BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori-teori 2.1.1 Peranan Pemerintah Daerah Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah menurut Stiglitz (2000) ada tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich, 1990). Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi (Musgrave 1959). Kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi pendapatan yang (relatif) merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Karenanya, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompokākelompok masyarakat. Selanjutnya, dalam sistem yang terdiri dari pemerintahan dengan beberapa tingkatan (multilevel government), pertanyaannya menjadi apakah yang menjadi tugas dari masingāmasing tingkat pemerintahan yang berbeda dalam mencapai distribusi pendapatan yang lebih merata. Teori awal menjawab pertanyaan ini (yang belakangan disebut sebagai first generation theory of fiscal federalism) menunjukkan bahwa pemerintah pusat seyogyanya memainkan peranan utama dalam melakukan redistribusi pendapatan (Oates, 2005). Redistribusi pendapatan akan sangat sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang menerapkan suatu sistem pajak progresif memang akan mendapatkan distribusi pendapatan yang lebih merata untuk daerahnya, tetapi kemungkinan besar terjadi dengan perginya kelompok masyarakat (dan dunia usaha) berpendapatan tinggi dari daerah yang bersangkutan. Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka untuk meningkatkan pengeluaran agregat (dan karenanya merangsang keluaran 10 agregat) dalam resesi dan depresi. Pemerintah dapat mempengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan yaitu, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan dengan kata lain, kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu : 1) kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa 2) kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan 3) kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu untuk menyediakan dana untuk kepentingan umum dan mempengaruhi tingkah laku ekonomi. Kebijaksanaan fiskal merupakan suatu alat menajemen ekonomi dan pajak dapat dinilai dari segi pengaruhnya atas keputusan wajib pajak, atas kemauan untuk bekerja, memakai, menabung atau investasi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi 'sedang baik` dan diturunkan kalau ingin rneningkatkan permintaan pada waktu resesi. Dalam hal pengeluaran, dilihat penggunaan dari dana yang diperoleh, yang ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran dan tujuan negara. Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Selain itu pengeluaran dibagi menjadi dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti mernbayar gaji pegawai, belanja barang serta pengeluaran yang bersifat pembangunan. Dengan demikian, kebijakan fiskal merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN. 11 a. Dampak Perubahan Pengeluaran Pemerintah Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat output keseimbangan dengan menambah atau mengurangi pengeluarannya. Besarnya efek perubahan pengeluaran pemerintah adalah sama dengan pengaruh perubahan investasi (Io) atau konsumsi otonomous (Co), sehingga dampak perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perekonomian dapat ditulis sebagai: ΔY = ΔG/(1-b) .............................................................................................. (2.1) b. Pengaruh Pajak terhadap Keseimbangan Ekonomi Karena kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik, maka dampaknya terhadap keseimbangan harus dipahami. Salah satu cara paling mudah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output keseimbangan. Pajak nominal, pertarna kali mempengaruhi pendapatan disposable. Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan disposable adalah : Yd =Y-T ........................................................................................................ (2.2) Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah C=Co+b Yd .................................................................................................... (2.3) Dengan adanya pajak nominal, maka Yd = Y - T, sehingga fungsi konsumsi menjadi: C = Co + b (Y - T), dan fungsi pengeluaran agregat menjadi AE = Ao + bY - bT. Dengan demikian fungsi keseimbangan menjadi Y=AE=Ao-bT+bY ....................................................................................... (2.4) Y(1-b) = Ao – bT ......................................................................................... (2.5) Y=(Ao-bT)/ (1-b) ......................................................................................... (2.6) sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (ΔT) dengan perubahan pendapatan keseimbangan (ΔY) adalah ΔY= -bAT/ (1-b) .......................................................................................... (2.7) 12 2.1.2 Pengeluaran Pemerintah Di Indonesia pengeluaran pemerintah mempunyai peranan besar dalam meningkatkan dan mempertahankan permintaan agregat serta pertumbuhan ekonomi. Sumber dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut berasal dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Penerimaan dalam negeri pemerintah Indonesia berasal dari minyak bumi dan gas, pajak dan bukan pajak, serta tabungan pemerintah di Bank Indonesia. Penerimaan pembangunan meliputi bantuan program dan bantuan proyek. Dana penerimaan pembangunan ini sebagian besar berasal dari luar negeri baik berupa kredit komersial maupun pinjaman dengan syarat pengembalian lunak. Kondisi perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan tersebut dapat berupa (1) anggaran surplus, bila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, (2) anggaran berimbang, bila penerimaan sama dengan pengeluaran, dan (3) anggaran defisit bila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran. Pemerintah mengambil kebijaksanaan melaksanakan anggaran berimbang untuk menghindari terjadinya inflasi yang tinggi. Kebijaksanaan tersebut tetap dianut hingga sekarang. Meskipun dalam pelaksanaannya seringkali kebijakan tersebut belum direalisasikan dengan baik. a. Pengeluaran rutin pemerintah Pengeluaran rutin pemerintah yang mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi adalah pengeluaran rutin, terutama dari kategori belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom, dan pengeluaran rutin lainnya seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM). Seperti diilustrasikan pada Gambar 2.1 peningkatan pengeluaran untuk belanja pegawai (GCP) akan meningkatkan pendapatan pegawai (Y). Peningkatan pendapatan tersebut akan menambah permintaan agregat (AD) di dalam ekonomi. Melalui efek pengganda pendapatan, perkembangan permintaan agregat akan meningkatkan pendapatan pada periode selanjutnya, dan seterusnya. Pertumbuhan pengeluaran pemerintah untuk belanja barang dalam negeri (GCD) akan menambah jumlah permintaan agregat didalam ekonomi, sedangkan penambahan pengeluaran pemerintah untuk barang impor selama barang tersebut 13 merupakan barang modal atau pembantu untuk BUMN atau departemen(GIP) yang berdampak positif bagi peningkatan produktifitas pegawai negeri akan mempengaruhi langsung pendapatan dari sisi penawaran. Penambahan subsidi daerah otonom (GCS) akan mempengaruhi langsung pendapatan daerah (melalui efek belanja pegawai) atau permintaan agregat (melalui efek belanja nonpegawai). Pengeluaran rutin lainnya (GCO) akan berdampak positif langsung terhadap peningkatan jumlah permintaan agregat di dalam ekonomi. GCP GCD GIP Y AD Income Multiplier GCS GCO Sumber: Tambunan (1996) Gambar 2.1. Efek positif dari peningkatan pengeluaran terhadap pendapatan dan permintaan agregat pemerintah b. Pengeluaran pembangunan pemerintah Sebagai negara berkembang, Indonesia masih dalam proses membangun, pengeluaran pembangunan mencerminkan peranan (intervensi) pemerintah. Pengeluaran pembangunan untuk membangun jalan raya maupun jalan desa, jembatan, stasiun bus dan kereta api, pelabuhan, irigasi dan waduk, pembangkit tenaga listrik, gedung sekolah, serta pengeluaran untuk membangun desa, termasuk industri kecil dan infrastruktur, dan disektor pertanian. Kebutuhan akan pembangunan fasilitas seperti ini dan lainnya akan terus bertambah mengikuti pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan masyarakat setiap tahunnya. 14 2.1.3 Pengertian dan Konsep Desentralisasi Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiscal decentralization) (Litvack, 1999, dalam Abimanyu dan Megantara, 2009). a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan b. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi 2.1.4 Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, dimana apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya dan diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat berupa subsidi/bantuan maupun pinjaman dari Pemerintah Pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, antara 15 lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi Alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu adanya peran pemerintah dalam menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengaturan distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumbersumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari Pemerintah Pusat. Salah satu model yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956) yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" (1956) yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemdanya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari Pemdanya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRDnya. Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal. Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada 16 gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: a. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah c. Stabilitas politik yang kondusif d. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusankeputusan tersebut e. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah f. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat 2.1.5 Teori Pengeluaran Pemerintah Pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah upaya untuk memperluas kemampuan dan kebebasan memilih. Tercapainya hal tersebut merupakan indikator bahwa manusia secara individu maupun kolektif dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Karenanya harus dibangun terutama adalah: kualitas SDM, sarana dan prasarana serta kelembagaan-kelembagaan ekonomi modern. Kesemuanya itu tidak bisa berlangsung dengan sendirinya jika hanya mengandalkan mekanisme pasar. Terciptanya pembangunan ekonomi sangat tergantung dari peran pemerintah antara lain dimanifestasikan lewat pengeluaran pemerintah. Ada beberapa teori perkembangan pengeluaran pemerintah yaitu: 17 a. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam prosentase terhadap PDB semakin besar dan prosentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. b. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara- 18 negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. c. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang 19 selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. d. Faktor penentu pengeluaran pemerintah Menurut Mangkoesoebroto (1997), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: i) perubahan permintaan akan barang publik, ii) perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, iii) perubahan kualitas barang publik, iv) perubahan harga-harga faktorfaktor produksi. e. IS – LM Apabila terjadi perubahan kebijakan fiskal (belanja pemerintah dan pajak) akan mengubah ekuilibriuum jangka pendek perekonomian. Perubahan fiskal ini akan mempengaruhi pengeluaran yang direncanakan dan menggeser kurva IS. Model IS-LM menunjukkan bagaimana pergeseran dalam kurva IS ini mempengaruhi pendapatan nasional dan tingkat bunga. i) Perubahan belanja Pemerintah Misalkan terjadi kenaikan dalam belanja pemerintah sebesar ΔG. Pengganda belanja pemerintah (the government-purchases multiplier) dalam perpotongan Keynesian menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun, perubahan dalam kebijakan fiskal ini menaikan pendapatan sebesar ΔG/(1-MPC). Karena itu sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.2, kurva IS bergeser kekanan 20 sebesar jumlah ini. Ekuilibrium perekonomian bergerak dari titik A ketitik B. kenaikan belanja pemerintah meningkatkan pendapatan dan bunga. Ketika pemerintah meningkatkan belanjanya atas barang dan jasa, pengeluaran yang direncanakan akan naik. Kenaikan pengeluaran yang direncanakan ini akan mendorong produksi barang dan jasa, yang menyebabkan Tingkat Bunga pendapatan total Y meningkat. r LM B r2 A r1 ΔG/(1-MPC) IS2 IS1 Y1 Sumber: Mankiw, 2006 Y2 Y Pendapatan, Output Gambar 2.2 Kenaikan belanja pemerintah dalam model IS-LM ii) Perubahan pajak Dalam model IS-LM, perubahan pajak mempengaruhi perekonomian seperti halnya perubahan belanja pemerintah, kecuali bahwa pajak mempengaruhi melalui konsumsi. Misalnya penurunan pajak sebesar ΔT. Pemotongan pajak mendorong konsumen berbelanja lebih banyak dan karena itu meningkatkan pengeluaran yang direncanakan. Pengganda pajak dalam perpotongan Keynesian menyatakan bahwa, pada tingkat bunga berapapun, perubaham kebijakan ini menaikkan tingkat pendapatan sebesar ΔT x MPC/(1-MPC). Karena itu, sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.3, kurva IS bergeser kekanan sebesar jumlah ini. Equilibrium perekonomian bergerak dari titik A ke titik B. Tingkat Bunga 21 r LM B r2 A r1 ΔT x MPC/(1-MPC). IS2 IS1 Sumber: Mankiw, 2006 Y1 Y2 Y Pendapatan, Output Gambar 2.3 Penurunan pajak dalam model IS-LM 2.1.6 Model Teori Pertumbuhan a. Model Ekonomi Keynesian Peran investasi termasuk investasi infrastruktur dalam aktivitas ekonomi dapat dipisahkan atas perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan bagian dari komponen pengeluaran agregat, sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur merupakan bagian dari faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral atau agregat. Berdasarkan katagori tersebut, penjelasan teoritis mengenai peran investasi akan dilihat dari sisi permintaan dalam sebuah model makroekonomi dan sisi penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ini akan diuraikan teori sisi permintaan yaitu model ekonomi makro Keynesian. Model ekonomi makro Keynesian merupakan teori yang menjelaskan fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dengan menfokuskan perhatiannya pada sisi pengeluaran agregat. Identitas Produk Nasional Bruto (PNB) standar Keynesian, dapat diilustrasikan sebagai berikut (Branson, 1979): C + I + G + (X-M) = PNB = C + S + T + Rf ................................................ (2.8) 22 Dimana: C = total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa I= total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan) terhadap barang dan jasa (seperti pembelian peralatan militer, pembangunan gedung, jalan dan jembatan, saluran irigasi, penyediaan tenaga listrik, telekomunikasi dan jasa pegawai pemerintah) (X – M) = ekspor bersih barang dan jasa S= tabungan swasta bruto T= penerimaan pajak bersih Rf = total pembayaran transfer ke luar negeri Identitas di atas menunjukkan bahwa kondisi ekuilibrium dicapai ketika total pengeluaran agregat sama dengan total pendapatan agregat dan keduanya sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perekonomian. Pada posisi keseimbangan, nilai ekspor bersih sama dengan total pembayaran ke luar negeri, sehingga kedua komponen ini dapat dikeluarkan untuk penyederhanaan identitas pendapatan nasional, sebagai berikut: C + I + G = PNB = C + S + T ..................................................................... Apabila seluruh komponen pengeluaran dan pendapatan (2.9) agregat dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut: c + i + g = y = c + s + t ............................................................................... (2.10) Dimana: t = ty; t>0 c = cyd; c > 0 s = syd ; s’ > 0 i=i ; g=g; yd = y – ty; 23 Pada persamaan penerimaan pajak (t), total pengeluaran konsumsi (c) dan total tabungan (s) semuanya merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, dengan kecenderungan tambahan pajak (t’) atau marginal propensity to tax (MPT), kecenderungan tambahan konsumsi (c’) atau marginal propensity to consume (MPC) dan kecenderungan tambahan tabungan (s’) atau marginal propensity to save (MPS) positif tetapi lebih kecil dari satu. Pada persamaan investasi swasta (i) dan pengeluaran pemerintah (g) diasumsikan sebagai peubah eksogenus. Apabila seluruh komponen pengeluaran agregat disubstitusikan ke sisi pengeluaran pada persamaan asal akan diperoleh pengeluaran agregat riil sebagai berikut: y = c( y − ty ) + i + g .................................................................................... (2.11) Derivasi total pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g dan i pada persamaan diatas dan menyusunnya kembali akan menghasilkan efek pengganda (multiplier) pendapatan dari perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut: dy = 1 (di + dg ) ............................................................................ (2.12) 1 − c(1 − t ) Pada persamaan diatas, setiap perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional sebesar hasil kali angka pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah tergantung pada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT semakin besar dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional. b. Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar Model pertumbuhan Harrod (1939) dan Domar (1946) atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada Negara-negara sedang berkembang. Domar (1946) mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda yang dimainkan oleh investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. 24 Investasi mempengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier, dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah sok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga mempengaruhi penawaran agregat. Dalam hal ini Domar hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat sama dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan. Pada model Domar, dinyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save=s) terhadap COR (Capital Output Rasio=k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: ΔY ΔK ΔI s ................................................................................... (2.13) = = = Y K I k Dimana: ΔY = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output Y ΔK = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat) K ΔI = laju peningkatan investasi I Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth =ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. 25 Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap memadai oleh para investor sehingga menjamin tercapainya kapasitas penuh atau keseimbangan permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Pada laju pertumbuhan ini, permintaan agregat dianggap cukup tinggi oleh para investor sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas pabrik yang ada. Dengan kata lain output aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi variasi siklis dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai apabila output (aktual dan potensial), permintaan agregat, stok kapital, dan investasi tumbuh pada tingkat yang sama. Perekonomian berada pada posisi keseimbangan ketika laju pertumbuhan aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Apabila laju pertumbuhan aktual lebih kecil daripada laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian akan mengalami kelebihan kapasitas yang akibatnya dapat menciptakan depresi jangka panjang. Sebaliknya jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian akan mengalami inflasi tinggi jangka panjang. Ketika perekonomian mengalami ketidakseimbangan, baik karena depresi maupun inflasi, tidak ada mekanisme otomatis yang dapat membawa perekonomian pada kondisi keseimbangan. Karena kondisi ekuilibrium sangat jarang terjadi, Harrod sampai pada kesimpulan teorema ketidakseimbangan (disequilibrium theorem) yang menyatakan bahwa di dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan ekuilibrium. Selama proses pertumbuhan ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang secara otomatis dapat membawa penyimpangan tersebut kembali kepada kondisi ekuilibrium. Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat tercapai melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan (Boediono, 1992 dalam Delis, 2008). Kedua kebijakan ini sangat berperan untuk meningkatkan investasi dalam sektor infrastruktur yang akan meningkatkan permintaan agregat 26 dalam jangka pendek dan memperluas kapasitas produksi serta menjamin keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. c. Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow Teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu bentuk teori pertumbuhan ekonomi neoklasik yang populer. Teori ini merupakan pengembangan teori klasik yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan output atau produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung dalam jangka panjang (Boediono, 1992 dalam Delis, 2008). Peningkatan output per kapita terjadi sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah dan sumber daya alam, tenaga kerja, modal dan kemajuan teknologi. Dari keempat faktor produksi tersebut sebagian besar teori pertumbuhan ekonomi menfokuskan perhatiannya pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi kontinyu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi di antara faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi (Djojohadikusumo, 1994 dalam Delis, 2008). Akibat asumsi tersebut, aktivitas perekonomian secara otomatis akan mencapai stabilitas pertumbuhan pada ekuilibriumnya dalam jangka panjang. Solow memandang proses pertumbuhan ekonomi dengan menempatkan pentingnya peran kemajuan teknologi dalam proses produksi. Model Solow diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu dianggap terkandung dalam komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan teknologi dianggap terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja efektif (effective labor), labor augmenting atau Harrod-nuetral (Romer, 2001 dalam Delis, 2008). Dengan asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. 27 Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu: y = f(k) ......................................................................................................... (2.13) Dimana: y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL) k= kapital per tenaga kerja efektif (K/AL) Y = output K= kapital L= tenaga kerja A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan) AL = tenaga kerja efektif (labor augmented) Investasi per unit tenaga kerja efektif Investasi break-even Investasi aktual Sumber: Delis (2008) K Gambar 2.4 Investasi aktual dan break-even Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan 28 kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara). Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.4, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*. Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow. 2.1.7 Definisi Kemiskinan Menurut Badan Pusat Statistik, miskin adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumah tangga sehingga tidak 29 mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupan. Sementara menurut World Bank Institute, kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluangpeluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya. Secara rinci terdapat beberapa definisi kemiskinan sebagai berikut: a. Kemiskinan Relatif Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20% atau 40% lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/ pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”. Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang lebih tinggi dari pada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion (1998). Paper tersebut menjelaskan mengapa, misalnya, angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15% di Amerika Serikat dan juga mendekati 15% di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia. Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir empat dekade. Misalnya, Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita di bawah 50% dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median/rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat. Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan, dan perlu disesuaikan 30 terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. b. Kemiskinan Absolut Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut “tetap (tidak berubah)” dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Garis kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah. Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a) US $ 1 perkapita per hari, dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari, dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut. 31 c. Terminologi Kemiskinan Lainnya Terminologi lain yang juga pernah dikemukakan sebagai wacana adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Wignjosoebroto dalam “Kemiskinan Struktural : Masalah dan Kebijakan” yang dirangkum oleh Suyanto (1995) mendefinisikan “Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan”. Dikatakan tak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya menerbitkan akan tetapi (lebih lanjut dari itu!) juga melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat. Di dalam kondisi struktur yang demikian itu kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami atau oleh sebab-sebab yang pribadi, melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Salah satu contoh adalah kemiskinan karena lokasi tempat tinggal yang terisolasi, misalnya, orang Mentawai di Kepulauan Mentawai, orang Melayu di Pulau Christmas, suku Tengger di pegunungan Tengger Jawa Timur, dan sebagainya. Sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Padahal indikator kemiskinan tersebut seyogianya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing, seperti halnya suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi. Soetandyo Wignjosoebroto dalam “Kemiskinan, Kebudayaan, dan Gerakan Membudayakan Keberdayaan” yang dirangkum oleh Suyanto (1995) 32 mendefinisikan “Kemiskinan adalah suatu ketidak-berdayaan”. Keberdayaan itu sesungguhnya merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dalam kenyataannya akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan-determinan sosial-budayanya (seperti posisi, status, dan wawasan yang dipunyainya). Sebaliknya, semua fasilitas sosial yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya, akan ikut pula menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah masyarakat. Acapkali timbul suatu rasa pesimis di kalangan orang miskin dengan merasionalisasi keadaannya bahwa hal itu “sudah takdir”, dan bahwa setiap orang itu sesungguhnya sudah mempunyai suratan nasibnya sendiri-sendiri, yang mestinya malah harus disyukuri. Oleh karena itu, Soetandyo menyarankan ditingkatkannya “Gerakan Membudayakan Keberdayaan” pada lapisan masyarakat bawah. Melek huruf, melek bahasa, melek fasilitas, melek ilmu, melek informasi, melek hak, dan melek-melek lainnya adalah suatu keberdayaan yang harus terus dimungkinkan kepada lapisan-lapisan masyarakat bawah agar tidak terjebak ke dalam kemiskinan kultural. 2.1.8 Definisi Pengangguran Pada dasarnya pengangguran merupakan penduduk usia produktif yang tidak mendapatkan kesempatan bekerja dengan berbagai sebab. Dinamika pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa peningkatan penawaran tenaga kerja tidak selalu diikuti peningkatan yang seimbang pada permintaan tenaga kerja. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang diperoleh suatu wilayah belum tentu diikuti pula dengan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja (Tjiptoherijanto dan Soemitro, 1998). Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh akumulasi investasi bukan merupakan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Jika pertumbuhan output sama dengan pertumbuhan kapital dan tenaga kerja, berarti tidak terdapat sisa output yang bebas dan bisa dibagikan untuk peningkatan return to capital (reinvestasi) yang dapat membuka kesempatan kerja baru dan atau peningkatan pendapatan tenaga kerja. Sebaliknya, bila pertumbuhan output lebih besar dari pertumbuhan kapital dan tenaga kerja, berarti masih ada sisa output setelah dikurangi kapital 33 dan tenaga kerja. Sisa output ini bisa untuk peningkatan gaji karyawan, peningkatan return to capital atau reinvestasi dan penjamin secara akumulatif berlanjutnya pertumbuhan ekonomi (Hananto, 2001 dalam BPS, 2006). Pada mulanya Badan Pusat Statitik (BPS) mendefinisikan pengangguran terbuka sebagai penduduk berusia 15 tahun keatas yang dalam kondisi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Kegiatan mencari pekerjaan dapat dilakukan oleh mereka yang sama sekali belum pernah bekerja atau mereka yang pernah bekerja, karena suatu hal berhenti atau diberhentikan. Usaha mencari pekerjaan tidak terbatas pada periode seminggu sebelum pencacahan, mereka yang berusaha mendapatkan pekerjaan dan permohonannya telah dikirim lebih dari satu minggu yang lalu tetap dianggap sebagai mencari pekerjaan. Sejak tahun 2001 definisi pengangguran terbuka diperluas mengikuti rekomendasi International Labour Organization (ILO). Menurut konsep ILO, pengangguran terbuka terdiri dari : • Mereka yang mencari pekerjaan • Mereka yang mempersiapkan usaha • Mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan • Mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Mempersiapkan usaha adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka mempersiapkan usaha/pekerjaan yang ”baru” yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan/keuntungan atas resiko sendiri. Dikategorikan sebagai mempersiapkan usaha apabila ”tindakannya nyata” seperti: mengumpulkan modal atau perlengkapan/alat, mencari lokasi/tempat, mengurus surat ijin usaha dan sebagainya. Mempersiapkan usaha tidak termasuk yang baru merencanakan, berniat, dan baru mengikuti kursus/pelatihan dalam rangka membuka usaha. Kegiatan mempersiapkan suatu usaha /pekerjaan tidak terbatas dalam jangka waktu seminggu yang lalu saja, tetapi dapat dilakukan beberapa waktu yang lalu asalkan seminggu yang lalu masih berusaha untuk mempersiapkan suatu kegiatan usaha. 34 Penduduk Penduduk Usia Kerja Angkatan Kerja Bekerja Mencari Kerja/ Bukan Angkatan Kerja Sekolah Menganggur Bekerja Penuh Penduduk Bukan Usia Kerja Mengurus Rumah tangga Lainnya Setengah Menganggur Sumber: Badan Pusat Statistik Gambar 2.5 Bagan ketenagakerjaan Menurut Bagan Ketenagakerjaan (Gambar 2.5), di samping kelompok pengangguran terbuka, ada sebagian angkatan kerja yang terkategori sebagai kelompok setengah pengangguran yaitu mereka yang dalam kondisi bekerja tetapi jam kerjanya di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah pengangguran terdiri dari : • Setengah pengangguran terpaksa yaitu mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan, • Setengah pengangguran sukarela adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain (sebagian pihak menyebutkan sebagai pekerja paruh waktu/part time worker). 35 2.1.9 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal secara tidak langsung mempunyai hubungan terhadap pertumbuhan ekonomi karena dapat meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya. Hal ini disebabkan (1) Pemerintah Daerah memiliki keuntungan yang lebih baik dibandingkan Pemerintah Pusat dalam memberikan pelayanan dan penyediaan barang-barang publik yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan-kebutuhan daerah itu sendiri. (2) Menstimulus Pemerintah Daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan akuntabilitas terhadap daerahnya dalam upaya merespon kebutuhan masyarakat dan upaya meningkatkan kemakmuran di daerah melalui optimalisasi sumberdaya yang ada secara efisien dan mengurangi pemborosan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah diharapkan mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada, balk somber daya alam maupun sumberdaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat daerah itu sendiri yang secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. (3) Adanya kebijakan desentralisasi akan ditandai dengan penyediaan infrastruktur di daerah yang secara tidak langsung sangat sensitif terhadap kondisi regional atau daerah, dimana lebih efektf dalam mendorong pembangunan ekonomi daripada kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat yang seringkali mengabaikan adanya perbedaan geografis antar daerah. Esensi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. Pertama, pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang objektif dari desentralisasi fiskal dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya dalam sektor publik. Kedua, secara eksplisit bahwa pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakan-kebijakan untuk mendorong ke arah peningkatan dalam pendapatan per kapita. Ketiga, pertumbuhan per kapita relatif lebih mudah untuk diukur dan dinterpretasikan dibanding indikator-indikator ekonomi lainnya. Dalam model Barro (1990) diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diketahui fungsi produksi Cobb Douglas sebagai berikut: y=f(k,g)=Ak1-αgα 36 dimana g adalah kuantitas barang dan jasa perkapita yang dibeli oleh pemerintah, yang diasumsikan tidak ada pungutan biaya apapun (user charges). y adalah output per kapita, dan k adalah stok modal per kapita serta diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan (constant return to scale). ]ika diasumsikan total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak τ maka dapat dituliskan berikut: g=T= τy= τ Ak1-αgα Apabila persamaan fungsi produksi dirubah menjadi produktivitas marjinal modal maka : fk =A(1 -α)(g/k)α jika total pembelanjaan pernerintah dibiayai oleh pendapatan pajak pada tingkat τ di substitusikan dengan persamaan di atas maka dapat dituliskan sebagai berikut: y=kA1/1- α τ α /1- α dimana bahwa rasio input g dan k adalah sebagai berikut τ (y/k)=(Aτ) 1- α g/k=(g/y)(y/k)= Nilai untuk produktivitas marjinal modal dapat dituliskan kembali sebagai berikut: 1 /1- α fk = (1 –α)A τ α /1- α Oleh karena itu, solusi untuk tingkat pertumbuhan output per kapita dapat ditentukan sebagai berikut: 1 /1- α y=c/c=(1- σ)[ (1 – α)A τ α /1- α - ρ] Pada persamaan di atas, bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh alokasi pembelanjaan publik dan tingkat pajak, sama halnya dengan individu memaksimalkan pertumbuhan konsumsi yang berkaitan dengan tingkat pertumbuhan dari output dan modal. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah juga digambarkan oleh kurva Scully yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan 37 oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model yang dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih Tingkat Pertumbuhan Ekonomi rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada gambar 2.6. t g Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Sumber: Chao dan Grubel, 1997 Gambar 2.6 Hubungan antara tingkat Pertumbuhan Ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB 2.1.10 Pengeluaran Pemerintah dan Kesempatan Kerja Pengeluaran pemerintah yang dipergunakan untuk membeli barang dan jasa akan mendorong terciptanya lapangan kerja. Pemerintah dalam upaya menyediakan barang publik secara tidak langsung akan membuka kesempatan kerja. Lapangan kerja yang tersedia akibat aktivitas pemerintah akan dipengaruhi oleh jenis pengeluaran. Misalnya proyek-proyek pemerintah yang membutuhkan padat karya akan lebih membutuhkan banyak tenaga kerja pada masyarakat. 2.1.11 Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan Besarnya pengeluaran pemerintah dalam kerangka makro ekonomi akan mendorong pertumbuhan output ekonomi. Pertumbuhan output ekonomi ini akan diiringi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan 38 masyarakat. Dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang terserap dan diikuti tingkat pendapatan yang semakin baik akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin dapat berkurang. 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan di China oleh Zhang dan Zou (1998) menggunakan panel data yang periodenya dimulai pada akhir tahun 1970-an saat pertumbuhan ekonomi sedang tinggi. Pada periode tersebut pemerintahan pada tingkat yang lebih tinggi wajib menyediakan investasi publik yang menyebabkan eksternalitas yang besar pada tahap awal pembangunan ekonomi. Hasil dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal mengurangi pertumbuhan ekonomi propinsi di China. Sedangkan dalam jurnal “Fiscal Decentralization and Economic Growth in China” yang dilakukan oleh Lin dan Liu (2000), meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi di China dengan reformasi fiskal melalui desentralisasi fiskal. Dimana desentralisasi fiskal ini merupakan pergeseran kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemda yang akan meningkatkan efisiensi ekonomi. Penelitian ini menggunakan panel data 28 propinsi di China periode 19701993. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi regional China yang diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan GDP perkapita dipengaruhi oleh Fiscal Decentralization (FD), Household Responsibility System (HRS), Fiscal Capacity (FisCap), Rural Population (POPSHR), Total Population (TPOP), Relative Price of Farm Product to Non Farm Product (FPMP), Share of Non-State Owner Enterpise’s Output to Total Industrial Output (NSOESH), Growth Rate of Per-capita Fixed Asset Investment (GI), dan The Average of Retention Rate of Locally Collected Budgetary Revenue (FDAVG). Dari keseluruhan variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Cina semuanya berpengaruh positif kecuali variabel fiscal capacity dan Total Population yang berpengaruh negatif. Desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena pemberian wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemda 39 dapat meningkatkan efisiensi ekonomi terutama dalam alokasi sumber daya dengan kota lain pemda mempunyai posisi lebih baik untuk menyediakan berbagai barang dan jasa publik yang mendekati kebutuhan daerah. Sehingga reformasi daerah melalui desentralisasi fiskal, reformasi sektor non pemerintah dan akumulasi modal yang sejalan dengan reformasi fiskal menjadi kunci keberhasilan pertumbuhan ekonomi China yang pesat selama 20 tahun terakhir. Studi yang dilakukan oleh Akai dan Sakata (2002) di Amerika Serikat memperlihatkan bukti baru bahwa desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan data cross section dan time series (panel data) maka terdapat 50 observasi (rata-rata tahun 1992-1994 untuk time series dan 50 negara bagian di Amerika Serikat). Penelitian empiris tersebut memperlihatkan desentralisasi fiskal memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tidak seperti paper-paper sebelumnya, paper ini menemukan bahwa desentralisasi fiskal memainkan peranan utama dalam pertumbuhan ekonomi. Namun penelitian ini juga mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi selain desentralisasi fiskal. Penelitian yang dilakukan oleh Brodjonegoro (2001) dengan menggunakan model makro ekonometrik simultan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan skema DAU, DBHSDA, dan Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan (DBHPPh) disparitas ekonomi antar daerah akan semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya angka indeks Williamson. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi daerah, dengan skema yang sama menghasilkan tingkat pertumbuhan yang berbeda-beda antar daerah, daerah yang kaya SDA dan menerima DAU tinggi menunjukkan tingat petumbuhan yang tinggi, demikian sebaliknya. Penelitian Jutting et.al (2004) dengan menggunakan data lintas negara menunjukkan bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pemberantasan kemiskinan bersifat ambigous. Pada beberapa negara miskin kualitas institusi dan adanya konflik politik menyebabkan kebijakan pemeberantasan kemiskinan tidak mencapai sasaran. Dampak desentralisasi tergantung oleh kualitas infrastruktur 40 sebuah negara, hal ini berdampak terhadap kapasitas dan kemampuan pengambil kebijakan untuk mencurahkan perhatian terhadap pemberantasan kemiskinan. Peranan pengeluaran pemerintah menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2006) di Provinsi Sumatera Utara, juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Namun karena keterbatasan data, maka besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan masalah kemiskinan diproksi dengan besarnya penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Besarnya nilai APBD diharapkan mampu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin. 2.3 Kerangka Pemikiran Semenjak diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Keuangan Pemerintah Daerah yang kemudian disempurnakan dengan UU no 32 dan 33 tahun 2004, terjadi perubahan yang cukup fundamental terhadap sistem pemerintahan dan keuangan di Indonesia. Undang-undang inilah yang memicu terjadinya ‘big bang’ dari pemerintah yang tersentralistik menjadi pemerintah yang desentralistik. Litvack (1999) dalam Abimanyu dan Megantara (2006) menyebutkan bahwa secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik, administratif dan fiskal. Dalam penelitian ini, aspek fiskal yang akan menjadi fokus penulis didalam penelitian ini. Desentralisasi fiskal dengan berbagai prinsip seperti market preserving federalism, money follows function dan instrumen penguatan keuangan daerah lainnya diharapkan membuat pemerintah daerah menjadi lebih mandiri. Sehingga anggaran yang semakin besar kedaerah seiring dengan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan pengangguran di daerah. 41 Gambar 2.7 Kerangka Berpikir Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Indikator Perekonomian Di Indonesia 42 2.4 Hipothesis a. Diduga kenaikan pajak daerah dan retribusi daerah menyebabkan menurunnya kinerja ekonomi daerah sehingga pertumbuhan ekonomi daerah akan melemah b. Pembagian dana perimbangan (DAU, DAK dan DBH) ke daerah diduga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi c. Kenaikan pengeluaran pemerintah diduga akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan dan penurunan pengangguran d. Kebijakan desentralisasi fiskal diduga akan meningkatkan kinerja perekonomian daerah sehingga pertumbuhan ekonomi daerah akan meningkat serta kemiskinan dan pengangguran akan turun