9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Laporan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1
Laporan Keuangan
2.1.1.1 Pengertian Laporan Keuangan
Laporan keuangan disusun oleh setiap perusahaan dengan
berpedoman pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Menurut
PSAK No.1 Paragraf ke 7 (Revisi 2009), “ Laporan Keuangan adalah
suatu penyajian terstuktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan
suatu entitas”.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya
laporan keuangan merupakan hasil akhir atau output dari proses
akuntansi yang dapat digunakan oleh para pemakai laporan keuangan
untuk memperoleh informasi mengenai kondisi perusahaan secara
keseluruhan. Laporan keuangan digunakan sebagai dasar ataupun
bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan.
Laporan keuangan dikatakan lengkap apabila memiliki
beberapa komponen. Menurut PSAK No. 01 (revisi 2013),
“Komponen laporan keuangan terdiri dari laporan posisi keuangan,
laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain, laporan
perubahan ekuitas, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan,
dan informasi komparatif”. Berbeda dengan komponen laporan
9
keuangan menurut PSAK No.1 2009 yang hanya terdiri dari laporan
posisi keuangan, laporan laba rugi komprehensif, laporan perubahan
ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.
2.1.1.2 Tujuan Laporan Keuangan
Menurut PSAK No.1 Paragraf ke 7 (Revisi 2009), “ Tujuan
laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi
keuangan, kinerja keuangan dan arus kas entitas yang bermanfaat
bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan
keputusan ekonomi”. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil
pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang
dipercayakan kepada mereka. Menurut PSAK No.1 Paragraf ke 7
(Revisi 2009), “ Dalam rangka mencapai tujuan laporan keuangan,
laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang
meliputi: aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan dan beban termasuk
keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan distribusi kepada
pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik dan arus kas”.
Pada hakekatnya laporan keuangan dibuat oleh pihak
manajemen
perusahaan
secara
berkala
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban kepada pihak yang berkepentingan. Namun,
data dari laporan keuangan tersebut tidak berarti apa-apa apabila
tidak dianalisis dalam proses pengambilan keputusan. Data pada
laporan keuangan akan menjadi informasi yang efektif apabila
10
mampu dianalisis dan diolah secara tepat sesuai dengan informasi
yang dibutuhkan oleh pihak yang berkepentingan.
2.1.2
Laporan Arus Kas
2.1.2.1 Pengertian Laporan Arus Kas
Laporan arus kas merupakan salah satu laporan keuangan
utama selain laporan laba/rugi dan neraca. Laporan arus kas
melaporkan
transaksi-transaksi
atau
kejadian-kejadian
selama
periode tertentu dari segi pengaruhnya terhadap kas. Kieso, et all
(2008) mengemukakan bahwa “Laporan arus kas melaporkan
penerimaan kas, pembayaran kas dan perubahan bersih pada kas
yang berasal dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan dari
suatu perusahaan selama suatu periode dalam suatu format
merekomendasikan saldo kas awal dan akhir”.
Menurut Brigham & Houston (2009: 59), laporan arus kas
adalah laporan yang melaporkan dampak dari aktvitivas-aktivitas
operasi, investasi, dan pendanaan oleh perusahaan pada arus kas
selama satu periode akuntansi.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, pada dasarnya
laporan arus kas menyajikan secara rinci mengenai pemasukan
maupun pengeluaran suatu perusahaan dalam suatu periode tertentu.
Laporan ini tidaklah mengandung semua transaksi atau rekening
yang tidak tercermin dalam neraca atau laba rugi. Sebaliknya,
laporan arus kas melaporkan transaksi-transaksi atau kejadian-
11
kejadian selama periode tersebut dari segi pengaruhnya terhadap kas.
Laporan arus kas menyediakan informasi penting dari perspektif
dasar tunai (cash basis) yang melengkapi laporan laba rugi dan
neraca, sehingga menggambarkan lebih lengkap kegiatan-kegiatan
usaha dan posisi keuangan perusahaan.
2.1.2.2 Tujuan Laporan Arus Kas
Arus kas merupakan hal vital bagi perusahaan karena tidak
dapat dipungkiri perusahaan membutuhkan kas dalam menjalankan
segala aktivitas. Laporan arus kas memberikan informasi mengenai
arus kas suatu perusahaan. Tujuan utama laporan arus kas adalah
menyediakan informasi yang relevan mengenai penerimaan dan
pembayaran kas sebuah perusahaan selama suatu periode.
Menurut PSAK No. 02 (revisi 2009) alinea 04 dan 05,
kegunaan informasi arus kas:
Informasi arus kas berguna untuk menilai kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara kas dan
memungkinkan para pemakai mengembangkan model untuk
menilai dan membandingkan nilai sekarang dari arus kas
masa depan (future cash flows) dari berbagai perusahaan.
Informasi tersebut juga meningkatkan daya banding
pelaporan kinerja operasi berbagai perusahaan karena dapat
meniadakan pengaruh penggunaan perlakuan akuntansi yang
berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama.
Informasi arus kas historis sering digunakan sebagai
indikator dari jumlah, waktu, dan kepastian arus kas masa
depan. Disamping itu, informasi arus kas juga berguna untuk
meneliti kecermatan dari taksiran arus kas masa depan yang
telah dibuat sebelumnya dan dalam menentukan hubungan
antara profitabilitas dan arus kas bersih serta dampak
perubahan harga.
12
Gambaran
menyeluruh
mengenai
penerimaan
dan
pengeluaran kas hanya dapat diperoleh dari laporan arus kas. Setiap
transaksi yang menyangkut dengan kas diuraikan secara terperinci
dalam laporan arus kas. Namun, bukan berarti laporan arus kas
menggantikan
neraca
ataupun
laba
rugi,
melainkan
saling
melengkapi sehingga keputusan yang diambil oleh pihak yang
berkepentingan sesuai dengan kondisi keuangan perusahaan secara
keseluruhan.
2.1.2.3 Manfaat Laporan Arus Kas
Laporan keuangan yang disusun oleh suatu entitas tentunya
memiliki manfaat dan bukan hanya sekedar hasil output dari proses
akuntansi. Laporan keuangan yang disusun memiliki manfaat
tersendiri bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Seperti halnya
laporan arus kas. Penyusunan laporan arus kas tidak hanya
bermanfaat bagi pihak internal perusahaan, tetapi juga pihak
eksternal perusahaan sebagaimana yang tercantum di PSAK No. 02
(revisi 2009) alinea 04 berikut ini:
Informasi tentang arus kas suatu perusahaan berguna bagi
para pemakai laporan keuangan sebagai dasar untuk menilai
kemampuan perusahaan untuk menggunakan arus kas
tersebut. Dalam proses pengambilan keputusan ekonomi,
para pemakai perlu melakukan evaluasi terhadap
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas dan setara
kas serta kepastian perolehannya. Jika digunakan dalam
kaitannya dengan laporan keuangan yang lain, laporan arus
kas dapat memberikan informasi yang memungkinkan para
pemakai untuk mengevaluasi perubahan dalam aktiva bersih
perusahaan, struktur keuangan (termasuk likuiditas dan
13
solvabilitas) dan kemampuan untuk mempengaruhi jumlah
serta waktu arus kas dalam rangka adaptasi dengan
perubahan keadaan dan peluang.
2.1.3
Analisis Laporan Arus Kas
Informasi mengenai kinerja suatu perusahaan memang dapat
diperoleh dengan membaca dan menganalisis laporan keuangan, namun
dalam laporan arus kaslah terangkum segala transaksi yang mempengaruhi
kas. Setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dikelompokkan dan
diperinci dengan detail dalam laporan arus kas. Namun, angka-angka dalam
laporan arus kas tidak akan berarti apa-apa apabila tidak dianalisis sesuai
dengan kebutuhan perusahaan. Data yang terdapat dalam laporan arus kas
akan menjadi informasi yang berguna dan bermanfaat bagi pihak yang
berkepentingan apabila data yang terdapat dalam laporan arus kas dapat
dianalisis dan diinterpretasikan sehingga laporan arus kas dapat digunakan
dalam pengambilan keputusan perusahaan.
Perusahaan dapat menyajikan laporan arus kas dengan menggunakan
dua metode, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Secara
umum, laporan arus kas yang dihasilkan dari kedua metode tersebut hampir
sama. Tidak ada perbedaan penyajian pada aktivitas arus kas untuk bagian
investasi dan pendanaan baik dengan menggunakan metode langsung
maupun tidak langsung.
Perbedaan metode ini hanya terletak pada pelaporan aktivitas dari
operasi dimana pada metode langsung, aktivitas operasi dikelompokkan
dalam
penerimaan
dari
pelanggan,
pembayaran
kepada
pemasok,
14
pembayaran gaji karyawan, dll, sedangkan pada metode tidak langsung,
aktivitas operasi mencantumkan seluruh kegiatan, baik yang menaikkan
ataupun menurunkan kas dari aktivitas operasi. Entitas dianjurkan untuk
melaporkan arus kas dari aktivitas operasi dengan menggunakan metode
langsung. Metode ini menghasilkan informasi yang berguna dalam
mengestimasi arus kas masa depan yang tidak dapat dihasilkan dengan
metode tidak langsung (PSAK No. 02).
Laporan arus kas dikelompokkan ke dalam tiga aktivitas utama.
Menurut PSAK No. 02 (revisi 2009), aktivitas yang dilakukan oleh
perusahaan dikelompokkan ke dalam tiga aktivitas utama, yaitu:
1. Aktivitas Operasi (Operating Activities)
Aktivitas operasi adalah aktivitas penghasil utama pendapatan
entitas (principal revenue-producing activities) dan aktivitas lain
yang bukan merupakan aktivitas investasi dan aktivitas
pendanaan. Jumlah arus kas yang berasal dari aktivitas operasi
merupakan indikator utama untuk menentukan apakah operasi
entitas dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi
pinjaman, memelihara kemampuan operasi entitas, membayar
dividen, dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan
sumber pendanaan dari luar.
2. Aktivitas Investasi (Investing Activities)
Aktivitas investasi adalah perolehan dan pelepasan aset jangka
panjang serta investasi lain yang tidak termasuk setara kas.
3. Aktivitas Pendanaan (Financing Activities)
Aktivitas pendanaan adalah aktivitas yang mengakibatkan
perubahan dalam jumlah serta komposisi kontribusi modal dan
pinjaman entitas.
Analisis laporan arus kas dilakukan untuk mengetahui bagaimana
perputaran kas dilakukan oleh perusahaan, terutama mengenai penerimaan
yang diperoleh dan pengeluaran yang terjadi selama periode tertentu.
Sebelum menganalisis laporan arus kas, ada baiknya mengenali pola
15
terjadinya arus kas terlebih dahulu. Menurut Prihadi (2012: 88), pola arus
kas operasi (O) dapat diidentifikasi antara lain:


Dalam kondisi perusahaan beroperasi secara normal, arus kas
seharusnya positif. Hal ini dapat diartikan lebih banyak kas
masuk dibandingkan dengan kas keluar. Arus kas positif
diperoleh dari penjualan, sedangkan arus kas operasi lainnya
adalah negatif. Jadi arus kas operasi positif berarti penerimaan
dari penjualan seharusnya mampu menutup seluruh
pengeluaran operasi yang bersifat rutin.
Apabila arus kas operasi negatif, maka hal itu merupakan tanda
bahwa perusahaan sedang bermasalah. Apabila kas operasi
negatif perlu dilihat apakah hanya tahun tertentu atau menetap.
Arus kas investasi (I) pada laporan arus kas mempunyai pola yang
terbalik dengan arus kas operasi, yaitu:


Dalam kondisi normal, seharusnya negatif. Pengertian negatif
disini adalah perusahaan lebih banyak membeli peralatan,
gedung dan aset tetap lainnya dibanding dengan menjualnya.
Artinya perusahaan bertambah kapasitasnya, minimal bertahan
dengan mengganti alat dengan alat baru.
Arus kas positif secara terus menerus menunjukkan perusahaan
sedang bermasalah. Ada kemungkinan perusahaan mengurangi
kapasitas dengan menjual aset tetapnya. Bisa juga berarti
perusahaan sedang melepas aset tetapnya sekarang yang di
periode berikutnya diikuti dengan pembelian aset tetap lainnya.
Kondisi yang terakhir ini terjadi pada perusahaan yang sedang
berganti jenis usaha.
Sementara untuk arus kas pendanaan (P) tidak mempunyai pola
tertentu. Arus kas pendanaan sulit untuk dipastikan apakah arus kasnya akan
positif atau negatif.
Akhir-akhir ini, perhatian terhadap arus kas semakin tinggi, baik
dalam analisis laporan keuangan maupun analisis yang lebih mendalam,
seperti evaluasi perusahaan. Informasi arus kas dapat digunakan untuk
menilai kualitas laba, fleksibilitas keuangan, dan membantu dalam
16
peramalan arus kas. Informasi arus kas juga memberikan indikasi likuiditas
suatu entitas yang lebih baik, karena tidak ada hal yang lebih likuid selain
kas. Apabila rasio arus kas dapat digunakan sebagai ukuran likuiditas,
tentunya rasio arus kas dapat memprediksi kegagalan keuangan dan pada
akhirnya, kebangkrutan. Hal ini dipertegas dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kordestani et. al. (2011) dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa
komposisi arus kas, baik dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan
dapat menyediakan informasi yang signifikan dalam memprediksi kondisi
financial distress suatu perusahaan.
Wild, Larsson, dan Chiapetta (2005: 510) mengkategorikan rasio
arus kas yaitu:
a. Cash Flow To Total Asset
Rasio ini merefleksikan actual cash flow dan tidak dipengaruhi
oleh akun pengukuran dan pengakuan pendapatan. Rasio ini
dapat membantu dalam pengambilan keputusan bisnis untuk
mengestimasi jumlah dan waktu aliran kas pada saat
merencanakan dan menganalisis arus kas dari aktivitas operasi
b. Cash Coverage Of Growth
Rasio ini menunjukkan perbandingan antara arus kas dari
aktivitas operasi dengan aliran kas keluar untuk investasi pada
aset tetap. Jika rasio ini kurang dari satu berdampak
ketidakcukupan kas dalam menutup pertumbuhan aset.
c. Operating Cash Flow To Sales
Rasio ini menunjukkan perbandingan antara arus kas dari
aktivitas operasi terhadap penjualan bersih perusahaan.
2.1.4
Rasio Arus Kas
2.1.4.1 Rasio Arus Kas dari Aktivitas Operasi
a. Operating Cash Index Ratio
17
Rasio ini membantu investor dan kreditor saat ini
atau potensial dalam mengevaluasi "kualitas" dari laba
perusahaan. Rasio ini juga menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan kas internal dari operasi
yang sedang berjalan. Rasio ini memberikan indikasi
yang lebih realistis dari tingkat penyimpangan antara arus
kas operasi dan laba yang dilaporkan. Umumnya,
semakin tinggi rasio ini, semakin baik kualitas laba.
Rumus untuk menghitung operating cash index ratio
adalah:
b. Cash Flow From Operation/Current Liabilities
Rasio ini merupakan indikator yang lebih baik
dalam
mengukur
kemampuan
perusahaan
yang
sebenarnya dalam memenuhi kewajiban lancar daripada
yang lebih sering kita kenal, seperti rasio lancar dan rasio
cepat. Rasio ini memberikan indikasi kemampuan
perusahaan untuk membayar hutang dan kewajiban yang
jatuh tempo dalam satu tahun. Dengan demikian, saat ini
rasio cakupan kewajiban adalah pengukuran likuiditas
berdasarkan perbandingan arus kas operasi dengan waktu
jatuh tempo suatu kewajiban. Apabila suatu perusahaan
tidak cukup menghasilkan kas dari operasi untuk
18
memenuhi kewajibannya, diperlukan sumber pendanaan
lain yang mungkin meningkatkan risiko default atau
kebangkrutan. Dengan demikian, semakin tinggi rasio ini,
kemungkinan perusahaan mengalami financial distress
semakin rendah. Rumus untuk menghitung Cash Flow
From Operation/Current Liabilities adalah:
c. Asset Efficiency Ratio
Rasio ini memberikan indikasi seberapa baik aset
perusahaan dimanfaatkan untuk menghasilkan kembali
arus kas. Secara umum, semakin tinggi rasio, semakin
besar efisiensi penggunaan aset dan posisi keuangan
perusahaan yang lebih baik. Dengan demikian, semakin
tinggi asset efficiency ratio, maka semakin rendah
kemungkinan perusahaan mengalami financial distress.
Rumus untuk menghitung asset efficiency ratio adalah:
2.1.4.2 Rasio Arus Kas dari Aktivitas Investasi
a. Investment in Property, Plant, and Equipment/Property,
Plant, and Equipment
Rasio ini menunjukkan perbandingan besarnya
investasi aktiva tetap dengan total aktiva tetap yang
19
dimiliki oleh perusahaan. Rasio ini
menunjukkan
seberapa besar perusahaan mampu melakukan investasi
dalam bentuk aktiva tetap. Dalam Koedestani et.al (2011)
diperoleh hasil penelitian bahwa arus kas investasi yang
negatif dapat digunakan untuk memprediksi financial
distress perusahaan, dimana arus kas investasi yang
negatif menunjukkan perusahaan yang sehat. Rumus
untuk menghitung rasio ini adalah:
b. Investment in Property, Plant, and Equipment/Total Use
of Fund
Rasio
ini
menunjukkan
perbandingan
antara
investasi aktiva tetap dengan total penggunaan dana.
Rumus untuk menghitung rasio ini adalah:
2.1.4.3 Rasio Arus Kas dari Aktivitas Pendanaan
a. Debt Investment/Total Source of Fund
Rasio
ini
menunjukkan
perbandingan
antara
perolehan hutang dengan total sumber dana. Semakin
rendah rasio ini, maka semakin tinggi probabilitas
perusahaan
mengalami
financial distress.
Hal ini
disebabkan karena perolehan hutang yang diperoleh
20
perusahaan tidak diimbangi dengan total sumber dana
perusahaan
sehingga
kemungkinan
perusahaan
mengalami masalah keuangan. Rumus untuk menghitung
rasio ini adalah:
b. Net Debt/Total Source of Fund
Rasio ini menunjukkan perbandingan antara hutang
bersih dengan total sumber dana perusahaan. Net Debt
sering digunakan sebagai ukuran bagi para investor untuk
mengetahui posisi hutang sebenarnya. Net Debt dihitung
dengan rumus short term liabilities+long term liabilities–
cash and cash equivalent. Rumus untuk menghitung rasio
ini adalah:
2.1.5
Altman Z-Score
Z-Score dikembangkan pada tahun 1968 oleh Edward I. Altman ,
Asisten Profesor Keuangan di New York University, sebagai metode neraca
kuantitatif menentukan kesehatan keuangan suatu perusahaan. Dalam
penelitiannya yang pertama pada September 1986 dengan judul penelitian
Financial Ratios, Discriminant Analysis And The Prediction Of Corporate
Bankruptcy, beliau merupakan orang pertama yang menerapkan Multiple
21
Discriminant Analysis (MDA). Analisa diskriminan ini merupakan suatu
teknik statistik yang mengidentifikasikan beberapa jenis rasio keuangan
yang dianggap memiliki nilai paling penting dalam mempengaruhi suatu
kejadian, lalu mengembangkannya dalam suatu model dengan maksud untuk
memudahkan menarik kesimpulan dari suatu kejadian.
Model Altman Z-Score dapat mengklasifikasikan perusahaan ke
dalam kelompok yang mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk bangkrut
atau kelompok perusahaan yang memiliki kemungkinan bangkrut yang
rendah. Rumus Altman Z-Score mengalami beberapa perubahan, yaitu:
1. Untuk perusahaan manufaktur yang telah go public
Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 0,999 X5
Keterangan:
Z = bankrupcy index
X1 = working capital / total asset
X2 = retained earnings / total asset
X3 = earning before interest and taxes/total asset
X4 = market value of equity / book value of total debt
X5 = sales / total asset
2. Untuk perusahaan pribadi
Terdapat perubahan pada nilai X4 di mana X4 = book value of
equity/liabilities
Z-Score = 0.717 X1 + 0.847 X2 + 3.107 X3 + 0.420 X4 + 0.998 X5
22
3. Untuk perusahaan non-manufaktur
Altman mengeliminasi variable X5 (sales/total asset) karena rasio
ini sangat bervariatif pada industri dengan ukuran asset yang
berbeda- beda.
Z-Score = 6.56 X1 + 3.26 X2 + 6.72 X3 + 1.05 X4
Berdasarkan hasil penelitian Altman, perusahaan dikelompokkan
menjadi tiga kategori:
a. Jika nilai Z < 1.8 maka termasuk perusahaan yang bangkrut.
b. Jika nilai 1.8 < Z < 2.99 maka termasuk grey area (tidak dapat
ditentukan
apakah
perusahaan
sehat
ataupun
mengalami
kebangkrutan).
c. Jika nilai Z > 2.99 maka termasuk perusahaan yang tidak
bangkrut.
Dengan adanya model Altman Z-Score ini, tidak dipungkiri
penelitian mengenai kebangkrutan sering dilakukan untuk menganalisis
apakah model Altman Z-Score dapat diterapkan pada setiap perusahaan.
Hasibuan (2010) melakukan penelitian dengan judul “Analisa Model
Altman Z-Score untuk Memprediksi Gejala Financial Distress pada
Perusahaan Tekstil dan Garment yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”,
dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Alltman Z-Score dapat
diimplementasikan dalam mendeteksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan
pada perusahaan tekstil dan garment. Hasil penelitian yang sama ditemukan
23
oleh penelitian Saragih (2011) yang menggunakan objek penelitian
perusahaan farmasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Selain penelitian mengenai implementasi model Altman Z-Score
pada masing-masing perusahaan, penelitian yang membandingkan Model
Altman Z-Score dengan model kebangkrutan lainnya juga dilakukan. Darwis
(2013) melakukan penelitian dengan membandingkan Model Altman ZScore dengan Model Springate untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
yang signifikan antara hasil perhitungan Model Altman Z-Score dengan
Model Springate dan model mana yang lebih akurat dalam memprediksi
kebangkrutan perusahaan manufaktur makanan dan minuman yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia pada periode 2009-2011. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil analisis
kebangkrutan Model Altman Z-Score dan Model Springate, dimana model
Altman Z-Score lebih akurat daripada model Springate dalam memprediksi
kebangkrutan perusahaan.
2.1.6
Financial distress
2.1.6.1 Pengertian Financial Distress
Financial distress pada dasarnya sukar untuk didefinisikan
secara tepat. Hal ini disebabkan oleh bermacam-macam kejadian
kejatuhan perusahaan pada saat financial distress. Peristiwa
kejatuhan perusahaan yang disebabkan financial distress hampir
tidak ada akhirnya, seperti berikut ini: terjadinya pengurangan
24
dividen, penutupan perusahaan, kerugian-kerugian, pemecatan,
pengunduran diri direksi, dan jatuhnya harga saham (Rodoni, 2014).
Financial distress atau sering disebut dengan kesulitan
keuangan, terjadi sebelum suatu perusahaan benar-benar mengalami
kebangkrutan. Financial distress merupakan suatu kondisi dimana
keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau krisis.
Financial distress didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi
keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun
likuidasi (Platt dan Platt, 2002).
Financial distress merupakan tahapan sebelum kebangkrutan.
Tahapan dari kebangkrutan (stages of bankruptcy) dijabarkan
sebagai berikut (Kordestani et. al., 2011):
a. Latency. Pada tahap latency, Return on Assets (ROA) akan
mengalami penurunan.
b. Shortage of Cash. Dalam tahap kekurangan kas,
perusahaan tidak memiliki cukup sumber daya kas untuk
memenuhi kewajiban saat ini, meskipun masih mungkin
memiliki tingkat profitabilitas yang kuat.
c. Financial Distress. Kesulitan keuangan dapat dianggap
sebagai keadaan darurat keuangan, dimana kondisi ini
mendekati kebangkrutan.
d. Bankruptcy. Jika perusahaan tidak dapat menyembuhkan
gejala kesulitan keuangan (financial distress), maka
perusahaan akan bangkrut.
Financial distress bisa terjadi pada berbagai perusahaan dan
dapat berperan sebagai early warning system bagi perusahaan. Jika
perusahaan sudah memasuki tahapan financial distress, maka
manajemen harus berhati-hati karena apabila secara berkelanjutan
tetap dalam posisi financial distress, tidak dapat dipungkiri apabila
25
perusahaan berpindah ke tahap kebangkrutan. Manajemen dari
perusahaan yang mengalami financial distress harus melakukan
tindakan untuk mengatasi masalah keuangan tersebut dalam rangka
mencegah terjadinya kebangkrutan. Dengan demikian, model
financial distress perlu untuk dikembangkan, karena dengan
mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini,
diharapkan perusahaan dapat melakukan tindakan-tindakan ataupun
kebijakan yang mampu mengantisipasi kondisi yang mengarah
kepada kebangkrutan.
Ada
beberapa
kriteria
yang
dapat
digunakan
untuk
menentukan suatu perusahaan mengalami kondisi financial distress
atau tidak. Mengacu pada penelitian terdahulu mengenai prediksi
kondisi
financial
distress,
terdapat
perbedaan
dalam
hal
pengelompokkan perusahaan yang mengalami financial distress.
Elloumi dan Gueyie (2001), mengkategorikan suatu perusahaan
sedang mengalami financial distress jika perusahaan tersebut selama
dua tahun berturut-turut mempunyai laba bersih negatif.
Almilia dan Kristijadi (2003) menyatakan bahwa perusahaan
yang mengalami financial distress adalah perusahaan yang selama
beberapa tahun mengalami laba bersih operasi (net operation
income) negatif dan selama lebih dari satu tahun tidak melakukan
pembayaran dividen. Brahmana (2007) mengkategorikan suatu
perusahaan dikatakan mengalami financial distress adalah jika
26
perusahaan tersebut memiliki kinerja yang menunjukkan laba
operasinya negatif, laba bersih negatif, nilai buku ekuitas negatif, dan
perusahaan yang melakukan merger.
Hardiyanti
(2012)
mengkategorikan
suatu
perusahaan
dikatakan mengalami financial distress apabila (a) selama 2 tahun
berturut-turut mengalami laba operasi negatif, (b) selama 2 tahun
berturut-turut mengalami laba bersih negatif, (c) selama 2 tahun
berturut-turut memiliki EPS (Earning per Share) negatif. Hidayat
(2013)
mengkategorikan
suatu
perusahaan
dianggap
sedang
mengalami financial distress jika mempunyai interest coverage ratio
yang kurang dari 1. Fenomena lain dari financial distress adalah
banyaknya perusahaan yang
likuiditas,
dimana
cenderung mengalami kesulitan
ditunjukkan
dengan
semakin
turunnya
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangannya
kepada kreditur (Hanifah, 2013).
2.1.6.2 Penyebab Terjadinya Financial Distress
Menurut Fahmi (2012: 105) penyebab terjadinya financial
distress adalah:
“Dimulai dari ketidakmampuan dalam memenuhi
kewajiban-kewajibannya, terutama kewajiban yang
bersifat jangka pendek termasuk kewajiban likuiditas
dan juga termasuk kewajiban dalam kategori
solvabilitas. Permasalahan terjadinya insolvency bisa
timbul karena faktor berawal dari kesulitan likuiditas.
Ketidakmampuan tersebut dapat ditunjukan dengan 2
(dua) metode, yaitu Stock-based insolvency dan Flowbased insolvency. Stock-based insolvency adalah
27
kondisi yang menunjukkan suatu kondisi ekuitas
negatif dari neraca perusahaan (negative net wort),
sedangkan Flow-based insolvency ditunjukkan oleh
kondisi arus kas operasi (operating cash flow) yang
tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban lancar
perusahaan.”
Fachrudin (2008: 6) mengelompokkan penyebab-penyebab
kesulitan keuangan sebagai berikut:
1.
2.
3.
Neoclassical model, kebangkrutan terjadi jika alokasi
sumber daya tidak tepat. Prediksi kesulitan keuangan
dilakukan dengan menggunakan data neraca dan laporan
laba rugi. Misalnya ukuran profitabilitas berupa return
on assets dan ukuran solvabilitas berupa debt to assets
ratio.
Financial model, bauran aktiva benar tapi struktur
keuangan salah dan dihadapkan pada batasan likuiditas.
Hal ini berarti bahwa walaupun perusahaan dapat
bertahan hidup dalam jangka panjang tapi ia harus
bangkrut juga dalam jangka pendek. Hubungan dengan
pasar modal yang tidak sempurna dan struktur modal
yang inherited menjadi pemicu utama kasus ini. Prediksi
kesulitan keuangan dilakukan dengan menggunakan
indikator keuangan atau indikator kinerja seperti
turnover/total assets, revenues/turnover, ROA, ROE,
dan profit margin.
Corporate Governance Model, kebangkrutan disebabkan
bauran aktiva dan struktur keuangan yang benar tapi
dikelola dengan buruk. Ketidakefisienan ini mendorong
perusahaan menjadi out of the market sebagai
konsekuensi dari masalah dalam tata kelola perusahaan
yang tak terpecahkan. Prediksi kesulitan keuangan
dilakukan dengan menggunakan informasi kepemilikan.
Kepemilikan berhubungan dengan struktur tata kelola
perusahaan dan goodwill perusahaan.
2.1.6.3 Manfaat Melakukan Prediksi Financial Distress
Prediksi financial distress ini tidak hanya penting dari sisi
perusahaan, tetapi juga dari berbagai pihak. Hal ini menjadi
perhatian bagi berbagai pihak karena dengan mengetahui kondisi
28
perusahaan yang mengalami financial distress, maka dapat diambil
suatu keputusan atau tindakan untuk memperbaiki keadaan tersebut
ataupun untuk menghindari masalah.
Berbagai pihak yang berkepentingan dalam hal prediksi atas
kemungkinan terjadinya financial distress adalah (Almilia dan
Kristijadi, 2003):
a. Pemberi Pinjaman atau Kreditor. Institusi pemberi
pinjaman memprediksi financial distress dalam
memutuskan apakah akan memberikan pinjaman dan
menentukan kebijakan mengawasi pinjaman yang telah
diberikan pada perusahaan. Selain itu juga digunakan
untuk menilai kemungkinan masalah suatu perusahaan
dalam melakukan pembayaran kembali pokok dan bunga.
b. Investor. Model prediksi financial distress dapat
membantu investor ketika akan memutuskan untuk
berinvestasi pada suatu perusahaan.
c. Pembuat Peraturan atau Badan Regulator. Badan
regulator mempunyai tanggung jawab mengawasi
kesanggupan membayar hutang dan menstabilkan
perusahaan individu. Hal ini menyebabkan perlunya suatu
model untuk mengetahui kesanggupan perusahaan
membayar hutang dan menilai stabilitas perusahaan.
d. Pemerintah. Prediksi financial distress penting bagi
pemerintah dalam melakukan antitrust regulation.
e. Auditor. Model prediksi financial distress dapat menjadi
alat yang berguna bagi auditor dalam membuat penilaian
going concern perusahaan. Pada tahap penyelesaian audit,
auditor harus membuat penilaian tentang going concern
perusahaan. Jika ternyata perusahaan diragukan going
concern-nya, maka auditor akan memberikan opini wajar
tanpa pengeculian dengan paragraf penjelas atau bisa juga
memberikan opini disclaimer (atau menolak memberikan
pendapat).
f. Manajemen.
Apabila
perusahaan
mengalami
kebangkrutan, maka perusahaan akan menanggung biaya
langsung (fee akuntan dan pengacara) dan biaya tidak
langsung (kerugian penjualan atau kerugian paksaan
akibat ketetapan pengadilan). Oleh karena itu, manajemen
harus melakukan prediksi financial distress dan
mengambil tindakan yang diperlukan untuk dapat
29
mengatasi kesulitan keuangan yang terjadi dan mencegah
kebangkrutan pada perusahaan.
2.1.7
Rasio Arus Kas Sebagai Alat Untuk Memprediksi Financial
Distress
Kebanyakan rasio keuangan yang dihitung hanya terfokus pada data
yang terdapat di neraca dan laporan laba rugi. Hal ini sangat disayangkan
mengingat bahwa laporan arus kas (statement of cash flow) juga dapat
memberikan informasi yang berguna dalam hal analisis rasio. Rasio yang
diperoleh dari neraca hanya dapat memberikan informasi dari perspektif
date-in-time, sedangkan laporan arus kas merepresentasikan aktivitas untuk
jangka waktu terus menerus. Laporan laba rugi memberikan informasi
mengenai hasil usaha suatu entitas untuk periode waktu tertentu, namun
tidak mengungkapkan perubahan penting lainnya yang dihasilkan dari
aktivitas pembiayaan dan investasi. Laporan arus kas melengkapi neraca dan
laporan laba rugi dengan memberikan informasi tambahan mengenai
kemampuan organisasi untuk beroperasi secara efisien, untuk membiayai
pertumbuhan, dan membayar kewajibannya.
Laporan arus kas dapat digunakan dalam hal untuk memprediksi
financial distress suatu perusahaan. Faktor penting dalam memprediksi
financial distress suatu perusahaan adalah posisi dari kas karena cash flow
memberikan peramalan kondisi keuangan yang lebih akurat. Oleh karena itu,
informasi yang terdapat dalam cash flow dijadikan sebagai indikator yang
lebih akurat dalam mendeteksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan (Soo
Wah Low et. al, 2001).
30
Analisis rasio arus kas mengungkapkan bahwa informasi arus kas
memiliki explanatory power, yang artinya informasi yang terdapat pada
laporan arus mampu menjelaskan secara rinci keseluruhan aktivitas
perusahaan. Informasi arus kas yang diperoleh dari laporan arus kas mampu
menguraikan hubungan umum antara entitas gagal dan non-gagal. Semakin
tinggi rasio yang dihitung dari laporan arus kas, semakin rendah
kemungkinan terjadinya kegagalan atau financial distress (Leonie Jooste,
2007).
2.2
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang berhasil ditemukan yang meneliti
prediksi kondisi financial distress dengan menggunakan beberapa indikator yang
berbeda. Berikut ini rincian peneliti terdahulu.
Tabel 2.1
Tinjauan Peneliti Terdahulu
Peneliti
Almilia
(2006)
Judul Penelitian
Prediksi
Kondisi
Financial
Distress
Perusahaan Go
Public
dengan
Menggunakan
Analisis
Multinomial
Logit
Variabel
Variabel dependen:
Financial distress
Variabel independen:
Rasio keuangan yang
berasal dari neraca dan
laporan
laba
rugi
berupa:
Net Income(NI)/S;
CA/CL; Working
Capital/TA; CA/TA;
NFA/TA; S/TA; S/CA;
S/WC; NI/TA; NI/EQ;
TL/TA; NP/TA;
NP/TL; EQ/TA;
Cash/CL; Cash/TA;
Sales Growth Rate;
Hasil
Model regresi logistik yang
dihasilkan dan kekuatan
prediksi perusahaan financial
distress dan non financial
distress:
1) Dengan
menggunakan
rasio-rasio
keuangan
laporan neraca dan laba
rugi hanya terdiri dari satu
prediktor
yang
berpengaruh
signifikan
yaitu
TL/TA dengan
ketepatan prediksi model
yang dihasilkan sebesar
79% yang terdiri dari 39,3
ketepatan
memprediksi
31
Growth of NI/TA;
Rasio keuangan yang
berasal dari laporan
arus kas
Yulian
(2010)
Hidayat
(2013)
Analisis Rasio
Keuangan
Untuk
Memprediksi
Kondisi
Financial
Distress
Perusahaan
Yang
Terdaftar
Di
Bursa
Efek
Indonesia
Dengan
Menggunakan
Regresi
Logistik
Variabel dependen:
Financial distress
Variabel independen:
1) Rasio
likuiditas
(Current
Ratio,
Quick ratio)
2) Rasio
aktivitas
(Receivable
turnover, total asset
turnover)
3) Rasio profitabilitas
(return on sales,
return on asset)
4) Rasio solvabilitas
(Debt
to
total
capital,
times
interest earned)
5) Rasio arus kas
(Cash
flow
adequacy,
Cash
flow to sales, Cash
flow per share,
Cash flow return on
equity)
Prediksi
Variabel dependen:
Financial
Financial distress
Distress
Variabel independen:
Perusahaan
1) Rasio
leverage
Manufaktur Di
(Total Debt to Asset
perusahaan FD dan 81,3%
ketepatan
memprediksi
perusahaan NFD;
2) Dengan
menggunakan
rasio-rasio
keuangan
laporan kas hanya terdiri
dari satu prediktor yang
berpengaruh
signifikan
yaitu CFFO/CL dengan
ketepatan prediksi model
yang dihasilkan sebesar
58% yang terdiri dari
3,6%
ketepatan
memprediksi perusahaan
FD dan 60,4% ketepatan
memprediksi perusahaan
NFD;
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan signifikan rasio
profitabilitas,
financial
leverage, likuiditas, aktivitas,
dan
arus
kas
antara
perusahaan yang mengalami
financial distress dengan
perusahaan
yang
tidak
mengalami financial distress.
Penelitian
ini
juga
menghasilkan
kesimpulan
bahwa rasio keuangan profit
margin, ROA, net working
capital to total assets ratio,
sales to assets ratio, CFTS,
dan
CFTL
merupakan
variabel-variabel
yang
berpengaruh
signifikan
terhadap peluang terjadinya
financial distress.
Melalui uji regresi logistik ,
hasil penelitian menunjukkan
bahwa rasio leverage (total
debt to assets ratio), rasio
32
Indonesia
2.3
Ratio)
2) Rasio
likuiditas
(Current Ratio)
3) Rasio
aktivitas
(Total
Asset
Turnover Ratio)
4) Rasio profitabilitas
(Return on Asset)
likuiditas (current ratio),
rasio aktivitas (total assets
turnover ratio) merupakan
financial ratios yang paling
signifikan dalam memprediksi
terjadinya financial distress di
suatu perusahaan, sedangkan
rasio profitabilitas (return on
asset)
merupakan
satusatunya financial ratios yang
tidak
signifikan
dalam
mempengaruhi
financial
distress di suatu perusahaan.
Kerangka Konseptual
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka dapat disajikan kerangka
konseptual untuk menggambarkan hubungan dari variabel independen, dalam hal
ini adalah rasio arus kas dari aktivitas operasi, rasio arus kas dari aktivitas
investasi, dan rasio arus kas dari aktivitas pendanaan terhadap variabel dependen
yaitu financial distress. Adapun kerangka konseptual yang menggambarkan
hubungan tersebut adalah sebagai berikut:
33
Variabel Dependen
Variabel Independen
Rasio arus kas dari
aktivitas operasi
H1
Rasio arus kas dari
H2
Financial
distress
aktivitas investasi
H3
Rasio arus kas dari
aktivitas pendanaan
H4
Gambar 2.1
Kerangka konseptual
Arus kas dari aktivitas operasi suatu perusahaan yang normal biasanya
positif yang berarti perusahaan memilik kas masuk dari aktivitas operasi yang
lebih besar dibandingkan kas keluar dari aktivitas operasi. Arus kas operasi yang
negatif menunjukkan ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan
kasnya untuk menutupi pengeluaran operasional sehingga kemungkinan
perusahaan mengalami financial distress tidak dapat dihindari. Rasio arus kas
yang digunakan adalah CFFO/NI, CFFO/TA, dan CFFO/CL. Dimana semakin
tinggi ketiga rasio tersebut, maka semakin rendah kemungkinan perusahaan
mengalami financial distress.
Arus kas dari aktivitas investasi menyangkut aset tetap. Perusahaan
cenderung memiliki arus kas dari aktivitas investasi yang negatif dimana kas
perusahaan digunakan untuk membiayai aset tetap yang baru. Arus kas investasi
yang negatif bukan berarti bahwa perusahaan sedang dalam kondisi yang buruk.
34
Perusahaan yang mampu untuk membiayai aset tetap baru untuk kegiatan
operasional perusahaan dikategorikan masih sehat. Rasio arus kas dari aktivitas
investasi yang digunakan adalah IPPE/PPE dan IPPE/TU.
Rasio arus kas dari aktivitas pendanaan yang digunakan adalah Debt
Investment/Total source of fund dan Net Debt/Total Source of Fund (ND/TS).
Semakin rendah rasio DI/TS, maka semakin besar kemungkinan perusahaan
berada dalam kondisi financial distress karena pendanaan perusahaan kebanyakan
didanai dari hutang. Sebaliknya, semakin tinggi rasio ND/TS, maka semakin
tinggi pula kemungkinan perusahaan mengalami financial distress.
2.4
Perumusan Hipotesis Penelitian
1. Keterkaitan rasio arus kas dari aktivitas operasi terhadap prediksi
terjadinya financial distress
Aktivitas operasi merupakan hal yang vital bagi suatu
perusahaan. Aktivitas operasi merupakan inti dari perusahaan dan
merupakan alasan utama mengapa perusahaan tetap eksis di dunia
perekonomian (Frank R). Karena arus kas dari aktivitas operasi
merupakan kegiatan penghasil utama bagi suatu perusahaan, perusahaan
bisa saja bangkrut apabila tidak mampu memperoleh kas dari kegiatan
operasi perusahaan untuk membiayai kewajibannya (Leoni, 2007).
Dalam penelitian Kordestani (2011), apabila perusahaan dalam kondisi
arus kas dari aktivitas operasi yang negatif, arus kas dari aktivitas
investasi dan pendanaan yang positif, maka kemungkinan perusahaan
35
sedang mengalami kondisi financial distress lebih besar daripada
kemungkinan perusahaan tetap dalam kondisi yang sehat. Berdasarkan
analisis di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H1 = Rasio arus kas dari aktivitas operasi berpengaruh terhadap
prediksi terjadinya financial distress
H1a = CFFO/NI berpengaruh terhadap prediksi terjadinya
financial distress
H1b = CFFO/CL berpengaruh terhadap prediksi terjadinya
financial distress
H1c = CFFO/TA berpengaruh terhadap prediksi terjadinya
financial distress
2. Keterkaitan rasio arus kas dari aktivitas investasi terhadap prediksi
terjadinya financial distress
Selain aktivitas operasi yang menjadi titik fokus dalam laporan
arus kas, aktivitas investasi dalam suatu perusahaan juga merupakan hal
yang menjadi perhatian dalam memprediksi terjadinya financial distress.
Aktivitas perusahaan tidak luput dari kegitan investasi terutama pada
aset tetap yang digunakan untuk mendukung kegiatan operasional
perusahaan. Walaupun laporan arus kas perusahaan dari aktivitas
investasi bernilai negatif, kemungkinan perusahaan dalam kondisi sehat
lebih besar daripada kemungkinan perusahaan mengalami financial
distress dengan syarat aliran kas dari aktivitas operasi dan pendanaan
36
perusahaan bernilai positif (Kordestani, 2011). Berdasarkan analisis di
atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H2 = Rasio arus kas dari aktivitas investasi berpengaruh terhadap
prediksi terjadinya financial distress
H2a = IPPE/PPE berpengaruh terhadap prediksi terjadinya
financial distress
H2b = IPPE/TU berpengaruh terhadap prediksi terjadinya
financial distress
3. Keterkaitan rasio arus kas dari aktivitas pendanaan terhadap
prediksi terjadinya financial distress
Apabila perusahaan menghadapi kesulitan keuangan, tidak dapat
dipungkiri jika perusahaan melakukan pembiayaan perusahaan dari
pihak lain seperti pinjaman. Walaupun perusahaan sedang mengalami
cash inflow yang negatif dari aktivitas operasi, dengan memperoleh
pembiayaan melalui pinjaman, manajemen perusahaan akan melakukan
investasi dalam beberapa peluang yang ada. Namun, dikarenakan tingkat
leverage yang cukup tinggi dan kewajiban untuk membayar pokok
pinjaman beserta bunganya, perusahaan akan menghadapi tantangan
dalam keuangannya yang akhirnya membawa perusahaan menghadapi
kondisi financial distress. Berdasarkan analisis di atas, maka
hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H3 = Rasio arus kas dari aktivitas pendanaan berpengaruh terhadap
prediksi terjadinya financial distress
37
H3a =
DI/TS berpengaruh terhadap prediksi terjadinya
financial distress
H3b=
ND/TS berpengaruh terhadap prediksi terjadinya
financial distress
H4 = Rasio arus kas dari aktivitas operasi, aktivitas investasi, dan
aktivitas pendanaan berpengaruh secara simultan terhadap
prediksi terjadinya financial distress
38
Download