bab 2 tinjauan pustaka - USU-IR

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Edible film dan Edible coating
Pengemas yang dapat dimakan (Edible packaging) berdasarkan cara
pembuatannya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang berfungsi
sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film).
2.1.1.Edible film
Secara umum edible film dapat didefinisikan sebagai lapis tipis yang
melapisi suatu bahan pangan dan layak dimakan, digunakan pada makanan
dengan cara pembungkusan. Dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas
makanan, memperpanjang masa simpan, meningkatkan efisiensi ekonomis,
menghambat perpindahan uap air (Robertson,1992).
Edible film dapat dibedakan dalam tiga kategori berdasarkan bahan baku
yang digunakan yaitu hidrokoloid, lemak dan campuran keduanya. Golongan
hidrokoloid dapat dibuat dari polisakarida (selulosa, modifikasi selulosa, pati,
agar, alginat, pektin, dekstrin), protein (kolagen, gelatin, putih telur), termasuk
golongan lipid. Edible film campuran terdiri dari campuran lipid dan hidrokoloid
serta mampu menutupi kelemahan masing-masing ( Guilbert,1986).
Edible film merupakan lapisan tipis dari materi yang dapat dimakan yang
diletakkan diatas permukaan produk makanan untuk sebagai penghalang bagi uap
air, oksigen dan perpindahan padatan dari makanan tersebut. Aplikasi dapat
dilakukan langsung pada permukaan makanan dengan cara pencelupan,
penyemprotan atau brushing. Sebuah pelapisan yang ideal didefinisikan sebagai
salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan buah segar tanpa
menyebabkan keadaan anaerobik dan mengurangi kerusakan tanpa mengurangi
kualitas buah. Selain itu edible film dapat digunakan untuk mengurangi
kehilangan air ( Avena-Bustilos et al., 1994).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa keunggulan edible film dibandingkan dengan bahan pengemas
lain (Sothornvit and Krochta, 2000 ) yaitu:
1. Meningkatkan retensi warna, asam , gula, dan komponen flavor.
2. Mengurangi kehilangan berat
3. Mempertahankan kualitas saat pengiriman dan penyimpanan.
4. Mengurangi kerusakan akibat penyimpanan
5. Memperpanjang umur simpan
6. Mengurangi pengemas sintetik.
Salah satu fungsi utama dari edible film adalah kemampuannya dalam hal
berperan sebagai penghalang , baik gas, minyak atau lebih utama air. Kadar air
makanan merupakan hal yang penting untuk menjaga kesegaran, mengontrol
pertumbuhan mikroba, dan menyediakan mouthfeel dan tekstur yang baik. Edible
film dapat mengontrol A w (water activity) melalui pelepasan dan penerimaan air
(Sothornvit and Krochta, 2000).
2.1.2.Edible Coating
Sebuah
edible film atau coating hanya dibedakan berdasarkan cara
aplikasinya. Film dapat diaplikasikan sewaktu-waktu, seperti pada pengemas
konvensional sedang coating harus diaplikasikan dalam bentuk cair langsung pada
permukaan makanan ( Krochta,1997) . Menurut Gennadios dan Weller (1990),
tidak ada perbedaan yang jelas antara edible film dan edible coating. Biasanya
edible coating langsung digunakan dan dibentuk diatas permukaan produk
sedangkan edible film dibentuk secara terpisah (contoh: kantung tipis) baru bisa
digunakan untuk mengemas produk.
Bahan dasar pembuatan edible coating adalah bahan hidrokoloid (protein,
polisakarida), lipid (lemak) dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid).
Protein dapat diperoleh dari jagung, kedelai, keratin, kolagen, gelatin, kasein,
protein susu, albumin telur dan protein ikan. Polisakarida dapat diperoleh dari
selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa, hidroksi propil
Universitas Sumatera Utara
metil selulosa), tepung dan turunannya, pektin ekstrak gangang laut (alginat,
karagenan, agar), gum (gum arab, gum karaya),
Beberapa metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran, antara lain
metode pencelupan (dipping), pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying),
penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode pencelupan
(dipping) merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama pada
sayuran, buah, daging dan ikan, dimana produk dicelupkan ke dalam larutan yang
digunakan sebagai coating.
2.1.3.Edible film dari gelatin.
Gelatin merupakan suatu senyawa protein yang diekstraksi dari jaringan
kolagen kulit , tulang atau ligament (jaringan ikat) hewan. Gelatin banyak
digunakan dalam industri farmasi, kosmetika, fotografi, jelly, softcandy, cake,
pudding, susu yoghurt, pelapis kertas, korek api, gabus, pelapis kayu untuk
interior, karet plastik dan lain-lain.
Penggunaan gelatin didalam produk murni berfungsi sebagai penjernih sari
buah, beer dan wine. Didalam produk buah-buahan gelatin berfungsi sebagai
pelapis (melapisi) pori-pori buah sehingga terhindar kekeringan dan kerusakan
oleh mikroba, sedangkan untuk produk permen dan sejenisnya berfungsi
konsistensi produk, daya gigit dan kekerasan serta tekstur, kelembapan, daya
lengket dimulut. Dalam bidang farmasi digunakan sebagai cangkang kapsul dan di
Indonesia beredar jenis kapsul keras yang terbuat dari gelatin yang diberi pewarna
dan pelentur Dengan demikian gelatin merupakan interaksi dari jaringan kulit
hewan mempunyai banyak fungsi diantaranya sebagai bahan pengemulsi, pengikat
dan mempunyai gizi. Berdasarkan sifat bahan dasarnya pembuatan gelatin dapat
dilakukan dengan cara 2 prinsip dasar yaitu cara alkali dan cara asam.
Cara alkali atau basa dilakukan untuk memperoleh gelatin tipe B, yaitu
bahan dasarnya berasal dari kulit tua (keras,liat) maupun tulang. Mula-mula bahan
diperlakukan dengan proses perendaman ,melalui perendaman beberapa minggu
dalam larutan kalsium hidroksida, sehingga jaringan kolagen akan mengembang
Universitas Sumatera Utara
dan terpisah. Kemudian bahan dinetralkan dengan asam, selanjutnya dicuci
dengan air dilanjutkan dengan ekstraksi melalui pemanasan.
Cara pengasaman dilakukan untuk menghasilkan gelatin tipe A (asam).
Tipe A umumnya diperoleh dari kulit babi, dimana tidak memerlukan
perendaman yang lama dengan asam, karena jaringan belum kuat terikat
sehingga cukup dengan asam yang encer selama beberapa hari, dinetralkan dan
dicuci berulang-ulang, untuk menghilangkan asam dan garamnya. Proses utama
pembuatan gelatin dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap
persiapan bahan baku, yaitu penghilangan komponen non kolagen dari bahan
baku dengan atau tanpa pengurangan ikatan antara komponen kolagen. Tahap
kedua merupakan konversi kolagen menjadi gelatin. Tahap ketiga adalah
pemurnian dan perolehan gelatin dalam bentuk kering (Ward dan Courts, 1977).
Gelatin bersifat seperti kaca, padat mudah rusak/dan rapuh, berwarna
kuning sampai putih transparan dan hampir tidak ada rasanya serta hampir tidak
berbau, berbentuk serpihan atau serbuk, mudah larut dalam air panas gliserol dan
asam asetat dan tidak mudah larut dalam pelarut organik (GMIA,2006.
Budavari,1996). Kandungan protein gelatin sekitar 85 – 92%, sisanya berupa
garam mineral dan air. (Schieber and Gareis,2007).
Kandungan kimia dari gelatin terbesar adalah glisin (hampir 1 dalam 3
residu asam amino, menyusun setiap 3 residu), proline dan 4-hydroxyproline
residu (Gambar 2.1). Tipe strukturnya adalah -Ala-Gly-Pro-Arg-Gly-Glu-4HypGly-Pro- (Chaplin,2006).
Universitas Sumatera Utara
O H
O H
O
OH
C - N - CH - C - N - CH - C - N - N
CH2
O
O H
H
H H
H
Glisin
- N - CH - C - N - CH - C - N
CH3
Alanin
H
Glisin
Prolin
CH2
C - N - CH - C - N
CH2
O
NH
O
Glisin
CO
C = NH
Prolin
NH2
Gambar 2.1.
Struktur Kimia Gelatin (Chaplin,2006)
Gelatin dari sumber dan proses yang berbeda menunjukkan perbedaan
komposisi asam amino (Glicksman,1969). Sumber bahan yang berbeda
menunjukkan perbedaan komposisi asam amino gelatin tertera pada tabel 2.1
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1.Komposisi Asam amino Gelatin beberapa Jenis Hewan
Asam Amino
Anjing
Ikan
Laut
paus
Babi
Sapi
Ikan
cod
Asam aspartat
4.5
4.8
4.4
4.3
5.2
Hidroksiprolin
10.1
8.5
10.9
9.6
6.6
Treonin
2.3
2.9
1.8
1.7
2.6
Serin
3.8
4.0
3.3
3.2
6.3
Asam Glutamat
7.6
8.0
7.8
7.4
8.0
Prolin
12.0
12.6
12.7
12.4
10.8
Glisin
31.6
30.2
30.8
33.3
31.5
Alanin
10.8
10.4
11.1
11.5
10.2
Valin
2.3
2.2
2.3
2.0
1.8
Sistein
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
Metionin
0.5
0.6
0.5
0.5
1.5
Isoleusin
1.0
1.2
1.1
1.2
1.3
Leusin
2.5
2.8
2.6
2.4
2.2
Tirosin
0.4
0.5
0.2
0.1
0.5
Phenilalanin
1.4
1.5
1.5
1.3
1.3
Hidroksilisine
0.7
0.9
0.7
0.7
0.7
Omitin
0.0
0.0
0.2
0.6
0.0
Lisin
2.6
3.0
2.7
2.6
2.9
Histidin
0.6
0.6
0.4
0.5
0.9
Arginin
5.2
5.3
5.1
4.6
5.6
Sumber: Armesen dan Gildberg, 2002.
Sifat fisik dan kimia secara umum dan kandungan unsur-unsur mineral tertentu
dalam gelatin dapat digunakan untuk menilai mutu gelatin. Sifat fisik gelatin
seperti warna, bau dan rasa dapat diukur dengan menggunakan indera manusia.
Sedangkan sifat kimia seperti kadar air,kadar abu, logam berat dan kandungan
mineral diukur dengan menggunakan alat. Standar mutu gelatin menurut
SNI(1995) dan GMIA (2006) dapat dilihat pada tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2.
Standar Mutu Gelatin berdasarkan Dewan Standar Nasional
Indonesia (1995) dan Gelatin Manufacturers Institute of
America (GMIA,2006).
Karakteristik
Syarat
Warna
Tidak berwarna sampai kekuningan
Bau,rasa
Normal
Kadar air
Maksimum 16%
Kadar abu
Maksimum 3.25 %
Kekuatan Gel
50 – 300 Bloom.
Viscositas
15 – 70 mps atau 1.5 – 7 cP
pH
4.5 – 6.5
Logam berat
Maksimum 50 mg/kg.
Arsen
Maksimum 2 mg/kg
Tembaga
Maksimum 30 mg/kg
Seng
Maksimum 100 mg/kg
Sulfit
Maksimum 1000 mg/kg
Sumber: DSN (1995), GMIA (2006)
Penggunaan gelatin dalam produk pangan lebih disebabkan oleh sifat fisik
yang unik dari gelatin dibanding karena nilai gizinya sebagai sumber protein.
Dalam industri pangan gelatin digunakan sebagai pembentuk gel, penstabil,
pengemulsi, pengental, pembentuk busa, pembentuk Kristal, pelapis, perekat,
pengikat air, dan penjernih (Jones dalam Ward and Courts,1977).
Gelatin merupakan bahan hidrokoloid selain casein, protein, kedelai,
protein jagung dan gluten gandum yang dapat digunakan sebagai bahan edible
coating.Secara umum, edible coating dan edible film dari bahan protein
mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk melindungi produk terhadap
oksigen (O 2 ) serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan
kesatuan struktural produk dibandingkan edible coating dari lipid (Elvira dan
Syamsir,2008).
Universitas Sumatera Utara
Aplikasi edible coating dan edible film dari gelatin ini antara lain
melindungi produk pada ikan segar, produk daging dan susu, menunda kerusakan
karena mikrobia pada produk kering, memperbaiki sifat mekanik selama
penanganan dan penyimpanan serta mengurangi kerusakan pada makanan
misalnya cake, biskuit, pizza. Demikian juga memperbaiki penampakan pada
permen , memperbaiki warna, aroma, flavor pada makanan keju dan mencegah
perpindahan zat terlarut, pigmen dan aroma pada makanan tertentu, yaitu produk
segar dan beku (Krochta,1997).
Film gelatin yang mempunyai kandungan triplehelix yang lebih besar
kurang mengembang dalam air dan gelatin terutama digunakan sebagai geling
agent yang membentuk gel thermosible elastic dan transparan, pada temperatur
sekitar 35oC yang larut menghasilkan produk yang meleleh di rongga mulut.
Edible film dari gelatin terbentuk dari 20-30% gelatin, 10-30% plasticizer dan 4070% air dilanjutkan dengan pemanasan (Guilbert,1986).
T.Bourtoom et al. (2006) melaporkan bahwa edible film dari protein
dengan menggunakan berbagai plasticizer menunjukkan hasil yang berbeda
terhadap tensile strength (TS) maupun terhadap water vapour permeability
(WVP). Penggunaan plasticizer sorbitol menghasilkan film yang kaku dengan
TS, 3.14 MPa dan WVP yang rendah 30.41 g/mm/m2/d/kPa. Sedangkan
menggunakan plasticizer gliserin dan polyethylene glycol memberikan harga TS
yang rendah, 2.13 dan 1.80 MPa, tetapi memberikan harga WVP yang tinggi,
125.8 dan 89.52 g/mm/m2 /d/kPa.
Melly Dianti (2008), melaporkan bahwa gelatin kulit ikan patin dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Karakteristik edible film
gelatin kulit ikan patin adalah ketebalan 0.122-0.125 mm; kuat tarik 1905.663279.53 kgf/cm2; persen pemanjangan 3.95-5.62%; laju transmisi uap air 134.79198.36 g/m2/24jam, sedangkan untuk nilai laju transmisi oksigen pada masingmasing edible film belum dapat diukur.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4.Edible film gelatin dan antimikroba.
Kemasan antibakteri adalah salah satu bentuk kemasan makanan aktif.
Kemasan aktif berinteraksi dengan produk atau ruang antara kemasan dan sistem
makanan untuk memperoleh hasil yang diinginkan (Brody et al., 2001).
Selanjutnya dinyatakan bahwa, kemasan makanan antibakteri bertindak
menurunkan, menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme
yang kemungkinan ada dalam makanan yang dikemas atau bahan pengemas itu
sendiri.
Kemasan antibakteri dapat menghambat pertumbuhan bakteri pathogen
atau organisme perusak pada permukaan makanan dan dapat memperpanjang
masa simpan pada makanan yang dikemas (Lee et al., 2004). Substansi antibakteri
yang disatukan dalam material kemasan dapat mengontrol kontaminasi mikroba
dengan menghambat tingkat pertumbuhan dan pertumbuhan populasi maksimum
dan atau memperpanjang fase lag pada bakteri target atau menonaktifkan
mikroorganisme (Quintavalla and Vicini, 2002).
Edible film berbahan dasar gelatin dapat digunakan sebagai pembawa zat
aditif seperti antioksidan, antimikroba, pewarna dan flavor. Metode yang berbeda
dari aplikasi langsung seperti inkorporasi bahan antimikroba kedalam edible film
atau edible coating memberikan efek fungsional pada permukaan makanan
(Pranoto et al.,2005).
Edible film gelatin dan antimikroba adalah pengemas yang dapat
mengurangi, mencegah atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme
patogenik didalam pembungkusan makanan dan bahan pengemas (Maizura et al.,
2008). Penelitian mengenai film antimikroba sedang dikembangkan pada saat ini
untuk mengontrol aktivitas mikrobiologi pembusuk dari makanan yang tidak
tahan lama. Beberapa bahan organik maupun anorganik aktif dapat dimasukkan
dalam struktur polimer untuk mencegah mikroba pembusuk yang tidak diinginkan
selama masa penyimpanan (Del et al.,2008) . Bahan antimikroba yang digunakan
dalam aplikasi pada makanan antara lain dapat berupa minyak atsiri, asam
organik, bacteriocin, enzim, alkohol dan asam lemak (Pranoto et al,2005).
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan minyak atsiri untuk melindungi makanan-makanan melawan
mikroorganisme pathogen dan perusak telah dilaporkan oleh beberapa para
peneliti. Pembuatan edible film gelatin yang bersifat antimikroba dapat dilakukan
dengan beberapa cara , antara lain :
1. Penambahan sachetspads (kantong kecil) berisi bahan antimikroba volatil ke
dalam kemasan.
2. Inkorporasi secara langsung bahan antimikroba volatil dan yang tidak volatil
ke dalam polimer.
3. Coating atau adsorpsi antimikroba pada permukaan polimer.
4. Immobilisasi antimikroba pada polimer dengan ikatan ion atau kovalen.
5. Penggunaan polimer yang memiliki sifat sebagai antimikroba (Appendini and
Hotchkiss,2002)
2.2.Plasticizer
Plasticizer didefinisikan sebagai bahan non volatil, bertitik didih tinggi
jika ditambahkan pada material lain dan dapat merubah sifat material
tersebut.Penambahan plasticizer dapat menurunkan kekuatan intermolekuler,
meningkatkan fleksibilitas film dan menurunkan sifat barrier film. Plasticizer
ditambahkan pada pembuatan edible film untuk mengurangi kerapuhan
meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu
rendah (Anonim, 2005).
Mekanisme proses plastisasi polimer sebagai akibat penambahan
plastisizer berdasarkan Darby 1982 di dalam : Di Gioia and Guilbert, 1999,
melalui urutan sebagai berikut:
1.Pembasahan dan adsorpsi.
2.Pemecahan dan atau penetrasi pada permukaan
3.Absorpsi, difusi.
4.Pemutusan pada bagian amorf.
5.Pemotongan struktur.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible
film adalah gliserol, lebah, polivinil alkohol, sorbitol, asam laurat, asam oktanoat,
asam laktat, trietilen glikol, polietilen glikol,acetylated monoglyceride (Acetem).
2.2.1.Plasticizer Gliserol
Salah satu senyawa yang penting dari alkil trihidrat adalah gliserol
(propan-1,2,3-triol)dengan
rumus
CH 2 OHCHOHCH 2 OH.Senyawa
ini
kebanyakan ditemui hampir disemua lemak hewani dan minyak nabati sebagai
ester gliseril dari asam palmitat, stearat dan oleat (Austin, 1985). Senyawa ini
bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze) dan juga merupakan senyawa yang
higroskopis sehingga banyak digunakan
untuk mencegah kekeringan pada
tembakau, pembuatan tinta dan parfum obat-obatan, kosmetik, pada bahan
makanan dan minuman serta penggunaan lainnya(Austin,1985). Gliserol banyak
dihasilkan dari industri oleokimia di Sumatera Utara merupakan bahan baku yang
sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang bernilai ekonomis
tinggi.Gliserol dapat diperoleh dari pemecahan ester asam lemak dari minyak dan
lemak dari industri oleokimia (Bhat, 1989, Nouriddini and Zoebelein, 1992).
Pada
industri
oleokimia
gliserol
dapat
ditransfomasikan
melalui
interesterifikasi membentuk monogliserida dan digliserida (Noureddini and
Medikonduru, 1997). Gliserol kebanyakan dijumpai hampir pada semua lemak
hewan, minyak nabati dan minyak ikan lainnya. Gliserol juga dapat diubah
menjadi turunan alkilosa propanol amin untuk digunakan sebagai aditif bahan
bakar seperti senyawa hidroksilat gliseril eter (1) dan dimernya(II) (De Caro,
1997).
Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada film hidrofilik, seperti
film berbahan dasar pati, gelatin, pektin, dan karbohidrat lainnya termasuk
khitosan. Penambahan gliserol akan menghasilkan film yang lebih fleksibel dan
halus. Gliserol adalah molekul hidrofilik yang relativ kecil dan dapat dengan
mudah disisipkan di antara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen dengan
amida. Gliserol dapat meningkatkan pengikatan air pada edible film.
Universitas Sumatera Utara
Gliserol merupakan cairan yang memiliki kelarutan tinggi, yaitu 71 g/100 g air
pada suhu 25oC. Biasanya digunakan untuk mengatur kandungan air dalam
makanan dan untuk mencegah kekeringan pada makanan.
Buttler et.al. dalam Bayu,2008 telah meneliti pengaruh plasticizer gliserol
pada edible film dari khitosan. Penambahan gliserol dengan konsentrasi 0.25 ml/g
dan 0.5 ml/g mampu menghasilkan nilai rata-rata kekuatan tarik edible film
(bioplastic) khitosan sebanding dengan film sintetis dari HDPE (High Density
PolyRthylene) dan LDPE (Low Density PolyEthylene,) yaitu nilai rata-rata
minimal 8.3 Newton/mm2 atau 8.3 MPa dan nilai rata-rata maksimum 44.8 MPa.
Sedangkan nilai rata-rata persentase elongasi (pemanjangan) keduanya sebanding
dengan selofan komersil, yaitu sebesar 27% dan 46%.
2.2.2.Plasticizer Turunan Gliserol.
2.2.2.1. Gliseril Monooleat
Gliseril monooleat (monoolein) adalah bahan kimia aktif permukaan yang
secara luas digunakan sebagai surfaktan nonionik dan pengemulsi (plasticizer).
Gliseril monooleat dapat dihasilkan oleh reaksi α - monoklorohidrin gliserol
(Hasil klorinasi gliserol) dengan natrium oleat dengan katalis membentuk ester
monogliserida (Cannont,1995),seperti reaksi berikut ini :
O
+ (CH3CH2)3N + - HC l -
CH3-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C-O-Na
TEA - HCl
H
O
CH3-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C-O
N
C2H5
+
NaCl
C2H5
C2H5
Universitas Sumatera Utara
H
O
CH3-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C-O
N
O-H
C2H5
+
O-H
C2H5
Cl
C2H5
O-H
O
O-H
+ (CH3CH2)3N + - HC l -
CH3-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C-O
TEA - HCl
Gliserol Monooleat
. .
Gliseril monooleat tidak berbahaya
bagi lingkungan . Semua bahan
pembuatnya dihasilkan oleh alam. .Asam oleat diekstrak dari produk alami,
sedangkan gliserol dapat dibuat dari lemak alami atau petrokimia (Anonim, 2001).
Gliseril monooleat secara fisik berwujud cair berwarna jernih kekuningkuningan atau kuning pucat (Magrabar, 1997). Gliseril monooleat (C 21 H 40 O 4 )
memiliki berat molekul 356.54 g/mol (Anonim,2009), tidak larut dalam air,
sedikit larut dalam alkohol dingin dan larut dalam alkohol panas, kloroform, eter,
petroleum eter, serta larut dalam minyak dan bersifat sebagai pengemulsi pada
makanan (Pardi, 2005), gliseril monooleat larut baik dalam minyak (Chen and
Dickinson, 1999). Rumus struktur gliseril monooleat adalah sebagai berikut :
Gambar 2.2. Struktur Kimia Gliseril monooleat
Universitas Sumatera Utara
Indentik dengan surfaktan-surfaktan lain, sifat gliseril monooleat ini
ditentukan oleh sifat reaktan pembentuknya. Gliseril monooleat dapat membentuk
suatu mikro-emulsi di dalam air. Gliserol larut dalam air, sedangkan asam oleat
tidak larut dalam air (Burdock, 1977). Hydrophilic-Lipophilic Balance (HLB) dari
gliseril monooleat adalah 3.8 (Griffin, 1979).
Kegunaan spesifik dari gliseril monooleat ini adalah sebagai antifoam
dalam pengolahan jus dan sebagai emulsifier lipofilik untuk aplikasi air dalam
minyak.
2.3.Minyak Atsiri
Minyak atsiri atsiri juga dikenal dengan nama minyak mudah menguap
atau minyak terbang. Pengertian atau definisi minyak atsiri yang ditulis dalam
Encyclopedia of Chemical Technology menyebutkan bahwa minyak atsiri
merupakan senyawa yang pada umumnya berwujud cairan,yang diperoleh dari
bagian tanaman, akar kulit, batang, daun, buah, biji maupun dari bunga dengan
cara penyulingan dengan uap (Sastrohamidjojo, 2004). Sifat minyak atsiri yang
menonjol antara lain mudah menguap pada suhu kamar, mempunyai rasa getir,
berbau wangi sesuai dengan aroma tanaman yang menghasilkannya, dan
umumnya larut dalam pelarut organik. Banyak istilah yang digunakan untuk
menyebut minyak atsiri. Misalnya dalam dalam bahasa Inggris disebut essential
oils, ethereal oils dan volatile oils. Dalam bahasa Indonesia ada yang menyebut
minyak kabur (Lutony dan Rahmayati, 2002).
Minyak atsiri dari beberapa tanaman bersifat aktif biologis sebagai anti
bakteri dan antijamur. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa minyak atsiri
dari rimpang lengkuas (Parwata & Fanny, 2008), bawang putih
(Pranoto et
al.,2005), Oregano (Zinoviadou et al,2009) memiliki aktivitas sebagai antibakteri
dan antijamur.
2.3.1..Minyak atsiri kulit kayu manis
Kayu manis (Cinnamomum burmanii) jenis tanaman berumur panjang
penghasil kulit yang ada di Indonesia disebut kulit kayu manis. Sebelum masehi,
Universitas Sumatera Utara
kulit kayu manis digunakan sebagai sumber pewangi untuk membalsem mumi
raja-raja Mesir serta peningkat cita rasa masakan dan minuman. Kayu manis dapat
dijadikan jamu untuk penyakit disentri dan singkir angin. Minyak kayu manis
sudah ratusan tahun dikenal di belahan dunia barat dan timur sebagai penyembuh
reumatik, mencret, pilek, sakit usus, jantung, pinggang dan darah tinggi
(Rismunandar, 2001).
Kulit kayu manis berwarna abu-abu dengan aroma khas dan rasanya
manis. Selain hanya dalam bentuk kering, kulit kayu manis tersebut dapat
didestilasi atau disuling untuk diambil minyak atsirinya.
2.3.2 Kandungan Kimia Minyak Atsiri kulit Kayu Manis
Minyak Atsiri kayu manis selain mengandung Sinamaldehida juga
mengandung senyawa-senyawa lain seperti, benzaldehida, limonene, 1,8-sineol,
α-copaene,
bornil
asetat,β-caryofilen,
1,4-terpineol,δ-cardiena,
trans-
cinnamaldehida, trans-cinnamil asetat, miristisin, coumarin, asam tetradecanoat
(Lawless, 2002). Hasil penyulingan kulit c.burmanii, C.zeylanicum dan C.cassia
yang ditanam di Kebun percobaan Cimanggu Bogor menghasilkan minyak
berturut-turut 1.75; 2,0: dan 1.50%. Selain dari kulitnya, daun kayu manis juga
biasa disuling menjadi minyak daun kayu manis (Cinnamon leaf oil). Namun
demikian minyak daun C.Zeylanicum mengandung eugenol sebagai komponen
utamanya (80-90%), sedangkan kandungan utama minyak daun C.burmanii dan
C.cassia sama dengan minyak kulitnya, yaitu Sinamaldehida(Leung, 1980).
2.4. Sifat -Sifat Edible film.
Untuk mengetahui sifat-sifat fisik edible film harus dilakukan beberapa
pengujian . Masing-masing pengujian memiliki cara yang berbeda-beda. Secara
umum dapat dikatakan bahwa pembebanan secara static dan pembebanan secara
dinamik. Kuat tarik dan elongasi merupakan suatu sifat mekanis yang penting dari
film (Bourtoom,2008).
Universitas Sumatera Utara
2.4.1..Aktivitas Air (A w )
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen
disamping ikut sebagai bahan pereaksi, sedang bentuk air dapat ditemukan
sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila
terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan
cara tersebut. Kandungan air dalam bahan pangan akan berubah-ubah sesuai
dengan lingkungan, hal ini sangat erat hubungan dengan daya awet bahan pangan
tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengolahan dan
pengelolaan pasca olah bahan pangan (Purnomo,1995).
Menurut derajat keterikatan air, air terikat dapat dibagi atas empat tipe :
Tipe I, adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui sesuatu
ikatan hidrogen yang berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat dengan
molekul-molekul lain yang mengandung atom-atom O dan N seperti karbohidrat,
protein, atau garam. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses pembekuan,
tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Air tipe
ini terikat kuat dan sering kali disebut air terikat.
Tipe II, yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan molekul
air yang lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari air
murni. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan
mengakibatkan penurunan A w (water activity).
Tipe III, adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti
membram, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering kali disebut
dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi.
Tipe IV, adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni,
sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh(Winarno,1984). Pengawetan makanan
dengan menurunkan kadar air yang dikenal dengan aktivitas air (A w ) telah
dilakukan sejak beribi-ribu tahun yang lalu. Secara tradisional, makanan
dikeringkan dengan sinar matahari tetapi sekarang beberapa makanan didehidrasi
dibawah kondisi pengeringan yang terkendali dengan menggunakan aneka ragam
metoda pengeringan. Walaupun demikian pengeringan dengan sinar matahari
Universitas Sumatera Utara
tetap sebagai suatu cara pengolahan yang sangat penting dinegara-negara yang
sedang berkembang (Bucle,1985).
Aktivitas air atau “Water activity” (A w ) merupakan salah satu parameter
hidratasi yang sering diartikan sebagai air dalam bahan yang dapat digunakan
untuk pertumbuhan jasad renik. Menurut hokum Roult (Secara kimia) A w
berbanding lurus dengan jumlah molekul didalam pelarut (solvent) dan
berbanding terbalik dengan jumlah molekul didalam larutan (solution)
(Syarief,1988).
A w = n 1 /n 1 + n 2
Dimana n 1 = jumlah molekul dari zat yang dilarutkan (solute)
n 2 = Jumlah molekul pelarut, yang dimaksud disini
adalah air
Aktivitas air berkaitan dengan Equilibrium Relative Humidity (ERH),
yaitu perbandingan antara tekanan uap larutan dengan air murni dan dinyatakan
dengan persentase. Kaitan antara ERH dengan A w dirumuskan sebagai berikut :
ERH = A w x 100%
Akan tetapi ERH terbatas pada atmosfir serta dalam keseimbangan dengan
larutan atau bahan pangan sehingga kurang sesuai untuk menggambarkan
ketersedian air (air bebas). Jika larutan dipekatkan atau bahan pangan dikurangi
kadar airnya, maka akan terjadi penurunan A w . Nilai maksimum A w = 1. Nilai ini
diperoleh pada air murni. Semakin pekat larutan atau semakin berkurang kadar air
bahan pangan, nilai A w semakin rendah. Sebagian besar mikroba (terutama
bakteri) tumbuh baik pada bahan pangan yang mempunyai A w 0.9 – 0.97; khamir
membutuhkan A w 0.87- 0.91 dan kapang membutuhkan A w 0.8 – 0.91. Bakteri
halofilik adalah bakteri yang toleran terhadap kadar garam tinggi, dapat tumbuh
pada bahan pangan yang mempunyai nilai A w 0.75. Khamir osmofilik merupakan
khamir yang toleran terhadap tekanan osmotik tinggi (misalnya gula), dapat
Universitas Sumatera Utara
tumbuh pada bahan pangan yang mempunyai nilai A w 0.60. Kapang xerofilik
merupakan kapang yang mampu tumbuh pada bahan pangan yang kering (nilai
A w 0.65) (Nurwantoro dan Abbas, 1997).
Pengukuran aktivitas air terhadap suatu bahan pangan sampai saat ini
masih berdasarkan pengukuran kelembaban relativ berimbang dari bahan tersebut
terhadap lingkungannya. Oleh karena itu ekstrapolasi menjadi cara pengukuran
yang lebih penting dari pada tekniknya.
Pengukuran relativ berimbang dapat dilakukan antara lain dengan kurva
interpolasi, teknik manometrik, keseimbangan bitermal,hygrometer rambut,
keseimbangan isopiestic, hygrometer listrik, metode kimia dan penurunan titik
beku. Masing-masing metode memiliki kelemahannya sendiri. Yang terpenting
adalah bahwa metode maupun peralatan yang dipakai harus menghasilkan
pengukuran yang tepat, dapat diulang, cepat murah, mudah dibawa, mudah cara
pemakaiannya(Purnomo, 1995).
2.4.2.. Scanning Electron Microscope (SEM)
Struktur
permukaan
suatu
benda
diuji
dapat
dipelajari
dengan
menggunakan scanning elektron mikroskop karena jauh lebih mudah untuk
mempelajari struktur permukaan ini secara langsung. Dengan berkas sinar
elektron difokuskan kesuatu titik dengan diameter sekitar 100 A dan digunakan
untuk melihat permukaan dalam suatu layar. Elektron-elektron dari benda diuji
difokuskan dengan suatu elektroda elektrostatik pada suatu alat pemantul yang
dimiringkan. Sinar yang dihasilkan diteruskan melalui suatu pipa sinar pantulan
kesuatu alat pembesar foto dan sinyal yang dapat digunakan untuk
memodulasikan terangnya suatu titik osiloskop yang melalui suatu layar dengan
adanya persesuaian dengan berkas sinar elektron pada permukaan benda uji.
Sebagai pengertian awal, mikroskop elektron pancaran menggunakan
hamburan elektron- elektron (dengan E= 30 kV) yang merupakan energi dating
dan elektron-elektron sekunder (dengan E = 100 eV) yang dipantulkan dari benda
uji. Karena elektron-elektron sekunder mempunyai energi yang rendah, maka
elektron-elektron tersebut dapat dibelokkan membentuk sudut dan menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
bayangan topografi. Intensitas dari hamburan balik elektron-elektron yang
cenderung tertimbun karena dengan energinya yang lebih tinggi maka tidak
mudah dikumpulkan oleh sistem kolektor normal seperti yang digunakan pada
elektron pancaran. Jika elektron-elektron sekunder akan terkumpul, maka kisi
didepan detektor akan mengalami kemiringan sekitar 200 V (Smallman.2008).
2.4.3.Uji Tarik dan Kemuluran.
Kekuatan tarik dan kemuluran merupakan sifat mekanis yang sangat
penting dari logam terutama untuk perhitungan-perhitungan konstruksi. Untuk
memperoleh informasi tentang kekuatan tarik dilakukan pengujian tarik. Didalam
pengujian tarik, batang percobaan atau batang uji dikenai beban aksial yang
ditambah secara berangsur-angsur dan kontinu. Kekuatan tarik merupakan sifat
mekanik yang banyak ditonjolkan dan dapat dianggap sebagai kekuatan bahan
(Sumanto, 1994).
Dalam pengujiannya, bahan uji ditarik sampai putus. Secara sederhana,
kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (Fmaks.) yang
dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan dibagi dengan luas penampang
bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami
perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik dinyatakan sebagai
besarnya beban maksimum yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan,
dibagi dengan luas penampang semula (Ao).
Kekuatan tarik (kgf/mm2) = nilai beban tarik (kgf)/A(mm2)
Dimana A = Luas permukaan yang mendapat beban.
Jika didefinisikan besaran kemuluran (Є) sebagai nisbah pertambahan panjang
terhadap panjang spesimen semula adalah :
Kemuluran(€) = l-lo/lo x 100%.
Dimana lo = panjang awal
Universitas Sumatera Utara
2.4.4.Permeabilitas Uap air.
Permeabilitas suatu film kemasan adalah kemampuan melewatkan partikel
gas dan uap air pada suatu unit luas bahan pada suatu kondisi tertentu. Nilai
permeabilitas sangan dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia polimer, struktur
dasar polimer. Umumnya nilai permeabilitas film kemasan berguna untuk
memperkirakan daya simpan produk yang dikemas. Komponen kimia alamiah
berperan penting dalam permeabilitas. Polimer dengan polaritas tinggi
(polisakarida dan protein) umumnya menghasilkan nilai permeabilitas uap air
yang tinggi dan permeabilitas terhadap oksigen rendah. Hal ini disebabkan
polimer mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Sebaliknya, polimer yang
bersifat non polar (lipida) yang banyak mengandung gugus hidroksil mempunyai
nilai permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas oksigen yang tinggi, sehingga
menjadi penahan air yang baik tetapi tidak efektif menahan gas. Permeabilitas uap
air merupakan suatu bahan untuk terjadinya proses penetrasi air. Permeabilitas
uap air dari suatu film kemasan adalah laju kecepatan atau transmisi uap air
melalui suatu unit luasan bahan yang permukaanya rata dengan ketebalan tertentu,
sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada
kondisi suhu dan kelembaban tertentu (Yamada,K et al.,1995).
2.4.5. Spektroskopi Infra Merah Fourier Transform (FT-IR).
Spektroskopi infra merah (IR) suatu metoda yang digunakan untuk
mengkarakterisasi bahan polimer seperti gelatin dan analisis gugus fungsinya.
Dengan cara menentukan dan merekam hasil spektra residu dengan serapan energi
oleh molekul organik dalam daerah sinar infra merah. Panjang gelombang 1-500
nm merupakan daerah infra merah.Gugus-gugus dalam setiap molekul umumnya
mempunyai karakteristik sendiri, sehingga spektroskopi IR dapat digunakan untuk
mendeteksi gugus yang spesifik pada senyawa organik maupun polimer. Intensitas
pita serapan merupakan ukuran konsentrasi gugus yang khas yang dimiliki oleh
polimer (Creswell,2005).
Mengindentifikasi senyawa kimia maupun polimer secara infra merah ,
memerlukan persyaratan yaitu zat yang diselidiki harus homogen secara
Universitas Sumatera Utara
kimia.Tahap awal identifikasi bahan kimia maupun polimer harus diketahui
dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas
akan ditunjukkan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya.
Metoda analisa ini didasarkan terhadap interaksi antara radiasi infra merah dengan
materi interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Interaksi ini
berupa absorpsi pada frekwensi atau panjang gelombang tertentu yang
berhubungan dengan energi transisi antara berbagai keadaan energi vibrasi, rotasi
dan molekul.
2.4.6.Analisis Termal Difrensial (Diffrential Thermal Analysis,DTA)
Differential Thermal Analysis (DTA) adalah suatu teknik analisis termal
dimana perubahan material diukur sebagai fungsi temperatur. DTA digunakan
untuk mempelajari sifat thermal dan perubahan fasa akibat perubahan entalpi dari
suatu material. Selain itu, kurva DTA dapat digunakan sebagai finger print
material sehingga dapat digunakan untuk analisis kualitatif. Metode ini
mempunyai kelebihan antara lain instrument dapat digunakan pada suhu tinggi,
bentuk dan volume sampel yang fleksibel, serta dapat menentukan suhu reaksi dan
suhu transisi sampel. Prinsip analisis DTA adalah pengukuran perbedaan
temperatur yang terjadi antara material sampel dan pembanding sebagai hasil dari
reaksi dekomposisi. Sampel adalah material yang akan dianalisis, sedangkan
material referensi adalah material dengan substansi yang diketahui dan tidak aktif
secara termal. Dengan menggunakan DTA, material akan dipanaskan pada suhu
tinggi dan mengalam reaksi dekomposisi. Dekomposisi material ini diamati dalam
bentuk kurva DTA sebagai fungsi temperatur yang diplot terhadap waktu. Reaksi
dekomposisi dipengaruhi oleh efek spesi lain, rasio ukuran dan volume, serta
komposisi materi.suhu dari sampel dan pembanding pada awalnya sama sampai
terdapat kejadian yang mengakibatkan perubahan suhu seperti pelelehan,
penguraian, atau perubahan struktur kristal sehingga suhu pada sampel berbeda
dengan pembanding. Bila suhu sampel lebih tinggi daripada suhu pembanding
maka perubahan yang terjadi adalah eksotermal. Begitu pula sebaliknya, bila suhu
Universitas Sumatera Utara
sampel lebih rendah daripada suhu pembanding maka perubahan yang terjadi
disebut endotermal (West, 1984).
Umumnya, DTA digunakan pada range suhu 190 - 1600 ºC. Sampel yang
digunakan sedikit, hanya beberapa miligram. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
masalah gradien termal akibat sampel terlalu banyak yang menyebabkan
berkurangnya sensitivitas dan akurasi instrumen. Komponen utama instrumen
DTA terdiri dari :
Tempat sampel, yang terletak dalam termokopel, dan terlindung dalam lapisan
keramik atau logam. Di dalam termokopel terdapat tempat sampel dan referensi
yang dikelilingi oleh lapisan keramik atau logam sebagai material pendistribusi
suhu. Tempat sampel dapat berupa pyrex, alumunium, silika, nikel, atau platinum.
Pemlihan jenis bahan tempat sampel bergantung pada suhu reaksi yang
diinginkan. Sebagai contoh bahan alumunium sesuai untuk pemanasan sampel
dibawah 600ºC karena alumunium mempunyai titik leleh 660ºC.
Furnace dan Termokopel. Suhu operasional instrumen dapat diatur dengan
kecepatan pemanasan atau pendinginan sesuai kebutuhan. Biasanya pengaturan
kecepatan berkisar antara 1- 50 ºC/ menit.
Contoh:Pembacaan
Termogram
pada
DTA
Pembentukan MgAl 2 O 4 dan MgO dari Al-Mg alloy/quartz (>99% silika kristalin)
dapat diamati dengan teknik DTA
Gambar 2.3. Analisis Termal Difrential MgAl 2 O 4 .
Universitas Sumatera Utara
Puncak endotermis yang tajam pada 576oC menunjukkan terjadinya
transformasi fase dari a menjadi b-quartz, a-quartz memiliki struktur trigonal
dengan ikatan yang kuat antar silika tetrahedron dalam jaringan strukturnya dan
menunjukkan simetri kristalografi rendah. Pada temperatur yang lebih tinggi,
tetrahedron akan terpisah dan membentuk simetri tinggi dan struktur kristal
heksagonal (b-quartz). Transisi fase ini tampak mulai terjadi pada temperature
550oC dan akan berjalan dengan sempurna hingga temperatur 590oC seperti yang
tampak pada gambar di atas.
2.4.7.Kalorimetri Skening Difrensial (Diffrential Scanning Calorimetry,DSC)
Prinsip DSC tidak jauh berbeda dengan prinsip kalorimetri biasa, hanya
dalam hal ini digunakan sampel yang agak jauh lebih kecil (maksimum 50 mg)
dan peralatan pengintra kalor yang lebih teliti. Teknik DSC menggunakan
pemanas individual masing-masing untuk sampel dan pembanding. Suhu antara
sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan
pengindera panas Pt. Bila terjadi perubahan kapasitas kalor pada sampel selama
kenaikan suhu, pemanas sampel berusaha mengatur banyaknya kalori yang
diberikan. Perbedaan langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami
sampel dan pemanas pembanding, berbanding langsung dengan perubahan entalpi
proses yang dialami sampel. Karena itu termogram DSC merupakan plot
perubahan entalpi ( H) terhadap kenaikan suhu sedangkan proses eksotermis
dinyatakan sebagai - Δ H dan proses endotermis sebagai + Δ H (Ginting,2009).
Universitas Sumatera Utara
Download