BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi daerah tumbuh (habitat), morfologi tumbuhan,sistematika tumbuhan, nama asing, kandungan kimia dan manfaat tumbuhan. 2.1.1 Daerah tumbuh (habitat) Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis rempah-rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat Batak, SumateraUtara. Andaliman termasuk tanaman rempah yang tumbuh di pegunungan kawasan Danau Toba dan sekitarnnya. Diduga penyebaran tanaman secara umum melalui burung yang memakan buah andaliman, kemudian melalui kotoran burung tersebut biji andaliman tersebar kemana-mana dan tumbuh secara liar (Parhusip, 2006). Asal tumbuhan ini dari daerah Himalaya Subtropis. Di dunia, tumbuhan ini tersebar antara lain di India Utara, Nepal, Pakistan Timur, Myanmar, Thailand dan Cina. Di Cina, tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 2900 m dpl. Di Indonesia,tumbuhan ini tumbuh liar pada daerah dengan ketinggian 1400 m dpl pada temperatur 15 - 18 oC (Wijaya, 1999). Di Sumatera Utara tanaman ini tumbuh liar pada berbagai tempat, yaitu di daerah Angkola, Mandailing, Humbang, Silindung, Dairi dan Toba Holbung (Parhusip, 2006). Andaliman bukan ditanam seperti cabai, merica dan sayur-mayur lainnya. Biasanya andaliman tumbuh begitu saja (Wijaya,1999). 6 2.1.2 Morfologi tumbuhan Andaliman merupakan tumbuhan perdu, tegak dengan tinggi 3 - 8 meter ,batang dan cabang berwarna kemerahan, berbulu halus dan berduri.Bunganya majemuk berbatas mempunyai kelopak yang disusun oleh lima daun kelopak bebas. Buah andaliman termasuk buah sejati berdiameter 3 - 4 mm yang berasal dari satu bunga dengan banyak bakal buah yang masing-masing bebas dan kemudian tumbuh menjadi buah tetapi berkumpul pada satu tangkai (Siregar, 2002). Daunnya merupakan daun majemuk dengan panjang 2 - 25 cm, anak daun 1- 6 pasang dengan tangkai yang pendek, tepi daun bergerigi, ujung daun runcing, warna daun hijau dan permukaan atas daun lebih tua dibanding permukaan bawah daun. Tumbuhan ini berkembang biak dengan biji. Sistem akartunggang dimana tumbuh menjadi akar pokok yangbercabangmenjadi akar yang lebih kecil dan sedikit berbulu halus diseluruh permukaannya (Parhusip, 2006). 2.1.3 Sistematika tumbuhan Sistematika tumbuhan andaliman menurut Sharma (1993), sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Rutales Famili : Rutaceae Genus : Zanthoxylum Spesies : Zanthoxylum acanthopodium DC. 7 A B Gambar 2.1 Buah andaliman; A. Buah muda, B. Buah yang sudah tua 2.1.4 Nama asing Nama asing andaliman adalah yan-jiao (Cina), mouh laaht faa jiu (CinaKanton), mao la hua jiao (Cina Mandarin), indonesian lemon pepper (Inggris), indonesischer zitronenpfeffer (Jerman), tambhul (India), sansho (Jepang) dan emmay/yerma (Tibet) (Anonim, 2012). 2.1.5 Kandungan kimia Buah andaliman mengandung senyawa polifenolat, monoterpen dan seskuiterpen sertakuinon. Selain itu juga terdapat minyak atsiri seperti geraniol, linalool, cineol dan citronella yang menimbulkan kombinasi bau mint dan lemon (Sinaga, 2009). Ekstrak andaliman diketahui jugamengandung flavonoid, alkaloid, terpenoid dan steroid (Nababan, 2012). Tanaman andaliman juga mengandung senyawa terpenoid yang memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik bagi kesehatan dan berperan dalam mempertahankan mutu produk pangan dari berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi serta perubahan warna dan aroma makanan. Senyawa terpenoid juga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba (Wijaya, 1999). 8 2.1.6 Manfaat tumbuhan Buah andaliman banyak digunakan sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang nafsu makan dan obat sakit perut (Sirait, dkk., 1991). Selain itu buah andaliman memiliki aktivitas fisiologi sebagai antioksidan, antimikroba, hepatoprotektif, antiplasmodial, sitotoksik, antiproliferatif, antelmintik, antivirus dan antikonvulsan. Secara tradisional, buah andalimann digunakan sebagai bumbu masak yang dapat mengobati asma dan bronkitis, menghilangkan rasa sakit, mengobati penyakit jantung, penyakit mulut, gigi dan tenggorokan (Wijaya, 1999). 2.2 Ekstraksi Ekstraksi berasal dari kata “extrahere”, “to draw out”, yaitu suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari asalnya. Tujuan utama ekstraksi adalah mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan dari zat-zat yang tidak dibutuhkan, agar lebih mudah dipergunakan (kemudahan diabsorpsi, rasa dan pemakaian) dan disimpan sehingga tujuan pengobatannya lebih terjamin (Syamsuni, 2006). Hasil ekstraksi disebut dengan ekstrak, yaitu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan. Simplisia yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah bahan alamiah yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 2000). 9 2.2.1 Metode ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1. Cara dingin a. Maserasi Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (Depkes RI, 2000). b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses ini terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) (Depkes RI, 2000). 2. Cara panas a. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. b. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000). 10 c. Digesti Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 500C (Depkes RI, 2000). d. Infundasi Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90 0C selama 15 menit (Depkes RI, 1979). e. Dekoktasi Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada waktu yang lebih lama yaitu ± 30 menit dan dilakukan pada temperatur air mendidih (Depkes RI, 2000). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna dari obat. Kelarutan dan stabilitas bahan kandungan tumbuhan xx merupakan sifat yang penting untuk memperoleh sediaan obat yang tepat, oleh karena banyak bahan tumbuhan larut dalam air atau alkohol sehingga air atau etanol menjadi acuan cairan pengekstraksi (Voight,1994). Cara ekstraksi dapat dilakukan dengan teknik maserasi. Istilah maserasi berasal dari bahasa Latin macerare, yang artinya “merendam”. Maserasi merupakan proses yang paling tepat di mana obat yang sudah halus dimungkinkan untuk direndam di dalam menstruum sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel, 2008). Dalam maserasi, obat yang akan di ekstraksi biasanya ditempatkan pada 11 wadah atau bejana yang bermulut lebar. Bejana ditutup rapat, dan isinya dikocok berulang-ulang biasanya berkisar 2-14 hari. Pengocokan memungkinkan pelarut segar mengalir berulang-ulang masuk ke seluruh permukaan obat yang sudah halus. Cara lain untuk pengocokan berulang-ulang ini adalah menempatkan obat dalam kantung kain berpori yang diikat dan digantungkan pada bagian atas menstruum, banyak persamaannya dengan kantung teh yang digantungkan dalam air dalam pembuatan secangkir teh. Begitu zat-zat terlarut di dalam menstruum, ia cenderung untuk turun ke dasar bejana karena meningkatnya gaya berat. Ekstrak dipisahkan dari ampasnya dengan memeras kantung obat dan membilasnya dengan penambahan menstruum baru, hasil pencucian merupakan tambahan ekstrak. Apabila maserasi dilakukan tidak di dalam kantung, maka ampas dipisahkan dengan menapis atau menyaring, di mana ampas yang disaring bebas dari ekstrak. Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15 - 20oC dalam waktu selama 3 hari sampai bahan yang mudah larut akan melarut (Ansel, 2008). 2.3 Kanker 2.3.1 Tinjauan umum kanker Kanker atau karsinoma adalah pembentukan jaringan baru yang abnormal dan bersifat ganas (maligne). Satu kelompok sel dengan mendadak menjadi liar dan memperbanyak diri secara pesat dan terus menerus (proliferasi). Sel-sel kanker ini menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan memusnahkannya (Tjay dan Rahardja, 2002). Berdasarkan lokalisasinya kanker atau yang merupakan tumor ganas dibedakan sebagai berikut: karsinoma (pada jaringan kelenjar), sarkoma (pada jaringan penghubung), limfoma (pada ganglia limfatik) dan leukemia (pada sel darah) (Sukardja, 2000). 12 Kanker umumnya didefinisikan sebagai suatu pertumbuhan atau tumor hasil dari pembelahan sel yang tidak normal dan tidak terkendali. Sel-sel normal dalam tubuh terus mengalami pembelahan sel-sel tua lalu menggantinya dengan sel yang baru. Proses pertumbuhan dan kematian sel tua secara benar disebut sebagai homeostasis, yang mana bertujuan untuk menjaga keseimbangan yang sehat dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan ini, pertumbuhan sel dan pembelahan terjadi dalam proses yang disebut siklus sel, dan langkah-langkah itu dikendalikan oleh berbagai mekanisme genetik dan molekuler. Bila salah satu atau beberapa bagian mekanisme itu mengalami kerusakan dalam siklus sel, itulah yang menyebabkan kanker (Mulyadi, 1997). Kanker terjadi melalui beberapa tingkat yaitu: a) Fase inisiasi: DNA dirusak akibat radiasi atau zat karsinogen (radikalbebas). Zat-zat inisiator ini mengganggu proses reparasi normal, sehingga terjadi mutasi DNA dengan kelainan pada kromosomnya. Kerusakan DNA diturunkan kepada anak-anak sel dan seterusnya b) Fase promosi: zat karsinogen tambahan (co-carsinogens) diperlukan sebagai promotor untuk mencetuskan proliferasi sel. Dengan demikian, sel-sel rusak menjadi ganas c) Fase progesi: gen-gen pertumbuhan yang diaktivasi oleh kerusakan DNA mengakibatkan mitosis dipercepat dan pertumbuhan liar dari sel-sel ganas. (Tjay dan Rahardja, 2002). Kriteria sitologi yang memungkinkan ahli patologi untuk mendiagnosis, atau mencurigai adanya kanker adalah sebagai berikut : 13 1. Morfologi sel kanker biasanya berbeda dan lebih bervariasi dari sel normal pada jaringan yang sama. Ukuran dan bentuk sel kanker lebihbervariasi 2. Nucleus sel kanker biasanya lebih besar dan kromatinnya lebih terlihat (hipercromatic) daripada nucleus pada sel normal 3. Jumlah sel yang bermitosis biasanya lebih banyak pada suatu populasi selkanker dibandingkan pada populasi jaringan normal. Dua puluh atau lebih figur mitosis per 1000 sel sering dijumpai pada jaringan kanker, sedangkan kurang dari satu per 1000 biasa ditemui pada tumor jinak atau jaringan normal. Jumlah ini lebih besar pada jaringan normal yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi seperti pada sumsum tulang atau sel crypt pada mukosa gastrointestinal 4. Banyaknya mitosis abnormal atau sel raksasa, pleomorphic (variasi ukuran dan bentuk) atau nuclei lebih dari satu biasa ditemukan pada jaringan ganas daripada jaringan normal 5. Invasi jaringan normal oleh neoplasma menunjukkan bahwa tumor telah menginvasi dan menyebar (Ruddon, 2007). 2.3.2 Sifat kanker Kanker mempunyai berbagai sifat umum, diantaranyaadalah: 1) Heterogenitas Populasi sel dalam suatu tumor tidak homogeny, tetapi heterogen, walaupun semua berasal dari satu sel yang sama. Heterogenitas ini terjadi karena sel-sel kanker tumbuh dengan cepat, sehingga sebelum dewasa dan matang telah mengalami mitosis, terus berkembang sehingga semakin lama semakin banyak keturunan sel yang makin jauh menyimpang dari sel asalnya, yang menimbulkan 14 bentuk yang bervariasi (Sukardja, 2000). 2) Tumbuh autonom Sel kanker tumbuh terus tanpa batas(immortal), liar, terlepas dari kendali pertumbuhan normal sehingga terbentuk suatu tumor yang terpisah dari bagian tubuh yang normal. Tumor dapat menimbulkan kelainan bentuk dan gangguan fungsi organ yang ditumbuhinya. Sel-sel normal setelah beberapa generasi akan berhenti tumbuh. Hanya sel yang disebut stem sel masih mempunyai kemampuan tumbuh bila ada rangsangan untuk tumbuh (Sukardja, 2000). 3) Mendesak dan merusak sel-sel normal disekitarnya Sel-sel tumor mendesak (ekspansif) sel-sel normal disekitarnya, yang berubah menjadi kapsul yang membatasi pertumbuhan tumor. Pada tumor jinak, kapsul itu berupa kapsul sejati yang memisahkan gerombolan sel tumor dengan sel-sel normal, sedangkan pada tumor ganas berupa kapsul palsu, karena kapsul itu dapat ditembus atau diinfiltrasi oleh sel-sel kanker (Sukardja, 2000). 4) Dapat bergerak sendiri (amoeboid) Sel-sel kanker itu dapat bergerak sendiri seperti amoeba dan lepas dari gerombolan sel-sel tumor induknya, masuk diantara sel-sel normal disekitarnya. Hal ini menimbulkan: a) Infiltrasi atau invasi ke jaringan atau organ di sekitarnya. Sel-sel kanker dapat tumbuh di jaringan sekitarnya, menimbulkan perlekatan-perlekatan, obstruksi saluran-saluran tubuh. b) Metastase atau anak sebar dikelenjar limfa atau di organ lainnya. Sel-sel kanker dapat masuk ke dalam pembuluh limfa dan bersama aliran limfa masuk ke kelenjar limfa dan tumbuh didalamnya (penyebaran 15 limfogen). Sel - sel kanker dapat pula masuk ke dalam pembuluh darah dan bersama aliran darah beredar keseluruh tubuh (penyebaran hematogen (Sukardja, 2000). 5) Tidak mengenal koordinasi dan batas-batas kewajaran Ketidakwajaran itu antara lain disebabkan oleh: a) Kurang daya adhesi dan kohesi Karena kurangnya daya adhesi dan kohesi sel-sel kanker itu mudah lepas dari gerombolan sel-sel induknya dan dapat bergerak menyusup diantara sel-sel normal b) Tidak mengenal kontak inhibisi Sel-sel normal akan berhenti tumbuh jika ada kontak dengan sel normal disekitarnya, sedangkan sel kanker tidak c) Tidak mengenal tanda posisi Sel-sel normal akan berhenti tumbuh jika berada pada tempat atau posisi yang tidak semestinya, sedangkan sel kanker tidak, sehingga dapat timbul anak sebar (metastase) d) Tidak mengenal batas kepadatan Sel normal akan berhenti tumbuh jika kepadatan sel telah mencapai konsistensi tertentu, sedangkan sel kanker tidak (Sukardja, 2000). 6) Tidak menjalankan fungsinya yang normal Sel-sel kanker merusak fungsi organ yang ditumbuhinya. Hal ini antara lain karena (Sukardja, 2000): a) Membran sel kanker tidak mengandung fibronektinya itu suatu glukoprotein yang dapat menghambat pertumbuhan sel, kadar kalsium 16 kurang, muatan listrik kurang b) Sel kanker dapat membentuk hormon, enzim dan protein yang pada pertumbuhan sel normal hanya diproduksi oleh sel-sel tertentu saja 2.3.3 Karsinogenesis Karsinogenesis adalah suatu proses perubahan struktur DNA yang bersifat irreversible, sehingga terjadi kanker. Salah satu factor terbentuknya kanker karena adanya sel epitel yang terus berkembang (berproliferasi). Saat berproliferasi, genetik sel bisa berubah akibat adanya pengaruh agen karsinogen yang menyebabkan hilangnya penekanan terhadap proses proliferasi sel. Perubahan sel menjadi ganas juga melibatkan gen-gen yang mengatur pertumbuhan sel, akibatnya sel berkembang tidak terkendali. Gambar 2.2 Proses terjadinya karsinogenesis sel (Mulyadi,1997) 2.4 Kanker Serviks Kanker serviks (cervical cancer) adalah kanker yang terjadi pada area leher rahim (serviks). Serviks adalah bagian rahim yang menghubungkan uterus bagian atas dengan vagina. Bagian serviks yang dekat dengan uterus disebut endoserviks, sedangkan yang dekat dengan vagina disebut eksoserviks. Tempat 17 dimana kedua bagian tersebut bertemu disebut zona transformasi. Sebagian besar kanker serviks berawal pada zona transformasi (Yuliatin, 2011). Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35 - 55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim. Sebelum terjadinya kanker, akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS) (Yatim, 2005). 2.4.1 Patofisiologi kanker serviks Karsinoma serviks adalah penyakit yang progresif, mulai dengan intraepitel, berubah menjadi neoplastik, dan akhirnya menjadi kanker serviks setelah 10 tahun atau lebih. Secara histopatologi lesi pre invasif biasanya berkembang melalui beberapa stadium displasia (ringan, sedang dan berat) menjadi karsinoma insitu dan akhirnya invasif. Berdasarkan karsinogenesis umum, proses perubahan menjadi kanker diakibatkan oleh adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen pengendali tersebut adalah onkogen, tumor supressor gen, dan repair gen. Onkogen dan tumor supresor gen mempunyai efek yang berlawanan dalam karsinogenesis, dimana onkogen memperantarai timbulnya transformasi maligna, sedangkan tumor supresor gen akan menghambat 18 perkembangan tumor yang diatur oleh gen yang terlibat dalam pertumbuhan sel. Meskipun kanker invasif berkembang melalui perubahan intraepitel, tidak semua perubahan ini progress menjadi invasif. Lesi preinvasif akan mengalami regresi secara spontan sebanyak 3 - 35%. Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai angka regresi yang tinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisar antara 1 - 7 tahun, sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi invasif adalah 3 - 20 tahun (Rustam, 1984). Proses perkembangan kanker serviks berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan gangguan keseimbangan hormon. Dalam jangka waktu 7 - 10 tahun perkembangan tersebut menjadi bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks, jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat menginvasi ke rektum atau vesikal urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel permukaan serviks pada sel basal zona transformasi, dibantu oleh faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital yang tidak dapat diperbaiki, menetap dan kehilangan sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan (Suryohudoyo, 1998). 19 2.4.2 Etiologi dan faktor resiko kanker serviks Seperti kanker lain pada umumnya, penyebab kanker serviks belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang dapat menjadi faktor resiko, antara lain: a) Aktivitas seksual Aktivitas seksual lebih dari 2 partner dan tidak manggunakanalat kontrasepsi beresiko menderita infeksi human papiloma virus (HPV) (Clarke, 2001). Resiko wanita menderita kanker serviks akan semakin tinggi bila berhubungan seksual dengan lelaki yang pernah berhubungan seksual dengan perempuan yang menderita kanker serviks (Yatim, 2005). b) Usia Hubungan seksual pertama kali yang dilakukan pada usia remaja (12 - 20 tahun) mengakibatkan organ reproduksi wanita sedang aktif berkembang. Rangsangan penis/sperma dapat memicu perubahan sifat sel menjadi tidak normal. Sel abnormal ini berpotensi menyebabkan kanker serviks (Wiknjosastro, 1999). Wanita yang melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia 10 - 14 tahun mempunyai faktor resiko 2 kali terkena infeksi HPV (Clarke, 2001). c) HPV (Human Papiloma Virus) Human Papiloma Virus secara signifikan berkaitan dengan kanker serviks intraepitel dan kanker serviks yang sudah invasi. Tipe virus yang di anggap berkaitan dengan kanker serviks adalah tipe 16,18, 31, 35 dan 39 (Yatim, 2005). d) Status ekonomi 20 Status ekonomi ini berkaitan dengan ketidakmampuan wanita untuk melakukan deteksi dini terhadap kanker serviks serta berhubungan erat dengan gizi serta imunitas (Wiknjosastro, 1999). Misalnya pada wanita yang berpenghasilan tinggi lebih mungkin melakukan tes pap smear di banding orang yang berpenghasilan rendah (Clarke, 2001). e) Jumlah kehamilan Jumlah kehamilan dan melahirkan, karsinoma uteri terbanyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan semakin besar resiko terkena kanker serviks (Yuliatin, 2011), pada wanita yang melahirkan pertama kali pada usia 12 - 19 tahun juga meningkatkan resiko menderita kanker serviks sebesar 60% dan 40% pada usia 20 - 24 tahun (Clarke, 2001). f) Merokok Merokok, merupakan faktor resiko yang signifikan pada kanker serviks. Pada sebuah penelitian menunjukkan bahwa wanita yang aktif merokok lebih dari 15 batang rokok perhari mempunyai resiko 2 kali lebih besar terkena infeksi HPV dibanding wanita yang tidak merokok (Yatim, 2005). 2.4.3 Klasifikasi stadium kanker serviks Klasifikasi stadium klinik berdasarkan FIGO (International Federationof Gynecology and Obstetrics) adalah klasifikasi yang sering digunakan dalam penentuan stadium kanker serviks. Stadium klinik ini merupakan proses untuk mengetahui seberapa jauh penyebaran kanker. Proses penentuan stadium klinik ini penting untuk dilakukan karena penetapan stadium kanker adalah faktor kunci didalam memilih terapi yang tepat. Berikut tabel penentuan stadium kankerserviks berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO). 21 Tabel 2.1 Stadium kanker serviks menurut International Federation of Gynecologyand Obstetrics (FIGO) 1988 Stadium Deskripsi 0 Karsinoma in situ (kanker pranvasif) 1 Proses terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke korpus uteri 1A Invasi kanker mikroinvasif) 1A1 Invasi minimal, semua lesi yang dapat dilihat dengan mikroskop 1A2 Kedalaman invasi stroma tidak lebih dari 3,00 mm atau kurang dan 7,00 mm atau kurang pada penyebaran yang mendatar 1B Kedalaman invasi stroma lebih dari 3,00 mm dan tidak lebih dari 5,00 dan 7,00 mm atau kurang pada penyebaran yang mendatar 1B1 Secara klinik lesi dapat dilihat 4,00 cm atau kurang dengan pembesaran maksimal 1B2 Secara klinik lesi dapat dilihat 4,00 atau lebih dengan pembesaran maksimal II Karsinoma menyerang di luar serviks tetapi tidak sampai dinding panggul atau 1/3 bawah vagina IIA Tanpa ada keterlibatan parametrium yang nyata IIB Melibatkan parametrium nyata III Tumor meluas ke dinding pelvis dan/atau meliputi 1/3 distal vagina dan/atau menyebabkan hydronephrosis atau tidak berfungsinya ginjal Tumor meluas ke 1/3 distal vagina, tidak menyebar ke dinding pelvis IIIA IIIB didiagnosa dengan mikroskopi (Karsinoma IVA Tumor menyebar ke dinding pelvis dan/atau menyebabkan hydroneprosis atau tidak berfungsinya ginjal Kanker sudah menyebar keluar rongga panggul dan secara klinik suadah terlihat tanda-tanda infeksi kanker ke selaput lendir kandung kencing dan/rectum Sel kanker menyebar pada alat/ organ yang dekat dengan serviks IVB Kanker sudah menyebar pada alat/ organ yang jauh dari serviks IV (Rasjidi, 2007). 22 2.4.4 Prognosis kanker serviks Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan stadium terminal (Suwiyoga, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30% (Geene dan Tidy,1998; Kenneth, 2000). 1. Stadium 0, 100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh. 2. Stadium 1, Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka. 3. Stadium 2, Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70 - 90%. Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60 sampai 65%. 4. Stadium 3, Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30 - 50%. 5. Stadium 4,Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20 - 30%. 6. Stadium 5, Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 5 - 10%. 23 2.4.5 Pencegahaan kanker serviks Sel-sel yang abnormal dari kanker serviks dapat dideteksi dengan suatu test yang disebut pap smear test. Pap Smear merupakan metode pemeriksaan selsel yang diambil dari serviks dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi dari sel tersebut (Riono, 1999). Kanker serviks dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor resikonya. Adapun faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan kanker serviks diantaranya adalah berganti-ganti mitra seks, melakukan hubungan seks pertama saat usia di bawah 15 tahun, merokok dan kurang terpenuhinya nutrisi seperti buah dan sayur yang banyak mengandung antioksidan. Selain itu, penderita yang terinfeksi HIV sering dihubungkan dengan meningkatnya resiko terjadinya karsinoma serviks invasif karena adanya perubahan sistem imun (Rasjidi, 2007). 2.4.6 Pengobatan Kanker Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan cara pembedahan, radiasi, kemoterapi, endokrinoterapi ataupun imunoterapi. Cara pembedahan, terutama dilakukan untuk tumor padat yang terlokalisasi. Cara radiasi digunakan sebagai pengobatan penunjang sesudah pembedahan. Pemberian kemoterapi terutama untuk pengobatan tumor yang tidak terlokalisasi seperti leukemia. Endokrinoterapi merupakan bagian dari kemoterapi, yaitu penggunaan hormon tertentu untuk pengobatan tumor pada organ yang poliferasinya tergantung hormon, seperti pada karsinoma payudara dan prostat. Sedangkan cara imunoterapi masih dalam penelitian dan masa mendatang kemungkinan berperan dalam pencegahan mikrometastasis (Sukardja, 2000). 24 2.5 Kultur Sel Kultur sel berasal dari organ atau jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras (botol, tabung dan cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh. Monolayer tersebut dapat diperbanyak lagi, disebut subkultur atau pasase. Apabila diperbanyak terus menerus maka dihasilkan sel lestari (cell line). Sel lestari memiliki beberapa sifat yaitu: a. Terjadi peningkatan jumlah sel b. Memiliki daya tumbuh yang tinggi c. Seragam d. Mengalami perubahan fenotipe atau transformasi (Malole, 1990). 2.5.1 HeLa cell line Sel HeLa merupakan continous cell line yang terinfeksi oleh Human Papiloma Virus (HPV) yang memiliki gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Protein E6 dan E7 yang berasal dari HPV memodulasi sejumlah protein seluler yang berperan dalam apoptosis dan proliferasi sel. Aktivitas proliferasi yang berlebihan pada sel HeLa diakibatkan oleh ikatan antara protein E6 yang berikatan dengan gen p53 sehingga mempercepat degradasi p53 dan stimulasi aktivitas enzim telomerase. Protein E7 berperan dalam meningkatkan aktivitas proliferasi sel melalui hiperfosforilasi p105Rb (Malole, 1990). HeLa cell line diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim serviks) manusia. Sel ini diisolasi tahun 1915 dari rahim wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang berusia 31 tahun. HeLa cell line tumbuh 25 sebagai sel yang semi melekat (ATTC, 2011). HeLa cell line dapat digunakan untuk tes antitumor, transformasi, uji tumorigenesis, biologi sel dan invasi bakteri. Sel ini secara morfologi merupakan sel epitelial yang sudah dimasuki oleh Human Papiloma Virus (HPV) tipe 18. Sel ini bersifat immortal dan sangat agresif sehingga mudah untuk dikultivasi tetapi sel ini mudah menginvasi kultur sel lain (Doyle, dkk., 2000). 2.6 Uji Sitotoksik Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa. Senyawa sitotoksik adalah senyawa yang bersifat toksik pada sel tumor secara in vitro dan jika toksisitas ini ditransfer menembus sel tumor in vivo senyawa tersebut mempunyai aktivitas antitumor (Freshney, 2000). Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan, seperti: hanya membutuhkan sejumlah kecil bahan yang digunakan untuk kultur sel primer manusia dari berbagai organ target (ginjal, liver dan kulit), memberikan informasi secara langsung efek potensial pada sel target manusia dan dapat digunakan sangat sensitif dan dampak yang ditimbulkan dapat dilihat langsung (Doyle, dkk., 2000). a. x Perhitungan secara langsung (metode haemocytometer) Haemocytometer merupakan perangkat gelas bersama cover slip tipis, terbagi dalam sembilan area dengan empat area pojok sebagai area menghitung jumlah sel. Ketebalan chamber adalah 0,1 mmdengan kapasitas 10 μL cairan berisi sel dalam area 0,9 mm3. Beberapa hal perlu diperhatikan saat menghitung sel dengan haemocytometer adalah sel harus tersuspensi rata dan jumlah sel yang 26 minimum yang dihitung adalah seratus. Sel yang melekat perlu ditripsinasi untuk mensuspensikan sel dalam larutan. Tripan blue biasa digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel mati. Sel hidup tidak terwarnai, bulat dan relatif kecil dibandingkan dengan sel mati. Sedangkan sel mati membengkak dan berwarna biru (Doyle, dkk., 2000). b. Perhitungan secara tidak langsung dengan metode MTT MTT assay dapat digunakan untuk mengukur proliferasi selsecara kolorimetri. Metode ini berdasarkan pada perubahan garam tetrazolium (3-(4,5dimet iltiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida) (MTT) menjadi formazan dalam mitokondria yang aktif pada sel hidup. MTT diabsorbsi ke dalam sel hidup dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase dalam rantai respirasi mitokondria menjadi formazan yang terlarut dalam SDS 10% berwarna ungu (Doyle, dkk., 2000). Warna ungu formazan dapat dibaca absorbansinya secara spektrofotometri dengan ELISA reader pada panjang gelombang maksimumnya 552 - 554 nm. Absorbansi tersebut menggambarkan jumlah sel hidup. Semakin kuat intensitas warna ungu yang terbentuk, absorbansi akan semakin tinggi, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak MTT yang diabsorbsi ke dalam sel hidup dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase dalam rantai respirasi mitokondria sehingga formazan yang terbentuk juga semakin banyak, absorbansi ini yang akan digunakan untuk menghitung persentase sel hidup sebagai respon (Sieuwerts, dkk., 1995). Berikut ini gambar reaksi reduksi MTT menjadi Formazan: 27 Gambar 2.3 Reduksi MTT menjadi formazan (Kupcsik dan Martin, 2011). 28