Farmakoterapi

advertisement
PEDOMAN FARMAKOTERAPI
DALAM NEUROLOGI
M. Ardiansyah AN
BAGIAN SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UMY
Dasar Pemilihan Obat :
Syarat-syarat untuk pemilihan obat yang rasional :
• Diagnosis yang tepat
• Pengetahuan dasar patofisiologi penyakit
• Pengetahuan farmakologi dasar, biokimiawi obat &
dan metabolitnya, kinetika senyawa pada orang normal
dan sakit
- Kemampuan untuk mengaplikasikan ilmu dalam
praktek
- Tindakan yang beralasan dalam menghubungkan
patofisiologi dan farmakologi sehingga didapat hasil
pengobatan yang dikehendaki
- Rencana untuk melakukan evaluasi dan pengukuran
spesifik
Akibat kesenjangan antara pengetahuan
farmakologi dan farmakologi klinik :
(-) Perhatian efek toksik obat; efek morbiditas &mortalitas
(-) Pengetahuan adanya reaksi &interaksi obat
(-) Perhatian akan perlunya evaluasi pemakaian obat
(-) Tidak adanya pendidikan farmakoterapi lanjutan yang
efektif
(-) Tidak adanya organisasi atau institusi sebagai
sumber informasi obat yang dapat dimanfaatkan dengan
baik
(-)Adanya ketergantungan pada informasi dari industri
farmasi
(-)
kemampuan dalam kajian kritis efektivitas obat
(-) mampu melakukan improvisasi dalam pemilihan
pemakaian obat dalam klinik
PENGEMBANGAN OBAT
Ada empat tahapan dama uji klinik :
Tahap I : Farmakologi klinik dan toksisitas
Tahap II: Penelitian klinis untuk efek
pengobatan
Tahap III: Evaluasi lengkap pengobatan
Tahap IV : Survei pasca pemasaran
Interaksi Obat
Interaksi obat terjadi pada berbagai peringkat :
1. Interaksi absorbsi
2. Interaksi ikatan protein plasma
3. Inhibisi metabolisme
4. Induksi metabolisme
5. Obat yang mempengaruhi ekskresi renal
6. Interaksi farmakodinamik
Interaksi yang mempengaruhi pemberian atau
Respon pada obat lain :
1. Interaksi absorbsi
2. Interaksi pada ikatan protein plasma
3. Induksi metabolisme
4. Interaksi obat secara farmakodinamik
Tujuan Terapi
*
=
Mengurangi mortalitas, kecacatan, & stroke ulang
Mencegah komplikasi :
Komplikasi serebral
minggu 1
Komplikasi non serebral
minggu 2-4
•MISBACH, 2000, NEUROEMERGENSI PADA STROKE,
UNPUBLISED REFERENCE
PENDEKATAN TERAPI FASE AKUT * :
fokus
restorasi aliran
darah otak
menghentikan
kerusakan seluler
menyelamatkan
daerah penumbra
• WIBOWO &GOFIR, 2001, FARMAKOTERAPI DALAM
NEUROLOGI, JAKARTA
MASALAH DALAM TERAPI
Prevensi terapi
Efektif?
Manejemen
Efektif?
Sebelum terjadi stroke
Morbiditas
Setelah terjadi stroke
Mortalitas & QOL
Stroke Strategi
Strategies for preventing stroke and
reducing stroke-related disability
Blood Pressure
Smoking
Lipids
Stroke Mortality
Acute treatment
Mass strategy
in population
First-ever stroke
Primary Prevention
High risk strategy
in individual
Hypertentension
TIA
Atrial Fibrilation
Other vescular disease
Secondary Prevention
Rehabilitation
Recurrent
stroke
Stroke related
disabilty
PREVENSI PRIMER &SEKUNDER PADA STROKE
 PEMBERIAN ANTI AGREGASI PLATELET :
 ASPIRIN : menghambat siklooksigenase dengan
cara menurunkan sintesis atau mengurangi lepasnya
senyawa yang mendorong adhesi seperti tromboxan
A2.
 Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah
diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah.
Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap
aktif.
 Ikatan protei plasma : 50-80 persen. Waktu paro
(half life) plasma : 4 jam. Metabolisme secara
konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine
Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85
persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin
pada suasana alkalis.
 Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik, muntah,
perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga : sindrom
Reye.
 Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah
aspirin antara lain adalah kemungkinan terjadi ‘resistensi
aspirin’ pada dosis rendah.
 Hal ini kemungkinan platelet juga menghasilkan 12hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil samping kreasi asam
arakhidonat intraplatelet ( lipid – oksigenase).
 Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah
aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2
terjadi dengan dosis rendah aspirin.
 Aspirin mengurangi agregasi platelet Dosis aspirin 300-600
mg (belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara
permanent merusak pembentukan agregasi platelet.
Dipiridamol
Merupakan phosphodiesterase inhibitor, menurunkan agregasi
platelet dengan menaikkan kadar c AMP (cyclic adenosine
monophosphate) dan c GMP (cyclic guanosine monophosphate)
dalam platelet.
Obat ini secara tunggal tidak lebih unggul dibandingkan
dengan aspirin, karena itu sering dipakai dalam kombinasi
dengan aspirin.
Reaksi yang merugikan : mual, muntah, diare, nyeri
kepala dan dizziness.
Tiklopidin dan Kopidogrel
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi
aspirin, dapat menggunakan tiklopidin atau clopidogrel.
 Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet,
agregasi, dan melepaskan granul platelet, mengganggu
fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan
fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antaraksi
platelet-platelet.
Menurut suatu studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke
dalam 3 tahun adalah 10 persen untuk grup tiklopidin dan 13
persen untuk grup aspirin. Risiko relatif berkurang 21 persen
dengan penggunaan tiklopidin.
Setyaningsih et al. (1998) telah melakukan studi meta-analisis
terhadap terapi tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke iskemik.
Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan bahwa
efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun
indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik.
Efek samping tiklopidin adalah diare (12, 5 persen) dan
netropenia (2, 4 persen). Bila obat dihentikan akan reversibel.
Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan.
Komplikasi yang lebih serius, tetapi jarang, adalah purpura
trombositopenia trombotik dan anemia aplastika.
 Klopidogrel (dosis 75 mg/ hari adalah obat yang aman
dan dibandingkan tiklopidin efek sampingnya lebih ringan.
Silostazol
Silostazol merupakan obat antiplatetlet yang
menaikkan kadar c AMP (cyclic adenosine
monophosphate) dalam platelet melalui
penghambatan c AMP-fosfodiesterase.
Gotoh et al (2000) melakukan suatu penelitian
prevensi stroke, suatu penelitian kasus kontrol,
buta ganda untuk prevensi sekunder infark
serebrum dengan total kasus 1095.
Terapi dengan silostazol menunjukkan reduksi
yang relatif bermakna ( 41, 7 % CI. 9,2 – 62, 5
%) dalam kambuhnya infark serebrum
dibandingkan dengan pemberian plasebo ( p.
0,015).
Efek samping yang berarti tidak ditemukan.
Dosisnya adalah 100 mg, 2 kali sehari.
Perawatan farmakologis untuk terapi stroke
isosemik akut dan pencegahan sekunder
Pemulihan aliran darah: heparin, nadroparin,
aspirin,
tiklopidin,
ancord,
pentoksifilin,
streptokinase, klopidogrel, silostazol, streptokinase,
r-TPA.
Perlindungan
jaringan
otak
(neuroprotektan):
Piracetam,
Citicoline,Calcium antagonist, NMDA
antagonist,
Glutamate
antagonist,
Serotonine,
agonist, radikal bebas (free radical scanvenger)
Terapi reperfusi pasa stroke iskemik akut
Penggunaan tissue plasminogen activator pada terapi
stroke iskemik akut, telah dilakukan pada berbagai
penelitian tentang manfaat penggunaan Recombinant
Tissue Plasminogen Activator (rtPA). Berdasarkan study
tersebut, the Stroke Council from American Heart
Association mengajukan rekomendasi sebagai pedoman
terapi rtPA seperti berikut :
Pemberian intravenus rtPA (0, 9 mg/kg, maksimum 90 mg)
dengan 10 persen dosisnya diberikan sebagai bolus, diikuti
dengan infus yang berlansung selama 60 menit, dalam 3
jam awitan (onset) stroke. Pemberian yang terlambat
(lebih dari 3 jam setelah onset, atau bila waktu
awitannya tidak bisa dipercaya), pemberian obat ini
tidak dianjurkan, karena tingginya risiko komplikasi
trombolitik.
Streptokinase tidak diindikasikan untuk
manajemen stroke iskemik.
Diagnosis stroke harus ditegakkan oleh ahlinya,
disertai dengan pemeriksaan
imaging. Apabila pemeriksaan CT scan
menunjukkan adanya perubahan awal
menghilangnya sulci, efek masa, udem, atau
kemungkinan perdarahan, terapi trombolitik
harus dihindari.Kriteria eksklusi pasien adalah :
a. sedang menggunakan antikoagulan oral, waktu
protrombin > 15 detik, atau INR (international
normalized ratio) waktu protrombin < 1, 7,
b. penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya,
c. jumlah platelet kurang dari 100.000/mm3,
a. bukan stroke atau cedera kepala berat 3 bulan
sebelumnya,
b. mengalami operasi besar dalam 14 hari sebelumnya,
c. tekanan darah sistolik sebelum pengobatan lebih besar
dari 185 mm Hg, atau tekanan darah diastolik lebih besar
dari 110 mm Hg,
d. Perbaikan cepat gejala neurologik,
e. Defisit neurologik terpisah dan ringan seperti hanya
ataksia, hanya kehilangan sensoris, hanya disartri, atau
kelemahan minimal,
f. Didahului perdarahan intrakranial,
g. Kadar gula darah kurang dari 50 mg/ dl, atau > 400 mg/
dl,
h. Terjadi bangkitan (seizure) pada awitan stroke,
i. Terjadi perdarahan gastrointestinal atau uriner dalam 21
hari sebelumnya,
j. Sedang menderita infark miokardial.
Terapi trombolitik tidak boleh diberikan apabila pasien tidak di
unit perawatan intensif atau di pelayanan stroke yang mapan.
Download