BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Edible film dan Edible coating Pengemas yang dapat dimakan (Edible packaging) berdasarkan cara pembuatannya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film). 2.1.1.Edible film Secara umum edible film dapat didefinisikan sebagai lapis tipis yang melapisi suatu bahan pangan dan layak dimakan, digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan. Dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas makanan, memperpanjang masa simpan, meningkatkan efisiensi ekonomis, menghambat perpindahan uap air (Robertson,1992). Edible film dapat dibedakan dalam tiga kategori berdasarkan bahan baku yang digunakan yaitu hidrokoloid, lemak dan campuran keduanya. Golongan hidrokoloid dapat dibuat dari polisakarida (selulosa, modifikasi selulosa, pati, agar, alginat, pektin, dekstrin), protein (kolagen, gelatin, putih telur), termasuk golongan lipid. Edible film campuran terdiri dari campuran lipid dan hidrokoloid serta mampu menutupi kelemahan masing-masing ( Guilbert,1986). Edible film merupakan lapisan tipis dari materi yang dapat dimakan yang diletakkan diatas permukaan produk makanan untuk sebagai penghalang bagi uap air, oksigen dan perpindahan padatan dari makanan tersebut. Aplikasi dapat dilakukan langsung pada permukaan makanan dengan cara pencelupan, penyemprotan atau brushing. Sebuah pelapisan yang ideal didefinisikan sebagai salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan buah segar tanpa menyebabkan keadaan anaerobik dan mengurangi kerusakan tanpa mengurangi kualitas buah. Selain itu edible film dapat digunakan untuk mengurangi kehilangan air ( Avena-Bustilos et al., 1994). Universitas Sumatera Utara Beberapa keunggulan edible film dibandingkan dengan bahan pengemas lain (Sothornvit and Krochta, 2000 ) yaitu: 1. Meningkatkan retensi warna, asam , gula, dan komponen flavor. 2. Mengurangi kehilangan berat 3. Mempertahankan kualitas saat pengiriman dan penyimpanan. 4. Mengurangi kerusakan akibat penyimpanan 5. Memperpanjang umur simpan 6. Mengurangi pengemas sintetik. Salah satu fungsi utama dari edible film adalah kemampuannya dalam hal berperan sebagai penghalang , baik gas, minyak atau lebih utama air. Kadar air makanan merupakan hal yang penting untuk menjaga kesegaran, mengontrol pertumbuhan mikroba, dan menyediakan mouthfeel dan tekstur yang baik. Edible film dapat mengontrol A w (water activity) melalui pelepasan dan penerimaan air (Sothornvit and Krochta, 2000). 2.1.2.Edible Coating Sebuah edible film atau coating hanya dibedakan berdasarkan cara aplikasinya. Film dapat diaplikasikan sewaktu-waktu, seperti pada pengemas konvensional sedang coating harus diaplikasikan dalam bentuk cair langsung pada permukaan makanan ( Krochta,1997) . Menurut Gennadios dan Weller (1990), tidak ada perbedaan yang jelas antara edible film dan edible coating. Biasanya edible coating langsung digunakan dan dibentuk diatas permukaan produk sedangkan edible film dibentuk secara terpisah (contoh: kantung tipis) baru bisa digunakan untuk mengemas produk. Bahan dasar pembuatan edible coating adalah bahan hidrokoloid (protein, polisakarida), lipid (lemak) dan komposit (campuran hidrokoloid dan lipid). Protein dapat diperoleh dari jagung, kedelai, keratin, kolagen, gelatin, kasein, protein susu, albumin telur dan protein ikan. Polisakarida dapat diperoleh dari selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa, hidroksi propil Universitas Sumatera Utara metil selulosa), tepung dan turunannya, pektin ekstrak gangang laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum arab, gum karaya), Beberapa metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran, antara lain metode pencelupan (dipping), pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode pencelupan (dipping) merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama pada sayuran, buah, daging dan ikan, dimana produk dicelupkan ke dalam larutan yang digunakan sebagai coating. 2.1.3.Edible film dari gelatin. Gelatin merupakan suatu senyawa protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen kulit , tulang atau ligament (jaringan ikat) hewan. Gelatin banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetika, fotografi, jelly, softcandy, cake, pudding, susu yoghurt, pelapis kertas, korek api, gabus, pelapis kayu untuk interior, karet plastik dan lain-lain. Penggunaan gelatin didalam produk murni berfungsi sebagai penjernih sari buah, beer dan wine. Didalam produk buah-buahan gelatin berfungsi sebagai pelapis (melapisi) pori-pori buah sehingga terhindar kekeringan dan kerusakan oleh mikroba, sedangkan untuk produk permen dan sejenisnya berfungsi konsistensi produk, daya gigit dan kekerasan serta tekstur, kelembapan, daya lengket dimulut. Dalam bidang farmasi digunakan sebagai cangkang kapsul dan di Indonesia beredar jenis kapsul keras yang terbuat dari gelatin yang diberi pewarna dan pelentur Dengan demikian gelatin merupakan interaksi dari jaringan kulit hewan mempunyai banyak fungsi diantaranya sebagai bahan pengemulsi, pengikat dan mempunyai gizi. Berdasarkan sifat bahan dasarnya pembuatan gelatin dapat dilakukan dengan cara 2 prinsip dasar yaitu cara alkali dan cara asam. Cara alkali atau basa dilakukan untuk memperoleh gelatin tipe B, yaitu bahan dasarnya berasal dari kulit tua (keras,liat) maupun tulang. Mula-mula bahan diperlakukan dengan proses perendaman ,melalui perendaman beberapa minggu dalam larutan kalsium hidroksida, sehingga jaringan kolagen akan mengembang Universitas Sumatera Utara dan terpisah. Kemudian bahan dinetralkan dengan asam, selanjutnya dicuci dengan air dilanjutkan dengan ekstraksi melalui pemanasan. Cara pengasaman dilakukan untuk menghasilkan gelatin tipe A (asam). Tipe A umumnya diperoleh dari kulit babi, dimana tidak memerlukan perendaman yang lama dengan asam, karena jaringan belum kuat terikat sehingga cukup dengan asam yang encer selama beberapa hari, dinetralkan dan dicuci berulang-ulang, untuk menghilangkan asam dan garamnya. Proses utama pembuatan gelatin dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap persiapan bahan baku, yaitu penghilangan komponen non kolagen dari bahan baku dengan atau tanpa pengurangan ikatan antara komponen kolagen. Tahap kedua merupakan konversi kolagen menjadi gelatin. Tahap ketiga adalah pemurnian dan perolehan gelatin dalam bentuk kering (Ward dan Courts, 1977). Gelatin bersifat seperti kaca, padat mudah rusak/dan rapuh, berwarna kuning sampai putih transparan dan hampir tidak ada rasanya serta hampir tidak berbau, berbentuk serpihan atau serbuk, mudah larut dalam air panas gliserol dan asam asetat dan tidak mudah larut dalam pelarut organik (GMIA,2006. Budavari,1996). Kandungan protein gelatin sekitar 85 – 92%, sisanya berupa garam mineral dan air. (Schieber and Gareis,2007). Kandungan kimia dari gelatin terbesar adalah glisin (hampir 1 dalam 3 residu asam amino, menyusun setiap 3 residu), proline dan 4-hydroxyproline residu (Gambar 2.1). Tipe strukturnya adalah -Ala-Gly-Pro-Arg-Gly-Glu-4HypGly-Pro- (Chaplin,2006). Universitas Sumatera Utara O H O H O OH C - N - CH - C - N - CH - C - N - N CH2 O O H H H H H Glisin - N - CH - C - N - CH - C - N CH3 Alanin H Glisin Prolin CH2 C - N - CH - C - N CH2 O NH O Glisin CO C = NH Prolin NH2 Gambar 2.1. Struktur Kimia Gelatin (Chaplin,2006) Gelatin dari sumber dan proses yang berbeda menunjukkan perbedaan komposisi asam amino (Glicksman,1969). Sumber bahan yang berbeda menunjukkan perbedaan komposisi asam amino gelatin tertera pada tabel 2.1 Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1.Komposisi Asam amino Gelatin beberapa Jenis Hewan Asam Amino Anjing Ikan Laut paus Babi Sapi Ikan cod Asam aspartat 4.5 4.8 4.4 4.3 5.2 Hidroksiprolin 10.1 8.5 10.9 9.6 6.6 Treonin 2.3 2.9 1.8 1.7 2.6 Serin 3.8 4.0 3.3 3.2 6.3 Asam Glutamat 7.6 8.0 7.8 7.4 8.0 Prolin 12.0 12.6 12.7 12.4 10.8 Glisin 31.6 30.2 30.8 33.3 31.5 Alanin 10.8 10.4 11.1 11.5 10.2 Valin 2.3 2.2 2.3 2.0 1.8 Sistein 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Metionin 0.5 0.6 0.5 0.5 1.5 Isoleusin 1.0 1.2 1.1 1.2 1.3 Leusin 2.5 2.8 2.6 2.4 2.2 Tirosin 0.4 0.5 0.2 0.1 0.5 Phenilalanin 1.4 1.5 1.5 1.3 1.3 Hidroksilisine 0.7 0.9 0.7 0.7 0.7 Omitin 0.0 0.0 0.2 0.6 0.0 Lisin 2.6 3.0 2.7 2.6 2.9 Histidin 0.6 0.6 0.4 0.5 0.9 Arginin 5.2 5.3 5.1 4.6 5.6 Sumber: Armesen dan Gildberg, 2002. Sifat fisik dan kimia secara umum dan kandungan unsur-unsur mineral tertentu dalam gelatin dapat digunakan untuk menilai mutu gelatin. Sifat fisik gelatin seperti warna, bau dan rasa dapat diukur dengan menggunakan indera manusia. Sedangkan sifat kimia seperti kadar air,kadar abu, logam berat dan kandungan mineral diukur dengan menggunakan alat. Standar mutu gelatin menurut SNI(1995) dan GMIA (2006) dapat dilihat pada tabel 2.2. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2. Standar Mutu Gelatin berdasarkan Dewan Standar Nasional Indonesia (1995) dan Gelatin Manufacturers Institute of America (GMIA,2006). Karakteristik Syarat Warna Tidak berwarna sampai kekuningan Bau,rasa Normal Kadar air Maksimum 16% Kadar abu Maksimum 3.25 % Kekuatan Gel 50 – 300 Bloom. Viscositas 15 – 70 mps atau 1.5 – 7 cP pH 4.5 – 6.5 Logam berat Maksimum 50 mg/kg. Arsen Maksimum 2 mg/kg Tembaga Maksimum 30 mg/kg Seng Maksimum 100 mg/kg Sulfit Maksimum 1000 mg/kg Sumber: DSN (1995), GMIA (2006) Penggunaan gelatin dalam produk pangan lebih disebabkan oleh sifat fisik yang unik dari gelatin dibanding karena nilai gizinya sebagai sumber protein. Dalam industri pangan gelatin digunakan sebagai pembentuk gel, penstabil, pengemulsi, pengental, pembentuk busa, pembentuk Kristal, pelapis, perekat, pengikat air, dan penjernih (Jones dalam Ward and Courts,1977). Gelatin merupakan bahan hidrokoloid selain casein, protein, kedelai, protein jagung dan gluten gandum yang dapat digunakan sebagai bahan edible coating.Secara umum, edible coating dan edible film dari bahan protein mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk melindungi produk terhadap oksigen (O 2 ) serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk dibandingkan edible coating dari lipid (Elvira dan Syamsir,2008). Universitas Sumatera Utara Aplikasi edible coating dan edible film dari gelatin ini antara lain melindungi produk pada ikan segar, produk daging dan susu, menunda kerusakan karena mikrobia pada produk kering, memperbaiki sifat mekanik selama penanganan dan penyimpanan serta mengurangi kerusakan pada makanan misalnya cake, biskuit, pizza. Demikian juga memperbaiki penampakan pada permen , memperbaiki warna, aroma, flavor pada makanan keju dan mencegah perpindahan zat terlarut, pigmen dan aroma pada makanan tertentu, yaitu produk segar dan beku (Krochta,1997). Film gelatin yang mempunyai kandungan triplehelix yang lebih besar kurang mengembang dalam air dan gelatin terutama digunakan sebagai geling agent yang membentuk gel thermosible elastic dan transparan, pada temperatur sekitar 35oC yang larut menghasilkan produk yang meleleh di rongga mulut. Edible film dari gelatin terbentuk dari 20-30% gelatin, 10-30% plasticizer dan 4070% air dilanjutkan dengan pemanasan (Guilbert,1986). T.Bourtoom et al. (2006) melaporkan bahwa edible film dari protein dengan menggunakan berbagai plasticizer menunjukkan hasil yang berbeda terhadap tensile strength (TS) maupun terhadap water vapour permeability (WVP). Penggunaan plasticizer sorbitol menghasilkan film yang kaku dengan TS, 3.14 MPa dan WVP yang rendah 30.41 g/mm/m2/d/kPa. Sedangkan menggunakan plasticizer gliserin dan polyethylene glycol memberikan harga TS yang rendah, 2.13 dan 1.80 MPa, tetapi memberikan harga WVP yang tinggi, 125.8 dan 89.52 g/mm/m2 /d/kPa. Melly Dianti (2008), melaporkan bahwa gelatin kulit ikan patin dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Karakteristik edible film gelatin kulit ikan patin adalah ketebalan 0.122-0.125 mm; kuat tarik 1905.663279.53 kgf/cm2; persen pemanjangan 3.95-5.62%; laju transmisi uap air 134.79198.36 g/m2/24jam, sedangkan untuk nilai laju transmisi oksigen pada masingmasing edible film belum dapat diukur. Universitas Sumatera Utara 2.1.4.Edible film gelatin dan antimikroba. Kemasan antibakteri adalah salah satu bentuk kemasan makanan aktif. Kemasan aktif berinteraksi dengan produk atau ruang antara kemasan dan sistem makanan untuk memperoleh hasil yang diinginkan (Brody et al., 2001). Selanjutnya dinyatakan bahwa, kemasan makanan antibakteri bertindak menurunkan, menghambat atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme yang kemungkinan ada dalam makanan yang dikemas atau bahan pengemas itu sendiri. Kemasan antibakteri dapat menghambat pertumbuhan bakteri pathogen atau organisme perusak pada permukaan makanan dan dapat memperpanjang masa simpan pada makanan yang dikemas (Lee et al., 2004). Substansi antibakteri yang disatukan dalam material kemasan dapat mengontrol kontaminasi mikroba dengan menghambat tingkat pertumbuhan dan pertumbuhan populasi maksimum dan atau memperpanjang fase lag pada bakteri target atau menonaktifkan mikroorganisme (Quintavalla and Vicini, 2002). Edible film berbahan dasar gelatin dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif seperti antioksidan, antimikroba, pewarna dan flavor. Metode yang berbeda dari aplikasi langsung seperti inkorporasi bahan antimikroba kedalam edible film atau edible coating memberikan efek fungsional pada permukaan makanan (Pranoto et al.,2005). Edible film gelatin dan antimikroba adalah pengemas yang dapat mengurangi, mencegah atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogenik didalam pembungkusan makanan dan bahan pengemas (Maizura et al., 2008). Penelitian mengenai film antimikroba sedang dikembangkan pada saat ini untuk mengontrol aktivitas mikrobiologi pembusuk dari makanan yang tidak tahan lama. Beberapa bahan organik maupun anorganik aktif dapat dimasukkan dalam struktur polimer untuk mencegah mikroba pembusuk yang tidak diinginkan selama masa penyimpanan (Del et al.,2008) . Bahan antimikroba yang digunakan dalam aplikasi pada makanan antara lain dapat berupa minyak atsiri, asam organik, bacteriocin, enzim, alkohol dan asam lemak (Pranoto et al,2005). Universitas Sumatera Utara Kemampuan minyak atsiri untuk melindungi makanan-makanan melawan mikroorganisme pathogen dan perusak telah dilaporkan oleh beberapa para peneliti. Pembuatan edible film gelatin yang bersifat antimikroba dapat dilakukan dengan beberapa cara , antara lain : 1. Penambahan sachetspads (kantong kecil) berisi bahan antimikroba volatil ke dalam kemasan. 2. Inkorporasi secara langsung bahan antimikroba volatil dan yang tidak volatil ke dalam polimer. 3. Coating atau adsorpsi antimikroba pada permukaan polimer. 4. Immobilisasi antimikroba pada polimer dengan ikatan ion atau kovalen. 5. Penggunaan polimer yang memiliki sifat sebagai antimikroba (Appendini and Hotchkiss,2002) 2.2.Plasticizer Plasticizer didefinisikan sebagai bahan non volatil, bertitik didih tinggi jika ditambahkan pada material lain dan dapat merubah sifat material tersebut.Penambahan plasticizer dapat menurunkan kekuatan intermolekuler, meningkatkan fleksibilitas film dan menurunkan sifat barrier film. Plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible film untuk mengurangi kerapuhan meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah (Anonim, 2005). Mekanisme proses plastisasi polimer sebagai akibat penambahan plastisizer berdasarkan Darby 1982 di dalam : Di Gioia and Guilbert, 1999, melalui urutan sebagai berikut: 1.Pembasahan dan adsorpsi. 2.Pemecahan dan atau penetrasi pada permukaan 3.Absorpsi, difusi. 4.Pemutusan pada bagian amorf. 5.Pemotongan struktur. Universitas Sumatera Utara Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible film adalah gliserol, lebah, polivinil alkohol, sorbitol, asam laurat, asam oktanoat, asam laktat, trietilen glikol, polietilen glikol,acetylated monoglyceride (Acetem). 2.2.1.Plasticizer Gliserol Salah satu senyawa yang penting dari alkil trihidrat adalah gliserol (propan-1,2,3-triol)dengan rumus CH 2 OHCHOHCH 2 OH.Senyawa ini kebanyakan ditemui hampir disemua lemak hewani dan minyak nabati sebagai ester gliseril dari asam palmitat, stearat dan oleat (Austin, 1985). Senyawa ini bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze) dan juga merupakan senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan tinta dan parfum obat-obatan, kosmetik, pada bahan makanan dan minuman serta penggunaan lainnya(Austin,1985). Gliserol banyak dihasilkan dari industri oleokimia di Sumatera Utara merupakan bahan baku yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi.Gliserol dapat diperoleh dari pemecahan ester asam lemak dari minyak dan lemak dari industri oleokimia (Bhat, 1989, Nouriddini and Zoebelein, 1992). Pada industri oleokimia gliserol dapat ditransfomasikan melalui interesterifikasi membentuk monogliserida dan digliserida (Noureddini and Medikonduru, 1997). Gliserol kebanyakan dijumpai hampir pada semua lemak hewan, minyak nabati dan minyak ikan lainnya. Gliserol juga dapat diubah menjadi turunan alkilosa propanol amin untuk digunakan sebagai aditif bahan bakar seperti senyawa hidroksilat gliseril eter (1) dan dimernya(II) (De Caro, 1997). Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada film hidrofilik, seperti film berbahan dasar pati, gelatin, pektin, dan karbohidrat lainnya termasuk khitosan. Penambahan gliserol akan menghasilkan film yang lebih fleksibel dan halus. Gliserol adalah molekul hidrofilik yang relativ kecil dan dapat dengan mudah disisipkan di antara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen dengan amida. Gliserol dapat meningkatkan pengikatan air pada edible film. Universitas Sumatera Utara Gliserol merupakan cairan yang memiliki kelarutan tinggi, yaitu 71 g/100 g air pada suhu 25oC. Biasanya digunakan untuk mengatur kandungan air dalam makanan dan untuk mencegah kekeringan pada makanan. Buttler et.al. dalam Bayu,2008 telah meneliti pengaruh plasticizer gliserol pada edible film dari khitosan. Penambahan gliserol dengan konsentrasi 0.25 ml/g dan 0.5 ml/g mampu menghasilkan nilai rata-rata kekuatan tarik edible film (bioplastic) khitosan sebanding dengan film sintetis dari HDPE (High Density PolyRthylene) dan LDPE (Low Density PolyEthylene,) yaitu nilai rata-rata minimal 8.3 Newton/mm2 atau 8.3 MPa dan nilai rata-rata maksimum 44.8 MPa. Sedangkan nilai rata-rata persentase elongasi (pemanjangan) keduanya sebanding dengan selofan komersil, yaitu sebesar 27% dan 46%. 2.2.2.Plasticizer Turunan Gliserol. 2.2.2.1. Gliseril Monooleat Gliseril monooleat (monoolein) adalah bahan kimia aktif permukaan yang secara luas digunakan sebagai surfaktan nonionik dan pengemulsi (plasticizer). Gliseril monooleat dapat dihasilkan oleh reaksi α - monoklorohidrin gliserol (Hasil klorinasi gliserol) dengan natrium oleat dengan katalis membentuk ester monogliserida (Cannont,1995),seperti reaksi berikut ini : O + (CH3CH2)3N + - HC l - CH3-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C-O-Na TEA - HCl H O CH3-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C-O N C2H5 + NaCl C2H5 C2H5 Universitas Sumatera Utara H O CH3-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C-O N O-H C2H5 + O-H C2H5 Cl C2H5 O-H O O-H + (CH3CH2)3N + - HC l - CH3-(CH2)7-CH=CH-(CH2)7-C-O TEA - HCl Gliserol Monooleat . . Gliseril monooleat tidak berbahaya bagi lingkungan . Semua bahan pembuatnya dihasilkan oleh alam. .Asam oleat diekstrak dari produk alami, sedangkan gliserol dapat dibuat dari lemak alami atau petrokimia (Anonim, 2001). Gliseril monooleat secara fisik berwujud cair berwarna jernih kekuningkuningan atau kuning pucat (Magrabar, 1997). Gliseril monooleat (C 21 H 40 O 4 ) memiliki berat molekul 356.54 g/mol (Anonim,2009), tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dingin dan larut dalam alkohol panas, kloroform, eter, petroleum eter, serta larut dalam minyak dan bersifat sebagai pengemulsi pada makanan (Pardi, 2005), gliseril monooleat larut baik dalam minyak (Chen and Dickinson, 1999). Rumus struktur gliseril monooleat adalah sebagai berikut : Gambar 2.2. Struktur Kimia Gliseril monooleat Universitas Sumatera Utara Indentik dengan surfaktan-surfaktan lain, sifat gliseril monooleat ini ditentukan oleh sifat reaktan pembentuknya. Gliseril monooleat dapat membentuk suatu mikro-emulsi di dalam air. Gliserol larut dalam air, sedangkan asam oleat tidak larut dalam air (Burdock, 1977). Hydrophilic-Lipophilic Balance (HLB) dari gliseril monooleat adalah 3.8 (Griffin, 1979). Kegunaan spesifik dari gliseril monooleat ini adalah sebagai antifoam dalam pengolahan jus dan sebagai emulsifier lipofilik untuk aplikasi air dalam minyak. 2.3.Minyak Atsiri Minyak atsiri atsiri juga dikenal dengan nama minyak mudah menguap atau minyak terbang. Pengertian atau definisi minyak atsiri yang ditulis dalam Encyclopedia of Chemical Technology menyebutkan bahwa minyak atsiri merupakan senyawa yang pada umumnya berwujud cairan,yang diperoleh dari bagian tanaman, akar kulit, batang, daun, buah, biji maupun dari bunga dengan cara penyulingan dengan uap (Sastrohamidjojo, 2004). Sifat minyak atsiri yang menonjol antara lain mudah menguap pada suhu kamar, mempunyai rasa getir, berbau wangi sesuai dengan aroma tanaman yang menghasilkannya, dan umumnya larut dalam pelarut organik. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut minyak atsiri. Misalnya dalam dalam bahasa Inggris disebut essential oils, ethereal oils dan volatile oils. Dalam bahasa Indonesia ada yang menyebut minyak kabur (Lutony dan Rahmayati, 2002). Minyak atsiri dari beberapa tanaman bersifat aktif biologis sebagai anti bakteri dan antijamur. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa minyak atsiri dari rimpang lengkuas (Parwata & Fanny, 2008), bawang putih (Pranoto et al.,2005), Oregano (Zinoviadou et al,2009) memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antijamur. 2.3.1..Minyak atsiri kulit kayu manis Kayu manis (Cinnamomum burmanii) jenis tanaman berumur panjang penghasil kulit yang ada di Indonesia disebut kulit kayu manis. Sebelum masehi, Universitas Sumatera Utara kulit kayu manis digunakan sebagai sumber pewangi untuk membalsem mumi raja-raja Mesir serta peningkat cita rasa masakan dan minuman. Kayu manis dapat dijadikan jamu untuk penyakit disentri dan singkir angin. Minyak kayu manis sudah ratusan tahun dikenal di belahan dunia barat dan timur sebagai penyembuh reumatik, mencret, pilek, sakit usus, jantung, pinggang dan darah tinggi (Rismunandar, 2001). Kulit kayu manis berwarna abu-abu dengan aroma khas dan rasanya manis. Selain hanya dalam bentuk kering, kulit kayu manis tersebut dapat didestilasi atau disuling untuk diambil minyak atsirinya. 2.3.2 Kandungan Kimia Minyak Atsiri kulit Kayu Manis Minyak Atsiri kayu manis selain mengandung Sinamaldehida juga mengandung senyawa-senyawa lain seperti, benzaldehida, limonene, 1,8-sineol, α-copaene, bornil asetat,β-caryofilen, 1,4-terpineol,δ-cardiena, trans- cinnamaldehida, trans-cinnamil asetat, miristisin, coumarin, asam tetradecanoat (Lawless, 2002). Hasil penyulingan kulit c.burmanii, C.zeylanicum dan C.cassia yang ditanam di Kebun percobaan Cimanggu Bogor menghasilkan minyak berturut-turut 1.75; 2,0: dan 1.50%. Selain dari kulitnya, daun kayu manis juga biasa disuling menjadi minyak daun kayu manis (Cinnamon leaf oil). Namun demikian minyak daun C.Zeylanicum mengandung eugenol sebagai komponen utamanya (80-90%), sedangkan kandungan utama minyak daun C.burmanii dan C.cassia sama dengan minyak kulitnya, yaitu Sinamaldehida(Leung, 1980). 2.4. Sifat -Sifat Edible film. Untuk mengetahui sifat-sifat fisik edible film harus dilakukan beberapa pengujian . Masing-masing pengujian memiliki cara yang berbeda-beda. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembebanan secara static dan pembebanan secara dinamik. Kuat tarik dan elongasi merupakan suatu sifat mekanis yang penting dari film (Bourtoom,2008). Universitas Sumatera Utara 2.4.1..Aktivitas Air (A w ) Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen disamping ikut sebagai bahan pereaksi, sedang bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Kandungan air dalam bahan pangan akan berubah-ubah sesuai dengan lingkungan, hal ini sangat erat hubungan dengan daya awet bahan pangan tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengolahan dan pengelolaan pasca olah bahan pangan (Purnomo,1995). Menurut derajat keterikatan air, air terikat dapat dibagi atas empat tipe : Tipe I, adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui sesuatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom-atom O dan N seperti karbohidrat, protein, atau garam. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses pembekuan, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Air tipe ini terikat kuat dan sering kali disebut air terikat. Tipe II, yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air yang lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari air murni. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan A w (water activity). Tipe III, adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membram, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering kali disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Tipe IV, adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni, sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh(Winarno,1984). Pengawetan makanan dengan menurunkan kadar air yang dikenal dengan aktivitas air (A w ) telah dilakukan sejak beribi-ribu tahun yang lalu. Secara tradisional, makanan dikeringkan dengan sinar matahari tetapi sekarang beberapa makanan didehidrasi dibawah kondisi pengeringan yang terkendali dengan menggunakan aneka ragam metoda pengeringan. Walaupun demikian pengeringan dengan sinar matahari Universitas Sumatera Utara tetap sebagai suatu cara pengolahan yang sangat penting dinegara-negara yang sedang berkembang (Bucle,1985). Aktivitas air atau “Water activity” (A w ) merupakan salah satu parameter hidratasi yang sering diartikan sebagai air dalam bahan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan jasad renik. Menurut hokum Roult (Secara kimia) A w berbanding lurus dengan jumlah molekul didalam pelarut (solvent) dan berbanding terbalik dengan jumlah molekul didalam larutan (solution) (Syarief,1988). A w = n 1 /n 1 + n 2 Dimana n 1 = jumlah molekul dari zat yang dilarutkan (solute) n 2 = Jumlah molekul pelarut, yang dimaksud disini adalah air Aktivitas air berkaitan dengan Equilibrium Relative Humidity (ERH), yaitu perbandingan antara tekanan uap larutan dengan air murni dan dinyatakan dengan persentase. Kaitan antara ERH dengan A w dirumuskan sebagai berikut : ERH = A w x 100% Akan tetapi ERH terbatas pada atmosfir serta dalam keseimbangan dengan larutan atau bahan pangan sehingga kurang sesuai untuk menggambarkan ketersedian air (air bebas). Jika larutan dipekatkan atau bahan pangan dikurangi kadar airnya, maka akan terjadi penurunan A w . Nilai maksimum A w = 1. Nilai ini diperoleh pada air murni. Semakin pekat larutan atau semakin berkurang kadar air bahan pangan, nilai A w semakin rendah. Sebagian besar mikroba (terutama bakteri) tumbuh baik pada bahan pangan yang mempunyai A w 0.9 – 0.97; khamir membutuhkan A w 0.87- 0.91 dan kapang membutuhkan A w 0.8 – 0.91. Bakteri halofilik adalah bakteri yang toleran terhadap kadar garam tinggi, dapat tumbuh pada bahan pangan yang mempunyai nilai A w 0.75. Khamir osmofilik merupakan khamir yang toleran terhadap tekanan osmotik tinggi (misalnya gula), dapat Universitas Sumatera Utara tumbuh pada bahan pangan yang mempunyai nilai A w 0.60. Kapang xerofilik merupakan kapang yang mampu tumbuh pada bahan pangan yang kering (nilai A w 0.65) (Nurwantoro dan Abbas, 1997). Pengukuran aktivitas air terhadap suatu bahan pangan sampai saat ini masih berdasarkan pengukuran kelembaban relativ berimbang dari bahan tersebut terhadap lingkungannya. Oleh karena itu ekstrapolasi menjadi cara pengukuran yang lebih penting dari pada tekniknya. Pengukuran relativ berimbang dapat dilakukan antara lain dengan kurva interpolasi, teknik manometrik, keseimbangan bitermal,hygrometer rambut, keseimbangan isopiestic, hygrometer listrik, metode kimia dan penurunan titik beku. Masing-masing metode memiliki kelemahannya sendiri. Yang terpenting adalah bahwa metode maupun peralatan yang dipakai harus menghasilkan pengukuran yang tepat, dapat diulang, cepat murah, mudah dibawa, mudah cara pemakaiannya(Purnomo, 1995). 2.4.2.. Scanning Electron Microscope (SEM) Struktur permukaan suatu benda diuji dapat dipelajari dengan menggunakan scanning elektron mikroskop karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan ini secara langsung. Dengan berkas sinar elektron difokuskan kesuatu titik dengan diameter sekitar 100 A dan digunakan untuk melihat permukaan dalam suatu layar. Elektron-elektron dari benda diuji difokuskan dengan suatu elektroda elektrostatik pada suatu alat pemantul yang dimiringkan. Sinar yang dihasilkan diteruskan melalui suatu pipa sinar pantulan kesuatu alat pembesar foto dan sinyal yang dapat digunakan untuk memodulasikan terangnya suatu titik osiloskop yang melalui suatu layar dengan adanya persesuaian dengan berkas sinar elektron pada permukaan benda uji. Sebagai pengertian awal, mikroskop elektron pancaran menggunakan hamburan elektron- elektron (dengan E= 30 kV) yang merupakan energi dating dan elektron-elektron sekunder (dengan E = 100 eV) yang dipantulkan dari benda uji. Karena elektron-elektron sekunder mempunyai energi yang rendah, maka elektron-elektron tersebut dapat dibelokkan membentuk sudut dan menimbulkan Universitas Sumatera Utara bayangan topografi. Intensitas dari hamburan balik elektron-elektron yang cenderung tertimbun karena dengan energinya yang lebih tinggi maka tidak mudah dikumpulkan oleh sistem kolektor normal seperti yang digunakan pada elektron pancaran. Jika elektron-elektron sekunder akan terkumpul, maka kisi didepan detektor akan mengalami kemiringan sekitar 200 V (Smallman.2008). 2.4.3.Uji Tarik dan Kemuluran. Kekuatan tarik dan kemuluran merupakan sifat mekanis yang sangat penting dari logam terutama untuk perhitungan-perhitungan konstruksi. Untuk memperoleh informasi tentang kekuatan tarik dilakukan pengujian tarik. Didalam pengujian tarik, batang percobaan atau batang uji dikenai beban aksial yang ditambah secara berangsur-angsur dan kontinu. Kekuatan tarik merupakan sifat mekanik yang banyak ditonjolkan dan dapat dianggap sebagai kekuatan bahan (Sumanto, 1994). Dalam pengujiannya, bahan uji ditarik sampai putus. Secara sederhana, kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (Fmaks.) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik dinyatakan sebagai besarnya beban maksimum yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang semula (Ao). Kekuatan tarik (kgf/mm2) = nilai beban tarik (kgf)/A(mm2) Dimana A = Luas permukaan yang mendapat beban. Jika didefinisikan besaran kemuluran (Є) sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap panjang spesimen semula adalah : Kemuluran(€) = l-lo/lo x 100%. Dimana lo = panjang awal Universitas Sumatera Utara 2.4.4.Permeabilitas Uap air. Permeabilitas suatu film kemasan adalah kemampuan melewatkan partikel gas dan uap air pada suatu unit luas bahan pada suatu kondisi tertentu. Nilai permeabilitas sangan dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia polimer, struktur dasar polimer. Umumnya nilai permeabilitas film kemasan berguna untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas. Komponen kimia alamiah berperan penting dalam permeabilitas. Polimer dengan polaritas tinggi (polisakarida dan protein) umumnya menghasilkan nilai permeabilitas uap air yang tinggi dan permeabilitas terhadap oksigen rendah. Hal ini disebabkan polimer mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Sebaliknya, polimer yang bersifat non polar (lipida) yang banyak mengandung gugus hidroksil mempunyai nilai permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas oksigen yang tinggi, sehingga menjadi penahan air yang baik tetapi tidak efektif menahan gas. Permeabilitas uap air merupakan suatu bahan untuk terjadinya proses penetrasi air. Permeabilitas uap air dari suatu film kemasan adalah laju kecepatan atau transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaanya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu (Yamada,K et al.,1995). 2.4.5. Spektroskopi Infra Merah Fourier Transform (FT-IR). Spektroskopi infra merah (IR) suatu metoda yang digunakan untuk mengkarakterisasi bahan polimer seperti gelatin dan analisis gugus fungsinya. Dengan cara menentukan dan merekam hasil spektra residu dengan serapan energi oleh molekul organik dalam daerah sinar infra merah. Panjang gelombang 1-500 nm merupakan daerah infra merah.Gugus-gugus dalam setiap molekul umumnya mempunyai karakteristik sendiri, sehingga spektroskopi IR dapat digunakan untuk mendeteksi gugus yang spesifik pada senyawa organik maupun polimer. Intensitas pita serapan merupakan ukuran konsentrasi gugus yang khas yang dimiliki oleh polimer (Creswell,2005). Mengindentifikasi senyawa kimia maupun polimer secara infra merah , memerlukan persyaratan yaitu zat yang diselidiki harus homogen secara Universitas Sumatera Utara kimia.Tahap awal identifikasi bahan kimia maupun polimer harus diketahui dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas akan ditunjukkan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya. Metoda analisa ini didasarkan terhadap interaksi antara radiasi infra merah dengan materi interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Interaksi ini berupa absorpsi pada frekwensi atau panjang gelombang tertentu yang berhubungan dengan energi transisi antara berbagai keadaan energi vibrasi, rotasi dan molekul. 2.4.6.Analisis Termal Difrensial (Diffrential Thermal Analysis,DTA) Differential Thermal Analysis (DTA) adalah suatu teknik analisis termal dimana perubahan material diukur sebagai fungsi temperatur. DTA digunakan untuk mempelajari sifat thermal dan perubahan fasa akibat perubahan entalpi dari suatu material. Selain itu, kurva DTA dapat digunakan sebagai finger print material sehingga dapat digunakan untuk analisis kualitatif. Metode ini mempunyai kelebihan antara lain instrument dapat digunakan pada suhu tinggi, bentuk dan volume sampel yang fleksibel, serta dapat menentukan suhu reaksi dan suhu transisi sampel. Prinsip analisis DTA adalah pengukuran perbedaan temperatur yang terjadi antara material sampel dan pembanding sebagai hasil dari reaksi dekomposisi. Sampel adalah material yang akan dianalisis, sedangkan material referensi adalah material dengan substansi yang diketahui dan tidak aktif secara termal. Dengan menggunakan DTA, material akan dipanaskan pada suhu tinggi dan mengalam reaksi dekomposisi. Dekomposisi material ini diamati dalam bentuk kurva DTA sebagai fungsi temperatur yang diplot terhadap waktu. Reaksi dekomposisi dipengaruhi oleh efek spesi lain, rasio ukuran dan volume, serta komposisi materi.suhu dari sampel dan pembanding pada awalnya sama sampai terdapat kejadian yang mengakibatkan perubahan suhu seperti pelelehan, penguraian, atau perubahan struktur kristal sehingga suhu pada sampel berbeda dengan pembanding. Bila suhu sampel lebih tinggi daripada suhu pembanding maka perubahan yang terjadi adalah eksotermal. Begitu pula sebaliknya, bila suhu Universitas Sumatera Utara sampel lebih rendah daripada suhu pembanding maka perubahan yang terjadi disebut endotermal (West, 1984). Umumnya, DTA digunakan pada range suhu 190 - 1600 ºC. Sampel yang digunakan sedikit, hanya beberapa miligram. Hal ini dilakukan untuk mengurangi masalah gradien termal akibat sampel terlalu banyak yang menyebabkan berkurangnya sensitivitas dan akurasi instrumen. Komponen utama instrumen DTA terdiri dari : Tempat sampel, yang terletak dalam termokopel, dan terlindung dalam lapisan keramik atau logam. Di dalam termokopel terdapat tempat sampel dan referensi yang dikelilingi oleh lapisan keramik atau logam sebagai material pendistribusi suhu. Tempat sampel dapat berupa pyrex, alumunium, silika, nikel, atau platinum. Pemlihan jenis bahan tempat sampel bergantung pada suhu reaksi yang diinginkan. Sebagai contoh bahan alumunium sesuai untuk pemanasan sampel dibawah 600ºC karena alumunium mempunyai titik leleh 660ºC. Furnace dan Termokopel. Suhu operasional instrumen dapat diatur dengan kecepatan pemanasan atau pendinginan sesuai kebutuhan. Biasanya pengaturan kecepatan berkisar antara 1- 50 ºC/ menit. Contoh:Pembacaan Termogram pada DTA Pembentukan MgAl 2 O 4 dan MgO dari Al-Mg alloy/quartz (>99% silika kristalin) dapat diamati dengan teknik DTA Gambar 2.3. Analisis Termal Difrential MgAl 2 O 4 . Universitas Sumatera Utara Puncak endotermis yang tajam pada 576oC menunjukkan terjadinya transformasi fase dari a menjadi b-quartz, a-quartz memiliki struktur trigonal dengan ikatan yang kuat antar silika tetrahedron dalam jaringan strukturnya dan menunjukkan simetri kristalografi rendah. Pada temperatur yang lebih tinggi, tetrahedron akan terpisah dan membentuk simetri tinggi dan struktur kristal heksagonal (b-quartz). Transisi fase ini tampak mulai terjadi pada temperature 550oC dan akan berjalan dengan sempurna hingga temperatur 590oC seperti yang tampak pada gambar di atas. 2.4.7.Kalorimetri Skening Difrensial (Diffrential Scanning Calorimetry,DSC) Prinsip DSC tidak jauh berbeda dengan prinsip kalorimetri biasa, hanya dalam hal ini digunakan sampel yang agak jauh lebih kecil (maksimum 50 mg) dan peralatan pengintra kalor yang lebih teliti. Teknik DSC menggunakan pemanas individual masing-masing untuk sampel dan pembanding. Suhu antara sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan pengindera panas Pt. Bila terjadi perubahan kapasitas kalor pada sampel selama kenaikan suhu, pemanas sampel berusaha mengatur banyaknya kalori yang diberikan. Perbedaan langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel dan pemanas pembanding, berbanding langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel. Karena itu termogram DSC merupakan plot perubahan entalpi ( H) terhadap kenaikan suhu sedangkan proses eksotermis dinyatakan sebagai - Δ H dan proses endotermis sebagai + Δ H (Ginting,2009). Universitas Sumatera Utara