KEJADIAN TEMPERTANTRUM DILIHAT DARI POLA ASUH DAN URUTAN ANAK DALAM KELUARGA Ihda Mauliyah Dosen D3 Kebidanan STIKes Muhammadiyah Lamongan ABSTRAK Tempertantrum merupakan bagian pertumbuhan yang secara kejiwaan tunduk pada emosinya untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau mencari perhatian orangtua dengan perilaku negatif. Urutan anak dalam keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan tempertantrum. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan urutan anak dalam keluarga dengan kejadian tempertantrum pada anak usia prasekolah (3-5 tahun). Desain penelitian ini adalah Analitik Corelasional dengan pendekatan Cross Sectional. Metode sampling yang digunakan adalah Simple Random Sampling. Sampel yang diambil sebanyak 46 responden di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan. Pengumpulan data menggunakan kuesioner tertutup. Setelah ditabulasi, data dianalisis menggunakan uji Koefisien Kontingensi dengan tingkat signifikasi 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak merupakan anak sulung yaitu 24 (52,2%), sebagian besar pola asuh orang tua negatif 25 (54,4%). sebagian besar anak mengalami tempertantrum yaitu 26 (56,5%). Sedangkan dari hasil pengujian statistik diperoleh hasil ada hubungan urutan anak dalam keluarga dengan kejadian tempertantrum pada anak usia prasekolah dengan nilai signifikasi 0,030 (p < 0,05), dan ada hubungan pola asuh orang tua dengan kejadian tempertantrum pada anak usia prasekolah dengan nilai signifikasi 0,026 (p < 0,05) Melihat hasil penelitian ini maka perlu adanya pengarahan kepada orangtua bagaimana memberikan bimbingan kepada anak tanpa membedakan urutan anak dan memberikan pola asuh yang benar sehingga anak tidak iri dengan saudara lainnya dan berperilaku tempertantrum. Kata Kunci : Urutan Anak, Pola Asuh, Kejadian Tempertantrum \ PENDAHULUAN Emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang bergejolak pada diri individu yang disadari dan diungkapkan melalui wajah serta tindakan yang berfungsi sebagai penyesuaian dari dalam diri seseorang terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu. Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada sejak bayi dilahirkan (Ernawulan, 2011). Menurut Hurlock (1987) dalam Ernawulan (2011), pada umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena usia anak relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya. Dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional anak mulai kurang menyebar dan dapat lebih dibedakan. Misalnya, anak menunjukkan reaksi ketidaksenangan hanya dengan menjerit dan menangis, kemudian reaksi mereka berkembang menjadi perlawanan, SURYA melempar benda, mengejangkan tubuh, lari menghindar dan bersembunyi. Pada usia 2 – 5 tahun, karakteristik emosional anak muncul pada ledakan marahnya atau tempertantrum. Sikap ini ditunjukkan untuk menampilkan tidak senangnya, anak melakukan tindakan yang berlebihan misalnya menangis, menjerit, melemparkan benda, berguling, memukul ibunya atau aktivitas besar lainnya. Pada usia ini anak tidak memperdulikan akibat dari perbuatannya, apakah merugikan orang lain atau tidak. Selain itu, pada usia ini anak lebih bersifat egosentris (Ernawulan, 2011). Banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku tantrum adalah bahwa dengan tantrum anak ingin mengekspresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan 79 Vol. 07, No. 03, Desember 2015 Kejadian Tempertantrum Dilihat dari Pola Asuh dan Urutan Anak Dalam Keluarga rasa marah dan frustasi serta membuat orang dewasa mengerti jika mereka bingung, lelah atau sakit (Tasmin, 2010). Pada penelitian Martin T.Stein yang dikutip oleh Rudolph (2006: 144), tempertantrum yang dilaporkan oleh orang tua terjadi sebanyak 80% pada anak usia 2 – 4 tahun. Tantrum terjadi paling sedikit sekali sehari sekitar 20% pada anak yang berusia 4 tahun. Tantrum yang sedang sampai berat dilaporkan 5% terjadi pada anak yang berusia 3 tahun. Di bagian lain dunia, berdasarkan survey epidemiologi telah dilaporkan prevalensinya terhadap semua pasien anak telah menunjukkan 1 (25%) diantara 4 anak mengalami gangguan emosi dan perilaku seperti tempertantrum (David Hull, 2008). Fenomena seperti ini umum terjadi di banyak negara seperti Kanada, Queensland, dan Selandia Baru menunjukkan sekitar 5 – 7 % anak mengalami tempertantrum (Fajar, 2007). Di Indonesia sendiri, walau belum ada angka yang pasti, namun dari jumlah anak yang terlibat kejahatan hukum dan kenakalan dapat diprediksikan sebanyak 4.000 tersangka berusia di bawah 16 tahun diajukan ke pengadilan dan yang kasusnya tidak sampai diajukan ke pengadilan lebih banyak lagi. Pada tahun 2000, BAPAS (Balai Permasyarakatan) mencatat bahwa di Lampung setiap bulan terjadi 35 kasus anak yang memiliki konflik dengan hukum, yang berarti tiap tahun berjumlah 420 kasus. Kejahatan yang mereka lakukan mulai dari pencurian, pemerasan dan pengeroyokan sampai penggunaan narkotika, pemerkosaan, dan pembunuhan. Dan kebanyakan perilaku antisosial ini merupakan lanjutan dari kejadian tempertantrum pada masa balita. (Lembaga Advokasi Anak – Damar Lampung, 2002). Berdasarkan survey awal pada bulan Juli 2015, dari wawancara 10 ibu pada anak usia pra sekolah (3 – 5 tahun) yang dilakukan di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun kabupaten Lamongan, didapatkan bahwa 6 ibu (60 %) mengaku anaknya suka memaksakan kehendak. Apabila anak menginginkan sesuatu dan tidak dituruti, dia akan marah sambil menangis, kadang sambil merusak barang yang ada di sekitarnya. Beberapa diantaranya mengatakan anaknya juga sangat ringan tangan, dia akan memukul atau mendorong SURYA teman atau saudaranya jika mainannya dipinjam. Sedangkan 4 ibu (40%) mengaku anaknya tidak suka memaksakan kehendak, tidak pernah marah, menagis dan merusak barang apabila keinginannya tidak dituruti, tidak pernah mendorong dan memukul teman mainnya. Jadi, masalah dalam penelitian ini adalah masih banyaknya anak yang berperilaku tempertantrum di RA Bahrul Ulum desa Blawi kecamatan Karangbinangun kabupaten Lamongan. Beberapa faktor penyebab tempertantrum yaitu faktor keluarga, faktor kondisional, faktor biologis individu dan faktor lingkungan. Faktor kondisional yang dapat menyebabkan tempertantrum meliputi terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu, ketidakmampuan anak mengungkapkan diri, tidak terpenuhinya kebutuhan, anak lelah dan lapar. Ketika anak menginginkan sesuatu tapi tidak berhasil dan tetap menginginkannya, anak mungkin memakai cara tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang dia inginkan. Faktor kondisional lain yang dapat menyebabkan tantrum adalah anak tidak dapat mengungkapkan apa yang mereka inginkan sehingga dapat memicu anak menjadi frustasi dan dapat terungkap dalam bentuk tantrum. Anak yang terlalu lelah dalam beraktivitas juga akan lebih mudah mengalami tempertantrum karena secara fisik anak belum bisa beraktivitas berlebihan, dan dalam keadaan lelah dan emosi anak sangat labil sehingga lebih mudah mengalami tempertantrum (Tasmin, 2010). Faktor keluarga yang dapat menyebabkan tempertantrum meliputi pola asuh orang tua dan urutan anak dalam keluarga. Cara orang tua mengasuh anak juga berperan menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, kadang anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku tantrum (Tasmin, 2010). Hadirnya seorang anggota keluarga baru juga akan berpengaruh terhadap anak yang lebih tua, perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan suatu ancaman bagi anak yang lebih tua. Pada saat usia anak paling tua masih kecil, konsep diri masih belum matang sehingga muncul perasaan 80 Vol. 07, No. 03, Desember 2015 Kejadian Tempertantrum Dilihat dari Pola Asuh dan Urutan Anak Dalam Keluarga terancam sehingga mereka mengungkapkannya dengan tempertantrum (Donna L. Wong, 2008). Menurut Rudolph (2006), faktor biologis individu yang dapat menyebabkan tempertantrum pada anak adalah pola temperamen tiap anak. Temperamen menunjukkan sifat biologik – psikologik stabil yang berpusat pada gaya reaktif individu dan dibawah beberapa derajat kontrol genetik. Bahkan, pada keadaan tidak adanya stressor sosial, ekonomi, atau stressor lingkungan lain, temperamen anak dapat merupakan kontributor yang signifikan sehingga dapat menimbulkan perilaku tempertantrum pada anak. Faktor lingkungan di luar keluarga yang terutama dapat menyebabkan anak berperilaku tempertantrum adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak yang ditolak dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan agresivitas dan tempertantrum sebagai strategi berinteraksi (Fajar, 2007). Anak yang tempertantrum biasanya akan dijauhi teman sekitarnya, dinilai sebagai anak yang cengeng, pemarah, atau julukan lainnya. Penilaian yang diperoleh anak dari lingkungannya tersebut dapat membentuk konsep diri negatif, pada akhirnya anak tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Ernawulan, 2011). Mereka cenderung menganggap tempertantrum merupakan cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan apa yang mereka inginkan (Fajar, 2007). Menurut Martin T. Stein dalam Rudolph (2006), apabila tantrum terlalu sering terjadi bukan hanya akan berdampak negatif terhadap perkembangan emosi dan perilaku anak yang mengalaminya, tetapi juga bagi masyarakat. Meskipun anak dengan tempertantrum tidak selalu menjadi dewasa yang antisosial, namun sebagian besar diantara mereka setelah dewasa cenderung terlibat tindakan kriminal dan mengembangkan perilaku antisosial yang serius seperti pencurian, penipuan, pembakaran, pembolosan, perusakan hak milik, kekejaman pada binatang, pemerkosaan, penggunaan senjata ketika berkelahi, perampokan bersenjata, kekejaman SURYA fisik pada orang lain, dan percobaan berulang untuk kabur dari rumah. Upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulangi anak tempertantrum yaitu petugas kesehatan lebih berupaya memberikan penyuluhan kepada orangtua agar mengenali secara dini perilaku tempertantrum pada anak sehingga pada saat anak tantrum, orang tua tidak bertindak keliru dan menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi yang normal seperti marah, frustrasi, takut, jengkel secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut. orang tua hendaknya memberikan bimbingan kepada anak tanpa membedakan urutan anak sehingga anak tidak iri dengan saudara lainnya dan berperilaku tempertantrum. Orangtua juga perlu mendapatkan pengarahan tentang bagaimana menerapkan pola asuh yang positif sehingga kejadian tempertantrum bisa diminimalisir dengan baik. METODE PENELITIAN Penelitian yang digunakan adalah Analitik Korelasional dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional. Pada penelitian ini populasinya adalah sebanyak 52 responden dan sampelnya sebanyak 46 responden. Metode sampling yang digunakan adalah Simple Random Sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner tertutup. Setelah ditabulasi, data dianalisis menggunakan uji Koefisien Kontingensi dengan tingkat signifikasi 0,05. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum 1) Karakteristik Ibu Karakteristik Ibu dalam penelitian ini meliputi: usia, pendidikan, pekerjaan dan jumlah anak. (1) Distribusi Usia Ibu Tabel 1 Distribusi Usia Ibu di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tahun 2015. 81 Vol. 07, No. 03, Desember 2015 Kejadian Tempertantrum Dilihat dari Pola Asuh dan Urutan Anak Dalam Keluarga No. Usia F % 1 <20 Tahun 2 4,3 2 21-35 Tahun 32 69,6 3 >35 Tahun 12 26,1 Jumlah 46 100 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar (69,6%) berusia 21 – 35 tahun dan sebagian kecil (4,3%) berusia <20 tahun. (2) Distribusi Pendidikan Ibu Tabel 2 Distribusi Pendidikan Ibu di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tahun 2015 No. Pendidikan F % 1 SD 4 8,7 2 SMP/ Sederajat 7 15,2 3 SMA/ Sederajat 29 63,1 4 Akademik/ Sarjana 6 13,0 Jumlah 46 100 Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar (63,1%) berpendidikan SMA dan sebagian kecil (8,7%) berpendidikan SD. (3) Distribusi Pekerjaan Ibu Tabel 3 Distribusi Pekerjaan Ibu di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tahun 2015. No. Pekerjaan F % 1 Petani 9 19,5 2 Wiraswasta 19 41,3 3 PNS 1 2,2 4 Tidak bekerja/ IRT 17 37,0 Jumlah 46 100 Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa hampir sebagian (41,3%) adalah wiraswasta dan sebagian kecil (2,2%) adalah PNS. (4) Distribusi Jumlah Anak Tabel 4 Distribusi Jumlah Anak Ibu di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tahun 2015. No. Jumlah Anak F % 1 1 15 32,6 2 2 20 43,5 3 3 8 17,4 4 >4 3 6,5 Jumlah 46 100 SURYA Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa hampir sebagian (43,5%) mempunyai jumlah anak 2 dan sebagian kecil (6,5%) mempunyai jumlah anak >4. 2) Karakteristik Anak Karakteristik anak dalam penelitian ini meliputi: jenis kelamin dan usia anak. (1) Distribusi Jenis Kelamin Anak Tabel 5 Distribusi Jenis Kelamin Anak Usia 3-5 Tahun di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tahun 2015. No. Jenis Kelamin F % 1 Laki – laki 29 63,0 2 Perempuan 17 37,0 Jumlah 46 100 Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa sebagian besar (63,0%) berjenis kelamin laki-laki. (2) Distribusi Umur Anak Tabel 6 Distribusi Umur Anak Usia 3-5 Tahun di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tahun 2015. No. Umur Anak F % 1 3 tahun 23 50,0 2 4 tahun 17 37,0 3 5 tahun 6 13,0 Jumlah 46 100 Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebagian (50%) berumur 3 tahun dan sebagian kecil (13,0%) berumur 5 tahun. 2. Data Khusus 1) Distribusi Urutan Anak dalam Keluarga Tabel 7 Distribusi Urutan Anak Usia 3-5 Tahun di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan No. Urutan anak F % 1 Sulung 24 52,2 2 Tengah 6 13,0 3 Bungsu 16 34,8 Jumlah 46 100 Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa sebagian besar (52,2%) adalah anak sulung dan sebagian kecil (13,0%) adalah anak tengah. 82 Vol. 07, No. 03, Desember 2015 Kejadian Tempertantrum Dilihat dari Pola Asuh dan Urutan Anak Dalam Keluarga 2) Distribusi Pola Asuh Orang Tua Tabel 8 Distribusi Pola Asuh Orang Tua pada anak Usia 3-5 Tahun di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tahun 2015 No. Pola Asuh F % 1. Positif 21 45,6 2. Negatif 25 54,4 Jumlah 46 100 Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa sebagian besar (54,4%) menerapkan pola asuh negatif. 3) Distribusi Kejadian Tempertantrum Tabel 9 Distribusi Kejadian Tempertantrum pada Anak Usia 3-5 tahun di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tahun 2015 No. Kejadian Tempertantrum F % 1 Tempertantrum 26 56,5 2 Tidak Tempertantrum 20 43,5 Jumlah 46 100 Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagian besar (56,5%) anak mengalami tempertantrum. 4) Kejadian Tempertantrum ditinjau dari Urutan Anak dalam Keluarga Tabel 10 Tabel silang Kejadian Tempertantrum ditinjau dari Urutan Anak dalam Keluarga Kejadian Tempertantrum Tidak Urutan Tempertantrum No Tempertantrum anak F % F % 1 Sulung 2 Tengah 3 Bungsu 18 2 6 75,0 33,3 37,5 6 4 10 25,0 66,7 62,5 26 56,5 20 43,5 Berdasarkan tabel 10 diperoleh data bahwa sebagian besar anak sulung mengalami tempertantrum yaitu sebesar 75,0% atau 18 anak. Sedangkan berdasarkan hasil uji analisis menggunakan uji Koefisien Kontingensi didapatkan nilai C = 0,363 dan nilai p = 0,030, dimana nilai p < 0,05 sehingga H1 diterima artinya ada hubungan antara urutan anak dalam keluarga dengan kejadian tempertantrum pada anak usia pra sekolah (3-5 tahun) di RA Bahrul Ulum Desa Jumlah SURYA Blawi Kecamatan Kabupaten Lamongan. Karangbinangun 5) Kejadian Tempertantrum dilihat dari Pola Asuh Orang Tua Tabel 11 Tabel silang Kejadian Tempertantrum dilihat dari Pola Asuh Orang Tua Kejadian Tempertantrum Tidak Pola Tempertantrum No. Tempertantrum Asuh F % F % 1. Positif 18 72,0 7 28,0 2. Negatif 8 38,0 13 61,9 26 56,5 20 43,5 Jumlah Jumlah F % 25 100 21 100 46 100 PEMBAHASAN 1. Kejadian Tempertantrum ditinjau dari Urutan Anak dalam keluarga Pada Anak Usia Pra Sekolah (3-5 Tahun) di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak sulung mengalami tempertantrum. Anak sulung merupakan anak tunggal yang beralih posisi karena munculnya anak kedua. Sebelum kelahiran adiknya, dia menjadi anak tunggal yang mendapat perhatian penuh dari orangtua, segala kebutuhan dipenuhi dan terkadang disertai pemanjaan yang berlebihan karena belum ada saudara yang lain. Akan tetapi setelah kelahiran anak kedua, orang tua akan Jumlahsibuk dengan anak keduanya sehingga cenderung mengabaikan anak pertama, F %kebutuhan anak yang baru akan lebih diutamakan daripada anak pertama. 24 100 Perlakuan tersebut dapat memicu reaksi 6 100 cemburu terhadap kehadiran saudara barunya 16 100 sehingga menggunakan perilaku negatif atau 46 100tempertantrum sebagai salah satu cara untuk mencari perhatian dari orangtuannya. Hal ini sesuai menurut Roslina Verauli (2009) yang mengatakan bahwa anak sulung cenderung tertekan dan senang menjadi pusat perhatian. Perkembangan kepribadiannya lebih optimal ketika dia memperoleh perhatian dan segala keinginannya terpenuhi. Hal ini juga didukung oleh Wong (2008) yang mengatakan bahwa kecemburuan dan ketidaksukaan anak terhadap saudara barunya cenderung paling menonjol pada anak sulung karena 83 Vol. 07, No. 03, Desember 2015 Kejadian Tempertantrum Dilihat dari Pola Asuh dan Urutan Anak Dalam Keluarga mengalami kehilangan perhatian tunggal dari orangtua (dethronement). Kedatangan bayi baru merupakan krisis bagi anak usia pra sekolah (3-5 tahun), bahkan bagi beberapa anak yang telah dipersiapkan sangat baik. Sebenarnya bukan bayi yang dibenci atau tidak disukai oleh anak tetapi perubahan yang ditimbulkan oleh tambahan sibling ini, terutama perpisahan dengan ibu selama kelahiran. Orangtua sekarang membagi cinta dan perhatiannya dengan orang lain, rutinitas yang biasa menjadi terganggu dan anak dapat kehilangan tempat tidur atau kamarnya untuk adik barunya. Semua terjadi saat anak mengira bahwa mereka telah mengontrol duniannya. Beberapa anak akan secara terang-terangan memperlihatkan kecemburuan yang sangat kompleks seperti memukul bayi, mendorong bayi dari pangkuan ibunya, kembali bersifat yang lebih kekanakan, berperilaku tempertantrum, bersifat agresif terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain untuk mendapat perhatian. Pada penelitian ini, sebagian besar anak tengah tidak mengalami tempertantrum. Anak tengah berada diantara anak tertua dan anak termuda. Orang tua biasanya sudah lebih percaya diri dalam merawat anak sehingga anak punya kesempatan untuk belajar berkomunikasi dan lebih mampu beradaptasi diantara anak terbesar dan anak terkecil. Hal tersebut sering kali membuat anak lebih mandiri, perilakunya lebih terkontrol dan tidak timbul rasa cemburu kepada saudara yang lainnya sehingga tidak berperilaku negatif atau tempertantrum. Seperti pendapat Wong (2008), karakteristik anak tengah yaitu lebih dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, belajar untuk berkompromi dan beradaptasi, lebih sulit memiliki ciri tersendiri karena keberagaman kedudukan dalam keluarga tetapi lebih mandiri, ramah dan lebih mudah bergaul serta memiliki rasa setia kawan yang tinggi. Mereka cenderung memiliki kemampuan dalam bersosialisasi dan tidak menggunakan perilaku yang negatif untuk menyelesaikan masalahnya. Sedangkan berdasarkan penelitian ini juga diperoleh data bahwa sebagian besar anak bungsu yaitu 10 (62,5%) tidak mengalami tempertantrum. Anak bungsu merupakan anak terakhir yang tidak mempunyai adik lagi dan biasanya mendapat perhatian penuh dari semua anggota keluarga SURYA baik itu orangtua atau kakaknya sehingga membuat anak mempunyai kepribadian yang hangat, ramah, penuh perhatian dan cenderung tidak menggunakan perilaku negatif untuk mendapatkan perhatian dari orang tua. Akan tetapi perhatian dari saudara dan orang tuanya yang terus menerus dan berlebihan juga dapat mengakibatkan sifat anak bungsu seperti terlihat kekanakan, cepat putus asa dan mudah emosi jika keinginannya tidak dipenuhi. Hal ini sesuai dengan teori Tasmin (2010) bahwa beberapa kepribadian yang dimiliki anak dapat menjadikan anak sebagai sosok tertentu dalam tahap perkembanganya di dalam keluarga. Hal ini juga diperkuat dengan teori Yusuf (2007) yang menyatakan bahwa urutan kelahiran anak mempengaruhi kesuksesan seseorang, terutama pada anak yang berasal dari keluarga besar atau dari keluarga dengan ekonomi rendah tetapi kurang berpengaruh pada keluarga mampu. 2. Kejadian Tempertantrum ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Usia Pra Sekolah (3-5 Tahun) di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Orang tua dapat membantu perkembangan anak melalui berbagai cara, yang paling penting adalah kehidupan keluarga yang bahagia dan stabil tanpa ketegangan serta cara merawat anak yang penuh kesabaran dala menghadapi segala macam konflik (Suherman, 2002) Pada dasarnya sikap orang tua akan tampak pada saat berinteraksi dalam keluarga, karena dalam interaksi tersebut, sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua sehari-hari akan dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian menjadi kebiasaan bagi anaknya. Hal tersebut dikarenakan anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya, sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (lingkungan), walaupun tidak dapat disangkal bahwa faktor lingkungan juga besar pengaruhnya terhadap perkembangan tingkah laku individu (anak), khususnya pada masa kanak-kanak sampai remaja, sebab pada masa ini anak mulai berfikir kritis. Sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak, berpengaruh pada sikap dan perilaku anak. Dalam hal ini, orang tua yang menerapkan salah satu sikap tertentu dalam 84 Vol. 07, No. 03, Desember 2015 Kejadian Tempertantrum Dilihat dari Pola Asuh dan Urutan Anak Dalam Keluarga keluarga yang bertujuan untuk mendisiplinkan anak, akan berpengaruh pada tingkat perkembangan individu yaitu perkembangan kemandiriannya. Oleh karena itu, untuk mendisiplinkan anak agar mencapai kemandirian yang diharapkan, terkadang sikap orang tua cenderung mengarah pada dua tipe pendekatan, yaitu pendekatan posotif dan pendekatan negatif. Hal inilah yang melatar belakangi munculnya sikap tempertantrum pada anak. dan wawasan mengenai kejadian tempertantrum pada anak usia prasekolah. (3) Bagi Peneliti Yang Akan Datang Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk penelitian berikutnya dengan faktor lain yang berkaitan tentang materi tempertantrum pada anak usia pra sekolah. DAFTAR PUSTAKA PENUTUP 1. Kesimpulan Setelah menganalisis data dan melihat hasil pembahasan maka peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Sebagian besar anak usia pra sekolah (3-5 tahun) di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinanagun Kabupaten Lamongan Tahun 2012 adalah anak sulung. 2) Sebagian besar anak usia pra sekolah (3-5 tahun) di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinanagun Kabupaten Lamongan Tahun 2012 mengalami tempertantrum. 3) Terdapat hubungan antara urutan anak dalam keluarga dengan kejadian tempertantrum pada anak usia pra sekolah (3-5 tahun) di RA Bahrul Ulum Desa Blawi Kecamatan Karangbinangun Kabupaten Lamongan Tahun 2012. 2. Saran 1) Bagi Akademis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi mahasiswa serta dapat dijadikan sebagai bahan pengelolaan untuk memperkaya informasi tentang tempertantrum pada anak usia prasekolah khususnya untuk Mata Kuliah Keperawatan Anak. 2) Bagi Praktisi (1) Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan untuk pemerintah dalam mengurangi kejadian kriminalitas oleh anak-anak yang sebagian besar disebabkan karena perilaku tempertantrum pada masa balita. (2) Bagi Institusi Tempat Penelitian Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai masukan untuk menambah pengetahuan SURYA Ernawulan. 2011. Perkembangan Anak Taman Kanak – Kanak. http://paudanakceria.wordpress.com/ 2011/05/09/perkembangan-anaktaman-kanak. Diakses tanggal 05 Januari 2012 Fajar. 2007. Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir www.multilpy. com. Diakses Tanggal 05 Januari 05 2012 pukul 09.11 WIB Rudolph. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 1 Edisi 20. Jakarta: EGC Suherman, U. 2002. Psikologi Pendididkan (Membangun Interaksi Pembelajaran Optimal). Bandung: PT Relaja Rosda Karya Tasmin, Martina Rini. S. 2010. Mengatasi tempertantrum pada anak. http://articleammafamily.blogspot.co m/2010/02/mengatasi-tantrum-padaanak.html. Diakses tanggal 16 Oktober 2011 pukul 13.00 WIB Yusuf, Syamsu. 2007. Mengajari Anak/ Murid Agar Mudah Dan Sportif Menerima Kekalahan. http://gilangmind.blogspot.com/2010 /08/ mengajari -anak-murid-agarmudah-dan.html Diakses pada tanggal 27 Oktober 2011 pukul 10.16 WIB Wong, 85 Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC Vol. 07, No. 03, Desember 2015