Toksisitas nikel [ni] terhadap ikan nila gift (Oreochromis niloticus

advertisement
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
4.1.1
Uji Nilai Kisaran
Respon ikan uji terhadap deretan konsentrasi pada uji penentuan kisaran
konsentrasi lethal menunjukkan kepekaan mortalitas yang tinggi terhadap daya
toksik nikel. Pada konsentrasi 60 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 13,33 %
setelah 24 jam pemaparan, 26,67% setelah 42 jam pemaparan dan mencapai 100
% setelah 48 jam pemaparan. Pada konsentrasi 6 ppm, mortalitas ikan uji sebesar
0 % sampai dengan 96 jam pemaparan (Tabel 3). Berdasarkan nilai mortalitas
selama uji nilai kisaran tersebut, maka ditetapkan nilai ambang atas yaitu 60 ppm
dan nilai ambang bawah yaitu 6 ppm.
Tabel 2. Persentase tingkat kematian kumulatif ikan nila selama uji nilai kisaran
pemaparan nikel
12
A(0,00 ppm)
B(0,06 ppm)
C (0,60 ppm)
D (6,00 ppm)
6
0
0
0
0
0
0
0
0
Persentase ikan yang mati pada pengamatan jam ke- (%)
42 48 54 60 66 72
18
24
30
36
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
E (60,00 ppm)
0
0
13,33 13,33 13,33 26,67 100 100 100 100 100 100 100 100
Perlakuan
F (600,00 ppm) 100 100 100
100
100
84
96
0
0
0
0
0
0
0
0
100 100 100 100 100 100 100 100 100
Pada perlakuan kontrol, 0,06, 0,6, dan 6 ppm setelah jam ke-96 mortalitas
ikan uji tetap 0%. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas media pemeliharaan dan
vitalitas ikan selama pengujian dalam kondisi yang baik.
4.1.2
Uji Akut
Pada uji akut ini yang menjadi variabel penelitian adalah tingkat mortalitas
ikan uji pada setiap jam pengamatan, tingkat akumulasi nikel pada darah dan
daging/otot, frekuensi bukaan operkulum, dan analisis nilai LC 50 berdasarkan
dosis Ni di larutan media dan tingkat mortalitas pada setiap jam pengamatan.
39
a. Tingkat mortalitas ikan
Berdasarkan konsentrasi batas bawah dan batas atas, maka uji akut
dilakukan pada konsentrasi nikel sebesar : 10,67 ppm, 18,98 ppm, 33,76 ppm dan
60,05 ppm serta perlakuan kontrol negatif.
Respon ikan uji terhadap deretan konsentrasi pada uji akut menunjukkan
Mortalitas Ikan Nila (%)
kepekaan mortalitas yang tinggi terhadap daya toksik nikel (Gambar 3).
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
jam ke-24
jam ke-48
0 ppm
10.67 ppm
33.76 ppm
60.05 ppm
jam ke-72
jam ke-96
18.98 ppm
Gambar 3. Persentase tingkat mortalitas ikan nila GIFT selama uji akut
pemaparan nikel
Pada konsentrasi 60,05 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 13,3 % setelah 24
jam dan mencapai 100% setelah 48 jam pemaparan. Pada konsentrasi 10,67 ppm,
mortalitas ikan uji masih 0 % setelah 24 dan 48 jam pemaparan, 20 % setelah 72
jam, dan 23,33 % setelah 96 jam pemaparan. Pada kontrol, mortalitas ikan uji
sampai jam ke-96 setelah pemaparan nikel yaitu 0% (Lampiran 2), yang
menunjukkan bahwa kualitas media pemeliharaan dan vitalitas ikan selama
pengujian dalam kondisi yang baik.
Sifat toksisitas akut nikel relatif tinggi terhadap ikan nila diduga karena
rendahnya tingkat kemampuan adaptasi ikan nila untuk memperkecil efek
perubahan fisiologis yang ditimbulkan nikel yang masuk kedalam tubuh, sehingga
menyebabkan turunnya kemampuan menyerap oksigen dari lingkungan.
Sementara saat ikan dalam kondisi stres, metabolisme tubuhnya akan meningkat
dan kebutuhan oksigen akan meningkat pula yang diperlukan dalam
mempertahankan homeostatis. Gerberding (2005) melaporkan bahwa meskipun
40
organisme biasanya mengembangkan perlawanan setelah beberapa saat terpapar
oleh nikel, akan tetapi kemampuan mengembangkan perlawanan tersebut
ditentukan oleh spesies ikan dan efek toksik yang ditimbulkan. Demikian pula
Rand dan Petrocelli (1985) menyatakan bahwa pengaruh bahan toksik terhadap
suatu organisme akan terlihat dalam waktu pemaparan yang berbeda.
Pengambilan awal logam berat oleh ikan nila dapat melalui empat proses utama
yakni melalui insang, permukaan tubuh, mekanisme osmoregulasi dan penyerapan
melalui makanan. Pengaruh tersebut ditentukan oleh sifat toksik logam berat nikel
dan keberhasilan tubuh ikan nila melakukan proses detoksifikasi dan ekskresi,
sehingga pengaruh sifat toksik nikel terhadap tubuh ikan nila masih dapat ditolerir
oleh tubuh atau telah melewati ambang batas sehingga mengakibatkan kematian.
Menurut Connel dan Miller (1995), bahwa secara fisiologis, kehadiran xenobiotik
dalam tubuh ikan merangsang ikan melakukan perlawanan untuk meminimalisir
dampak racun yang ditimbulkan. Perlawanan tersebut dilakukan melalui proses
biotransformasi, detoksifikasi dan ekskresi. Lebih lanjut dikatakan bahwa
kemampuan organisme melakukan perlawanan ditentukan oleh konsentrasi dan
sifat toksik yang ditimbulkan, yaitu semakin tinggi konsentrasi dan sifat toksik
yang dimiliki oleh toksikan maka kemampuan organisme melakukan perlawanan
akan semakin kecil.
Respon tingkah laku ikan uji memperlihatkan bahwa semakin tinggi
tingkatan konsentrasi maka terjadi perubahan tingkah laku, antara lain gerakan
berenang yang tidak teratur, cenderung berada dipermukaan, adanya gerakan
seperti terkejut-kejut, frekuensi gerak operculum terus menerus dengan bukaan
yang lebih lebar, selanjutnya ikan cenderung diam dan kehilangan refleks dan
akhirnya menjadi kaku/mati. Respon tersebut karena adanya pengaruh sifat nikel
yang menyerang sistem saraf pusat sebagai jaringan sasaran. Pernyataan tersebut
didukung oleh Connel dan Miller (1995) bahwa suatu organisme pada saat
terpapar logam berat, akan mengganggu kerja sistem saraf pusat. Nikel yang
terpapar pada ikan nila GIFT dapat menghambat kerja asetilkolinesterase (AChE),
sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh) dalam susunan saraf pusat.
Akumulasi tersebut akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang sampai
menyebabkan ikan uji menjadi kaku. Akumulasi asetilkolin pada neuromusculer
41
akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya
refleks dan paralisis.
b. Akumulasi nikel dalam darah dan daging
Biota laut yang hidup di perairan tercemar secara biologis akan
mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan tubuhnya, semakin tinggi
tingkat pencemaran suatu perairan maka semakin tinggi pula kadar logam berat
yang terakumulasi dalam tubuh hewan air yang hidup di dalamnya (Bryan 1976,
diacu dalam Salamah 2002).
Menurut Mokoagouw (2000), ikan umumnya
mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke
ginjal.
Bentuk logam berat anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian
ditransfer ke ginjal dan diekskresikan.
Namun, logam organik tidak
diekskresikan, tetapi terakumulasi dalam jaringan otot.
Selain itu, masuknya
logam berat dalam tubuh ikan juga dapat melalui rantai makanan.
•
Darah
Pada perlakuan dengan dosis nikel 60,05 ppm, tingkat akumulasi rata-rata
nikel pada darah ikan nila mencapai 121,38 mg/kg. Pada perlakuan 33,76 ppm,
18,98 ppm, dan 10,67 ppm, tingkat akumulasi rata-rata berturut-turut mencapai
103,26 mg/kg, 86,82 mg/kg, dan 45,58 mg/kg. Pada kontrol, tidak terdeteksi
Konsentrasi Ni (mg/kg) dalam
Darah
adanya nikel.
140
a
120
b
100
c
80
60
d
40
20
e
0
perlakuan
0 ppm
10.67 ppm
18.98 ppm
33.76 ppm
60.05
*) angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukan beda nyata (P< 0,05)
Gambar 4.
42
Tingkat akumulasi nikel pada darah ikan nila selama uji akut
pemaparan nikel.
• Daging
Pada perlakuan dengan dosis nikel 60,05 ppm, tingkat akumulasi rata-rata
nikel pada darah ikan nila mencapai 73,37 mg/kg, sedangkan pada perlakuan
33,76 ppm, 18,98 ppm, dan 10,67 ppm, tingkat akumulasi rata-rata berturut-turut
mencapai 56,08 mg/kg, 42,00 mg/kg , dan 32,90 mg/kg. Pada kontrol, tidak
terdeteksi adanya nikel.
a
Konsentrasi (mg/kg) Ni
dalam Daging
80
70
b
60
50
c
d
40
30
20
10
e
0
perlakuan
0 ppm
10.67 ppm
18.98 ppm
33.76 ppm
60.05 ppm
*) angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukan beda nyata (P< 0,05)
Gambar 5. Tingkat akumulasi nikel pada daging/otot ikan nila selama uji akut
pemaparan nikel.
c. Frekuensi bukaan operculum
Frekwensi Rata-rata Gerak
Operculum kali/menit
120
100
80
a
a
a
b
a
cd
60
e
b
b c
d
ba
c
e
d
b
c
c
dd
dd
e
40
20
0
siang
0 ppm
10.67 ppm
sore
malam
18.98 ppm
subuh
33.76 ppm
pagi
60.05 ppm
*) angka yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P > 0,05)
Gambar 6. Rata-rata frekuensi pergerakan operculum ikan nila selama uji akut
pemaparan nikel.
43
Gerak operculum pada konsentrasi tinggi memperlihatkan frekuensi yang
lebih rendah dengan bukaan operculum yang lebih lebar/luas dibanding kontrol.
Perbedaan ini juga terjadi pada konsentrasi yang sama pada waktu pengamatan
yang berbeda (siang, sore, malam, subuh, dan pagi hari).
Secara berturut-turut
frekuensi gerak operculum rata-rata per menit pada setiap perlakuan di setiap
waktu pengamatan adalah: Perlakuan A yaitu 98,33, 85,67, 102,33, 68,33, dan
102,67; Perlakuan B yaitu 86,67, 64,67, 83,67, 71,67, dan 72,00; Perlakuan C
yaitu 74,67, 61,67, 61,67, 62,33, dan 62,33; Perlakuan D yaitu 70,67, 57,00,
50,00, 53,67, dan 54,33; dan Perlakuan E yaitu 64,67, 52,00, 29,33, 48,00, dan
52,00. Tingkah laku ini diduga untuk mempertahankan terpenuhinya kebutuhan
oksigen pada kondisi insang mulai tertutup oleh lendir akibat sifat toksik yang
ditimbulkan oleh nikel. Tingkah laku ini untuk meningkatkan suplai oksigen yang
dibutuhkan oleh proses biokimia tubuh sebagai pola adaptasi fisiologi sehingga
dapat bertahan hidup atau memperlambat efek kematian. Respon fisiologi ini
diikuti dengan menurunnya nafsu makan dan umumnya ikan uji cenderung lebih
banyak berada di tengah dan permukaan akuarium. Mortalitas ikan uji mulai
terlihat 8 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi 60,05 ppm, 16 jam setelah
pemaparan nikel pada konsentrasi 33,76 ppm, 18 jam setelah pemaparan nikel
pada konsentrasi 18,98 ppm, dan 30 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi
10,67 ppm.
a
a
b
b
d. Nilai LC 50
Hasil analisis (Lampiran 6, 7, 8 dan 9) menunjukkan nilai LC 50 pada waktu
pemaparan 24, 48, 72 dan 96 jam berturut-turut adalah 31,42 ppm, 17,17 ppm,
dan 13,93 ppm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin lama waktu
pemaparan maka nilai LC 50 nikel terhadap ikan nila akan semakin rendah.
Nilai LC 50 -96 jam nikel pada ikan nila GIFT sebesar 13,93 ppm, lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai LC 50 -96 jam nikel pada Clarias gariepinus
sebesar 8,87 ppm (Isaac 2009). Sebaliknya nilai LC 50 -96 jam nikel pada ikan nila
GIFT lebih rendah, jika dibandingkan dengan nilai LC 50 -96 jam nikel pada udang
laut yaitu 15 – 30 ppm (Deleebeeck et al. 1995). Namun pada LC 50 -48 yaitu
31,42 ppm, lebih rendah dibandingkan dengan LC 50 -48 jam juvenil abalon yaitu
26,43 ppm (Hunt et al. 2002). Selanjutnya nilai LC 50 -96 jam yang didapat dalam
44
penelitian ini (13,93 ppm) masih sedikit lebih besar apabila dibandingkan LC 50 -96
jam timbal (Pb) yang dipaparkan pada ikan bandeng pada salinitas 16 ppt yaitu
13,43 ppm (Siahaan 2003). Dari nilai LC 50 -96 jam yang diperoleh dapat dikatakan
bahwa nikel bersifat toksik tinggi terhadap ikan nila. Klasifikasi toksisitas oleh
WHO dan EPA bahwa rentang nilai LC 50 -96 jam pada konsentrasi antara 1–50
ppm dikategorikan bersifat toksik yang tinggi (Balazs 1970).
Konsentrasi Nikel (ppm)
40
35
30
25
y = -8.745x + 38.33
R² = 0.883
20
15
10
5
0
48
72
96
Waktu Pemaparan (jam)
Nilai LC50
Nilai Batas Atas
Linear (Nilai LC50)
Gambar 7.
Nilai Batas Bawah
Linear (Nilai LC50)
Nilai LC 50 ikan nila pada uji akut pemaparan nikel
Pengaruh bahan toksik dalam waktu singkat dapat diketahui dengan
menghitung nilai LC 50 suatu subtansi terhadap satu atau beberapa spesies. LC 50
adalah konsentrasi suatu bahan kimia dalam air yang dapat mematikan 50% dari
populasi organisme dalam waktu pemaparan tertentu (OECD 1981, diacu dalam
Siahaan 2003). Menurut Connel dan Miller (1995), dampak mematikan suatu
bahan toksik merupakan tanggapan yang terjadi akibat zat-zat xenobiotik tertentu
mengganggu proses sel dalam mahluk hidup yang melebihi batas toleransi
sehingga menyebabkan kematian secara langsung.
Meskipun belum ditemukan penelitian tentang manfaat spesifik logam berat
nikel bagi ikan, tetapi Menurut Conard (2005), nikel dalam jumlah kecil
dibutuhkan oleh tubuh organisme. Fitoplankton mengandung 1-10 ppb nikel,
lobster mengandung 0,14-60 ppb nikel, moluska 0,1-850 ppb, dan ikan antara
0,1 - 110 ppb. Lebih lanjut dikatakan bila terdapat dalam jumlah yang terlalu
45
tinggi dapat merusak fungsi ginjal, meyebabkan kehilangan keseimbangan,
menyebabkan kegagalan respirasi serta merusak hati dan insang.
4.1.3
Uji Sub-Kronik
a. Tingkat konsumsi oksigen
Kebutuhan oksigen biologi didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang
diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi
aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan
oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses
oksidasi. Banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh biota akuatik dalam waktu
tertentu berhubungan linear dengan banyaknya oksigen terlarut di perairan
tersebut.
Tabel 3. Rata – rata tingkat konsumsi oksigen ikan nila selama 30 hari pemaparan
nikel
TKO (mg O2/gr tubuh ikan/jam)
Ikan Uji pada Hari Ke 1 – 32
Perlakuan
A (0.00 ppm)
B (1,39 ppm)
C (4,18 ppm)
1
0.49
0.46
0.47
8
0.49
0.3
0.23
16
0.45
0.26
0.22
24
0.44
0.23
0.2
32
0.43
0.21
0.14
*) angka dengan kolom sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05)
Pengamatan tingkat konsumsi oksigen pada pengukuran hari pertama
setelah beberapa jam ikan terekspose oleh nikel menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar perlakuan pada analisis statistik dengan uji Anova.
Pada
pengukuran hari ke 8, 16, 24, dan 32 uji Anova dan uji Tukey menunjukkan
adanya perbedaan signifikan antara ketiga perlakuan
(gambar 14).
Secara
keseluruhan pada perlakuan dengan nikel, tingkat konsumsi oksigen ikan nila
mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu pemaparan. Pada perlakuan
dengan konsentrasi 4,18 ppm mengalami penurunan dari 0,47 pada pengamatan
H-1 menjadi 0,14 pada pengamatan H-32, perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm
mengalami penurunan dari 0,46 pada pengamatan H-1 menjadi 0,21 pada
pengamatan H-32, dan pada kontrol (0,00 ppm), mengalami penurunan yang
46
relatif stabil yaitu 0,49 pada pengamatan H-0 menjadi 0,45 pada pengamatan H-32
(Tabel 4 dan gambar 14).
TKO
(mg O2/gr tubuh ikan/jam)
0,6
0,5
a
a a
a
a
a
a
0,4
b
0,3
c
b
b
b
0,2
b
b
c
0,1
0
0
8
16
24
32
Waktu Pemaparan (hari)
0 ppm
1.39 ppm
4.18 ppm
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05)
Gambar 8. Konsumsi oksigen ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel
Hasil penelitian memberikan indikasi adanya kecenderungan terhadap
turunnya tingkat konsumsi oksigen seiring dengan meningkatnya konsentrasi
nikel dan bertambahnya lama waktu pemaparan. Perbedaan tingkat konsumsi
oksigen diakibatkan oleh kerusakan insang dan kemampuan darah untuk mengikat
oksigen semakin kecil dengan semakin tingginya toksisitas nikel. Akibat
meningkatnya konsentrasi nikel, dimana akibat keracunan nikel ikan uji
mengalami gangguan pada proses pernafasan dan metabolisme tubuhnya. Hal ini
terjadi karena bereaksinya logam berat nikel dengan lendir insang, sehingga
insang diseliputi oleh lendir yang mengandung nikel yang mengakibatkan proses
pernafasan dan metabolisme tubuh menjadi terganggu. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Heath (1987), bahwa logam berat dapat menyebabkan kerusakan
insang seperti nekrosis dan lepasnya lapisan epitelium. Sejalan pula dengan
laporan Wardoyo (1987) bahwa salah satu jaringan tubuh organisme yang cepat
terakumulasi logam berat adalah jaringan insang, menyebabkan terganggunya
proses pertukaran ion-ion dan gas-gas melalui insang.
47
b. Kondisi hematologi
Data hematologi yang meliputi kadar hematokrit, hemoglobin, jumlah
eritrosit, dan jumlah leukosit dengan konsentrasi nikel 0,00 ppm, 1,39 ppm, dan
4,18 ppm dapat dilihat pada Tabel 5; dan Gambar 8, 9 10, 11, dan Gambar 12,
serta Lampiran 9, 10, 11, 12 dan 13.
Tabel 4. Rata-rata hematokrit, hemoglobin, eritrosit, dan leukosit darah ikan nila
setelah 30 hari pemaparan nikel
Konsentrasi
(ppm)
A (0,00)
B (1,39)
C (4,18)
Hematokrit
(%)
26,55±0,87a
20,19±0,19b
16,48±1,90b
Hemoglobin
(%)
6,93±0,46a
3,80±0,20b
2,80±0,20b
Eritrosit
(106 sel/mm3)
1,26±0,03a
1,18±0,08b
1,15±0,05b
Leukosit
(104 sel/mm3)
7,21±0,36a
8,98±0,58b
8,73±0,20c
*) angka dengan kolom sama yang diikuti huruf berbeda menunjukkan beda nyata (P<0,05)
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh toksisitas nikel pada
ikan nila berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar hematokrit, hemoglobin,
jumlah eritrosit dan jumlah leukosit.
•
Hematokrit
Hematokrit (Hct) atau volume packed cell merupakan persentase darah yang
dibentuk oleh eritrosit.
Pengukuran ini merupakan persentase eritrosit dalam
darah lengkap setelah spesimen darah disentrifugasi. Data kadar hematokrit
menunjukkan hubungan kadar hematokrit pada semua perlakuan pemaparan nikel
sampai pengukuran hari ke-30, yaitu makin tinggi perlakuan konsentrasi nikel
yang dipaparkan maka kadar hematokrit ikan uji akan lebih rendah. Berbeda
dengan perlakuan kontrol, kadar hematokrit terukur menunjukkan nilai yang
relatif stabil (Gambar 9 dan Lampiran 12).
48
Kadar Hematokrit Rata-rata (%)
35
30
a a a
25
a
a
a
b b
20
b
b
b
15
c
10
5
0
H-0
H-10
H-20
H-30
0 ppm
1.39 ppm
4.18 ppm
Linear (0 ppm)
Linear (1.39 ppm)
Linear (4.18 ppm)
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P>0,05)
Gambar 9. Rata-rata Hematokrit darah ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel.
Pada pengamatan hari ke-30, kadar hematokrit paling rendah ditemukan
pada perlakuan dengan konsentrasi 4,18 ppm dengan kadar hematokrit 16,48%,
kemudian disusul perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm dengan kadar
hematokrit 20,19%, dan perlakuan dengan konsentrasi 0,00 ppm dengan kadar
hematokrit 26,55%. Selanjutnya nilai rata-rata kadar hematokrit pada pengamatan
hari ke 0, 10, dan 20 untuk setiap perlakuan berturut-turut yaitu: perlakuan 4,18
ppm dengan kadar hematokrit 29,50%, 28,45%, dan 10,31%; perlakuan 1,39 ppm
dengan kadar hematokrit 30,62%, 20,00%, dan 19,39%; dan perlakuan 0,00 ppm
dengan kadar hematokrit 29,87%, 19,92%, dan 31,06%. Hasil analisis statistik
menunjukkan kadar hematokrit berbeda nyata antar perlakuan. Hasil uji lanjut
dengan uji Tukey ditunjukkan dengan pemberian notasi yang berbeda untuk
menandakan perbedaan yang signifikan antar perlakuan dan dengan notasi yang
sama untuk perbedaan yang tidak signifikan (Gambar 9).
Kenyataan ini
menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan, pengaruh lanjut toksisitas nikel
mulai pada konsentrasi 1,39 ppm dapat menurunkan kadar hematokrit darah ikan
nila.
•
Haemoglobin
Haemoglobin (Hb) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah
merah, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Fungsi utama
haemoglobin adalah transpor O 2 dan CO 2 . Data hasil penelitian menunjukkan
49
penurunan kadar haemoglobin pada semua perlakuan pemaparan nikel sampai
pengukuran hari ke-30, yaitu makin tinggi perlakuan konsentrasi nikel yang
dipaparkan maka kadar haemoglobin ikan uji akan lebih rendah. Berbeda dengan
perlakuan kontrol, kadar haemoglobin terukur meskipun mengalami penurunan
tetapi nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pemaparan nikel dan
pengukuran pada hari ke-30 kadarnya lebih tinggi dibandingkan pada pengukuran
Kadar Hemoglobin Rata-rata (%)
hari ke-20 yaitu 6,33 % (Gambar 10 dan Lampiran 13).
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
a
a
a
a
a
a
b
b
a
ab
b
b
H-0
H-10
H-20
H-30
0 ppm
1.39 ppm
4.18 ppm
Linear (0 ppm)
Linear (1.39 ppm)
Linear (4.18 ppm)
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05)
Gambar 10.
Rata-rata kadar hemoglobin darah ikan nila selama 30 hari
pemaparan nikel.
Pada pengamatan hari ke-30, kadar haemoglobin paling rendah ditemukan
pada konsentrasi 4,18 ppm dengan kadar hemoglobin 2,80%, diikuti perlakuan
1,39 ppm dengan kadar hemoglobin 3,80%, dan kontrol dengan kadar hemoglobin
6,93% selanjutnya kadar hemoglobin setiap perlakuan pada setiap hari
pengamatan (hari ke-0, hari ke-10, dan hari ke-20) berturut-turut yaitu: perlakuan
4,18 ppm dengan kadar hemoglobin 7,97%, 4,00%, dan 6,00%; perlakuan 1,39
ppm dengan kadar hemoglobin 7,47%, 4,90%, dan 6,50%; dan kontrol dengan
kadar hemoglobin 7,43%, 7,67%, dan 7,20%.
Hasil analisis statistik
menunjukkan perbedaan kadar hemoglobin yang signifikan antar perlakuan,
(Gambar 10). Kenyataan ini menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan,
50
pengaruh lanjut toksisitas nikel mulai pada konsentrasi 1,39 ppm dapat
menurunkan kadar haemoglobin darah ikan nila.
•
Eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah (SDM) berbentuk cakram bikonkaf tidak
berinti yang berdiameter ± 8 µm, tebal bagian tepi 2 µm dan ketebalan bagian
tengah berkurang menjadi 1 µm. Komponen utama eritrosit adalah hemoglobin
protein yang mengangkut sebagian besar oksigen (O 2 ) dan sebagian kecil fraksi
karbon dioksida (CO 2 ). Data hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar
eritrosit pada kontrol (0,00 ppm) pada pengamatan hari ke-30 yaitu sebesar 0,01 x
106 sel/mm3. Pada pemaparan nikel konsentrasi 1,39 ppm dan 4,18 ppm
mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,08 x 106 sel/mm3 dan 0,09 x 106
sel/mm3. Selanjutnya kadar eritrosit setiap perlakuan pada setiap hari pengamatan
(hari ke-0, hari ke-10, dan hari ke-20) berturut-turut yaitu: perlakuan dengan
konsentrasi 4,18 ppm dengan kadar eritrosit 1,24 x 106 sel/mm3, 1,14 x 106
sel/mm3, dan 1,14 x 106 sel/mm3; perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm dengan
kadar eritrosit 1,26 x 106 sel/mm3, 1,18 x 106 sel/mm3, dan 1,19 x 106 sel/mm3,
dan kontrol (0,00 ppm) dengan kadar eritrosit 1,25 x 106 sel/mm3, 1,28 x 106
Kadar Rata-rata Eritrosit
(106sel/mm3 )
sel/mm3, dan 1,28 x 106 sel/mm3 (Gambar 11 dan Lampiran 14).
1,3
1,25
a
a
a
a
a
a
b
b
1,2
c
1,15
b
c
c
1,1
1,05
H-0
H-10
H-20
H-30
0 ppm
1.39 ppm
4.18 ppm
Linear (0 ppm)
Linear (1.39 ppm)
Linear (4.18 ppm)
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05)
Gambar 11. Rata-rata jumlah eritrosit darah ikan nila selama 30 hari pemaparan
nikel.
51
Hasil analisis statistik menunjukkan jumlah eritrosit berbeda nyata antar
perlakuan (P < 0,05). Hasil uji lanjut menunjukan perbedaan yang signifikan
antara perlakuan pada seluruh hari pengamatan kecuali pada hari pertama
pengamatan (gambar 11). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengaruh lanjut
toksisitas nikel pada konsentrasi yang semakin tinggi (mulai 1,39 ppm) dapat
menurunkan jumlah eritrosit darah ikan nila.
•
Leukosit
Jumlah total leukosit bervariasi antar spesies ikan, dipengaruhi oleh umur
ikan. Saat ikan lahir jumlahnya lebih tinggi, kemudian secara bertahap menurun
sampai nilai dewasa yaitu pada umur 2–12 bulan.
Jumlah Rata-rata Leukosit
(104sel/mm3)
14
a
12
10
8
a a a
b
b
a a
a
b b
b
6
4
2
0
H-0
H-10
H-20
H-30
0 ppm
1.39 ppm
4.18 ppm
Linear (0 ppm)
Linear (1.39 ppm)
Linear (4.18 ppm)
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05)
Gambar 12. Rata-rata jumlah leukosit darah ikan nila selama 30 hari pemaparan
nikel.
Secara umum data hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar leukosit
signifikan pada semua konsentrasi nikel, sedangkan kontrol menunjukan
perubahan yang relatif stabil. Jumlah leukosit tertinggi terdapat pada konsentrasi
4,18 ppm pada pengamatan hari ke-10 dengan kadar leukosit 12,21 x 104 sel/mm3,
diikuti perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm dan 0,00 ppm (kontrol) dengan
kadar leukosit masing-masing 8,98 x 104 sel/mm3 dan 7,21 x 104 sel/mm3, masingmasing pada pengamatan hari ke-30. Selanjutnya kadar leukosit setiap perlakuan
pada setiap hari pengamatan (hari ke-0, hari ke-10, hari ke-20, dan hari ke-30)
berturut-turut yaitu: perlakuan dengan konsentrasi 4,18 ppm yaitu 6,24 x 104
52
sel/mm3, 12,21 x 104 sel/mm3, 8,53 x 104 sel/mm3, dan 8,73 x 104 sel/mm3;
perlakuan dengan konsentrasi 1,39 ppm yaitu 6,27 x 104 sel/mm3, 7,56 x 104
sel/mm3, 6,57 x 104 sel/mm3, dan 8,98 x 104 sel/mm3; dan kontrol (0,00 ppm)
yaitu 6,25 x 104 sel/mm3, 6,22 x 104 sel/mm3, 6,82 x 104 sel/mm3, dan 7,21 x 104
sel/mm3 (Gambar 12 dan Lampiran 15).
Hasil analisis statistik menunjukkan jumlah leukosit berbada nyata antar
perlakuan (P > 0,05). Hasil uji lanjut dengan uji Tukey menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara perlakuan pada pengamatan hari ke-20 dan hari ke-30,
sedangkan hari ke-0 dan hari ke-10 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
(Gambar 12). Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengaruh lanjut toksisitas nikel
mulai pada konsentrasi 1,39 ppm dapat meningkatkan jumlah leukosit darah ikan
nila.
c. Kondisi histopatologi (insang dan hati)
Tabel 5. Kondisi jaringan pada organ hati dan insang
Jenis Organ/
Kerusakan
Hati
Edema
Kongesti
Hemoragi
Nekrosis
Insang
Lamela primer
Lamela sekunder
Epitel lifting
Edema
Mineralisasi
Hyperplasia
Hypertropi
Fusi lamela
•
1
A
2
3
Perlakuan
B
1
2
3
-
-
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
-
-
√
√
√
√
-
√
√
√
√
-
√
√
√
√
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
1
C
2
3
Hati
Hati merupakan organ yang sangat rentan terhadap pengaruh zat kimia dan
menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia (toksikan). Struktur utama
hati adalah sel hati atau hepatosit yang bertanggung jawab terhadap peran sentral
hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang berisi darah
53
dan saluran empedu. Selkupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian
penting dalam sistem retikuloendotelial tubuh. Selkupffer merupakan sistem
monositmakrofag dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing
lain dalam darah, sehingga hati merupakan salah satu organ utama sebagai
pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik (Anderson 1995). Takashima
dan Hibiya (1995) menyatakan perubahan histologis pada hati ikan adalah
terjadinya : cloudy swelling yaitu sel hati terlihat agak keruh, sitoplasma keruh
dan bergranular. Hal tersebut disebabkan oleh munculnya butir hyalin eosinefil
dalam sitoplasma, atropi pada sel hati, pengerutan sel, nukleus dan nukleulus
seringkali menjadi mengecil, nekrosis, degenerasi vakuola, degenerasi lemak,
stagnasi empedu dan gangguan aliran darah pada sinusoid atau vena.
Kerusakan pada hati menyebabkan terganggunya berbagai fungsi hati.
Kerusakan hepatosit menurut Ressang (1984) dapat dibagi menjadi dua yaitu
taksohepatik dan trofohepatik. Kerusakan akibat taksopatik disebabkan oleh
pengaruh langsung dari agen yang toksik, baik berupa zat kimia maupun kuman.
Kerusakan akibat trofopatik disebabkan adanya kekurangan faktor-faktor penting
untuk kehidupan sel seperti oksigen atau zat makanan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Connel and Miller (1995) menyatakan bahwa toksikan
dapat menyebabkan gangguan pada metabolisme lemak, karbohidrat, biosintesis
protein dan sistem enzim mikrosomal. Menurut Ressang (1984), sirosis hati pada
hewan akan menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi hati,
terganggunya produksi dan aliran empedu serta peredaran darah.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kondisi hati ikan nila pada kontrol
(0,00 ppm) memperlihatkan bentuk histologi yang normal dengan penampakan
inti sel, vena sentralis, dan sinusoid pada komposisi lobulus hati. Pada hati ikan
dengan perlakuan nikel mengalami kerusakan jaringan. Berupa kongesti
(pembendungan), hemoragi, dan nekrosis. Jumlah dari masing-masing parameter
kerusakan hati yang ditimbulkan semakin tinggi seiring peningkatan konsentrasi
nikel.
Menurut Ressang (1984), kongesti adalah terjadinya pembendungan darah
pada hati yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan
kekurangan oksigen dan zat gizi. Kongesti didahului dengan pembengkakan sel
54
hati yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu.
Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat.
Hemoragi adalah keluarnya darah dari sirkulasi kardiovaskuler dan biasanya
terdapat kerusakan pada susunan kardiovaskuler tersebut (arteri, vena dan
kapiler). Nekrosis adalah terjadinya kematian sel hati. Kematian sel terjadi
bersama dengan pecahnya membran plasma. Tingkat kerusakan hati dibagi
menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam
tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang
yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau
nekrosis (Darmono, 1995).
•
Insang
Menurut Takashima dan Hibiya (1995), perubahan histologi pada insang
meliputi tiga hal, yaitu :
1) Perubahan-perubahan yang bersifat regresif, seperti edema pada epitel insang,
vakuolisasi, nekrosispada lamela sekunder, kematian sel mukus, dan sekresi
berlebihan. Kerusakan yang serius adalah mengelupasnya epitel dari lamela
sekunder, nekrosis pada sel pillar dan terjadinya pendarahan serta distorsi pada
lamela sekunder.
2) Gangguan dan kerusakan pada sistem resirkulasi
3) Perubahan-perubahan yang bersifat progresif, seperti hipertropi pada permukan
epitel lamela primer dan sekunder adalah tanda-tanda awal dari ikan yang
terekspos bahan-bahan kimia maupun pengaruh fisik.
Pengamatan histologi insang ikan nila memperlihatkan bahwa pada ikan
yang diberi logam berat nikel mengalami perubahan-perubahan seperti hiperlasi,
mineralisasi, epitel lifting, fusi lamela, dan hipertropi. Peningkatan jumlah dari
masing-masing parameter kerusakan pada jaringan insang berbanding lurus
dengan peningkatan konsentrasi nikel yang dipaparkan.
Kerusakan
pada
insang
mengakibatkan
terganggunya
mekanisme
pernapasan pada ikan. Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa kerusakan
pada sistem pernapasan dapat menyebabkan terhambatnya sistem transpor
elektron dan fosforilasi oksidatif pada rantai pernapasan yang pada akhirnya
mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan.
55
d. Pertumbuhan
• Pertumbuhan bobot mutlak
Data penelitian menunjukan kecenderungan terhadap turunnya pertumbuhan
seiring dengan meningkatnya konsentrasi nikel dalam air.
Setelah 30 hari
pemaparan nikel, pada perlakuan 0,00 ppm (kontrol) pertumbuhan mutlak
mencapai 4,19 gram/ekor, sedangkan pada perlakuan dengan dosis 1,39 ppm dan
4,18 ppm pertumbuhan rata-rata berat mutlak masing-masing turun menjadi 2,05
gram/ekor dan 0,76 gram/ekor.
Hasil analisa statistik dengan uji Anova
menunjukan ketiga perlakuan berbeda nyata (P < 0,05). Uji lanjut dengan uji
Tukey juga menunjukan perbedaan yang signifikan antara ketiga perlakuan
Pertumbuhan Berat (gram/hari)
(Gambar 13 dan Lampiran 15).
a
4,5
4
3,5
3
2,5
b
2
1,5
c
1
0,5
0
0 ppm
1.39 ppm
4.18 ppm
Gambar 13. Rata – rata pertumbuhan bobot mutlak ikan nila selama 30 hari
pemaparan nikel.
56
Laju pertumbuhan spesifik
Laju Pertumbuhan Spesifik
(gram/hari)
•
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
a
a
a
b
H-08
a
a
a
b
a
H-16
0 ppm
4. 18 ppm
Linear ( 1.39 ppm)
b b
b
H-24
H-32
1.39 ppm
Linear (0 ppm)
Linear ( 4. 18 ppm)
Gambar 15. Rata – rata laju pertumbuhan spesifik (LPS) ikan nila selama 30 hari
pemaparan nikel.
Data penelitian menunjukkan adanya kecenderungan terhadap turunnya laju
pertumbuhan harian seiring dengan meningkatnya konsentrasi nikel dalam air.
Stelah 30 hari pemaparan nikel, pada perlakuan 0,00 ppm (kontrol) pertumbuhan
mutlak mencapai 4,19 gram/ekor, sedangkan pada perlakuan dengan dosis 1,39
ppm dan 4,18 ppm pertumbuhan rata-rata berat mutlak masing-masing turun
menjadi 2,05 gram/ekor dan 0,76 gram/ekor. Hasil analisa statistik dengan Anova
menunjukan respon pertumbuhan dengan perbedaan signifikan antar perlakuan
(P < 0,05).
Uji lanjut dengan uji Tukey juga menunjukan perbedaan yang
signifikan antara ketiga perlakuan (gambar 14 dan lampiran 15).
Tingkat Kelangsungan
Hidup (%)
e. Kelangsungan hidup (SR)
95,5
95
94,5
94
93,5
93
92,5
92
perlakuan
0 ppm
1.39 ppm
4.18 ppm
Gambar 15. Rata – rata derajat kelangsungan hidup ikan nila selama 30 hari
pemaparan nikel.
57
Data penelitian menunjukan derajat kelangsungan hidup yang relatif stabil
pada semua perlakuan dan ulangan. Pada perlakuan dengan konsentrasi nikel 1,39
ppm dan 4,18 ppm, derajat kelangsungan hidup ikan nila GIFT masing-masing
93,33%, sedangkan pada kontrol (0,00 ppm) derajat kelangsungan hidup ikan nila
GIFT adalah 95%.
Hasil uji statistik dengan Anova, ketiga perlakuan tidak
berbeda nyata (P > 0,05). Berdasarkan data penelitian, dapat diartikan bahwa
pada media dengan konsentrasi nikel 1,39 ppm dan 4,18 ppm, ikan nila GIFT
masih dapat mempertahankan diri dari kematian.
f. Kualitas air (suhu, DO, CO 2 , pH, alkalinitas, dan kesadahan)
Kisaran nilai rata-rata parameter kualitas air selama penelitian dapat dilihat
pada tabel 6.
Tabel 6. Kiasaran rata-rata nilai beberapa parameter kimia dari kualitas air media
selama uji sub kronik
Parameter Kualitas Air
Suhu (oC)
DO (mg/L)
CO 2 (mg/L)
pH
Alkalinitas (mg/L)
Amoniak (mg/L)
Kesadahan (mg/L)
4.2
A
28 – 30
5.70-7.02
9.98
7.45-8.02
18-24
0.97-1.16
57.66
Perlakuan
B
28 – 30 oC
5.70-7.01
11.98
7.21-7.90
18-20
1.03-1.14
57.66
C
28 – 30 oC
5.70-7.01
12.98
7.30-7.90
18-22
0.90-1.01
57.66
Pembahasan Umum
Logam berat nikel (Ni) masuk ke dalam tubuh ikan nila dapat melalui tiga
cara yaitu secara langsung melalui insang dan kulit, dan secara tidak langsung
melalui makanan pada proses rantai makanan. Karena sifatnya yang toksik, nikel
akan mempengaruhi berbagai proses biokimia dan fisiologi pada jaringan tubuh
ikan seperti konsumsi oksigen, sistem hematologi, sistem histopatologi, proses
bioakumulasi, laju pertumbuhan, dan kelangsungan hidup ikan nila. Pencemaran
seperti logam berat atau logam masuk ke dalam tubuh melalui mulut, insang, dan
kulit (Darmono 1995, diacu dalam Jalius 2008). Ikan yang hidup pada media
yang tercemar oleh logam berat, secara alami akan mengakumulasi logam berat ke
dalam tubuhnya, baik secara langsung melalui permukaan kulit dan insang
maupun melalui makanannya (Anonim 2003, diacu dalam Marwati 2005).
58
Insang merupakan komponen utama bagi ikan unuk mengambil oksigen.
Pada insang, nikel (Ni2+) bereaksi dengan lendir insang dan membentuk gumpalan
lendir pada insang. Pada struktur insang ikan nila, nikel telah menyebabkan
beberapa gangguan kerusakan yaitu epitel lifting, hiperplasia, hipertropi, dan
mineralisasi. Kerusakan pada sel-sel epitel yang merupakan penyusun struktur
lamela akan terganggunya fungsi lamela sebagai tempat pertukaran gas pada
insang. Hal ini sesuai pernyataan Anonim (1985), bahwa kematian organisme
khususnya ikan akibat logam berat dapat terjadi karena bereaksinya kation logam
berat dengan oksigen dan fraksi tertentu dari lendir, sihingga menyebabkan insang
diselimuti gumpalan lendir logam berat. Oksigen merupakan komponen yang
utama bagi pernapasan, metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian
menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan serta untuk oksidasi
bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Insang merupakan
komponen penting dalam proses pertukaran gas (Harder 1975, diacu dalam
Funjaya 2004). Insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras
dengan beberapa filamen insang didalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas
banyak lamela yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh
struktur lamela yang tersusun atas sel-sel epitel yang tipis pada bagian luar,
membran dasar dan sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran
lamela yang tidak menempel pada lengkung insang ditutupi oleh epitelium dan
mengandung jaringan pembuluh darah kapiler.
Toksisitas logam-logam berat
yaitu melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan
kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu
terhambatnya fungsi pernafasan yakni sirkulasi dan ekskresi dari insang
(Nicodemus 2003, diacu dalam Jalius 2008).
Pada prinsipnya tingkat konsumsi oksigen merupakan gambaran dari tingkat
metabolisme ikan. Kerusakan pada struktur insang telah menyebabkan efek yang
signifikan terhadap tingkat konsumsi oksigen ikan nila GIFT. Hasil penelitian
menunjukkan adanya kecenderungan terhadap turunnya tingkat konsumsi oksigen
ikan nila GIFT seiring meningkatnya konsentrasi nikel di dalam perairan dan
semakin lamanya waktu pemaparan ikan di dalam media yang tecemar oleh nikel.
Pada awal pengamatan tingkat konsumsi oksigen rata-rata ikan nila GIFT pada
59
perlakuan 0,00 ppm (A), 1,39 ppm (B) dan 4,18 ppm (C) masing- masing 0,49
mg/gr, 0,46 mg O 2 /g Berat tubuh ikan, dan 0,47 mg O 2 /g Berat Tubuh Ikan, dan
turun menjadi masing- masing 0,43, 0,21, dan 0,14. Dua perlakuan dengan nikel
masing-masing menunjukkan penurunan tingkat konsumsi oksigen yang
signifikan, sedangkan pada perlakuan tanpa nikel (kontrol) perubahan tingkat
konsumsi oksigen ikan nila GIFT relatif stabil. Menurut Palar (2004), organisme
perairan khususnya ikan yang mengalami keracunan logam berat akan mengalami
gangguan pada proses pernafasan dan metabolisme tubuhnya, hal ini terjadi
karena bereaksinya logam berat dengan fraksi dari lendir insang sehingga insang
diseliputi oleh gumpalan lendir dari logam berat yang mengakibatkan proses
pernafasan dan metabolisme tidak berfungsi sebagaimana mestinya . Hubungan
linear antara jumlah oksigen yang terlarut dalam air dan tingkat kemampuan
konsumsi oksigen sebagaimana yang dinyatakan oleh
Evans dan Chaiborne
(2005) tidak berpengaruh terhadap penelitian ini karena kelarutan oksigen dalam
air dalam media stabil pada kisaran 5,7 – 7,02 ppm.
Karena sifatnya yang toksik, nikel yang masuk ke dalam darah melalui
insang mulai menyebabkan beberapa gangguan pada kondisi hematologi ikan.
Hasil penelitian menunjukan terjadinya perubahan beberapa parameter dari sistem
hematologi ikan nila GIFT seperti turunnya persentase kadar hematokrit dan
hemoglobin, turunnya jumlah eritrosit, dan meningkatnya jumlah leukosit.
Turunnya persentase hematokrit sampai dibawah 22% dan turunnya jumlah
eritrosit menunjukkan ikan sedang mengalami anemia, penurunan persentase
hemoglobin menyebabkan ikut turunnya kemampuan darah dalam mentranspor
oksigen, dan peningkatan terhadap jumlah leukosit merupakan indikator ikan nila
sedang mengalami stres.
Hal ini didukung oleh pernyataan Ganong (1983),
bahwa gambaran darah suatu organisme dapat digunakan untuk mengetahui
kondisi kesehatan yang sedang dialami oleh organisme tersebut. Penyimpangan
kondisi fisiologi ikan akan menyebabkan komponen-komponen darah juga
mengalami perubahan. Perubahan gambaran darah dan kimia darah, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, dapat menentukan kondisi kesehatannya. Fungsi
vital darah di dalam tubuh antara lain sebagai pengangkut zat-zat kimia seperti
hormon, pengangkut zat buangan hasil metabolisme tubuh, dan pengangkut
60
oksigen dan karbondioksida. Didukung oleh Angka et al. (1985), bahwa hasil
pemeriksaan terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah satu patokan untuk
menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang dari 22%
menunjukkan terjadinya anemia. Kadar hematokrit bervariasi bergantung pada
faktor nutrisi, umur ikan, jenis kelamin, ukuran tubuh dan masa pemijahan. Nilai
hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40% sel darah merah
(Kuswardani 2006). Diperkuat pula oleh Wedemeyer dan Yasutake (1977) dalam
Taufik (2005) bahwa seperti halnya pada hematokrit, jumlah eritrosit yang rendah
menunjukkan terjadinya anemia, sedangkan jumlah tinggi menandakan bahwa
ikan dalam keadaan stres.
Adanya hemoglobin didalam sel darah merah
memungkinkan darah mengangkut oksigen 30-100 kali dari pada yang dapat
diangkut hanya dalam bentuk oksigen terlarut dalam darah (Fujaya 2004).
Meningkatnya jumlah leukosit disebut leukositosis sedangkan penurunan disebut
leukopenia. Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan
hal yang serius, bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis secara fisiologis
mungkin terjadi sebagai reaksi “ephinephrine”, yaitu neutrofil dan limfosit
dimobilisasi kedalam sirkulasi umum sehingga menaikkan jumlah total sela darah
putih (SDP). Hal ini sering terjadi pada ikan muda dan biasanya akibat stres, juga
adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi dalam keadaan sehat
ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Leukopenia umumnya
berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral (Dierauf 1990, diacu dalam
Aliambar 1999).
Nikel yang ditranspor oleh darah dari insang akan ikut mempengaruhi
seluruh proses biokimia pada seluruh jaringan tubuh yang dilaluinya termasuk
histologi jaringan seperti insang dan hati.
Untuk mengetahui apakah terjadi
kerusakan jaringan dilakukan pengamatan preparat histologis terhadap organorgan ikan nila yaitu insang dan hati. Metode yang digunakan adalah Metode
Histoteknik, dengan penguat (embedding material) parafin dan ketebalan preparat
5 mikron (Kiernan 1990, diacu dalam Siahaan 2003). Pengamatan histology hati
ikan nila memperlihatkan bahwa pada ikan yang mandapatkan perlakuan nikel
mengalami beberapa perubahan seperti hemoragi, kongesti, dan nekrosis.
Kerusakan hati serta keterangannya pada masing-masing perlakuan dapat dilihat
61
pada Gambar 12.
Dengan semakin bertambahnya dosis Ni yang diberikan
menyebabkan semakin besar pengaruh terhadap jaringan hati. Hal ini ditunjukkan
dengan kerusakan jaringan yang semakin parah seiring peningkatan konsentrasi
nikel pada air wadah dalam penelitian. Perubahan histologi pada hati ikan adalah
terjadinya cloudy swelling (sel hati terlihat agak keruh, sitoplasma juga keruh dan
bergranular) (Hibiya 1995, diacu dalam Siahaan 2003). Hal tersebut disebabkan
oleh munculnya butir hyaline eosinofil dalam sitoplasma, atropi pada sel hati,
pengerutan sel, nucleus dan nucleolus sering kali menjadi mengecil, nekrosis,
degradasi vakuola, degradasi lemak, stagnasi empedu, hepatitis, sirosis dan
gangguan pada aliran darah pada sinusoid atau vena.
Kerusakan pada hati
menyebabkan terganggunya berbagai fungsi hati. Toksikan dapat menyebabkan
gangguan pada metabolisme lemak dan karbohidrat, biosintesis protein dan sistim
enzim mikrosomal (Connel dan Miller 1995, diacu dalam Siahaan 2003).
Menurut Ressang (1984), sirosis hati pada hewan akan menyebabkan hilangnya
sebagian atau seluruh fungsi hati, terganggunya produksi dan aliran empedu serta
peredaran darah.
Nikel yang masuk melalui insang, kulit, dan makanan masuk ke dalam
darah dan ditranspor ke berbagai jaringan tubuh. Nikel yang ditranspor ke ginjal
sebagian akan diekskresikan dan sebagian akan terakumulasi dalam jaringan.
Nikel akan banyak mengalami penyerapan pada tulang, hati, ginjal, dan otot.
Nikel paling banyak terakumulasi pada tulang, dan selanjutnya nikel akan banyak
terakumulasi di hati, ginjal, dan otot oleh bantuan protein metalothionin. Protein
metallothionin memiliki asam amino cystein dan methionin yang mudah berikatan
dengan logam berat.
Protein ini lebih banyak terdapat pada hati dan ginjal
dibanding pada otot sehingga nikel lebih banyak terakumulasi pada hati dan ginjal
dibanding pada jaringan ototnya.
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap tingkat akumulasi nikel
pada jaringan otot tetapi tidak dilakukan pada ginjal dan hati, namun tingkat
kerusakan pada hati menunjukan penigkatan seiring peningkatan konsentrasi nikel
pada air media pemeliharaan hewan uji. Menurut Sanusi (1985), hati dan ginjal
ikan memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan ototnya dalam
mengakumulasi logam berat Hg dan Cd.
62
Tingginya kandungan logam berat
tersebut disebabkan karena logam berat tersebut memiliki afinitas yang besar
terhadap metallothionein pada organ tersebur (Goldwater dan Clarkson 1972;
Miettinen 1977; Forstner dan Wittmann 1979; Boline 1980; Hodgson dan Guthrie
1980; Ward 1982a, diacu dalam Sanusi 1985). Dari hasil penelitian terhadap 21
jenis ikan laut, diketahui bahwa sejenis protein metallotionein pengikat logam
berat pada hati dan ginjal ikan dijumpai lebih tinggi daripada yang terdapat pada
ototnya (Takeda dan Shimizu 1982, diacu dalam Sanusi 1985). Hal tersebut
diduga sebagai penyebab tingginya akumulasi logam berat (Hg dan Cd) pada hati
dan ginjal ikan uji dibandingkan dengan yang terjadi pada ototnya. Selanjutnya
Darmono dan Arifin (1989) menyatakan bahwa logam berat banyak terakumulasi
pada tulang daripada organ lain. Hasil pengukuran akumulasi logam berat pada
darah dan daging menunjukan adanya kecenderungan terhadap peningkatan
tingkat akumulasi nikel seiring naiknya konsentrasi nikel pada air wadah
penelitian. Pada darah ikan nila GIFT tingkat akumulasi rata-rata nikel pada
konsentrasi 60,05 (E), 33,76 (D), 18, 98 (C), dan 10,67 ppm (B), masing-masing
121,38, 103,36, 86,82, dan 45,58 mg/kg, sedangkan pada 0,00 ppm (A) tidak
terdeteksi adanya nikel. Pada daging ikan ikan nila akumulasi rata-rata nikel
pada konsentrasi 60,05 (E), 33,76 (D), 18, 98 (C), dan 10,67 ppm (B), masingmasing 73,37, 56,08, 42,00, dan 32,90 mg/kg, sedangkan pada 0,00 ppm (A) tidak
terdeteksi adanya nikel. Kandungan nikel diukur dengan metode AAS (Atomic
Absorption Spectroscopy). Semakin tinggi tingkat pencemaran suatu perairan
maka semakin tinggi pula kadar logam berat yang terakumulasi dalam tubuh
hewan air yang hidup di dalamnya (Bryan 1976, diacu dalam Salamah 2002).
Logam berat yang masuk kedalam tubuh ikan, sebagian akan diekskresikan dan
sebagian lagi akan mengalami proses bioakumulasi pada jaringan organ-organ
tertentu (Mokoagouw 2000).
Hasil penelitian juga menunjukkan kecenderungan terhadap turunnya laju
pertumbuhan seiring meningkatnya konsentrasi nikel pada media pemeliharaan.
Hal ini dapat disebabkan oleh efek stres pada ikan nila GIFT yang semakin besar
seiring meningkatnya konsentrasi nikel sehingga nafsu makan ikan menjadi
semakin turun. Ini dibuktikan pula dengan semakin menurunnya tingkat konsumsi
pakan seiring meningkatnya konsentrasi nikel. Pemanfaatan energi yang berasal
63
dari makanan pada ikan- ikan yang terekspose oleh nikel lebih banyak digunakan
untuk mepertahankan diri dari dari tekanan serta perawatan dan pergantian sel-sel
yang rusak dibanding untuk pertumbuhannya. Tingkat konsumsi pakan rata-rata
ikan nila GIFT pada kontrol mencapai 0,59 g/ekor/hari, sedangkan pada perlakuan
dengan konsentrasi nikel 1,39 ppm adalah 0,18 g/ekor/hari, dan pada perlakuan
dengan konsentrasi nikel 4,18 ppm adalah 0,13 g/ekor/hari.
Pada sistem syaraf nikel bersifat sebagai xenobiotik abiotik yang
menyebabkan
terganggunya
kerja
asetilkolinesterase
sehingga
asetilkolin
terakumulasi pada syaraf pusat. Proses ini menginduksi tremor sehingga terjadi
inkoordinasi, kejang-kejang, dan akhirnya menyebabkan kematian. Akumulasi
asetilkolin pada neuromuscular menyebabkan kontraksi otot, lemahnya tubuh
ikan, hilangnya gerak reflex, dan paralisis. Pada uji nilai kisaran penelitian ini,
ikan nila menunjukkan gejala terpengaruh oleh sifat toksik nikel terhadap sistem
syarafnya. Pada perlakuan dengan konsentrasi nikel yang tinggi ikan nila banyak
mengalami kehilangan gerak refleks, kejang-kejang, tubuh menjadi lemas, dan
akhirnya mengalami kematian.
Berdasarkan nilai LC 50 96 jam sebesar 13,93 ppm, nikel termasuk dalam
kategori logam berat yang mempunyai sifat toksik tinggi terhadap ikan nila. Nilai
LC 50 terhadap ikan nila turun seiring dengan bertambahnya lama waktu
pemaparan nikel terhadap ikan. Hal ini sesuai pernyataan Balazt (1970), bahwa
dari nilai LC 50 , selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat
digolongkan menjadi : sangat tinggi ( < 1 mg/L), tinggi (1 -50 mg/L), sedang (50
– 500 mg/L), sedikit toksit (500 – 5000 mg/L), hampir tidak toksit (5 – 15 g/L),
dan relatif tidak berbahaya ( > 15 g/L).
Perbandingan terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan nila GIFT, pada
perlakuan tanpa nikel (kontrol), dengan konsentrasi nikel 1,39 ppm (10% dari
nilai LC 50 96 jam), dan 4,18 ppm (30% dari nilai LC 50 96 jam) tidak memberikan
pengaruh signifikan. Tingkat kelangsungan hidup pada kontrol rata-rata 95%,
sedangkan pada 1,39 ppm dan 4,18 ppm adalah 93,33%.
Berdasarkan data penelitian, ikan nila yang dipelihara pada perairan
tawar/berkesadahan lunak, memiliki nilai Lc 50 96 jam sebesar 13,39 ppm. Ini
berarti nikel termasuk dalam kategori bersifat toksik tinggi terhadap ikan nila.
64
Nilai ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sabilu (2010) yaitu 11,88 ppm. Penelitian dilakukan terhadap ikan
bandeng (Chanos chanos Forsskal) yang dipelihara pada perairan yang
berkesadahan yang lebih tinggi/air payau. Ini berarti bahwa ketoksikan nikel akan
semakin rendah bila kesadahan perairan meningkat.
Pengaruh sifat toksik nikel terhadap ikan dipengaruhi pula oleh beberapa
parameter fisika dan kimia air. Toksisitas nikel akan berkurang seiring dengan
meningkatnya kesadahan perairan, sedangkan tingkat absorbs nikel akan turun
seiring dengan meningkatnya suhu dan turunnya pH dalam air. Nilai kesadahan
air media penelitian yaitu 57,66 mg/L menunjukkan bahwa air media berada pada
kondisi kesadahan lunak yang mengindikasikan bahawa pada media pemeliharaan
nikel bersifat lebih toksik pada ikan nila dibanding pada air payau atau air laut
yang umumnya mempunyai kesadahan yang lebih tinggi. Nilai kisaran pH air
pada wadah pemeliharaan sekitar 7,21 – 8,02 yang masih berada pada kondisi
optimal bagi kehidupan ikan nila GIFT (6,5 – 8,5). Namun pada kisaran tersebut,
karena pH masih dibawah
9 maka nikel bersifat sebagai kation bebas dan
membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan sulfat, dan
selanjutnya mengalami presipitasi. Hal ini diperkuat oleh Blaylock dan Frank
(1979), bahwa ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies,
pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain. Ketoksikan nikel pada kehidupan
akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan lain
(Blaylock dan Frank 1979). Peningkatan pH dan kesadahan air serta konsentrasi
bahan toksik memberikan pengaruh signifikan terhadap konsentrasi LC 50 ikan.
Setelah 72 jam, ikan yang hidup di dalam konsentrasi nikel 8,0 – 12,0 ppm
menyebabkan kulit akan rusak dan tubuh luka-luka sebagai indikasi dari tekanan
pH (Isaac 2009).
Kualitas air merupakan faktor yang penting dalam kehidupan ikan, sebab air
berfungsi sebagai media hidup ikan. Selama uji toksisitas akut dan uji sub kronik
dilakukan pengukuran kualitas air yang hasilnya disajikan pada Tabel 6.
Suhu air merupakan pengatur proses-proses utama di lingkungan perairan.
Daya toleransi ikan terhadap suhu sangat bergantung pada spesies dan stadia
hidupnya (Pescod, 1973). Kisaran suhu air dalam wadah pemeliharaan adalah
65
antara 28–30 ˚C yang merupakan kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan ikan
nila GIFT. Suhu optimum untuk mendukung pertumbuhan ikan nila berkisar
antara 25 – 30 oC (Bardach dan lelono 1986, diacu dalam Haryono et al. 2001).
Hal ini diperkuat pula oleh Anonim (2011) bahwa suhu air yang disarankan untuk
ikan nila adalah 28-30 ˚C . Tingkat pertumbuhan akan menurun secara dramatis
jika air dingin sampai 20oC dan ikan biasanya akan mulai mati di sekitar 10 oC.
Juga penting untuk diingat bahwa air dingin akan mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh ikan dan membuatnya lebih rentan terhadap kesehatan yang
buruk. Suhu air di bawah 13 ˚C, oleh karena itu, tidak pernah dianjurkan. Menurut
Suyanto (1993), suhu optimal untuk ikan nila antara 25 – 30 oC. Kelarutan
oksigen dalam wadah penelitian berkisar 5,70 – 7,02 ppm, masih diatas ketetapan
kelarutan oksigen bagi biota air tawar. Hal ini berarti oksigen terlarut tidak
termasuk salah satu faktor yang ikut mempengaruhi perubahan variabel-variabel
yang ada dalam penelitian. Menurut Pescod (1973) kebutuhan oksigen pada ikan
bervariasi tergantung spesies, kondisi lingkungan yang ada dan aktivitas ikan.
Selanjutnya dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan
ikan tidak boleh lebih dari 2 ppm dengan asumsi tidak ada bahan-bahan toksik
yang masuk. Kisaran oksigen terlarut yang layak untuk kehidupan biota air tawar
menurut EPA (1991) adalah tidak boleh kurang dari 4,0 ppm, sedangkan menurut
Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990 persyaratan kandungan minimum untuk
perikanan adalah tidak boleh kurang dari 3,0 ppm. Total alkalinitas rata-rata pada
setiap perlakuan yaitu berkisar antara 18-24, merupakan nilai alkalinitas yang baik
bagi kehidupan ikan nila GIFT. Hal ini sesuai pernyataan Made (1989) bahwa
nilai alkalinitas yang baik berkisar 10-400 ppm CaCO 3 .
Kandungan karbon dioksida (CO 2) air wadah penelitian dapat berasal dari
hasil pernafasan organisme dalam air sendiri dan difusi dari udara. Konsentrasi
karbon dioksida yang terlalu tinggi di suatu perairan akan menimbulkan gangguan
pelepasan CO 2 atau pengambilan O 2 waktu ikan bernafas. Sebaliknya CO 2 yang
terlalu sedikit akan berpengaruh negatif kepada fotosintesis karena gas ini
merupakan bahan baku pembentukan. Konsentrasi karbon dioksida (CO 2 ) dalam
ekosistem perairan merupakan parameter yang dikaitkan dengan nilai pH.
Semakin tinggi konsentrasi karbon dioksida, pH perairan semakin rendah. Hasil
66
pengukuran konsentrasi CO 2 , yaitu 9,98-12, 98 ppm selama uji akut dan selama
uji sub kronis. Kandungan CO 2 yang baik untuk budidaya ikan tidak lebih dari 15
ppm.
Kadar total rata-rata amonia air dalam wadah penelitian selama uji akut dan
uji sub kronik berkisar antara 0.90-1.16 ppm. Nitrogen dalam air berada dalam
bentuk nitrit (NO 2 -N), nitrat (NO) 3 -N), ammonia (NH 3 ) dan ammonium (NH 4 +).
Amonia adalah salah satu bahan pencemar
perairan (Russo 1985).
yang berbahaya bagi lingkungan
Boyd (1979) menyatakan bahwa sisa-sisa pakan dan
kotoran ikan akan terurai menjadi nitrogen dalam bentuk ammonia terlarut yang
beracun bagi ikan.
Kandungan ammonia 0,6-2,0 ppm masih baik untuk
kehidupan ikan (Redner dan Stickney 1979, diacu dalam Chervinsky 1982).
Berdasarkan kriteria di atas, maka dapat diartikan bahwa nilai ammonia air media
selama uji toksisitas akut dan uji sub kronik masih berada dalam batas kisaran
yang baik bagi kehidupan ikan nila GIFT.
Dari pengukuran tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan
seluruh parameter kualitas air yang terukur berada dalam kisaran yang layak dan
optimum bagi kehidupan ikan nila GIFT dalam kondisi tanpa tercemar oleh logam
berat nikel.
67
Download