BAB II. STUDI PUSTAKA 2.1. Penggunaan Pestisida di Lahan Pertanian Pestisida menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari system pertanian di Indonesia. Di Asia, Indonesia termasuk negara yang banyak menggunakan pestisida setelah Cina dan India. Penggunaan pestisida yang intensif terdapat pada usaha tani hortikultura. Frekuensi aplikasi pestisida untuk mencegah kehilangan produktivitas panen akibat serangan hama penyakit bisa mencapai 3-5 kali dalam seminggu. Aplikasi pestisida di lahan pertanian menyisakan kurang lebih 60% pestisida akan jatuh ke tanah dan dari pestisida tersebut akan menjadi permasalahan besar bagi kualitas lingkungan. Penggunaan pestisida dengan intensitas tinggi dan berkepanjangan menurunkan biodiversitas di dalam tanah, sehingga kesuburan tanah menjadi terganggu. Beberapa senyawa kimia penyusun pestisida merupakan kontaminan tanah yang persisten dalam arti bahwa sifat pencemarannya akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama bertahan di dalam tanah (Ardiwinata, 2010). Dalam penelitian Elvira, dkk. (2013) bahwa terdapat penggunaan pestisida yang digunakan pada petani yang menjadi pemasok sayuran sawi di Pasar Pannampu yaitu pestisida golongan organofosfat dengan bahan aktif profenofos.Begitu juga pada jenis sayuran lainnya seperti cabai dan kentang. Hasil penelitian Afriyanto (2008) menyatakan bahwa penggunaan pestisida pada cabai oleh petani, selain dapat mencemari lingkungan juga dapat mencemari manusia (keracunan). Kebiasaan petani dalam menggunakan pestisida kadang-kadang menyalahi aturan, selain dosis yang digunakan melebihi takaran, petani juga sering mencampur beberapa jenis pestisida, dengan alasan untuk meningkatkan daya racunnya pada hama tanaman. Tindakan yang demikian sebenarnya sangat merugikan, karena dapat menyebabkan semakin tinggi tingkat pencemaran pada lingkungan oleh pestisida (Sugiartoto, dkk. 2009). 2. 2. Biochar Manfaat dan Potensinya Sebagai Pembenah Tanah Biochar merupakan substansi arang kayu yang berpori (porous), atau sering disebut charcoal atau agrichar. Karena bahan dasarnya berasal dari makhluk hidup, biochar disebut juga arang hayati. Menurut Cheng et al. (2007) dan Lehmann and Joseph, (2009), biochar adalah arang hasil pembakaran (pirolisis) tanpa oksigen atau 4 UNIVERSITAS MEDAN AREA dengan O2 rendah pada suhu <700 °C. Biochar berasal dari residu pertanian, perkebunan, peternakan dan kehutanan. Penggunaan istilah biochar ini untuk mengghindari pemahaman arang yang berasal dari batubara, fungsi arang sebagai bahan bakar, penggunaan arang sebagai adsorben pada industri makanan dan farmasi, penggunaan arang untuk mengatasi limbah pada larutan atau air yang tercemar, dan lainnya (Brown, 2009). Beberapa istilah yang muncul pada berbagai artikel atau tulisan ilmiah seperti agrichar, karbon hijau, karbon hitam, semua ini adalah karbon dari jaringan tanaman yang dihasilkan melalui pembakaran (pirolisis) yang diperuntukkan sebagai amelioran untuk meningkatkan kesuburan tanah. Downie et al. (2009) membuat batasan istilah untuk memperjelas fungsi dan cara pembuatannya. Istilah Arang digunakan untuk bahan bakar, char arang dari hasil pembakaran spontanitas (kebakaran hutan dan pembuatan arang tradisional lainnya), biochar sebagai adsorben, dan biochar sebagai pembenah tanah (amelioran). Kualitas biochar sangat dipengaruhi oleh bahan baku, dan cara pembakaran (Lehmann and Joseph 2009). Biochar adalah istilah yang relatif baru, namun tidak baru untuk substansinya. Tanah di seluruh dunia mengandung biochar yang dihasilkan melalui kejadian alam, seperti hutan dan kebakaran padang rumput (Krull et al., 2008; Hunt et al., 2010). Dalam tanah, biochar menyediakan habitat yang baik bagi mikroba tanah, tetapi tidak dapat dikonsumsi mikroba seperti bahan organik lainnya. Dalam jangka panjang, biochar tidak mengganggu keseimbangan karbon-nitrogen, tetapi dapat menahan dan menjadikan air dan nutrisi lebih tersedia bagi tanaman. Apliksasi biochar ke tanah merupakan pendekatan baru dan unik dalam menampung CO2 atmosfer dalam jangka panjang pada ekosistem daratan. Setelah melalui proses produksi yang memenuhi persyaratan, biochar mengandung sekitar 50% karbon yang ada dalam bahan dasar. Bahan organik yang terdekomposisi secara biologi biasanya mengandung karbon kurang dari 20% setelah 5-10 tahun. Kalau dibakar, bahan organik hanya meninggalkan 3% karbon. Selain menekan emisi dan meningkatkan daya pengikatan gas rumah kaca, aplikasi biochar juga dapat memperbaiki kesuburan tanah sehingga meningkatkan produksi tanaman. Praktek penggunaan karbon untuk menyuburkan lahan pertanian ini sudah dilakukan ribuan tahun silam meski dengan cara berbeda dan tanpa pemahaman yang 5 UNIVERSITAS MEDAN AREA luas. Petani membakar lahan, atau jaringan tanaman sebelum lahan ditanami, membuat arang batang dari kayu untuk menumbuhkan anggrek. Di lembah Amazon ditemukan lahan berwarna gelap yang diduga merupakan proses pengelohan dengan menambahkan arang sejak 500 – 2500 tahun silam yang dikenal dengan ”terra preta” (Glaser et al, 2003). Tradisi China (1915 an) meyakini bahwa lahan menjadi subur dengan membakar biomassa). Di Jepang pada tahun 1600 an dikenal dengan ”pupuk api” (fire-manure) sebagai penyubur pertanian dan pupuk api ini tak ubahnya biochar. Jepang juga memiliki tradisi panjang menggunakan arang dalam tanah, suatu tradisi yang sedang dihidupkan kembali dan telah diekspor selama 20 tahun ke negara-negara seperti Kosta Rika. Tradisi Jepang dijelaskan Ogawa, M., Osaka Institute of Teknologi sebagai pemakalah utama, Konferensi Biochar Asia Pasifik, 17-20 Mei 2009: Arang telah digunakan dalam bidang pertanian di Jepang. Sejak tahun 1970 ilmuwan mulai mempromosikan produksi dan penggunaan arang sebagai pembenah (amelioran) tanah di bidang pertanian, dan pada tahun 1986 sebuah kelompok teknis didirikan untuk mempelajari teknologi karbonisasi. Tahun 80 an penggunaan biochar di Jepang mencapai 30.000 ton /tahun (Major, 2010). Ameliorasi biochar ke dalam tanah dapat meningkatkan total organik karbon dan mengurangi biomassa mikrobia, respirasi, dan agregasi serta pengaruh pembekuan cahaya pada tanah, sehingga dapat memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah dan dapat merangsang pertumbuhan akar (Weil, et al., 2003; Gusmailina, et al., 2002). Menurut Harsanti dan Ardiwinata (2011) biochar dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan hayati tanah. Biochar efektif dalam meningkatkan sifat fisik tanah seperti agregat tanah dan kemampuan tanah mengikat air. Pada tanah berliat, biochar dapat membantu menurunkan kekerasan tanah dan mempertinggi kemampuan pengikatan air tanah, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas mikroorganisme tanah. Di dalam tanah, biochar memainkan peranan sebagai shelter atau rumah untuk mikroorganisme. Pori-pori kecil pada karbon aktif digunakan sebagai tempat tinggal bakteri, sedangkan pori besar dan retakan (cracks) digunakan sebagai tempat berkumpul. Pernyataan tersebut juga ditegaskan oleh Balingtan (2013) bahwa aplikasi biochar di lahan pertanaman sayuran memiliki banyak manfaat, yaitu biochar dapat meningkatkan nilai pH (bila tanah asam) dan menurunkan pH (bila tanah basah), meningkatkan KTK tanah, dan populasi mikroba pendegradasi pencemar. 6 UNIVERSITAS MEDAN AREA 2.3. Pemanfaatan Biochar dari Kendaga dan Cangkang Biji Karet dan Penggunaannya sebagai Pengendali Residu (Amelioran) Perkebunan karet di Indonesia memiliki luas 3.2 juta ha yang terdiri dari karet rakyat dan kebun milik negara dan kebun swasta. Setiap tahun jumlah program peremajaan kebun karet rakyat berkisar 50-70 ribu ha (Supriadi 2009). Potensi biji karet pada musim biji utama dalam keadaan normal adalah sekitar 5.000-10.000 butir per hektar tanaman dewasa dengan berat rata-rata biji segar tergantung dari jenis klon induk yaitu berkisar 5.0-3.5 gram (Siagian 2012). Produksi biji karet per hektar tanaman dipengaruhi berbagai faktor antara lain umur tanaman, jarak tanam, keadaan penyakit daun/bunga, pemupukan, sifat fertilitas, jumlah bunga dan iklim. Makin dewasa pohonnya, produksi buah makin banyak dan kemudian menurun pada tanaman tua. Hasil yang paling banyak terdapat pada umur tanaman 10-20 tahun (Siagian 2012). Bulan Agustus hingga November merupakan masa di mana tanaman karet berbunga dan menghasilkan biji khususnya di kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara di bagian Utara khatulistiwa, sementara pada bagian Selatan khatulistiwa umumnya tanaman karet berbunga pada bulan Januari sampai dengan April (Siagian 2012). Selain untuk benih sebagai bahan tanam, biji karet memiliki beberapa manfaat yang bernilai ekonomis. Cangkang biji dapat dijadikan biochar atau bahan pencampur obat anti nyamuk bakar. Daging biji dapat dijadikan minyak pada pabrik cat atau pernis, batik, genteng, atau digunakan dalam pembuatan sabun, pelunak karet, minyak pengering, alkaloid resin, lemak gemuk, dan asam lemak lainnya (Siregar dan Suhendry, 2013). Balai Penelitian Lingkungan Pertanian di Bogor dalam penelitiannya telah menemukan suatu teknik pengendali residu pestisida dengan memanfaatkan suatu bahan amelioran biochar yang terbuat dari limbah pertanian yaitu biochar tempurung kelapa, sekam padi, tongkol jagung dan tandan kosong kelapa sawit yang diketahui memiliki daya serap tinggi dan mampu menyerap/mengikat pencemar residu pestisida (Ardiwinata 2010). Penelitian biochar juga dikemukan oleh Lempang (2013) bahwa dengan aplikasi biochar yang berasal dari tempurung kemiri sebagai komponen media tumbuh dapat meningkatkan secara nyata pertumbuhan tinggi, diameter batang, dan biomassa tanaman Melina. Seperti halnya kelapa sawit, batang kayu, serta tempurung 7 UNIVERSITAS MEDAN AREA kelapa dan kemiri yang dapat dimanfaatkan sebagai briket atau arang, begitu juga dengan cangkang biji karet, mengingat komponen kendaga tersusun oleh selulosa yang memiliki kandungan karbon yang cukup. Maka dari itu, hipotesis terhadap pemanfaatan kendaga dan cangkang biji karet perlu dianalisis sebagai biochar. Pembuatan biochar dengan memanfaatkan kendaga dan cangkang biji karet merupakan pemanfaatan limbah pertanian yang ramah lingkungan. 2. 4. Pembuatan Biochar Pembuatan biochar terdiri dari dua tahap, yaitu proses karbonasi terhadap bahan baku dan proses aktifasi hasil proses karbonisasi pada suhu tinggi. Proses karbonasi adalah proses penguraian selulosa menjadi unsur karbon dan pengeluaran unsur-unsur nonkarbon yang berlangsung pada suhu 600 - 700 C (Kienle,1986). Proses aktivasi merupakan proses untuk menghilangkan hidrokarbon yang melapisi permukaan arang, sehingga dapat meningkatkan porositas arang. Proses aktivasi arang dapat dilakukan dengan cara aktivasi menggunakan gas atau proses aktivasi kimia. Prinsip dasar aktivasi menggunakan gas adalah dengan pemberian uap air atau gas CO2 kepada arang yang telah dipanaskan. Arang dimasukkan ke dalam tungku aktivasi, lalu dipanaskan pada suhu 800-1000 o C. Uap air atau gas CO2 dialirkan selama pemanasan. Selama pengaktifan dengan gas pengoksidasi, lapisan karbon kristalit yang tidak teratur mengalami pergeseran yang menyebabkan permukaan kristalit atau celah menjadi terbuka, sehingga gas pengaktif yang lembam dapat mendorong residu hidrokarbon seperti senyawa ter, fenol, metanol dan senyawa lain yang menempel pada permukaan arang. Cara yang efektif untuk mendorong residu tersebut adalah dengan mengalir-kan gas pengoksidasi pada permukaan materi karbon (Pari, 1996). Prinsip dasar aktivasi kimia adalah perendaman arang dengan bahan kimia sebelum dipanaskan. Arang direndam dalam larutan pengaktif selama 24 jam lalu ditiriskan dan dipanaskan pada suhu 600 - 900 C selama 1-2 jam. Pada suhu tinggi ini bahan pengaktif akan masuk di antara sela-sela lapisan heksagonal dan selanjutnya membuka permukaan yang tertutup. Bahan kimia yang digunakan antara lain H3PO4, NH4Cl, AlCl3, HNO3, KOH, NaOH, H3BO3, KMnO4, SO2, H2SO4 dan K2S (Kienle, 1986). Unsur-unsur mineral dari persenyawaan kimia yang ditambahkan akan 8 UNIVERSITAS MEDAN AREA meresap ke dalam arang dan membuka permukaan yang mula-mula tertutup komponen kimia, sehingga luas permukaan yang aktif bertambah besar (Ketaren, 1986). Tabel 1. Persyaratan Biochar Berdasarkan SNI 06-3730-1995 Jenis Parameter Kadar Air Kadar Abu Kadar Zat Menguap Kadar Karbon Terikat Daya Serap terhadap Yodium Daya Serap terhadap Benzena Nilai Maksimum 15 % Maksimum 10 % Maksimum 25 % Minimum 65 % Minimum 750 mg/g Minimum 25% Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1995). 9 UNIVERSITAS MEDAN AREA