analisis pengaruh struktur kepemilikan dan independensi dewan

advertisement
ANALISIS PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN DAN
INDEPENDENSI DEWAN KOMISARIS TERHADAP TINGKAT
PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Seraphine Nathania, Purwatiningsih
Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia
e-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh struktur kepemilikan perusahaan dan independensi Dewan
Komisaris terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Teori-teori utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori kepemilikan (Ownership Theory) dan teori pemangku kepentingan (Stakeholder
Theory). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah delapan belas (18) perusahaan yang bergerak di
sektor pertambangan dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama rentang waktu 2010 hingga 2012. Hasil
uji statistik menggunakan metode Pooled Least Square menunjukkan bahwa struktur kepemilikan memberikan
pengaruh yang berbeda-beda terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Kepemilikan
manajerial dan kepemilikan publik serta independensi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Sementara itu, kepemilikan asing berpengaruh positif terhadap
tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan meskipun tidak signifikan.
Analysis of Ownership Structure and Board Independence
on the Level of CSR Disclosure
Abstract
The objective of this study is to observe the effect of corporate ownership structure and board independence on
the level of corporate social responsibility (CSR) disclosure. The main theories used in this study are corporate
ownership theory and stakeholder theory. Samples taken for this study are eighteen mining companies which are
listed on Bursa Efek Indonesia (BEI) period 2010 to 2012. The result of statistic test using Pooled Least Square
shows us that ownership structure affect the level of CSR disclosure in a different way. Managerial ownership,
public ownership, and board independence are negatively influence the level of corporate social responsibility
meanwhile the foreign ownership positively but insignificantly influence the corporate social responsibility.
Keywords: Board Independence; Corporate Ownership Structure; Corporate Social Responsibility (CSR).
Pedahuluan
Menurut Clarksons (1995) dalam Currie et al. (2009), sebuah perusahaan memerlukan
dukungan dari banyak pihak (stakeholders) untuk mencapai kesuksesan, baik yang terlibat
secara langsung (primary stakeholders) maupun tidak langsung (secondary stakeholders).
Perusahaan adalah sebuah fenomena sosial, sehingga keberadaannya harus memberikan
manfaat untuk banyak pihak dan tidak terbatas hanya pemegang saham (Jurgens et al, 2010).
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
Tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) merupakan salah satu wujud giving
back perusahaan kepada masyarakat sekitar (Park et al., 2014). Pelaksanaan tanggung jawab
sosial pun juga diatur oleh pemerintah melalui UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (PT) dan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lebih lanjut lagi,
Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 mewajibkan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) untuk mengungkapan aktivitas tanggung jawab sosialnya dalam laporan
tahunan.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial tidak akan berhasil apabila tidak didukung oleh pemilik
dan manajemen meskipun wajib untuk dilakukan dan telah diatur oleh pemerintah. Perbedaan
kepentingan antara pemilik (principals) dan manajemen (agents) bisa menghambat
pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Pada perusahaan yang kepemilikan
mayoritasnya ada di tangan manajemen, tanggung jawab sosial biasanya tidak menjadi
prioritas karena biaya yang relatif besar dan hasilnya tidak terlihat dalam jangka pendek
(Khan et al., 2013). Sementara itu, perusahaan yang kepemilikan mayoritasnya ada di tangan
publik dan pihak asing biasanya lebih peduli terhadap tanggung jawab sosial (Haniffa dan
Cooke, 2005). Kepemilikan publik memberikan tekanan kepada perusahaan untuk
melaksanakan dan mengungkapkan tanggung jawab sosial demi tercapainya akuntabilitas
(Chau dans Gray, 2002; Cullen dan Christopher, 2002; Ullmann, 1985 dalam Khan et al.,
2013). Pemilik asing, terutama yang berasal dari Eropa dan Amerika, bisanya cenderung lebih
peduli dan mendukung pelaksanaan tanggung jawab sosial (Campbell, 2007). Selain faktor
struktur kepemilikan, komisaris independen juga dinilai mampu mempengaruhi pelaksanaan
dan pengungkapan tanggung jawab sosial. Keberadaan komisaris independen dalam
perusahaan diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan (check and balance)
dalam pengambilan keputusan penting, termasuk keputusan terkait tanggung jawab sosial
(Khan et al., 2013).
Penelitian ini mencoba untuk mengembangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Khan et al., (2013) pada sampel perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Saham
Bangladesh mengenai pengaruh struktur kepemilikan dan independensi dewan komisaris
terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan pertambangan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2010 sampai 2012. Penulis
memilih sampel dari perusahaan pertambangan karena perusahaan pertambangan dianggap
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
memberikan banyak eksternalitas negatif terhadap alam dibandingkan industri lain (Kapelus,
2002; Yakovleva, 2005 dalam Mutti et al., 2012) sehingga pelaksanaan tanggung jawab sosial
sangat perlu untuk dilakukan sebagai wujud kepedulian perusahaan untuk menjaga kelestarian
lingkungan. Selain itu, peraturan di Indonesia (UU no. 40 tahun 2007 pasal 74) hanya
mewajibkan perusahaan yang usahanya berhubungan dengan sumber daya alam untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dibuat untuk mengetahui pengaruh kepemilikan
manajerial, kepemilikan publik, kepemilikan asing, dan independensi dewan komisaris
terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan di sektor
pertambangan yang yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2010 sampai
2012.
Tinjauan Teori
Tanggung Jawab Sosial
Di Indonesia, ada dua perundang-undangan yang mengatur masalah tanggung jawab sosial
dan lingkungan, yaitu UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan UU No. 25
tahun 2007 tentang Penanaman Modal. UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(PT) memuat definisi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan pada pasal 1 dan selanjutnya
memberikan penjabaran yang lebih rinci pada pasal 74. Tanggung jawab sosial dan
lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik
bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab sosial dan
lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab
sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
Menurut UU No. 25 tahun 2007 pasal 15 (a dan b) tentang Penanaman Modal disebutkan
bahwa setiap penanam modal berkewajiban untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan
yang baik dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Selain kedua definisi
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
tersebut, Lingkar Studi CSR Indonesia menjelaskan Tanggung Jawab Sosial sebagai upaya
sungguh-sungguh dari
entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negatif dan
memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam
ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholders Theory)
Ada dua pandangan yang berbeda atas motif sebuah bisnis, yaitu untuk memaksimalkan
kemakmuran pemegang saham (shareholdervalue maximization) dan untuk memberikan
kemakmuran bagi pemegang saham namun tetap memperhatikan kesejahteraan para
pemangku kepentingan lainnya (stakeholder model). Jurgens et al. (2010) menjelaskan kedua
pandangan tersebut. Pandangan pertama (shareholdervalue maximization) didasari oleh
asumsi bahwa perusahaan dibentuk oleh individual yang egosentris sehingga perilakunya
didasari oleh motif pribadi (Watkins, 1994). Oleh sebab itu, perusahaan beroperasi sebagai
agen independen yang tanggung jawab utamanya adalah meningkatkan kemakmuran
pemegang saham melalui kegiatan operasional yang efektif dan hati-hati. Pandangan kedua,
stockholder model, didasari oleh pemikiran Freeman (1984) dalam Currie et al. (2009).
Freeman berpendapat bahwa selain mengejar keuntungan dan memaksimalkan kemakmuran
pemegang saham, perusahaan juga harus memperhatikan kesejateraan para pemangku
kepentingan lainnya (stakeholders) seperti karyawan dan komunitas sekitar. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa perusahaan adalah sebuah fenomena sosial sehingga
sudah sewajarnya bila keberadaannya memberikan manfaat kepada lebih banyak pihak, tidak
terbatas pada kemakmuran pemegang saham (Jurgens et al, 2010).
Freeman (1984) dan Clarkson (1995) dalam Currie et al. (2009) mengidentifikasi pemangku
kepentingan berdasarkan besaran pengaruh yang diberikan oleh atau didapatkan dari
perusahaan. Menurut Freeman (1984), pemangku kepentingan dapat diartikan sebagai
individu atau kelompok yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan perusahaan.
Pemangku kepentingan primer (primary stakeholders) adalah mereka yang memiliki
kepentingan langsung terhadap perusahaan, contohnya pelanggan, pemegang saham,
karyawan, pemasok, dan regulator. Sementara itu, pemangku kepentingan sekunder, seperti
institusi pendidikan, organisasi non-pemerintahan, dan (secondary stakeholders) dipahami
sebagai pihak-pihak yang tidak bertransaksi dengan perusahaan namun bisa mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh perusahaan. Clarkson (1995) dalam Currie et al. (2009) berpendapat
bahwa para pemangku kepentingan primer (primary stakeholders) biasanya memiliki
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
kepentingan, klaim, atau hak serupa karena mereka berbagi tujuan dan tekanan yang
berhubungan dengan hubungan pasar (market relationship), dan mereka memiliki konsep
yang jelas tentang apa yang diharapkan dari hubungan tersebut. Sebaliknya, para pemangku
kepentingan sekunder (secondary stakeholders) biasanya memiliki tujuan yang berbeda dan
perilaku mereka dipengaruhi oleh tekanan yang datang dari luar pasar (non-market).
Sementara itu, Savage et al. (1991) dalam Currie et al. (2009) membagi pemangku
kepentingan ke dalam empat jenis berdasarkan dua dimensi, yaitu potensi untuk bekerja sama
dengan perusahaan dan potensi ancaman bagi perusahaan. Masalah yang sering timbul dalam
identifikasi pemangku kepentingan ini adalah banyaknya pihak yang terlibat dan beragamnya
kepentingan mereka.
Pengembangan Hipotesis
Di negara berkembang, banyak perusahaan yang mayoritas kepemilikannya ada di tangan
suatu pihak, seperti keluarga atau institusional. Kepemilikan terkonsentrasi seperti ini
membuat mereka mendominasi posisi direksi dan dewan komisaris sehingga mereka sangat
mempengaruhi pengambilan keputusan strategis (Farooque et al, 2007). Proses pengambilan
keputusanannya pun terkadang dilakukan secara internal dan kemudian baru disahkan dalam
rapat formal sehingga rapat tersebut hanya bersifat simbolis (Ahmed dan Siddiqui, 2011).
Selain itu, karena kepentingan publik pada perusahaan seperti ini relatif rendah maka
perusahaan biasanya kurang aktif dalam aktivitas sosial. Oleh sebab itu, tidak banyak
informasi mengenai tanggung jawab sosial yang bisa didapatkan dari perusahaan tertutup atau
dengan kepemilikan terkonsentrasi. Penelitian yang pernah diadakan sebelumnya dan dikutip
dalam Khan et al. (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepemilikan
manajerial dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Oh et al., 2011; Ghazali,
2007). Dengan demikian, penulis membuat hipotesis:
H1
Terdapat hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan tingkat
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Berbeda dengan kepemilikan terkonsentrasi, kepemilikan publik dianggap lebih mampu
membuat perusahaan untuk melakukan pengungkapan secara sukarela (Chau dam Gray, 2002;
Cullen dan Christopher, 2002; Ullmann, 1985). Kepemilikan publik memberikan lebih
banyak tekanan kepada perusahaan untuk memberikan informasi tambahan demi mencapai
akuntabilitas yang diharapkan oleh berbagai pihak. Hal ini juga dianggap menjadi penyebab
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
perusahaan publik lebih aktif dalam kegiatan sosial. Oleh sebab itu, penulis membuat
hipotesis:
H2
Terdapat hubungan positif antara kepemilikan publik dengan tingkat
pengungkapan tanggung jawab sosial.
Dalam Khan et al. (2013) dikemukakan bahwa kepemilikan asing mampu mempengaruhi
pengungkapan atas tanggung jawab sosial perusahaan. Manajemen melakukan pengungkapan,
termasuk pengungkapan atas tangung jawab sosial, sebagai bentuk pertanggungjawaban
kepada pemilik yang berkedudukan di luar negeri (Schipper, 1981; Bradbury, 1991). Selain
itu, pemilik asing biasanya memiliki nilai-nilai yang berbeda karena adanya foreign market
exposure. Berdasarkan penelitian Haniffa dan Cooke (2005) terdapat hubungan positif antara
kepemilikan asing dengan pengungkapan atas tanggung jawab sosial pada perusahaanperusahaan di Malaysia sebagai bentuk strategi legitimasi demi mempertahankan arus modal
masuk dan (capital inflows). Dengan demikian, penulis membuat hipotesis sebagai berikut:
H3
Terdapat
hubungan
positif
antara
kepemilikan
asing
dengan
tingkat
pengungkapan tanggung jawab sosial.
Kehadiran komisaris independen dalam dewan komisaris dianggap sebagai salah satu
mekanisme tata kelola perusahaan yang utama. Dalam Khan et al. (2013) dijelaskan bahwa
komisaris independen diharapkan bisa meningkatkan kinerja dewan komisaris dengan
mengawasi aktivitas manajemen dan memastikan bahwa kepentingan investor terlindungi
(Petra, 2005 dalam Khan et al., 2013). Beberapa penelitian sebelumnya menghasilkan
kesimpulan bahwa pengungkapan atas tanggung jawab sosial sangat berkaitan dengan
independensi dewan komisaris, yang diukur berdasarkan banyaknya komisaris independen
dalam jajaran dewan komisaris. Oleh karena itu, penulis membuat hipotesis berikut:
H4
Terdapat hubungan positif antara proporsi komisaris independen dengan tingkat
pengungkapan tanggung jawab sosial.
Metode Penelitian
Model yang digunakan sama seperti jurnal acuan (Dalam Khan et al, 2013). Model ini terdiri
atas variabel dependen, variabel independen, dan variabel kontrol. Berikut ini adalah model
yang digunakan dalam pengujian hipotesis:
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
Tabel 1 Metode Penelitian
Pengaruh Kepemilikan terhadap Tingkat Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR)
Variabel Dependen
Corporate
Nilai CSRDI menjelaskan sejauh mana tanggung jawab sosial diungkapkan dalam laporan
Social
keuangan. Penulis memberikan nilai 1 untuk perusahaan jika kriteria penilaian dalam
Responsibility
tabel diungkapkan dalam laporan keuangan dan nilai 0 jika sebaliknya. yang mungkin
Disclosure
didapatkan oleh masing-masing perusahaan (Ghazali, 2007). Kriteria pengungkapan
Index (CSRDI)
tanggung jawab sosial ini dapat dilihat pada lampiran.
Variabel Independen
Kepemilikan
Kepemilikan manajerial merupakan persentase kepemilikan saham perusahaan oleh
manajerial
direktur dan dewan komisaris. Saat kepemilikan manajerial besar, direktur dan komisaris
cenderung mengabaikan akuntabilitas publik sehingga menyebabkan penurunan pada
pengungkapan tanggung jawab sosial (Ghazali, 2007). Jumlah kepemilikan manajerial
diketahui dari pengungkapan atas pemegang saham dalam laporan tahunan perusahaan.
Kepemilikan
Kepemilikan publik merupakan persentase kepemilikan saham perusahaan oleh publik
publik
atau masyarakat umum. Jumlah kepemilikan publik diketahui dari pengungkapan atas
pemegang saham dalam laporan tahunan perusahaan. Kepemilikan publik terbukti
mempengaruhi tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan secara positif
karena perusahaan dengan kepemilikan publik yang dominan mendapatkan lebih banyak
tekanan untuk memberikan informasi tambahan demi mencapai akuntabilitas yang
diharapkan oleh berbagai pihak. (Khan et al., 2013).
Kepemilikan
Kepemilikan asing merupakan persentase kepemilikan saham perusahaan oleh pihak
asing
asing, baik individu maupun institusi. Jumlah kepemilikan asing diketahui dari
pengungkapan atas pemegang saham dalam laporan tahunan perusahaan. Menurut Khan
et al. (2013) yang dikutip dari Schipper (1981) dan Bradbury (1991), perusahaan dengan
kepemilikan asing yang besar diharapkan melakukan lebih banyak pengungkapan agar
memudahkan pemilik dalam pengambilan keputusan karena biasanya pemilik dan
manajemen terpisah secara geografis.
Independensi
Independensi komisaris merupakan proporsi komisaris independen dalam dewan
komisaris
komisaris. Bila seorang direktur atau komisaris semakin independen maka yang
bersangkutan akan semakin mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan
tanggung jawab sosial (Chen dan Jaggi, 2000).
Variabel Kontrol
Ukuran
Ukuran perusahaan dinilai berdasarkan nilai total aset yang diformulasikan ke dalam
perusahaan
bentuk logaritma natural. Berdasarkan penelitian Haniffa dan Cooke (2005) yang dikutip
dalam Khan et al. (2013), perusahaan yang berukuran lebih besar diharapkan
mengungkapkan lebih banyak informasi. Alasannya adalah karena perusahaan yang lebih
besar mendapatkan lebih banyak perhatian dari berbagai lapisan masyarakat sehingga
tekanan untuk melakukan pengungkapan menjadi lebih besar demi melegitimasi bisnis
yang mereka lakukan.
Umur
Umur perusahaan adalah jumlah tahun lama berdirinya perusahaan yang diformulasikan
perusahaan
ke dalam bentuk logaritma natural. Dalam Khan et al. (2013) disebutkan bahwa
perusahaan yang berumur lebih tua melakukan lebih banyak pengungkapan tanggung
jawab sosial (Roberts, 1992). hal ini disebabkan karena mereka lebih peduli terhadap
reputasi sehingga mengungkapkan lebih banyak informasi terkait tanggung jawab sosial.
Rasio antara
Debt Ratio atau rasio hutang dihitung dengan membagi rata-rata total kewajiban (rata-rata
nilai buku total
total kewajiban tahun t dan tahun t-1) dan total aset (rata-rata total aset tahun t dan tahun t-1).
kewajiban dan
Menurut Sari dan Zuhrohtun (2005) dalam Widiana (2012), rasio hutang dapat
total asset
memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya bagi investor serta mengurangi
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
ketidakpastian prospek perusahaan di masa mendatang. Semakin tinggi rasio hutang maka
semakin tinggi pula risiko perusahaan mengalami gagal bayar yang pada akhirnya bisa
menyebabkan kebangkrutan. Rasio hutang memiliki pengaruh negatif terhadap ROA
(Return on Assets). Purushothaman et al. (2000), yang dikutip dalam Khan et al, (2013),
memprediksi bahwa terdapat hubungan negatif antara rasio hutang dengan pengungkapan
tanggung jawab sosial pada perusahaan dengan rasio hutang yang tinggi karena biasanya
mereka memiliki kedekatan dengan kreditur dan memilih cara lain untuk mengungkapkan
tanggung jawab sosialnya.
Rasio antara
Profitabilitas suatu perusahaan dapat diperoleh dari laporan laba rugi. Return on Assets
pendapatan
atau pengembalian atas aset yang didapat dari pembagian dari pendapatan sebelum
sebelum
dikurangi bunga dan pajak tahun t terhadap rata-rata total aset (rata-rata total aset tahun t
dikurangi bunga dan tahun t-1). ROA mencerminkan kemampuan aset untuk menghasilkan pendapatan
dan pajak
(revenue) bagi perusahaan. Semakin tinggi rasio ROA maka semakin efektif dan efisien
dengan total aset pula alokasi dan penggunaan aset perusahaan. Berdasarkan penelitian Haniffa dan Cooke
(2005) yang dikutip dalam Khan et al. (2013), perusahaan yang mempunyai profitabilitas
yang baik mengungkapkan lebih banyak tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Hasil Penelitian
Uji Analisis Asumsi Klasik
Menurut Variance Inflation Factor (VIF), multikolinearitas terjadi apabila nilai VIF lebih
besar dari 10 atau nilai tolerance (1/VIF) adalah 0,01 atau kurang. Berdasarkan pengolahan
data yang dilakukan, tidak ada nilai VIF yang melebihi 10 atau nilai tolerance yang kurang
dari 0,01.
Tabel 2 Variance Inflation Factor (VIF)
Variabel
lev
fage
pub
roa
fsize
forown
bind
mown
VIF Rata-rata
VIF
1.59
1.58
1.43
1.34
1.29
1.22
1.21
1.16
1.35
1/VIF
0.630401
0.631925
0.700809
0.745525
0.77533
0.818954
0.828058
0.858832
Sumber: Data diolah
Uji Heteroskedastisitas
Menurut
uji
Breusch-Pagan/Cook-Weisberg,
sebuah
model
dikatakan
heteroskedastisitas apabila nilai probabilita F lebih kecil dibandingkan
mengalami
. Berdasarkan
pengolahan data yang dilakukan, nilai probabilita F (0,0004) lebih kecil dibandingkan
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
(0,05) sehingga terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model yang digunakan.
Permasalahan tersebut perlu diatasi menggunakan Robust dan General Least Square (GLS).
Autokorelasi
Menurut uji Wooldridge, sebuah model dikatakan mengalami autokorelasi apabila nilai
probabilita F lebih besar dibandingkan . Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, nilai
probabilita F (0.0226) lebih kecil dibandingkan
(0,05) sehingga tidak terdapat masalah
autokorelasi dalam model yang digunakan.
Uji Kelayakan Model
Untuk menentukan metode pengujian yang digunakan, ada tiga uji yang bisa dilakukan, yaitu
uji Chow, uji Lagrangian Multiplier, dan uji Hausman. Uji Chow dilakukan untuk mengetahui
apakah metode pengujian yang cocok digunakan adalah Pooled Least Square atau Fixed
Effect. Pengujian menggunakan uji Chow menghasilkan kesimpulan bahwa metode yang
digunakan adalah Fixed Effect karena nilai
nilai
sama dengan 0.0000 dan lebih kecil dari
. Uji Lagrangian Multiplier dilakukan untuk memilih apakah pengujian lebih
cocok dilakukan menggunakan Pooled Least Square atau Random Effect. Pengujian
Langrangian Multiplier ini menghasilkan Prob > chibar2 sebesar 0.0940. Nilai tersebut lebih
besar dari  = 5%, sehingga metode pengujian yang dipilih adalah Pooled Least Square.
Tabel 3 Uji Kelayakan Model
Keterangan
Uji Chow
p-value
Uji LM
p-value
Kesimpulan
CSRDI
21.45
Fixed Effect
0.0000
1.73
Pooled Least Square
0.0940
Pooled Least Square
Sumber : Data diolah
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
Hasil Uji-f dan Uji-t
Tabel 4 Hasil Regresi Linear
F( 8, 45)
32.22
Prob > F
0.0000
R-squared
0.7922
Root MSE
0.10933
ROA
-0.370246
Robust
Std. Err.
0.107634
LEV
-0.124743
0.0758513
-1.64
0.107
-0.27752
0.0280296
FAGE
-0.085952
0.0205675
-4.18
0.000
-0.12738
-0.0445273
FSIZE
0.1073543
0.0111816
9.6
0.000
0.084833
0.1298751
BIND
-0.015465
0.1251359
-0.12
0.902
-0.2675
0.2365717
FOROWN
0.0976687
0.0591711
1.65
0.106
-0.02151
0.2168454
PUB
-0.135953
0.0867708
-1.57
0.124
-0.31072
0.0388128
MOWN
-0.257814
0.06118
-4.21
0.000
-0.38104
-0.1345907
CSRDI
Coef.
-3.44
0.001
[95% Conf.
Interval]
-0.58703
-0.1534602
t
P>t
Sumber : Data diolah
Nilai probabilita F statistik (0,0000) yang didapatkan dari hasil regresi lebih kecil dari
(0,05) menjelaskan bahwa model di atas bisa digunakan untuk penelitian ini. Dari hasil
regresi didapatkan nilai R-squared sebesar 0,7922 atau 79,22%. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa variasi variabel dependen, yaitu tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial, dapat
dijelaskan sebesar 0,7922 atau 79,22% oleh variabel-variabel independen, sedangkan sisanya
diterangkan oleh variabel-variabel lainnya.
Signifikansi pengaruh suatu variabel independen terhadap variabel dependen dapat dilihat dari
nilai probabilita t statistiknya. Sebuah variabel independen dikatakan mempengaruhi variabel
dependen secara signifikan apabila nilai probabilita t statistiknya lebih kecil dibandingkan
(0,05). Dari hasil regresi yang terangkum dalam tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa
koefisien kepemilikan manajerial, ROA (Return On Assets) serta ukuran dan umur perusahaan
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial.
Meskipun tidak semua variabel independen berpengaruh secara signifikan namun semua
variabel independen yang diuji berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan tanggung
jawab sosial.
Pembahasan
Dari hasil regresi didapatkan nilai koefisien negatif yang signifikan atas kepemilikan
manajerial (coef = -0.257814;
). Hasil yang didapatkan ini sesuai dengan penelitian
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
yang dilakukan oleh Ho dan Wong (2001) serta Chau dan Gray (2010) yang dikutip dalam
pada Khan et al. (2013). Dalam penelitian yang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
terdaftar di bursa saham Bangladesh, Khan (2013) menarik kesimpulan bahwa akuntabilitas
dan kepentingan publik kurang menjadi perhatian dalam perusahaan yang kepemilikan
manajerialnya tinggi. Hal ini disebabkan biaya yang terlalu mahal untuk mengadakan
tanggung jawab sosial sehingga manajemen enggan untuk terlibat dalam aktivitas sosial.
Selain itu, menurut Narayanan (1985) dalam Oh (2011), tanggung jawab sosial merupakan
program yang bersifat jangka panjang sehingga banyak manajemen yang memilih untuk tidak
terlibat dalam aktivitas sosial demi mendapatkan keuntungan dan remunerasi yang besar di
masa sekarang. Dengan menghindari pelaksanaan tanggung jawab sosial dengan alasan yang
telah dikemukakan sebelumnya, sebenarnya perusahaan mengalami kerugian secara tidak
langsung karena menurut Mayer et al. (1995); McKnight et al. (2002) dalam Park et al.
(2014), perusahaan berpotensi kehilangan kepercayaan dari para pemangku kepentingan
(stakeholders). Selain itu, kompensasi ekonomi dari pemerintah, misalnya pengurangan pajak,
juga tidak akan didapatkan apabila perusahaan tidak melaksanakan tanggung jawab sosial
(Sprinkle dan Maines, 2010).
Nilai koefisien kepemilikan publik terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial
adalah negatif dan tidak signifikan (coef = -0.1359527;
). Hasil ini konsisten dengan
hasil penelitian Badjuri (2011) yang dikutip dalam Widiana (2012) yang menghasilkan
kesimpulan bahwa kepemilikan publik tidak berpengaruh positif terhadap tingkat
pengungkapan tanggung jawab sosial. Hal ini bisa diakibatkan oleh prioritas manajemen dan
investor yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek (Widiana, 2012) dibandingkan
dengan going concern perusahaan dalam jangka panjang.
Regresi yang telah dilakukan terhadap variabel kepemilikan asing menghasilkan nilai
koefisien positif yang tidak signifikan (coef = 0.0976687;
). Haniffa dan Cooke (2005)
berpendapat bahwa perusahaan dengan kepemilikan asing yang besar lebih sering
mengungkapkan tanggung jawab sosialnya sebagai strategi untuk menarik minat lebih banyak
investor asing. Meskipun demikian, tidak semua kepemilikan asing berpengaruh secara
signifikan karena menurut Davis dan Kim (2007) dalam Oh (2011), setiap pemegang saham
asing memiliki kepedulian yang berbeda-beda terhadap tanggung jawab sosial perusahaan.
Sebagai contoh, investor dari Amerika Serikat atau Eropa lebih peduli terhadap masalah
tanggung jawab sosial perusahaan dibandingkan dengan investor dari negara lain (Campbell,
2007). Hal tersebut dibuktikan oleh Oh (2011) dalam penelitiannya mengenai pengaruh
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
struktur kepemilikan terhadap tanggung jawab sosial pada perusahaan di Korea Selatan.
Dalam penelitian ini, perusahaan yang digunakan sebagai sampel memiliki mayoritas
pemegang saham asing yang berasal dari Asia. Oleh sebab itu, kepemilikan asing dalam
penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab
sosial. Sebagai contoh, menurut Gao (2009), tanggung jawab sosial perusahaan di China
masih dalam tahap awal sehingga ketika investor dari China berinvestasi di negara lain,
mereka tidak terlalu mempedulikan masalah tanggung jawab sosial.
Penulis mendapatkan nilai koefisien negatif yang tidak signifikan atas pengaruh independensi
komisaris terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial (coef = -0.0154649;
).
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Chen dan Jaggi (2000) menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif antara proporsi komisaris independen dengan pengungkapan
laporan keuangan komprehensif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Khan et al. (2013) juga
menyimpulkan hal yang sama karena komisaris independen dinilai mampu memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap keterlibatan dalam tanggung jawab sosial dan
pengungkapannya demi melegitimasi bisnis yang dijalankan. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan di Singapura oleh Eng et al. (2003) menghasilkan kesimpulan berbeda. Rata-rata
proporsi komisaris independen pada perusahaan di Singapura adalah 57%, lebih besar
dibandingkan di Hong Kong (Chen dan Jaggi, 2000) yang hanya berkisar 28,2%. Komisaris
independen pada perusahaan di Singapura cenderung dipilih oleh blockholders (pemegang
saham yang mempunyai kepemilikan besar) demi mewakili kepentingan mereka sehingga
para komisaris bisa mendapatkan informasi tentang perusahaan tanpa adanya pengungkapan
kepada publik. Selain itu, keberadaan komisaris independen, meskipun dipilih oleh
blockholders, telah dianggap mewakili
monitoring
yang biasanya dilakukan melalui
pengungkapan kepada publik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komisaris
independen pada perusahaan di Singapura berperan sebagai substitute-monitoring, sedangkan
komisaris pada perusahaan di Hong Kong menjalankan complementary role. Di Indonesia,
independensi komisaris independen dinilai rendah karena keberadaannya hanya demi
memenuhi syarat dari Bapepam-LK terkait jumlah minimum 30% komisaris independen
dalam perusahaan. Dengan demikian, keberadaan komisaris independen dalam perusahaan
tidak mempengaruhi pengungkapan. Hal ini sependapat dengan kondisi yang dikemukakan
oleh Khan et al. (2013) terkait independensi Dewan Komisaris di Bangladesh. Khan
menyebutkan bahwa keberadaan komisaris independen di Bangladesh hanya sekedar
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
seremonial belaka sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung
jawab sosial.
Nilai koefisien ukuran perusahaan adalah 0.1073543 dengan nilai
. Hasil ini sama
dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2010). Khan et al. (2010) berpendapat
bahwa perusahaan yang berukuran besar memiliki beragam pemegang saham, oleh sebab itu
cenderung mendapatkan tekanan yang lebih besar untuk mengungkapkan tanggung jawab
sosialnya. Selain itu, perusahaan yang berukuran besar memiliki kebutuhan pendanaan yang
juga besar. Oleh sebab itu, dengan mengungkapkan tanggung jawab sosialnya, perusahaan
berharap untuk mendapatkan pandangan yang positif dari masyarakat, kreditor, serta investor
sehingga akan lebih mudah dalam mendapatkan tambahan sumber pendanaan untuk
kepentingan ekspansi (Sembiring (2005) dalam Handayani (2013)).
Penulis mendapatkan nilai koefisien negatif yang signifikan (coef = -0.0859524 ;
) atas
umur perusahaan. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2013).
Umur perusahaan yang berkorelasi negatif dengan tingkat pengungkapan tanggung jawab
sosial bisa menjadi indikasi bahwa selama ini tanggung jawab sosial merupakan alat
(signaling) untuk menyampaikan kepada publik terkait kemampuan manajemen dalam
mengelola perusahaan (Bowman dan Haire, 1975). Selain itu, di Indonesia, tanggung jawab
sosial sering dijadikan ajang adu gengsi oleh perusahaan (Sukami, 2009). Oleh sebab itu,
pertambahan umur perusahaan tidak menjadi jaminan bahwa tingkat pengungkapan tanggung
jawab sosialnya akan semakin baik.
Nilai koefisien rasio hutang perusahaan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial
adalah negatif dan tidak signifikan (coef = -0.1247428;
). Hasil regresi ini selaras
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005) dan Tarjo (2008) yang dikutip dalam
Widiana (2012). Rasio hutang yang berkorelasi negatif dengan tingkat pengungkapan
tanggung jawab sosial mungkin disebabkan oleh manajemen laba (Widiana, 2012). Selain itu,
perusahaan yang rasio hutangnya rendah dinilai memiliki risiko operasional yang kecil
sehingga tidak diawasi secara ketat oleh kreditur (Sembiring, 2005 dalam Handayani, 2013).
Dari tabel hasil regresi di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien Return On Assets (ROA)
adalah -0.3702463. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap 1% kenaikan Return
On Assets menyebabkan penurunan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial sebesar
37,02463%. Di Indonesia, tata kelola perusahaan lebih mengarah kepada suatu bentuk
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
kepatuhan terhadap peraturan dan bukan merupakan kesadaran untuk meningkatkan kinerja
perusahaan (Mintara, 2008 dalam Handayani, 2013) sehingga perusahaan dengan tingkat
profitabilitas yang tinggi tidak selalu menggunakan profitnya untuk memperbaiki kualitas
pengungkapan informasi. Hal ini didukung oleh penelitian Belakoui (1989) dalam Handayani
(2013) yang menyatakan bahwa pengungkapan informasi justru memberikan kerugian
kompetitif karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengungkapkan
informasi tersebut. Selain itu, penelitian Khan et al. (2013) mendapatkan kesimpulan bahwa
di negara berkembang, pengungkapan atas tanggung jawab sosial berfungsi sebagai strategic
tools untuk mencapai tujuan ekonomis perusahaan sehingga saat tujuan tersebut telah
tercapai, perusahaan mengurangi atau bahkan tidak lagi melakukan pengungkapan.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah:
1. Kepemilikan manajerial menurunkan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial
perusahaan. Hasil yang didapatkan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ho
dan Wong (2001) serta Chau dan Gray (2010) yang dikutip dalam pada Khan et al.
(2013). Khan et al. (2013) menarik kesimpulan bahwa akuntabilitas dan kepentingan
publik kurang menjadi perhatian dalam perusahaan yang kepemilikan manajerialnya
tinggi karena biaya yang terlalu mahal untuk mengadakan tanggung jawab sosial sehingga
manajemen enggan untuk terlibat dalam aktivitas sosial.
2. Kepemilikan publik tidak berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan tanggung
jawab sosial. Hal ini bisa diakibatkan oleh prioritas manajemen dan investor yang lebih
mementingkan keuntungan jangka pendek (Widiana, 2012) dibandingkan dengan going
concern perusahaan dalam jangka panjang.Kepemilikan asing dalam penelitian ini tidak
berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Tidak
semua kepemilikan asing berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengungkapan
tanggung jawab sosial karena menurut Davis dan Kim (2007) dalam Oh (2011), setiap
pemegang saham asing memiliki kepedulian yang berbeda-beda terhadap tanggung jawab
sosial perusahaan.
3. Independensi komisaris berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap tingkat
pengungkapan tanggung jawab sosial. Dewan komisaris di Indonesia berperan sebagai
substitute-monitoring seperti yang dikemukakan oleh Eng et al. (2003) sehingga
keberadaan komisaris independen bisa dianggap sebagai substitusi dari kewajiban untuk
melakukan pengungkapan.
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan yang ada dalam penelitian ini di antaranya adalah:
1. Periode penelitian ini juga relatif singkat, yaitu tiga tahun (2010-2012).
2. Ketidaklengkapan laporan tahunan perusahaan meskipun peraturan Bapepam-LK no.
X.K.6 mewajibkan setiap perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk
menyampaikan laporan tahunan.
3.
Penilaian atas pengungkapan tanggung jawab sosial hanya didapatkan dari laporan
tahunan yang diterbitkan oleh perusahaan padahal pengungkapan atas tanggung jawab
sosial bisa dipublikasikan dalam media lainnya, misalnya koran atau laman resmi
perusahaan (website).
Saran
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis memberikan saransaran berikut ini untuk:
1. Penelitian selanjutnya
Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan periode yang lebih panjang dan sampel
dari berbagai industri sehingga bisa didapatkan hasil yang lebih representatif. Selain itu,
penambahan variabel independen, seperti kepemilikan pemerintah atau kepemilikan
keluarga, bisa dilakukan supaya gambaran atas pengaruh berbagai macam struktur
kepemilikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial lebih lengkap.
2. Perusahaan
Perusahaan publik yang terdaftar di bursa efek hendaknya menyediakan laporan tahunan
untuk publik sesuai dengan mandat peraturan Bapepem-LK no. X.K.6 demi mendukung
transparansi dan memudahkan calon investor untuk membuat keputusan. Menyediakan
laporan tahunan sebenarnya menguntungkan untuk perusahaan sebab masyarakat juga
bisa mendukung dan berpartisipasi dalam kegiatan perusahaan, terutama yang terkait
dengan tanggung jawab sosial.
3. Investor
Sudah saatnya bagi investor untuk peduli dan mendorong perusahaan untuk melakukan
tanggung jawab sosial. Investor disarankan untuk berinvestasi pada perusahaan yang
sudah melaksanakan tanggung jawab sosial sebagai bentuk dukungan atas pelaksanaan
tanggung jawab sosial. Dengan demikian perusahaan lain yang belum memiliki kesadaran
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
dan kepedulian diharapkan bisa tergerak untuk melakukan dan mengungkapkan tanggung
jawab sosial.
4. Pemerintah atau regulator
Lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan ketiadaan sangsi bagi perusahaan menjadi
penyebab masih banyaknya pelanggaran yang dilakukan. Pelanggaran yang dilakukan
berupa tidak menyediakan laporan tahunan laporan tahunan yang mudah didapatkan oleh
masyarakat atau tidak melakukan tanggung jawab sosial perusahaan. Peraturan dan
perundangan yang ada dinilai kurang diacuhkan oleh perusahaan sebab tidak ada sangsi
yang diberikan. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan untuk bertindak lebih tegas dalam
menegakkan peraturan dan memberikan sanksi demi menimbulkan efek jera.
Daftar Pustaka
Ahmed, S., Siddiqui, J. (2011). Audit committee interactions with external auditors: Evidence
from an emerging economy, Working paper, University of Manchester, United
Kingdom.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2012). Peraturan Nomor X.K.6:
Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Jakarta: 1 Agustus
2012.
Borisova, G., Brockman, P., Salas, J. M. (2012). Government ownership and corporate
governance: Evidence from the EU. Journal of Banking & Finance, 36, 2917–2934.
Bowman, E., Haire, M. (1975). A strategic posture towards CSR. California Management
Review, 18(2): 49-58.
Cadbury Code. (1992). Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate
Governance: The Code of the Best Practice. London: Gee Professional Publishing.
Campbell, J. L. (2007). Why would corporations behave in socially responsible ways? An
institutional theory of corporate social responsibility. Academy of Management
Review, 32, 946–967.
Carroll, A. B. (1991). The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral
Management of Organizational Stakeholders. Business Horizons, 34, 39-48.
Chen, C.J.P., Jaggi, B., (2000). Association between independent non-executive directors,
family control and financial disclosures in Hong Kong. Journal of Accounting and
Public Policy, 19, 285–310.
Claessens, S. (2003). Corporate Governance and Development. Global Corporate
Governance Forum. Washington, DC: The International Bank for Reconstruction and
Development.
Currie, R. R., Seaton, S., Wesley, S. (2009). Determining Stakeholders for Feasibility
Analysis. Annals of Tourism Research, 36 (1), 41-63.
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
Demsetz, H., Villalonga, B., (2001). Ownership structure and corporate performance. Journal
of Corporate Performance, 7, 209-233.
Dewenter, K. L., Malatesta, P. H., (2001). State-Owned and Privately Owned Firms: An
Empirical Analysis of Profitability, Leverage, and Labor Intensity. The American
Economic Review, 91 (1), 320-334.
Donaldson, L., Davis, J. H. (1991). Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance
and Shareholder Returns. Australian Journal of Management, 16 (1).
Eng, L. L., Mak, Y. T., (2003). Corporate governance and voluntary disclosure. Journal of
Accounting and Public Policy, 22, 325–345.
European Commission. (2011). A renewed EU strategy 2011-14 for Corporate Social
Responsibility. Brussels: 25 Oktober 2011.
Farooque, O. A., Zijl, T. V., Dunstan, K., & Karim, A. K. M. W. (2007). Corporate
governance in Bangladesh: Link between ownership concentration and financial
performance. Corporate Governance: An International Review, 15 (6), 1453–1468.
Fox, M. B. (1999). Required disclosure and corporate governance. Law and Contemporary
Problems, 62 (3), 113-127.
Gao, Y. (2009). Corporate Social Performance in China: Evidence from Large Companies.
Journal of Business Ethics, 89 (1), 23–35.
Gedajlovic, E., Shapiro, D. M. (2002). Ownership structure and firm profitability in Japan.
The Academy of Management Journal, 45 (3), 565-575.
Ghazali, N. A. M. (2007). Ownership structure and corporate social responsibility disclosure:
Some Malaysian evidence. Corporate Governance, 7 (3), 251–266.
Gisbert, A., Navallas, B. (2013). The association between voluntary disclosure and corporate
governance in the presence of severe agency conflicts. Advances in Accounting,
incorporating Advances in International Accounting, 29, 286–298.
Gujarati, D. N. (2004). Basic Econometrics. Singapore: McGraw Hill.
Haniffa, R. M., & Cooke, T. E. (2005). The impact of culture and governance on corporate
social reporting. Journal of Accounting and Public Policy, 24 (5), 391–430.
Healy, P.M., & Palepu, K. G. (2001). Information asymmetry, corporate disclosure and the
capital markets: A review of the empirical disclosure literature. Journal of Accounting
and Economics, 31, 405–440.
Husted, B. W. (2003). Governance choices for Corporate Social Responsibility: to contribute,
collaborate, or internalize? Long Range Planning, 36, 481-498.
Indonesian Institute for Corporate Governance. (2014) Tentang IICG. January 15, 2014.
http://iicg.org/v25/tentang-iicg
International Organization for Standardization. 2010. ISO 26000:2010 Guidance on Corporate
Social Responsibility. https://www.iso.org/obp/ui/#iso:std:iso:26000:ed-1:v1:en
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
Institute of Chartered Secretaries and Administrators. (2009). The History of Corporate
Governance in the United Kingdom.
https://www.icsa.org.uk/assets/files/pdfs/BusinessPractice_and_IQS_docs/studytexts/c
orporategovernance2/r_CorpGov_6thEd_StudyText_Chapter12.pdf
International Financial Corporation. (2009). Corporate Governance: The Foundation of
Corporate Citizenship and Sustainable Businesses. January 18, 2014.
http://www.ifc.org/wps/wcm/connect/a2b5ef8048a7e2db96cfd76060ad5911/IFC_UN
GC_brochure.pdf?MOD=AJPERES
International Financial Corporation. (2009). Practical Guide to Corporate Governance.
January 19, 2014.
http://www.oecd.org/daf/ca/corporategovernanceprinciples/43653645.pdf
Jurdant, F. (2013), “Disclosure of Beneficial Ownership and Control in Indonesia: Legislative
and Regulatory Policy Options for Sustainable Capital Markets”, OECD Corporate
Governance Working Papers, No. 9, OECD Publishing.
http://dx.doi.org/10.1787/5k43m4pdrj36-en
Jurgens, M., Berthon, P., Papania, L., Shabbir, H. A. (2010). Stakeholder theory and practice
in Europe and North America: The key to success lies in a marketing approach.
Industrial Marketing Management, 39, 769–775.
Kang, Y. S., Kim, B. Y., (2012). Ownership Structure and Firm Performance: Evidence from
the Chinese Corporate Reform. China Economic Review, 23, 471-481.
Kansal, M., Joshi, M., Batra, G. S. (2014). Determinants of Corporate Social Responsibility
disclosure: Evidence from India. Advances in Accounting. 30 (1). 217-229.
Keputusan Meneteri Badan Usaha Milik Negara. (2002). KEP-117/M-MBU/2002 tentang
Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Jakarta: 31 Juli 2002.
Khan, A., Muttakin, M. B., Siddiqui, J. (2013). Corporate Governance and Corporate Social
Responsibility Disclosures: Evidence from an Emerging Economy. Journal of
Bussiness Ethics, 114, 207–223.
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2010). Pedoman Umum Good Public Governance
(online, ISBN: 979-18954-1-5)
La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., (1999). Corporate ownership around the
world. Journal of Finance, 54 (2), 471–517.
Li, W., Zhang, R. (2010). Corporate Social Responsibility, Ownership Structure, and Political
Interference: Evidence from China. Journal of Business Ethics, 96, 631-645.
Martin, S. (1987). The Measurement of Profitability and The Diagnosis of Market Power.
International Journal of Industrial Organisation, 6, 301-321.
Mayer, R. C., Davis, J. H., & Schoorman, D. F. (1995). An integrativemodel of organizational
trust. Academy of Management Review, 20 (3), 709–734.
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
Matos, S., Silvestre, B.S.(2013). Managing stakeholder relations when developing sustainable
business models: the case of the Brazilian energy sector. Journal of Cleaner
Production, 45, 61-73.
McKnight, D. H., Choudhury, V., & Kacmar, C. (2002). Developing and validating trust
measures for e-commerce: An integrative typology. Information Systems Research, 13
(3), 334–359.
Muttakin, M., Khan, A. (2014). Determinants of corporate social disclosure: empirical
evidence from Bangladesh, Advances in accounting, 30 (1), 168-175.
Mutti, D., Yakovleva, N., Vasquez-Brust, D., Marco, M. H. (2012). Corporate social
responsibility in the mining industry: Perspectives from
stakeholder groups in Argentina. Resource Policy, 37, 212-222.
Oganisation for Economic Co-operation and Development. (2004). OECD Principles of
Corporate Governance. January 15, 2014.
http://www.oecd.org/daf/ca/corporategovernanceprinciples/31557724.pdf
Oh, W. Y., Chang, Y. K., Martynov, A. (2011). The Effect of Ownership Structure on
Corporate Social Responsibility: Empirical Evidence from Korea. Journal of
Bussiness Ethics, 104, 283–297
Park, J., Lee, H., Kim, C. (2014). Corporate social responsibilities, consumer trust and
corporate reputation: South Korean consumers' perspectives. Journal of Business
Research, 67, 295–302
Sembiring, E. R. (2005). Karakteristik perusahaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial:
studi empiris pada perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi 8. Solo.
Sprinkle, G. B., Maines, L. A. (2010). The benefits and costs of corporate social
responsibility. Business Horizons, 53, 445-453.
Sukami. (2009). Tanggung jawab sosial perusahaan dan iklim penanaman modal.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-bisnis/84-tanggung-jawab-sosialperusahaan-corporate-social-responsibility-dan-iklim-penanaman-modal.html
Tarjo. (2008). Pengaruh konsentrasi kepemilikan institusional dan leverage terhadap
manajemen laba, nilai pemegang saham serta cost of equity capital. Simposium
Nasional Akuntansi 11. Pontianak.
The World Bank (2010), Report on the Observance of Standards and Code (ROSC),
Corporate Governance Country Assessment: Indonesia, April,
http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf.
Undang-undang Republik Indonesia. (2007). UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Jakarta: 26 April 2007.
Undang-undang Republik Indonesia. (2007). UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Jakarta: 16 Agustus 2007.
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
Vermeulen, E. (2013), “Beneficial Ownership and Control: A Comparative Study Disclosure, Information and Enforcement”, OECD Corporate Governance Working
Papers, No. 7, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/5k4dkhwckbzv-en
Waagstein, P. R. (2011). The mandatory Corporate Social Responsibility in Indonesia:
problems and implications. Journal of Business Ethics, 98, 455-466.
Wei, Z., Varela, O. (2003). State equity ownership and firm market performance: evidence
from China's newly privatized firms. Global Finance Journal, 14, 65–82.
Widiana, D. (2012). Analisis Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Jenis Industri terhadap
Tingkat Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Empiris pada
Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010). Skripsi. Universitas
Indonesia.
Xu, X., Wang, Y. (1999). Ownership structure and corporate governance in Chinese stock
companies. China Economic Review, 10, 75-98
Lampiran
Lampiran 1 Kriteria Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
menurut Ghazali (2007) dalam Khan et al. (2013)
Kriteria Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial menurut Ghazali (2007)
dalam Khan et al. (2013)
I
KETERLIBATAN DENGAN KOMUNITAS
1
Donasi untuk amal
2
Sponsor dan iklan
3
Kegiatan untuk komunitas (kesehatan dan pendidikan)
II LINGKUNGAN
1
Kebijakan lingkungan
III INFORMASI TENTANG SUMBER DAYA MANUSIA
1
Jumlah karyawan
2
Hubungan karyawan
3
Kesejahteraan karyawan
4
Pendidikan karyawan
5
Pelatihan dan pengembangan keterampilan karyawan
6
Pembagian keuntungan dengan karyawan
7
Remunerasi manajemen
8
Kesehatan dan keselamatan kerja
9
Pekerja di bawah umur dan hal-hal terkait
IV INFORMASI PRODUK DAN JASA
1
Jenis-jenis produk
2
Pengembangan dan riset produk
3
Kualitas dan keselamatan produk
4
Pembahasan jaringan pemasaran
5
Fokus kepada kepuasan dan pelayanan pelanggan
6
Penghargaan yang diterima
V INFORMASI TAMBAHAN
1
Penjelasan lain-lain
Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014
Download