IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Uji Nilai Kisaran Respon ikan uji terhadap deretan konsentrasi pada uji penentuan kisaran konsentrasi lethal menunjukkan kepekaan mortalitas yang tinggi terhadap daya toksik nikel. Pada konsentrasi 60 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 13,33 % setelah 24 jam pemaparan, 26,67% setelah 42 jam pemaparan dan mencapai 100 % setelah 48 jam pemaparan. Pada konsentrasi 6 ppm, mortalitas ikan uji sebesar 0 % sampai dengan 96 jam pemaparan (Tabel 3). Berdasarkan nilai mortalitas selama uji nilai kisaran tersebut, maka ditetapkan nilai ambang atas yaitu 60 ppm dan nilai ambang bawah yaitu 6 ppm. Tabel 2. Persentase tingkat kematian kumulatif ikan nila selama uji nilai kisaran pemaparan nikel 12 A(0,00 ppm) B(0,06 ppm) C (0,60 ppm) D (6,00 ppm) 6 0 0 0 0 0 0 0 0 Persentase ikan yang mati pada pengamatan jam ke- (%) 42 48 54 60 66 72 18 24 30 36 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 E (60,00 ppm) 0 0 13,33 13,33 13,33 26,67 100 100 100 100 100 100 100 100 Perlakuan F (600,00 ppm) 100 100 100 100 100 84 96 0 0 0 0 0 0 0 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Pada perlakuan kontrol, 0,06, 0,6, dan 6 ppm setelah jam ke-96 mortalitas ikan uji tetap 0%. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas media pemeliharaan dan vitalitas ikan selama pengujian dalam kondisi yang baik. 4.1.2 Uji Akut Pada uji akut ini yang menjadi variabel penelitian adalah tingkat mortalitas ikan uji pada setiap jam pengamatan, tingkat akumulasi nikel pada darah dan daging/otot, frekuensi bukaan operkulum, dan analisis nilai LC 50 berdasarkan dosis Ni di larutan media dan tingkat mortalitas pada setiap jam pengamatan. 39 a. Tingkat mortalitas ikan Berdasarkan konsentrasi batas bawah dan batas atas, maka uji akut dilakukan pada konsentrasi nikel sebesar : 10,67 ppm, 18,98 ppm, 33,76 ppm dan 60,05 ppm serta perlakuan kontrol negatif. Respon ikan uji terhadap deretan konsentrasi pada uji akut menunjukkan Mortalitas Ikan Nila (%) kepekaan mortalitas yang tinggi terhadap daya toksik nikel (Gambar 3). 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 jam ke-24 jam ke-48 0 ppm 10.67 ppm 33.76 ppm 60.05 ppm jam ke-72 jam ke-96 18.98 ppm Gambar 3. Persentase tingkat mortalitas ikan nila GIFT selama uji akut pemaparan nikel Pada konsentrasi 60,05 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 13,3 % setelah 24 jam dan mencapai 100% setelah 48 jam pemaparan. Pada konsentrasi 10,67 ppm, mortalitas ikan uji masih 0 % setelah 24 dan 48 jam pemaparan, 20 % setelah 72 jam, dan 23,33 % setelah 96 jam pemaparan. Pada kontrol, mortalitas ikan uji sampai jam ke-96 setelah pemaparan nikel yaitu 0% (Lampiran 2), yang menunjukkan bahwa kualitas media pemeliharaan dan vitalitas ikan selama pengujian dalam kondisi yang baik. Sifat toksisitas akut nikel relatif tinggi terhadap ikan nila diduga karena rendahnya tingkat kemampuan adaptasi ikan nila untuk memperkecil efek perubahan fisiologis yang ditimbulkan nikel yang masuk kedalam tubuh, sehingga menyebabkan turunnya kemampuan menyerap oksigen dari lingkungan. Sementara saat ikan dalam kondisi stres, metabolisme tubuhnya akan meningkat dan kebutuhan oksigen akan meningkat pula yang diperlukan dalam mempertahankan homeostatis. Gerberding (2005) melaporkan bahwa meskipun 40 organisme biasanya mengembangkan perlawanan setelah beberapa saat terpapar oleh nikel, akan tetapi kemampuan mengembangkan perlawanan tersebut ditentukan oleh spesies ikan dan efek toksik yang ditimbulkan. Demikian pula Rand dan Petrocelli (1985) menyatakan bahwa pengaruh bahan toksik terhadap suatu organisme akan terlihat dalam waktu pemaparan yang berbeda. Pengambilan awal logam berat oleh ikan nila dapat melalui empat proses utama yakni melalui insang, permukaan tubuh, mekanisme osmoregulasi dan penyerapan melalui makanan. Pengaruh tersebut ditentukan oleh sifat toksik logam berat nikel dan keberhasilan tubuh ikan nila melakukan proses detoksifikasi dan ekskresi, sehingga pengaruh sifat toksik nikel terhadap tubuh ikan nila masih dapat ditolerir oleh tubuh atau telah melewati ambang batas sehingga mengakibatkan kematian. Menurut Connel dan Miller (1995), bahwa secara fisiologis, kehadiran xenobiotik dalam tubuh ikan merangsang ikan melakukan perlawanan untuk meminimalisir dampak racun yang ditimbulkan. Perlawanan tersebut dilakukan melalui proses biotransformasi, detoksifikasi dan ekskresi. Lebih lanjut dikatakan bahwa kemampuan organisme melakukan perlawanan ditentukan oleh konsentrasi dan sifat toksik yang ditimbulkan, yaitu semakin tinggi konsentrasi dan sifat toksik yang dimiliki oleh toksikan maka kemampuan organisme melakukan perlawanan akan semakin kecil. Respon tingkah laku ikan uji memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkatan konsentrasi maka terjadi perubahan tingkah laku, antara lain gerakan berenang yang tidak teratur, cenderung berada dipermukaan, adanya gerakan seperti terkejut-kejut, frekuensi gerak operculum terus menerus dengan bukaan yang lebih lebar, selanjutnya ikan cenderung diam dan kehilangan refleks dan akhirnya menjadi kaku/mati. Respon tersebut karena adanya pengaruh sifat nikel yang menyerang sistem saraf pusat sebagai jaringan sasaran. Pernyataan tersebut didukung oleh Connel dan Miller (1995) bahwa suatu organisme pada saat terpapar logam berat, akan mengganggu kerja sistem saraf pusat. Nikel yang terpapar pada ikan nila GIFT dapat menghambat kerja asetilkolinesterase (AChE), sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh) dalam susunan saraf pusat. Akumulasi tersebut akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang sampai menyebabkan ikan uji menjadi kaku. Akumulasi asetilkolin pada neuromusculer 41 akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleks dan paralisis. b. Akumulasi nikel dalam darah dan daging Biota laut yang hidup di perairan tercemar secara biologis akan mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan tubuhnya, semakin tinggi tingkat pencemaran suatu perairan maka semakin tinggi pula kadar logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan air yang hidup di dalamnya (Bryan 1976, diacu dalam Salamah 2002). Menurut Mokoagouw (2000), ikan umumnya mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke ginjal. Bentuk logam berat anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian ditransfer ke ginjal dan diekskresikan. Namun, logam organik tidak diekskresikan, tetapi terakumulasi dalam jaringan otot. Selain itu, masuknya logam berat dalam tubuh ikan juga dapat melalui rantai makanan. • Darah Pada perlakuan dengan dosis nikel 60,05 ppm, tingkat akumulasi rata-rata nikel pada darah ikan nila mencapai 121,38 mg/kg. Pada perlakuan 33,76 ppm, 18,98 ppm, dan 10,67 ppm, tingkat akumulasi rata-rata berturut-turut mencapai 103,26 mg/kg, 86,82 mg/kg, dan 45,58 mg/kg. Pada kontrol, tidak terdeteksi Konsentrasi Ni (mg/kg) dalam Darah adanya nikel. 140 a 120 b 100 c 80 60 d 40 20 e 0 perlakuan 0 ppm 10.67 ppm 18.98 ppm 33.76 ppm 60.05 *) angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukan beda nyata (P< 0,05) Gambar 4. 42 Tingkat akumulasi nikel pada darah ikan nila selama uji akut pemaparan nikel. • Daging Pada perlakuan dengan dosis nikel 60,05 ppm, tingkat akumulasi rata-rata nikel pada darah ikan nila mencapai 73,37 mg/kg, sedangkan pada perlakuan 33,76 ppm, 18,98 ppm, dan 10,67 ppm, tingkat akumulasi rata-rata berturut-turut mencapai 56,08 mg/kg, 42,00 mg/kg , dan 32,90 mg/kg. Pada kontrol, tidak terdeteksi adanya nikel. a Konsentrasi (mg/kg) Ni dalam Daging 80 70 b 60 50 c d 40 30 20 10 e 0 perlakuan 0 ppm 10.67 ppm 18.98 ppm 33.76 ppm 60.05 ppm *) angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukan beda nyata (P< 0,05) Gambar 5. Tingkat akumulasi nikel pada daging/otot ikan nila selama uji akut pemaparan nikel. c. Frekuensi bukaan operculum Frekwensi Rata-rata Gerak Operculum kali/menit 120 100 80 a a a b a cd 60 e b b c d ba c e d b c c dd dd e 40 20 0 siang 0 ppm 10.67 ppm sore malam 18.98 ppm subuh 33.76 ppm pagi 60.05 ppm *) angka yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P > 0,05) Gambar 6. Rata-rata frekuensi pergerakan operculum ikan nila selama uji akut pemaparan nikel. 43 Gerak operculum pada konsentrasi tinggi memperlihatkan frekuensi yang lebih rendah dengan bukaan operculum yang lebih lebar/luas dibanding kontrol. Perbedaan ini juga terjadi pada konsentrasi yang sama pada waktu pengamatan yang berbeda (siang, sore, malam, subuh, dan pagi hari). Secara berturut-turut frekuensi gerak operculum rata-rata per menit pada setiap perlakuan di setiap waktu pengamatan adalah: Perlakuan A yaitu 98,33, 85,67, 102,33, 68,33, dan 102,67; Perlakuan B yaitu 86,67, 64,67, 83,67, 71,67, dan 72,00; Perlakuan C yaitu 74,67, 61,67, 61,67, 62,33, dan 62,33; Perlakuan D yaitu 70,67, 57,00, 50,00, 53,67, dan 54,33; dan Perlakuan E yaitu 64,67, 52,00, 29,33, 48,00, dan 52,00. Tingkah laku ini diduga untuk mempertahankan terpenuhinya kebutuhan oksigen pada kondisi insang mulai tertutup oleh lendir akibat sifat toksik yang ditimbulkan oleh nikel. Tingkah laku ini untuk meningkatkan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh proses biokimia tubuh sebagai pola adaptasi fisiologi sehingga dapat bertahan hidup atau memperlambat efek kematian. Respon fisiologi ini diikuti dengan menurunnya nafsu makan dan umumnya ikan uji cenderung lebih banyak berada di tengah dan permukaan akuarium. Mortalitas ikan uji mulai terlihat 8 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi 60,05 ppm, 16 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi 33,76 ppm, 18 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi 18,98 ppm, dan 30 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi 10,67 ppm. a a b b d. Nilai LC 50 Hasil analisis (Lampiran 6, 7, 8 dan 9) menunjukkan nilai LC 50 pada waktu pemaparan 24, 48, 72 dan 96 jam berturut-turut adalah 31,42 ppm, 17,17 ppm, dan 13,93 ppm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan maka nilai LC 50 nikel terhadap ikan nila akan semakin rendah. Nilai LC 50 -96 jam nikel pada ikan nila GIFT sebesar 13,93 ppm, lebih tinggi dibandingkan dengan nilai LC 50 -96 jam nikel pada Clarias gariepinus sebesar 8,87 ppm (Isaac 2009). Sebaliknya nilai LC 50 -96 jam nikel pada ikan nila GIFT lebih rendah, jika dibandingkan dengan nilai LC 50 -96 jam nikel pada udang laut yaitu 15 – 30 ppm (Deleebeeck et al. 1995). Namun pada LC 50 -48 yaitu 31,42 ppm, lebih rendah dibandingkan dengan LC 50 -48 jam juvenil abalon yaitu 26,43 ppm (Hunt et al. 2002). Selanjutnya nilai LC 50 -96 jam yang didapat dalam 44 penelitian ini (13,93 ppm) masih sedikit lebih besar apabila dibandingkan LC 50 -96 jam timbal (Pb) yang dipaparkan pada ikan bandeng pada salinitas 16 ppt yaitu 13,43 ppm (Siahaan 2003). Dari nilai LC 50 -96 jam yang diperoleh dapat dikatakan bahwa nikel bersifat toksik tinggi terhadap ikan nila. Klasifikasi toksisitas oleh WHO dan EPA bahwa rentang nilai LC 50 -96 jam pada konsentrasi antara 1–50 ppm dikategorikan bersifat toksik yang tinggi (Balazs 1970). Konsentrasi Nikel (ppm) 40 35 30 25 y = -8.745x + 38.33 R² = 0.883 20 15 10 5 0 48 72 96 Waktu Pemaparan (jam) Nilai LC50 Nilai Batas Atas Linear (Nilai LC50) Gambar 7. Nilai Batas Bawah Linear (Nilai LC50) Nilai LC 50 ikan nila pada uji akut pemaparan nikel Pengaruh bahan toksik dalam waktu singkat dapat diketahui dengan menghitung nilai LC 50 suatu subtansi terhadap satu atau beberapa spesies. LC 50 adalah konsentrasi suatu bahan kimia dalam air yang dapat mematikan 50% dari populasi organisme dalam waktu pemaparan tertentu (OECD 1981, diacu dalam Siahaan 2003). Menurut Connel dan Miller (1995), dampak mematikan suatu bahan toksik merupakan tanggapan yang terjadi akibat zat-zat xenobiotik tertentu mengganggu proses sel dalam mahluk hidup yang melebihi batas toleransi sehingga menyebabkan kematian secara langsung. Meskipun belum ditemukan penelitian tentang manfaat spesifik logam berat nikel bagi ikan, tetapi Menurut Conard (2005), nikel dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh organisme. Fitoplankton mengandung 1-10 ppb nikel, lobster mengandung 0,14-60 ppb nikel, moluska 0,1-850 ppb, dan ikan antara 0,1 - 110 ppb. Lebih lanjut dikatakan bila terdapat dalam jumlah yang terlalu 45 tinggi dapat merusak fungsi ginjal, meyebabkan kehilangan keseimbangan, menyebabkan kegagalan respirasi serta merusak hati dan insang. 4.1.3 Uji Sub-Kronik a. Tingkat konsumsi oksigen Kebutuhan oksigen biologi didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi. Banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh biota akuatik dalam waktu tertentu berhubungan linear dengan banyaknya oksigen terlarut di perairan tersebut. Tabel 3. Rata – rata tingkat konsumsi oksigen ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel TKO (mg O2/gr tubuh ikan/jam) Ikan Uji pada Hari Ke 1 – 32 Perlakuan A (0.00 ppm) B (1,39 ppm) C (4,18 ppm) 1 0.49 0.46 0.47 8 0.49 0.3 0.23 16 0.45 0.26 0.22 24 0.44 0.23 0.2 32 0.43 0.21 0.14 *) angka dengan kolom sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05) Pengamatan tingkat konsumsi oksigen pada pengukuran hari pertama setelah beberapa jam ikan terekspose oleh nikel menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan pada analisis statistik dengan uji Anova. Pada pengukuran hari ke 8, 16, 24, dan 32 uji Anova dan uji Tukey menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara ketiga perlakuan (gambar 14). Secara keseluruhan pada perlakuan dengan nikel, tingkat konsumsi oksigen ikan nila mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu pemaparan. Pada perlakuan dengan konsentrasi 4,18 ppm mengalami penurunan dari 0,47 pada pengamatan H-1 menjadi 0,14 pada pengamatan H-32, perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm mengalami penurunan dari 0,46 pada pengamatan H-1 menjadi 0,21 pada pengamatan H-32, dan pada kontrol (0,00 ppm), mengalami penurunan yang 46 relatif stabil yaitu 0,49 pada pengamatan H-0 menjadi 0,45 pada pengamatan H-32 (Tabel 4 dan gambar 14). TKO (mg O2/gr tubuh ikan/jam) 0,6 0,5 a a a a a a a 0,4 b 0,3 c b b b 0,2 b b c 0,1 0 0 8 16 24 32 Waktu Pemaparan (hari) 0 ppm 1.39 ppm 4.18 ppm *) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05) Gambar 8. Konsumsi oksigen ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel Hasil penelitian memberikan indikasi adanya kecenderungan terhadap turunnya tingkat konsumsi oksigen seiring dengan meningkatnya konsentrasi nikel dan bertambahnya lama waktu pemaparan. Perbedaan tingkat konsumsi oksigen diakibatkan oleh kerusakan insang dan kemampuan darah untuk mengikat oksigen semakin kecil dengan semakin tingginya toksisitas nikel. Akibat meningkatnya konsentrasi nikel, dimana akibat keracunan nikel ikan uji mengalami gangguan pada proses pernafasan dan metabolisme tubuhnya. Hal ini terjadi karena bereaksinya logam berat nikel dengan lendir insang, sehingga insang diseliputi oleh lendir yang mengandung nikel yang mengakibatkan proses pernafasan dan metabolisme tubuh menjadi terganggu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heath (1987), bahwa logam berat dapat menyebabkan kerusakan insang seperti nekrosis dan lepasnya lapisan epitelium. Sejalan pula dengan laporan Wardoyo (1987) bahwa salah satu jaringan tubuh organisme yang cepat terakumulasi logam berat adalah jaringan insang, menyebabkan terganggunya proses pertukaran ion-ion dan gas-gas melalui insang. 47 b. Kondisi hematologi Data hematologi yang meliputi kadar hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit, dan jumlah leukosit dengan konsentrasi nikel 0,00 ppm, 1,39 ppm, dan 4,18 ppm dapat dilihat pada Tabel 5; dan Gambar 8, 9 10, 11, dan Gambar 12, serta Lampiran 9, 10, 11, 12 dan 13. Tabel 4. Rata-rata hematokrit, hemoglobin, eritrosit, dan leukosit darah ikan nila setelah 30 hari pemaparan nikel Konsentrasi (ppm) A (0,00) B (1,39) C (4,18) Hematokrit (%) 26,55±0,87a 20,19±0,19b 16,48±1,90b Hemoglobin (%) 6,93±0,46a 3,80±0,20b 2,80±0,20b Eritrosit (106 sel/mm3) 1,26±0,03a 1,18±0,08b 1,15±0,05b Leukosit (104 sel/mm3) 7,21±0,36a 8,98±0,58b 8,73±0,20c *) angka dengan kolom sama yang diikuti huruf berbeda menunjukkan beda nyata (P<0,05) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh toksisitas nikel pada ikan nila berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit dan jumlah leukosit. • Hematokrit Hematokrit (Hct) atau volume packed cell merupakan persentase darah yang dibentuk oleh eritrosit. Pengukuran ini merupakan persentase eritrosit dalam darah lengkap setelah spesimen darah disentrifugasi. Data kadar hematokrit menunjukkan hubungan kadar hematokrit pada semua perlakuan pemaparan nikel sampai pengukuran hari ke-30, yaitu makin tinggi perlakuan konsentrasi nikel yang dipaparkan maka kadar hematokrit ikan uji akan lebih rendah. Berbeda dengan perlakuan kontrol, kadar hematokrit terukur menunjukkan nilai yang relatif stabil (Gambar 9 dan Lampiran 12). 48 Kadar Hematokrit Rata-rata (%) 35 30 a a a 25 a a a b b 20 b b b 15 c 10 5 0 H-0 H-10 H-20 H-30 0 ppm 1.39 ppm 4.18 ppm Linear (0 ppm) Linear (1.39 ppm) Linear (4.18 ppm) *) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P>0,05) Gambar 9. Rata-rata Hematokrit darah ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel. Pada pengamatan hari ke-30, kadar hematokrit paling rendah ditemukan pada perlakuan dengan konsentrasi 4,18 ppm dengan kadar hematokrit 16,48%, kemudian disusul perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm dengan kadar hematokrit 20,19%, dan perlakuan dengan konsentrasi 0,00 ppm dengan kadar hematokrit 26,55%. Selanjutnya nilai rata-rata kadar hematokrit pada pengamatan hari ke 0, 10, dan 20 untuk setiap perlakuan berturut-turut yaitu: perlakuan 4,18 ppm dengan kadar hematokrit 29,50%, 28,45%, dan 10,31%; perlakuan 1,39 ppm dengan kadar hematokrit 30,62%, 20,00%, dan 19,39%; dan perlakuan 0,00 ppm dengan kadar hematokrit 29,87%, 19,92%, dan 31,06%. Hasil analisis statistik menunjukkan kadar hematokrit berbeda nyata antar perlakuan. Hasil uji lanjut dengan uji Tukey ditunjukkan dengan pemberian notasi yang berbeda untuk menandakan perbedaan yang signifikan antar perlakuan dan dengan notasi yang sama untuk perbedaan yang tidak signifikan (Gambar 9). Kenyataan ini menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan, pengaruh lanjut toksisitas nikel mulai pada konsentrasi 1,39 ppm dapat menurunkan kadar hematokrit darah ikan nila. • Haemoglobin Haemoglobin (Hb) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Fungsi utama haemoglobin adalah transpor O 2 dan CO 2 . Data hasil penelitian menunjukkan 49 penurunan kadar haemoglobin pada semua perlakuan pemaparan nikel sampai pengukuran hari ke-30, yaitu makin tinggi perlakuan konsentrasi nikel yang dipaparkan maka kadar haemoglobin ikan uji akan lebih rendah. Berbeda dengan perlakuan kontrol, kadar haemoglobin terukur meskipun mengalami penurunan tetapi nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pemaparan nikel dan pengukuran pada hari ke-30 kadarnya lebih tinggi dibandingkan pada pengukuran Kadar Hemoglobin Rata-rata (%) hari ke-20 yaitu 6,33 % (Gambar 10 dan Lampiran 13). 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 a a a a a a b b a ab b b H-0 H-10 H-20 H-30 0 ppm 1.39 ppm 4.18 ppm Linear (0 ppm) Linear (1.39 ppm) Linear (4.18 ppm) *) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05) Gambar 10. Rata-rata kadar hemoglobin darah ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel. Pada pengamatan hari ke-30, kadar haemoglobin paling rendah ditemukan pada konsentrasi 4,18 ppm dengan kadar hemoglobin 2,80%, diikuti perlakuan 1,39 ppm dengan kadar hemoglobin 3,80%, dan kontrol dengan kadar hemoglobin 6,93% selanjutnya kadar hemoglobin setiap perlakuan pada setiap hari pengamatan (hari ke-0, hari ke-10, dan hari ke-20) berturut-turut yaitu: perlakuan 4,18 ppm dengan kadar hemoglobin 7,97%, 4,00%, dan 6,00%; perlakuan 1,39 ppm dengan kadar hemoglobin 7,47%, 4,90%, dan 6,50%; dan kontrol dengan kadar hemoglobin 7,43%, 7,67%, dan 7,20%. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan kadar hemoglobin yang signifikan antar perlakuan, (Gambar 10). Kenyataan ini menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan, 50 pengaruh lanjut toksisitas nikel mulai pada konsentrasi 1,39 ppm dapat menurunkan kadar haemoglobin darah ikan nila. • Eritrosit Eritrosit atau sel darah merah (SDM) berbentuk cakram bikonkaf tidak berinti yang berdiameter ± 8 µm, tebal bagian tepi 2 µm dan ketebalan bagian tengah berkurang menjadi 1 µm. Komponen utama eritrosit adalah hemoglobin protein yang mengangkut sebagian besar oksigen (O 2 ) dan sebagian kecil fraksi karbon dioksida (CO 2 ). Data hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar eritrosit pada kontrol (0,00 ppm) pada pengamatan hari ke-30 yaitu sebesar 0,01 x 106 sel/mm3. Pada pemaparan nikel konsentrasi 1,39 ppm dan 4,18 ppm mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,08 x 106 sel/mm3 dan 0,09 x 106 sel/mm3. Selanjutnya kadar eritrosit setiap perlakuan pada setiap hari pengamatan (hari ke-0, hari ke-10, dan hari ke-20) berturut-turut yaitu: perlakuan dengan konsentrasi 4,18 ppm dengan kadar eritrosit 1,24 x 106 sel/mm3, 1,14 x 106 sel/mm3, dan 1,14 x 106 sel/mm3; perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm dengan kadar eritrosit 1,26 x 106 sel/mm3, 1,18 x 106 sel/mm3, dan 1,19 x 106 sel/mm3, dan kontrol (0,00 ppm) dengan kadar eritrosit 1,25 x 106 sel/mm3, 1,28 x 106 Kadar Rata-rata Eritrosit (106sel/mm3 ) sel/mm3, dan 1,28 x 106 sel/mm3 (Gambar 11 dan Lampiran 14). 1,3 1,25 a a a a a a b b 1,2 c 1,15 b c c 1,1 1,05 H-0 H-10 H-20 H-30 0 ppm 1.39 ppm 4.18 ppm Linear (0 ppm) Linear (1.39 ppm) Linear (4.18 ppm) *) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05) Gambar 11. Rata-rata jumlah eritrosit darah ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel. 51 Hasil analisis statistik menunjukkan jumlah eritrosit berbeda nyata antar perlakuan (P < 0,05). Hasil uji lanjut menunjukan perbedaan yang signifikan antara perlakuan pada seluruh hari pengamatan kecuali pada hari pertama pengamatan (gambar 11). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengaruh lanjut toksisitas nikel pada konsentrasi yang semakin tinggi (mulai 1,39 ppm) dapat menurunkan jumlah eritrosit darah ikan nila. • Leukosit Jumlah total leukosit bervariasi antar spesies ikan, dipengaruhi oleh umur ikan. Saat ikan lahir jumlahnya lebih tinggi, kemudian secara bertahap menurun sampai nilai dewasa yaitu pada umur 2–12 bulan. Jumlah Rata-rata Leukosit (104sel/mm3) 14 a 12 10 8 a a a b b a a a b b b 6 4 2 0 H-0 H-10 H-20 H-30 0 ppm 1.39 ppm 4.18 ppm Linear (0 ppm) Linear (1.39 ppm) Linear (4.18 ppm) *) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05) Gambar 12. Rata-rata jumlah leukosit darah ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel. Secara umum data hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar leukosit signifikan pada semua konsentrasi nikel, sedangkan kontrol menunjukan perubahan yang relatif stabil. Jumlah leukosit tertinggi terdapat pada konsentrasi 4,18 ppm pada pengamatan hari ke-10 dengan kadar leukosit 12,21 x 104 sel/mm3, diikuti perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm dan 0,00 ppm (kontrol) dengan kadar leukosit masing-masing 8,98 x 104 sel/mm3 dan 7,21 x 104 sel/mm3, masingmasing pada pengamatan hari ke-30. Selanjutnya kadar leukosit setiap perlakuan pada setiap hari pengamatan (hari ke-0, hari ke-10, hari ke-20, dan hari ke-30) berturut-turut yaitu: perlakuan dengan konsentrasi 4,18 ppm yaitu 6,24 x 104 52 sel/mm3, 12,21 x 104 sel/mm3, 8,53 x 104 sel/mm3, dan 8,73 x 104 sel/mm3; perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm yaitu 6,27 x 104 sel/mm3, 7,56 x 104 sel/mm3, 6,57 x 104 sel/mm3, dan 8,98 x 104 sel/mm3; dan kontrol (0,00 ppm) yaitu 6,25 x 104 sel/mm3, 6,22 x 104 sel/mm3, 6,82 x 104 sel/mm3, dan 7,21 x 104 sel/mm3 (Gambar 12 dan Lampiran 15). Hasil analisis statistik menunjukkan jumlah leukosit berbada nyata antar perlakuan (P > 0,05). Hasil uji lanjut dengan uji Tukey menunjukkan perbedaan yang signifikan antara perlakuan pada pengamatan hari ke-20 dan hari ke-30, sedangkan hari ke-0 dan hari ke-10 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Gambar 12). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengaruh lanjut toksisitas nikel mulai pada konsentrasi 1,39 ppm dapat meningkatkan jumlah leukosit darah ikan nila. c. Kondisi histopatologi (insang dan hati) Tabel 5. Kondisi jaringan pada organ hati dan insang Jenis Organ/ Kerusakan Hati Edema Kongesti Hemoragi Nekrosis Insang Lamela primer Lamela sekunder Epitel lifting Edema Mineralisasi Hyperplasia Hypertropi Fusi lamela • 1 A 2 3 Perlakuan B 1 2 3 - - - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ - - - √ √ √ √ - √ √ √ √ - √ √ √ √ - √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 1 C 2 3 Hati Hati merupakan organ yang sangat rentan terhadap pengaruh zat kimia dan menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia (toksikan). Struktur utama hati adalah sel hati atau hepatosit yang bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang berisi darah 53 dan saluran empedu. Selkupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dalam sistem retikuloendotelial tubuh. Selkupffer merupakan sistem monositmakrofag dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah, sehingga hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik (Anderson 1995). Takashima dan Hibiya (1995) menyatakan perubahan histologis pada hati ikan adalah terjadinya : cloudy swelling yaitu sel hati terlihat agak keruh, sitoplasma keruh dan bergranular. Hal tersebut disebabkan oleh munculnya butir hyalin eosinefil dalam sitoplasma, atropi pada sel hati, pengerutan sel, nukleus dan nukleulus seringkali menjadi mengecil, nekrosis, degenerasi vakuola, degenerasi lemak, stagnasi empedu dan gangguan aliran darah pada sinusoid atau vena. Kerusakan pada hati menyebabkan terganggunya berbagai fungsi hati. Kerusakan hepatosit menurut Ressang (1984) dapat dibagi menjadi dua yaitu taksohepatik dan trofohepatik. Kerusakan akibat taksopatik disebabkan oleh pengaruh langsung dari agen yang toksik, baik berupa zat kimia maupun kuman. Kerusakan akibat trofopatik disebabkan adanya kekurangan faktor-faktor penting untuk kehidupan sel seperti oksigen atau zat makanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Connel and Miller (1995) menyatakan bahwa toksikan dapat menyebabkan gangguan pada metabolisme lemak, karbohidrat, biosintesis protein dan sistem enzim mikrosomal. Menurut Ressang (1984), sirosis hati pada hewan akan menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi hati, terganggunya produksi dan aliran empedu serta peredaran darah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kondisi hati ikan nila pada kontrol (0,00 ppm) memperlihatkan bentuk histologi yang normal dengan penampakan inti sel, vena sentralis, dan sinusoid pada komposisi lobulus hati. Pada hati ikan dengan perlakuan nikel mengalami kerusakan jaringan. Berupa kongesti (pembendungan), hemoragi, dan nekrosis. Jumlah dari masing-masing parameter kerusakan hati yang ditimbulkan semakin tinggi seiring peningkatan konsentrasi nikel. Menurut Ressang (1984), kongesti adalah terjadinya pembendungan darah pada hati yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi. Kongesti didahului dengan pembengkakan sel 54 hati yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat. Hemoragi adalah keluarnya darah dari sirkulasi kardiovaskuler dan biasanya terdapat kerusakan pada susunan kardiovaskuler tersebut (arteri, vena dan kapiler). Nekrosis adalah terjadinya kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Tingkat kerusakan hati dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau nekrosis (Darmono, 1995). • Insang Menurut Takashima dan Hibiya (1995), perubahan histologi pada insang meliputi tiga hal, yaitu : 1) Perubahan-perubahan yang bersifat regresif, seperti edema pada epitel insang, vakuolisasi, nekrosispada lamela sekunder, kematian sel mukus, dan sekresi berlebihan. Kerusakan yang serius adalah mengelupasnya epitel dari lamela sekunder, nekrosis pada sel pillar dan terjadinya pendarahan serta distorsi pada lamela sekunder. 2) Gangguan dan kerusakan pada sistem resirkulasi 3) Perubahan-perubahan yang bersifat progresif, seperti hipertropi pada permukan epitel lamela primer dan sekunder adalah tanda-tanda awal dari ikan yang terekspos bahan-bahan kimia maupun pengaruh fisik. Pengamatan histologi insang ikan nila memperlihatkan bahwa pada ikan yang diberi logam berat nikel mengalami perubahan-perubahan seperti hiperlasi, mineralisasi, epitel lifting, fusi lamela, dan hipertropi. Peningkatan jumlah dari masing-masing parameter kerusakan pada jaringan insang berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi nikel yang dipaparkan. Kerusakan pada insang mengakibatkan terganggunya mekanisme pernapasan pada ikan. Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa kerusakan pada sistem pernapasan dapat menyebabkan terhambatnya sistem transpor elektron dan fosforilasi oksidatif pada rantai pernapasan yang pada akhirnya mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan. 55 d. Pertumbuhan • Pertumbuhan bobot mutlak Data penelitian menunjukan kecenderungan terhadap turunnya pertumbuhan seiring dengan meningkatnya konsentrasi nikel dalam air. Setelah 30 hari pemaparan nikel, pada perlakuan 0,00 ppm (kontrol) pertumbuhan mutlak mencapai 4,19 gram/ekor, sedangkan pada perlakuan dengan dosis 1,39 ppm dan 4,18 ppm pertumbuhan rata-rata berat mutlak masing-masing turun menjadi 2,05 gram/ekor dan 0,76 gram/ekor. Hasil analisa statistik dengan uji Anova menunjukan ketiga perlakuan berbeda nyata (P < 0,05). Uji lanjut dengan uji Tukey juga menunjukan perbedaan yang signifikan antara ketiga perlakuan Pertumbuhan Berat (gram/hari) (Gambar 13 dan Lampiran 15). a 4,5 4 3,5 3 2,5 b 2 1,5 c 1 0,5 0 0 ppm 1.39 ppm 4.18 ppm Gambar 13. Rata – rata pertumbuhan bobot mutlak ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel. 56 Laju pertumbuhan spesifik Laju Pertumbuhan Spesifik (gram/hari) • 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 a a a b H-08 a a a b a H-16 0 ppm 4. 18 ppm Linear ( 1.39 ppm) b b b H-24 H-32 1.39 ppm Linear (0 ppm) Linear ( 4. 18 ppm) Gambar 15. Rata – rata laju pertumbuhan spesifik (LPS) ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel. Data penelitian menunjukkan adanya kecenderungan terhadap turunnya laju pertumbuhan harian seiring dengan meningkatnya konsentrasi nikel dalam air. Stelah 30 hari pemaparan nikel, pada perlakuan 0,00 ppm (kontrol) pertumbuhan mutlak mencapai 4,19 gram/ekor, sedangkan pada perlakuan dengan dosis 1,39 ppm dan 4,18 ppm pertumbuhan rata-rata berat mutlak masing-masing turun menjadi 2,05 gram/ekor dan 0,76 gram/ekor. Hasil analisa statistik dengan Anova menunjukan respon pertumbuhan dengan perbedaan signifikan antar perlakuan (P < 0,05). Uji lanjut dengan uji Tukey juga menunjukan perbedaan yang signifikan antara ketiga perlakuan (gambar 14 dan lampiran 15). Tingkat Kelangsungan Hidup (%) e. Kelangsungan hidup (SR) 95,5 95 94,5 94 93,5 93 92,5 92 perlakuan 0 ppm 1.39 ppm 4.18 ppm Gambar 15. Rata – rata derajat kelangsungan hidup ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel. 57 Data penelitian menunjukan derajat kelangsungan hidup yang relatif stabil pada semua perlakuan dan ulangan. Pada perlakuan dengan konsentrasi nikel 1,39 ppm dan 4,18 ppm, derajat kelangsungan hidup ikan nila GIFT masing-masing 93,33%, sedangkan pada kontrol (0,00 ppm) derajat kelangsungan hidup ikan nila GIFT adalah 95%. Hasil uji statistik dengan Anova, ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (P > 0,05). Berdasarkan data penelitian, dapat diartikan bahwa pada media dengan konsentrasi nikel 1,39 ppm dan 4,18 ppm, ikan nila GIFT masih dapat mempertahankan diri dari kematian. f. Kualitas air (suhu, DO, CO 2 , pH, alkalinitas, dan kesadahan) Kisaran nilai rata-rata parameter kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Kiasaran rata-rata nilai beberapa parameter kimia dari kualitas air media selama uji sub kronik Parameter Kualitas Air Suhu (oC) DO (mg/L) CO 2 (mg/L) pH Alkalinitas (mg/L) Amoniak (mg/L) Kesadahan (mg/L) 4.2 A 28 – 30 5.70-7.02 9.98 7.45-8.02 18-24 0.97-1.16 57.66 Perlakuan B 28 – 30 oC 5.70-7.01 11.98 7.21-7.90 18-20 1.03-1.14 57.66 C 28 – 30 oC 5.70-7.01 12.98 7.30-7.90 18-22 0.90-1.01 57.66 Pembahasan Umum Logam berat nikel (Ni) masuk ke dalam tubuh ikan nila dapat melalui tiga cara yaitu secara langsung melalui insang dan kulit, dan secara tidak langsung melalui makanan pada proses rantai makanan. Karena sifatnya yang toksik, nikel akan mempengaruhi berbagai proses biokimia dan fisiologi pada jaringan tubuh ikan seperti konsumsi oksigen, sistem hematologi, sistem histopatologi, proses bioakumulasi, laju pertumbuhan, dan kelangsungan hidup ikan nila. Pencemaran seperti logam berat atau logam masuk ke dalam tubuh melalui mulut, insang, dan kulit (Darmono 1995, diacu dalam Jalius 2008). Ikan yang hidup pada media yang tercemar oleh logam berat, secara alami akan mengakumulasi logam berat ke dalam tubuhnya, baik secara langsung melalui permukaan kulit dan insang maupun melalui makanannya (Anonim 2003, diacu dalam Marwati 2005). 58 Insang merupakan komponen utama bagi ikan unuk mengambil oksigen. Pada insang, nikel (Ni2+) bereaksi dengan lendir insang dan membentuk gumpalan lendir pada insang. Pada struktur insang ikan nila, nikel telah menyebabkan beberapa gangguan kerusakan yaitu epitel lifting, hiperplasia, hipertropi, dan mineralisasi. Kerusakan pada sel-sel epitel yang merupakan penyusun struktur lamela akan terganggunya fungsi lamela sebagai tempat pertukaran gas pada insang. Hal ini sesuai pernyataan Anonim (1985), bahwa kematian organisme khususnya ikan akibat logam berat dapat terjadi karena bereaksinya kation logam berat dengan oksigen dan fraksi tertentu dari lendir, sihingga menyebabkan insang diselimuti gumpalan lendir logam berat. Oksigen merupakan komponen yang utama bagi pernapasan, metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan serta untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Insang merupakan komponen penting dalam proses pertukaran gas (Harder 1975, diacu dalam Funjaya 2004). Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras dengan beberapa filamen insang didalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamela yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh struktur lamela yang tersusun atas sel-sel epitel yang tipis pada bagian luar, membran dasar dan sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamela yang tidak menempel pada lengkung insang ditutupi oleh epitelium dan mengandung jaringan pembuluh darah kapiler. Toksisitas logam-logam berat yaitu melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernafasan yakni sirkulasi dan ekskresi dari insang (Nicodemus 2003, diacu dalam Jalius 2008). Pada prinsipnya tingkat konsumsi oksigen merupakan gambaran dari tingkat metabolisme ikan. Kerusakan pada struktur insang telah menyebabkan efek yang signifikan terhadap tingkat konsumsi oksigen ikan nila GIFT. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan terhadap turunnya tingkat konsumsi oksigen ikan nila GIFT seiring meningkatnya konsentrasi nikel di dalam perairan dan semakin lamanya waktu pemaparan ikan di dalam media yang tecemar oleh nikel. Pada awal pengamatan tingkat konsumsi oksigen rata-rata ikan nila GIFT pada 59 perlakuan 0,00 ppm (A), 1,39 ppm (B) dan 4,18 ppm (C) masing- masing 0,49 mg/gr, 0,46 mg O 2 /g Berat tubuh ikan, dan 0,47 mg O 2 /g Berat Tubuh Ikan, dan turun menjadi masing- masing 0,43, 0,21, dan 0,14. Dua perlakuan dengan nikel masing-masing menunjukkan penurunan tingkat konsumsi oksigen yang signifikan, sedangkan pada perlakuan tanpa nikel (kontrol) perubahan tingkat konsumsi oksigen ikan nila GIFT relatif stabil. Menurut Palar (2004), organisme perairan khususnya ikan yang mengalami keracunan logam berat akan mengalami gangguan pada proses pernafasan dan metabolisme tubuhnya, hal ini terjadi karena bereaksinya logam berat dengan fraksi dari lendir insang sehingga insang diseliputi oleh gumpalan lendir dari logam berat yang mengakibatkan proses pernafasan dan metabolisme tidak berfungsi sebagaimana mestinya . Hubungan linear antara jumlah oksigen yang terlarut dalam air dan tingkat kemampuan konsumsi oksigen sebagaimana yang dinyatakan oleh Evans dan Chaiborne (2005) tidak berpengaruh terhadap penelitian ini karena kelarutan oksigen dalam air dalam media stabil pada kisaran 5,7 – 7,02 ppm. Karena sifatnya yang toksik, nikel yang masuk ke dalam darah melalui insang mulai menyebabkan beberapa gangguan pada kondisi hematologi ikan. Hasil penelitian menunjukan terjadinya perubahan beberapa parameter dari sistem hematologi ikan nila GIFT seperti turunnya persentase kadar hematokrit dan hemoglobin, turunnya jumlah eritrosit, dan meningkatnya jumlah leukosit. Turunnya persentase hematokrit sampai dibawah 22% dan turunnya jumlah eritrosit menunjukkan ikan sedang mengalami anemia, penurunan persentase hemoglobin menyebabkan ikut turunnya kemampuan darah dalam mentranspor oksigen, dan peningkatan terhadap jumlah leukosit merupakan indikator ikan nila sedang mengalami stres. Hal ini didukung oleh pernyataan Ganong (1983), bahwa gambaran darah suatu organisme dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan yang sedang dialami oleh organisme tersebut. Penyimpangan kondisi fisiologi ikan akan menyebabkan komponen-komponen darah juga mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dan kimia darah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dapat menentukan kondisi kesehatannya. Fungsi vital darah di dalam tubuh antara lain sebagai pengangkut zat-zat kimia seperti hormon, pengangkut zat buangan hasil metabolisme tubuh, dan pengangkut 60 oksigen dan karbondioksida. Didukung oleh Angka et al. (1985), bahwa hasil pemeriksaan terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu patokan untuk menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang dari 22% menunjukkan terjadinya anemia. Kadar hematokrit bervariasi bergantung pada faktor nutrisi, umur ikan, jenis kelamin, ukuran tubuh dan masa pemijahan. Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40% sel darah merah (Kuswardani 2006). Diperkuat pula oleh Wedemeyer dan Yasutake (1977) dalam Taufik (2005) bahwa seperti halnya pada hematokrit, jumlah eritrosit yang rendah menunjukkan terjadinya anemia, sedangkan jumlah tinggi menandakan bahwa ikan dalam keadaan stres. Adanya hemoglobin didalam sel darah merah memungkinkan darah mengangkut oksigen 30-100 kali dari pada yang dapat diangkut hanya dalam bentuk oksigen terlarut dalam darah (Fujaya 2004). Meningkatnya jumlah leukosit disebut leukositosis sedangkan penurunan disebut leukopenia. Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang serius, bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis secara fisiologis mungkin terjadi sebagai reaksi “ephinephrine”, yaitu neutrofil dan limfosit dimobilisasi kedalam sirkulasi umum sehingga menaikkan jumlah total sela darah putih (SDP). Hal ini sering terjadi pada ikan muda dan biasanya akibat stres, juga adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi dalam keadaan sehat ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Leukopenia umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral (Dierauf 1990, diacu dalam Aliambar 1999). Nikel yang ditranspor oleh darah dari insang akan ikut mempengaruhi seluruh proses biokimia pada seluruh jaringan tubuh yang dilaluinya termasuk histologi jaringan seperti insang dan hati. Untuk mengetahui apakah terjadi kerusakan jaringan dilakukan pengamatan preparat histologis terhadap organorgan ikan nila yaitu insang dan hati. Metode yang digunakan adalah Metode Histoteknik, dengan penguat (embedding material) parafin dan ketebalan preparat 5 mikron (Kiernan 1990, diacu dalam Siahaan 2003). Pengamatan histology hati ikan nila memperlihatkan bahwa pada ikan yang mandapatkan perlakuan nikel mengalami beberapa perubahan seperti hemoragi, kongesti, dan nekrosis. Kerusakan hati serta keterangannya pada masing-masing perlakuan dapat dilihat 61 pada Gambar 12. Dengan semakin bertambahnya dosis Ni yang diberikan menyebabkan semakin besar pengaruh terhadap jaringan hati. Hal ini ditunjukkan dengan kerusakan jaringan yang semakin parah seiring peningkatan konsentrasi nikel pada air wadah dalam penelitian. Perubahan histologi pada hati ikan adalah terjadinya cloudy swelling (sel hati terlihat agak keruh, sitoplasma juga keruh dan bergranular) (Hibiya 1995, diacu dalam Siahaan 2003). Hal tersebut disebabkan oleh munculnya butir hyaline eosinofil dalam sitoplasma, atropi pada sel hati, pengerutan sel, nucleus dan nucleolus sering kali menjadi mengecil, nekrosis, degradasi vakuola, degradasi lemak, stagnasi empedu, hepatitis, sirosis dan gangguan pada aliran darah pada sinusoid atau vena. Kerusakan pada hati menyebabkan terganggunya berbagai fungsi hati. Toksikan dapat menyebabkan gangguan pada metabolisme lemak dan karbohidrat, biosintesis protein dan sistim enzim mikrosomal (Connel dan Miller 1995, diacu dalam Siahaan 2003). Menurut Ressang (1984), sirosis hati pada hewan akan menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi hati, terganggunya produksi dan aliran empedu serta peredaran darah. Nikel yang masuk melalui insang, kulit, dan makanan masuk ke dalam darah dan ditranspor ke berbagai jaringan tubuh. Nikel yang ditranspor ke ginjal sebagian akan diekskresikan dan sebagian akan terakumulasi dalam jaringan. Nikel akan banyak mengalami penyerapan pada tulang, hati, ginjal, dan otot. Nikel paling banyak terakumulasi pada tulang, dan selanjutnya nikel akan banyak terakumulasi di hati, ginjal, dan otot oleh bantuan protein metalothionin. Protein metallothionin memiliki asam amino cystein dan methionin yang mudah berikatan dengan logam berat. Protein ini lebih banyak terdapat pada hati dan ginjal dibanding pada otot sehingga nikel lebih banyak terakumulasi pada hati dan ginjal dibanding pada jaringan ototnya. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap tingkat akumulasi nikel pada jaringan otot tetapi tidak dilakukan pada ginjal dan hati, namun tingkat kerusakan pada hati menunjukan penigkatan seiring peningkatan konsentrasi nikel pada air media pemeliharaan hewan uji. Menurut Sanusi (1985), hati dan ginjal ikan memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan ototnya dalam mengakumulasi logam berat Hg dan Cd. 62 Tingginya kandungan logam berat tersebut disebabkan karena logam berat tersebut memiliki afinitas yang besar terhadap metallothionein pada organ tersebur (Goldwater dan Clarkson 1972; Miettinen 1977; Forstner dan Wittmann 1979; Boline 1980; Hodgson dan Guthrie 1980; Ward 1982a, diacu dalam Sanusi 1985). Dari hasil penelitian terhadap 21 jenis ikan laut, diketahui bahwa sejenis protein metallotionein pengikat logam berat pada hati dan ginjal ikan dijumpai lebih tinggi daripada yang terdapat pada ototnya (Takeda dan Shimizu 1982, diacu dalam Sanusi 1985). Hal tersebut diduga sebagai penyebab tingginya akumulasi logam berat (Hg dan Cd) pada hati dan ginjal ikan uji dibandingkan dengan yang terjadi pada ototnya. Selanjutnya Darmono dan Arifin (1989) menyatakan bahwa logam berat banyak terakumulasi pada tulang daripada organ lain. Hasil pengukuran akumulasi logam berat pada darah dan daging menunjukan adanya kecenderungan terhadap peningkatan tingkat akumulasi nikel seiring naiknya konsentrasi nikel pada air wadah penelitian. Pada darah ikan nila GIFT tingkat akumulasi rata-rata nikel pada konsentrasi 60,05 (E), 33,76 (D), 18, 98 (C), dan 10,67 ppm (B), masing-masing 121,38, 103,36, 86,82, dan 45,58 mg/kg, sedangkan pada 0,00 ppm (A) tidak terdeteksi adanya nikel. Pada daging ikan ikan nila akumulasi rata-rata nikel pada konsentrasi 60,05 (E), 33,76 (D), 18, 98 (C), dan 10,67 ppm (B), masingmasing 73,37, 56,08, 42,00, dan 32,90 mg/kg, sedangkan pada 0,00 ppm (A) tidak terdeteksi adanya nikel. Kandungan nikel diukur dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). Semakin tinggi tingkat pencemaran suatu perairan maka semakin tinggi pula kadar logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan air yang hidup di dalamnya (Bryan 1976, diacu dalam Salamah 2002). Logam berat yang masuk kedalam tubuh ikan, sebagian akan diekskresikan dan sebagian lagi akan mengalami proses bioakumulasi pada jaringan organ-organ tertentu (Mokoagouw 2000). Hasil penelitian juga menunjukkan kecenderungan terhadap turunnya laju pertumbuhan seiring meningkatnya konsentrasi nikel pada media pemeliharaan. Hal ini dapat disebabkan oleh efek stres pada ikan nila GIFT yang semakin besar seiring meningkatnya konsentrasi nikel sehingga nafsu makan ikan menjadi semakin turun. Ini dibuktikan pula dengan semakin menurunnya tingkat konsumsi pakan seiring meningkatnya konsentrasi nikel. Pemanfaatan energi yang berasal 63 dari makanan pada ikan- ikan yang terekspose oleh nikel lebih banyak digunakan untuk mepertahankan diri dari dari tekanan serta perawatan dan pergantian sel-sel yang rusak dibanding untuk pertumbuhannya. Tingkat konsumsi pakan rata-rata ikan nila GIFT pada kontrol mencapai 0,59 g/ekor/hari, sedangkan pada perlakuan dengan konsentrasi nikel 1,39 ppm adalah 0,18 g/ekor/hari, dan pada perlakuan dengan konsentrasi nikel 4,18 ppm adalah 0,13 g/ekor/hari. Pada sistem syaraf nikel bersifat sebagai xenobiotik abiotik yang menyebabkan terganggunya kerja asetilkolinesterase sehingga asetilkolin terakumulasi pada syaraf pusat. Proses ini menginduksi tremor sehingga terjadi inkoordinasi, kejang-kejang, dan akhirnya menyebabkan kematian. Akumulasi asetilkolin pada neuromuscular menyebabkan kontraksi otot, lemahnya tubuh ikan, hilangnya gerak reflex, dan paralisis. Pada uji nilai kisaran penelitian ini, ikan nila menunjukkan gejala terpengaruh oleh sifat toksik nikel terhadap sistem syarafnya. Pada perlakuan dengan konsentrasi nikel yang tinggi ikan nila banyak mengalami kehilangan gerak refleks, kejang-kejang, tubuh menjadi lemas, dan akhirnya mengalami kematian. Berdasarkan nilai LC 50 96 jam sebesar 13,93 ppm, nikel termasuk dalam kategori logam berat yang mempunyai sifat toksik tinggi terhadap ikan nila. Nilai LC 50 terhadap ikan nila turun seiring dengan bertambahnya lama waktu pemaparan nikel terhadap ikan. Hal ini sesuai pernyataan Balazt (1970), bahwa dari nilai LC 50 , selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat digolongkan menjadi : sangat tinggi ( < 1 mg/L), tinggi (1 -50 mg/L), sedang (50 – 500 mg/L), sedikit toksit (500 – 5000 mg/L), hampir tidak toksit (5 – 15 g/L), dan relatif tidak berbahaya ( > 15 g/L). Perbandingan terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan nila GIFT, pada perlakuan tanpa nikel (kontrol), dengan konsentrasi nikel 1,39 ppm (10% dari nilai LC 50 96 jam), dan 4,18 ppm (30% dari nilai LC 50 96 jam) tidak memberikan pengaruh signifikan. Tingkat kelangsungan hidup pada kontrol rata-rata 95%, sedangkan pada 1,39 ppm dan 4,18 ppm adalah 93,33%. Berdasarkan data penelitian, ikan nila yang dipelihara pada perairan tawar/berkesadahan lunak, memiliki nilai Lc 50 96 jam sebesar 13,39 ppm. Ini berarti nikel termasuk dalam kategori bersifat toksik tinggi terhadap ikan nila. 64 Nilai ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sabilu (2010) yaitu 11,88 ppm. Penelitian dilakukan terhadap ikan bandeng (Chanos chanos Forsskal) yang dipelihara pada perairan yang berkesadahan yang lebih tinggi/air payau. Ini berarti bahwa ketoksikan nikel akan semakin rendah bila kesadahan perairan meningkat. Pengaruh sifat toksik nikel terhadap ikan dipengaruhi pula oleh beberapa parameter fisika dan kimia air. Toksisitas nikel akan berkurang seiring dengan meningkatnya kesadahan perairan, sedangkan tingkat absorbs nikel akan turun seiring dengan meningkatnya suhu dan turunnya pH dalam air. Nilai kesadahan air media penelitian yaitu 57,66 mg/L menunjukkan bahwa air media berada pada kondisi kesadahan lunak yang mengindikasikan bahawa pada media pemeliharaan nikel bersifat lebih toksik pada ikan nila dibanding pada air payau atau air laut yang umumnya mempunyai kesadahan yang lebih tinggi. Nilai kisaran pH air pada wadah pemeliharaan sekitar 7,21 – 8,02 yang masih berada pada kondisi optimal bagi kehidupan ikan nila GIFT (6,5 – 8,5). Namun pada kisaran tersebut, karena pH masih dibawah 9 maka nikel bersifat sebagai kation bebas dan membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan sulfat, dan selanjutnya mengalami presipitasi. Hal ini diperkuat oleh Blaylock dan Frank (1979), bahwa ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain. Ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain (Blaylock dan Frank 1979). Peningkatan pH dan kesadahan air serta konsentrasi bahan toksik memberikan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi LC 50 ikan. Setelah 72 jam, ikan yang hidup di dalam konsentrasi nikel 8,0 – 12,0 ppm menyebabkan kulit akan rusak dan tubuh luka-luka sebagai indikasi dari tekanan pH (Isaac 2009). Kualitas air merupakan faktor yang penting dalam kehidupan ikan, sebab air berfungsi sebagai media hidup ikan. Selama uji toksisitas akut dan uji sub kronik dilakukan pengukuran kualitas air yang hasilnya disajikan pada Tabel 6. Suhu air merupakan pengatur proses-proses utama di lingkungan perairan. Daya toleransi ikan terhadap suhu sangat bergantung pada spesies dan stadia hidupnya (Pescod, 1973). Kisaran suhu air dalam wadah pemeliharaan adalah 65 antara 28–30 ˚C yang merupakan kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan ikan nila GIFT. Suhu optimum untuk mendukung pertumbuhan ikan nila berkisar antara 25 – 30 oC (Bardach dan lelono 1986, diacu dalam Haryono et al. 2001). Hal ini diperkuat pula oleh Anonim (2011) bahwa suhu air yang disarankan untuk ikan nila adalah 28-30 ˚C . Tingkat pertumbuhan akan menurun secara dramatis jika air dingin sampai 20oC dan ikan biasanya akan mulai mati di sekitar 10 oC. Juga penting untuk diingat bahwa air dingin akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ikan dan membuatnya lebih rentan terhadap kesehatan yang buruk. Suhu air di bawah 13 ˚C, oleh karena itu, tidak pernah dianjurkan. Menurut Suyanto (1993), suhu optimal untuk ikan nila antara 25 – 30 oC. Kelarutan oksigen dalam wadah penelitian berkisar 5,70 – 7,02 ppm, masih diatas ketetapan kelarutan oksigen bagi biota air tawar. Hal ini berarti oksigen terlarut tidak termasuk salah satu faktor yang ikut mempengaruhi perubahan variabel-variabel yang ada dalam penelitian. Menurut Pescod (1973) kebutuhan oksigen pada ikan bervariasi tergantung spesies, kondisi lingkungan yang ada dan aktivitas ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan ikan tidak boleh lebih dari 2 ppm dengan asumsi tidak ada bahan-bahan toksik yang masuk. Kisaran oksigen terlarut yang layak untuk kehidupan biota air tawar menurut EPA (1991) adalah tidak boleh kurang dari 4,0 ppm, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990 persyaratan kandungan minimum untuk perikanan adalah tidak boleh kurang dari 3,0 ppm. Total alkalinitas rata-rata pada setiap perlakuan yaitu berkisar antara 18-24, merupakan nilai alkalinitas yang baik bagi kehidupan ikan nila GIFT. Hal ini sesuai pernyataan Made (1989) bahwa nilai alkalinitas yang baik berkisar 10-400 ppm CaCO 3 . Kandungan karbon dioksida (CO 2) air wadah penelitian dapat berasal dari hasil pernafasan organisme dalam air sendiri dan difusi dari udara. Konsentrasi karbon dioksida yang terlalu tinggi di suatu perairan akan menimbulkan gangguan pelepasan CO 2 atau pengambilan O 2 waktu ikan bernafas. Sebaliknya CO 2 yang terlalu sedikit akan berpengaruh negatif kepada fotosintesis karena gas ini merupakan bahan baku pembentukan. Konsentrasi karbon dioksida (CO 2 ) dalam ekosistem perairan merupakan parameter yang dikaitkan dengan nilai pH. Semakin tinggi konsentrasi karbon dioksida, pH perairan semakin rendah. Hasil 66 pengukuran konsentrasi CO 2 , yaitu 9,98-12, 98 ppm selama uji akut dan selama uji sub kronis. Kandungan CO 2 yang baik untuk budidaya ikan tidak lebih dari 15 ppm. Kadar total rata-rata amonia air dalam wadah penelitian selama uji akut dan uji sub kronik berkisar antara 0.90-1.16 ppm. Nitrogen dalam air berada dalam bentuk nitrit (NO 2 -N), nitrat (NO) 3 -N), ammonia (NH 3 ) dan ammonium (NH 4 +). Amonia adalah salah satu bahan pencemar perairan (Russo 1985). yang berbahaya bagi lingkungan Boyd (1979) menyatakan bahwa sisa-sisa pakan dan kotoran ikan akan terurai menjadi nitrogen dalam bentuk ammonia terlarut yang beracun bagi ikan. Kandungan ammonia 0,6-2,0 ppm masih baik untuk kehidupan ikan (Redner dan Stickney 1979, diacu dalam Chervinsky 1982). Berdasarkan kriteria di atas, maka dapat diartikan bahwa nilai ammonia air media selama uji toksisitas akut dan uji sub kronik masih berada dalam batas kisaran yang baik bagi kehidupan ikan nila GIFT. Dari pengukuran tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan seluruh parameter kualitas air yang terukur berada dalam kisaran yang layak dan optimum bagi kehidupan ikan nila GIFT dalam kondisi tanpa tercemar oleh logam berat nikel. 67