6 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Hartley (1988) taksonomi tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut, Kingdom : Plantae, Divisio: Tracheophyta, Sub Divisio : Pteropsida, Kelas: Angiospermae, Sub Kelas : Monocotyledonae, Ordo: Cocoideae, Family : Palmae, Genus : Elaeis, Spesies: Elaeis guineensis Jacq. Tanaman ini memiliki genom diploid dengan 16 pasang kromosom homolog (2n = 32). Varietas kelapa sawit cukup banyak, yang dibedakan berdasarkan bentuk luar, tebal cangkang, dan warna kulit buah. Berdasarkan ketebalan cangkang tanaman kelapa sawit dibedakan (1) Dura, yaitu kelapa sawit dengan buah bercangkang tebal; (2) Pisifera, yaitu buah bercangkang tipis; (3) Tenera, yaitu memiliki ketebalan cangkang diantara dura dan psifera (Kiswanto et al., 2008). Tanaman kelapa sawit memiliki akar serabut yang membentuk akar primer, sekunder, tersier, dan kuarter. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah, sedangkan akar sekunder, tersier, dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tersier dan kuarter menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang banyak mengandung unsur hara. Seperti akar tanaman lain, akar kelapa sawit berfungsi menyangga bagian atas tanaman dan menyerap zat hara (Pahan, 2008). Kelapa sawit memiliki batang yang tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda (seedling), terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia. Titik tumbuh terletak di pucuk batang dan terbenam di dalam tajuk daun. Bentuknya seperti kubis dan enak dimakan. Pada Universitas Sumatera Utara 7 batang terdapat pangkal pelepah-pelepah daun yang melekat dan sukar terlepas, meskipun daun telah kering dan mati. Pada tanaman tua, pangkal-pangkal pelepah yang masih tertinggal di batang akan terkelupas, sehingga batang kelapa sawit tampak berwarna hitam beruas (Sastrosayono, 2003). Daun kelapa sawit tersusun majemuk menyirip. Daun dibentuk di dekat titik tumbuh. Daun kelapa sawit bersirip genap, bertulang sejajar, dan panjangnya dapat mencapai 3-5 m. Daun membentuk satu pelepah yang panjangnya 7,5-9,0 m dengan jumlah anak daun setiap pelepah berkisar antara 250-400 helai. Daun muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat. Daun tua yang sehat berwarna hijau tua dan segar. Anak-anak daun tersusun berbaris dua hingga ujung daun. Pada bagian tengah setiap anak daun terbentuk lidi sebagai tulang daun. Ciri lainnya, ujung daun membentuk seperti ujung tombak (Fauzi et al., 2004). Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monocious), artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tanaman dan masing-masing terangkai dalam satu tandan. Kelapa sawit yang berumur tiga tahun sudah mulai dewasa dan mengeluarkan bunga jantan dan betina. Bunga tersebut keluar dari ketiak atau pangkal pelepah daun bagian dalam. Bunga jantan terbentuk lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat terlihat lebih besar apalagi saat sedang mekar. Kelapa sawit mengadakan penyerbukan bersilang (croos pollination) karena memiliki waktu pematangan berbeda. Perbandingan bunga betina dan bunga jantan sangat dipengaruhi oleh pupuk dan air. Jika tanaman kekurangan pupuk atau kekurangan air, bunga jantan akan lebih banyak keluar (Setiyo, 2011). Universitas Sumatera Utara 8 Buah muda berwarna hijau pucat. Semakin tua berubah menjadi hijau hitam hingga kuning. Buah sawit yang masih mentah berwarna hitam (nigrescens), beberapa diantaranya berwarna hijau (virescens). Sementara itu, buah matang berwarna merah kuning (oranye). Selanjutnya, buah matang akan rontok (buah leles atau brondol). Keadaan ini menandakan bahwa kelapa sawit sudah layak panen. Biasanya buah dipanen berdasarkan jumlah jatuhnya brondolan, yakni 1-2 buah per kg tandan (Hadi, 2004). Buah terdiri dari tiga lapisan. Eksokarp yaitu bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin, Mesokarp yaitu serabut/daging buah, Endokarp yaitu cangkang pelindung inti. Endokarp yaitu inti/kernel kelapa sawit. Inti sawit (kernel, yang sebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi (Lubis, 2008). Benih kelapa sawit akan kehilangan viabilitasnya jika mendapat perlakuan suhu 5°C dan akan mati apabila kadar air dibawah 12.5%. Benih kelapa sawit termasuk benih intermediet (antara sifat rekalsitran dan ortodoks) artinya benih dapat dikeringkan sampai kadar air cukup rendah sehingga mempunyai kualitas seperti ortodoks, tetapi sensitif terhadap suhu rendah (Raganata, 2006). Syarat Tumbuh Iklim Kelapa sawit termasuk tanaman tropis yang dapat tumbuh di daerah antara 12° lintang utara dan 12° lintang selatan. Curah hujan yang optimal untuk kelapa sawit adalah 2.000―2.500 mm per tahun dengan penyebaran yang merata sepanjang tahun. Lama penyinaran matahari yang optimum antara 5―7 jam per hari, dan suhu optimum berkisar 24°―38° C. Ketinggian tempat yang ideal untuk Universitas Sumatera Utara 9 kelapa sawit antara 1-500 m dpl. Kelembapan optimum yang ideal untuk tanaman sawit sekitar 80-90 % dan kecepatan angin 5-6 km/jam untuk membantu proses penyerbukan. Keadaan iklim yang paling banyak diamati adalah curah hujan. Sedangkan data lainnya sangat sedikit diamati karena dianggap tidak jauh berbeda dan masih sesuai dengan tanaman kelapa sawit (Darlan et al., 2005). Kelapa sawit termasuk tanaman yang menyukai cahaya matahari. Penyinaran matahari sangat berpengaruh terhadap perkembangan buah kelapa sawit. Tanaman yang kurang mendapat sinar matahari karena jarak tanam yang sempit, pertumbuhannya akan terhambat karena hasil asimilasinya kurang. Tanaman dewasa yang ternaungi, produksi bunga betinanya sedikit sehingga perbandingan bunga betina dan bunga jantan (sex ratio) kecil. Penelitian menunjukkan pada bulan-bulan yang penyinaran mataharinya lebih panjang mempunyai korelasi positif dengan produksi buah kelapa sawit. Kebun-kebun kelapa sawit di Indonesia panjang penyinarannya tidak ada masalah karena letak geografisnya dekat dengan garis katulistiwa (Lubis, 2008). Tanah Kelapa sawit dapat tumbuh di berbagai jenis tanah antara lain: tanah padsolik coklat, padsolik kuning, padsolik coklat kekuningan, padsolik merahkuning, hidromorfik kelabu, alluvial, regosol, gley humik, organosol (tanah gambut). Sifat-sifat fisik dan kimia tanah yang harus dipenuhi untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang optimal adalah drainase baik, permukaan air tanah yang cukup dalam, solum cukup dalam, tidak berbatu. Keasaman tanah (pH) sangat menentukan ketersediaan dan keseimbangan unsur-unsur hara dalam tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh pada pH tanah antara 4 – 6,5 sedangkan pH optimum Universitas Sumatera Utara 10 berkisar 5 – 5,5. Permukaan air tanah dan pH sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara yang dapat diserap oleh akar (Mangoensoekarjo, 2007). Pada pembibitan kelapa sawit dibutuhkan tanah dengan aerasi baik sehingga pertumbuhan akar tidak terganggu dan pada ujung-ujung akar yang terbentuk akan cepat mengabsorpsi air dan hara. Kemiringan lereng yang cocok pada tanaman kelapa sawit berkisar 0-12° atau 21%. Namun pada kemiringan 1325° masih bisa ditanami kelapa sawit, tetapi pertumbuhannya kurang baik. Sementara itu lahan yang kemiringan lebih dari 25° sebaiknya tidak dipilih sebagai lokasi penanaman kelapa sawit karena menyulitkan dalam pengangkutan dan beresiko terjadi erosi (Nurahmi et al., 2010). Keunggulan Minyak Kelapa Sawit Minyak sawit merupakan sumber alami vitamin E. Minyak sawit secara alami merupakan sumber vitamin E yang potensial, tertutama dalam bentuk tokoferol dan tokotrienol. Komponen ini merupakan zat penting dalam diet yang berfungsi sebagai antioksidan : yaitu senyawa yang mencegah oksidasi. Radikal bebas secara alami terdapat di dalam tubuh sebagai hasil metabolisme normal. Kandungan radikal bebas dapat meningkat pada kondisi stress dan kerja keras. Selain itu, radikal bebas dapat berasal dari polutan dan makanan. Radikal bebas ini berperan sebagai oksidan yang kuat bagi komponen asam-asam lemak pada membran sel. Kerusakan yang terjadi disebut sebagai kerusakan oksidatif, bisa menyebabkan penyimpangan pada fungsi sel (Pardamean, 2008). Kandungan minor dalam minyak sawit berjumlah kurang lebih 1%, antara lain terdiri dari karoten, tokoferol, sterol, alkohol, triterpen, fosfolipida. Kandungan minor tersebut menjadikan minyak dapat digunakan sebagai bahan Universitas Sumatera Utara 11 baku dalam industri farmasi. Di antara kandungan minor yang sangat berguna antara lain karoten dan tokoferol yang dapat mencegah kebutaan (defisiensi vitamin A) dan pemusnahan radikal bebas yang selanjutnya juga bermanfaat untuk mencegah kanker, arterosklerosis dan memperlambat penuaan (Ong, 1993). Minyak sawit memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati yang lain, diantaranya adalah adanya kandungan komponen-komponen minor anatara lain karotenoid dan tokoferol. Kandungan karotenoid di dalam minyak sawit berkisar antara 400-700 ppm dan tokoferol (vitamin E) berkisar anatara 500-700 ppm. Kandungan karotenoid yang cukup tinggi dalam minyak sawit dapat dijadikan nilai lebih untuk produk lanjutan dari pengolahan minyak sawit. Minyak sawit dan produk-produknya memiliki ketahanan yang baik terhadap oksidasi dan panas pada suhu tinggi yang terus menerus karena minyak sawit juga mengandung tokoferol. Namun kandungan tokoferol pada minyak sawit tergantung dari kehatia-hatian perlakuan dalam pengolahan yaitu minyak yang berkadar asam lemak bebasnya tinggi biasanya kadar tokoferolnya lebih rendah (Allolerung et al., 2010). Tabel 1. Komponen minor dari minyak kelapa sawit CPO No. Senyawa 1 Karotenoid 2 Tokopherol dan Tokotrienol 3 Sterol 4 Phospolipid 5 Triterpen Alkohol 6 Metil Sterol 7 Squalen 8 Alkohol Alifatik 9 Hidrokarbon Alifatik (Siahaan dan Maslan, 2006) Konsentrasi (ppm) 500-700 600-1000 326-527 5-130 40-80 40-80 200-500 100-200 50 Universitas Sumatera Utara 12 Klon Kelapa Sawit Penyediaan bibit kelapa sawit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara generatif dan secara vegetatif. Perbanyakan generatif menggunakan benih dari biji hasil persilangan Dura dengan Pisifera. Perbanyakan secara vegetatif, salah satunya dilakukan dengan teknik kultur jaringan. Salah satu keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang relatif singkat (Nurhaimi dan Darussamin, 1997). Beberapa pendapat menyatakan bahwa mekanisme munculnya abnormalitas berbeda-beda untuk setiap genotip dan klon tanaman kelapa sawit. Pengamatan genotipik pada tingkat DNA tidak dipengaruhi oleh umur tanaman atau faktor lingkungan sehingga sama pada setiap fase atau tahap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Analisis pada tingkat DNA dapat digunakan untuk deteksi sedini mungkin pada fase pembibitan atau bahkan saat perbanyakan dalam kultur jaringan, khususnya tanaman perkebunan seperti tanaman kelapa sawit. Dengan demikian program pemuliaan tanaman dalam melakukan seleksi akan dipercepat, sehingga dapat memberi rekomendasi lebih awal (Hetharie, 2010). Pada prinsipnya perbanyakan kelapa sawit secara kultur jaringan bertujuan untuk menaikkan produksi tanaman per satuan luas kebun dengan cara memilih dan memperbanyak pohon induk atau orted yang unggul baik produksi minyak, kualitas minyak maupun vegetatif tanaman. Peningkatan potensi produksi kelapa sawit secara konvensional sangat sulit dilakukan karena sempitnya kisaran genetik yang dimiliki. Oleh karena itu, perbanyakan secara kultur jaringan pada individu tanaman unggul merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produksi kelapa sawit (Syakir, 2010). Universitas Sumatera Utara 13 Klon merupakan tanaman hasil perbanyakan vegetatif dengan menggunakan teknologi kultur jaringan. Tanaman ini dihasilkan dengan cara memanipulasi lingkungan tumbuh tanaman di dalam laboratorium, sehingga dari sepotong jaringan tanaman dapat dihasilkan individu tanaman yang utuh dan memiliki sifat yang sama seperti induknya. Keragaman tanaman klon baik di pembibitan ataupun di lapangan, tidak berbeda dengan tanaman kelapa sawit yang berasal dari benih (biji). Keunggulan bibit dari klon dengan bibit yang berasal dari benih adalah tanaman dari klon lebih seragam pertumbuhannya dan tanaman dari klon memiliki potensi produksi yang lebih tinggi berkisar 25-39% dibanding tanaman dari bibit pada umumnya (Zulhermana, 2009). Teknik kultur jaringan kelapa sawit pada saat ini lebih banyak dikembangkan melalui embriogenesis somatik dalam kultur cair dengan tujuan otomatisasi dan produksi embrio somatik serta meningkatkan pertumbuhan dan keseragaman kultur. Embriogenesis somatik adalah perkembangan embrio dari sel somatik sampai struktur yang menyerupai embrio zigotik yang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mendukung program pemuliaan tanaman khususnya rekayasa genetik, jalur embriogenesis somatik lebih disukai karena tanaman dapat berasal dari satu sel somatik, sehingga akan memberikan kepastian hasil yang lebih tinggi (Sianipar et al., 2007). Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan dilakukan dengan regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik. Melalui jalur tersebut sampai saat ini banyak dilaporkan adanya kendala abnormalitas. Perubahan sifat genetik atau epigenetik dapat disebabkan oleh frekuensi dan umur kalus, jenis eksplan dan kecepatan proliferasi kalus serta zat pengatur tumbuh (Mariska et al., 2013). Universitas Sumatera Utara 14 Keragaman Genetik Keragaman tingkat genetik merupakan tingkat keragaman yang paling rendah dalam organisasi biologi. Informasi keragaman genetik tanaman pada tingkat, individu, spesies maupun populasi perlu diketahui, sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun strategi konservasi, pemuliaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya genetik tanaman secara berkelanjutan. Penilaian keragaman genetik tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan penanda morfologi, biokimia dan molekuler DNA (Zulfahmi, 2013). Penilaian keragaman genetik tanaman secara morfologi dilakukan melalui uji progeni dengan mengamati penampilan fenotipik tanaman. Pengujian ini dilakukan pada lingkungan yang berbeda dengan fokus utama adalah ciri kualitatif dan kuantitatif yang bernilai ekonomi serta ciri yang secara biologi penting seperti kemampuan hidup (survive), sifat toleran terhadap stres lingkungan, sifat produksi dan resistensi terhadap hama dan penyakit. Penentuan keragaman genetik tanaman secara konvensional membutuhkan waktu yang lama, relatif mahal, dipengaruhi oleh lingkungan dan keragaman yang diperoleh terbatas dan tidak konsisten (Freeman et al., 2004). Keberlanjutan produksi dan suplai produk kelapa sawit dunia perlu dipertahankan dengan pemuliaan yang lebih intensif melalui studi keragaman genetik untuk menjamin bahwa bahan tanam dengan produktivitas tinggi tersedia untuk dibudidayakan. Pemahaman mengenai keragaman genetik dan hubungan dengan materi plasma nutfah kelapa sawit sangat penting dalam menyeleksi materi bahan tanam unggul. Ketersediaan keragaman genetik dalam plasma nutfah Universitas Sumatera Utara 15 sangat membantu meningkatkan efisiensi kegiatan pemuliaan yang mampu menghasilkan capaian seleksi yang diharapkan (Azrai, 2005). Guna mendukung upaya pemberdayaan potensi plasma nutfah pada program seleksi maka mutlak diperlukan kelengkapan informasi yang berkaitan dengan berbagai karakter morfologi maupun genetiknya. Marka molekuler dapat memberi gambaran yang akurat tentang perbedaan genetik individu, baik pada tingkat spesies maupun dengan kerabat jauhnya. Keragaman genetik berbasis informasi agromorfologis untuk mengevaluasi keragaman genotipik, saat ini dirasakan sudah tidak memadai lagi. Oleh sebab itu aplikasi marka molekuler sudah menjadi satu keharusan untuk meningkatkan efisiensi dalam menganalisis kekerabatan, pemetaan gen, dan marker-assisted selection(MAS) pada tanamantanaman perkebunan seperti kelapa sawit (Hairinsyah, 2010). Besarnya keragaman genetik dapat menjadi dasar untuk menduga keberhasilan perbaikan genetik didalam program pemuliaan. Keragaman genetik dapat terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA. Perubahan itu mungkin dapat mempengaruhi fenotipe suatu organisme. Variasi genetik dari suatu keturunan merupakan hasil dari perkembangbiakan seksual (Mulyadiana, 2010). Informasi keragaman genetik sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan konservasi dalam pemuliaan tanaman. Untuk kegiatan konservasi, besarnya keragaman genetik mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi ekologi dalam jangka waktu pendek dan evolusi dalam jangka panjang, sedangkan untuk pemuliaan, keragaman genetik yang luas diperlukan dalam kegiatan seleksi (Rahayu dan Handayani, 2010). Universitas Sumatera Utara 16 Simple Sequence Repeat (SSR) SSR yang juga sering disebut dengan mikrosatelit merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotip untuk karakter yang diinginkan. SSR tergolong sebagai penanda molekuler yang sangat efektif, yakni sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit basa nukleotida (dikenal sebagai motif) yang tersebar dan meliputi seluruh genom. Kelebihan marka ini yaitu bersifat kodominan sehingga tingkat heterozigositasnya tinggi yang berarti memiliki daya pembeda antar individu sangat tinggi serta dapat diketahui lokasinya pada DNA sehingga dapat mendeteksi keragaman alel pada level yang tinggi, mudah dan ekonomis dalam pengaplikasiannya karena menggunakan proses PCR. SSR memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi stabil secara somatik. Kelemahan teknik ini adalah marka SSR tidak tersedia pada semua spesies tanaman, sehingga untuk merancang primer yang baru dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal (Afifah, 2012). Mikrosatelit, atau pengulangan urutan sederhana (simple sequence repeat) adalah sekuen sederhana yang berulang-ulang yang melimpah dalam genom suatu spesies. Mikrosatelit memiliki pengulangan sekuen yang berurutan 2 sampai 4 motif sekuen nukleotida sebagai sekuen konservatif. Penciri ini sangat berguna sebagai penciri genetik karena bersifat kodominan, sehingga dapat mendeteksi keragaman alel pada level yang tinggi, mudah dan ekonomis dalam pengaplikasiannya karena menggunakan proses PCR. Penciri ini muncul sebagai marka yang sangat variatif dan mudah diulang, menjadikan sangat ideal untuk pemetaan genom (Sayekti et al., 2015). Universitas Sumatera Utara 17 Simple Sequence Repeat (SSR) populer digunakan sebagai marka molekuler karena bersifat kodominan. Lokus mikrosatelit juga bersifat spesifik (satu lokus setiap pasangan primer) dengan kandungan informasi polimorfik yang cukup tinggi. Analisis keragaman genetik pada aksesi plasma nutfah kelapa sawit telah dilakukan menggunakan marka SSR. Mikrosatelit mempunyai karakteristik sebagai berikut: tingkat polimorfisme yang tinggi, bersifat kodominan, dan diwariskan mengikuti hukum mendel (Arumsari, 2013). Proses deteksi SSR juga dapat diotomatisasi dengan menggunakan fluorescently-labeled markers dan alat analisis genetik (genetic analyzer). Kelebihan utama dari teknik ini adalah pembacaan fragmen DNA lebih akurat (ketelitian sampai 1 bp), lebih otomatis, dan hightroughput (marka yang berbeda ukuran fragmen DNA dan warna labelnya dapat diproses bersamaan dalam sekali pendeteksian (running) (Zulhermana, 2009). Teknik marka molekuler memberikan kontribusi dalam identifikasi plasma nutfah, konservasi, pemilihan tetua untuk program seleksi, kontruksi peta pautan genetik dan seleksi sifat penting tanaman kelapa sawit. Keunggulan marka DNA dapat memberikan polimorfisme pita DNA dalam jumlah banyak, konsistensi, dan tidak dipengaruhi lingkungan. Marka mikrosatelit dibuat berdasarkan jumlah sekuen DNA sederhana yang berulang-ulang sehingga sering disebut juga dengan simple sequence repeat (SSR), merupakan salah satu penanda DNA yang menggunakan prinsip PCR. Setiap primer terpilih digunakan akan dihasilkan pita polimorfis mampu untuk menetapkan variabilitas genetik populasi (Putri, 2010). Universitas Sumatera Utara