Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teori-teori
2.1.1 Peranan Pemerintah Daerah
Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih
baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah menurut Stiglitz (2000) ada tiga
hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Tiga hal yang
relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan
barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich, 1990).
Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi (Musgrave
1959). Kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan
distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi pendapatan yang (relatif)
merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum.
Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian
pendapatan yang lebih merata di antara kelompokā€kelompok masyarakat.
Selanjutnya, dalam sistem yang terdiri dari pemerintahan dengan beberapa
tingkatan (multilevel government), pertanyaannya menjadi apakah yang menjadi
tugas dari masingā€masing tingkat pemerintahan yang berbeda dalam mencapai
distribusi pendapatan yang lebih merata. Teori awal menjawab pertanyaan ini
(yang belakangan disebut sebagai first generation theory of fiscal federalism)
menunjukkan bahwa pemerintah pusat seyogyanya memainkan peranan utama
dalam melakukan redistribusi pendapatan (Oates, 2005). Redistribusi pendapatan
akan sangat sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang
menerapkan suatu sistem pajak progresif memang akan mendapatkan distribusi
pendapatan yang lebih merata untuk daerahnya, tetapi kemungkinan besar terjadi
dengan perginya kelompok masyarakat (dan dunia usaha) berpendapatan tinggi
dari daerah yang bersangkutan.
Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa
pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka
untuk meningkatkan pengeluaran agregat (dan karenanya merangsang keluaran
10
agregat) dalam resesi dan depresi. Pemerintah dapat mempengaruhi perekonomian
makro melalui dua saluran kebijakan yaitu, kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang
pengeluaran dan perpajakan dengan kata lain, kebijakan anggarannya. Kebijakan
fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu :
1)
kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa
2)
kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan
3)
kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi
pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan
tunjangan veteran) kepada rumah tangga.
Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai
pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang
mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal
penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi
sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan
mempunyai tujuan ganda, yaitu untuk menyediakan dana untuk kepentingan
umum dan mempengaruhi tingkah laku ekonomi. Kebijaksanaan fiskal merupakan
suatu alat menajemen ekonomi dan pajak dapat dinilai dari segi pengaruhnya atas
keputusan wajib pajak, atas kemauan untuk bekerja, memakai, menabung atau
investasi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila
ekonomi 'sedang baik` dan diturunkan kalau ingin rneningkatkan permintaan pada
waktu resesi. Dalam hal pengeluaran, dilihat penggunaan dari dana yang
diperoleh, yang ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran dan tujuan
negara. Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan
bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Selain itu pengeluaran dibagi
menjadi dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti
mernbayar gaji pegawai, belanja barang serta pengeluaran yang bersifat
pembangunan. Dengan demikian, kebijakan fiskal merupakan kebijakan
pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan
alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.
11
a. Dampak Perubahan Pengeluaran Pemerintah
Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat output keseimbangan dengan
menambah
atau
mengurangi
pengeluarannya.
Besarnya
efek
perubahan
pengeluaran pemerintah adalah sama dengan pengaruh perubahan investasi (Io)
atau konsumsi otonomous (Co), sehingga dampak perubahan pengeluaran
pemerintah terhadap perekonomian dapat ditulis sebagai:
ΔY = ΔG/(1-b) ..............................................................................................
(2.1)
b. Pengaruh Pajak terhadap Keseimbangan Ekonomi
Karena kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi
yang lebih baik, maka dampaknya terhadap keseimbangan harus dipahami. Salah
satu cara paling mudah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output
keseimbangan.
Pajak
nominal,
pertarna
kali
mempengaruhi
pendapatan
disposable. Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka
pendapatan disposable adalah :
Yd =Y-T ........................................................................................................
(2.2)
Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah
C=Co+b Yd ....................................................................................................
(2.3)
Dengan adanya pajak nominal, maka Yd = Y - T, sehingga fungsi konsumsi
menjadi:
C = Co + b (Y - T), dan fungsi pengeluaran agregat menjadi AE = Ao + bY - bT.
Dengan demikian fungsi keseimbangan menjadi
Y=AE=Ao-bT+bY .......................................................................................
(2.4)
Y(1-b) = Ao – bT .........................................................................................
(2.5)
Y=(Ao-bT)/ (1-b) .........................................................................................
(2.6)
sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (ΔT) dengan perubahan
pendapatan keseimbangan (ΔY) adalah
ΔY= -bAT/ (1-b) ..........................................................................................
(2.7)
12
2.1.2 Pengeluaran Pemerintah
Di Indonesia pengeluaran pemerintah mempunyai peranan besar dalam
meningkatkan dan mempertahankan permintaan agregat serta pertumbuhan
ekonomi. Sumber dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah
tersebut berasal dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan.
Penerimaan dalam negeri pemerintah Indonesia berasal dari minyak bumi dan gas,
pajak dan bukan pajak, serta tabungan pemerintah di Bank Indonesia. Penerimaan
pembangunan meliputi bantuan program dan bantuan proyek. Dana penerimaan
pembangunan ini sebagian besar berasal dari luar negeri baik berupa kredit
komersial maupun pinjaman dengan syarat pengembalian lunak.
Kondisi perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan tersebut dapat
berupa (1) anggaran surplus, bila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, (2)
anggaran berimbang, bila penerimaan sama dengan pengeluaran, dan (3) anggaran
defisit bila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan melaksanakan anggaran berimbang
untuk menghindari terjadinya inflasi yang tinggi. Kebijaksanaan tersebut tetap
dianut hingga sekarang. Meskipun dalam pelaksanaannya seringkali kebijakan
tersebut belum direalisasikan dengan baik.
a. Pengeluaran rutin pemerintah
Pengeluaran rutin pemerintah yang mempunyai dampak langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi adalah pengeluaran rutin, terutama dari kategori belanja
pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, dan pengeluaran rutin lainnya
seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM). Seperti diilustrasikan pada Gambar
2.1 peningkatan pengeluaran untuk belanja pegawai (GCP) akan meningkatkan
pendapatan pegawai (Y). Peningkatan pendapatan tersebut akan menambah
permintaan agregat (AD) di dalam ekonomi.
Melalui efek pengganda pendapatan, perkembangan permintaan agregat
akan meningkatkan pendapatan pada periode selanjutnya, dan seterusnya.
Pertumbuhan pengeluaran pemerintah untuk belanja barang dalam negeri (GCD)
akan menambah jumlah permintaan agregat didalam ekonomi, sedangkan
penambahan pengeluaran pemerintah untuk barang impor selama barang tersebut
13
merupakan barang modal atau pembantu untuk BUMN atau departemen(GIP)
yang berdampak positif bagi peningkatan produktifitas pegawai negeri akan
mempengaruhi langsung pendapatan dari sisi penawaran. Penambahan subsidi
daerah otonom (GCS) akan mempengaruhi langsung pendapatan daerah (melalui
efek belanja pegawai) atau permintaan agregat (melalui efek belanja nonpegawai).
Pengeluaran rutin lainnya (GCO) akan berdampak positif langsung terhadap
peningkatan jumlah permintaan agregat di dalam ekonomi.
GCP
GCD
GIP
Y
AD
Income Multiplier
GCS
GCO
Sumber: Tambunan (1996)
Gambar 2.1. Efek positif dari peningkatan pengeluaran
terhadap pendapatan dan permintaan agregat
pemerintah
b. Pengeluaran pembangunan pemerintah
Sebagai negara berkembang, Indonesia masih dalam proses membangun,
pengeluaran pembangunan mencerminkan peranan (intervensi) pemerintah.
Pengeluaran pembangunan untuk membangun jalan raya maupun jalan desa,
jembatan, stasiun bus dan kereta api, pelabuhan, irigasi dan waduk, pembangkit
tenaga listrik, gedung sekolah, serta pengeluaran untuk membangun desa,
termasuk industri kecil dan infrastruktur, dan disektor pertanian. Kebutuhan akan
pembangunan fasilitas seperti ini dan lainnya akan terus bertambah mengikuti
pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan masyarakat setiap tahunnya.
14
2.1.3 Pengertian dan Konsep Desentralisasi
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih
baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih
demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan
kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan,
kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang
dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan
dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk
didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam,
terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem
pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi
mencakup
aspek-aspek
politik
(political
decentralization),
administratif
(administrative decentralization), dan fiskal (fiscal decentralization) (Litvack,
1999, dalam Abimanyu dan Megantara, 2009).
a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada
daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan
standar dan berbagai peraturan
b. Desentralisasi
administrasi,
merupakan
pelimpahan
kewenangan,
tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan
c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk
menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari
pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi
2.1.4 Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari
desentralisasi, dimana apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya dan
diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus
mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat berupa subsidi/bantuan maupun
pinjaman dari Pemerintah Pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai,
baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, antara
15
lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi Alokasi
adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar
tercipta secara efisien, yaitu adanya peran pemerintah dalam menyediakan barang
yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah
dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya
keadilan dalam mengaturan distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada
tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran,
pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan
kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan
fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan
penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumbersumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah
(PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari
Pemerintah Pusat.
Salah satu model yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan
oleh Tiebout (1956) yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" (1956) yang
terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it". Tiebout menekankan bahwa
tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang
dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan
Pemdanya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran
daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari
Pemdanya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak
senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk
pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga
masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah
tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRDnya. Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk
mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang
publik pada tingkat lokal.
Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai
efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada
16
gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local
services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting
desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara
pemerintah lokal dengan DPRD-nya.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan
mempedomani hal-hal sebagai berikut:
a.
Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
enforcement
b.
Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah
c.
Stabilitas politik yang kondusif
d.
Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana
pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta
pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusankeputusan tersebut
e.
Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung
jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas
manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah
f.
Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran
sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat
2.1.5 Teori Pengeluaran Pemerintah
Pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah upaya untuk memperluas
kemampuan dan kebebasan memilih. Tercapainya hal tersebut merupakan
indikator bahwa manusia secara individu maupun kolektif dapat meningkatkan
kualitas hidupnya. Karenanya harus dibangun terutama adalah: kualitas SDM,
sarana dan prasarana serta kelembagaan-kelembagaan ekonomi modern.
Kesemuanya itu tidak bisa berlangsung dengan sendirinya jika hanya
mengandalkan mekanisme pasar. Terciptanya pembangunan ekonomi sangat
tergantung dari peran pemerintah antara lain dimanifestasikan lewat pengeluaran
pemerintah. Ada beberapa teori perkembangan pengeluaran pemerintah yaitu:
17
a.
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah
Model
ini
dikembangkan
oleh
Rostow
dan
Musgrave
yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap
pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada
tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total
investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana
seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah
pembangunan
ekonomi,
investasi
pemerintah
tetap
diperlukan
untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap
ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar
pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan
menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus
menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu
pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar
sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan
oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya
pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi
dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam
meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam
suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam prosentase terhadap PDB
semakin besar dan prosentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin
kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas
pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke
pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari
tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.
b.
Hukum Wagner
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner
mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila
pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun
akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State
Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-
18
negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner
menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama
disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam
masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak
didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner
mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis
mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah
sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
c.
Teori Peacock dan Wiseman
Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB)
menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak
berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran
pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal,
meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar,
begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila
keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka
pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena
itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana
swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek
pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan
aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai
dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain.
Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif
pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban
untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah
meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan
aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect).
Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan
ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan
untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga
efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang
19
selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori
ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk
memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak
yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin
besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori
bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat
dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan
oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat
menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas
pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk
membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk
menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena.
d.
Faktor penentu pengeluaran pemerintah
Menurut Mangkoesoebroto (1997), perkembangan pengeluaran pemerintah
ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: i) perubahan permintaan akan barang
publik, ii) perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan
juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi, iii) perubahan kualitas barang publik, iv) perubahan harga-harga faktorfaktor produksi.
e.
IS – LM
Apabila terjadi perubahan kebijakan fiskal (belanja pemerintah dan pajak)
akan mengubah ekuilibriuum jangka pendek perekonomian. Perubahan fiskal ini
akan mempengaruhi pengeluaran yang direncanakan dan menggeser kurva IS.
Model IS-LM menunjukkan bagaimana pergeseran dalam kurva IS ini
mempengaruhi pendapatan nasional dan tingkat bunga.
i) Perubahan belanja Pemerintah
Misalkan terjadi kenaikan dalam belanja pemerintah sebesar ΔG.
Pengganda belanja pemerintah (the government-purchases multiplier) dalam
perpotongan Keynesian menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun,
perubahan dalam kebijakan fiskal ini menaikan pendapatan sebesar ΔG/(1-MPC).
Karena itu sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.2, kurva IS bergeser kekanan
20
sebesar jumlah ini. Ekuilibrium perekonomian bergerak dari titik A ketitik B.
kenaikan belanja pemerintah meningkatkan pendapatan dan bunga.
Ketika pemerintah meningkatkan belanjanya atas barang dan jasa,
pengeluaran yang direncanakan akan naik. Kenaikan pengeluaran yang
direncanakan ini akan mendorong produksi barang dan jasa, yang menyebabkan
Tingkat Bunga
pendapatan total Y meningkat.
r
LM
B
r2
A
r1
ΔG/(1-MPC)
IS2
IS1
Y1
Sumber: Mankiw, 2006
Y2
Y
Pendapatan, Output
Gambar 2.2 Kenaikan belanja pemerintah dalam model IS-LM
ii) Perubahan pajak
Dalam model IS-LM, perubahan pajak mempengaruhi perekonomian
seperti halnya perubahan belanja pemerintah, kecuali bahwa pajak mempengaruhi
melalui konsumsi. Misalnya penurunan pajak sebesar ΔT. Pemotongan pajak
mendorong konsumen berbelanja lebih banyak dan karena itu meningkatkan
pengeluaran yang direncanakan. Pengganda pajak dalam perpotongan Keynesian
menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun, perubaham kebijakan ini
menaikkan tingkat pendapatan sebesar ΔT x MPC/(1-MPC). Karena itu,
sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.3, kurva IS bergeser kekanan sebesar jumlah
ini. Equilibrium perekonomian bergerak dari titik A ke titik B.
Tingkat Bunga
21
r
LM
B
r2
A
r1
ΔT x MPC/(1-MPC).
IS2
IS1
Sumber: Mankiw, 2006
Y1
Y2
Y
Pendapatan, Output
Gambar 2.3 Penurunan pajak dalam model IS-LM
2.1.6 Model Teori Pertumbuhan
a. Model Ekonomi Keynesian
Peran investasi termasuk investasi infrastruktur dalam aktivitas ekonomi
dapat dipisahkan atas perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan
perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan bagian dari komponen
pengeluaran agregat, sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur merupakan
bagian dari faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral atau agregat.
Berdasarkan katagori tersebut, penjelasan teoritis mengenai peran investasi akan
dilihat dari sisi permintaan dalam sebuah model makroekonomi dan sisi
penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Pada
bagian ini akan diuraikan teori sisi permintaan yaitu model ekonomi makro
Keynesian.
Model ekonomi makro Keynesian merupakan teori yang menjelaskan
fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dengan menfokuskan perhatiannya pada
sisi pengeluaran agregat. Identitas Produk Nasional Bruto (PNB) standar
Keynesian, dapat diilustrasikan sebagai berikut (Branson, 1979):
C + I + G + (X-M) = PNB = C + S + T + Rf ................................................
(2.8)
22
Dimana:
C = total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa
I=
total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan) terhadap
barang dan jasa (seperti pembelian peralatan militer, pembangunan
gedung, jalan dan jembatan, saluran irigasi, penyediaan tenaga listrik,
telekomunikasi dan jasa pegawai pemerintah)
(X – M) = ekspor bersih barang dan jasa
S=
tabungan swasta bruto
T=
penerimaan pajak bersih
Rf = total pembayaran transfer ke luar negeri
Identitas di atas menunjukkan bahwa kondisi ekuilibrium dicapai ketika
total pengeluaran agregat sama dengan total pendapatan agregat dan keduanya
sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu
perekonomian. Pada posisi keseimbangan, nilai ekspor bersih sama dengan total
pembayaran ke luar negeri, sehingga kedua komponen ini dapat dikeluarkan untuk
penyederhanaan identitas pendapatan nasional, sebagai berikut:
C + I + G = PNB = C + S + T .....................................................................
Apabila
seluruh
komponen
pengeluaran
dan
pendapatan
(2.9)
agregat
dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas
pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut:
c + i + g = y = c + s + t ............................................................................... (2.10)
Dimana:
t = ty;
t>0
c = cyd; c > 0
s = syd ; s’ > 0
i=i ;
g=g;
yd = y – ty;
23
Pada persamaan penerimaan pajak (t), total pengeluaran konsumsi (c) dan
total tabungan (s) semuanya merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, dengan
kecenderungan tambahan pajak (t’) atau marginal propensity to tax (MPT),
kecenderungan tambahan konsumsi (c’) atau marginal propensity to consume
(MPC) dan kecenderungan tambahan tabungan (s’) atau marginal propensity to
save (MPS) positif tetapi lebih kecil dari satu. Pada persamaan investasi swasta (i)
dan pengeluaran pemerintah (g) diasumsikan sebagai peubah eksogenus.
Apabila seluruh komponen pengeluaran agregat disubstitusikan ke sisi
pengeluaran pada persamaan asal akan diperoleh pengeluaran agregat riil sebagai
berikut:
y = c( y − ty ) + i + g .................................................................................... (2.11)
Derivasi total pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g dan i
pada persamaan diatas dan menyusunnya kembali akan menghasilkan efek
pengganda (multiplier) pendapatan dari perubahan peubah eksogenus investasi
swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut:
dy =
1
(di + dg ) ............................................................................ (2.12)
1 − c(1 − t )
Pada persamaan diatas, setiap perubahan peubah eksogenus investasi swasta
dan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional
sebesar hasil kali angka pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran
tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah
tergantung pada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT
semakin besar dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional.
b. Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar
Model pertumbuhan Harrod (1939) dan Domar (1946) atau lebih dikenal
dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan
Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada Negara-negara
sedang berkembang. Domar (1946) mengkonstruksi teorinya dengan menekankan
peran ganda yang dimainkan oleh investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi.
24
Investasi mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier,
dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan
menambah sok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi
juga mempengaruhi penawaran agregat. Dalam hal ini Domar hendak menjawab
tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat sama
dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat
dipertahankan.
Pada model Domar, dinyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat
sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan
pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I)
dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju
pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan
permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS
(Marjinal Propensity to Save=s) terhadap COR (Capital Output Rasio=k) atau
dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
ΔY ΔK ΔI s
................................................................................... (2.13)
=
=
=
Y
K
I
k
Dimana:
ΔY
= laju pertumbuhan permintaan agregat atau output
Y
ΔK
= laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)
K
ΔI
= laju peningkatan investasi
I
Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan
aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan
aktual (the actual growth =ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang
besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi
matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual,
output aktual tidak selalu sama dengan output potensial.
25
Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap
memadai oleh para investor sehingga menjamin tercapainya kapasitas penuh atau
keseimbangan permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Pada laju
pertumbuhan ini, permintaan agregat dianggap cukup tinggi oleh para investor
sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas pabrik yang ada. Dengan
kata lain output aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi
variasi siklis dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai apabila
output (aktual dan potensial), permintaan agregat, stok kapital, dan investasi
tumbuh pada tingkat yang sama.
Perekonomian berada pada posisi keseimbangan ketika laju pertumbuhan
aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju
pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Apabila laju pertumbuhan aktual lebih
kecil daripada laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian
akan mengalami kelebihan kapasitas yang akibatnya dapat menciptakan depresi
jangka panjang. Sebaliknya jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga
laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas
penuh, perekonomian akan mengalami inflasi tinggi jangka panjang. Ketika
perekonomian mengalami ketidakseimbangan, baik karena depresi maupun
inflasi, tidak ada mekanisme otomatis yang dapat membawa perekonomian pada
kondisi keseimbangan.
Karena kondisi ekuilibrium sangat jarang terjadi, Harrod sampai pada
kesimpulan
teorema
ketidakseimbangan
(disequilibrium
theorem)
yang
menyatakan bahwa di dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur
ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan ekuilibrium.
Selama proses pertumbuhan ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang
secara otomatis dapat membawa penyimpangan tersebut kembali kepada kondisi
ekuilibrium.
Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat tercapai
melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk
menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan (Boediono, 1992
dalam Delis, 2008). Kedua kebijakan ini sangat berperan untuk meningkatkan
investasi dalam sektor infrastruktur yang akan meningkatkan permintaan agregat
26
dalam jangka pendek dan memperluas kapasitas produksi serta menjamin
keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
c. Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow
Teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu bentuk teori pertumbuhan
ekonomi neoklasik yang populer. Teori ini merupakan pengembangan teori klasik
yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Dari sisi
penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan output atau
produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung dalam jangka panjang
(Boediono, 1992 dalam Delis, 2008). Peningkatan output per kapita terjadi
sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah dan sumber daya alam,
tenaga kerja, modal dan kemajuan teknologi. Dari keempat faktor produksi
tersebut sebagian besar teori pertumbuhan ekonomi menfokuskan perhatiannya
pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi
kontinyu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing
sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi di antara
faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi
(Djojohadikusumo, 1994 dalam Delis, 2008). Akibat asumsi tersebut, aktivitas
perekonomian secara otomatis akan mencapai stabilitas pertumbuhan pada
ekuilibriumnya dalam jangka panjang.
Solow memandang proses pertumbuhan ekonomi dengan menempatkan
pentingnya peran kemajuan teknologi dalam proses produksi. Model Solow
diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu dianggap terkandung dalam
komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan
teknologi dianggap terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja
efektif (effective labor), labor augmenting atau Harrod-nuetral (Romer, 2001
dalam Delis, 2008).
Dengan asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output
akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja
digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada.
27
Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari
anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan
fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per
tenaga kerja efektif, yaitu:
y = f(k) ......................................................................................................... (2.13)
Dimana:
y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
k=
kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y = output
K=
kapital
L=
tenaga kerja
A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)
AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)
Investasi per unit tenaga kerja efektif
Investasi break-even
Investasi aktual
Sumber: Delis (2008)
K
Gambar 2.4 Investasi aktual dan break-even
Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu
konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi
bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi
menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama
mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja
efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan
investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi
pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan
28
kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada
tetap terpelihara).
Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur
pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika
perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even.
Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.4, apabila tingkat stok kapital per tenaga
kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari
investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif
sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga
kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada
tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit
tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok
kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke
posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya
negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke
posisi keseimbangannya di titik k*.
Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja
efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual
sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total,
tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar
jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar
pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa
akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu
suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada
pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya
ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan
teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow.
2.1.7 Definisi Kemiskinan
Menurut Badan Pusat Statistik, miskin adalah kondisi kehidupan yang
serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumah tangga sehingga tidak
29
mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupan. Sementara
menurut
World
Bank
Institute,
kemiskinan
merupakan
suatu
ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluangpeluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya. Secara rinci terdapat
beberapa definisi kemiskinan sebagai berikut:
a. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum
disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian
terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20% atau 40% lapisan
terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/
pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan
demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini
berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.
Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih
tinggi dari pada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998).
Paper tersebut menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official
figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15% di Amerika Serikat dan juga
mendekati 15% di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak
dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan
sejahtera menurut standar Indonesia.
Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung
merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika
Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir
empat dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin
adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50% dari median
(rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis
kemiskinan relatif juga meningkat.
Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin,
maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan, dan perlu disesuaikan
30
terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan
relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara
dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
b. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,
perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk
uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah
garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan
digolongkan sebagai penduduk miskin.
Garis kemiskinan absolut “tetap (tidak berubah)” dalam hal standar hidup,
garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum.
Garis kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga
angka kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu
dekade yang lalu, dengan catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah.
Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba
menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan
dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala
kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain
hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara
tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat
membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam
menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga
dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada
dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US $ 1 perkapita per hari,
dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah
ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari, dimana lebih dari 2 miliar penduduk
yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP
(Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas
ini adalah garis kemiskinan absolut.
31
c. Terminologi Kemiskinan Lainnya
Terminologi lain yang juga pernah dikemukakan sebagai wacana adalah
kemiskinan
struktural
dan
kemiskinan
kultural.
Wignjosoebroto
dalam
“Kemiskinan Struktural : Masalah dan Kebijakan” yang dirangkum oleh Suyanto
(1995) mendefinisikan “Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai
atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak
menguntungkan”. Dikatakan tak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya
menerbitkan akan tetapi (lebih lanjut dari itu!) juga melanggengkan kemiskinan di
dalam masyarakat.
Di dalam kondisi struktur yang demikian itu kemiskinan menggejala bukan
oleh sebab-sebab yang alami atau oleh sebab-sebab yang pribadi, melainkan oleh
sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak
warga
masyarakat
gagal
memperoleh
peluang
dan/atau
akses
untuk
mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka
yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi
serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan
bermartabat sebagai manusia. Salah satu contoh adalah kemiskinan karena lokasi
tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai,
orang Melayu di Pulau Christmas, suku Tengger di pegunungan Tengger Jawa
Timur, dan sebagainya.
Sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan
budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan
indikator kemiskinan. Padahal indikator kemiskinan tersebut seyogianya bisa
dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan
faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan
perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan
karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing, seperti halnya suku
Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan, dan suku
Kubu di Jambi.
Soetandyo Wignjosoebroto dalam “Kemiskinan, Kebudayaan, dan Gerakan
Membudayakan
Keberdayaan”
yang
dirangkum
oleh
Suyanto
(1995)
32
mendefinisikan “Kemiskinan adalah suatu ketidak-berdayaan”. Keberdayaan itu
sesungguhnya merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya
seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dalam kenyataannya akan banyak
ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan-determinan sosial-budayanya (seperti
posisi, status, dan wawasan yang dipunyainya). Sebaliknya, semua fasilitas sosial
yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya, akan ikut pula menentukan
keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah masyarakat.
Acapkali timbul suatu rasa pesimis di kalangan orang miskin dengan
merasionalisasi keadaannya bahwa hal itu “sudah takdir”, dan bahwa setiap orang
itu sesungguhnya sudah mempunyai suratan nasibnya sendiri-sendiri, yang
mestinya malah harus disyukuri. Oleh karena itu, Soetandyo menyarankan
ditingkatkannya
“Gerakan
Membudayakan
Keberdayaan”
pada
lapisan
masyarakat bawah. Melek huruf, melek bahasa, melek fasilitas, melek ilmu, melek
informasi, melek hak, dan melek-melek lainnya adalah suatu keberdayaan yang
harus terus dimungkinkan kepada lapisan-lapisan masyarakat bawah agar tidak
terjebak ke dalam kemiskinan kultural.
2.1.8 Definisi Pengangguran
Pada dasarnya pengangguran merupakan penduduk usia produktif yang
tidak mendapatkan kesempatan bekerja dengan berbagai sebab. Dinamika pasar
tenaga kerja menunjukkan bahwa peningkatan penawaran tenaga kerja tidak selalu
diikuti peningkatan yang seimbang pada permintaan tenaga kerja. Hal ini
disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang diperoleh suatu wilayah belum
tentu diikuti pula dengan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja
(Tjiptoherijanto dan Soemitro, 1998).
Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh akumulasi investasi bukan
merupakan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Jika pertumbuhan output sama
dengan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja, berarti tidak terdapat sisa output
yang bebas dan bisa dibagikan untuk peningkatan return to capital (reinvestasi)
yang dapat membuka kesempatan kerja baru dan atau peningkatan pendapatan
tenaga kerja. Sebaliknya, bila pertumbuhan output lebih besar dari pertumbuhan
kapital dan tenaga kerja, berarti masih ada sisa output setelah dikurangi kapital
33
dan tenaga kerja. Sisa output ini bisa untuk peningkatan gaji karyawan,
peningkatan return to capital atau reinvestasi dan penjamin secara akumulatif
berlanjutnya pertumbuhan ekonomi (Hananto, 2001 dalam BPS, 2006).
Pada mulanya Badan Pusat Statitik (BPS) mendefinisikan pengangguran
terbuka sebagai penduduk berusia 15 tahun keatas yang dalam kondisi tidak
bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Kegiatan mencari pekerjaan dapat
dilakukan oleh mereka yang sama sekali belum pernah bekerja atau mereka yang
pernah bekerja, karena suatu hal berhenti atau diberhentikan. Usaha mencari
pekerjaan tidak terbatas pada periode seminggu sebelum pencacahan, mereka
yang berusaha mendapatkan pekerjaan dan permohonannya telah dikirim lebih
dari satu minggu yang lalu tetap dianggap sebagai mencari pekerjaan.
Sejak tahun 2001 definisi pengangguran terbuka diperluas mengikuti
rekomendasi International Labour Organization (ILO). Menurut konsep ILO,
pengangguran terbuka terdiri dari :
•
Mereka yang mencari pekerjaan
•
Mereka yang mempersiapkan usaha
•
Mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan
•
Mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Mempersiapkan usaha adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
dalam rangka mempersiapkan usaha/pekerjaan yang ”baru” yang bertujuan untuk
memperoleh penghasilan/keuntungan atas resiko sendiri. Dikategorikan sebagai
mempersiapkan usaha apabila ”tindakannya nyata” seperti: mengumpulkan modal
atau perlengkapan/alat, mencari lokasi/tempat, mengurus surat ijin usaha dan
sebagainya. Mempersiapkan usaha tidak termasuk yang baru merencanakan,
berniat, dan baru mengikuti kursus/pelatihan dalam rangka membuka usaha.
Kegiatan mempersiapkan suatu usaha /pekerjaan tidak terbatas dalam jangka
waktu seminggu yang lalu saja, tetapi dapat dilakukan beberapa waktu yang lalu
asalkan seminggu yang lalu masih berusaha untuk mempersiapkan suatu kegiatan
usaha.
34
Penduduk
Penduduk
Usia Kerja
Angkatan
Kerja
Bekerja
Mencari
Kerja/
Bukan
Angkatan
Kerja
Sekolah
Menganggur
Bekerja
Penuh
Penduduk
Bukan Usia
Kerja
Mengurus
Rumah
tangga
Lainnya
Setengah
Menganggur
Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 2.5 Bagan ketenagakerjaan
Menurut Bagan Ketenagakerjaan (Gambar 2.5), di samping kelompok
pengangguran terbuka, ada sebagian angkatan kerja yang terkategori sebagai
kelompok setengah pengangguran yaitu mereka yang dalam kondisi bekerja tetapi
jam kerjanya di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah
pengangguran terdiri dari :
•
Setengah pengangguran terpaksa yaitu mereka yang bekerja di bawah jam
kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan
atau masih bersedia menerima pekerjaan,
•
Setengah pengangguran sukarela adalah mereka yang bekerja di bawah
jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) tetapi tidak mencari
pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain (sebagian pihak
menyebutkan sebagai pekerja paruh waktu/part time worker).
35
2.1.9 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal secara tidak langsung mempunyai hubungan
terhadap pertumbuhan ekonomi karena dapat meningkatkan efisiensi dalam
alokasi sumber daya. Hal ini disebabkan (1) Pemerintah Daerah memiliki
keuntungan yang lebih baik dibandingkan Pemerintah Pusat dalam memberikan
pelayanan dan penyediaan barang-barang publik yang sesuai dengan preferensi
dan kebutuhan-kebutuhan daerah itu sendiri. (2) Menstimulus Pemerintah Daerah
untuk lebih kreatif, inovatif dan akuntabilitas terhadap daerahnya dalam upaya
merespon kebutuhan masyarakat dan upaya meningkatkan kemakmuran di daerah
melalui optimalisasi sumberdaya yang ada secara efisien dan mengurangi
pemborosan.
Oleh
karena
itu,
Pemerintah
Daerah
diharapkan
mampu
mengembangkan seluruh potensi yang ada, balk somber daya alam maupun
sumberdaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat daerah
itu sendiri yang secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya laju
pertumbuhan ekonomi. (3) Adanya kebijakan desentralisasi akan ditandai dengan
penyediaan infrastruktur di daerah yang secara tidak langsung sangat sensitif
terhadap kondisi regional atau daerah, dimana lebih efektf dalam mendorong
pembangunan ekonomi daripada kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat
yang seringkali mengabaikan adanya perbedaan geografis antar daerah.
Esensi
mengenai
hubungan
antara
pertumbuhan
ekonomi
dan
desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. Pertama,
pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang objektif dari desentralisasi fiskal dan
efisiensi dalam alokasi sumberdaya dalam sektor publik. Kedua, secara eksplisit
bahwa pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakan-kebijakan
untuk mendorong ke arah peningkatan dalam pendapatan per kapita. Ketiga,
pertumbuhan per kapita relatif lebih mudah untuk diukur dan dinterpretasikan
dibanding indikator-indikator ekonomi lainnya.
Dalam model Barro (1990) diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah
memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diketahui fungsi
produksi Cobb Douglas sebagai berikut:
y=f(k,g)=Ak1-αgα
36
dimana g adalah kuantitas barang dan jasa perkapita yang dibeli oleh pemerintah,
yang diasumsikan tidak ada pungutan biaya apapun (user charges). y adalah
output per kapita, dan k adalah stok modal per kapita serta diasumsikan bahwa
fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan (constant return to scale).
]ika diasumsikan total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak τ
maka dapat dituliskan berikut:
g=T= τy= τ Ak1-αgα
Apabila persamaan fungsi produksi dirubah menjadi produktivitas marjinal modal
maka :
fk =A(1 -α)(g/k)α
jika total pembelanjaan pernerintah dibiayai oleh pendapatan pajak pada tingkat τ
di substitusikan dengan persamaan di atas maka dapat dituliskan sebagai berikut:
y=kA1/1- α τ α /1- α
dimana bahwa rasio input g dan k adalah sebagai berikut
τ (y/k)=(Aτ) 1- α
g/k=(g/y)(y/k)=
Nilai untuk produktivitas marjinal modal dapat dituliskan kembali sebagai
berikut:
1 /1- α
fk = (1 –α)A
τ α /1- α
Oleh karena itu, solusi untuk tingkat pertumbuhan output per kapita dapat
ditentukan sebagai berikut:
1 /1- α
y=c/c=(1- σ)[ (1 – α)A
τ α /1- α - ρ]
Pada persamaan di atas, bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi
oleh alokasi pembelanjaan publik dan tingkat pajak, sama halnya dengan individu
memaksimalkan
pertumbuhan
konsumsi
yang
berkaitan
dengan
tingkat
pertumbuhan dari output dan modal.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah juga
digambarkan oleh kurva Scully yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan
37
oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran
pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model
kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi
variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari
model yang dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah
terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih
tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi
tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada gambar 2.6.
t
g
Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB
Sumber: Chao dan Grubel, 1997
Gambar 2.6 Hubungan antara tingkat Pertumbuhan Ekonomi dengan porsi
pengeluaran pemerintah terhadap PDRB
2.1.10 Pengeluaran Pemerintah dan Kesempatan Kerja
Pengeluaran pemerintah yang dipergunakan untuk membeli barang dan
jasa akan mendorong terciptanya lapangan kerja. Pemerintah dalam upaya
menyediakan barang publik secara tidak langsung akan membuka kesempatan
kerja. Lapangan kerja yang tersedia akibat aktivitas pemerintah akan dipengaruhi
oleh jenis pengeluaran. Misalnya proyek-proyek pemerintah yang membutuhkan
padat karya akan lebih membutuhkan banyak tenaga kerja pada masyarakat.
2.1.11 Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan
Besarnya pengeluaran pemerintah dalam kerangka makro ekonomi akan
mendorong pertumbuhan output ekonomi. Pertumbuhan output ekonomi ini akan
diiringi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan
38
masyarakat. Dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang terserap dan diikuti
tingkat pendapatan yang semakin baik akan meningkatkan daya beli masyarakat
sehingga jumlah masyarakat miskin dapat berkurang.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan di China oleh Zhang dan Zou (1998)
menggunakan panel data yang periodenya dimulai pada akhir tahun 1970-an saat
pertumbuhan ekonomi sedang tinggi. Pada periode tersebut pemerintahan pada
tingkat yang lebih tinggi wajib menyediakan investasi publik yang menyebabkan
eksternalitas yang besar pada tahap awal pembangunan ekonomi. Hasil dari
penelitian ini adalah desentralisasi fiskal mengurangi pertumbuhan ekonomi
propinsi di China.
Sedangkan dalam jurnal “Fiscal Decentralization and Economic Growth
in China” yang dilakukan oleh Lin dan Liu (2000), meneliti hubungan antara
pertumbuhan ekonomi di China dengan reformasi fiskal melalui desentralisasi
fiskal. Dimana desentralisasi fiskal ini merupakan pergeseran kewenangan dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemda yang akan meningkatkan
efisiensi ekonomi.
Penelitian ini menggunakan panel data 28 propinsi di China periode 19701993. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi regional
China yang diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan GDP perkapita dipengaruhi
oleh Fiscal Decentralization (FD), Household Responsibility System (HRS),
Fiscal Capacity (FisCap), Rural Population (POPSHR), Total Population
(TPOP), Relative Price of Farm Product to Non Farm Product (FPMP), Share of
Non-State Owner Enterpise’s Output to Total Industrial Output (NSOESH),
Growth Rate of Per-capita Fixed Asset Investment (GI), dan The Average of
Retention Rate of Locally Collected Budgetary Revenue (FDAVG). Dari
keseluruhan variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Cina
semuanya berpengaruh positif kecuali variabel fiscal capacity dan Total
Population yang berpengaruh negatif.
Desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena
pemberian wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemda
39
dapat meningkatkan efisiensi ekonomi terutama dalam alokasi sumber daya
dengan kota lain pemda mempunyai posisi lebih baik untuk menyediakan
berbagai barang dan jasa publik yang mendekati kebutuhan daerah. Sehingga
reformasi daerah melalui desentralisasi fiskal, reformasi sektor non pemerintah
dan akumulasi modal yang sejalan dengan reformasi fiskal menjadi kunci
keberhasilan pertumbuhan ekonomi China yang pesat selama 20 tahun terakhir.
Studi yang dilakukan oleh Akai dan Sakata (2002) di Amerika Serikat
memperlihatkan
bukti
baru
bahwa
desentralisasi
fiskal
mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Dengan data cross section dan time series (panel data)
maka terdapat 50 observasi (rata-rata tahun 1992-1994 untuk time series dan 50
negara bagian di Amerika Serikat). Penelitian empiris tersebut memperlihatkan
desentralisasi fiskal memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tidak
seperti paper-paper sebelumnya, paper ini menemukan bahwa desentralisasi fiskal
memainkan peranan utama dalam pertumbuhan ekonomi. Namun penelitian ini
juga mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi selain desentralisasi fiskal.
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Brodjonegoro
(2001)
dengan
menggunakan model makro ekonometrik simultan untuk melihat dampak
desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan
bahwa dengan skema DAU, DBHSDA, dan Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan
(DBHPPh) disparitas ekonomi antar daerah akan semakin meningkat. Hal ini
ditunjukkan oleh meningkatnya angka indeks Williamson. Sedangkan untuk
pertumbuhan ekonomi daerah, dengan skema yang sama menghasilkan tingkat
pertumbuhan yang berbeda-beda antar daerah, daerah yang kaya SDA dan
menerima DAU tinggi menunjukkan tingat petumbuhan yang tinggi, demikian
sebaliknya.
Penelitian Jutting et.al (2004) dengan menggunakan data lintas negara
menunjukkan bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pemberantasan
kemiskinan bersifat ambigous. Pada beberapa negara miskin kualitas institusi dan
adanya konflik politik menyebabkan kebijakan pemeberantasan kemiskinan tidak
mencapai sasaran. Dampak desentralisasi tergantung oleh kualitas infrastruktur
40
sebuah negara, hal ini berdampak terhadap kapasitas dan kemampuan pengambil
kebijakan untuk mencurahkan perhatian terhadap pemberantasan kemiskinan.
Peranan pengeluaran pemerintah menurut penelitian yang dilakukan oleh
Hasibuan (2006) di Provinsi Sumatera Utara, juga memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Namun karena
keterbatasan data, maka besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan
masalah kemiskinan diproksi dengan besarnya penerimaan anggaran pendapatan
belanja daerah (APBD). Besarnya nilai APBD diharapkan mampu meningkatkan
peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan seperti pendidikan
dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk
miskin.
2.3 Kerangka Pemikiran
Semenjak diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Keuangan Pemerintah Daerah
yang kemudian disempurnakan dengan UU no 32 dan 33 tahun 2004, terjadi
perubahan yang cukup fundamental terhadap sistem pemerintahan dan keuangan
di Indonesia. Undang-undang inilah yang memicu terjadinya ‘big bang’ dari
pemerintah yang tersentralistik menjadi pemerintah yang desentralistik. Litvack
(1999) dalam Abimanyu dan Megantara (2006) menyebutkan bahwa secara
umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik, administratif dan fiskal.
Dalam penelitian ini, aspek fiskal yang akan menjadi fokus penulis didalam
penelitian ini.
Desentralisasi fiskal dengan berbagai prinsip seperti market preserving
federalism, money follows function dan instrumen penguatan keuangan daerah
lainnya diharapkan membuat pemerintah daerah menjadi lebih mandiri. Sehingga
anggaran yang semakin besar kedaerah seiring dengan pelimpahan kewenangan
dari pemerintah pusat diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan pengangguran
di daerah.
41
Gambar 2.7 Kerangka Berpikir Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap
Indikator Perekonomian Di Indonesia
42
2.4 Hipothesis
a. Diduga kenaikan pajak daerah dan retribusi daerah menyebabkan
menurunnya kinerja ekonomi daerah sehingga pertumbuhan ekonomi
daerah akan melemah
b. Pembagian dana perimbangan (DAU, DAK dan DBH) ke daerah diduga
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
c. Kenaikan pengeluaran pemerintah diduga akan berdampak pada
peningkatan pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan dan penurunan
pengangguran
d. Kebijakan desentralisasi fiskal diduga akan meningkatkan kinerja
perekonomian daerah sehingga pertumbuhan ekonomi daerah akan
meningkat serta kemiskinan dan pengangguran akan turun
Download