Universitas Sumatera Utara

advertisement
13
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Konflik
2.1.1. Definisi Konflik
Istilah konflik berasal dari kata kerja Bahasa Latin ‘configere’ yang artinya
saling memukul yang kemudian diadopsi ke Bahasa Inggris menjadi ‘conflict’ dan
diadopsi lagi ke Bahasa Indonesia menjadi ‘konflik’. Konflik adalah suatu bagian
kehidupan yang timbul dan selalu ada karena kompleksitas hubungan manusia
dimana tiap-tiap orang unik, memiliki sistem nilai, filosofi, struktur, kepribadian,
pilihan dan pola (Huber, 2000). Marquis & Huston (2010), mengartikan konflik
sebagai perselisihan internal atau eksternal yang diakibatkan oleh perbedaan nilainilai atau perasaaan antara dua orang atau lebih. Wirawan (2013) mengatakan
bahwa konflik diartikan sebagai proses pertentangan yang diekspresikan di antara
dua pihak atau lebih yang saling memiliki ketergantungan pada objek konflik,
menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran
konflik.
Konflik adalah suatu proses yang mulai bila satu pihak lain telah
mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan pihak pertama (Robbins,
2006).
Konflik adalah suatu proses interaktif yang ditandai dengan adanya
ketidaksesuaian, ketidaksetujuan, perselisihan, di dalam atau di antara entitas
sosial (individu, kelompok, organisasi, dan sebagainya). Berdasarkan pendapat
para ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu
13
Universitas Sumatera Utara
14
keadaan atau situasi antara dua kelompok atau lebih dikarenakan adanya
perbedaan pendapat, nilai, latar belakang, yang terjadi di lingkungan tempat
tinggal, lingkungan kerja, atau tempat-tempat lain yang memungkinkan terjadinya
sebuah konflik.
2.1.2.Penyebab Konflik
Salah satu strategi para manajer untuk melakukan perubahan adalah
dengan adanya konflik. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan konflik digunakan
para manajer untuk menggerakkan perubahan. Namun, menurut Wirawan (2013)
konflik dapat terjadi secara alami karena adanya kondisi objektif yang disebabkan
oleh keterbatasan sumber, tujuan yang berbeda, saling tergantung atau
independensi tugas meliputi ketergantungan pol (pooled interdependence),
ketergantungan urutan (sequential interdependence), dan ketergantungan timbal
balik (reciprocal interdependence), diferensiasi organisasi, ambiguitas yuridiksi,
sistem imbalan yang tidak layak, komunikasi yang tidak baik, perlakuan yang
tidak manusiawi, melanggar HAM dan melanggar hukum, beragam karakteristik
sistem sosial, pribadi orang, kebutuhan, perasaan dan emosi, pola pikir yang tidak
mandiri, serta budaya konflik dan kekerasan.
Swanburg (2000) mengemukakan penyebab konflik dalam suatu
organisasi rumah sakit khususnya bagi perawat diantaranya perilaku menentang,
stres, ruang, kewenangan dokter, keyakinan, nilai, dan sasaran, serta penyebab
lainnya. Perilaku menentang memiliki tiga versi yaitu competitive bomber yang
mudah menolak untuk bekerja, sering menggerutu dengan bergumam yang dapat
diterjemahkan
sebagai
urus
saja
sendiri,
martyred
accomodator
yang
Universitas Sumatera Utara
15
menggunakan kepatuhan palsu. Mereka mampu bekerjasama tetapi sambil juga
melakukan ejekan dan hinaan, mengeluh dan mengkritik untuk mendapatkan
dukungan dari orang lain, dan avoider yaitu penentang yang menghindari
kesepakatan dan partisipasi dan tidak berespon terhadap manajer perawat.
Penyebab lainnya adalah stress dimana hasil dari stress adalah kepenatan. Manajer
perawat merasa penat karena mencoba mempertahankan sistem pendukung untuk
pemberi perawatan. Perawat klinis merasa penat karena mencoba untuk
memberikan
asuhan
keperawatan
yang
berkualitas
tinggi.
Konfrontasi,
ketidaksetujuan, dan kemarahan adalah bukti dari stress dan konflik. Stress dan
konflik disebabkan karena kurangnya hubungan yang dilaksanakan
antar
manusia, termasuk harapan-harapan yang tidak terpenuhi. Penyebab berikut
adalah ruang yaitu ruang yang sempit, dimana perawat harus berinteraksi secara
konstan dengan anggota staf lain, pengunjung dan tenaga kesehatan lain dapat
menimbulkan stress sehingga beresiko untuk terjadi konflik. Selanjutnya adalah
kewenangan dokter dimana perawat masa kini ingin lebih mandiri, mempunyai
tanggungjawab profesional dan tanggung gugat untuk perawatan pasien. Para
dokter
kadang-kadang
melalaikan
usulan
mereka
sementara
perawat
menginginkan feed back, hal ini dapat membuat gagalnya komunikasi dua arah
yang mengarah pada konflik.
Keyakinan, nilai, dan sasaran yaitu aktivitas atau persepsi-persepsi yang
tidak cocok menimbulkan konflik. Hal ini terbukti apabila perawat mempunyai
keyakinan, nilai dan sasaran yang berbeda dengan manajer perawat, dokter,
pasien, pengunjung, keluarga, bagian administrasi dan lainnya. Penyebab konflik
Universitas Sumatera Utara
16
lainnya dimana perubahan menimbulkan konflik
yang pada gilirannya
menghalangi perubahan itu sendiri. Manusia yang tidak dipersiapkan menghadapi
perubahan akan menolaknya atau mengalami kegagalan dalam mendukungnya.
Suasana organisasi dan gaya kepemimpinan dapat menimbulkan konflik apabila
manajer yang berbeda membuat peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan
konflik. Usia dapat menimbulkan stres dan konflik.
Peneliti juga berpendapat bahwa penyebab konflik yang biasa terjadi
antara tenaga kesehatan di rumah sakit dapat dikarenakan kurangnya komunukasi,
perbedaan pendapat, pengetahuan dan skill dari setiap tenaga kesehatan dalam
mencapai tujuan rumah sakit.
2.1.3. Jenis konflik
Di dalam manajemen terdapat dua macam konflik yaitu konflik fungsional
yang bermanfaat bagi manajemen dan konflik disfungsional yaitu konflik yang
merugikan organisasi. Functional conflict (konflik fungsional) adalah konflik
yang mampu dikelola oleh organisasi untuk menuju tujuan organisasi atau
kelompok. Konflik ini sebagai pemicu untuk meraih tujuan atau sasaran
organisasi dengan menumbuhkan persaingan yang positif berdasarkan target kerja
diantara para pekerja, sehingga kinerja meningkat dan produktivitas semakin
tinggi. Mereka yang berhasil mencapai target atau melebihi target dalam kurun
waktu atau periode tertentu mendapatkan insentif atau bonus berupa uang yang
melebihi gajinya. Dengan demikian memicu persaingan di antara para pekerja
untuk meraih hasil yang memuaskan. Konflik yang kedua adalah disfunctional
conflict (konflik yang merugikan) adalah konflik yang didasari sentimen pribadi
Universitas Sumatera Utara
17
atau persaingan yang tidak sehat dan tidak jujur sehingga menghambat upaya
untuk mencapai tujuan organisasi. Konflik ini terbagi tiga macam yaitu: (a)
dysfungtionally high conflict dimana dalam konflik ini semua pekerja cenderung
berpikir ke dalam konflik yang sedang terjadi, sehingga tidak terfokus pada hasil
kerja, akibatnya para pekerja hanya memikirkan konflik namun tidak mampu
menyelesaikan konflik tersebut; (b) dysfungtionally low conflict (konflik
disfungsional rendah) adalah konflik yang timbul karena perbedaan pandangan
atau pemikiran yang menimbulkan konflik. Bila tidak ada yang memicu konflik
ini biasanya segera padam, namun akan sulit padam bila dipicu oleh mereka yang
memiliki tipikal konflik dan (c) levels vary among groups dimana konflik yang
terjadi di dalam organisasi terdapat perbedaan yang bervariasi, dari tingkatan
konflik yang rendah sampai tingkat konflik yang tertinggi. Demikian pula dari
tingkatan yang tidak merugikan sampai tingkatan yang sangat merugikan
organisasi. Dengan demikian manajemen harus mewaspadai konflik yang
merugikan bagi organisasi dan berupaya mengelola konflik yang terjadi sehingga
menjadi konflik yang fungsional.
Marquis dan Huston (2010) menjelaskan bahwa ada tiga kategori utama
konflik yaitu konflik intergroup (antar kelompok), konflik intrapersonal dan
konflik interpersonal. Konflik intergroup (antar kelompok) adalah konflik yang
terjadi antara dua atau lebih kelompok orang, departemen, atau organisasi.
Kategori konflik kedua yaitu konflik intrapersonal yang terjadi dalam diri
seseorang. Termasuk di dalamnya usaha individu untuk menjelaskan nilai-nilai
atau keinginan yang berlawanan. Pada seorang manajer, konflik intrapersonal bisa
Universitas Sumatera Utara
18
diakibatkan karena besarnya rasa tanggungjawab berkaitan dengan peran manajer.
Tanggungjawab seorang manajer terhadap organisasi, staf, konsumen, profesi, dan
sebagainya, kadang-kadang menyebabkan konflik dan konflik itu diinternalisasi.
Menjaga
kesadaran
diri
dan
bekerja
dengan
sungguh-sungguh
untuk
menyelesaikan konflik intrapersonal penting dimiliki untuk menjaga kesehatan
fisik dan mental seorang pemimpin. Kategori konflik terakhir adalah konflik
interpersonal yang terjadi antara 2 (dua) atau lebih orang dengan perbedaan nilai,
tujuan, dan keyakinan. Dari studi terbaru, dijelaskan bahwa konflik interpersonal
merupakan issue yang penting dalam menghadapi profesi keperawatan, terutama
untuk lulusan baru. Karena konflik interpersonal biasanya tidak terselesaikan
dengan baik, maka dapat mengakibatkan ketidakhadiran dan turn over (Mc
Kenna, 2003).
2.1.4. Proses Konflik
Proses manajemen konflik bersifat dinamis, sehingga seorang manajer
perawat harus mampu mengkaji 5 (lima) tahap konflik (Marquis & Huston, 2010),
di antaranya :
1. Konflik laten
Secara tidak langsung berisi tentang kondisi yang menyebabkan konflik,
misalnya kurangnya tenaga perawat dan perubahan yang cepat. Dalam
tahap ini, kondisi tersebut siap berkembang menjadi konflik, walaupun
belum ada konflik yang benar-benar terjadi dan mungkin tidak akan
pernah terjadi. Akan ada lebih banyak konflik yang tidak perlu terjadi
Universitas Sumatera Utara
19
karena dapat dicegah atau dikurangi jika manajer dapat mengkaji lebih
seksama adanya kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya konflik.
2. Konflik yang dipersepsikan (substantif)
Konflik intelektual dan sering melibatkan isu serta peran. Konflik ini
dikenal secara logis dan tidak melibatkan perasaan orang yang terlibat
konflik. Kadang konflik dapat diatasi pada tahap ini sebelum
diinternalisasi atau dirasakan.
3. Konflik yang dirasakan
Terjadi ketika konflik melibatkan emosi. Emosi yang dirasakan antara lain
rasa bermusuhan, takut, tidak percaya dan marah. Konflik ini mungkin
juga dipersepsikan bukan dirasakan (yaitu tidak ada emosi yang terkait
konflik dan orang yang terlibat ganya memandangnya sebagai masalah
yang perlu diselesaikan). Orang juga dapat merasakan konflik, tetapi tidak
mengetahui
masalahnya
(yaitu
mereka
yang
tidak
mampu
mengidentifikasi penyebab konflik yang dirasakan).
4. Konflik yang dimanifestasikan (konflik jelas)
Konflik yang memerlukan tindakan berupa menarik diri, berdebat,
bersaing, atau mencari penyelesaian konflik. Jika konflik mencapai tahap
ini akan sulit mencari penyelesaian tanpa menggunakan sumber lain.
5. Akibat konflik
Akibat yang ditimbulkan oleh konflik mungkin lebih terlihat daripada
konflik itu sendiri jika konflik itu tidak ditangani secara konstruktif.
Konflik akan selalu menimbulkan dampak positif ataupun dampak negatif.
Universitas Sumatera Utara
20
Jika konflik dikelola secara baik, orang yang terlibat konflik akan percaya
bahwa ia akan diperlakukan dengan adil. Jika konflik dikelola secara
buruk, isu konflik seringkali tetap ada dan dapat terulang serta
menyebabkan lebih banyak konflik.
Tahapan konflik tesebut dapat dilihat pada Skema 2.1.
Konflik laten (juga disebut
kondisi penyebab)
Konflik yang dirasakan
Konflik yang dipersepsikan
Konflik yang
dimanifestasikan
Penyelesaian konflik atau
manajemen konflik
Akibat konflik
Skema 2.1. Proses Konflik Berdasarkan Marquis & Huston (2010)
2.1.5. Dampak Konflik
Konflik dapat memberikan dampak konstruktif dan desktrutif. Dampak
konstruktif meliputi meredakan konflik lebih lanjut, meningkatkan efektivitas,
meningkatkan keterikatan, menghasilkan pemimpin dan menguji basis kekuatan.
Dampak desktrutif meliputi menurunkan kinerja, perkelahian dan adanya stereotip
negatif (Hubber, 2000).
Universitas Sumatera Utara
21
Konflik juga dapat memberi dampak positif dan negatif (Brinket, 2010).
Dampak positif dari konflik menghasilkan unifikasi, integrasi, kreativitas,
perubahan, pemecahan masalah dan pertumbuhan serta kemampuan dalam
mengelola konflik. Dampak negatif konflik menghasilkan ketakutan, permusuhan,
ancaman dan kurangnya rasa percaya, rasa jenuh, juga biaya langsung dan tidak
langsung yang tinggi. Oleh karena itu, seorang manajer perawat diharapkan
mampu mengelola dan memanajemen konflik sehingga dapat memberi dampak
positif ataupun konstruktif yang dapat meningkatkan kepuasan dan kinerja
perawat pelaksana demi tercapainya tujuan organisasi.
2.2. Manajemen Konflik
2.2.1. Definisi Manajemen Konflik
Irvine (1998) mengatakan bahwa manajemen konflik adalah strategi dalam
suatu organisasi dengan karyawan/individu
untuk mengidentifikasi dan
memanajemen perubahan sehingga mengurangi sumber daya manusia dan biaya
keuangan dari konflik yang tidak dikelola, sementara itu memanfaatkan konflik
sebagai suatu sumber inovasi dan perbaikan. Wikipedia mengemukakan bahwa
manajemen konflik mengaju pada pengelolaan jangka panjang dari suatu konflik
yang berat dan tidak terselesaikan. Hal ini merupakan berbagai cara bagaimana
seseorang menangani keluhan atau kekecewaan, berada dalam situasi dimana apa
yang mereka anggap benar dan melawan apa yang mereka anggap salah. Caracara tersebut meliputi fenomena yang beragam seperti sebuah gosip, ejekan,
hukuman, teroris, perang, permusuhan, pembantaian, merendahkan, mediasi, dan
penghindaran. Hardjaka (1994) mengatakan bahwa manajemen konflik adalah
Universitas Sumatera Utara
22
cara yang dilakukan oleh pimpinan saat menghadapi konflik. Wirawan (2013)
mendefenisikan manajemen konflik adalah suatu proses pihak yang terlibat
konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk
mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.
Suatu organisasi harus mampu belajar dari konflik yang terjadi dalam
organisasi karena konflik merupakan sesuatu yang terus terjadi dan tidak dapat
dihindari. Konflik dapat berakibat positif maupun negatif terhadap organisasi,
karena itu setiap elemen organisasi harus mampu memahami konflik dan
memanajemen konflik untuk meningkatkan performa organisasi.
2.2.2. Tujuan Manajemen Konflik
Owens (1991) mengatakan bahwa tujuan manajemen konflik adalah untuk
mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional
dan meminimalkan konflik yang merugikan. Wirawan (2013) mengemukakan
bahwa manajemen konflik harus dilakukan secara sistematis untuk mencapai
suatu tujuan, di antaranya mencegah gangguan kepada anggota organisasi dalam
mencapai visi, misi dan tujuan organisasi, memahami orang lain dan menghargai
keberagaman, meningkatkan kreativitas, meningkatkan keputusan melalui
pertimbangan-pertimbangan, memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran
serta, pemahaman bersama, dan kerja sama, serta menciptakan prosedur dan
mekanisme penyelesaian konflik.
2.2.3.Gaya Manajemen Konflik
Wirawan (2013) mengemukakan bahwa gaya manajemen konflik adalah
suatu atau beberapa pola yang membentuk suatu perilaku yang digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
23
menghadapi situasi konflik. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya manajemen
konflik yang digunakan diantaranya asumsi mengenai konflik, persepsi mengenai
penyebab konflik, ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya, pola komunikasi
dalam interaksi konflik, kekuasaan yang dimiliki, pengalaman menghadapi situasi
konflik, sumber yang dimiliki, jenis kelamin, kecerdasan emosional, kepribadian,
budaya organisasi sistem sosial, prosedur yang mengatur pengambilan keputusan
jika terjadi konflik, situasi konflik dan posisi dalam konflik, pengalaman
menggunakan
salah
satu
gaya
manajemen
konflik,
dan
keterampilan
berkomunikasi.
Beberapa teori mengenai gaya manajemen konflik telah dikembangkan
oleh para ahli, di antaranya:
1. Blake dan Mouton (1964) adalah ahli terdahulu yang menggunakan istilah
manajemen konflik yang teorinya dijadikan dasar teori manajemen konflik
yang dikembangkan ahli berikutnya. Kerangka teori gaya manajemen
konflik disusun berdasarkan dua dimensi yaitu perhatian manajer terhadap
orang/bawahan (concern for people) pada sumbu horizontal dan perhatian
manajer terhadap produksi (concern for production) pada sumbu vertikal.
Berdasarkan dimensi tersebut, maka dikembangkanlah lima jenis gaya
manajemen konflik (Skema 2.2).
Universitas Sumatera Utara
24
c
o
n
c
e
r
n
Forcing
Confrontation
f
o
r
Compromising
p
r
o
d
u
c
t
i
o
n
Withdrawl
Smoothing
concern for people
Skema 2.2 Gaya Manajemen Konflik R.R. Blake & J. Mouton (1964)
Pada Skema 2.2. di atas dapat dijelaskan bahwa gaya manajemen konflik
forcing adalah dimana perhatian seorang manajer tinggi terhadap produksi
dan
perhatian
memaksakan
terhadap
kehendaknya
bawahannya
untuk
rendah.
meningkatkan
Manajer
produksi
berupaya
dengan
mengabaikan bawahan dalam situasi konflik, confrontation dimana
perhatian manajer juga tinggi terhadap produksi dan terhadap bawahannya.
Manajer berupaya berkonfrontasi untuk meningkatkan produksinya dan
berkonfrontasi juga memperhatikan bawahannya, compromising dimana
perhatian manajer sedang (tidak tinggi dan tidak rendah) terhadap produksi
dan bawahannya. Manajer berupaya berkompromi tentang tingkat produksi
Universitas Sumatera Utara
25
organisasi demi memenuhi kesejahteraan anggotanya, withdrawl dimana
perhatian manajer rendah terhadap produksi dan bawahannya. Manajer
lebih sering bersikap pasif, seakan-akan tidak terjadi konflik dan
cenderung tidak mau menghadapi konflik, dan smooting dimana perhatian
manajer rendah terhadap produksi tetapi memiliki perhatian tinggi
terhadap bawahannnya. Manajer cenderung menyerah pada keinginan
lawan
konfliknya
demi hubungan
yang baik dan kesejahteraan
bawahannya.
2. Teori Thomas dan Kilmann (1974) yang mengembangkan gaya
manajemen
konflik berdasarkan
dua dimensi
yaitu
kerja
sama
(cooperativeness) pada sumbu horizontal dan keasertifan (assertiveness)
pada sumbu vertikal. Kerja sama merupakan upaya orang untuk
memuaskan oranglain ketika menghadapi konflik sedangkan keasertifan
adalah upaya seseorang untuk memuaskan diri sendiri ketika menghadapi
konflik. Berdasarkan dimensi ini, dikembangkan 5 (lima) gaya manajemen
konflik (Skema 2.3).
a
s
s
Competing
Collaboration
e
r
t
Compromising
i
v
e
n
Avoiding
Accomodation
e
s
s
cooperation
Skema 2.3 Gaya Manajemen Konflik Teori Thomas dan Kilmann (1974)
Universitas Sumatera Utara
26
Pada Skema 2.3 di atas dapat dijelaskan bahwa gaya manajemen konflik
competing merupakan gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan
tinggi dan tingkat kerja sama rendah. Berorientasi pada kekuasaan yang
dimiliki untuk memenangkan konflik dengan lawannya, collaborating
merupakan gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja
sama yang tinggi. Tujuannya adalah untuk mencari alternatif bersama dan
sepenuhnya untuk memenuhi harapan dan kepuasan kedua belah pihak
yang terlibat dalam konflik, compromising merupakan gaya manajemen
konflik menengah dimana tingkat keasertifan tinggi dan kerja sama
sedang. Dengan streategi give and take, kedua belah pihak yang terlibat
konflik mencari alternatif titik tengah yang memuaskan mereka, avoiding
merupakan gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja
sama rendah, dimana kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha
menghindari konflik, dan accomodating merupakan gaya manajemen
konflik dengan tingkat keasertifan rendah dan tingkat kerja sama tinggi,
dimana seseorang mengabaikan keperntingannya sendiri dan berupaya
memuaskan kepentingan lawan konfliknya.
3. Teori Rahim (1983) yang mengembangkan gaya manajemen konflik tidak
jauh berbeda dengan model yang dikemukakan oleh Thomas dan Kilmann
(1974). Gaya manajemen konflik Rahim disusun berdasarkan dua dimensi
yaitu memperhatikan oranglain (concern for other) pada sumbu horizontal
dan memperhatikan diri sendiri (concern for self) yang dapat dilihat pada
Skema 2.4.
Universitas Sumatera Utara
27
n
c
c
o
n
s
e
r
Competing
Collaboration
Compromising
f
o
r
s
e
l
f
Avoiding
Accomodation
n
concern for other
Skema 2.4 Gaya Manajemen Konflik Teori Rahim (1983)
Pada Skema 2.4 di atas dapat dijelaskan bahwa gaya manajemen konflik
dominating dimana pihak yang terlibat konflik hanya berupaya memenuhi
tujuannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan lawan konfliknya,
integrating dimana pihak yang terlibat konflik berusaha menciptakan
resolusi konflik yang secara maksimal memenuhi tujuan dirinya sendiri
dan tujuan lawan konfliknya, compromising merupakan gaya manajemen
konflik berusaha memenuhi sebagian tujuannya dan tujuan lawan
konfliknya tanpa berupaya memaksimalkannya, avoiding dimana pihak
yang terlibat konflik menolak untuk berdiskusi mengenai konflik yang
terjadi. Kedua belah pihak menolak untuk memenuhi kebutuhan sendiri
Universitas Sumatera Utara
28
dan lawan konfliknya, dan obliging dimana pihak yang terlibat konflik
mengkombinasikan perhatiannya yang tinggi terhadap lawan konfliknya
dengan perhatian yang rendah terhadap dirinya sendiri.
2.2.4. Keterampilan Memanajemen Konflik
Marquis & Huston (2010) mengemukakan bahwa penyelesaian konflik
memerlukan keterampilan kepemimpinan dan fungsi manajemen yang tepat di
seluruh hirarki organisasi. Calon kepala ruangan harus mendapat pelatihan
mengenai mengelola konflik dan setelah menjadi kepala ruangan sebaiknya terus
mendapat pelatihan dan bimbingan mengelola konflik (Abubakar, 2008).
Pelatihan ketahanan para manjer perawat dapat mengurangi stress pada manajer
keperawatan dan dapat membantu manajer keperawatan dalam menciptakan
lingkungan kerja yang nyaman bagi staf keperawatan (Judkins, Reid & Furlow,
2006).
Menurut Marquis & Huston (2010) keterampilan kepemimpinan dan
fungsi manajemen tingkat unit yaitu peran kepemimpinan dan fungsi manajemen
terkait dengan penyelesaian konflik. Peran kepemimpinan diantaranya adalah
sadar diri dan bekerja dengan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan konflik
intrapersonal, mengatasi konflik segera setelah pertama kali dirasakan dan
sebelum termanifestasikan, mencari penyelesaian menang-menang (win-win
solution) jika memungkinkan, memperkecil perbedaan persepsi antara pihak yang
mengalami konflik dan memperluas pengertian kedua belah pihak tentang
masalah, membantu pegawai mengidentifikasi alternatif penyelesaian konflik,
mengenali dan menerima perbedaan individual yang dimiliki staf, menggunakan
Universitas Sumatera Utara
29
keterampilan komunikasi asertif untuk meningkatkan cara persuasif dan
membantu komunikasi terbuka, menjadi model peran yang jujur dan
mengupayakan negosisasi kolaboratif. Hal yang kedua adalah fungsi manajemen
yaitu menciptakan lingkungan kerja yang meminimalkan kondisi pencetus
konflik, secara tepat menggunakan wewenang sah jika harus membuat keputusan
yang tidak popular atau cepat, jika perlu, secara formal memfasilitasi penyelesaian
konflik yang melibatkan pegawai, menerima tanggungjawab secara mutual untuk
mencapai tujuan supraordinat yang telah ditentukan sebelumnya, mendapatkan
sumber yang dibutuhkan unit melalui strategi negosiasi yang efektif,
mengompromikan kebutuhan unit jika kebutuhan tersebut tidak kritis untuk
menjalankan fungsi unit dan jika manajemen yang lebih tinggi melepaskan
sesuatu yang sama berharganya, mempersiapkan segalanya untuk melakukan
negosiasi untuk mendapatkan sumber unit, termasuk penentuan lanjutan total
biaya dan kemungkinan pertukaran sumber unit, serta menangani kebutuhan
pengakhiran dan tindak lanjut negosiasi.
Manajemen konflik dapat dilakukan dengan banyak hal, salah satunya
keterampilan khusus yang harus dimiliki oleh seorang manajer perawatan
(Swanburg, 2000). Keterampilan khusus manajer perawat dalam mengelola
konflik adalah sebagai berikut:
1.
Baca aturan dan pedoman yang jelas dan harus diketahui oleh semua
2.
Ciptakan suasana yang mendukung dengan banyak pilihan. Hal ini
membuat orang senang untuk membuat usulan. Memberikan kekuatan bagi
Universitas Sumatera Utara
30
mereka meningkatkan pemikiran kreatif dan memungkinkan pemecahan
masalah yang lebih baik.
3.
Katakan bahwa mereka dihargai. Pujian dan penegasan tentang nilai-nilai
adalah penting untuk setiap orang dalam bekerja.
4.
Tekankan pemecahan masalah secara damai daripada konfrontasi. Bangun
jembatan pengertian.
5.
Hadapi bila diperlukan untuk mempersiapkan perdamaian. Berikan
pendidikan tentang perilaku. Katakan kepada mereka tentang perilaku
yang dirasakan, apa yang salah dan bagaimana cara memperbaikinya.
6.
Mainkan peran yang tidak menimbulkan stress dan konflik. Jangan
berperan sebagai orang yang bermuka dua dan berperilaku tidak menentu,
yang dapat menimbulkan kebingungan di antara pekerja.
7.
Pertimbangkan waktu terbaik untuk semuanya. Jangan menunda waktu
yang tidak menentu.
8.
Fokuskan pada isu dan bukan pada kepribadian.
9.
Pertahankan komunikasi dua arah. Penangkapan pesan, perbaikan
interpretasi dan tingkat perasaan pekerja. Yakinkan dengan mendengarkan
curahan dan limpahan hati mereka sehingga masalah yang sebenarnya
dapat diketahui.
10. Tekankan pada persamaan kepentingan.
11. Pisahkan isu-isu dan hadapi hal-hal yang penting untuk kedua kelompok.
12. Periksa semua pemecahan masalah dan bila memilih salah satu harus dapat
diterima oleh kedua kelompok.
Universitas Sumatera Utara
31
13. Hindari penolakan yang berlebihan terhadap penilaian, bersikat melawan,
menegur individu, memotong pernyataan perasaan dan memonopoli
pembicaraan. Respon ini dapat meningkatkan frustasi dan teknik
manajemen yang tidak efektif.
14. Bila konflik terjadi pada saat pengambilan keputusan atau tahap
pelaksanaan, usahakan untuk mencapai kesepakatan. Persetujuan terhadap
jalan yang ditempuh memberikan beberapa minat dari semua pihak. Cari
kesepakatan daripada pertentangan.
15. Ketahui hambatan-hambatan untuk kerjasama atau pemecahan, fokuskan
terhadap dinamika konflik untuk pemecahannya.
16. Bedakan antara perilaku yang menetang dengan perilaku yang normal
dalam kesalahan-kesalahan kerja. Menentang biasanya adalah perilaku
individu. Tentukan siapa yang menentang dan siapkan untuk menghadapi
secara emosional dan intelektual. Berjanji dengan seorang penentang pada
suatu waktu. Bentuk kewibawaan dan kemampuan. Wawancarai secara
pribadi : ajari, evaluasi, pecahkan, bimbing, dan buat perjanjian dengan
penentang. Kerjakan dengan segera dan tindaklanjuti dalam 1-2 hari.
17. Kuat dalam menghadapi orang marah.
18. Tetapkan siapa yang memiliki masalah. Bertanggungjawab sebagaimana
kita memilikinya dan ucapan terimakasih.
19. Tetapkan kebutuhan-kebutuhan yang terlalaikan atau frustasi dan
kebutuhan terhadap pengenalan dan pemeliharaan.
20. Bantu membedakan kebutuhan dan mimpi.
Universitas Sumatera Utara
32
21. Bangun
kepercayaan
dengan
mendengarkan,
mengklarifikasi
dan
memungkinkan tantangan dikeluarkan secara lengkap. Berilah umpan
balik untuk meyakinkan bahwa anda mengerti. Biarkan orang tahu bahwa
anda memperhatikan dan mempercayai mereka. Tunjukkan pengenalan
terhadap sudut pandang yang lain dan kemauan untuk memperbaiki
hubungan. Lihat kenyataan. Minta umpan balik. Bila seorang staf perawat
atau petugas lain mempunyai pandangan yang valid, kenali, maafkan bila
perlu dan bersikap ikhlas.
22. Rundingkan kembali prosedur pemecahan masalah untuk mencegah
kegusaran lebih lanjut, ketidakpercayaan dan sifat melawan.
2.3. Kepuasan Kerja
2.3.1. Definisi
Kepuasan kerja adalah bagaimana orang merasakan pekerjaan mereka
secara umum dan aspek-aspek yang berbeda dan bervariasi dari pekerjaan mereka
(Spector, 1997). Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan
dan mencintai pekerjaannya yang tercermin dalam moral kerja, kedisiplinan dan
prestasi kerja (Hasibuan, 2005). Anoraga (2004) mengemukakan bahwa kepuasan
kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya segala sesuatu
yang dihadapi di lingkungan kerja. Kenyataan menunjukkan bahwa orang mau
bekerja bukan hanya mencari dan mendapatkan upah saja, akan tetapi bekerja
dengan bekerja ia mengharapkan akan mendapatkan kepuasan kerja.
Kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja tersebut tentang
seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memenuhi kebutuhannya (As’ad,
Universitas Sumatera Utara
33
2008). Kepuasan kerja juga menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang
yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan, sehingga kepuasan juga
berkaitan dengan teori keadilan, perjanjian psikologis dan motivasi (Robbins,
2006). Wang et. al., (2014) juga mengemukakan bahwa kepuasan kerja
mencerminkan sejauh mana keinginan, kebutuhan, atau harapan seseorang
terpenuhi di tempat kerja. Kepuasan kerja juga diartikan sebagai ungkapan
kepuasan karyawan tentang bagaimana pekerjaan mereka dapat memberikan
manfaat bagi organisasi, yang berarti bahwa apa yang diperoleh dalam bekerja
sudah memenuhi apa yang dianggap penting (Luthans, 2005). Berdasarkan
beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan
sikap emosional yang tercermin dari seseorang akan aspek-aspek yang bervariasi
dalam pekerjaannya yang juga akan mempengaruhi kinerjanya.
2.3.2.Teori-teori Kepuasan Kerja
Beberapa teori yang berhubungan dengan kepuasan kerja dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Teori Maslow
Teori Hierarki Kebutuhan Maslow (hierarcy of needs) menyatakan bahwa
kebutuhan manusia dapat disusun berdasarkan hierarki, dimana kebutuhan
paling atas akan menjadi motivator utama bila kebutuhan pada tingkat di
bawahnya telah terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tersusun mulai
kebutuhan yang paling rendah kepada kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu :
kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan
harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri (Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
34
2. Teori Frederick -Herzberg
Ahli psikologi dan konsultan manajemen ini mengembangkan Teori Dua
Faktor yang menempatkan faktor-faktor pekerjaan dalam dua kelompok,
yaitu faktor pemuas/motivator yang terdiri dari faktor intrinsik pekerjaan,
yang meliputi aspek dari pekerjaan itu sendiri, tanggungjawab,
penghargaan, pencapaian prestasi, kemanjuan, kemungkinan berkembang,
dan konformitas. Bila faktor pemuas terpenuhi maka dapat menimbulkan
kepuasan kerja yang akan membentuk motivasi yang kuat untuk
menghasilkan kinerja yang baik dan faktor pemelihara/hygienis yaitu
merupakan kondisi ekstrinsik dari pekerjaan seperti upah, keamanan kerja,
kondisi kerja, status, prosedur, perusahaan, mutu penyelian, dan mutu
hubungan interpersonal. Terpenuhinya kebutuhan akan kondisi ekstrinsik
kerja tidak menjamin timbulnya kepuasan kerja karyawan, tetapi
merupakan faktor yang memelihara kondisi kerja agar tidak terjadi
ketidakpuasan kerja. Ketidakberadaan faktor pemelihara ini dapat
mengakibatkan timbulnya ketidakpuasan (Wibowo, 2011).
3. Teori Adelfer
Disebut dengan Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth). Adelfer
setuju dengan Maslow, bahwa kebutuhan individu tersusun secara hirarki,
namun hirarki kebutuhan yang diajukannya hanya terdiri dari tiga set
kebutuhan, yaitu existence/eksistensi merupakan kebutuhan-kebutuhan
yang terpuaskan oleh faktor-faktor seperti gaji dan kondisi pekerjaan,
relatedness/hubungan merupakan kebutuhan-kebutuhan yang terpuaskan
Universitas Sumatera Utara
35
dengan adanya hubungan sosial dan interpersonal yang berarti, dan
growth/pertumbuhan merupakan kebutuhan-kebutuhan yang terpuaskan
oleh produktivitas dan kreatifitas individu (Kuntoro, 2010).
4. Teori McClelland
Dikenal
dengan
Teori
Kebutuhan
Yang
Dipelajari.
McClelland
mengemukakan teori kebutuhan motivasi yang dipelajari, yang erat
hubungannya dengan konsep belajar. Teori ini mengatakan bahwa
seseorang dengan suatu kebutuhan yang kuat akan termotivasi untuk
menggunakan tingkah laku yang sesuai untuk memuaskan kebutuhan.
Kebutuhan
seseorang
dipelajari
dari
kebudayaan
masyarakat
di
lingkungannya. Tiga kebutuhan yang dipelajari tersebut adalah kebutuhan
berprestasi, kebutuhan berafiliasi, dan kebutuhan berkuasa (Gomes, 2003).
5. Teori Diskrepensi dan Teori Keadilan
Dikemukakan oleh Ilyas (2001) yang menjelaskan hubungan kepuasan
dengan penghargaan yang diterima secara ekstrinsik yang terdiri dari teori
diskrepansi dan teori ketidakadilan. Teori diskrepansi menjelaskan bahwa
keadilan ditentukan oleh keseimbangan antara apa yang dirasakan
seseorang sebagai hal yang seharusnya ia terima dengan apa yang secara
nyata ia terima. Jika penghargaan yang secara nyata ia terima sebanding
dengan apa yang diharapkannya, maka ia akan merasa puas. Setiap
diskrepansi atau ketidakseimbangan antara kedua tingkatan tersebut akan
menimbulkan perasaan tidak puas. Teori selanjutnya adalah teori
ketidakadilan menjelaskan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh rasa
Universitas Sumatera Utara
36
keadilan dan ketidakadilan. Dalam menilai keadilan tersebut individu
memperhatikan faktor-faktor input, output, dan comparison person. Input
adalah segala sesuatu yang diserahkan individu dalam menyelenggarakan
tugas pekerjaan, seperti pengetahuan, kecerdasan, keterampilan dan
pengalaman, sedangkan output adalah segala sesuatu yang diterima dari
tempat kerja sebagai imbalan atau tugas yang dikerjakan, seperti gaji,
fasilitas kerja, perumahan, jaminan kesehatan. Faktor terakhir yaitu
comparison person, dimana individu lain sebagai pembanding bagi
karyawan dalam hal input dan outcome.
2.3.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Menurut Baron dan Byrne (1994) terdapat dua faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja yaitu faktor organisasi dan faktor individual/karakteristik
karyawan. Faktor organisasi terdiri dari kebijaksanaan perusahaan dan iklim
organisasi sedangkan faktor individual/karakteristik karyawan terdiri dari status
dan senioritas. Selain ini Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2011)
mengemukakan lima faktor yang menyebabkan kepuasan yaitu need fulfillment
(pemenuhan kebutuhan), discrepancies (perbedaan), value attainment (pencapaian
nilai), equity (keadilan), dan dispositional/genetic component (komponen
genetik).
Harold E Burt (2004) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja adalah faktor hubungan antar karyawan, antara lain hubungan
antara manajer dengan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja, hubungan sosial
di antara karyawan, sugesti dari teman kerja, emosi dan situasi kerja; faktor
Universitas Sumatera Utara
37
individual yaitu yang berhubungan dengan sikap orang terhadap pekerjaannya,
umur orang sewaktu bekerja, dan jenis kelamin; dan faktor eksternal yang
berhubungan dengan keadaan keluarga karyawan, rekreasi, pendidikan, dan
sebagainya.
Robbins (2006) menjabarkan teori 2 (dua) faktor yang dikemukakan
Herxberg (1966) tentang faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan
yaitu maintenance factors dan motivation factors. Maintenance factors adalah
faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin
memperoleh ketentraman badaniah. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang
berlangsung terus menerus karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol
setelah dipenuhi. Faktor-faktor pemeliharaan ini berupa gaji atau upah (wages of
salaries), kondisi kerja (working conditions), kebijakan dan administrasi
perusahaan (company policy and administration), hubungan antar pribadi
(interpersonal relation), dan kualitas supervisi (quality supervisor). Tidak
terpenuhinya faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan absennya
karyawan. Faktor yang kedua adalah motivation factors adalah faktor motivator
yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam
melakukan pekerjaan. Faktor ini berhubungan dengan penghargaan terhadap
pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan yang berupa prestasi
(achievment), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (the work it self),
tanggungjawab (responsibility), pengembangan potensi individu (advancement),
dan kemungkinan berkembang (the possibility of growth).
Universitas Sumatera Utara
38
2.3.4.Karakteristik Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Menurut Davis (2004) berbagai karakteristik yang menentukan kepuasan
atas pekerjaan digolongkan menjadi tiga yaitu karakteristik pekerjaan,
karakteristik organisasi dan karakteristik individu. Karakteristik pekerjaan adalah
karakteristik yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah kejelasan peran,
keleluasaan
dalam
kerja,
dan
penghargaan
intrinsik.
Kejelasan
peran
menyebabkan individu mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya. Individu
akan lebih berhasil dalam pekerjaan apabila ia mengetahui apa yang diharapkan
dan memahami tujuan tugas dengan jelas. Keleluasaan dalam kerja menekankan
perhatian pada otonomi, variasi tugas, tanggungjawab, dan umpan balik dari
pekerjaan. Penghargaan intrinsik memiliki dampak kuat untuk timbulnya
kepuasan kerja. Penghargaan intrinsik berkaitan dengan psikis atau perasaan
individu yang merupakan akibat dari kinerjanya. Faktor-faktor karakteristik
pekerjaan yang memberi sumbangan terhadap kepuasan kerja diantaranya adalah
manajemen, supervisi langsung, lingkungan sosial, komunikasi, keamanan,
pekerjaan yang monoton, dan penghasilan.
Karakteristik yang kedua adalah karakteristik organisasi dimana terdapat
dua variabel yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu keterlibatan dalam
pembuatan keputusan organisasi dan tingkatan pekerjaan. Individu yang
dilibatkan dalam pembuatan keputusan organsasi mendapatkan kepuasan kerja
lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak terlibat. Karakteristik
terakhir adalah karakteristik individu yang berhubungan dengan kepuasan kerja
yang terdiri dari usia, pendidikan, dan jabatan yang dipegang.
Universitas Sumatera Utara
39
Menurut Robbin & Judge (2008), kepuasan kerja juga dipengaruhi oleh
karakteristik biografi meliputi umur, masa kerja, pendidikan, jenis kelamin, dan
status pegawai. Umur adalah lama hidup seseorang hingga ulang tahunnya yang
terakhir. Hubungan umur dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan yang
positif artinya makin tua umur karyawan makin tinggi tingkat kepuasan kerjanya,
setidak-tidaknya sampai umur karyawan menjelang pensiun pada pekerjaan yang
dikuasainya. Sebaliknya mudah menduga bahwa bagi karyawan yang lebih muda
usia, keinginan pindah lebih besar. Davis (2004) menyatakan usia >35 tahun
dikategorikan usia tua dan usia ≤35 tahun usia muda. Masa kerja dimana
karyawan baru cenderung kurang puas dibandingkan dengan karyawan yang lebih
senior. Terdapat berbagai alasan terjadinya hal ini karena karyawan baru datang di
tempat kerja dengan harapan tinggi yang tidak memungkinkan untuk dipenuhi
atau mungkin untuk pekerjaan tersebut hanya dibutuhkan pendidikan atau
kemampuan yang lebih rendah daripada kemampuan yang dimilik karyawan baru
tersebut. Karyawan yang lebih berpengalaman lebih tinggi kepuasan kerjanya
daripada mereka yang kurang pengalaman kerjanya. Pendidikan yaitu adanya
hubungan yang negatif antara tingkat pendidikan dengan kepuasan terhadap gaji
disebabkan perbedaan harapan. Klien dan Mahe mengatakan bahwa pekerja
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi berharap dapat berpenghasilan lebih
tinggi di suatu organisasi. Jenis kelamin dimana tidak ada pengaruh jenis kelamin
antara laki-laki dan perempuan terhadap kepuasan kerja. Penelitian menurut
Suroso (2011) menyatakan bahwa perawat wanita yang merupakan seorang ibu
dalam keluarga, kemungkinan akan memiliki naluri keibuan yang bermanfaat
Universitas Sumatera Utara
40
dalam membentuk perilaku caring dalam proses pemberian asuhan keperawatan
dan menciptakan kepuasan kerja. Status kepegawaian dimana karyawan PNS
lebih memiliki ketenangan dengan statusnya, mereka mengerti akan peluang
pengembangan karier, serta cukup tenang akan jaminan hari tuanya, sebaliknya
hal ini tidak dialami oleh karyawan yang berstatus non PNS.
2.3.5.Efek Kepuasan Kerja
Menurut Noe, dkk (2011) kepuasan kerja akan memberi efek/dampak pada
beberapa hal diantaranya kinerja, kemangkiran atau keterlambatan, turn over,
dan komitmen terhadap organisasi. Dampak pertama adalah kinerja dimana
beberapa hasil riset penelitian mendukung hubungan kepuasan kerja dengan
kinerja kerja dalam suatu organisasi. Individu yang merasa puas dipastikan akan
memiliki produktivitas yang baik. Organisasi yang dapat memberikan kepuasan
kerja pada karyawannya cenderung lebih efektif dan memiliki kinerja yang baik
dibandingkan dengan yang tidak memberikan kepuasan kerja pada karyawannya.
Dampak kedua adalah kemangkiran atau keterlambatan dimana beberapa
penelitian menemukan hubungan yang secara konsisten negatif antara kepuasan
kerja dan kemangkiran atau keterlambatan. Hal yang ketiga adalah turn over
dimana kepuasan kerja memiliki hubungan dengan turn over pegawai dalam
suatu organisasi. Para manajer harus memperhatikan dengan serius hal tersebut
karena akan mengganggu kelanjutan organisasi dan disarankan untuk
meningkatkan kepuasan kerja dalam mengurangi turn over dan yang terakhir
adalah komitmen terhadap organisasi yaitu perasaan memiliki oleh setiap
individu terhadap organisasi dan komitmennya dalam mencapai tujuan
Universitas Sumatera Utara
41
organisasi. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan positif antara kepuasan
dan komitmen organisasi.
2.3.6. Penilaian/Pengukuran Kepuasan Kerja
Salah satu sasaran penting dalam manajemen sumber daya manusia pada
suatu organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi tersebut.
Tidak ada tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak karena setiap individu berbeda
standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja hanya dapat diukur dengan
kedisiplinan, moral kerja, dan pergantian staf (turnover) kecil maka secara relatif
kepuasan kerja karyawan baik (Hasibuan, 2001).
Swanburg (2000) mengemukakan bahwa pengukuran kepuasan kerja dapat
dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang memuat komponen penilaian
kepuasan, gaji dan tunjangan tambahan, filosofi pengaturan staf, peminjaman dan
pertukaran shift, pekerjaan administrasi, hubungan antar disiplin, profesionalisme
dan pengembangan staf, serta faktor dukungan administrasi. Pengukuran kepuasan
kerja juga dapat dilakukan dengan menggunakan konsep Luthans (2005), yang
terdiri dari budaya dan nilai organisasi, peluang karir, kepemimimpinan, aktifitas
kerja dan kompensasi.
Penilaian kepuasan kerja dapat dilihat dari perasaan umum seseorang akan
pekerjaannya (global satisfaction) dan aspek-aspek dari pekerjaannya (facet
satisfaction). Pendekatan global merupakan pendekatan secara umum yang
menggunakan perspektif yang lebih luas dalam melihat kepuasan kerja.
Pendekatan global digunakan ketika ingin melihat secara keseluruhan sikap
misalnya melihat dampak suka atau tidak sukanya individu terhadap perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
42
Pertanyaan ini menggunakan satu buah pertanyaan dimana responden hanya perlu
menjawab “sangat puas”, “cukup puas”, dan “tidak puas” untuk menggambarkan
sikap terhadap pekerjaannya (Vechio, 2006). Pendekatan ini memang dapat
membantu melihat kepuasan secara menyeluruh namun memiliki kelemahan yaitu
masalah penafsiran individu dari pertanyaan yang diajukan atau perbedaan
interpretasi individu dalam menentukan kepuasan kerja dan hal ini tidak diukur
(Jewell & Siegel, 1998). Konflik yang timbul akibat hubungan antar karyawan
yang kurang baik, konflik dari masing-masing individual dan dari luar (eksternal)
merupakan hal yang mempengaruhi kepuasan kerja.
Pendekatan berikut adalah pendekatan facet digunakan untuk melihat
bagaimana pekerjaan tersebut memberi kepuasan kerja atau tidak. Pendekatan ini
memberikan gambaran yang lebih lengkap dibandingkan dengan pendekatan
global. Spector (1997) mengindikatorkan kepuasan kerja dari sembilan aspek
yang diukur dalam pendekatan ini yang meliputi gaji (global satisfaction) yaitu
kepuasan akan pembayaran gaji atau upah, promosi yaitu kepuasan akan
kesempatan promosi yang adil, supervisi yakni kepuasan akan supervisi dari
atasan langsung, keuntungan tambahan (benefit) yakni kepuasan dengan
keuntungan yang diperoleh selain gaji seperti asuransi, liburan dan bentuk fasilitas
lain, contingent rewards yaitu sebuah kepuasan akan hadiah (tidak harus berupa
uang) yang diberikan untuk perkembangan kerja yang baik seperti rasa hormat,
diakui, dan diberi apresiasi, operating conditions yaitu sebuah kepuasan akan
kebijakan, peraturan-peraturan dan prosedur, rekan kerja (coworkers) yaitu
kepuasan akan rekan kerja dimana memiliki rekan kerja yang menyenangkan dan
Universitas Sumatera Utara
43
kompeten, nature of work yaitu kepuasan akan tipe pekerjaan yang dilakukan, dan
komunikasi yaitu kepuasan akan berkomunikasi dalam sebuah organisasi (verbal
maupun non verbal).
Siagian (2009) menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kepuasan kerja
perlu memperhatikan rancang bangun dari suatu pekerjaan yang menghubungkan
pekerja dengan organisasi. Faktor penyebab organisasi membutuhkan pekerja
adalah pekerjaan yang harus dilakukan sehingga pekerjaan haruslah meningkatkan
produktivitas dan kepuasan kerja. Unsur-unsur dalam rancang bangun kepuasan
kerja meliputi otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan, variasi tugas, identitas
tugas, pentingnya pekerjaan seseorang, dan umpan balik. Otonomi adalah
pemupukan rasa tanggungjawab atas pekerjaan seseorang beserta hasilnya. Para
pekerja diberi kebebasan dalam mengendalikan tugas dan pekerjaan yang
diberikan kepadanya sehingga rasa tanggungjawab dan tingkat kepuasannya
menjadi lebih besar. Variasi tugas dibutuhkan dalam meningkatkan kepuasan
kerja pekerja. Pemusatan pada satu tugas tertentu dapat meningkatkan keefektifan
dan keahlian yang tinggi namun akan sangat membosankan sehingga berdampak
negatif dalam hal keletihan, kesalahan dalam pelaksanaan tugas, dan kecelakaan.
Unsur berikut adalah identitas tugas, dimana para pekerja akan merasa bangga
apabila dapat menunjukkan hasil pekerjaannya secara konkret. Jika hasil
pekerjaan tidak mendapat penghargaan akan menurunkan kepuasan kerja.
Pentingnya pekerjaan seseorang berkaitan erat dengan identitas tugas dimana
seorang pekerja merasa bangga, mempunyai komitmen, motivasi dan kepuasan
yang tinggi jika mengetahui bahwa oranglain mengganggap dan bergantung
Universitas Sumatera Utara
44
padanya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Unsur terakhir adalah umpan
balik akan cara seseorang menyelesaikan pekerjaannya yang sangat penting
baginya, sebab jika tidak diperoleh maka dalam dirinya tidak akan ada motivasi
yang kuat untuk berprestasi lebih tinggi.
Pada penelitian ini penulis menggunakan penilaian kepuasan kerja dengan
menggunakan dengan menggunakan unsur penilaian kepuasan kerja menurut
Siagian (2009) yang meliputi otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan, variasi tugas,
identitas tugas, pentingnya pekerjaan seseorang, dan umpan balik.
2.3.7. Manajemen Konflik Terhadap Kepuasan Kerja
Pegawai yang memiliki kepuasan kerja yang baik mendorong pekerja
tersebut bekerja lebih giat, memiliki gaya manajemen konflik yang efektif,
loyalitas terhadap organisasi yang tinggi, menguntungkan bagi organisasi
(Guttman, 2009). Disposisi personal, tanggungjawab kerja, supervisi, rekan kerja,
gaji, adalah beberapa pendukung untuk membangun kepuasan kerja menjadi lebih
meningkat (Miller, 2007). Para karyawan percaya bahwa mereka memiliki sebuah
tim yang dapat mengelola konflik dengan efektif akan menghasilkan produktivitas
kerja dan kepuasan kerja yang tinggi (Noe, 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa semakin efektif kita mengendalikan, mengelola, dan
manajemen konflik, pada suatu organisasi maka akan menciptakan sebuah
kerjasama tim, kepemimpinan yang efektif, moral yang tinggi, meningkatkan
produktifitas, kepuasan pelanggan dan kepuasan karyawan (Williams, 2011). Pada
dasarnya, konflik dapat terjadi karna setiap tim atau pihak tertentu memiliki
peraturan sendiri. Penyelesaian konflik tergantung dari bagaimana organisasi
Universitas Sumatera Utara
45
tersebut mengatur dan memanajemen konflik tersebut hingga selesai. Jika konflik
dapat diselesaikan dengan baik maka akan berdampak pula pada kepuasan kerja
yang tinggi.
2.4. Kinerja Kerja
2.4.1. Definisi
Kinerja merupakan penampilan kerja individu atau kelompok kerja baik
secara kuantitas maupun secara kualitas dalam suatu organisasi (Ilyas, 2002).
Mangkunegara (2009) mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara
kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan padanya. Kinerja merupakan hasil
pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan gaya strategis organisasi,
kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi (Wibowo, 2007).
Kinerja merupakan penampilan hasil karya personal baik kualitas maupun
kuantitas. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personel yang memangku
jabatan (fungsional maupun struktural), tetapi juga kepada keseluruhan jajaran
personel di dalam organisasi (Ilyas, 2002).
Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok.
Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja
sejumlah individu dalam organisasi. Wirawan (2013) mengemukakan bahwa
kinerja pegawai merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor yaitu faktor internal
pegawai, faktor-faktor lingkungan internal pegawai, dan faktor lingkungan
eksternal pegawai. Penilaian kinerja perawat merupakan salah satu upaya
manajemen rumah sakit yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
46
kualitas pelayanan keperawatan (Ginting & Setiawan, 2012) dan merupakan suatu
ukuran pengawasan yang digunakan oleh manajer perawat untuk mencapai tujuan
organisasi (Gillies, 1996). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja
merupakan hasil yang dicapai oleh seseorang atau kelompok sesuai dengan tugas
dan tanggungjawab dalam suatu organisasi.
2.4.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Wirawan (2013) mengemukakan bahwa kinerja pegawai merupakan hasil
sinergi dari sejumlah faktor yaitu faktor internal pegawai, faktor lingkungan
internal pegawai, dan faktor eksternal pegawai. Faktor internal pegawai adalah
faktor-faktor dari dalam diri pegawai yang merupakan faktor bawaan dari lahir
dan faktor yang diperoleh ketika pegawai tersebut berkembang. Faktor-faktor
bawaan misalnya bakat, sifat pribadi, keadaan fisik dan kejiwaan (stres). Faktor
berikutnya adalah faktor-faktor lingkungan internal pegawai dimana dalam
melaksanakan tugas pegawai memerlukan dukungan organisasi. Dukungan
tersebut sangat mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja pegawai. Sistem
kompensasi, iklim kerja organisasi, strategi organisasi, serta dukungan sumber
daya yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan merupakan fakor lingkungan
internal organisasi yang mendukung pelaksanaan tugas. Faktor yang terakhir
adalah faktor lingkungan eksternal pegawai yaitu keadaan, situasi, kejadian, yang
terjadi di lingkungan eksternal organisasi yang mempengaruhi kinerja karyawan,
misalnya krisis ekonomi dan budaya masyarakat. Ilyas (2002) mengatakan bahwa
kinerja dipengaruhi oleh faktor demografi dan supervisi yaitu usia, lama kerja,
dan supervisi. Semakin tua umur seseorang maka kebutuhan aktualisasi diri akan
Universitas Sumatera Utara
47
semakin tinggi bila dibandingkan dengan kebutuhan fisiologinya, demikian
halnya dengan lama kerja, dimana pengalaman kerja akan mempengaruhi
seseorang dalam berinteraksi dengan pekerjaan yang dilaksanakannya. Pada faktor
supervisi berlangsung
proses
yang memacu
anggota
organisasi untuk
berkontribusi secara positif agar tujuan organisasi dapat tercapai.
Ilyas (2002) juga mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi
kinerja personil secara teoritis ada tiga kelompok variabel yaitu variabel individu,
variabel organisasi, dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut
mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja
personil. Diagram skematis variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja
dapat dilihat pada Skema 2.5.
Variabel individu :
1. Kemampuan
dan
keterampilan :
mental
dan
fisik
2. Latar belakang
:
keluarga,
tingkat sosial,
pengalaman
3. Demografis :
umur,
etnis,
jenis kelamin
Variabel perilaku (apa
yang dikerjakan) dan
Kinerja (hasil yang
diharapkan)
Variabel
psikologis :
1. Persepsi
2. Sikap
3. Kepribadian
4. Belajar
5. Motivasi
Variabel organisasi :
1.Sumber daya
2.Kepemimpinan
3.Imbalan
4.Struktur
5.Desain pekerjaan
6.Supervisi
7.Control
Skema 2.5 Diagram Skematis Teori Perilaku dan Kinerja (Gibson, 1987)
Universitas Sumatera Utara
48
2.4.3. Unsur-unsur Penilaian Kinerja
Hasibuan (2003) menjelaskan unsur-unsur yang harus dinilai dalam
penilaian kinerja adalah kesetiaan, prestasi kerja, kejujuran, kedisiplinan,
kreativitas, kerjasama, kepemimpinan, kepribadian, prakarsa, kecakapan dan
tanggung jawab. Unsur-unsur tersebut serupa dengan unsur-unsur penilaian DP3
yang disampaikan Ilyas (2002) meliputi kesetiaan, prestasi kerja, tanggungjawab,
ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa, kepemimpinan. Kesetiaan adalah hal
yang dicerminkan oleh kesediaan karyawan menjaga dan membela organisasi di
dalam maupun di luar organisasi dari orang yang tidak bertanggungjawab.
Prestasi kerja merupakan hasil pelaksanaan pekerjaan yang dicapai oleh seorang
personel dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya yang dipengaruhi
oleh kecakapan, keterampilan, pengalaman, kesungguhan, dan lingkungan kerja.
Tanggungjawab merupakan kesanggupan seorang personel dalam menyelesaikan
pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan baik, tepat waktu, serta berani
mengambil resiko untuk keputusan yang dibuat atau tindakan yang dilakukan dan
ketaatan merupakan kesanggupan seorang personel untuk menaati segala
peraturan kedinasan yang berlaku dan menaati perintah dinas yang diberikan
atasan yang berwenang, serta sanggup tidak melanggar larangan yang ditentukan.
Unsur berikutnya adalah kejujuran yang merupakan sikap mental yang
keluar dari dalam diri manusia sendiri. Itu merupakan ketulusan hati dalam
melaksanakaan tugas dan mampu untuk menyalahgunakan wewenang dan
tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Kerjasama adalah kesediaan karyawan
berpartisipasi dan bekerjasama dengan karyawan lainnya secara vertikal atau
Universitas Sumatera Utara
49
horizontal di dalam maupun di luar pekerjaan sehingga hasil pekerjaan akan
semakin baik. Prakarsa merupakan kemampuan seorang personel mengambil
keputusan. Langkah-langkah, serta melaksanakannya, sesuai dengan tindakan
yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok, tanpa menunggu perintah
atasan. Unsur terakhir adalah kepemimpinan merupakan kemampuan seorang
personel untuk mempengaruhi dan meyakinkan oranglain, sehingga orang-orang
tersebut dapat digerakkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas-tugas yang
ada.
Depkes (2007) mengemukakan penilaian kinerja perawat dapat dinilai
secara obyektif dengan menggunakan metode dan instrumen penilaian yang baku.
Pedoman penilaian asuhan keperawatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pedoman akreditasi rumah sakit 2007 yang disebut instrumen A yang
berisi tentang penilaian kelengkapan pendokumentasian asuhan keperawatan yang
meliputi : pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan keperawatan, evaluasi, dan
catatan asuhan keperawatan. PPNI (2002), mengemukakan bahwa penilaian
kinerja perawat berdasarkan standar praktek profesional yang meliputi standar I
(pengkajian keperawatan), standar II (diagnosis keperawatan), standar III
(perencanaan), standar IV (pelaksanaan), dan standar V (evaluasi).
Komponen dalam penilaian kinerja karyawan dapat meliputi pengetahuan
tentang pekerjaan, kualitas kerja, produktivitas, adaptasi dan fleksibilitas, inisiatif
dan
pemecahan
masalah,
keandalan/pertanggungjawaban,
kooperatif
kemampuan
dan
komunikasi
kerjasama,
dan
interaksi,
kepemimpinan dan pengembangan diri bawahan merupakan komponen tambahan
Universitas Sumatera Utara
50
(Mangkunegara, 2009). Pengetahuan tentang pekerjaan adalah memahami tugas
dan tanggungjawab, memiliki pengetahuan dan mampu mengikuti perkembangan
peraturan terkait peraturan, prosedur dan keahlian teknis terbaru di bidang
keperawatan, mampu menggunakan informasi, material, peralatan dan teknik
dengan tepat dan benar. Faktor-faktor kualitas kerja mencakup perhatian cermat
pada pekerjaan, mematuhi peraturan dan prosedur kesehatan dan keselamatan
kerja, mampu membuat dan dapat memahami keputusan terkait pekerjaan,
mengembangkan solusi alternatif dan tindakan yang tepat dimana dalam hal ini
perawat dituntut memiliki perhatian utama pada pelaksanaan asuhan keperawatan
sesuai SOP dan SAK. Menyelesaikan tugas secara konsisten, mengorganisisr
prioritas kerja secara efektif, efesiensi waktu dan pemeliharaan lingkungan kerja
sesuai dengan fungsinya merupakan komponen dari produtivitas karyawan.
Komponen adaptasi dan fleksibilitas mencakup kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan dan pekerjaan, menunjukkan hasil kerja yang baik dalam kondisi
apapun, mempelajari dan menguasai informasi serta prosedur yang baru. Hal ini
berarti bahwa dalam keadaan apapun, perawat harus melakukan asuhan
keperawatan sebaik mungkin.
Komponen berikutnya adalah inisiatif dalam menghasilkan ide, tindakan
dan solusi yang inovatif
dan pemecahan masalah dalam mengantisipasi,
memahami masalah, serta membuat solusi penyelesaian masalah. Kooperatif dan
kerjasama meliputi memelihara hubungan yang efektif, mampu bekerjasama,
memberikan bantuan dan dukungan pada oranglain, mampu mengakui kesalahan
sendiri, dan mau belajar dari kesalahan tersebut. Kedisiplinan waktu baik dari segi
Universitas Sumatera Utara
51
kehadiran dan penyelesaian pekerjaan, mengikuti instruksi, dan bekerja secara
mandiri merupakan bagian dari komponen keandalan/pertanggungjawaban.
Komponen terakhir adalah kemampuan berkomunikasi dan interaksi yang
mencakup mampu berkomunikasi dengan jelas, mampu berinteraksi dengan
oranglain, memelihara hubungan yang baik dan profesional antar individu,
mampu memecahkan masalah, dan meneriman masukan dari orang lain.
Keseluruhan komponen penilaian kinerja keperawatan harus mengarah pada
tahapan
proses
keperawatan
yaitu
pengkajian,
diagnosa
keperawatan,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Depkes, 2004).
Penelitian ini mengukur kinerja perawat pelaksana dengan menggunakan
konsep kinerja menurut Mangkunegara (2009) yang dihubungkan dengan
komponen penilaian kinerja menurut Depkes (2004) yang meliputi pengetahuan
tentang pekerjaan, kualitas kerja, produktivitas, adaptasi dan fleksibilitas, inisiatif
dan
pemecahan
masalah,
kooperatif
dan
kerjasama,
kendalan/pertanggungjawaban, kemampuan komunikasi dan interaksi.
2.4.4. Penilaian Kinerja
a. Pengertian
Marquis dan Huston (2010) mengemukakan bahwa penilaian kinerja
(performance appraisal) adalah proses pengawasan dimana kinerja staf dinilai
dan dibandingkan dengan standar yang ada pada suatu organisasi. Penilaian
kinerja perawat merupakan salah satu upaya manajemen rumah sakit yang
bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan
Universitas Sumatera Utara
52
(Ginting & Setiawan, 2012) dan merupakan suatu ukuran pengawasan yang
digunakan oleh manajer perawat untuk mencapai tujuan organisasi (Gillies, 1996).
Penilaian kinerja adalah suatu proses yang diawali dengan penetapan
standar kinerja yang membutuhkan umpan balik pegawai (Nasution, 2010).
Swanburg (2000) juga mengemukakan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu
proses untuk mengontrol sumber daya dan produktivitasnya. Melalui penilaian
kinerja, dapat diketahui seberapa baik pegawai menjalankan tugas yang diberikan
kepadanya (Marquis & Huston, 2010). Keseluruhan penilaian kinerja yang
dilakukan untuk melihat sejauh mana para karyawan mencapai kinerja sesuai
dengan tujuan suatu organisasi.
b. Manfaat dan Tujuan
Tujuan utama penilaian kinerja ada dua yaitu sebagai alat mengevaluasi
kemampuan personel secara individual yang dapat digunakan sebagai informasi
untuk menilai efektivitas manajemen sumber daya manusia dan sebagai umpan
balik dalam pengembangan personel seperti promosi, mutasi, rotasi, terminasi,
dan penyesuaian kompensasi (Ilyas 2002 dalam Wahyudi 2007). Stoner dan
Freeman (1982) mengemukakan manfaat penilaian kinerja
yaitu untuk
menanggulangi perubahan, meningkatkan produktivitas, dapat menambah nilai
dan memudahkan delegasi dan kerja bersama tim. Tujuan penilaian kinerja adalah
untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efesiensi seorang karyawan atau tim
kerja dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya (Nawawi, 2006). Melalui
proses penilaian kinerja yang baik, dapat memotivasi anggota organisasi untuk
Universitas Sumatera Utara
53
menampilkan kinerja terbaiknya, sehingga tujuan organisasi akan tercapai dan
kesempatan untuk berkembang akan menjadi lebih luas (Hubber, 2000).
Nursalam (2011) menjelaskan manfaat penilaian kinerja perawat adalah
meningkatkan prestasi kerja staf secara individu atau kelompok dengan
memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri
dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan di rumah sakit, peningkatan yang
terjadi pada prestasi staf secara perorangan pada gilirannya akan mempengaruhi
atau mendorong sumber daya manusia secara keseluruhannya, merangsang minat
dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil karya dan
prestasi dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka tentang prestasinya,
membantu rumah sakit untuk dapat menyusun program pengembangan dan
pelatihan staf yang lebih tepat guna, sehingga rumah sakit akan mempunyai
tenaga yang cakap dan tampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan di
masa depan, menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja
dengan gajinya atau sistem imbalan yang baik, memberikan kesempatan kepada
pegawai atau staf untuk mengeluarkan perasaan tentang pekerjaannya atau hal lain
yang ada kaitannya melalui jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat
mempererat hubungan antara atasan dan bawahan.
c. Pendekatan Evaluasi Kinerja
Robbins (2006) melihat evaluasi kinerja dalam ukuran hasil pekerjaan
individu, perilaku, dan sikap. Kreitner dan Konichi (2001) melihat evaluasi
kinerja dari pendekatan sifat, perilaku, hasil, dan kontingensi. Wibowo (2007)
mengkombinasikan pendapat kedua ahli tersebut dengan penjelasan melalui
Universitas Sumatera Utara
54
beberapa pendekatan sebagai berikut: (1) pendekatan sikap menyangkut penilaian
terhadap sikap atau karakteristik individu, biasanya diukur dalam bentuk inisiatif,
kecepatan membuat keputusan dan ketergantungan. Meskipun pendekatan sifat
sangat luas dipergunakan oleh para manajer, pada umumnya dipertimbangkan
para ahli sebagai yang paling lemah; (2) pendekatan perilaku menunjukkan
bagaimana orang berperilaku, bukan kepribadiannya. Kemampuan orang untuk
bertahan meningkat apabila penilaian kinerja didukung oleh tingkat perilaku
kinerja. Perilaku seorang plant manager yang dapat dipergunakan untuk evaluasi
kinerja adalah ketepatan waktu dalam menyampaikan laporan bulanan atau gaya
kepemimpinan yang ditunjukkan; (3) pendekatan hasil yaitu apabila pendekatan
sikap memfokuskan pada orang dan pendekatan perilaku memfokuskan pada
proses, pendekatan hasil berfokus pada produk atau hasil usaha seseorang atau apa
yang telah diselesaikan orang lain dan (4) pendekatan kontingensi dimana ketiga
pendekatan di atas cocok untuk dipergunakan pada kebutuhan pada situasi
tertentu, oleh sebab itu diusulkan pendekatan kontingensi yang selalu dicocokkan
dengan situasi tertentu yang sedang berkembang.
d. Metode Penilaian Kinerja
Menurut Marquis dan Huston (2010) metode penilaian prestasi kerja pada
umumnya dibagi menjadi dua macam yaitu yang berorientasi pada masa lalu dan
yang berorientasi pada masa yang akan datang.
1. Metode penilaian kinerja yang berorientasi pada masa lalu adalah
penilaian prestasi kerja berdasarkan hasil yang telah dicapai oleh karyawan
selama ini kemudian mendapat umpan balik terhadap pekerjaan mereka,
Universitas Sumatera Utara
55
selanjutnya umpan balik tersebut akan dimanfaatkan untuk perbaikan
prestasi. Teknik penilaian ini mencakup; (a) rating scale dimana dalam
teknik ini penilai melakukan penilaian subjektif terhadap prestasi kerja
karyawan dengan skala tertentu dari yang terendah sampai dengan
tertinggi; (b) checklist dimana dalam teknik ini penilai memilih
pertanyaan-pertanyaan yang tersedia, yang menggambarkan prestasi kerja
karyawan dan karakteristik-karakteristik karyawan yang dinilai. Penilaian
dengan teknik checklist ini dapat dikuantifikasikan, apabila pertanyaanpertanyaan itu sebelumnya diberi nilai yang mencerminkan bobotnya dan
(c) metode peristiwa kritis didasarkan kepada catatan-catatan dari
pimpinan atau penilai karyawan yang bersangkutan. Catatan itu meliputi
hal-hal positif dan hal-hal negatif sebagai dasar penilai membuat penilaian
terhadap karyawan yang bersangkutan.
2. Metode penilaian berorientasi pada waktu yang akan datang yaitu
memusatkan prestasi kerja karyawan saat ini serta penetapan sasaran
prestasi kerja di masa yang akan datang, dengan teknik penilaian diri (self
appraisal), pendekatan Manajement By Objective (MBO) dan teknik pusat
penilaian. Penilaian diri (self appraisal) dimana metode ini menekankan
bahwa penilaian prestasi kerja karyawan dinilai oleh karyawan itu sendiri
dengan tujuan untuk mengembangkan diri karyawan dalam rangka
pengembangan organisasi. Teknik ini adalah pendekatan yang paling
sering digunakan untuk mengukur dan memahami perbedaan individu
yang biasanya digunakan pada pada bidang manajemen sumber daya
Universitas Sumatera Utara
56
manusia seperti: penilaian kebutuhan pelatihan, analisa peringkat jabatan,
perilaku kepemimpinan, penilaian/kinerja yang lainnya. Penilaian sendiri
ditentukan
oleh
sejumlah
faktor
kepribadian,
pengalaman,
dan
pengetahuan, serta sosio-demografis seperti suku dan pendidikan (Ilyas,
2002). Pendekatan Manajement By Objective (MBO) merupakan metode
penilaian ini ditentukan bersama-sama antara penilai atau pimpinan
dengan karyawan yang akan dinilai. Penilaian psikologis dilakukan dengan
melakukan wawancara mendalam, diskusi, atau tes-tes psikologi terhadap
karyawan yang akan dinilai mencakup beberapa aspek diantaranya
intelektual, emosi, motivasi dan sebagainya dari karyawan yang
bersangkutan. Penilaian terakhir adalah teknik pusat penilaian yang
biasanya ditemukan pada suatu organisasi yang sudah maju dimana
memiliki sistem penilaian baku yang digunakan untuk menilai para
karyawannya.
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penilaian kinerja yang
berorientasi pada masa yang akan datang dengan teknik penilaian diri (self
appraisal) dimana metode ini merupakan pendekatan yang paling sering
digunakan untuk mengukur dan memahami perbedaan individu yang biasanya
digunakan pada pada bidang manajemen sumber daya manusia seperti : penilaian
kebutuhan pelatihan,
analisa peringkat jabatan, perilaku kepemimpinan,
penilaian/kinerja yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
57
2.4.5. Manajemen Konflik Terhadap Kinerja
Konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang baik untuk
diterapkan para manajer adalah mencoba memanfaatkan konflik sedemikian rupa
sehingga konflik dapat memberikan hal yang efektif untuk mencapai tujuan
organisasi. Konflik dapat menjadi suatu energi yang kuat jika dikelola dengan
baik, tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan dengan baik akan
mengakibatkan kinerja organisasi rendah.
Robbins (2003) mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun
destruktif dalam berjalannya suatu organisasi. Tingkat konflik dapat terlalu tinggi
atau terlalu rendah. Tingkat konflik yang tidak memadai (berlebihan) dapat
menghalangi keefektifan suatu kelompok atau organisasi, dapat mengurangi
kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan turn over karyawan, dan
pada akhirnya menurunkan produktivitas. Tetapi bila konflik itu berada pada
tingkat yang optimal, rasa puas dan apatis diri sendiri seharusnya diminimalkan,
meningkatkan motivasi melalui penciptaan lingkungan dan pertanyaan yang
menantang sehingga membuat pekerjaan terasa lebih menarik, dan sebaiknya
sejumlah karyawan yang dianggap tidak cocok dan berprestasi buruk dikeluarkan
dari organisasi tersebut. Hubungan konflik dengan kinerja suatu organisasi dapat
dilihat pada Skema 2.6.
Universitas Sumatera Utara
58
Skema 2.6 Korelasi Level Konflik dan Kinerja Menurut Stepen P. Robbins
Pada Skema 2.6 dapat dijelaskan bahwa apabila tingkat konflik optimal
yaitu tingkat konflik yang sangat fungsional berdampak pada kinerja organisasi
maksimal (B), bila konflik terlalu rendah, kinerja organisasi mengalami stagnansi
(A), dan bila konflik terlalu tinggi, maka akan timbul kekacauan dan menghalangi
pencapaian tujuan (C). Konflik yang diciptakan dimanajemen agar tidak terjadi
konflik destruktif. Konflik diarahkan menjadi konflik konstruktif yang
menciptakan sesuatu yang baru. Sebaliknya, jika terus terjadi, konflik berubah
menjadi disfungsional dan destruktif. Sumber-sumber organisasi seperti tenaga,
energi, waktu, kekuasaan akan habis oleh konflik. Hal tersebut mengakibatkan
kinerja kerja akan semakin menurun, tidak produktif dan tidak efektif lagi.
Robbins (2009) menjelaskan hubungan konflik dengan keefektifan organisasi
dapat dilihat pada tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
59
Tabel 2.1 Hubungan Konflik dengan Keefektifan Organisasi
Situasi
Tingkat Konflik
Dampak Konflik
A
Rendah
Disfungsional
B
Optimal
Fungsional
C
Tinggi
Disfungsional
Karakteristik
Organisasi
- Apatis
- Stagnansi
- Kurang ide
- Sedikit perubahan
- Inovatif
- Kritis
- Tanggap
- Kreatif
- Cepat Adaptasi
- Menghambat kerja
- Tidak kooperatif
- Ego tinggi
- Otoritarian
- Agresivitas individu
Efektivitas
Rendah
Tinggi
Rendah
2.5. Landasan Teori Keperawatan
Teori keperawatan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah Theory of
goal attainment (1971) dalam Tomey dan Aligood (2006) yang diperkenalkan
oleh Imogene M. King. King mengidentifikasi kerja konseptual (conceptual
framework) sebagai suatu sistem terbuka dalam pencapaian tujuan. King juga
memiliki asumsi bahwa manusia seutuhnya (human being) sebagai sistem terbuka
yang secara konsisten berinteraksi dengan lingkungannya dan tujuan keperawatan
adalah membantu individu dan kelompok dalam memelihara kesehatannya.
Conceptual framework terdiri dari 3 (tiga) sistem interaksi yang dikenal dengan
dynamic interacting system meliputi personal system (individuals), interpersonal
system (groups), dan social system. Dasar asumsi King tentang manusia seutuhnya
(human being) meliputi sosial, perasaan, rasional, reaksi, kontrol, tujuan, orientasi
kegiatan, dan orientasi pada waktu. Berdasarkan kerangka kerja dan konseptual
dan asumsi tentang human being, King menderivatnya menjadi teori pencapaian
tujuan (theory of goal attainment).
Universitas Sumatera Utara
60
Menurut King, intensitas dari personal system sangat menentukan dalam
menetapkan dan mencapai tujuan keperawatan. Dalam sistem ini, terjadi berbagai
interaksi dan aktivitas sebagai beberapa konsep utama yang saling berhubungan
dalam situasi dan kondisi praktek keperawatan. Konsep utama tersebut terdiri dari
interaksi, persepsi, komunikasi, transaksi, peran, stress, tumbung kembang, waktu
dan ruang (Tomey & Alligood, 2006).
2.6. Landasan Teori Penelitian
Landasan teori merupakan rangkuman dari teori-teori/tinjauan pustaka dari
manajemen konflik, kepuasan kerja dan kinerja perawat. Marquis dan Huston
(2010), mengartikan konflik sebagai perselisihan internal atau eksternal yang
diakibatkan oleh perbedaan nilai-nilai atau perasaaan antara dua orang atau lebih.
Wirawan (2013) mengatakan bahwa konflik diartikan sebagai proses pertentangan
yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai
objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang
mengeluarkan keluaran konflik. Dalam teory of goal attainment (1971), Imoge
M. King menjelaskan 3 (tiga) sistem interaksi meliputi personal system
(individuals), interpersonal system (groups), dan social system. Keseluruhan
interaksi tersebut membentuk hubungan interpersonal yang mengandung unsur
interaksi, persepsi, komunikasi, transaksi, peran, stress, tumbung kembang, waktu
dan ruang sebagai suatu karakteristik seorang individu. Konflik terjadi sebagai
dampak dari hubungan interpersonal yang tidak sejalan antar individu (Tomey &
Alligood, 2006).
Universitas Sumatera Utara
61
Swanburg (2000) mengemukakan penyebab konflik dalam suatu
organisasi rumah sakit khususnya bagi perawat, diantaranya perilaku menentang,
stres, ruang, kewenangan dokter, keyakinan, nilai, dan sasaran, dan penyebab
lainnya. Proses manajemen konflik bersifat dinamis, sehingga seorang manajer
perawat harus mampu mengkaji 5 (lima) tahap konflik (Marquis & Huston, 2010),
diantaranya: (1) konflik laten, (2) konflik yang dipersepsikan (substantif), (3)
konflik yang dirasakan, (4) konflik yang dimanifestasikan (konflik jelas), (5)
akibat konflik. Suatu organisasi harus mampu belajar dari konflik yang terjadi
dalam organisasi karena konflik merupakan sesuatu yang terus terjadi dan tidak
dapat dihindari.
Wirawan (2013) mendefenisikan manajemen konflik adalah suatu proses
pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan
menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang
diinginkan.
Beberapa
teori
mengenai
gaya
manajemen
konflik
telah
dikembangkan oleh para ahli salah satnya adalah Teori Rahim (1983) yang
mengembangkan gaya manajemen konflik tidak jauh berbeda dengan model yang
dikemukakan oleh Thomas dan Kilmann (1974). Gaya manajemen konflik Rahim
disusun berdasarkan dua dimensi yaitu memperhatikan oranglain (concern for
other) pada sumbu horizontal dan memperhatikan diri sendiri (concern for self).
Konflik yang terjadi dapat memberi dampak positif dan negatif (Brinket, 2010).
Dampak positif dari konflik menghasilkan unifikasi, integrasi, kreativitas,
perubahan, pemecahan masalah dan pertumbuhan serta kemampuan dalam
mengelola konflik. Dampak negatif konflik menghasilkan ketakutan, permusuhan,
Universitas Sumatera Utara
62
ancaman dan kurangnya rasa percaya, rasa jenuh, juga biaya langsung dan tidak
langsung yang tinggi. Oleh karena itu, seorang manajer perawat diharapkan
mampu mengelola dan memanajemen konflik sehingga dapat memberi dampak
positif ataupun konstruktif yang dapat meningkatkan kepuasan dan kinerja
perawat pelaksana demi tercapainya tujuan organisasi.
Kepuasan kerja adalah suatu keadaan dimana orang merasakan pekerjaan
mereka secara umum dan aspek-aspek yang berbeda dan bervariasi dari pekerjaan
mereka (Spector, 1997). Kepuasan kerja juga menunjukkan kesesuaian antara
harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan, sehingga
kepuasan juga berkaitan dengan teori keadilan, perjanjian psikologis dan motivasi
(Robbins, 2006). Wang et al., (2014) juga mengemukakan bahwa kepuasan kerja
mencerminkan sejauh mana keinginan, kebutuhan, atau harapan seseorang
terpenuhi di tempat kerja. Indikator kepuasan kerja hanya dapat diukur dengan
kedisiplinan, moral kerja, dan pergantian staf (turnover) kecil maka secara relatif
kepuasan kerja karyawan baik (Hasibuan, 2001).
Robbins (2006) menjabarkan teori 2 (dua) faktor yang dikemukakan
Herxberg (1966) tentang faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan
yaitu maintenance factors dan motivation factors. Maintenance factors adalah
faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin
memperoleh ketentraman badaniah, meliputi gaji atau upah (wages of salaries),
kondisi kerja (working conditions), kebijakan dan administrasi perusahaan
(company policy and administration), hubungan antar pribadi (interpersonal
relation), kualitas supervisi (quality supervisor). Faktor kedua adalah motivation
Universitas Sumatera Utara
63
factors adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang
yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan meliputi prestasi
(achievment), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (the work it self),
tanggungjawab (responsibility), pengembangan potensi individu (advancement),
dan kemungkinan berkembang (the possibility of growth).
Spector (1997) mengindikatorkan kepuasan kerja dari sembilan aspek yang
diukur dalam pendekatan ini yang meliputi gaji (global satisfaction), promosi,
supervisi, keuntungan tambahan (benefit), contingent rewards, operating
conditions, rekan kerja (coworkers), nature of work, dan komunikasi. Pengukuran
kepuasan kerja perawat juga dapat dilakukan dengan memperhatikan rancang
bangun dari suatu pekerjaan meliputi otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan,
variasi tugas, identitas tugas, pentingnya pekerjaan seseorang, dan umpan balik
(Siagian, 2009).
Kinerja merupakan penampilan kerja individu atau kelompok kerja baik
secara kuantitas maupun secara kualitas dalam suatu organisasi (Ilyas, 2002).
Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok. Kinerja
organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja
sejumlah individu dalam organisasi. Wirawan (2013) mengemukakan bahwa
kinerja pegawai merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor yaitu faktor internal
pegawai, faktor-faktor lingkungan internal pegawai, dan faktor lingkungan
eksternal pegawai. Penilaian kinerja adalah suatu proses yang diawali dengan
penetapan standar kinerja yang membutuhkan umpan balik pegawai (Nasution
2010). Swanburg (2000) juga mengemukakan bahwa penilaian kinerja merupakan
Universitas Sumatera Utara
64
suatu proses untuk mengontrol sumber daya dan produktivitasnya. Melalui
penilaian kinerja, dapat diketahui seberapa baik pegawai menjalankan tugas yang
diberikan kepadanya (Marquis & Huston, 2010). Marquis dan Huston (2010)
mengemukakan bahwa penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses
pengawasan dimana kinerja staf dinilai dan dibandingkan dengan standar yang
ada pada suatu organisasi. Ilyas (2002) juga mengemukakan bahwa faktor yang
mempengaruhi kinerja personil secara teoritis ada tiga kelompok variabel yaitu
variabel individu, variabel organisasi, dan variabel psikologis. Ketiga kelompok
variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh
pada kinerja personil. Depkes (2007) mengemukakan penilaian kinerja perawat
dapat dinilai secara obyektif dengan menggunakan metode dan instrumen
penilaian yang baku. PPNI (2002), mengemukakan bahwa penilaian kinerja
perawat berdasarkan standar praktek profesional yang meliputi standar I
(pengkajian keperawatan), standar II (diagnosis keperawatan), standar III
(perencanaan), standar IV (pelaksanaan), dan standar V (evaluasi). Komponen
dalam penilaian kinerja karyawan juga dapat meliputi pengetahuan tentang
pekerjaan, kualitas kerja, produktivitas, adaptasi dan fleksibilitas, inisiatif dan
pemecahan masalah, kooperatif dan kerjasama, kendalan/pertanggungjawaban,
kemampuan komunikasi dan interaksi, kepemimpinan dan pengembangan diri
bawahan merupakan komponen tambahan (Mangkunegara, 2009). Secara
sistematis, keterkaitan antara variabel-variabel tersebut dapat dilihat pada
kerangka teori penelitian seperti Skema 2.7.
Universitas Sumatera Utara
65
Teori Keperawatan
Dynamic Interacting
System:
1.Personal system
2. Interpersonal
systern
3. Social system
Imoge M. King (1978)
Sumber konflik :
Perilaku menentang;
stres;ruang;kewenangan
nilai;keyakinan,nilai,dan
sasaran;penyebab lain
Swanburg (2000)
Proses Konflik :
- Konflik laten
- Konflik yang dipersepsikan
- Konflik yang dirasakan
- Konflik yang
dimanisfestasikan
- Akibat konflik
Marquis & Huston (2010)
Gaya manajemen konflik :
- Dominating
- Integrating
- Compromising
- Avoiding
- Obliging
Teori Rahim (1983) &
Thomas dan Kilmann (1974)
Variabel individu :
Kemampuan dan keterampilan
(mental dan fisik);latar belakang
(keluarga,
tingkat
sosial,
pengalaman)
dan
demografis
(umur, etnis, jenis kelamin).
Variabel psikologis:
Persepsi;sikap;
kepribadian;belajar;
motivasi.
Manajemen
Konflik
Kepuasan Kerja:
- Gaji
- Promosi
- Supervisi
- Keuntungan
tambahan
- Contingent rewards
- Operating conditions
- Rekan kerja
- Nature of work
- Komunikasi
Spector (1997)
- Otonomi
- Variasi tugas
- Identitas tugas
- Pentingnya pekerjaan
- Umpan balik
Siagian (2009)
Kinerja Perawat :
- Kesetiaan
- Prestasi kerja
- Taggungjawab
- Ketaatan
- Kejujuran
- Kerjasama
- Prakarsa
- Kepemimpinan
Gibson (2002)
- Pengetahuan
tentang pekerjaan
- Kualitas kerja
- Produktivitas
- Adaptasi dan
fleksibilitas
- Inisiatif &
pemecahan masalah
- Kooperatif &
kerjasama
- Keandalan
- Komunikasi &
interaksi
Mangkunegara
(2009)
Dampak konflik
(positif):
Unifikasi;integrasi
;kreativitas;peruba
han;pemecahan
masalah dan
pertumbuhan;
kemampuan dalam
mengelola konflik
Brinket (2010)
Maintenence
factor:
- Gaji atau upah
- Kondisi kerja
- Kebijakan dan
administrasi
- Hubungan antar
pribadi
- Kualitas
supervisi
Robbins (2006)
Motivation
factors:
- Prestasi
- Pengakuan
- Pekerjaan itu
sendiri
- Tanggungjawab
- Pengembangan
potensi individu
- Kemungkinan
berkembang
Robbins (2006)
Variabel
organisasi:
Sumber daya;
kepemimpinan;
imbalan;struktur;
desain pekerjaan;
supervisi;kontrol.
Skema 2.7 Kerangka Teori Penelitian
Universitas Sumatera Utara
66
2.7. Kerangka Konseptual
Kerangka konsep penelitian disusun berdasarkan dari landasan teori yang
digunakan dalam penelitian. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
pelatihan manajemen konflik yang menggabungkan Teori Rahim (1983) dan
Thomas dan Kilmann (1974). Variabel independen adalah kepuasan kerja dengan
menggunakan konsep Siagian (2009) dan kinerja perawat berdasarkan konsep
Mangkunegara (2009) yang mengacu pada penilaian kinerja menurut Depkes
(2004). Tujuan utama penelitian ini adalah mengidentifikasi efektivitas
kemampuan manajemen konflik oleh manajer perawat terhadap kepuasan dan
kinerja perawat pelaksana sebelum dan sesudah pelatihan. Kerangka konsep
penelitian dapat dilihat pada Skema 2.8.
Pre Test
Kepuasan Kerja Perawat :
- Otonomi
- Variasi tugas
- Identitas tugas
- Pentingnya pekerjaan
- Umpan balik
Kinerja Perawat :
- Pengetahuan tentang
pekerjaan
- Kualitas kerja
- Produktivitas
- Adaptasi dan fleksibilitas
- Inisiatif & pemecahan
masalah
- Kooperatif & kerjasama
- Keandalan
- Komunikasi & interaksi
Pelatihan
Manajemen
Konflik :
- Sumber konflik
- Proses konflik
- Strategi/gaya
manajemen
konflik
- Dampak
konflik
Variabel
Counfounding
- Usia
- Lama kerja
- Tingkat
pendidikan
- Status kerja
Post Test
Kepuasan Kerja Perawat :
- Otonomi
- Variasi tugas
- Identitas tugas
- Pentingnya pekerjaan
- Umpan balik
Kinerja Perawat :
- Pengetahuan tentang
pekerjaan
- Kualitas kerja
- Produktivitas
- Adaptasi dan fleksibilitas
- Inisiatif & pemecahan
masalah
- Kooperatif & kerjasama
- Keandalan
- Komunikasi & interaksi
Skema 2.8 Kerangka Konseptual Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download