13 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Konflik 2.1.1. Definisi Konflik Istilah konflik berasal dari kata kerja Bahasa Latin ‘configere’ yang artinya saling memukul yang kemudian diadopsi ke Bahasa Inggris menjadi ‘conflict’ dan diadopsi lagi ke Bahasa Indonesia menjadi ‘konflik’. Konflik adalah suatu bagian kehidupan yang timbul dan selalu ada karena kompleksitas hubungan manusia dimana tiap-tiap orang unik, memiliki sistem nilai, filosofi, struktur, kepribadian, pilihan dan pola (Huber, 2000). Marquis & Huston (2010), mengartikan konflik sebagai perselisihan internal atau eksternal yang diakibatkan oleh perbedaan nilainilai atau perasaaan antara dua orang atau lebih. Wirawan (2013) mengatakan bahwa konflik diartikan sebagai proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling memiliki ketergantungan pada objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Konflik adalah suatu proses yang mulai bila satu pihak lain telah mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan pihak pertama (Robbins, 2006). Konflik adalah suatu proses interaktif yang ditandai dengan adanya ketidaksesuaian, ketidaksetujuan, perselisihan, di dalam atau di antara entitas sosial (individu, kelompok, organisasi, dan sebagainya). Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu 13 Universitas Sumatera Utara 14 keadaan atau situasi antara dua kelompok atau lebih dikarenakan adanya perbedaan pendapat, nilai, latar belakang, yang terjadi di lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, atau tempat-tempat lain yang memungkinkan terjadinya sebuah konflik. 2.1.2.Penyebab Konflik Salah satu strategi para manajer untuk melakukan perubahan adalah dengan adanya konflik. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan konflik digunakan para manajer untuk menggerakkan perubahan. Namun, menurut Wirawan (2013) konflik dapat terjadi secara alami karena adanya kondisi objektif yang disebabkan oleh keterbatasan sumber, tujuan yang berbeda, saling tergantung atau independensi tugas meliputi ketergantungan pol (pooled interdependence), ketergantungan urutan (sequential interdependence), dan ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), diferensiasi organisasi, ambiguitas yuridiksi, sistem imbalan yang tidak layak, komunikasi yang tidak baik, perlakuan yang tidak manusiawi, melanggar HAM dan melanggar hukum, beragam karakteristik sistem sosial, pribadi orang, kebutuhan, perasaan dan emosi, pola pikir yang tidak mandiri, serta budaya konflik dan kekerasan. Swanburg (2000) mengemukakan penyebab konflik dalam suatu organisasi rumah sakit khususnya bagi perawat diantaranya perilaku menentang, stres, ruang, kewenangan dokter, keyakinan, nilai, dan sasaran, serta penyebab lainnya. Perilaku menentang memiliki tiga versi yaitu competitive bomber yang mudah menolak untuk bekerja, sering menggerutu dengan bergumam yang dapat diterjemahkan sebagai urus saja sendiri, martyred accomodator yang Universitas Sumatera Utara 15 menggunakan kepatuhan palsu. Mereka mampu bekerjasama tetapi sambil juga melakukan ejekan dan hinaan, mengeluh dan mengkritik untuk mendapatkan dukungan dari orang lain, dan avoider yaitu penentang yang menghindari kesepakatan dan partisipasi dan tidak berespon terhadap manajer perawat. Penyebab lainnya adalah stress dimana hasil dari stress adalah kepenatan. Manajer perawat merasa penat karena mencoba mempertahankan sistem pendukung untuk pemberi perawatan. Perawat klinis merasa penat karena mencoba untuk memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas tinggi. Konfrontasi, ketidaksetujuan, dan kemarahan adalah bukti dari stress dan konflik. Stress dan konflik disebabkan karena kurangnya hubungan yang dilaksanakan antar manusia, termasuk harapan-harapan yang tidak terpenuhi. Penyebab berikut adalah ruang yaitu ruang yang sempit, dimana perawat harus berinteraksi secara konstan dengan anggota staf lain, pengunjung dan tenaga kesehatan lain dapat menimbulkan stress sehingga beresiko untuk terjadi konflik. Selanjutnya adalah kewenangan dokter dimana perawat masa kini ingin lebih mandiri, mempunyai tanggungjawab profesional dan tanggung gugat untuk perawatan pasien. Para dokter kadang-kadang melalaikan usulan mereka sementara perawat menginginkan feed back, hal ini dapat membuat gagalnya komunikasi dua arah yang mengarah pada konflik. Keyakinan, nilai, dan sasaran yaitu aktivitas atau persepsi-persepsi yang tidak cocok menimbulkan konflik. Hal ini terbukti apabila perawat mempunyai keyakinan, nilai dan sasaran yang berbeda dengan manajer perawat, dokter, pasien, pengunjung, keluarga, bagian administrasi dan lainnya. Penyebab konflik Universitas Sumatera Utara 16 lainnya dimana perubahan menimbulkan konflik yang pada gilirannya menghalangi perubahan itu sendiri. Manusia yang tidak dipersiapkan menghadapi perubahan akan menolaknya atau mengalami kegagalan dalam mendukungnya. Suasana organisasi dan gaya kepemimpinan dapat menimbulkan konflik apabila manajer yang berbeda membuat peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan konflik. Usia dapat menimbulkan stres dan konflik. Peneliti juga berpendapat bahwa penyebab konflik yang biasa terjadi antara tenaga kesehatan di rumah sakit dapat dikarenakan kurangnya komunukasi, perbedaan pendapat, pengetahuan dan skill dari setiap tenaga kesehatan dalam mencapai tujuan rumah sakit. 2.1.3. Jenis konflik Di dalam manajemen terdapat dua macam konflik yaitu konflik fungsional yang bermanfaat bagi manajemen dan konflik disfungsional yaitu konflik yang merugikan organisasi. Functional conflict (konflik fungsional) adalah konflik yang mampu dikelola oleh organisasi untuk menuju tujuan organisasi atau kelompok. Konflik ini sebagai pemicu untuk meraih tujuan atau sasaran organisasi dengan menumbuhkan persaingan yang positif berdasarkan target kerja diantara para pekerja, sehingga kinerja meningkat dan produktivitas semakin tinggi. Mereka yang berhasil mencapai target atau melebihi target dalam kurun waktu atau periode tertentu mendapatkan insentif atau bonus berupa uang yang melebihi gajinya. Dengan demikian memicu persaingan di antara para pekerja untuk meraih hasil yang memuaskan. Konflik yang kedua adalah disfunctional conflict (konflik yang merugikan) adalah konflik yang didasari sentimen pribadi Universitas Sumatera Utara 17 atau persaingan yang tidak sehat dan tidak jujur sehingga menghambat upaya untuk mencapai tujuan organisasi. Konflik ini terbagi tiga macam yaitu: (a) dysfungtionally high conflict dimana dalam konflik ini semua pekerja cenderung berpikir ke dalam konflik yang sedang terjadi, sehingga tidak terfokus pada hasil kerja, akibatnya para pekerja hanya memikirkan konflik namun tidak mampu menyelesaikan konflik tersebut; (b) dysfungtionally low conflict (konflik disfungsional rendah) adalah konflik yang timbul karena perbedaan pandangan atau pemikiran yang menimbulkan konflik. Bila tidak ada yang memicu konflik ini biasanya segera padam, namun akan sulit padam bila dipicu oleh mereka yang memiliki tipikal konflik dan (c) levels vary among groups dimana konflik yang terjadi di dalam organisasi terdapat perbedaan yang bervariasi, dari tingkatan konflik yang rendah sampai tingkat konflik yang tertinggi. Demikian pula dari tingkatan yang tidak merugikan sampai tingkatan yang sangat merugikan organisasi. Dengan demikian manajemen harus mewaspadai konflik yang merugikan bagi organisasi dan berupaya mengelola konflik yang terjadi sehingga menjadi konflik yang fungsional. Marquis dan Huston (2010) menjelaskan bahwa ada tiga kategori utama konflik yaitu konflik intergroup (antar kelompok), konflik intrapersonal dan konflik interpersonal. Konflik intergroup (antar kelompok) adalah konflik yang terjadi antara dua atau lebih kelompok orang, departemen, atau organisasi. Kategori konflik kedua yaitu konflik intrapersonal yang terjadi dalam diri seseorang. Termasuk di dalamnya usaha individu untuk menjelaskan nilai-nilai atau keinginan yang berlawanan. Pada seorang manajer, konflik intrapersonal bisa Universitas Sumatera Utara 18 diakibatkan karena besarnya rasa tanggungjawab berkaitan dengan peran manajer. Tanggungjawab seorang manajer terhadap organisasi, staf, konsumen, profesi, dan sebagainya, kadang-kadang menyebabkan konflik dan konflik itu diinternalisasi. Menjaga kesadaran diri dan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan konflik intrapersonal penting dimiliki untuk menjaga kesehatan fisik dan mental seorang pemimpin. Kategori konflik terakhir adalah konflik interpersonal yang terjadi antara 2 (dua) atau lebih orang dengan perbedaan nilai, tujuan, dan keyakinan. Dari studi terbaru, dijelaskan bahwa konflik interpersonal merupakan issue yang penting dalam menghadapi profesi keperawatan, terutama untuk lulusan baru. Karena konflik interpersonal biasanya tidak terselesaikan dengan baik, maka dapat mengakibatkan ketidakhadiran dan turn over (Mc Kenna, 2003). 2.1.4. Proses Konflik Proses manajemen konflik bersifat dinamis, sehingga seorang manajer perawat harus mampu mengkaji 5 (lima) tahap konflik (Marquis & Huston, 2010), di antaranya : 1. Konflik laten Secara tidak langsung berisi tentang kondisi yang menyebabkan konflik, misalnya kurangnya tenaga perawat dan perubahan yang cepat. Dalam tahap ini, kondisi tersebut siap berkembang menjadi konflik, walaupun belum ada konflik yang benar-benar terjadi dan mungkin tidak akan pernah terjadi. Akan ada lebih banyak konflik yang tidak perlu terjadi Universitas Sumatera Utara 19 karena dapat dicegah atau dikurangi jika manajer dapat mengkaji lebih seksama adanya kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya konflik. 2. Konflik yang dipersepsikan (substantif) Konflik intelektual dan sering melibatkan isu serta peran. Konflik ini dikenal secara logis dan tidak melibatkan perasaan orang yang terlibat konflik. Kadang konflik dapat diatasi pada tahap ini sebelum diinternalisasi atau dirasakan. 3. Konflik yang dirasakan Terjadi ketika konflik melibatkan emosi. Emosi yang dirasakan antara lain rasa bermusuhan, takut, tidak percaya dan marah. Konflik ini mungkin juga dipersepsikan bukan dirasakan (yaitu tidak ada emosi yang terkait konflik dan orang yang terlibat ganya memandangnya sebagai masalah yang perlu diselesaikan). Orang juga dapat merasakan konflik, tetapi tidak mengetahui masalahnya (yaitu mereka yang tidak mampu mengidentifikasi penyebab konflik yang dirasakan). 4. Konflik yang dimanifestasikan (konflik jelas) Konflik yang memerlukan tindakan berupa menarik diri, berdebat, bersaing, atau mencari penyelesaian konflik. Jika konflik mencapai tahap ini akan sulit mencari penyelesaian tanpa menggunakan sumber lain. 5. Akibat konflik Akibat yang ditimbulkan oleh konflik mungkin lebih terlihat daripada konflik itu sendiri jika konflik itu tidak ditangani secara konstruktif. Konflik akan selalu menimbulkan dampak positif ataupun dampak negatif. Universitas Sumatera Utara 20 Jika konflik dikelola secara baik, orang yang terlibat konflik akan percaya bahwa ia akan diperlakukan dengan adil. Jika konflik dikelola secara buruk, isu konflik seringkali tetap ada dan dapat terulang serta menyebabkan lebih banyak konflik. Tahapan konflik tesebut dapat dilihat pada Skema 2.1. Konflik laten (juga disebut kondisi penyebab) Konflik yang dirasakan Konflik yang dipersepsikan Konflik yang dimanifestasikan Penyelesaian konflik atau manajemen konflik Akibat konflik Skema 2.1. Proses Konflik Berdasarkan Marquis & Huston (2010) 2.1.5. Dampak Konflik Konflik dapat memberikan dampak konstruktif dan desktrutif. Dampak konstruktif meliputi meredakan konflik lebih lanjut, meningkatkan efektivitas, meningkatkan keterikatan, menghasilkan pemimpin dan menguji basis kekuatan. Dampak desktrutif meliputi menurunkan kinerja, perkelahian dan adanya stereotip negatif (Hubber, 2000). Universitas Sumatera Utara 21 Konflik juga dapat memberi dampak positif dan negatif (Brinket, 2010). Dampak positif dari konflik menghasilkan unifikasi, integrasi, kreativitas, perubahan, pemecahan masalah dan pertumbuhan serta kemampuan dalam mengelola konflik. Dampak negatif konflik menghasilkan ketakutan, permusuhan, ancaman dan kurangnya rasa percaya, rasa jenuh, juga biaya langsung dan tidak langsung yang tinggi. Oleh karena itu, seorang manajer perawat diharapkan mampu mengelola dan memanajemen konflik sehingga dapat memberi dampak positif ataupun konstruktif yang dapat meningkatkan kepuasan dan kinerja perawat pelaksana demi tercapainya tujuan organisasi. 2.2. Manajemen Konflik 2.2.1. Definisi Manajemen Konflik Irvine (1998) mengatakan bahwa manajemen konflik adalah strategi dalam suatu organisasi dengan karyawan/individu untuk mengidentifikasi dan memanajemen perubahan sehingga mengurangi sumber daya manusia dan biaya keuangan dari konflik yang tidak dikelola, sementara itu memanfaatkan konflik sebagai suatu sumber inovasi dan perbaikan. Wikipedia mengemukakan bahwa manajemen konflik mengaju pada pengelolaan jangka panjang dari suatu konflik yang berat dan tidak terselesaikan. Hal ini merupakan berbagai cara bagaimana seseorang menangani keluhan atau kekecewaan, berada dalam situasi dimana apa yang mereka anggap benar dan melawan apa yang mereka anggap salah. Caracara tersebut meliputi fenomena yang beragam seperti sebuah gosip, ejekan, hukuman, teroris, perang, permusuhan, pembantaian, merendahkan, mediasi, dan penghindaran. Hardjaka (1994) mengatakan bahwa manajemen konflik adalah Universitas Sumatera Utara 22 cara yang dilakukan oleh pimpinan saat menghadapi konflik. Wirawan (2013) mendefenisikan manajemen konflik adalah suatu proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Suatu organisasi harus mampu belajar dari konflik yang terjadi dalam organisasi karena konflik merupakan sesuatu yang terus terjadi dan tidak dapat dihindari. Konflik dapat berakibat positif maupun negatif terhadap organisasi, karena itu setiap elemen organisasi harus mampu memahami konflik dan memanajemen konflik untuk meningkatkan performa organisasi. 2.2.2. Tujuan Manajemen Konflik Owens (1991) mengatakan bahwa tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan konflik yang merugikan. Wirawan (2013) mengemukakan bahwa manajemen konflik harus dilakukan secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan, di antaranya mencegah gangguan kepada anggota organisasi dalam mencapai visi, misi dan tujuan organisasi, memahami orang lain dan menghargai keberagaman, meningkatkan kreativitas, meningkatkan keputusan melalui pertimbangan-pertimbangan, memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan kerja sama, serta menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik. 2.2.3.Gaya Manajemen Konflik Wirawan (2013) mengemukakan bahwa gaya manajemen konflik adalah suatu atau beberapa pola yang membentuk suatu perilaku yang digunakan untuk Universitas Sumatera Utara 23 menghadapi situasi konflik. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya manajemen konflik yang digunakan diantaranya asumsi mengenai konflik, persepsi mengenai penyebab konflik, ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya, pola komunikasi dalam interaksi konflik, kekuasaan yang dimiliki, pengalaman menghadapi situasi konflik, sumber yang dimiliki, jenis kelamin, kecerdasan emosional, kepribadian, budaya organisasi sistem sosial, prosedur yang mengatur pengambilan keputusan jika terjadi konflik, situasi konflik dan posisi dalam konflik, pengalaman menggunakan salah satu gaya manajemen konflik, dan keterampilan berkomunikasi. Beberapa teori mengenai gaya manajemen konflik telah dikembangkan oleh para ahli, di antaranya: 1. Blake dan Mouton (1964) adalah ahli terdahulu yang menggunakan istilah manajemen konflik yang teorinya dijadikan dasar teori manajemen konflik yang dikembangkan ahli berikutnya. Kerangka teori gaya manajemen konflik disusun berdasarkan dua dimensi yaitu perhatian manajer terhadap orang/bawahan (concern for people) pada sumbu horizontal dan perhatian manajer terhadap produksi (concern for production) pada sumbu vertikal. Berdasarkan dimensi tersebut, maka dikembangkanlah lima jenis gaya manajemen konflik (Skema 2.2). Universitas Sumatera Utara 24 c o n c e r n Forcing Confrontation f o r Compromising p r o d u c t i o n Withdrawl Smoothing concern for people Skema 2.2 Gaya Manajemen Konflik R.R. Blake & J. Mouton (1964) Pada Skema 2.2. di atas dapat dijelaskan bahwa gaya manajemen konflik forcing adalah dimana perhatian seorang manajer tinggi terhadap produksi dan perhatian memaksakan terhadap kehendaknya bawahannya untuk rendah. meningkatkan Manajer produksi berupaya dengan mengabaikan bawahan dalam situasi konflik, confrontation dimana perhatian manajer juga tinggi terhadap produksi dan terhadap bawahannya. Manajer berupaya berkonfrontasi untuk meningkatkan produksinya dan berkonfrontasi juga memperhatikan bawahannya, compromising dimana perhatian manajer sedang (tidak tinggi dan tidak rendah) terhadap produksi dan bawahannya. Manajer berupaya berkompromi tentang tingkat produksi Universitas Sumatera Utara 25 organisasi demi memenuhi kesejahteraan anggotanya, withdrawl dimana perhatian manajer rendah terhadap produksi dan bawahannya. Manajer lebih sering bersikap pasif, seakan-akan tidak terjadi konflik dan cenderung tidak mau menghadapi konflik, dan smooting dimana perhatian manajer rendah terhadap produksi tetapi memiliki perhatian tinggi terhadap bawahannnya. Manajer cenderung menyerah pada keinginan lawan konfliknya demi hubungan yang baik dan kesejahteraan bawahannya. 2. Teori Thomas dan Kilmann (1974) yang mengembangkan gaya manajemen konflik berdasarkan dua dimensi yaitu kerja sama (cooperativeness) pada sumbu horizontal dan keasertifan (assertiveness) pada sumbu vertikal. Kerja sama merupakan upaya orang untuk memuaskan oranglain ketika menghadapi konflik sedangkan keasertifan adalah upaya seseorang untuk memuaskan diri sendiri ketika menghadapi konflik. Berdasarkan dimensi ini, dikembangkan 5 (lima) gaya manajemen konflik (Skema 2.3). a s s Competing Collaboration e r t Compromising i v e n Avoiding Accomodation e s s cooperation Skema 2.3 Gaya Manajemen Konflik Teori Thomas dan Kilmann (1974) Universitas Sumatera Utara 26 Pada Skema 2.3 di atas dapat dijelaskan bahwa gaya manajemen konflik competing merupakan gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan tinggi dan tingkat kerja sama rendah. Berorientasi pada kekuasaan yang dimiliki untuk memenangkan konflik dengan lawannya, collaborating merupakan gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama yang tinggi. Tujuannya adalah untuk mencari alternatif bersama dan sepenuhnya untuk memenuhi harapan dan kepuasan kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik, compromising merupakan gaya manajemen konflik menengah dimana tingkat keasertifan tinggi dan kerja sama sedang. Dengan streategi give and take, kedua belah pihak yang terlibat konflik mencari alternatif titik tengah yang memuaskan mereka, avoiding merupakan gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama rendah, dimana kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik, dan accomodating merupakan gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan rendah dan tingkat kerja sama tinggi, dimana seseorang mengabaikan keperntingannya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawan konfliknya. 3. Teori Rahim (1983) yang mengembangkan gaya manajemen konflik tidak jauh berbeda dengan model yang dikemukakan oleh Thomas dan Kilmann (1974). Gaya manajemen konflik Rahim disusun berdasarkan dua dimensi yaitu memperhatikan oranglain (concern for other) pada sumbu horizontal dan memperhatikan diri sendiri (concern for self) yang dapat dilihat pada Skema 2.4. Universitas Sumatera Utara 27 n c c o n s e r Competing Collaboration Compromising f o r s e l f Avoiding Accomodation n concern for other Skema 2.4 Gaya Manajemen Konflik Teori Rahim (1983) Pada Skema 2.4 di atas dapat dijelaskan bahwa gaya manajemen konflik dominating dimana pihak yang terlibat konflik hanya berupaya memenuhi tujuannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan lawan konfliknya, integrating dimana pihak yang terlibat konflik berusaha menciptakan resolusi konflik yang secara maksimal memenuhi tujuan dirinya sendiri dan tujuan lawan konfliknya, compromising merupakan gaya manajemen konflik berusaha memenuhi sebagian tujuannya dan tujuan lawan konfliknya tanpa berupaya memaksimalkannya, avoiding dimana pihak yang terlibat konflik menolak untuk berdiskusi mengenai konflik yang terjadi. Kedua belah pihak menolak untuk memenuhi kebutuhan sendiri Universitas Sumatera Utara 28 dan lawan konfliknya, dan obliging dimana pihak yang terlibat konflik mengkombinasikan perhatiannya yang tinggi terhadap lawan konfliknya dengan perhatian yang rendah terhadap dirinya sendiri. 2.2.4. Keterampilan Memanajemen Konflik Marquis & Huston (2010) mengemukakan bahwa penyelesaian konflik memerlukan keterampilan kepemimpinan dan fungsi manajemen yang tepat di seluruh hirarki organisasi. Calon kepala ruangan harus mendapat pelatihan mengenai mengelola konflik dan setelah menjadi kepala ruangan sebaiknya terus mendapat pelatihan dan bimbingan mengelola konflik (Abubakar, 2008). Pelatihan ketahanan para manjer perawat dapat mengurangi stress pada manajer keperawatan dan dapat membantu manajer keperawatan dalam menciptakan lingkungan kerja yang nyaman bagi staf keperawatan (Judkins, Reid & Furlow, 2006). Menurut Marquis & Huston (2010) keterampilan kepemimpinan dan fungsi manajemen tingkat unit yaitu peran kepemimpinan dan fungsi manajemen terkait dengan penyelesaian konflik. Peran kepemimpinan diantaranya adalah sadar diri dan bekerja dengan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan konflik intrapersonal, mengatasi konflik segera setelah pertama kali dirasakan dan sebelum termanifestasikan, mencari penyelesaian menang-menang (win-win solution) jika memungkinkan, memperkecil perbedaan persepsi antara pihak yang mengalami konflik dan memperluas pengertian kedua belah pihak tentang masalah, membantu pegawai mengidentifikasi alternatif penyelesaian konflik, mengenali dan menerima perbedaan individual yang dimiliki staf, menggunakan Universitas Sumatera Utara 29 keterampilan komunikasi asertif untuk meningkatkan cara persuasif dan membantu komunikasi terbuka, menjadi model peran yang jujur dan mengupayakan negosisasi kolaboratif. Hal yang kedua adalah fungsi manajemen yaitu menciptakan lingkungan kerja yang meminimalkan kondisi pencetus konflik, secara tepat menggunakan wewenang sah jika harus membuat keputusan yang tidak popular atau cepat, jika perlu, secara formal memfasilitasi penyelesaian konflik yang melibatkan pegawai, menerima tanggungjawab secara mutual untuk mencapai tujuan supraordinat yang telah ditentukan sebelumnya, mendapatkan sumber yang dibutuhkan unit melalui strategi negosiasi yang efektif, mengompromikan kebutuhan unit jika kebutuhan tersebut tidak kritis untuk menjalankan fungsi unit dan jika manajemen yang lebih tinggi melepaskan sesuatu yang sama berharganya, mempersiapkan segalanya untuk melakukan negosiasi untuk mendapatkan sumber unit, termasuk penentuan lanjutan total biaya dan kemungkinan pertukaran sumber unit, serta menangani kebutuhan pengakhiran dan tindak lanjut negosiasi. Manajemen konflik dapat dilakukan dengan banyak hal, salah satunya keterampilan khusus yang harus dimiliki oleh seorang manajer perawatan (Swanburg, 2000). Keterampilan khusus manajer perawat dalam mengelola konflik adalah sebagai berikut: 1. Baca aturan dan pedoman yang jelas dan harus diketahui oleh semua 2. Ciptakan suasana yang mendukung dengan banyak pilihan. Hal ini membuat orang senang untuk membuat usulan. Memberikan kekuatan bagi Universitas Sumatera Utara 30 mereka meningkatkan pemikiran kreatif dan memungkinkan pemecahan masalah yang lebih baik. 3. Katakan bahwa mereka dihargai. Pujian dan penegasan tentang nilai-nilai adalah penting untuk setiap orang dalam bekerja. 4. Tekankan pemecahan masalah secara damai daripada konfrontasi. Bangun jembatan pengertian. 5. Hadapi bila diperlukan untuk mempersiapkan perdamaian. Berikan pendidikan tentang perilaku. Katakan kepada mereka tentang perilaku yang dirasakan, apa yang salah dan bagaimana cara memperbaikinya. 6. Mainkan peran yang tidak menimbulkan stress dan konflik. Jangan berperan sebagai orang yang bermuka dua dan berperilaku tidak menentu, yang dapat menimbulkan kebingungan di antara pekerja. 7. Pertimbangkan waktu terbaik untuk semuanya. Jangan menunda waktu yang tidak menentu. 8. Fokuskan pada isu dan bukan pada kepribadian. 9. Pertahankan komunikasi dua arah. Penangkapan pesan, perbaikan interpretasi dan tingkat perasaan pekerja. Yakinkan dengan mendengarkan curahan dan limpahan hati mereka sehingga masalah yang sebenarnya dapat diketahui. 10. Tekankan pada persamaan kepentingan. 11. Pisahkan isu-isu dan hadapi hal-hal yang penting untuk kedua kelompok. 12. Periksa semua pemecahan masalah dan bila memilih salah satu harus dapat diterima oleh kedua kelompok. Universitas Sumatera Utara 31 13. Hindari penolakan yang berlebihan terhadap penilaian, bersikat melawan, menegur individu, memotong pernyataan perasaan dan memonopoli pembicaraan. Respon ini dapat meningkatkan frustasi dan teknik manajemen yang tidak efektif. 14. Bila konflik terjadi pada saat pengambilan keputusan atau tahap pelaksanaan, usahakan untuk mencapai kesepakatan. Persetujuan terhadap jalan yang ditempuh memberikan beberapa minat dari semua pihak. Cari kesepakatan daripada pertentangan. 15. Ketahui hambatan-hambatan untuk kerjasama atau pemecahan, fokuskan terhadap dinamika konflik untuk pemecahannya. 16. Bedakan antara perilaku yang menetang dengan perilaku yang normal dalam kesalahan-kesalahan kerja. Menentang biasanya adalah perilaku individu. Tentukan siapa yang menentang dan siapkan untuk menghadapi secara emosional dan intelektual. Berjanji dengan seorang penentang pada suatu waktu. Bentuk kewibawaan dan kemampuan. Wawancarai secara pribadi : ajari, evaluasi, pecahkan, bimbing, dan buat perjanjian dengan penentang. Kerjakan dengan segera dan tindaklanjuti dalam 1-2 hari. 17. Kuat dalam menghadapi orang marah. 18. Tetapkan siapa yang memiliki masalah. Bertanggungjawab sebagaimana kita memilikinya dan ucapan terimakasih. 19. Tetapkan kebutuhan-kebutuhan yang terlalaikan atau frustasi dan kebutuhan terhadap pengenalan dan pemeliharaan. 20. Bantu membedakan kebutuhan dan mimpi. Universitas Sumatera Utara 32 21. Bangun kepercayaan dengan mendengarkan, mengklarifikasi dan memungkinkan tantangan dikeluarkan secara lengkap. Berilah umpan balik untuk meyakinkan bahwa anda mengerti. Biarkan orang tahu bahwa anda memperhatikan dan mempercayai mereka. Tunjukkan pengenalan terhadap sudut pandang yang lain dan kemauan untuk memperbaiki hubungan. Lihat kenyataan. Minta umpan balik. Bila seorang staf perawat atau petugas lain mempunyai pandangan yang valid, kenali, maafkan bila perlu dan bersikap ikhlas. 22. Rundingkan kembali prosedur pemecahan masalah untuk mencegah kegusaran lebih lanjut, ketidakpercayaan dan sifat melawan. 2.3. Kepuasan Kerja 2.3.1. Definisi Kepuasan kerja adalah bagaimana orang merasakan pekerjaan mereka secara umum dan aspek-aspek yang berbeda dan bervariasi dari pekerjaan mereka (Spector, 1997). Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya yang tercermin dalam moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja (Hasibuan, 2005). Anoraga (2004) mengemukakan bahwa kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerja. Kenyataan menunjukkan bahwa orang mau bekerja bukan hanya mencari dan mendapatkan upah saja, akan tetapi bekerja dengan bekerja ia mengharapkan akan mendapatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja tersebut tentang seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memenuhi kebutuhannya (As’ad, Universitas Sumatera Utara 33 2008). Kepuasan kerja juga menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan, sehingga kepuasan juga berkaitan dengan teori keadilan, perjanjian psikologis dan motivasi (Robbins, 2006). Wang et. al., (2014) juga mengemukakan bahwa kepuasan kerja mencerminkan sejauh mana keinginan, kebutuhan, atau harapan seseorang terpenuhi di tempat kerja. Kepuasan kerja juga diartikan sebagai ungkapan kepuasan karyawan tentang bagaimana pekerjaan mereka dapat memberikan manfaat bagi organisasi, yang berarti bahwa apa yang diperoleh dalam bekerja sudah memenuhi apa yang dianggap penting (Luthans, 2005). Berdasarkan beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang tercermin dari seseorang akan aspek-aspek yang bervariasi dalam pekerjaannya yang juga akan mempengaruhi kinerjanya. 2.3.2.Teori-teori Kepuasan Kerja Beberapa teori yang berhubungan dengan kepuasan kerja dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Teori Maslow Teori Hierarki Kebutuhan Maslow (hierarcy of needs) menyatakan bahwa kebutuhan manusia dapat disusun berdasarkan hierarki, dimana kebutuhan paling atas akan menjadi motivator utama bila kebutuhan pada tingkat di bawahnya telah terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tersusun mulai kebutuhan yang paling rendah kepada kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu : kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri (Potter & Perry, 2005). Universitas Sumatera Utara 34 2. Teori Frederick -Herzberg Ahli psikologi dan konsultan manajemen ini mengembangkan Teori Dua Faktor yang menempatkan faktor-faktor pekerjaan dalam dua kelompok, yaitu faktor pemuas/motivator yang terdiri dari faktor intrinsik pekerjaan, yang meliputi aspek dari pekerjaan itu sendiri, tanggungjawab, penghargaan, pencapaian prestasi, kemanjuan, kemungkinan berkembang, dan konformitas. Bila faktor pemuas terpenuhi maka dapat menimbulkan kepuasan kerja yang akan membentuk motivasi yang kuat untuk menghasilkan kinerja yang baik dan faktor pemelihara/hygienis yaitu merupakan kondisi ekstrinsik dari pekerjaan seperti upah, keamanan kerja, kondisi kerja, status, prosedur, perusahaan, mutu penyelian, dan mutu hubungan interpersonal. Terpenuhinya kebutuhan akan kondisi ekstrinsik kerja tidak menjamin timbulnya kepuasan kerja karyawan, tetapi merupakan faktor yang memelihara kondisi kerja agar tidak terjadi ketidakpuasan kerja. Ketidakberadaan faktor pemelihara ini dapat mengakibatkan timbulnya ketidakpuasan (Wibowo, 2011). 3. Teori Adelfer Disebut dengan Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth). Adelfer setuju dengan Maslow, bahwa kebutuhan individu tersusun secara hirarki, namun hirarki kebutuhan yang diajukannya hanya terdiri dari tiga set kebutuhan, yaitu existence/eksistensi merupakan kebutuhan-kebutuhan yang terpuaskan oleh faktor-faktor seperti gaji dan kondisi pekerjaan, relatedness/hubungan merupakan kebutuhan-kebutuhan yang terpuaskan Universitas Sumatera Utara 35 dengan adanya hubungan sosial dan interpersonal yang berarti, dan growth/pertumbuhan merupakan kebutuhan-kebutuhan yang terpuaskan oleh produktivitas dan kreatifitas individu (Kuntoro, 2010). 4. Teori McClelland Dikenal dengan Teori Kebutuhan Yang Dipelajari. McClelland mengemukakan teori kebutuhan motivasi yang dipelajari, yang erat hubungannya dengan konsep belajar. Teori ini mengatakan bahwa seseorang dengan suatu kebutuhan yang kuat akan termotivasi untuk menggunakan tingkah laku yang sesuai untuk memuaskan kebutuhan. Kebutuhan seseorang dipelajari dari kebudayaan masyarakat di lingkungannya. Tiga kebutuhan yang dipelajari tersebut adalah kebutuhan berprestasi, kebutuhan berafiliasi, dan kebutuhan berkuasa (Gomes, 2003). 5. Teori Diskrepensi dan Teori Keadilan Dikemukakan oleh Ilyas (2001) yang menjelaskan hubungan kepuasan dengan penghargaan yang diterima secara ekstrinsik yang terdiri dari teori diskrepansi dan teori ketidakadilan. Teori diskrepansi menjelaskan bahwa keadilan ditentukan oleh keseimbangan antara apa yang dirasakan seseorang sebagai hal yang seharusnya ia terima dengan apa yang secara nyata ia terima. Jika penghargaan yang secara nyata ia terima sebanding dengan apa yang diharapkannya, maka ia akan merasa puas. Setiap diskrepansi atau ketidakseimbangan antara kedua tingkatan tersebut akan menimbulkan perasaan tidak puas. Teori selanjutnya adalah teori ketidakadilan menjelaskan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh rasa Universitas Sumatera Utara 36 keadilan dan ketidakadilan. Dalam menilai keadilan tersebut individu memperhatikan faktor-faktor input, output, dan comparison person. Input adalah segala sesuatu yang diserahkan individu dalam menyelenggarakan tugas pekerjaan, seperti pengetahuan, kecerdasan, keterampilan dan pengalaman, sedangkan output adalah segala sesuatu yang diterima dari tempat kerja sebagai imbalan atau tugas yang dikerjakan, seperti gaji, fasilitas kerja, perumahan, jaminan kesehatan. Faktor terakhir yaitu comparison person, dimana individu lain sebagai pembanding bagi karyawan dalam hal input dan outcome. 2.3.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Menurut Baron dan Byrne (1994) terdapat dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu faktor organisasi dan faktor individual/karakteristik karyawan. Faktor organisasi terdiri dari kebijaksanaan perusahaan dan iklim organisasi sedangkan faktor individual/karakteristik karyawan terdiri dari status dan senioritas. Selain ini Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2011) mengemukakan lima faktor yang menyebabkan kepuasan yaitu need fulfillment (pemenuhan kebutuhan), discrepancies (perbedaan), value attainment (pencapaian nilai), equity (keadilan), dan dispositional/genetic component (komponen genetik). Harold E Burt (2004) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah faktor hubungan antar karyawan, antara lain hubungan antara manajer dengan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja, hubungan sosial di antara karyawan, sugesti dari teman kerja, emosi dan situasi kerja; faktor Universitas Sumatera Utara 37 individual yaitu yang berhubungan dengan sikap orang terhadap pekerjaannya, umur orang sewaktu bekerja, dan jenis kelamin; dan faktor eksternal yang berhubungan dengan keadaan keluarga karyawan, rekreasi, pendidikan, dan sebagainya. Robbins (2006) menjabarkan teori 2 (dua) faktor yang dikemukakan Herxberg (1966) tentang faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu maintenance factors dan motivation factors. Maintenance factors adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang berlangsung terus menerus karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi. Faktor-faktor pemeliharaan ini berupa gaji atau upah (wages of salaries), kondisi kerja (working conditions), kebijakan dan administrasi perusahaan (company policy and administration), hubungan antar pribadi (interpersonal relation), dan kualitas supervisi (quality supervisor). Tidak terpenuhinya faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan absennya karyawan. Faktor yang kedua adalah motivation factors adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Faktor ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan yang berupa prestasi (achievment), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (the work it self), tanggungjawab (responsibility), pengembangan potensi individu (advancement), dan kemungkinan berkembang (the possibility of growth). Universitas Sumatera Utara 38 2.3.4.Karakteristik Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Menurut Davis (2004) berbagai karakteristik yang menentukan kepuasan atas pekerjaan digolongkan menjadi tiga yaitu karakteristik pekerjaan, karakteristik organisasi dan karakteristik individu. Karakteristik pekerjaan adalah karakteristik yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah kejelasan peran, keleluasaan dalam kerja, dan penghargaan intrinsik. Kejelasan peran menyebabkan individu mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya. Individu akan lebih berhasil dalam pekerjaan apabila ia mengetahui apa yang diharapkan dan memahami tujuan tugas dengan jelas. Keleluasaan dalam kerja menekankan perhatian pada otonomi, variasi tugas, tanggungjawab, dan umpan balik dari pekerjaan. Penghargaan intrinsik memiliki dampak kuat untuk timbulnya kepuasan kerja. Penghargaan intrinsik berkaitan dengan psikis atau perasaan individu yang merupakan akibat dari kinerjanya. Faktor-faktor karakteristik pekerjaan yang memberi sumbangan terhadap kepuasan kerja diantaranya adalah manajemen, supervisi langsung, lingkungan sosial, komunikasi, keamanan, pekerjaan yang monoton, dan penghasilan. Karakteristik yang kedua adalah karakteristik organisasi dimana terdapat dua variabel yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu keterlibatan dalam pembuatan keputusan organisasi dan tingkatan pekerjaan. Individu yang dilibatkan dalam pembuatan keputusan organsasi mendapatkan kepuasan kerja lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak terlibat. Karakteristik terakhir adalah karakteristik individu yang berhubungan dengan kepuasan kerja yang terdiri dari usia, pendidikan, dan jabatan yang dipegang. Universitas Sumatera Utara 39 Menurut Robbin & Judge (2008), kepuasan kerja juga dipengaruhi oleh karakteristik biografi meliputi umur, masa kerja, pendidikan, jenis kelamin, dan status pegawai. Umur adalah lama hidup seseorang hingga ulang tahunnya yang terakhir. Hubungan umur dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan yang positif artinya makin tua umur karyawan makin tinggi tingkat kepuasan kerjanya, setidak-tidaknya sampai umur karyawan menjelang pensiun pada pekerjaan yang dikuasainya. Sebaliknya mudah menduga bahwa bagi karyawan yang lebih muda usia, keinginan pindah lebih besar. Davis (2004) menyatakan usia >35 tahun dikategorikan usia tua dan usia ≤35 tahun usia muda. Masa kerja dimana karyawan baru cenderung kurang puas dibandingkan dengan karyawan yang lebih senior. Terdapat berbagai alasan terjadinya hal ini karena karyawan baru datang di tempat kerja dengan harapan tinggi yang tidak memungkinkan untuk dipenuhi atau mungkin untuk pekerjaan tersebut hanya dibutuhkan pendidikan atau kemampuan yang lebih rendah daripada kemampuan yang dimilik karyawan baru tersebut. Karyawan yang lebih berpengalaman lebih tinggi kepuasan kerjanya daripada mereka yang kurang pengalaman kerjanya. Pendidikan yaitu adanya hubungan yang negatif antara tingkat pendidikan dengan kepuasan terhadap gaji disebabkan perbedaan harapan. Klien dan Mahe mengatakan bahwa pekerja dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi berharap dapat berpenghasilan lebih tinggi di suatu organisasi. Jenis kelamin dimana tidak ada pengaruh jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan terhadap kepuasan kerja. Penelitian menurut Suroso (2011) menyatakan bahwa perawat wanita yang merupakan seorang ibu dalam keluarga, kemungkinan akan memiliki naluri keibuan yang bermanfaat Universitas Sumatera Utara 40 dalam membentuk perilaku caring dalam proses pemberian asuhan keperawatan dan menciptakan kepuasan kerja. Status kepegawaian dimana karyawan PNS lebih memiliki ketenangan dengan statusnya, mereka mengerti akan peluang pengembangan karier, serta cukup tenang akan jaminan hari tuanya, sebaliknya hal ini tidak dialami oleh karyawan yang berstatus non PNS. 2.3.5.Efek Kepuasan Kerja Menurut Noe, dkk (2011) kepuasan kerja akan memberi efek/dampak pada beberapa hal diantaranya kinerja, kemangkiran atau keterlambatan, turn over, dan komitmen terhadap organisasi. Dampak pertama adalah kinerja dimana beberapa hasil riset penelitian mendukung hubungan kepuasan kerja dengan kinerja kerja dalam suatu organisasi. Individu yang merasa puas dipastikan akan memiliki produktivitas yang baik. Organisasi yang dapat memberikan kepuasan kerja pada karyawannya cenderung lebih efektif dan memiliki kinerja yang baik dibandingkan dengan yang tidak memberikan kepuasan kerja pada karyawannya. Dampak kedua adalah kemangkiran atau keterlambatan dimana beberapa penelitian menemukan hubungan yang secara konsisten negatif antara kepuasan kerja dan kemangkiran atau keterlambatan. Hal yang ketiga adalah turn over dimana kepuasan kerja memiliki hubungan dengan turn over pegawai dalam suatu organisasi. Para manajer harus memperhatikan dengan serius hal tersebut karena akan mengganggu kelanjutan organisasi dan disarankan untuk meningkatkan kepuasan kerja dalam mengurangi turn over dan yang terakhir adalah komitmen terhadap organisasi yaitu perasaan memiliki oleh setiap individu terhadap organisasi dan komitmennya dalam mencapai tujuan Universitas Sumatera Utara 41 organisasi. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan positif antara kepuasan dan komitmen organisasi. 2.3.6. Penilaian/Pengukuran Kepuasan Kerja Salah satu sasaran penting dalam manajemen sumber daya manusia pada suatu organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi tersebut. Tidak ada tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak karena setiap individu berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja hanya dapat diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan pergantian staf (turnover) kecil maka secara relatif kepuasan kerja karyawan baik (Hasibuan, 2001). Swanburg (2000) mengemukakan bahwa pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang memuat komponen penilaian kepuasan, gaji dan tunjangan tambahan, filosofi pengaturan staf, peminjaman dan pertukaran shift, pekerjaan administrasi, hubungan antar disiplin, profesionalisme dan pengembangan staf, serta faktor dukungan administrasi. Pengukuran kepuasan kerja juga dapat dilakukan dengan menggunakan konsep Luthans (2005), yang terdiri dari budaya dan nilai organisasi, peluang karir, kepemimimpinan, aktifitas kerja dan kompensasi. Penilaian kepuasan kerja dapat dilihat dari perasaan umum seseorang akan pekerjaannya (global satisfaction) dan aspek-aspek dari pekerjaannya (facet satisfaction). Pendekatan global merupakan pendekatan secara umum yang menggunakan perspektif yang lebih luas dalam melihat kepuasan kerja. Pendekatan global digunakan ketika ingin melihat secara keseluruhan sikap misalnya melihat dampak suka atau tidak sukanya individu terhadap perusahaan. Universitas Sumatera Utara 42 Pertanyaan ini menggunakan satu buah pertanyaan dimana responden hanya perlu menjawab “sangat puas”, “cukup puas”, dan “tidak puas” untuk menggambarkan sikap terhadap pekerjaannya (Vechio, 2006). Pendekatan ini memang dapat membantu melihat kepuasan secara menyeluruh namun memiliki kelemahan yaitu masalah penafsiran individu dari pertanyaan yang diajukan atau perbedaan interpretasi individu dalam menentukan kepuasan kerja dan hal ini tidak diukur (Jewell & Siegel, 1998). Konflik yang timbul akibat hubungan antar karyawan yang kurang baik, konflik dari masing-masing individual dan dari luar (eksternal) merupakan hal yang mempengaruhi kepuasan kerja. Pendekatan berikut adalah pendekatan facet digunakan untuk melihat bagaimana pekerjaan tersebut memberi kepuasan kerja atau tidak. Pendekatan ini memberikan gambaran yang lebih lengkap dibandingkan dengan pendekatan global. Spector (1997) mengindikatorkan kepuasan kerja dari sembilan aspek yang diukur dalam pendekatan ini yang meliputi gaji (global satisfaction) yaitu kepuasan akan pembayaran gaji atau upah, promosi yaitu kepuasan akan kesempatan promosi yang adil, supervisi yakni kepuasan akan supervisi dari atasan langsung, keuntungan tambahan (benefit) yakni kepuasan dengan keuntungan yang diperoleh selain gaji seperti asuransi, liburan dan bentuk fasilitas lain, contingent rewards yaitu sebuah kepuasan akan hadiah (tidak harus berupa uang) yang diberikan untuk perkembangan kerja yang baik seperti rasa hormat, diakui, dan diberi apresiasi, operating conditions yaitu sebuah kepuasan akan kebijakan, peraturan-peraturan dan prosedur, rekan kerja (coworkers) yaitu kepuasan akan rekan kerja dimana memiliki rekan kerja yang menyenangkan dan Universitas Sumatera Utara 43 kompeten, nature of work yaitu kepuasan akan tipe pekerjaan yang dilakukan, dan komunikasi yaitu kepuasan akan berkomunikasi dalam sebuah organisasi (verbal maupun non verbal). Siagian (2009) menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kepuasan kerja perlu memperhatikan rancang bangun dari suatu pekerjaan yang menghubungkan pekerja dengan organisasi. Faktor penyebab organisasi membutuhkan pekerja adalah pekerjaan yang harus dilakukan sehingga pekerjaan haruslah meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja. Unsur-unsur dalam rancang bangun kepuasan kerja meliputi otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan, variasi tugas, identitas tugas, pentingnya pekerjaan seseorang, dan umpan balik. Otonomi adalah pemupukan rasa tanggungjawab atas pekerjaan seseorang beserta hasilnya. Para pekerja diberi kebebasan dalam mengendalikan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya sehingga rasa tanggungjawab dan tingkat kepuasannya menjadi lebih besar. Variasi tugas dibutuhkan dalam meningkatkan kepuasan kerja pekerja. Pemusatan pada satu tugas tertentu dapat meningkatkan keefektifan dan keahlian yang tinggi namun akan sangat membosankan sehingga berdampak negatif dalam hal keletihan, kesalahan dalam pelaksanaan tugas, dan kecelakaan. Unsur berikut adalah identitas tugas, dimana para pekerja akan merasa bangga apabila dapat menunjukkan hasil pekerjaannya secara konkret. Jika hasil pekerjaan tidak mendapat penghargaan akan menurunkan kepuasan kerja. Pentingnya pekerjaan seseorang berkaitan erat dengan identitas tugas dimana seorang pekerja merasa bangga, mempunyai komitmen, motivasi dan kepuasan yang tinggi jika mengetahui bahwa oranglain mengganggap dan bergantung Universitas Sumatera Utara 44 padanya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Unsur terakhir adalah umpan balik akan cara seseorang menyelesaikan pekerjaannya yang sangat penting baginya, sebab jika tidak diperoleh maka dalam dirinya tidak akan ada motivasi yang kuat untuk berprestasi lebih tinggi. Pada penelitian ini penulis menggunakan penilaian kepuasan kerja dengan menggunakan dengan menggunakan unsur penilaian kepuasan kerja menurut Siagian (2009) yang meliputi otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan, variasi tugas, identitas tugas, pentingnya pekerjaan seseorang, dan umpan balik. 2.3.7. Manajemen Konflik Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai yang memiliki kepuasan kerja yang baik mendorong pekerja tersebut bekerja lebih giat, memiliki gaya manajemen konflik yang efektif, loyalitas terhadap organisasi yang tinggi, menguntungkan bagi organisasi (Guttman, 2009). Disposisi personal, tanggungjawab kerja, supervisi, rekan kerja, gaji, adalah beberapa pendukung untuk membangun kepuasan kerja menjadi lebih meningkat (Miller, 2007). Para karyawan percaya bahwa mereka memiliki sebuah tim yang dapat mengelola konflik dengan efektif akan menghasilkan produktivitas kerja dan kepuasan kerja yang tinggi (Noe, 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin efektif kita mengendalikan, mengelola, dan manajemen konflik, pada suatu organisasi maka akan menciptakan sebuah kerjasama tim, kepemimpinan yang efektif, moral yang tinggi, meningkatkan produktifitas, kepuasan pelanggan dan kepuasan karyawan (Williams, 2011). Pada dasarnya, konflik dapat terjadi karna setiap tim atau pihak tertentu memiliki peraturan sendiri. Penyelesaian konflik tergantung dari bagaimana organisasi Universitas Sumatera Utara 45 tersebut mengatur dan memanajemen konflik tersebut hingga selesai. Jika konflik dapat diselesaikan dengan baik maka akan berdampak pula pada kepuasan kerja yang tinggi. 2.4. Kinerja Kerja 2.4.1. Definisi Kinerja merupakan penampilan kerja individu atau kelompok kerja baik secara kuantitas maupun secara kualitas dalam suatu organisasi (Ilyas, 2002). Mangkunegara (2009) mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan padanya. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan gaya strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi (Wibowo, 2007). Kinerja merupakan penampilan hasil karya personal baik kualitas maupun kuantitas. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personel yang memangku jabatan (fungsional maupun struktural), tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personel di dalam organisasi (Ilyas, 2002). Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok. Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Wirawan (2013) mengemukakan bahwa kinerja pegawai merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor yaitu faktor internal pegawai, faktor-faktor lingkungan internal pegawai, dan faktor lingkungan eksternal pegawai. Penilaian kinerja perawat merupakan salah satu upaya manajemen rumah sakit yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan Universitas Sumatera Utara 46 kualitas pelayanan keperawatan (Ginting & Setiawan, 2012) dan merupakan suatu ukuran pengawasan yang digunakan oleh manajer perawat untuk mencapai tujuan organisasi (Gillies, 1996). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil yang dicapai oleh seseorang atau kelompok sesuai dengan tugas dan tanggungjawab dalam suatu organisasi. 2.4.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Wirawan (2013) mengemukakan bahwa kinerja pegawai merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor yaitu faktor internal pegawai, faktor lingkungan internal pegawai, dan faktor eksternal pegawai. Faktor internal pegawai adalah faktor-faktor dari dalam diri pegawai yang merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang diperoleh ketika pegawai tersebut berkembang. Faktor-faktor bawaan misalnya bakat, sifat pribadi, keadaan fisik dan kejiwaan (stres). Faktor berikutnya adalah faktor-faktor lingkungan internal pegawai dimana dalam melaksanakan tugas pegawai memerlukan dukungan organisasi. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja pegawai. Sistem kompensasi, iklim kerja organisasi, strategi organisasi, serta dukungan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan merupakan fakor lingkungan internal organisasi yang mendukung pelaksanaan tugas. Faktor yang terakhir adalah faktor lingkungan eksternal pegawai yaitu keadaan, situasi, kejadian, yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi yang mempengaruhi kinerja karyawan, misalnya krisis ekonomi dan budaya masyarakat. Ilyas (2002) mengatakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor demografi dan supervisi yaitu usia, lama kerja, dan supervisi. Semakin tua umur seseorang maka kebutuhan aktualisasi diri akan Universitas Sumatera Utara 47 semakin tinggi bila dibandingkan dengan kebutuhan fisiologinya, demikian halnya dengan lama kerja, dimana pengalaman kerja akan mempengaruhi seseorang dalam berinteraksi dengan pekerjaan yang dilaksanakannya. Pada faktor supervisi berlangsung proses yang memacu anggota organisasi untuk berkontribusi secara positif agar tujuan organisasi dapat tercapai. Ilyas (2002) juga mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja personil secara teoritis ada tiga kelompok variabel yaitu variabel individu, variabel organisasi, dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja personil. Diagram skematis variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja dapat dilihat pada Skema 2.5. Variabel individu : 1. Kemampuan dan keterampilan : mental dan fisik 2. Latar belakang : keluarga, tingkat sosial, pengalaman 3. Demografis : umur, etnis, jenis kelamin Variabel perilaku (apa yang dikerjakan) dan Kinerja (hasil yang diharapkan) Variabel psikologis : 1. Persepsi 2. Sikap 3. Kepribadian 4. Belajar 5. Motivasi Variabel organisasi : 1.Sumber daya 2.Kepemimpinan 3.Imbalan 4.Struktur 5.Desain pekerjaan 6.Supervisi 7.Control Skema 2.5 Diagram Skematis Teori Perilaku dan Kinerja (Gibson, 1987) Universitas Sumatera Utara 48 2.4.3. Unsur-unsur Penilaian Kinerja Hasibuan (2003) menjelaskan unsur-unsur yang harus dinilai dalam penilaian kinerja adalah kesetiaan, prestasi kerja, kejujuran, kedisiplinan, kreativitas, kerjasama, kepemimpinan, kepribadian, prakarsa, kecakapan dan tanggung jawab. Unsur-unsur tersebut serupa dengan unsur-unsur penilaian DP3 yang disampaikan Ilyas (2002) meliputi kesetiaan, prestasi kerja, tanggungjawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa, kepemimpinan. Kesetiaan adalah hal yang dicerminkan oleh kesediaan karyawan menjaga dan membela organisasi di dalam maupun di luar organisasi dari orang yang tidak bertanggungjawab. Prestasi kerja merupakan hasil pelaksanaan pekerjaan yang dicapai oleh seorang personel dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya yang dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan, pengalaman, kesungguhan, dan lingkungan kerja. Tanggungjawab merupakan kesanggupan seorang personel dalam menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan baik, tepat waktu, serta berani mengambil resiko untuk keputusan yang dibuat atau tindakan yang dilakukan dan ketaatan merupakan kesanggupan seorang personel untuk menaati segala peraturan kedinasan yang berlaku dan menaati perintah dinas yang diberikan atasan yang berwenang, serta sanggup tidak melanggar larangan yang ditentukan. Unsur berikutnya adalah kejujuran yang merupakan sikap mental yang keluar dari dalam diri manusia sendiri. Itu merupakan ketulusan hati dalam melaksanakaan tugas dan mampu untuk menyalahgunakan wewenang dan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Kerjasama adalah kesediaan karyawan berpartisipasi dan bekerjasama dengan karyawan lainnya secara vertikal atau Universitas Sumatera Utara 49 horizontal di dalam maupun di luar pekerjaan sehingga hasil pekerjaan akan semakin baik. Prakarsa merupakan kemampuan seorang personel mengambil keputusan. Langkah-langkah, serta melaksanakannya, sesuai dengan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok, tanpa menunggu perintah atasan. Unsur terakhir adalah kepemimpinan merupakan kemampuan seorang personel untuk mempengaruhi dan meyakinkan oranglain, sehingga orang-orang tersebut dapat digerakkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas-tugas yang ada. Depkes (2007) mengemukakan penilaian kinerja perawat dapat dinilai secara obyektif dengan menggunakan metode dan instrumen penilaian yang baku. Pedoman penilaian asuhan keperawatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman akreditasi rumah sakit 2007 yang disebut instrumen A yang berisi tentang penilaian kelengkapan pendokumentasian asuhan keperawatan yang meliputi : pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan keperawatan, evaluasi, dan catatan asuhan keperawatan. PPNI (2002), mengemukakan bahwa penilaian kinerja perawat berdasarkan standar praktek profesional yang meliputi standar I (pengkajian keperawatan), standar II (diagnosis keperawatan), standar III (perencanaan), standar IV (pelaksanaan), dan standar V (evaluasi). Komponen dalam penilaian kinerja karyawan dapat meliputi pengetahuan tentang pekerjaan, kualitas kerja, produktivitas, adaptasi dan fleksibilitas, inisiatif dan pemecahan masalah, keandalan/pertanggungjawaban, kooperatif kemampuan dan komunikasi kerjasama, dan interaksi, kepemimpinan dan pengembangan diri bawahan merupakan komponen tambahan Universitas Sumatera Utara 50 (Mangkunegara, 2009). Pengetahuan tentang pekerjaan adalah memahami tugas dan tanggungjawab, memiliki pengetahuan dan mampu mengikuti perkembangan peraturan terkait peraturan, prosedur dan keahlian teknis terbaru di bidang keperawatan, mampu menggunakan informasi, material, peralatan dan teknik dengan tepat dan benar. Faktor-faktor kualitas kerja mencakup perhatian cermat pada pekerjaan, mematuhi peraturan dan prosedur kesehatan dan keselamatan kerja, mampu membuat dan dapat memahami keputusan terkait pekerjaan, mengembangkan solusi alternatif dan tindakan yang tepat dimana dalam hal ini perawat dituntut memiliki perhatian utama pada pelaksanaan asuhan keperawatan sesuai SOP dan SAK. Menyelesaikan tugas secara konsisten, mengorganisisr prioritas kerja secara efektif, efesiensi waktu dan pemeliharaan lingkungan kerja sesuai dengan fungsinya merupakan komponen dari produtivitas karyawan. Komponen adaptasi dan fleksibilitas mencakup kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan dan pekerjaan, menunjukkan hasil kerja yang baik dalam kondisi apapun, mempelajari dan menguasai informasi serta prosedur yang baru. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan apapun, perawat harus melakukan asuhan keperawatan sebaik mungkin. Komponen berikutnya adalah inisiatif dalam menghasilkan ide, tindakan dan solusi yang inovatif dan pemecahan masalah dalam mengantisipasi, memahami masalah, serta membuat solusi penyelesaian masalah. Kooperatif dan kerjasama meliputi memelihara hubungan yang efektif, mampu bekerjasama, memberikan bantuan dan dukungan pada oranglain, mampu mengakui kesalahan sendiri, dan mau belajar dari kesalahan tersebut. Kedisiplinan waktu baik dari segi Universitas Sumatera Utara 51 kehadiran dan penyelesaian pekerjaan, mengikuti instruksi, dan bekerja secara mandiri merupakan bagian dari komponen keandalan/pertanggungjawaban. Komponen terakhir adalah kemampuan berkomunikasi dan interaksi yang mencakup mampu berkomunikasi dengan jelas, mampu berinteraksi dengan oranglain, memelihara hubungan yang baik dan profesional antar individu, mampu memecahkan masalah, dan meneriman masukan dari orang lain. Keseluruhan komponen penilaian kinerja keperawatan harus mengarah pada tahapan proses keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Depkes, 2004). Penelitian ini mengukur kinerja perawat pelaksana dengan menggunakan konsep kinerja menurut Mangkunegara (2009) yang dihubungkan dengan komponen penilaian kinerja menurut Depkes (2004) yang meliputi pengetahuan tentang pekerjaan, kualitas kerja, produktivitas, adaptasi dan fleksibilitas, inisiatif dan pemecahan masalah, kooperatif dan kerjasama, kendalan/pertanggungjawaban, kemampuan komunikasi dan interaksi. 2.4.4. Penilaian Kinerja a. Pengertian Marquis dan Huston (2010) mengemukakan bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses pengawasan dimana kinerja staf dinilai dan dibandingkan dengan standar yang ada pada suatu organisasi. Penilaian kinerja perawat merupakan salah satu upaya manajemen rumah sakit yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan Universitas Sumatera Utara 52 (Ginting & Setiawan, 2012) dan merupakan suatu ukuran pengawasan yang digunakan oleh manajer perawat untuk mencapai tujuan organisasi (Gillies, 1996). Penilaian kinerja adalah suatu proses yang diawali dengan penetapan standar kinerja yang membutuhkan umpan balik pegawai (Nasution, 2010). Swanburg (2000) juga mengemukakan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu proses untuk mengontrol sumber daya dan produktivitasnya. Melalui penilaian kinerja, dapat diketahui seberapa baik pegawai menjalankan tugas yang diberikan kepadanya (Marquis & Huston, 2010). Keseluruhan penilaian kinerja yang dilakukan untuk melihat sejauh mana para karyawan mencapai kinerja sesuai dengan tujuan suatu organisasi. b. Manfaat dan Tujuan Tujuan utama penilaian kinerja ada dua yaitu sebagai alat mengevaluasi kemampuan personel secara individual yang dapat digunakan sebagai informasi untuk menilai efektivitas manajemen sumber daya manusia dan sebagai umpan balik dalam pengembangan personel seperti promosi, mutasi, rotasi, terminasi, dan penyesuaian kompensasi (Ilyas 2002 dalam Wahyudi 2007). Stoner dan Freeman (1982) mengemukakan manfaat penilaian kinerja yaitu untuk menanggulangi perubahan, meningkatkan produktivitas, dapat menambah nilai dan memudahkan delegasi dan kerja bersama tim. Tujuan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efesiensi seorang karyawan atau tim kerja dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya (Nawawi, 2006). Melalui proses penilaian kinerja yang baik, dapat memotivasi anggota organisasi untuk Universitas Sumatera Utara 53 menampilkan kinerja terbaiknya, sehingga tujuan organisasi akan tercapai dan kesempatan untuk berkembang akan menjadi lebih luas (Hubber, 2000). Nursalam (2011) menjelaskan manfaat penilaian kinerja perawat adalah meningkatkan prestasi kerja staf secara individu atau kelompok dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan di rumah sakit, peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan pada gilirannya akan mempengaruhi atau mendorong sumber daya manusia secara keseluruhannya, merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil karya dan prestasi dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka tentang prestasinya, membantu rumah sakit untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan staf yang lebih tepat guna, sehingga rumah sakit akan mempunyai tenaga yang cakap dan tampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan di masa depan, menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan gajinya atau sistem imbalan yang baik, memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk mengeluarkan perasaan tentang pekerjaannya atau hal lain yang ada kaitannya melalui jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara atasan dan bawahan. c. Pendekatan Evaluasi Kinerja Robbins (2006) melihat evaluasi kinerja dalam ukuran hasil pekerjaan individu, perilaku, dan sikap. Kreitner dan Konichi (2001) melihat evaluasi kinerja dari pendekatan sifat, perilaku, hasil, dan kontingensi. Wibowo (2007) mengkombinasikan pendapat kedua ahli tersebut dengan penjelasan melalui Universitas Sumatera Utara 54 beberapa pendekatan sebagai berikut: (1) pendekatan sikap menyangkut penilaian terhadap sikap atau karakteristik individu, biasanya diukur dalam bentuk inisiatif, kecepatan membuat keputusan dan ketergantungan. Meskipun pendekatan sifat sangat luas dipergunakan oleh para manajer, pada umumnya dipertimbangkan para ahli sebagai yang paling lemah; (2) pendekatan perilaku menunjukkan bagaimana orang berperilaku, bukan kepribadiannya. Kemampuan orang untuk bertahan meningkat apabila penilaian kinerja didukung oleh tingkat perilaku kinerja. Perilaku seorang plant manager yang dapat dipergunakan untuk evaluasi kinerja adalah ketepatan waktu dalam menyampaikan laporan bulanan atau gaya kepemimpinan yang ditunjukkan; (3) pendekatan hasil yaitu apabila pendekatan sikap memfokuskan pada orang dan pendekatan perilaku memfokuskan pada proses, pendekatan hasil berfokus pada produk atau hasil usaha seseorang atau apa yang telah diselesaikan orang lain dan (4) pendekatan kontingensi dimana ketiga pendekatan di atas cocok untuk dipergunakan pada kebutuhan pada situasi tertentu, oleh sebab itu diusulkan pendekatan kontingensi yang selalu dicocokkan dengan situasi tertentu yang sedang berkembang. d. Metode Penilaian Kinerja Menurut Marquis dan Huston (2010) metode penilaian prestasi kerja pada umumnya dibagi menjadi dua macam yaitu yang berorientasi pada masa lalu dan yang berorientasi pada masa yang akan datang. 1. Metode penilaian kinerja yang berorientasi pada masa lalu adalah penilaian prestasi kerja berdasarkan hasil yang telah dicapai oleh karyawan selama ini kemudian mendapat umpan balik terhadap pekerjaan mereka, Universitas Sumatera Utara 55 selanjutnya umpan balik tersebut akan dimanfaatkan untuk perbaikan prestasi. Teknik penilaian ini mencakup; (a) rating scale dimana dalam teknik ini penilai melakukan penilaian subjektif terhadap prestasi kerja karyawan dengan skala tertentu dari yang terendah sampai dengan tertinggi; (b) checklist dimana dalam teknik ini penilai memilih pertanyaan-pertanyaan yang tersedia, yang menggambarkan prestasi kerja karyawan dan karakteristik-karakteristik karyawan yang dinilai. Penilaian dengan teknik checklist ini dapat dikuantifikasikan, apabila pertanyaanpertanyaan itu sebelumnya diberi nilai yang mencerminkan bobotnya dan (c) metode peristiwa kritis didasarkan kepada catatan-catatan dari pimpinan atau penilai karyawan yang bersangkutan. Catatan itu meliputi hal-hal positif dan hal-hal negatif sebagai dasar penilai membuat penilaian terhadap karyawan yang bersangkutan. 2. Metode penilaian berorientasi pada waktu yang akan datang yaitu memusatkan prestasi kerja karyawan saat ini serta penetapan sasaran prestasi kerja di masa yang akan datang, dengan teknik penilaian diri (self appraisal), pendekatan Manajement By Objective (MBO) dan teknik pusat penilaian. Penilaian diri (self appraisal) dimana metode ini menekankan bahwa penilaian prestasi kerja karyawan dinilai oleh karyawan itu sendiri dengan tujuan untuk mengembangkan diri karyawan dalam rangka pengembangan organisasi. Teknik ini adalah pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengukur dan memahami perbedaan individu yang biasanya digunakan pada pada bidang manajemen sumber daya Universitas Sumatera Utara 56 manusia seperti: penilaian kebutuhan pelatihan, analisa peringkat jabatan, perilaku kepemimpinan, penilaian/kinerja yang lainnya. Penilaian sendiri ditentukan oleh sejumlah faktor kepribadian, pengalaman, dan pengetahuan, serta sosio-demografis seperti suku dan pendidikan (Ilyas, 2002). Pendekatan Manajement By Objective (MBO) merupakan metode penilaian ini ditentukan bersama-sama antara penilai atau pimpinan dengan karyawan yang akan dinilai. Penilaian psikologis dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam, diskusi, atau tes-tes psikologi terhadap karyawan yang akan dinilai mencakup beberapa aspek diantaranya intelektual, emosi, motivasi dan sebagainya dari karyawan yang bersangkutan. Penilaian terakhir adalah teknik pusat penilaian yang biasanya ditemukan pada suatu organisasi yang sudah maju dimana memiliki sistem penilaian baku yang digunakan untuk menilai para karyawannya. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penilaian kinerja yang berorientasi pada masa yang akan datang dengan teknik penilaian diri (self appraisal) dimana metode ini merupakan pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengukur dan memahami perbedaan individu yang biasanya digunakan pada pada bidang manajemen sumber daya manusia seperti : penilaian kebutuhan pelatihan, analisa peringkat jabatan, perilaku kepemimpinan, penilaian/kinerja yang lainnya. Universitas Sumatera Utara 57 2.4.5. Manajemen Konflik Terhadap Kinerja Konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang baik untuk diterapkan para manajer adalah mencoba memanfaatkan konflik sedemikian rupa sehingga konflik dapat memberikan hal yang efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Konflik dapat menjadi suatu energi yang kuat jika dikelola dengan baik, tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan dengan baik akan mengakibatkan kinerja organisasi rendah. Robbins (2003) mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun destruktif dalam berjalannya suatu organisasi. Tingkat konflik dapat terlalu tinggi atau terlalu rendah. Tingkat konflik yang tidak memadai (berlebihan) dapat menghalangi keefektifan suatu kelompok atau organisasi, dapat mengurangi kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan turn over karyawan, dan pada akhirnya menurunkan produktivitas. Tetapi bila konflik itu berada pada tingkat yang optimal, rasa puas dan apatis diri sendiri seharusnya diminimalkan, meningkatkan motivasi melalui penciptaan lingkungan dan pertanyaan yang menantang sehingga membuat pekerjaan terasa lebih menarik, dan sebaiknya sejumlah karyawan yang dianggap tidak cocok dan berprestasi buruk dikeluarkan dari organisasi tersebut. Hubungan konflik dengan kinerja suatu organisasi dapat dilihat pada Skema 2.6. Universitas Sumatera Utara 58 Skema 2.6 Korelasi Level Konflik dan Kinerja Menurut Stepen P. Robbins Pada Skema 2.6 dapat dijelaskan bahwa apabila tingkat konflik optimal yaitu tingkat konflik yang sangat fungsional berdampak pada kinerja organisasi maksimal (B), bila konflik terlalu rendah, kinerja organisasi mengalami stagnansi (A), dan bila konflik terlalu tinggi, maka akan timbul kekacauan dan menghalangi pencapaian tujuan (C). Konflik yang diciptakan dimanajemen agar tidak terjadi konflik destruktif. Konflik diarahkan menjadi konflik konstruktif yang menciptakan sesuatu yang baru. Sebaliknya, jika terus terjadi, konflik berubah menjadi disfungsional dan destruktif. Sumber-sumber organisasi seperti tenaga, energi, waktu, kekuasaan akan habis oleh konflik. Hal tersebut mengakibatkan kinerja kerja akan semakin menurun, tidak produktif dan tidak efektif lagi. Robbins (2009) menjelaskan hubungan konflik dengan keefektifan organisasi dapat dilihat pada tabel 2.1. Universitas Sumatera Utara 59 Tabel 2.1 Hubungan Konflik dengan Keefektifan Organisasi Situasi Tingkat Konflik Dampak Konflik A Rendah Disfungsional B Optimal Fungsional C Tinggi Disfungsional Karakteristik Organisasi - Apatis - Stagnansi - Kurang ide - Sedikit perubahan - Inovatif - Kritis - Tanggap - Kreatif - Cepat Adaptasi - Menghambat kerja - Tidak kooperatif - Ego tinggi - Otoritarian - Agresivitas individu Efektivitas Rendah Tinggi Rendah 2.5. Landasan Teori Keperawatan Teori keperawatan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Theory of goal attainment (1971) dalam Tomey dan Aligood (2006) yang diperkenalkan oleh Imogene M. King. King mengidentifikasi kerja konseptual (conceptual framework) sebagai suatu sistem terbuka dalam pencapaian tujuan. King juga memiliki asumsi bahwa manusia seutuhnya (human being) sebagai sistem terbuka yang secara konsisten berinteraksi dengan lingkungannya dan tujuan keperawatan adalah membantu individu dan kelompok dalam memelihara kesehatannya. Conceptual framework terdiri dari 3 (tiga) sistem interaksi yang dikenal dengan dynamic interacting system meliputi personal system (individuals), interpersonal system (groups), dan social system. Dasar asumsi King tentang manusia seutuhnya (human being) meliputi sosial, perasaan, rasional, reaksi, kontrol, tujuan, orientasi kegiatan, dan orientasi pada waktu. Berdasarkan kerangka kerja dan konseptual dan asumsi tentang human being, King menderivatnya menjadi teori pencapaian tujuan (theory of goal attainment). Universitas Sumatera Utara 60 Menurut King, intensitas dari personal system sangat menentukan dalam menetapkan dan mencapai tujuan keperawatan. Dalam sistem ini, terjadi berbagai interaksi dan aktivitas sebagai beberapa konsep utama yang saling berhubungan dalam situasi dan kondisi praktek keperawatan. Konsep utama tersebut terdiri dari interaksi, persepsi, komunikasi, transaksi, peran, stress, tumbung kembang, waktu dan ruang (Tomey & Alligood, 2006). 2.6. Landasan Teori Penelitian Landasan teori merupakan rangkuman dari teori-teori/tinjauan pustaka dari manajemen konflik, kepuasan kerja dan kinerja perawat. Marquis dan Huston (2010), mengartikan konflik sebagai perselisihan internal atau eksternal yang diakibatkan oleh perbedaan nilai-nilai atau perasaaan antara dua orang atau lebih. Wirawan (2013) mengatakan bahwa konflik diartikan sebagai proses pertentangan yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang mengeluarkan keluaran konflik. Dalam teory of goal attainment (1971), Imoge M. King menjelaskan 3 (tiga) sistem interaksi meliputi personal system (individuals), interpersonal system (groups), dan social system. Keseluruhan interaksi tersebut membentuk hubungan interpersonal yang mengandung unsur interaksi, persepsi, komunikasi, transaksi, peran, stress, tumbung kembang, waktu dan ruang sebagai suatu karakteristik seorang individu. Konflik terjadi sebagai dampak dari hubungan interpersonal yang tidak sejalan antar individu (Tomey & Alligood, 2006). Universitas Sumatera Utara 61 Swanburg (2000) mengemukakan penyebab konflik dalam suatu organisasi rumah sakit khususnya bagi perawat, diantaranya perilaku menentang, stres, ruang, kewenangan dokter, keyakinan, nilai, dan sasaran, dan penyebab lainnya. Proses manajemen konflik bersifat dinamis, sehingga seorang manajer perawat harus mampu mengkaji 5 (lima) tahap konflik (Marquis & Huston, 2010), diantaranya: (1) konflik laten, (2) konflik yang dipersepsikan (substantif), (3) konflik yang dirasakan, (4) konflik yang dimanifestasikan (konflik jelas), (5) akibat konflik. Suatu organisasi harus mampu belajar dari konflik yang terjadi dalam organisasi karena konflik merupakan sesuatu yang terus terjadi dan tidak dapat dihindari. Wirawan (2013) mendefenisikan manajemen konflik adalah suatu proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Beberapa teori mengenai gaya manajemen konflik telah dikembangkan oleh para ahli salah satnya adalah Teori Rahim (1983) yang mengembangkan gaya manajemen konflik tidak jauh berbeda dengan model yang dikemukakan oleh Thomas dan Kilmann (1974). Gaya manajemen konflik Rahim disusun berdasarkan dua dimensi yaitu memperhatikan oranglain (concern for other) pada sumbu horizontal dan memperhatikan diri sendiri (concern for self). Konflik yang terjadi dapat memberi dampak positif dan negatif (Brinket, 2010). Dampak positif dari konflik menghasilkan unifikasi, integrasi, kreativitas, perubahan, pemecahan masalah dan pertumbuhan serta kemampuan dalam mengelola konflik. Dampak negatif konflik menghasilkan ketakutan, permusuhan, Universitas Sumatera Utara 62 ancaman dan kurangnya rasa percaya, rasa jenuh, juga biaya langsung dan tidak langsung yang tinggi. Oleh karena itu, seorang manajer perawat diharapkan mampu mengelola dan memanajemen konflik sehingga dapat memberi dampak positif ataupun konstruktif yang dapat meningkatkan kepuasan dan kinerja perawat pelaksana demi tercapainya tujuan organisasi. Kepuasan kerja adalah suatu keadaan dimana orang merasakan pekerjaan mereka secara umum dan aspek-aspek yang berbeda dan bervariasi dari pekerjaan mereka (Spector, 1997). Kepuasan kerja juga menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan, sehingga kepuasan juga berkaitan dengan teori keadilan, perjanjian psikologis dan motivasi (Robbins, 2006). Wang et al., (2014) juga mengemukakan bahwa kepuasan kerja mencerminkan sejauh mana keinginan, kebutuhan, atau harapan seseorang terpenuhi di tempat kerja. Indikator kepuasan kerja hanya dapat diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan pergantian staf (turnover) kecil maka secara relatif kepuasan kerja karyawan baik (Hasibuan, 2001). Robbins (2006) menjabarkan teori 2 (dua) faktor yang dikemukakan Herxberg (1966) tentang faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu maintenance factors dan motivation factors. Maintenance factors adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah, meliputi gaji atau upah (wages of salaries), kondisi kerja (working conditions), kebijakan dan administrasi perusahaan (company policy and administration), hubungan antar pribadi (interpersonal relation), kualitas supervisi (quality supervisor). Faktor kedua adalah motivation Universitas Sumatera Utara 63 factors adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan meliputi prestasi (achievment), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (the work it self), tanggungjawab (responsibility), pengembangan potensi individu (advancement), dan kemungkinan berkembang (the possibility of growth). Spector (1997) mengindikatorkan kepuasan kerja dari sembilan aspek yang diukur dalam pendekatan ini yang meliputi gaji (global satisfaction), promosi, supervisi, keuntungan tambahan (benefit), contingent rewards, operating conditions, rekan kerja (coworkers), nature of work, dan komunikasi. Pengukuran kepuasan kerja perawat juga dapat dilakukan dengan memperhatikan rancang bangun dari suatu pekerjaan meliputi otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan, variasi tugas, identitas tugas, pentingnya pekerjaan seseorang, dan umpan balik (Siagian, 2009). Kinerja merupakan penampilan kerja individu atau kelompok kerja baik secara kuantitas maupun secara kualitas dalam suatu organisasi (Ilyas, 2002). Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok. Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Wirawan (2013) mengemukakan bahwa kinerja pegawai merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor yaitu faktor internal pegawai, faktor-faktor lingkungan internal pegawai, dan faktor lingkungan eksternal pegawai. Penilaian kinerja adalah suatu proses yang diawali dengan penetapan standar kinerja yang membutuhkan umpan balik pegawai (Nasution 2010). Swanburg (2000) juga mengemukakan bahwa penilaian kinerja merupakan Universitas Sumatera Utara 64 suatu proses untuk mengontrol sumber daya dan produktivitasnya. Melalui penilaian kinerja, dapat diketahui seberapa baik pegawai menjalankan tugas yang diberikan kepadanya (Marquis & Huston, 2010). Marquis dan Huston (2010) mengemukakan bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses pengawasan dimana kinerja staf dinilai dan dibandingkan dengan standar yang ada pada suatu organisasi. Ilyas (2002) juga mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja personil secara teoritis ada tiga kelompok variabel yaitu variabel individu, variabel organisasi, dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja personil. Depkes (2007) mengemukakan penilaian kinerja perawat dapat dinilai secara obyektif dengan menggunakan metode dan instrumen penilaian yang baku. PPNI (2002), mengemukakan bahwa penilaian kinerja perawat berdasarkan standar praktek profesional yang meliputi standar I (pengkajian keperawatan), standar II (diagnosis keperawatan), standar III (perencanaan), standar IV (pelaksanaan), dan standar V (evaluasi). Komponen dalam penilaian kinerja karyawan juga dapat meliputi pengetahuan tentang pekerjaan, kualitas kerja, produktivitas, adaptasi dan fleksibilitas, inisiatif dan pemecahan masalah, kooperatif dan kerjasama, kendalan/pertanggungjawaban, kemampuan komunikasi dan interaksi, kepemimpinan dan pengembangan diri bawahan merupakan komponen tambahan (Mangkunegara, 2009). Secara sistematis, keterkaitan antara variabel-variabel tersebut dapat dilihat pada kerangka teori penelitian seperti Skema 2.7. Universitas Sumatera Utara 65 Teori Keperawatan Dynamic Interacting System: 1.Personal system 2. Interpersonal systern 3. Social system Imoge M. King (1978) Sumber konflik : Perilaku menentang; stres;ruang;kewenangan nilai;keyakinan,nilai,dan sasaran;penyebab lain Swanburg (2000) Proses Konflik : - Konflik laten - Konflik yang dipersepsikan - Konflik yang dirasakan - Konflik yang dimanisfestasikan - Akibat konflik Marquis & Huston (2010) Gaya manajemen konflik : - Dominating - Integrating - Compromising - Avoiding - Obliging Teori Rahim (1983) & Thomas dan Kilmann (1974) Variabel individu : Kemampuan dan keterampilan (mental dan fisik);latar belakang (keluarga, tingkat sosial, pengalaman) dan demografis (umur, etnis, jenis kelamin). Variabel psikologis: Persepsi;sikap; kepribadian;belajar; motivasi. Manajemen Konflik Kepuasan Kerja: - Gaji - Promosi - Supervisi - Keuntungan tambahan - Contingent rewards - Operating conditions - Rekan kerja - Nature of work - Komunikasi Spector (1997) - Otonomi - Variasi tugas - Identitas tugas - Pentingnya pekerjaan - Umpan balik Siagian (2009) Kinerja Perawat : - Kesetiaan - Prestasi kerja - Taggungjawab - Ketaatan - Kejujuran - Kerjasama - Prakarsa - Kepemimpinan Gibson (2002) - Pengetahuan tentang pekerjaan - Kualitas kerja - Produktivitas - Adaptasi dan fleksibilitas - Inisiatif & pemecahan masalah - Kooperatif & kerjasama - Keandalan - Komunikasi & interaksi Mangkunegara (2009) Dampak konflik (positif): Unifikasi;integrasi ;kreativitas;peruba han;pemecahan masalah dan pertumbuhan; kemampuan dalam mengelola konflik Brinket (2010) Maintenence factor: - Gaji atau upah - Kondisi kerja - Kebijakan dan administrasi - Hubungan antar pribadi - Kualitas supervisi Robbins (2006) Motivation factors: - Prestasi - Pengakuan - Pekerjaan itu sendiri - Tanggungjawab - Pengembangan potensi individu - Kemungkinan berkembang Robbins (2006) Variabel organisasi: Sumber daya; kepemimpinan; imbalan;struktur; desain pekerjaan; supervisi;kontrol. Skema 2.7 Kerangka Teori Penelitian Universitas Sumatera Utara 66 2.7. Kerangka Konseptual Kerangka konsep penelitian disusun berdasarkan dari landasan teori yang digunakan dalam penelitian. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pelatihan manajemen konflik yang menggabungkan Teori Rahim (1983) dan Thomas dan Kilmann (1974). Variabel independen adalah kepuasan kerja dengan menggunakan konsep Siagian (2009) dan kinerja perawat berdasarkan konsep Mangkunegara (2009) yang mengacu pada penilaian kinerja menurut Depkes (2004). Tujuan utama penelitian ini adalah mengidentifikasi efektivitas kemampuan manajemen konflik oleh manajer perawat terhadap kepuasan dan kinerja perawat pelaksana sebelum dan sesudah pelatihan. Kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada Skema 2.8. Pre Test Kepuasan Kerja Perawat : - Otonomi - Variasi tugas - Identitas tugas - Pentingnya pekerjaan - Umpan balik Kinerja Perawat : - Pengetahuan tentang pekerjaan - Kualitas kerja - Produktivitas - Adaptasi dan fleksibilitas - Inisiatif & pemecahan masalah - Kooperatif & kerjasama - Keandalan - Komunikasi & interaksi Pelatihan Manajemen Konflik : - Sumber konflik - Proses konflik - Strategi/gaya manajemen konflik - Dampak konflik Variabel Counfounding - Usia - Lama kerja - Tingkat pendidikan - Status kerja Post Test Kepuasan Kerja Perawat : - Otonomi - Variasi tugas - Identitas tugas - Pentingnya pekerjaan - Umpan balik Kinerja Perawat : - Pengetahuan tentang pekerjaan - Kualitas kerja - Produktivitas - Adaptasi dan fleksibilitas - Inisiatif & pemecahan masalah - Kooperatif & kerjasama - Keandalan - Komunikasi & interaksi Skema 2.8 Kerangka Konseptual Penelitian Universitas Sumatera Utara