BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak diantara 105° 00’ 00” - 109° 00’ 00” BT dan 5° 50’ 00” - 7° 50’ 00” LS. Secara administratif, Jawa Barat di bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta, di bagian timur dari Jawa Barat berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, di bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan Propinsi Banten di bagian barat. Kawasan utara dari Jawa barat merupakan daerah dataran rendah, kawasan tengah dan selatan dari Jawa Barat merupakan daerah pegunungan dan perbukitan yang merupakan daerah dataran tinggi dengan sedikit pantai. Jawa Barat merupakan bagian dari busur kepulauan gunungapi (aktif dan non-aktif). Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di daerah selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut, wilayah dataran luas di bagian utara dengan ketinggian 0-10 m dpl, wilayah lereng bukit yang terjal hingga landai di bagian tengah dengan ketinggian 100-1.500 m. 2.2 FISIOGRAFI Fisiografi menunjukkan bentuk permukaan bumi dilihat dari faktor dan proses pembentukannya. Proses pembentukan permukaan bumi dipandang sebagai penciri suatu satuan fisiografi. Bentuk permukaan bumi yang kita lihat sekarang merupakan hasil dari suatu proses geologi sebagai tenaga endogen dan pengaruh faktor cuaca sebagai tenaga eksogen yang menyebabkan batuan mengalami proses pelapukan. Seperti yang membentuk fisiografi Jawa Barat yang memiliki karakteristik geologi yang terdiri dari pendataran aluvial, perbukitan lipatan dan gunungapi. Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 5 zona, dimana Punggungan Zona Depresi Tengah dan Zona Depresi Tengah Jawa Barat termasuk dalam Zona Bandung. 5 GEOLOGI REGIONAL a) Zona Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plains of Batavia) Daerah ini terletak di tepi laut Jawa, terbentang mulai dari Serang sampai ke Cirebon. Zona ini memiliki morfologi yang datar, sebagian besar tertutupi oleh endapan aluvial dan endapan gunung api muda. b) Zona Bogor (Bogor Zone) Zona ini terletak di sebelah selatan Zona Dataran Pantai Jakarta. membentang melalui kota Bogor, Purwakarta, Majalengka sampai kota Bumiayu di Jawa Tengah. Zona ini memiliki morfologi berbukit-bukit yang umumnya memanjang dengan arah barat-timur di sekitar kota Bogor. Menurut Van Bemmelen (1949), zona ini merupakan antiklinorium yang terdiri dari lapisan batuan berumur Neogen yang terlipat kuat c) Zona Bandung (Bandung Zone) Zona ini merupakan zona dimana tempat penelitian berada (Gambar 2.1). Dibentuk oleh depresi antar pegunungan (intramontane depression). Pegunungan yang membatasi depresi-depresi tersebut pada umumnya berupa tinggian yang tersusun atas batuan berumur Tersier. Secara struktural, zona ini merupakan puncak antiklin Jawa Barat yang runtuh setelah terjadi pengangkatan, lalu dataran rendah ini terisi oleh endapan gunung api muda. Dalam Zona Bandung terdapat beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua yang muncul di antara endapan vulkanik, yang disebut Punggungan Zona Depresi Tengah. Salah satu yang penting adalah Gunung Walat di Sukabumi dan Perbukitan Rajamandala di daerah Padalarang. Dari penyelidikan ini, Zona Bandung dalam sejarah geologinya tidak dapat dipisahkan dengan Zona Bogor, kecuali oleh banyaknya puncak gunung api yang masih aktif sampai sekarang. d) Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Southern Mountains of West-Java) Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat terbentang mulai dari Teluk Pelabuhanratu sampai Pulau Nusakambangan. Morfologi di dalam zona ini ini berupa dataran tinggi. Zona ini telah mengalami perlipatan dan pengangkatan pada Zaman Miosen dengan kemiringan landai ke arah selatan atau ke arah Samudera Indonesia. Bagian pegunungan selatan ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : Jampang, Pangalengan dan Karangnunggal. Batas Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dengan Zona Bandung terlihat jelas di lembah Sungai Cimandiri. Batas tersebut berupa perbukitan bergelombang pada lembah Sungai 6 GEOLOGI REGIONAL Cimandiri, langsung berbatasan dengan dataran tinggi dari Pegunungan Selatan dengan beda tinggi sekitar 200 m. e) Zona Gunung Api Kuarter Zona Gunungapi Kuarter tersebar di sekitar bagian tengah Jawa Barat. Zona ini terbentuk hasil dari endapan gunungapi berumur Kuarter. DAERAH PENELITIAN Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949) 2.3 STRATIGRAFI Martodjojo (1984), dalam penelitian stratigrafi di daerah Jawa Barat, membagi daerah Jawa Barat menjadi tiga mandala sedimentasi, yaitu: 1. Mandala Cekungan Bogor Mandala ini terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen yang meliputi beberapa Zona Fisiografi van Bemmelen (1949), antara lain Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala sedimentasi ini dicirikan oleh endapan aliran gravitasi yang pada umumnya berupa fragmen batuan beku dan sedimen, seperti andesit, basalt, tuf, dan batugamping. Ketebalan endapannya diperkirakan lebih dari 7000 m. 7 GEOLOGI REGIONAL 2. Mandala Paparan Kontinen Mandala ini terletak paling utara dan tempatnya hampir sama dengan Zona Dataran Pantai Jakarta pada Zona Fisiografi van Bemmelen (1949). Umumnya terdiri dari batugamping, batulempung, dan batupasir kuarsa. Lingkungan pengendapan daerah ini umumnya adalah laut dangkal dengan ketebalan sedimen dapat mencapai 5000 m. Batas selatan mandala sedimentasi ini diperkirakan sama dengan penyebaran singkapan Formasi Parigi dari Cibinong yang sejajar dengan pantai utara, sedangkan batas di bagian utaranya menerus ke lepas pantai, meliputi daerah pemboran minyak bumi di lepas pantai utara Jawa. 3. Mandala Banten Mandala sedimentasi ini sebenarnya tidak begitu jelas, karena sedikitnya data yang diketahui. Pada umur Tersier Awal, mandala ini lebih menyerupai Mandala Cekungan Bogor, sedangkan pada akhir Tersier cirinya sangat mendekati Mandala Paparan Kontinen. Berdasarkan pembagian di atas, daerah penelitian termasuk ke dalam Mandala Cekungan Bogor. Posisi tektonik di Cekungan Bogor dari Tersier hingga Kuarter terus mengalami perubahan (Martodjojo, 1984). Cekungan Bogor pada Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik (Fore-arc Basin), berubah menjadi cekungan belakang busur magmatik (Back-arc Basin) pada Miosen Awal-Pliosen. Pada rentang waktu Miosen AwalMiosen Akhir, sedimentasi Cekungan Bogor didominasi oleh mekanisme aliran gravitasi. Pada Pliosen, sebagian dari Cekungan Bogor terangkat menjadi daratan dan merupakan jalur magmatik. Aktivitas volkanisme yang terjadi mengakibatkan adanya endapan-endapan gunungapi. Susunan stratigrafi regional dikemukakan secara komprehensif oleh Martodjojo (1984) yang menggambarkan evolusi cekungan di Jawa Barat (Gambar 2.2). Menurut Martodjojo (1984) batuan tertua berumur Pra Tersier, terdiri dari batuan metamorf, vulkanik dan batuan beku. Pada Paleosen - Eosen Awal terbentuk kompleks melange akibat proses penunjaman pada saat itu. 8 GEOLOGI REGIONAL Gambar 2.2. Stratigrafi regional Jawa Barat (Martodjojo, 1984) Formasi Ciletuh diendapkan di atas kompleks mélange, yaitu berupa endapan laut dalam, tepatnya pada lereng bawah atau pond deposit dengan litologi berupa batulempung dan batupasir kuarsa dengan sisipan breksi, kaya fragmen batuan metamorf dan batuan beku ultrabasa. Formasi ini diperkirakan berumur Eosen Awal (Martodjojo, 1984). Formasi Bayah, yang terdiri dari batupasir kuarsa dan batulempung dengan sisipan batubara, menutupi Formasi Ciletuh secara selaras. Formasi Bayah berumur Eosen TengahEosen Akhir dengan lingkungan pengendapan darat sampai laut dangkal. Diperkirakan merupakan puncak pendangkalan dari sistem akrasi di Pulau Jawa, dengan sebagian atau mungkin seluruh Jawa merupakan daratan waktu itu. Sampai sekarang di Jawa Barat tidak pernah dijumpai batuan berumur Eosen Akhir-Oligosen Awal, karena itu pada umur tersebut Jawa Barat diperkirakan dalam lingkungan darat (Martodjojo, 1984). Pada akhir Kala Oligosen, di Jawa Barat dan juga lepas pantai terjadi peristiwa yang penting. Pengangkatan yang aktif di daerah utara Jawa Barat mulai berkurang dan kemudian 9 GEOLOGI REGIONAL diikuti oleh penurunan yang membentuk Cekungan Bogor berkembang lebih nyata. Menurut Martodjojo (1984), pada Oligosen Akhir diendapkan Formasi Batuasih secara tidak selaras di atas Formasi Bayah. Ciri litologi formasi ini adalah batuserpih karbonatan. Pada beberapa horizon terdapat napal yang kaya akan foraminifera plankton, bentos, dan juga moluska. Bagian teratas dari Formasi Batuasih lebih bersifat karbonatan dan mengandung lensa-lensa batugamping kalkarenit. Dari ciri batuannya disimpulkan bahwa lingkungan pengendapannya adalah transisi sampai laut dangkal. Pada Oligosen Akhir sampai Awal Miosen diendapkan Formasi Rajamandala, yang terdiri dari dua anggota, yakni Anggota Batugamping yang memiliki nama lain berupa Tagogapu Limestone (Leopold dan van der Vlerk, 1931 op cit Martodjojo, 1984) dan Satuan Batugamping Terumbu (Effendi, 1974 op cit Martodjojo, 1984), serta Anggota Batulempung-Napal-Batupasir Kuarsa. Bagian bawah formasi ini menjemari dengan Formasi Batuasih dan keduanya terletak tidak selaras di atas Formasi Bayah, tetapi di teluk Bayah formasi ini tidak ditemukan. Formasi ini didominasi oleh batugamping, kadang-kadang berkembang sebagai terumbu. Penyebaran dari satuan ini hanya terdapat pada jalur tertentu, memanjang dari Citarante di Bayah-Sukabumi, dan menerus ke Rajamandala, sehingga disimpulkan pada waktu Formasi Rajamandala diendapkan daerah poros Citarante-Sukabumi-Rajamandala merupakan pinggir dari suatu cekungan, berbatasan dengan daratan di selatan Ciletuh. Dari sistem terumbu yang ada menunjukkan arah laut terbuka ke utara (Martodjojo, 1984). Koesoemadinata (1984) juga membagi Formasi Rajamandala menjadi dua yaitu Anggota Napal dan Anggota Batugamping dengan hubungan yang juga menjemari. Pada Miosen Awal – Miosen Akhir, pengendapan yang terjadi di Cekungan Bogor memiliki mekanisme pengendapan aliran gravitasi dan volcanic debris. Pada Miosen Awal di daerah selatan diendapkan Formasi Jampang yang terdiri dari breksi dan tuf, sedangkan di utaranya diendapkan Formasi Citarum yang terdiri dari tuf dan batupasir greywacke. Kedua satuan ini merupakan satu sistem kipas laut dalam, Formasi Jampang adalah bagian dalam dan Formasi Citarum merupakan bagian luar. Pada Miosen Tengah diendapkan Formasi Saguling berupa breksi yang ditutupi secara selaras oleh Formasi Bantargadung berupa batulempung dan batupasir greywacke berumur Miosen Tengah bagian akhir. Endapan termuda di Cekungan 10 GEOLOGI REGIONAL Bogor berupa breksi, berumur Miosen Akhir termasuk Formasi Cigadung di bagian lembah Cimandiri dan Formasi Cantayan di bagian utara cekungan. (Martodjojo, 1984). Menurut Sudjatmiko (1972), pada Pliosen terjadi pengangkatan dan volkanisme yang berlanjut sampai Pleistosen Awal atau Kuarter. Pada kala itu diendapkan satuan hasil gunungapi tua yang memiliki sebaran cukup luas, terdiri dari breksi gunungapi, breksi aliran, tuf, dan endapan lahar. 2.4 KERANGKA TEKTONIK Tatanan tektonik di daerah Jawa bagian barat tidak terlepas dari teori tektonik lempeng, dimana kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat, dan Lempeng Samudera Hindia yang menyatu dengan Lempeng Australia bergerak ke utara (Hamilton, 1979). Berdasarkan rekonstruksi geodinamika (Katili, 1975 op cit Hamilton, 1979), subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia yang aktif pada Eosen telah menghasilkan pola penyebaran batuan volkanik Tersier di Pulau Jawa. Selain terjadi pembentukan gunungapi berarah barat-timur, terbentuk juga suatu cekungan tengah busur dan kemudian cekungan belakang busur di Jawa Barat bagian utara. Cekungan belakang busur ini secara progresif semakin berpindah ke arah utara sejalan dengan perpindahan jalur gunungapi selama Tersier hingga Kuarter (Soeria-Atmadja, dkk., 1994 op cit Darman, H., & Sidi, F.H., 2000). Menurut Katili (1975 op cit Asikin, 1992) sebagai akibat dari interaksi konvergen ini terbentuk gelang-gelang jalur subduksi yang berkembang semakin muda ke arah baratdayaselatan dari arah utara. Pada umur Kapur Akhir-Eosen Awal, jalur subduksi dapat diikuti mulai dari Jawa Barat bagian selatan (Ciletuh), Pegunungan Serayu (Jawa Tengah), dan Laut Jawa bagian timur ke Kalimantan di bagian tenggara, dengan jalur magmatik menempati lepas pantai utara Jawa. Pada Tersier, jalur subduksi membentuk punggungan bawah permukaan laut yang terletak di selatan Pulau Jawa. Jalur ini merupakan kelanjutan dari deretan pulau-pulau yang berada di sebelah barat Pulau Sumatra. Sedangkan jalur magmatik pada kala Oligo-Miosen terletak pada jalur subduksi Kapur Akhir di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, dan terus memanjang dengan arah barat-timur hingga Jawa Timur, kepulauan Nusatenggara, dan Busur Banda. 11 GEOLOGI REGIONAL Hal ini menunjukkan adanya pergerakan jalur subduksi ke arah selatan dari Kapur Akhir hingga Oligo-Miosen. Pada Neogen sampai Kuarter jalur magmatis Jawa bergerak kembali ke arah utara, namun dengan jalur subduksi yang relatif diam. Hal ini mengindikasikan penunjaman yang relatif lebih landai pada Neogen dibandingkan dengan Paleogen. 2.5 STRUKTUR GEOLOGI Menurut Purnomo dan Purwoko (1994) pembentukan struktur Tersier di Pulau Jawa terdiri dari tiga periode, yaitu: (i) Paleogene Extensional Rifting yang ditandai oleh proses rifting pada EosenOligosen yang mengawali pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Pulau Jawa (ii) Neogene Compressing Wrenching yang ditandai oleh pembentukan sesar-sesar geser yang merupakan reaktivasi sesar-sesar normal yang terbentuk pada Paleogen sebagai akibat gaya kompresi dari tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng Eurasia (iii) Plio-Pleistocene Compressing Thrust-Folding yang ditandai oleh pembentukan lipatan yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik. Pola struktur Pulau Jawa menurut Pulonggono dan Martodjojo (1994) dapat dibagi menjadi tiga pola kelurusan dominan, yaitu Pola Meratus (timurlaut- baratdaya), Pola Sunda (utara-selatan), dan Pola Jawa (barat–timur). Berdasarkan hasil studi pola struktur Pulau Jawa tersebut, Pulonggono dan Martodjojo (1994) menyimpulkan bahwa selama Paleogen dan Neogen telah terjadi perubahan tatanan tektonik di Pulau Jawa. Pola Meratus dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur 80-53 jtl (Kapur Akhir-Eosen Awal) dan merupakan pola tertua di Jawa. Dihasilkan oleh penunjaman Lempeng Samudra IndoAustralia ke bawah Paparan Sunda, dengan penunjaman berorientasi timurlaut-baratdaya. Arah ini berkembang di Jawa Barat dan memanjang hingga Jawa Timur pada rentang waktu Eosen Akhir-Oligosen Akhir (32 jtl). Di Jawa Barat, Pola Meratus diwakili oleh Sesar Cimandiri yang kemudian tampak dominan di lepas pantai utara Jawa Timur, yaitu pada Cekungan Zaitun dan Cekungan Biliton. Sesar ini juga berkembang di bagian selatan Jawa. 12 GEOLOGI REGIONAL Pola Sunda yang berarah utara-selatan merupakan pola yang lebih muda, terbentuk pada 53-32 jtl (Eosen-Oligosen Akhir). Pola Sunda dihasilkan oleh tektonik regangan, fasa regangan ini disebabkan oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh tumbukan microplate India dan Eurasia yang menimbulkan rollback. Pola ini umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat, antara lain sesar-sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna. Penunjaman di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera menimbulkan tektonik kompresi yang menghasilkan Pola Jawa. Di Jawa Tengah hampir semua sesar di jalur Serayu Utara dan Serayu Selatan mempunyai arah yang sama, yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke Pulau Madura dan di utara Pulau Lombok. Pada Miosen Awal-Pliosen, Cekungan Bogor yang kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik (Fore-arc Basin) berubah statusnya menjadi cekungan belakang busur magmatik (Back-arc Basin), sehingga terbentuk sesar-sesar anjakan dan lipatan (Thrust Fold Belt). Pola ini adalah pola termuda yang mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya, diwakili oleh sesar-sear naik seperti Baribis, serta sesar-sesar naik di dalam Zona Bogor pada zona fisiografi van Bemmelen (1949). Struktur geologi yang berkembang di Jawa bagian barat secara umum memiliki pola struktur utama diantaranya yaitu: 1) Sesar Cimandiri berarah timurlaut-baratdaya, sesar naik Rajamandala serta sesar-sesar lainnya di Purwakarta. Arah ini sering di kenal dengan arah Meratus yaitu arah yang mengikuti pola busur Kapur (Katili, 1975 op cit Hamilton, 1979) 2) Sesar Baribis beraarah baratlaut-tenggara dan sesar-sesar di Gunung Walat 3) Arah utara-selatan berupa kelurusan Ciletuh-Pulau Seribu, di lepas pantai utara Jawa Barat yang merupakan pola sesar utama. Sesar-sesar utama berarah utara-selatan di Laut Jawa dan di Cekungan Sunda telah terbukti sebagai komponen struktur yang mengontrol perkembangan cekungan berumur Paleogen di daerah tersebut Berdasarkan peta struktur regional Jawa Barat (Martodjojo, 1984), daerah penelitian termasuk ke dalam Pola Meratus dengan arah relatif timurlaut - baratdaya. Struktur geologi di 13 GEOLOGI REGIONAL daerah ini berupa sesar, lipatan, dan kekar yang dijumpai pada batuan berumur Miosen sampai Kuarter. Sesar terdiri dari sesar mendatar dan sesar naik yang berarah utara–selatan dan timurlaut-baratdaya. Pola lipatan yang dijumpai berarah timurlaut-baratdaya (Gambar 2.3). Gambar 2.3. Struktur regional Jawa Barat (Martodjojo, 1984) daerah penelitian termasuk dalam jalur lipatan-anjakan Struktur yang berkembang di daerah Rajamandala dan sekitarnya adalah lipatan asimetris yang overturning ke arah utara. Van Bemmelen (1949) menginterpretasikan terjadinya gelinciran ke arah utara dari puncak antiklin yang patah akibat perlipatan yang kuat pada bidang plastis batulempung di bawahnya. Hal ini menyebabkan perlapisan yang tidak teratur pada Perbukitan Rajamandala. Sedangkan menurut Sudjatmiko (1972) struktur yang berkembang adalah sesar anjakan dengan kemiringan bidang sesar ke selatan. Davis dan Reynolds (1996) menyatakan bahwa struktur utama yang berkembang pada daerah dengan rezime tektonik konvergen adalah sesar anjakan (thrust) yang dapat membentuk suatu jalur anjakan-lipatan (thrust-fold belt). Jalur anjakan-lipatan ini terdiri dari sesar anjakan 14 GEOLOGI REGIONAL (thrust) yang berasosiasi dengan lipatan-lipatan (folds), dengan struktur penyerta berupa sesarsesar mendatar sebagai sesar sobekan (tear fault). 15