bab ii prospek ekonomi tahun 2005

advertisement
BAB II
PROSPEK EKONOMI TAHUN 2005
A. TANTANGAN DAN UPAYA POKOK TAHUN 2005
Meskipun secara umum pertumbuhan ekonomi semakin meningkat dan
stabilitas moneter dalam keseluruhan tahun 2004 relatif terkendali, tercermin
dari relatif terkendalinya nilai tukar rupiah, laju inflasi, dan suku bunga; serta
terjaganya cadangan devisa, tantangan pokok yang dihadapi oleh
perekonomian Indonesia pada tahun 2005 masih besar.
Pertama adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama untuk
memecahkan masalah-masalah sosial mendasar yaitu pengangguran dan
kemiskinan. Tantangan ini cukup berat mengingat kondisi sektor riil yang
belum sepenuhnya pulih secara berkelanjutan, ditandai oleh pemulihan
investasi dan perbaikan ekspor non-migas yang masih sangat awal.
Meskipun dalam tahun 2004, investasi berupa pembentukan modal tetap
bruto (PMTB) tumbuh 15,7 persen; pada tahun-tahun sebelumnya (tahun 2001
– 2003) investasi hanya tumbuh rata-rata sekitar 3,5 persen per tahun; jauh di
bawah rata-rata sebelum krisis (tahun 1991 – 1997) yaitu sebesar 10,6 persen per
tahun. Minat investasi, yang tercermin dari nilai persetujuan PMDN dan
PMA, juga masih lemah kecuali tahun 2000 yang didorong oleh pertumbuhan
ekonomi dunia yang sangat tinggi. Pada tahun 2004, nilai persetujuan PMA
dan PMDN justru menurun masing-masing sebesar 26,8 persen dibandingkan
tahun 2003. Sumbangan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi sejak tahun
1995 dapat dilihat pada Grafik II.1.
II -1
Grafik II.1.
SUMBANGAN INVESTASI THD PERTUMBUHAN
10
5
%
0
-5
-10
-15
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Pertumbuhan Ekonomi
Sumbangan PMTB
Selanjutnya, meskipun nilai ekspor nonmigas pada tahun 2004 mampu
tumbuh 11,5 persen; dalam tahun-tahun sebelumnya (tahun 2000 – 2003) hanya
tumbuh rata-rata sekitar 4,7 persen per tahun; jauh di bawah rata-rata sebelum
krisis yaitu sekitar 22,6 persen per tahun. Peningkatan ekspor non-migas tahun
2004 yang relatif tinggi lebih didorong oleh permintaan dunia yang kuat,
dengan perekonomian dunia yang tumbuh sekitar 5 persen, dan meningkatnya
harga komoditi ekspor di pasar internasional.
Rendahnya investasi dan melambatnya kinerja ekspor non-migas
mengakibatkan masih lambatnya pertumbuhan sektor industri. Meskipun
dalam tahun 2004, industri pengolahan non-migas tumbuh 7,7 persen, dalam
tahun 2001–2003 hanya tumbuh rata-rata sekitar 5,5 persen per tahun (harga
konstan tahun 2000); jauh di bawah sebelum krisis yaitu sekitar 11,5 persen per
tahun (1991 – 1997).
Kedua adalah meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Dengan
jumlah pengangguran yang semakin bertambah, kualitas pertumbuhan perlu
ditingkatkan agar kegiatan ekonomi yang terdorong dapat menciptakan
lapangan kerja yang lebih besar dan mengurangi jumlah penduduk miskin.
II -2
Sejak krisis, kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja
makin menurun. Dalam tahun 2000 – 2004, untuk setiap 1 persen pertumbuhan
ekonomi hanya mampu menciptakan lapangan kerja bagi 200 – 300 ribu orang;
sedangkan dalam tahun 1996 untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi
mampu diciptakan lapangan kerja bagi sekitar 480 ribu orang. Pada tahun 2004,
jumlah pengangguan terbuka meningkat menjadi 10,3 juta jiwa (9,9 persen dari
total angkatan kerja). Tantangan ini semakin berat dengan pemulangan
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia menjelang akhir tahun 2004 yang lalu.
Kemampuan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja dapat dilihat pada
Grafik II.1.
Grafik II.2.
PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA
Ribu Orang
500
400
300
200
100
0
1996
1997
2000
2001
2002
2003
2004
Per 1% Pertumbuhan Ekonomi
Dengan bertambahnya pengangguran terbuka, jumlah penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan masih cukup besar. Meskipun menunjukkan
kecenderungan menurun dibandingkan saat terjadinya krisis, penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2004 masih berjumlah sekitar 36,1
juta jiwa (16,6 persen). Upah riil buruh tani sebagai salah satu indikator
kemiskinan juga menunjukkan perkembangan yang relatif stagnan.
Perkembangan jumlah penduduk miskin tahun 1996 – 2004 dapat dilihat pada
Grafik II.3.
II -3
50
25
46
22
42
19
38
16
34
13
30
1996
1998
1999
2000
2001
Juta Orang
2002
2003
2004
Persentase (%)
Juta Orang
Grafik II.3.
PENDUDUK MISKIN
10
Persentase
Ketiga adalah menjaga stabilitas ekonomi berkaitan dengan masih
tingginya harga minyak dunia yang akan memberi dampak pada penyesuaian
harga BBM di dalam negeri dan pada gilirannya akan memberi tekanan pada
inflasi. Selanjutnya kenaikan inflasi dan kecenderungan meningkatnya suku
bunga internasional akan menahan penurunan suku bunga yang terjadi sejak
awal tahun 2002.
Untuk menghadapi tantangan-tantangan pokok tersebut di atas perlu
ditempuh strategi pokok sebagai berikut. Dengan kemampuan ekspansi fiskal
dan moneter yang terbatas, pertumbuhan ekonomi perlu didorong dengan
meningkatkan peranan masyarakat dalam pembangunan. Dalam kaitan itu,
upaya-upaya pokok yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut.
Pertama, meningkatkan iklim investasi yang mampu menarik penanaman
modal baik dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai faktor pokok yang
selama ini menghambat investasi antara lain prosedur perijinan yang panjang
dan lama, ketidakpastian hukum, tumpang tindih kebijakan antara pusat dan
daerah serta antar sektor, iklim ketenagakerjaan yang belum kondusif bagi
II -4
penciptaan iklim usaha yang sehat, administrasi perpajakan dan kepabeanan
yang berbelit, perlu ditangani dengan segera. Pembenahan sektor riil ini
semakin penting mengingat rupiah mengalami apresiasi riil relatif
dibandingkan dengan mata uang negara-negara tetangga.
Kedua, mendorong ekspor non-migas melalui peningkatan daya saing dan
diversifikasi pasar komoditi ekspor. Peningkatan daya saing dalam jangka
pendek dan menengah dilakukan dengan mengurangi berbagai kendala yang
menghambat arus barang dan jasa, termasuk peraturan-peraturan daerah yang
menghambat, serta dengan menyederhanakan prosedur kepabeanan.
Diversifikasi pasar komoditi ekspor perlu diperluas dengan mencari pasar baru
di luar negara-negara industri maju terutama di negara-negara Asia sebagai
kawasan yang tumbuh paling pesat dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Dalam
jangka menengah peningkatan daya saing perlu didorong oleh penerapan
teknologi yang tepat dan mampu meningkatkan nilai tambah bagi komoditi
ekspor nasional.
Keempat, mendorong fungsi intermediasi perbankan agar memberi tekanan
yang lebih besar pada kegiatan investasi dan produksi. Sebagaimana sudah
diuraikan dalam Bab I bahwa meskipun pemberian kredit oleh perbankan
kepada masyarakat meningkat, namun penyalurannya lebih banyak pada
kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif dibandingkan dengan kegiatan
investasi dan produksi. Sampai dengan bulan Desember 2004, peranan kredit
konsumsi meningkat menjadi 27,3 persen; jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan tahun 1996 (10,3 persen). Secara keseluruhan rasio kredit terhadap PDB
masih lebih rendah dibandingkan sebelum krisis. Perkembangan rasio kredit
terhadap PDB dapat dilihat pada Grafik II.4.
II -5
Grafik III.4.
RASIO KREDIT TERHADAP PDB
70
60
50
%
40
30
20
10
0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Dalam kaitan itu, upaya untuk mendorong penyaluran kredit perbankan
perlu ditingkatkan antara lain dengan mendorong lebih lanjut penurunan suku
bunga pinjaman yang saat ini dihadapkan pada kecenderungan meningkatnya
suku bunga deposito terutama dengan mengurangi biaya intermediasi
(intermediary cost) yang saat ini masih cukup tinggi tinggi. Upaya penurunan
biaya intermediasi juga didorong dengan melakukan pembenahan di sektor riil
untuk memperkecil resiko penyaluran kredit.
Ketiga, mengembangkan insentif yang tepat dalam menarik investasi dan
mendorong ekspor. Selain melalui penyederhanaan perpajakan, tarif dan
insentif perpajakan perlu ditinjau agar mampu bersaing dengan negara-negara
lain untuk menarik investasi. Disamping itu zona-zona ekonomi khusus dan
kebijakan spasial perlu dikembangkan dalam rangka mendorong kawasankawasan strategis dan cepat tumbuh agar tidak saja memberi manfaat bagi
penguatan ekonomi nasional tetapi juga memberi peningkatan bagi
kesejahteraan masyarakat di daerah (lihat Bab III tentang Investasi).
Kelima, meningkatkan ketahanan fiskal untuk menutup financing gap yang
timbul sebagai akibat meningkatnya inflasi dan subsidi BBM. Ketahanan
II -6
fiskal tersebut perlu didukung oleh stabilitas moneter dan keseimbangan
eksternal melalui koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil yang
makin terpadu tanpa mengorbankan momentum pertumbuhan yang sudah
ada.
Keenam, menjaga stabilitas moneter dan ketahanan sektor keuangan
berkaitan dengan perubahan kebijakan moneter negara-negara industri maju
dari kebijakan moneter yang relatif longgar kepada kebijakan moneter yang
lebih ketat. Perubahan ini dapat mengakibatkan arus modal, terutama jangka
pendek, yang masuk ke Indonesia ke luar kembali. Selain arus modal yang
sifatnya jangka panjang perlu segera didorong masuk untuk mengamankan
neraca pembayaran, mekanisme dari Indonesia Financial Safety Net yang
mengkoordinasikan otoritas kebijakan moneter, otoritas kebijakan fiskal,
otoritas pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal, serta otoritas
lembaga penjamin simpanan perlu segera dijabarkan agar meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Indonesia dalam menangani
gejolak moneter yang mungkin timbul.
Ketujuh, meningkatkan kualitas pertumbuhan yang mampu mengurangi
beban pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Kebijakan ketenagakerjaan
perlu menekankan pada 3 (tiga) upaya pokok, yaitu mengendalikan kenaikan
UMP agar tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan laju inflasi; memastikan
agar biaya-biaya non-UMP mengarah pada peningkatan produktivitas tenaga
kerja; serta meningkatkan perlindungan TKI di luar negeri. Selain melalui
penciptaan lapangan kerja, upaya mengurangi jumlah penduduk miskin perlu
didorong dengan peningkatan efektivitas dalam pelaksanaan program-program
pengentasan kemiskinan, termasuk program pemberdayaan masyarakat
miskin, serta dengan pelibatan secara aktif pemerintah daerah untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin di daerahnya.
II -7
Terkait dengan sasaran penurunan jumlah pengangguran dan penduduk
miskin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004
– 2009 yaitu menurunnya jumlah pengangguran terbuka dan penduduk miskin
masing-masing menjadi 5,1 persen dan 8,2 persen pada tahun 2009, program
pembangunan perdesaan dan revitalisasi pertanian perlu mendapat perhatian
yang sangat serius mengingat sebagian besar penganggur terbuka dan
kemiskinan berada di perdesaan.
Upaya untuk menarik pengangguran terbuka dan menurunkan jumlah
penduduk miskin melalui kegiatan industri yang ada di perkotaan
diperkirakan tidak akan mampu mencapai sasaran yang dimaksud. Dalam
kaitan itu kegiatan industri di pedesaan dan off-farm lainnya perlu
ditingkatkan untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Dalam jangka
menengah, upaya untuk mengurangi jumlah pengangguran dan penduduk
miskin perlu didorong dengan kebijakan spasial yaitu dengan mendorong
pembangunan di luar Jawa. Tanpa adanya upaya ini, pembangunan akan
terus-menerus hanya memecahkan masalah-masalah pembangunan jangka
pendek yang relatif terpusat di Jawa.
Upaya-upaya pokok tersebut di atas membutuhkan stabilitas politik dan
keamanan serta kepastian hukum yang memadai agar dapat memelihara
kepercayaan masyarakat yang sudah meningkat setelah pelaksanaan pemilihan
umum.
B. LINGKUNGAN GLOBAL DAN DOMESTIK
Pada tahun 2005, perekonomian dunia diperkirakan sedikit melambat
dengan dengan berkurangnya stimulus fiskal, kenaikan suku bunga sebagai
akibat dari perubahan kebijakan moneter dari negara-negara industri maju,
masih tingginya harga minyak dunia, serta diperlambatnya pertumbuhan RRC
secara bertahap untuk mengurangi ekspansi investasinya yang berlebihan.
II -8
Meningkatnya suku bunga di negara-negara industri maju diperkirakan
akan mempengaruhi komposisi arus masuk modal swasta termasuk ke
kawasan Asia. Meskipun arus modal swasta jangka panjang (neto) pada tahun
2005 diperkirakan relatif tetap yaitu sekitar US$ 77,5 miliar, namun arus modal
jangka pendek diperkirakan sedikit menurun. Secara keseluruhan arus masuk
modal swasta (neto) ke negara-negara emerging market diperkirakan turun dari
US$ 79,8 miliar pada tahun 2004 menjadi US$ 8,6 miliar pada tahun 2005.
Dalam tahun 2005, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat
menjadi 4,3 persen. Perekonomian negara industri maju diperkirakan tumbuh
2,9 persen dengan perekonomian AS dan Jepang, sebagai mitra dagang utama
Indonesia, yang diperkirakan tumbuh masing-masing sekitar 3,5 persen dan 2,3
persen.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang sedikit melambat akan mempengaruhi
volume perdagangan dunia. Permintaan impor negara-negara industri maju
pada tahun 2004 diperkirakan melambat dengan pertumbuhan sekitar 5,6
persen termasuk dari negara-negara berkembang. Meskipun permintaan
negara-negara industri maju melambat, pertumbuhan ekspor negara
berkembang diperkirakan tetap tinggi, yaitu sekitar 10,6 persen pada tahun
2005. Secara keseluruhan volume perdagangan dunia diperkirakan meningkat
menjadi 7,2 persen pada tahun 2005 atau sedikit lebih rendah dibandingkan
tahun 2004 yaitu 8,8 persen.
Melambatnya volume perdagangan dunia pada tahun 2005 akan
menurunkan harga komoditi non-migas di pasar internasional sekitar 3,9
persen. Sedangkan harga ekspor minyak mentah diperkirakan tetap tinggi
yaitu sekitar US$ 37,5/barel relatif sama dengan tahun 2004.
II -9
Berbagai perkembangan di atas diperkirakan tetap mendorong kinerja
ekspor nasional yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu lingkungan domestik tahun 2005 diperkirakan akan
membaik apabila tingkat harapan masyarakat dengan terlaksananya pemilihan
umum yang memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung terpelihara dengan baik.
Pelaksanaan ketujuh upaya pokok tersebut di atas dalam lingkungan
eksternal dan domestik sebagaimana yang diuraikan di atas diperkirakan akan
menghasilkan besaran-besaran ekonomi makro sebagai berikut.
NILAI TUKAR RUPIAH DIPERKIRAKAN SEKITAR RP 9.000,- PER DOLLAR AS.
Dengan terpeliharanya stabilitas politik dan keamanan, kurs rupiah
ditentukan fundamental ekonomi yaitu oleh daya saing atau produktivitas
nasional. Masih cukup besarnya cadangan devisa setelah dikurangi kewajiban
pembayaran utang IMF diperkirakan dapat mempertahankan kepercayaan
masyarakat terhadap rupiah. Pada tahun 2005, rata-rara nilai tukar rupiah
diperkirakan sekitar Rp 9.000,- per dollar AS.
Kurs rupiah akan berpengaruh terhadap daya saing ekspor. Dibandingkan
dengan negara-negara tetangga, nilai tukar rupiah tersebut relatif sedikit
mengalami apreasiasi riil. Pada bulan September 2004, pada nilai tukar sebesar
Rp 9.170,- per dolar AS, kurs rupiah mengalami depresiasi riil (sekitar 46
persen) yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand
yaitu sekitar 48 – 49 persen (1997:01 = 100). Ini menuntut pembenahanpembenahan lebih lanjut di sektor riil yang mampu meningkatkan daya saing
ekspor nasional di pasar ekspor dunia. Perkembangan kurs riil rupiah relatif
terhadap mata uang ringgit dan bath dapat dilihat pada Grafik II.5.
II -10
Ringgit dan Bath
70
60
50
40
30
20
10
0
-10
1997:11998:11999:12000:12001:12002:12003:12004:1
Rupiah
Ringgit
270
230
190
150
110
70
30
-10
-50
Rupiah
Grafik II.5.
DEPRESIASI RIIL RUPIAH, RINGGIT, BATH
Bath
LAJU INFLASI DIPERKIRAKAN SEKITAR 8 PERSEN. Dengan kenaikan harga
BBM di dalam negeri sebesar rata-rata 30 persen, laju inflasi tahun 2005
diperkirakan lebih tinggi dibandingkan tahun 2004. Dengan perkiraan nilai
tukar rupiah yang relatif sama dengan tahun 2004, kenaikan harga BBM ratarata sebesar 30 persen tersebut akan memberi tambahan inflasi sebesar 2
persen. Dengan upaya untuk menjamin pasokan dan distribusi barang dan
jasa, laju inflasi pada tahun 2005 diperkirakan mampu dikendalikan menjadi
sekitar 8 persen.
SUKU BUNGA SBI 1 BULAN DIPERKIRAKAN NAIK MENJADI SEKITAR 9,4
PERSEN. Meskipun laju inflasi relaif terkendali dan menurunnya premi resiko;
namun kemungkinan naiknya suku bunga internasional akan mendorong
naiknya suku bunga. Dengan laju inflasi sekitar 8 persen dan suku bunga riil
sekitar 1,4 persen, suku bunga SBI 3 bulan dalam tahun 2004 diperkirakan
sekitar 9,4 persen.
HARGA EKSPOR MINYAK MENTAH NASIONAL DIPERKIRAKAN SEKITAR
US$ 35 PER BAREL. Masih belum menentunya situasi politik dan keamanan
serta adanya gangguan produksi minyak pada beberapa negara penghasil
II -11
minyak masih mengakibatkan tingginya harga minyak. Dalam tahun 2005,
harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional diperkirakan mencapai
sekitar US$ 35/barel.
Beberapa besaran pokok yang mendasari proyeksi perekonomian tahun
2005 dapat dilihat pada Tabel II. Sebagai berikut.
EKSTERNAL
Pertumbuhan Ekonomi
Dunia
Negara Industri Maju
Negara Emerging Asia
Volume Perdagangan Dunia
Impor Negara Industri Maju
Ekspor Negara Berkembang
Inflasi
Negara industri maju
Negara Berkembang
Harga Komoditi Non Migas
LIBOR (6 bulan,%)
Tabel II.1
BESARAN-BESARAN POKOK
(% Perubahan)
2002
2003
2004
2005
3,0
1,6
6,6
3,3
2,6
6,6
3,9
2,1
7,7
5,1
3,7
10,9
5,0
3,6
7,6
8,8
7,6
10,8
4,3
2,9
6,9
7,2
5,6
10,6
1,5
6,0
0,6
1,9
1,8
6,1
7,1
1,2
2,1
6,0
16,8
1,6
2,1
5,5
-3,9
3,4
DOMESTIK
Nilai Tukar rupiah (Rp/US$)
9.318
8.572
8.928
9.000
Laju Inflasi
10,0
5,1
6,4
8,0
Harga Ekspor Minyak Mentah
23,7
27,9
37,6
35,0
Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)
13,1
8,3
7,8
9,4
Sumber: World Economic Outlook, IMF, Sept. 2003 (asumsi eksternal); Bappenas (asumsi Domestik)
II -12
C. PROYEKSI EKONOMI TAHUN 2005
1. PERTUMBUHAN EKONOMI
Dengan kondisi politik dan keamanan yang stabil selama dan setelah
pelaksanaan Pemilihan Umum serta momentum pertumbuhan ekonomi yang
dicapai pada tahun 2004, perekonomian dalam tahun 2005 diperkirakan mampu
tumbuh 5,6 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 2004 (5,1 persen).
Investasi dan ekspor barang dan jasa diperkirakan tetap menjadi penggerak
utama pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan masing-masing sekitar 15,7
persen dan 7,3 persen. Sejalan dengan meningkatnya investasi, impor barang
dan jasa diperkirakan meningkat sebesar 15,4 persen. Sedangkan konsumsi
masyarakat sedikit melambat sesuai dengan siklus politik setelah pemilihan
umum dan dampak dari kenaikan harga BBM di dalam negeri.
Dari sisi produksi, sektor pertanian diperkirakan tumbuh 2,9 persen pada
tahun 2005 atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya (4,1 persen)
dengan kemungkinan adanya keterlambatan musim hujan. Adapun industri
pengolahan non-migas diperkirakan mampu tumbuh 7,3 persen didorong oleh
perbaikan iklim investasi dan meningkatnya ekspor non-migas. Sementara itu,
sektor-sektor lain diperkirakan tumbuh 5,7 persen, lebih tinggi dari dari tahun
sebelumnya.
Dengan jumlah penduduk sekitar 218,2 juta orang pada tahun 2004,
pendapatan rill per kapita dalam harga konstan tahun 1998 diperkirakan sama
dengan tingkat sebelum krisis (tahun 1996). Gambaran ekonomi makro,
perkiraan struktur ekonomi, dan proyeksi ekonomi triwulanan tahun 2005
dapat dilihat pada Tabel II.2, Tabel II.3, dan Grafik II.6.
II -13
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
2001:1
20
15
10
5
0
2002:1
Investasi
2003:1
2004:1
Konsumsi RT
2005:1
-5
Pertumbuhan PMTB (%)
Pertumbuhan PDB, Konsumsi RT (%)
Grafik II.6.
PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI
PDB
2. NERACA PEMBAYARAN
Pada tahun 2005 diperkirakan terjadi penurunan surplus neraca transaksi
berjalan menjadi 1,1 persen PDB dari 1,6 persen PDB tahun sebelumnya.
Kinerja ekspor non-migas diperkirakan membaik yaitu tumbuh 6,0 persen
dengan tetap terjaganya pertumbuhan perekonomian dunia serta didorong oleh
berbagai langkah kebijakan termasuk penyederhanaan kepabeanan. Namun
meningkatnya ekspor non-migas tersebut tidak dapat mengimbangi
menurunnya penerimaan ekspor migas karena menurunnya harga ekspor
minyak mentah, serta meningkatnya kebutuhan impor barang dan jasa seiring
dengan meningkatnya investasi.
Dengan tidak adanya fasilitas penjadwalan pembayaran utang luar negeri,
terjadi defisit neraca arus modal sebesar US$ 0,9 miliar pada tahun 2005 dari
yang semula surplus sebesar US$ 2,1 miliar pada tahun 2004. Meningkatnya
defisit neraca modal tersebut terutama didorong oleh meningkatnya
pembayaran pokok utang swasta. Untuk menjaga keseimbangan neraca
pembayaran, efektivitas pengelolaan utang luar negeri pemerintah
II -14
ditingkatkan sehingga penarikan pinjaman pada tahun 2005 meningkat
menjadi US$ 3,7 miliar dari US$ 2,4 miliar pada tahun 2004.
Dengan perkembangan tersebut, dalam tahun 2005 diperkirakan terjadi
defisit neraca pembayaran sebesar US$ 1,4 miliar. Sejalan dengan
meningkatnya kinerja ekspor, cadangan devisa diperkirakan naik dari US$
36,3 miliar pada akhir tahun 2004 menjadi US$ 37,7 miliar pada akhir tahun
2005. Jumlah cadangan devisa tersebut diperkirakan cukup untuk membiayai
6,1 bulan impor (tidak termasuk pembayaran utang pemerintah). Perkiraan
neraca pembayaran tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel III.4.
3. MONETER
Stabilitas politik dan keamanan diperlukan pada tahun 2005 untuk
meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Kebijakan moneter dalam tahun
2005 perlu memberi ruang gerak bagi pemulihan sektor riil untuk
mengimbangi dorongan dari kebijakan fiskal berkaitan dengan upaya untuk
menurunkan defisit APBN dan stok utang pemerintah serta tidak
didapatkannya lagi fasilitas penjadwalan utang melalui Paris Club. Melalui
berbagai kombinasi instrumen antara lain operasi pasar terbuka (OPT),
sterilisasi valuta asing, dan intervensi rupiah, jumlah uang beredar diharapkan
tidak terlalu ketat tanpa mengabaikan pencapaian sasaran laju inflasi. Dalam
kondisi politik dan keamanan yang diupayakan tetap stabil, jumlah uang
primer dapat dikendalikan dengan pertumbuhan sekitar 11 – 12 persen. Dengan
nilai tukar rupiah yang tetap terjaga kestabilannya, kenaikan harga BBM di
dalam negeri, serta terjaminnya pasokan dan distribusi barang laju inflasi pada
tahun 2005 diperkirakan sekitar 8 persen. Dampak kenaikan harga BBM
terhadap laju inflasi dapat dilihat pada Boks II.1.
II -15
BOKS II.1.
EVALUASI DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM
Tingginya harga minyak dunia sepanjang tahun 2004 hingga awal tahun
2005, serta tingginya konsumsi minyak dalam negeri menyebabkan besarnya
beban subsidi yang harus disediakan. Guna menjaga kesinambungan fiskal dan
keberpihakan kepada masyarakat miskin, pada awal bulan Maret 2005,
pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM dalam negeri rata – rata sebesar
29%. Tujuan kenaikan tersebut selain untuk mengurangi beban subsidi BBM
serta mencegah pemborosan dan penyelundupan, juga untuk menjaga
keberpihakan kepada masyarakat miskin.
Kenaikan harga BBM tersebut memberi dampak yang bervariasi pada
berbagai sektor perekonomian. Di sektor perhubungan terutama angkutan darat
misalnya, kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan tarif angkutan
sebesar 25-50%. Dampak kenaikan harga BBM yang cukup besar dialami oleh
para nelayan mengingat komponen biaya BBM sangat besar dalam kegiatannya
untuk mencari nafkah di laut. Biaya operasional saat melaut meningkat dari Rp
700.000 menjadi Rp 1.000.000 atau lebih. Kenaikan biaya operasional ini
mengakibatkan ribuan nelayan mengurangi intensitasnya melaut.
Kenaikan harga BBM di dalam negeri merupakan salah satu leading
indicator yang cukup baik untuk memperkirakan laju inflasi. Berdasarkan
perhitungan ekonometrik (Studi Pengembangan Indikator Ekonomi Makro,
2002, Bappenas)maka setiap 1% kenaikan harga BBM akan memberi tambahan
inflasi sekitar 0,085%. Sebagai catatan, model ini disusun dengan menggunakan
basis data bulanan (monthly base) dan dimaksudkan untuk memperkirakan laju
inflasi dalam setahun.
Sementara itu, perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan tabel
Input-Output Tahun 2000 memperkirakan kenaikan harga BBM sebesar ratarata 30% yang diikuti kenaikan biaya transportasi sebesar 10% (diluar biaya
kenaikan listrik dan lainnya) memberi tambahan inflasi sekitar 1,6%.
II -16
Terjaganya stabilitas politik dan keamanan serta meningkatnya kepastian
hukum diperkirakan akan menurunkan premi resiko. Dengan terkendalinya
laju inflasi serta masih rendahnya suku bunga internasional tersedia ruang
gerak untuk menurunkan suku bunga. Dalam tahun 2005, suku bunga SBI 1
bulan diperkirakan sekitar 9,3 persen.
4. KEUANGAN NEGARA
Kebijakan fiskal tahun 2004 dilaksanakan secara konsisten untuk
mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability).
Stabilitas moneter yang relatif terjaga dengan baik akan memberikan
sumbangan cukup besar bagi terciptanya ketahanan fiskal yang berkelanjutan.
Stabilitas nilai tukar serta suku bunga dan tingkat inflasi yang rendah akan
mengurangi beban pengeluaran negara.
Sejalan dengan upaya menurunkan defisit anggaran secara bertahap, defisit
tahun anggaran 2005 sebagai rasio dari PDB diperkirakan lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya.
Defisit anggaran akan dibiayai terutama dari dalam negeri yaitu dengan
memanfaatkan dana pemerintah yang ada di Bank Indonesia, penjualan sisa
aset BPPN, dan privatisasi BUMN. Sejalan dengan upaya untuk mengurangi
stok utang luar negeri, pembiayaan luar negeri bersih diperkirakan negatif.
Dalam rangka pengelolaan pinjaman dalam negeri, pelaksanaan program
refinancing dan buy back perlu dilanjutkan. Dengan kenaikan harga BBM yang
dilaksanakan tahun 2005, efektivitas dan efisiensi pengalokasian anggaran
perlu ditingkatkan. Pengeluaran pembangunan diprioritaskan pada kegiatan
yang mendesak, berdampak luas, serta mebuka kesempatan kerja yang luas.
Adapun pendapatan negara terus diupayakan meningkat khususnya pajak
dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan
II -17
ekonomi. Peningkatan pendapatan pajak dilakukan melalui reformasi
perpajakan yang mencakup perbaikan administrasi perpajakan.
D. KONSEKUENSI PERTUMBUHAN EKONOMI 5,6 PERSEN
Pertumbuhan ekonomi 5,6 persen pada tahun 2005 belum cukup memadai
untuk memecahkan masalah-masalah sosial mendasar. Dengan pertumbuhan
tersebut diperkirakan hanya tercipta lapangan kerja baru bagi 1,5 juta orang,
lebih rendah dibandingkan tambahan angkatan kerja yaitu 1,6 juta orang.
Dengan demikian, jumlah penganggur terbuka pada tahun 2004 diperkirakan
bertambah sekitar 0,1 juta orang, menjadi 10,0 juta orang.
Dalam kaitan itu, pemerintah perlu meninjau berbagai kebijakan di bidang
ketenagakerjaan guna mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam jangka yang cukup panjang juga
akan mempengaruhi ketahanan fiskal karena perekonomian menjadi kurang
mampu untuk mengurangi beban pembangunan termasuk pembayaran utang.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, upaya untuk mengurangi jumlah
pengangguran dan penduduk miskin dalam jangka menengah perlu didorong
dengan kebijakan spasial terutama dengan membangun perdesaan yang
didukung dengan pembangunan pertanian dan industrialisasi perdesaan.
II -18
Tabel II.2.
GAMBARAN EKONOMI MAKRO
Indikator
Kualitas Pertumbuhan (Pemerataan)
Pengangguran Terbuka
Jumlah (juta orang)
Jumlah Penduduk Miskin
Jumlah (juta orang)
% terhadap angkatan kerja
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi*)
PDB per Kapita Harga Konstan 2000
Stabilitas Ekonomi
Laju Inflasi, Indeks Harga Konsumen (%)
Nilai Tukar Nominal (Rp/US$)
Perubahan Kurs Rupiah Riil (%)
Tahunan
Terhadap Tahun 1996/97
2003
2004
Proyeksi
2005
9.1
9.1
9.5
9.5
9.9
9.7
9.9
9.5
37.8
18.4
25.1
18.2
37.3
17.4
36.1
16.6
-
3.8
6,144
4.4
7,136
4.9
7,391
5.1
7,673
5.6
8,002
9.4
12.5
8,425 10,241
10.0
9,375
5.1
8,578
6.4
8,928
8.0
8,900
2000
2001
5.8
6.1
8.0
8.1
38.7
19.1
4.9
5,919
Realisas i
2002
7.8
69.9
11.0
88.6
-15.5
59.4
-10.9
42.0
0.1
42.2
-4.5
35.8
Neraca Pembayaran
Transaksi Berjalan/PDB (%)
Pertumbuhan Ekspor Nonmigas (%)
Pertumbuhan Impor Nonmigas (%)
Cadangan Devisa (US$ miliar)
4.8
22.8
29.1
29.4
4.2
-11.0
-15.8
28.0
3.9
3.4
0.1
32.0
3.4
5.5
9.4
36.3
1.6
10.7
24.2
36.3
1.1
6.0
12.3
37.7
Keuangan Negara
Keseimbangan Primer/PDB (%)
Surplus/Defisit APBN/PDB (%)
Penerimaan Pajak/PDB (%)
Stok Utang Pemerintah/PDB (%)
Utang Luar Negeri
Utang Dalam Negeri
2.5
-1.6
11.8
83.5
36.9
46.7
2.8
-2.4
11.0
74.6
35.8
38.8
3.3
-1.4
11.1
65.1
31.5
33.6
1.8
-1.7
11.9
58.3
28.3
30.0
-
1.8
-0.7
11.7
48.0
21.6
26.3
Keterangan:
*) Untuk tahun 2000 menggunakan seri PDB lama, sedangkan pertumbuhan tahun selanjutnya menggunakan seri PDB baru.
II -19
Tabel II.3
PERKIRAAN STRUKTUR EKONOMI
2003
2004
Proyeksi
2005
4.4
4.7
3.8
13.0
4.7
-1.2
-4.2
4.9
4.6
3.9
10.0
1.0
8.2
2.7
5.1
4.6
4.9
1.9
15.7
8.5
24.9
5.6
5.1
4.2
12.3
15.7
7.3
15.4
4,1
3,3
4,9
4,0
3.2
5.3
5.7
4.2
4.3
5.3
6.0
4.8
4.1
6.2
7.7
4.9
3.2
5.8
7.3
6.2
15,6
27,7
23,8
56,7
15,6
30,1
26,3
54,3
16.0
29.7
26.0
54.2
15.9
28.8
25.0
55.2
15.4
28.3
24.6
56.3
15.4
29.5
26.3
55.1
89,8
40,5
45,1
11,7
90,8
39,7
12,1
91.6
40.6
44.3
12.1
13.2
38.9
42.4
90.8
42.0
46.3
10.9
12.0
37.9
41.7
92.3
43.0
46.6
11.0
11.9
38.3
41.5
94.2
43.8
46.5
11.1
11.8
39.3
41.7
8,0
8,1
9.1
9.1
9.5
9.5
9.9
9.7
9.9
9.5
Indikator
2000
2001
Pertumbuhan PDB Sisi Pengeluaran (%)*)
Pertumbuhan Ekonomi
Konsumsi
Masyarakat
Pemerintah
Investasi
Ekspor
Impor
4,9
2,0
1,6
6,5
16,7
26,5
25,9
3,8
3,9
3,5
7,6
6,5
0,6
4,2
1,9
6,0
7,0
5,3
Pertumbuhan PDB Sisi Produksi (%)*)
Pertanian
Industri Pengolahan
Nonmigas
Lainnya
Distribusi PDB (%)
Pertanian
Industri Pengolahan
Nonmigas
Lainnya
Tenaga Kerja
Kesempatan Kerja (juta orang)
Pertanian
Distribusi (%)
Industri Pengolahan
Distribusi (%)
Lainnya
Distribusi (%)
Pengangguran Terbuka (%)
Jumlah (juta orang)
% terhadap angkatan kerja
37,6
5,8
6,1
Realisas i
2002
Keterangan:
*)
Untuk tahun 2000 menggunakan seri PDB lama, sedangkan pertumbuhan tahun selanjutnya
menggunakan seri PDB baru.
II -20
Tabel II.3
PERKIRAAN NERACA PEMBAYARAN
(US$ miliar)
2003
2004
Proyeksi
2005
64.1
15.2
48.9
5.5
17.4
-39.5
-7.8
-31.7
9.4
72.5
18.3
54.1
10.7
77.0
19.7
57.4
6.0
-34.7
-5.7
-29.0
-15.8
59.2
12.9
46.3
3.4
16.7
-35.7
-6.7
-29.0
0.1
-50.4
-11.0
-39.4
24.2
-17.0
-3.5
-15.8
-3.4
-15.7
-3.1
-16.5
-2.9
-18.0
-2.9
-55.5
-11.3
-44.2
12.3
2.3
-18.4
-2.9
8.0
6.9
7.8
8.1
4.1
3.1
-10.4
-0.4
3.9
-4.3
-10.0
-4.6
0.0
-5.4
-10.5
-2.2
2.5
-4.7
-7.5
-3.0
-0.2
-4.3
-4.7
-3.2
2.3
-5.5
-0.9
0.1
1.2
-2.3
-4.0
-3.5
1.8
-5.3
-0.1
-0.6
2.3
-1.8
2.1
-2.8
2.4
-5.2
4.9
1.0
2.8
1.0
-0.9
-2.3
3.7
-6.0
1.6
1.3
3.9
-3.7
Execptional Financing
IMF Neto
Penjadwalan Hutang
(Rescheduling)
3.6
1.1
2.5
1.5
-1.4
2.9
2.6
-1.0
3.6
3.7
0.6
3.1
-1.0
-1.0
0.0
-0.8
-1.2
0.3
Surplus/Defisit
(Overall Balance)
Cadangan Devisa
(Dalam Bulan Impor)
Cadangan Devisa Bersih
Utang Luar Negeri
Pemerintah
Swasta
1.2
-2.1
5.7
7.8
5.1
1.4
29.4
6.1
20.8
141.7
74.9
66.8
28.0
6.7
20.8
135.0
71.4
63.7
32.0
7.5
25.8
131.3
74.7
56.7
36.3
7.8
29.5
138.2
81.7
56.6
36.3
6.4
30.5
139.3
77.9
61.4
37.7
6.1
33.1
137.7
74.7
63.0
Indikator
2000
2001
Ekspor
Migas
Nonmigas
(Pertumbuhan)
65.4
15.1
50.3
22.8
57.4
12.6
44.8
-11.0
Impor
Migas
Nonmigas
(Pertumbuhan)
-40.4
-6.0
-34.4
29.1
Jasa-jasa
Pembayaran Bunga Pinjaman Pemerintah
Transaksi Berjalan
Neraca Arus Modal
Pemerintah
Arus Masuk
Arus Keluar
Swasta
PMA Neto
Portofolio
Lainnya
II -21
Realisas i
2002
Tabel II.4
KEBUTUHAN INVESTASI DAN SUMBER PEMBIAYAAN
(Rp triliun)
Indikator
2003
2004
Proyeksi
2005
389.9
55.2
3.1
334.7
18.5
360.0
68.1
3.5
291.9
14.8
524.3
74.9
3.3
449.4
19.7
666.0
91.2
3.6
574.8
22.5
375.1
450.2
27.7
36.0
2.2
414.2
25.5
389.9
450.1
24.9
16.1
0.9
434.0
24.0
360.0
436.5
22.1
1.2
0.1
435.3
22.0
524.3
596.2
26.1
44.8
2.0
551.4
24.1
666.0
693.9
27.2
92.6
3.6
601.3
23.6
-54.0
-4.2
-75.1
-4.6
-60.2
-3.3
-76.4
-3.8
-71.9
-3.1
-27.9
-1.1
4.2
-0.9
5.0
4.6
-0.8
5.4
3.3
-2.2
5.5
3.8
-3.4
7.3
3.1
-1.3
4.5
1.1
0.1
1.0
2000
2001
Kebutuhan Investasi (triliun Rp)
a. Pemerintah
persentase terhadap PNB (%)
b. Masyarakat (termsk. perub. stok)
persentase terhadap PNB (%)
297.2
41.6
3.2
255.5
19.7
375.1
48.6
3.0
326.5
20.1
Sumber Pembiayaan (triliun Rp)
1.Tabungan Dalam Negeri
persentase terhadap PNB (%)
a. Pemerintah
persentase terhadap PNB (%)
b. Masyarakat
persentase terhadap PNB (%)
297.2
351.2
27.1
30.3
2.3
320.9
24.7
2.Tabungan Luar Negeri
persentase terhadap PNB (%)
Tabungan - Investasi (S-I)
Rasio Terhadap PNB (%)
a. Pemerintah
b. Masyarakat
II -22
Realisas i
2002
Download