwa perusahaan sedang dalam kondisi yang buruk. 34 Perusahaan yang mampu untuk membiayai aset tetap baru untuk kegiatan operasional perusahaan dikategorikan masih sehat. Rasio arus kas dari aktivitas investasi yang digunakan adalah IPPE/PPE dan IPPE/TU. Rasio arus kas dari aktivitas pendanaan yang digunakan adalah Debt Investment/Total source of fund dan Net Debt/Total Source of Fund (ND/TS). Semakin rendah rasio DI/TS, maka semakin besar kemungkinan perusahaan berada dalam kondisi financial distress karena pendanaan perusahaan kebanyakan didanai dari hutang. Sebaliknya, semakin tinggi rasio ND/TS, maka semakin tinggi pula kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. 2.4 Perumusan Hipotesis Penelitian 1. Keterkaitan rasio arus kas dari aktivitas operasi terhadap prediksi terjadinya financial distress Aktivitas operasi merupakan hal yang vital bagi suatu perusahaan. Aktivitas operasi merupakan inti dari perusahaan dan merupakan alasan utama mengapa perusahaan tetap eksis di dunia perekonomian (Frank R). Karena arus kas dari aktivitas operasi merupakan kegiatan penghasil utama bagi suatu perusahaan, perusahaan bisa saja bangkrut apabila tidak mampu memperoleh kas dari kegiatan operasi perusahaan untuk membiayai kewajibannya (Leoni, 2007). Dalam penelitian Kordestani (2011), apabila perusahaan dalam kondisi arus kas dari aktivitas operasi yang negatif, arus kas dari aktivitas investasi dan pendanaan yang positif, maka kemungkinan perusahaan 35 sedang mengalami kondisi financial distress lebih besar daripada kemungkinan perusahaan tetap dalam kondisi yang sehat. Berdasarkan analisis di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut: H1 = Rasio arus kas dari aktivitas operasi berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress H1a = CFFO/NI berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress H1b = CFFO/CL berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress H1c = CFFO/TA berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress 2. Keterkaitan rasio arus kas dari aktivitas investasi terhadap prediksi terjadinya financial distress Selain aktivitas operasi yang menjadi titik fokus dalam laporan arus kas, aktivitas investasi dalam suatu perusahaan juga merupakan hal yang menjadi perhatian dalam memprediksi terjadinya financial distress. Aktivitas perusahaan tidak luput dari kegitan investasi terutama pada aset tetap yang digunakan untuk mendukung kegiatan operasional perusahaan. Walaupun laporan arus kas perusahaan dari aktivitas investasi bernilai negatif, kemungkinan perusahaan dalam kondisi sehat lebih besar daripada kemungkinan perusahaan mengalami financial distress dengan syarat aliran kas dari aktivitas operasi dan pendanaan 36 perusahaan bernilai positif (Kordestani, 2011). Berdasarkan analisis di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut: H2 = Rasio arus kas dari aktivitas investasi berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress H2a = IPPE/PPE berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress H2b = IPPE/TU berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress 3. Keterkaitan rasio arus kas dari aktivitas pendanaan terhadap prediksi terjadinya financial distress Apabila perusahaan menghadapi kesulitan keuangan, tidak dapat dipungkiri jika perusahaan melakukan pembiayaan perusahaan dari pihak lain seperti pinjaman. Walaupun perusahaan sedang mengalami cash inflow yang negatif dari aktivitas operasi, dengan memperoleh pembiayaan melalui pinjaman, manajemen perusahaan akan melakukan investasi dalam beberapa peluang yang ada. Namun, dikarenakan tingkat leverage yang cukup tinggi dan kewajiban untuk membayar pokok pinjaman beserta bunganya, perusahaan akan menghadapi tantangan dalam keuangannya yang akhirnya membawa perusahaan menghadapi kondisi financial distress. Berdasarkan analisis di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut: H3 = Rasio arus kas dari aktivitas pendanaan berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress 37 H3a = DI/TS berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress H3b= ND/TS berpengaruh terhadap prediksi terjadinya financial distress H4 = Rasio arus kas dari aktivitas operasi, aktivitas investasi, dan aktivitas pendanaan berpengaruh secara simultan terhadap prediksi terjadinya financial distress 38