ANALISIS PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN DAN INDEPENDENSI DEWAN KOMISARIS TERHADAP TINGKAT PENGUNGKAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL Seraphine Nathania, Purwatiningsih Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia e-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh struktur kepemilikan perusahaan dan independensi Dewan Komisaris terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Teori-teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepemilikan (Ownership Theory) dan teori pemangku kepentingan (Stakeholder Theory). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah delapan belas (18) perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama rentang waktu 2010 hingga 2012. Hasil uji statistik menggunakan metode Pooled Least Square menunjukkan bahwa struktur kepemilikan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Kepemilikan manajerial dan kepemilikan publik serta independensi dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Sementara itu, kepemilikan asing berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan meskipun tidak signifikan. Analysis of Ownership Structure and Board Independence on the Level of CSR Disclosure Abstract The objective of this study is to observe the effect of corporate ownership structure and board independence on the level of corporate social responsibility (CSR) disclosure. The main theories used in this study are corporate ownership theory and stakeholder theory. Samples taken for this study are eighteen mining companies which are listed on Bursa Efek Indonesia (BEI) period 2010 to 2012. The result of statistic test using Pooled Least Square shows us that ownership structure affect the level of CSR disclosure in a different way. Managerial ownership, public ownership, and board independence are negatively influence the level of corporate social responsibility meanwhile the foreign ownership positively but insignificantly influence the corporate social responsibility. Keywords: Board Independence; Corporate Ownership Structure; Corporate Social Responsibility (CSR). Pedahuluan Menurut Clarksons (1995) dalam Currie et al. (2009), sebuah perusahaan memerlukan dukungan dari banyak pihak (stakeholders) untuk mencapai kesuksesan, baik yang terlibat secara langsung (primary stakeholders) maupun tidak langsung (secondary stakeholders). Perusahaan adalah sebuah fenomena sosial, sehingga keberadaannya harus memberikan manfaat untuk banyak pihak dan tidak terbatas hanya pemegang saham (Jurgens et al, 2010). Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 Tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) merupakan salah satu wujud giving back perusahaan kepada masyarakat sekitar (Park et al., 2014). Pelaksanaan tanggung jawab sosial pun juga diatur oleh pemerintah melalui UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lebih lanjut lagi, Peraturan Bapepam-LK No. X.K.6 mewajibkan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mengungkapan aktivitas tanggung jawab sosialnya dalam laporan tahunan. Pelaksanaan tanggung jawab sosial tidak akan berhasil apabila tidak didukung oleh pemilik dan manajemen meskipun wajib untuk dilakukan dan telah diatur oleh pemerintah. Perbedaan kepentingan antara pemilik (principals) dan manajemen (agents) bisa menghambat pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Pada perusahaan yang kepemilikan mayoritasnya ada di tangan manajemen, tanggung jawab sosial biasanya tidak menjadi prioritas karena biaya yang relatif besar dan hasilnya tidak terlihat dalam jangka pendek (Khan et al., 2013). Sementara itu, perusahaan yang kepemilikan mayoritasnya ada di tangan publik dan pihak asing biasanya lebih peduli terhadap tanggung jawab sosial (Haniffa dan Cooke, 2005). Kepemilikan publik memberikan tekanan kepada perusahaan untuk melaksanakan dan mengungkapkan tanggung jawab sosial demi tercapainya akuntabilitas (Chau dans Gray, 2002; Cullen dan Christopher, 2002; Ullmann, 1985 dalam Khan et al., 2013). Pemilik asing, terutama yang berasal dari Eropa dan Amerika, bisanya cenderung lebih peduli dan mendukung pelaksanaan tanggung jawab sosial (Campbell, 2007). Selain faktor struktur kepemilikan, komisaris independen juga dinilai mampu mempengaruhi pelaksanaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial. Keberadaan komisaris independen dalam perusahaan diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengawasan (check and balance) dalam pengambilan keputusan penting, termasuk keputusan terkait tanggung jawab sosial (Khan et al., 2013). Penelitian ini mencoba untuk mengembangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Khan et al., (2013) pada sampel perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Saham Bangladesh mengenai pengaruh struktur kepemilikan dan independensi dewan komisaris terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2010 sampai 2012. Penulis memilih sampel dari perusahaan pertambangan karena perusahaan pertambangan dianggap Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 memberikan banyak eksternalitas negatif terhadap alam dibandingkan industri lain (Kapelus, 2002; Yakovleva, 2005 dalam Mutti et al., 2012) sehingga pelaksanaan tanggung jawab sosial sangat perlu untuk dilakukan sebagai wujud kepedulian perusahaan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, peraturan di Indonesia (UU no. 40 tahun 2007 pasal 74) hanya mewajibkan perusahaan yang usahanya berhubungan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dibuat untuk mengetahui pengaruh kepemilikan manajerial, kepemilikan publik, kepemilikan asing, dan independensi dewan komisaris terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan di sektor pertambangan yang yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2010 sampai 2012. Tinjauan Teori Tanggung Jawab Sosial Di Indonesia, ada dua perundang-undangan yang mengatur masalah tanggung jawab sosial dan lingkungan, yaitu UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) dan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) memuat definisi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan pada pasal 1 dan selanjutnya memberikan penjabaran yang lebih rinci pada pasal 74. Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Menurut UU No. 25 tahun 2007 pasal 15 (a dan b) tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Selain kedua definisi Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 tersebut, Lingkar Studi CSR Indonesia menjelaskan Tanggung Jawab Sosial sebagai upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholders Theory) Ada dua pandangan yang berbeda atas motif sebuah bisnis, yaitu untuk memaksimalkan kemakmuran pemegang saham (shareholdervalue maximization) dan untuk memberikan kemakmuran bagi pemegang saham namun tetap memperhatikan kesejahteraan para pemangku kepentingan lainnya (stakeholder model). Jurgens et al. (2010) menjelaskan kedua pandangan tersebut. Pandangan pertama (shareholdervalue maximization) didasari oleh asumsi bahwa perusahaan dibentuk oleh individual yang egosentris sehingga perilakunya didasari oleh motif pribadi (Watkins, 1994). Oleh sebab itu, perusahaan beroperasi sebagai agen independen yang tanggung jawab utamanya adalah meningkatkan kemakmuran pemegang saham melalui kegiatan operasional yang efektif dan hati-hati. Pandangan kedua, stockholder model, didasari oleh pemikiran Freeman (1984) dalam Currie et al. (2009). Freeman berpendapat bahwa selain mengejar keuntungan dan memaksimalkan kemakmuran pemegang saham, perusahaan juga harus memperhatikan kesejateraan para pemangku kepentingan lainnya (stakeholders) seperti karyawan dan komunitas sekitar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perusahaan adalah sebuah fenomena sosial sehingga sudah sewajarnya bila keberadaannya memberikan manfaat kepada lebih banyak pihak, tidak terbatas pada kemakmuran pemegang saham (Jurgens et al, 2010). Freeman (1984) dan Clarkson (1995) dalam Currie et al. (2009) mengidentifikasi pemangku kepentingan berdasarkan besaran pengaruh yang diberikan oleh atau didapatkan dari perusahaan. Menurut Freeman (1984), pemangku kepentingan dapat diartikan sebagai individu atau kelompok yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan perusahaan. Pemangku kepentingan primer (primary stakeholders) adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung terhadap perusahaan, contohnya pelanggan, pemegang saham, karyawan, pemasok, dan regulator. Sementara itu, pemangku kepentingan sekunder, seperti institusi pendidikan, organisasi non-pemerintahan, dan (secondary stakeholders) dipahami sebagai pihak-pihak yang tidak bertransaksi dengan perusahaan namun bisa mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan. Clarkson (1995) dalam Currie et al. (2009) berpendapat bahwa para pemangku kepentingan primer (primary stakeholders) biasanya memiliki Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 kepentingan, klaim, atau hak serupa karena mereka berbagi tujuan dan tekanan yang berhubungan dengan hubungan pasar (market relationship), dan mereka memiliki konsep yang jelas tentang apa yang diharapkan dari hubungan tersebut. Sebaliknya, para pemangku kepentingan sekunder (secondary stakeholders) biasanya memiliki tujuan yang berbeda dan perilaku mereka dipengaruhi oleh tekanan yang datang dari luar pasar (non-market). Sementara itu, Savage et al. (1991) dalam Currie et al. (2009) membagi pemangku kepentingan ke dalam empat jenis berdasarkan dua dimensi, yaitu potensi untuk bekerja sama dengan perusahaan dan potensi ancaman bagi perusahaan. Masalah yang sering timbul dalam identifikasi pemangku kepentingan ini adalah banyaknya pihak yang terlibat dan beragamnya kepentingan mereka. Pengembangan Hipotesis Di negara berkembang, banyak perusahaan yang mayoritas kepemilikannya ada di tangan suatu pihak, seperti keluarga atau institusional. Kepemilikan terkonsentrasi seperti ini membuat mereka mendominasi posisi direksi dan dewan komisaris sehingga mereka sangat mempengaruhi pengambilan keputusan strategis (Farooque et al, 2007). Proses pengambilan keputusanannya pun terkadang dilakukan secara internal dan kemudian baru disahkan dalam rapat formal sehingga rapat tersebut hanya bersifat simbolis (Ahmed dan Siddiqui, 2011). Selain itu, karena kepentingan publik pada perusahaan seperti ini relatif rendah maka perusahaan biasanya kurang aktif dalam aktivitas sosial. Oleh sebab itu, tidak banyak informasi mengenai tanggung jawab sosial yang bisa didapatkan dari perusahaan tertutup atau dengan kepemilikan terkonsentrasi. Penelitian yang pernah diadakan sebelumnya dan dikutip dalam Khan et al. (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Oh et al., 2011; Ghazali, 2007). Dengan demikian, penulis membuat hipotesis: H1 Terdapat hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Berbeda dengan kepemilikan terkonsentrasi, kepemilikan publik dianggap lebih mampu membuat perusahaan untuk melakukan pengungkapan secara sukarela (Chau dam Gray, 2002; Cullen dan Christopher, 2002; Ullmann, 1985). Kepemilikan publik memberikan lebih banyak tekanan kepada perusahaan untuk memberikan informasi tambahan demi mencapai akuntabilitas yang diharapkan oleh berbagai pihak. Hal ini juga dianggap menjadi penyebab Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 perusahaan publik lebih aktif dalam kegiatan sosial. Oleh sebab itu, penulis membuat hipotesis: H2 Terdapat hubungan positif antara kepemilikan publik dengan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Dalam Khan et al. (2013) dikemukakan bahwa kepemilikan asing mampu mempengaruhi pengungkapan atas tanggung jawab sosial perusahaan. Manajemen melakukan pengungkapan, termasuk pengungkapan atas tangung jawab sosial, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pemilik yang berkedudukan di luar negeri (Schipper, 1981; Bradbury, 1991). Selain itu, pemilik asing biasanya memiliki nilai-nilai yang berbeda karena adanya foreign market exposure. Berdasarkan penelitian Haniffa dan Cooke (2005) terdapat hubungan positif antara kepemilikan asing dengan pengungkapan atas tanggung jawab sosial pada perusahaanperusahaan di Malaysia sebagai bentuk strategi legitimasi demi mempertahankan arus modal masuk dan (capital inflows). Dengan demikian, penulis membuat hipotesis sebagai berikut: H3 Terdapat hubungan positif antara kepemilikan asing dengan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Kehadiran komisaris independen dalam dewan komisaris dianggap sebagai salah satu mekanisme tata kelola perusahaan yang utama. Dalam Khan et al. (2013) dijelaskan bahwa komisaris independen diharapkan bisa meningkatkan kinerja dewan komisaris dengan mengawasi aktivitas manajemen dan memastikan bahwa kepentingan investor terlindungi (Petra, 2005 dalam Khan et al., 2013). Beberapa penelitian sebelumnya menghasilkan kesimpulan bahwa pengungkapan atas tanggung jawab sosial sangat berkaitan dengan independensi dewan komisaris, yang diukur berdasarkan banyaknya komisaris independen dalam jajaran dewan komisaris. Oleh karena itu, penulis membuat hipotesis berikut: H4 Terdapat hubungan positif antara proporsi komisaris independen dengan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Metode Penelitian Model yang digunakan sama seperti jurnal acuan (Dalam Khan et al, 2013). Model ini terdiri atas variabel dependen, variabel independen, dan variabel kontrol. Berikut ini adalah model yang digunakan dalam pengujian hipotesis: Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 Tabel 1 Metode Penelitian Pengaruh Kepemilikan terhadap Tingkat Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR) Variabel Dependen Corporate Nilai CSRDI menjelaskan sejauh mana tanggung jawab sosial diungkapkan dalam laporan Social keuangan. Penulis memberikan nilai 1 untuk perusahaan jika kriteria penilaian dalam Responsibility tabel diungkapkan dalam laporan keuangan dan nilai 0 jika sebaliknya. yang mungkin Disclosure didapatkan oleh masing-masing perusahaan (Ghazali, 2007). Kriteria pengungkapan Index (CSRDI) tanggung jawab sosial ini dapat dilihat pada lampiran. Variabel Independen Kepemilikan Kepemilikan manajerial merupakan persentase kepemilikan saham perusahaan oleh manajerial direktur dan dewan komisaris. Saat kepemilikan manajerial besar, direktur dan komisaris cenderung mengabaikan akuntabilitas publik sehingga menyebabkan penurunan pada pengungkapan tanggung jawab sosial (Ghazali, 2007). Jumlah kepemilikan manajerial diketahui dari pengungkapan atas pemegang saham dalam laporan tahunan perusahaan. Kepemilikan Kepemilikan publik merupakan persentase kepemilikan saham perusahaan oleh publik publik atau masyarakat umum. Jumlah kepemilikan publik diketahui dari pengungkapan atas pemegang saham dalam laporan tahunan perusahaan. Kepemilikan publik terbukti mempengaruhi tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan secara positif karena perusahaan dengan kepemilikan publik yang dominan mendapatkan lebih banyak tekanan untuk memberikan informasi tambahan demi mencapai akuntabilitas yang diharapkan oleh berbagai pihak. (Khan et al., 2013). Kepemilikan Kepemilikan asing merupakan persentase kepemilikan saham perusahaan oleh pihak asing asing, baik individu maupun institusi. Jumlah kepemilikan asing diketahui dari pengungkapan atas pemegang saham dalam laporan tahunan perusahaan. Menurut Khan et al. (2013) yang dikutip dari Schipper (1981) dan Bradbury (1991), perusahaan dengan kepemilikan asing yang besar diharapkan melakukan lebih banyak pengungkapan agar memudahkan pemilik dalam pengambilan keputusan karena biasanya pemilik dan manajemen terpisah secara geografis. Independensi Independensi komisaris merupakan proporsi komisaris independen dalam dewan komisaris komisaris. Bila seorang direktur atau komisaris semakin independen maka yang bersangkutan akan semakin mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial (Chen dan Jaggi, 2000). Variabel Kontrol Ukuran Ukuran perusahaan dinilai berdasarkan nilai total aset yang diformulasikan ke dalam perusahaan bentuk logaritma natural. Berdasarkan penelitian Haniffa dan Cooke (2005) yang dikutip dalam Khan et al. (2013), perusahaan yang berukuran lebih besar diharapkan mengungkapkan lebih banyak informasi. Alasannya adalah karena perusahaan yang lebih besar mendapatkan lebih banyak perhatian dari berbagai lapisan masyarakat sehingga tekanan untuk melakukan pengungkapan menjadi lebih besar demi melegitimasi bisnis yang mereka lakukan. Umur Umur perusahaan adalah jumlah tahun lama berdirinya perusahaan yang diformulasikan perusahaan ke dalam bentuk logaritma natural. Dalam Khan et al. (2013) disebutkan bahwa perusahaan yang berumur lebih tua melakukan lebih banyak pengungkapan tanggung jawab sosial (Roberts, 1992). hal ini disebabkan karena mereka lebih peduli terhadap reputasi sehingga mengungkapkan lebih banyak informasi terkait tanggung jawab sosial. Rasio antara Debt Ratio atau rasio hutang dihitung dengan membagi rata-rata total kewajiban (rata-rata nilai buku total total kewajiban tahun t dan tahun t-1) dan total aset (rata-rata total aset tahun t dan tahun t-1). kewajiban dan Menurut Sari dan Zuhrohtun (2005) dalam Widiana (2012), rasio hutang dapat total asset memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya bagi investor serta mengurangi Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 ketidakpastian prospek perusahaan di masa mendatang. Semakin tinggi rasio hutang maka semakin tinggi pula risiko perusahaan mengalami gagal bayar yang pada akhirnya bisa menyebabkan kebangkrutan. Rasio hutang memiliki pengaruh negatif terhadap ROA (Return on Assets). Purushothaman et al. (2000), yang dikutip dalam Khan et al, (2013), memprediksi bahwa terdapat hubungan negatif antara rasio hutang dengan pengungkapan tanggung jawab sosial pada perusahaan dengan rasio hutang yang tinggi karena biasanya mereka memiliki kedekatan dengan kreditur dan memilih cara lain untuk mengungkapkan tanggung jawab sosialnya. Rasio antara Profitabilitas suatu perusahaan dapat diperoleh dari laporan laba rugi. Return on Assets pendapatan atau pengembalian atas aset yang didapat dari pembagian dari pendapatan sebelum sebelum dikurangi bunga dan pajak tahun t terhadap rata-rata total aset (rata-rata total aset tahun t dikurangi bunga dan tahun t-1). ROA mencerminkan kemampuan aset untuk menghasilkan pendapatan dan pajak (revenue) bagi perusahaan. Semakin tinggi rasio ROA maka semakin efektif dan efisien dengan total aset pula alokasi dan penggunaan aset perusahaan. Berdasarkan penelitian Haniffa dan Cooke (2005) yang dikutip dalam Khan et al. (2013), perusahaan yang mempunyai profitabilitas yang baik mengungkapkan lebih banyak tanggung jawab sosial dan lingkungan. Hasil Penelitian Uji Analisis Asumsi Klasik Menurut Variance Inflation Factor (VIF), multikolinearitas terjadi apabila nilai VIF lebih besar dari 10 atau nilai tolerance (1/VIF) adalah 0,01 atau kurang. Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, tidak ada nilai VIF yang melebihi 10 atau nilai tolerance yang kurang dari 0,01. Tabel 2 Variance Inflation Factor (VIF) Variabel lev fage pub roa fsize forown bind mown VIF Rata-rata VIF 1.59 1.58 1.43 1.34 1.29 1.22 1.21 1.16 1.35 1/VIF 0.630401 0.631925 0.700809 0.745525 0.77533 0.818954 0.828058 0.858832 Sumber: Data diolah Uji Heteroskedastisitas Menurut uji Breusch-Pagan/Cook-Weisberg, sebuah model dikatakan heteroskedastisitas apabila nilai probabilita F lebih kecil dibandingkan mengalami . Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, nilai probabilita F (0,0004) lebih kecil dibandingkan Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 (0,05) sehingga terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model yang digunakan. Permasalahan tersebut perlu diatasi menggunakan Robust dan General Least Square (GLS). Autokorelasi Menurut uji Wooldridge, sebuah model dikatakan mengalami autokorelasi apabila nilai probabilita F lebih besar dibandingkan . Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, nilai probabilita F (0.0226) lebih kecil dibandingkan (0,05) sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi dalam model yang digunakan. Uji Kelayakan Model Untuk menentukan metode pengujian yang digunakan, ada tiga uji yang bisa dilakukan, yaitu uji Chow, uji Lagrangian Multiplier, dan uji Hausman. Uji Chow dilakukan untuk mengetahui apakah metode pengujian yang cocok digunakan adalah Pooled Least Square atau Fixed Effect. Pengujian menggunakan uji Chow menghasilkan kesimpulan bahwa metode yang digunakan adalah Fixed Effect karena nilai nilai sama dengan 0.0000 dan lebih kecil dari . Uji Lagrangian Multiplier dilakukan untuk memilih apakah pengujian lebih cocok dilakukan menggunakan Pooled Least Square atau Random Effect. Pengujian Langrangian Multiplier ini menghasilkan Prob > chibar2 sebesar 0.0940. Nilai tersebut lebih besar dari = 5%, sehingga metode pengujian yang dipilih adalah Pooled Least Square. Tabel 3 Uji Kelayakan Model Keterangan Uji Chow p-value Uji LM p-value Kesimpulan CSRDI 21.45 Fixed Effect 0.0000 1.73 Pooled Least Square 0.0940 Pooled Least Square Sumber : Data diolah Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 Hasil Uji-f dan Uji-t Tabel 4 Hasil Regresi Linear F( 8, 45) 32.22 Prob > F 0.0000 R-squared 0.7922 Root MSE 0.10933 ROA -0.370246 Robust Std. Err. 0.107634 LEV -0.124743 0.0758513 -1.64 0.107 -0.27752 0.0280296 FAGE -0.085952 0.0205675 -4.18 0.000 -0.12738 -0.0445273 FSIZE 0.1073543 0.0111816 9.6 0.000 0.084833 0.1298751 BIND -0.015465 0.1251359 -0.12 0.902 -0.2675 0.2365717 FOROWN 0.0976687 0.0591711 1.65 0.106 -0.02151 0.2168454 PUB -0.135953 0.0867708 -1.57 0.124 -0.31072 0.0388128 MOWN -0.257814 0.06118 -4.21 0.000 -0.38104 -0.1345907 CSRDI Coef. -3.44 0.001 [95% Conf. Interval] -0.58703 -0.1534602 t P>t Sumber : Data diolah Nilai probabilita F statistik (0,0000) yang didapatkan dari hasil regresi lebih kecil dari (0,05) menjelaskan bahwa model di atas bisa digunakan untuk penelitian ini. Dari hasil regresi didapatkan nilai R-squared sebesar 0,7922 atau 79,22%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variasi variabel dependen, yaitu tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial, dapat dijelaskan sebesar 0,7922 atau 79,22% oleh variabel-variabel independen, sedangkan sisanya diterangkan oleh variabel-variabel lainnya. Signifikansi pengaruh suatu variabel independen terhadap variabel dependen dapat dilihat dari nilai probabilita t statistiknya. Sebuah variabel independen dikatakan mempengaruhi variabel dependen secara signifikan apabila nilai probabilita t statistiknya lebih kecil dibandingkan (0,05). Dari hasil regresi yang terangkum dalam tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa koefisien kepemilikan manajerial, ROA (Return On Assets) serta ukuran dan umur perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Meskipun tidak semua variabel independen berpengaruh secara signifikan namun semua variabel independen yang diuji berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Pembahasan Dari hasil regresi didapatkan nilai koefisien negatif yang signifikan atas kepemilikan manajerial (coef = -0.257814; ). Hasil yang didapatkan ini sesuai dengan penelitian Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 yang dilakukan oleh Ho dan Wong (2001) serta Chau dan Gray (2010) yang dikutip dalam pada Khan et al. (2013). Dalam penelitian yang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham Bangladesh, Khan (2013) menarik kesimpulan bahwa akuntabilitas dan kepentingan publik kurang menjadi perhatian dalam perusahaan yang kepemilikan manajerialnya tinggi. Hal ini disebabkan biaya yang terlalu mahal untuk mengadakan tanggung jawab sosial sehingga manajemen enggan untuk terlibat dalam aktivitas sosial. Selain itu, menurut Narayanan (1985) dalam Oh (2011), tanggung jawab sosial merupakan program yang bersifat jangka panjang sehingga banyak manajemen yang memilih untuk tidak terlibat dalam aktivitas sosial demi mendapatkan keuntungan dan remunerasi yang besar di masa sekarang. Dengan menghindari pelaksanaan tanggung jawab sosial dengan alasan yang telah dikemukakan sebelumnya, sebenarnya perusahaan mengalami kerugian secara tidak langsung karena menurut Mayer et al. (1995); McKnight et al. (2002) dalam Park et al. (2014), perusahaan berpotensi kehilangan kepercayaan dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Selain itu, kompensasi ekonomi dari pemerintah, misalnya pengurangan pajak, juga tidak akan didapatkan apabila perusahaan tidak melaksanakan tanggung jawab sosial (Sprinkle dan Maines, 2010). Nilai koefisien kepemilikan publik terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah negatif dan tidak signifikan (coef = -0.1359527; ). Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Badjuri (2011) yang dikutip dalam Widiana (2012) yang menghasilkan kesimpulan bahwa kepemilikan publik tidak berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Hal ini bisa diakibatkan oleh prioritas manajemen dan investor yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek (Widiana, 2012) dibandingkan dengan going concern perusahaan dalam jangka panjang. Regresi yang telah dilakukan terhadap variabel kepemilikan asing menghasilkan nilai koefisien positif yang tidak signifikan (coef = 0.0976687; ). Haniffa dan Cooke (2005) berpendapat bahwa perusahaan dengan kepemilikan asing yang besar lebih sering mengungkapkan tanggung jawab sosialnya sebagai strategi untuk menarik minat lebih banyak investor asing. Meskipun demikian, tidak semua kepemilikan asing berpengaruh secara signifikan karena menurut Davis dan Kim (2007) dalam Oh (2011), setiap pemegang saham asing memiliki kepedulian yang berbeda-beda terhadap tanggung jawab sosial perusahaan. Sebagai contoh, investor dari Amerika Serikat atau Eropa lebih peduli terhadap masalah tanggung jawab sosial perusahaan dibandingkan dengan investor dari negara lain (Campbell, 2007). Hal tersebut dibuktikan oleh Oh (2011) dalam penelitiannya mengenai pengaruh Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 struktur kepemilikan terhadap tanggung jawab sosial pada perusahaan di Korea Selatan. Dalam penelitian ini, perusahaan yang digunakan sebagai sampel memiliki mayoritas pemegang saham asing yang berasal dari Asia. Oleh sebab itu, kepemilikan asing dalam penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Sebagai contoh, menurut Gao (2009), tanggung jawab sosial perusahaan di China masih dalam tahap awal sehingga ketika investor dari China berinvestasi di negara lain, mereka tidak terlalu mempedulikan masalah tanggung jawab sosial. Penulis mendapatkan nilai koefisien negatif yang tidak signifikan atas pengaruh independensi komisaris terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial (coef = -0.0154649; ). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Chen dan Jaggi (2000) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara proporsi komisaris independen dengan pengungkapan laporan keuangan komprehensif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Khan et al. (2013) juga menyimpulkan hal yang sama karena komisaris independen dinilai mampu memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap keterlibatan dalam tanggung jawab sosial dan pengungkapannya demi melegitimasi bisnis yang dijalankan. Sementara itu, penelitian yang dilakukan di Singapura oleh Eng et al. (2003) menghasilkan kesimpulan berbeda. Rata-rata proporsi komisaris independen pada perusahaan di Singapura adalah 57%, lebih besar dibandingkan di Hong Kong (Chen dan Jaggi, 2000) yang hanya berkisar 28,2%. Komisaris independen pada perusahaan di Singapura cenderung dipilih oleh blockholders (pemegang saham yang mempunyai kepemilikan besar) demi mewakili kepentingan mereka sehingga para komisaris bisa mendapatkan informasi tentang perusahaan tanpa adanya pengungkapan kepada publik. Selain itu, keberadaan komisaris independen, meskipun dipilih oleh blockholders, telah dianggap mewakili monitoring yang biasanya dilakukan melalui pengungkapan kepada publik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komisaris independen pada perusahaan di Singapura berperan sebagai substitute-monitoring, sedangkan komisaris pada perusahaan di Hong Kong menjalankan complementary role. Di Indonesia, independensi komisaris independen dinilai rendah karena keberadaannya hanya demi memenuhi syarat dari Bapepam-LK terkait jumlah minimum 30% komisaris independen dalam perusahaan. Dengan demikian, keberadaan komisaris independen dalam perusahaan tidak mempengaruhi pengungkapan. Hal ini sependapat dengan kondisi yang dikemukakan oleh Khan et al. (2013) terkait independensi Dewan Komisaris di Bangladesh. Khan menyebutkan bahwa keberadaan komisaris independen di Bangladesh hanya sekedar Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 seremonial belaka sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Nilai koefisien ukuran perusahaan adalah 0.1073543 dengan nilai . Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2010). Khan et al. (2010) berpendapat bahwa perusahaan yang berukuran besar memiliki beragam pemegang saham, oleh sebab itu cenderung mendapatkan tekanan yang lebih besar untuk mengungkapkan tanggung jawab sosialnya. Selain itu, perusahaan yang berukuran besar memiliki kebutuhan pendanaan yang juga besar. Oleh sebab itu, dengan mengungkapkan tanggung jawab sosialnya, perusahaan berharap untuk mendapatkan pandangan yang positif dari masyarakat, kreditor, serta investor sehingga akan lebih mudah dalam mendapatkan tambahan sumber pendanaan untuk kepentingan ekspansi (Sembiring (2005) dalam Handayani (2013)). Penulis mendapatkan nilai koefisien negatif yang signifikan (coef = -0.0859524 ; ) atas umur perusahaan. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2013). Umur perusahaan yang berkorelasi negatif dengan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial bisa menjadi indikasi bahwa selama ini tanggung jawab sosial merupakan alat (signaling) untuk menyampaikan kepada publik terkait kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan (Bowman dan Haire, 1975). Selain itu, di Indonesia, tanggung jawab sosial sering dijadikan ajang adu gengsi oleh perusahaan (Sukami, 2009). Oleh sebab itu, pertambahan umur perusahaan tidak menjadi jaminan bahwa tingkat pengungkapan tanggung jawab sosialnya akan semakin baik. Nilai koefisien rasio hutang perusahaan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah negatif dan tidak signifikan (coef = -0.1247428; ). Hasil regresi ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005) dan Tarjo (2008) yang dikutip dalam Widiana (2012). Rasio hutang yang berkorelasi negatif dengan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial mungkin disebabkan oleh manajemen laba (Widiana, 2012). Selain itu, perusahaan yang rasio hutangnya rendah dinilai memiliki risiko operasional yang kecil sehingga tidak diawasi secara ketat oleh kreditur (Sembiring, 2005 dalam Handayani, 2013). Dari tabel hasil regresi di atas dapat dilihat bahwa nilai koefisien Return On Assets (ROA) adalah -0.3702463. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap 1% kenaikan Return On Assets menyebabkan penurunan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial sebesar 37,02463%. Di Indonesia, tata kelola perusahaan lebih mengarah kepada suatu bentuk Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 kepatuhan terhadap peraturan dan bukan merupakan kesadaran untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Mintara, 2008 dalam Handayani, 2013) sehingga perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tidak selalu menggunakan profitnya untuk memperbaiki kualitas pengungkapan informasi. Hal ini didukung oleh penelitian Belakoui (1989) dalam Handayani (2013) yang menyatakan bahwa pengungkapan informasi justru memberikan kerugian kompetitif karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mengungkapkan informasi tersebut. Selain itu, penelitian Khan et al. (2013) mendapatkan kesimpulan bahwa di negara berkembang, pengungkapan atas tanggung jawab sosial berfungsi sebagai strategic tools untuk mencapai tujuan ekonomis perusahaan sehingga saat tujuan tersebut telah tercapai, perusahaan mengurangi atau bahkan tidak lagi melakukan pengungkapan. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah: 1. Kepemilikan manajerial menurunkan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Hasil yang didapatkan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ho dan Wong (2001) serta Chau dan Gray (2010) yang dikutip dalam pada Khan et al. (2013). Khan et al. (2013) menarik kesimpulan bahwa akuntabilitas dan kepentingan publik kurang menjadi perhatian dalam perusahaan yang kepemilikan manajerialnya tinggi karena biaya yang terlalu mahal untuk mengadakan tanggung jawab sosial sehingga manajemen enggan untuk terlibat dalam aktivitas sosial. 2. Kepemilikan publik tidak berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Hal ini bisa diakibatkan oleh prioritas manajemen dan investor yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek (Widiana, 2012) dibandingkan dengan going concern perusahaan dalam jangka panjang.Kepemilikan asing dalam penelitian ini tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Tidak semua kepemilikan asing berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial karena menurut Davis dan Kim (2007) dalam Oh (2011), setiap pemegang saham asing memiliki kepedulian yang berbeda-beda terhadap tanggung jawab sosial perusahaan. 3. Independensi komisaris berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial. Dewan komisaris di Indonesia berperan sebagai substitute-monitoring seperti yang dikemukakan oleh Eng et al. (2003) sehingga keberadaan komisaris independen bisa dianggap sebagai substitusi dari kewajiban untuk melakukan pengungkapan. Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan yang ada dalam penelitian ini di antaranya adalah: 1. Periode penelitian ini juga relatif singkat, yaitu tiga tahun (2010-2012). 2. Ketidaklengkapan laporan tahunan perusahaan meskipun peraturan Bapepam-LK no. X.K.6 mewajibkan setiap perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk menyampaikan laporan tahunan. 3. Penilaian atas pengungkapan tanggung jawab sosial hanya didapatkan dari laporan tahunan yang diterbitkan oleh perusahaan padahal pengungkapan atas tanggung jawab sosial bisa dipublikasikan dalam media lainnya, misalnya koran atau laman resmi perusahaan (website). Saran Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis memberikan saransaran berikut ini untuk: 1. Penelitian selanjutnya Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan periode yang lebih panjang dan sampel dari berbagai industri sehingga bisa didapatkan hasil yang lebih representatif. Selain itu, penambahan variabel independen, seperti kepemilikan pemerintah atau kepemilikan keluarga, bisa dilakukan supaya gambaran atas pengaruh berbagai macam struktur kepemilikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial lebih lengkap. 2. Perusahaan Perusahaan publik yang terdaftar di bursa efek hendaknya menyediakan laporan tahunan untuk publik sesuai dengan mandat peraturan Bapepem-LK no. X.K.6 demi mendukung transparansi dan memudahkan calon investor untuk membuat keputusan. Menyediakan laporan tahunan sebenarnya menguntungkan untuk perusahaan sebab masyarakat juga bisa mendukung dan berpartisipasi dalam kegiatan perusahaan, terutama yang terkait dengan tanggung jawab sosial. 3. Investor Sudah saatnya bagi investor untuk peduli dan mendorong perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial. Investor disarankan untuk berinvestasi pada perusahaan yang sudah melaksanakan tanggung jawab sosial sebagai bentuk dukungan atas pelaksanaan tanggung jawab sosial. Dengan demikian perusahaan lain yang belum memiliki kesadaran Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 dan kepedulian diharapkan bisa tergerak untuk melakukan dan mengungkapkan tanggung jawab sosial. 4. Pemerintah atau regulator Lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan ketiadaan sangsi bagi perusahaan menjadi penyebab masih banyaknya pelanggaran yang dilakukan. Pelanggaran yang dilakukan berupa tidak menyediakan laporan tahunan laporan tahunan yang mudah didapatkan oleh masyarakat atau tidak melakukan tanggung jawab sosial perusahaan. Peraturan dan perundangan yang ada dinilai kurang diacuhkan oleh perusahaan sebab tidak ada sangsi yang diberikan. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan untuk bertindak lebih tegas dalam menegakkan peraturan dan memberikan sanksi demi menimbulkan efek jera. Daftar Pustaka Ahmed, S., Siddiqui, J. (2011). Audit committee interactions with external auditors: Evidence from an emerging economy, Working paper, University of Manchester, United Kingdom. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2012). Peraturan Nomor X.K.6: Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Jakarta: 1 Agustus 2012. Borisova, G., Brockman, P., Salas, J. M. (2012). Government ownership and corporate governance: Evidence from the EU. Journal of Banking & Finance, 36, 2917–2934. Bowman, E., Haire, M. (1975). A strategic posture towards CSR. California Management Review, 18(2): 49-58. Cadbury Code. (1992). Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance: The Code of the Best Practice. London: Gee Professional Publishing. Campbell, J. L. (2007). Why would corporations behave in socially responsible ways? An institutional theory of corporate social responsibility. Academy of Management Review, 32, 946–967. Carroll, A. B. (1991). The Pyramid of Corporate Social Responsibility: Toward the Moral Management of Organizational Stakeholders. Business Horizons, 34, 39-48. Chen, C.J.P., Jaggi, B., (2000). Association between independent non-executive directors, family control and financial disclosures in Hong Kong. Journal of Accounting and Public Policy, 19, 285–310. Claessens, S. (2003). Corporate Governance and Development. Global Corporate Governance Forum. Washington, DC: The International Bank for Reconstruction and Development. Currie, R. R., Seaton, S., Wesley, S. (2009). Determining Stakeholders for Feasibility Analysis. Annals of Tourism Research, 36 (1), 41-63. Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 Demsetz, H., Villalonga, B., (2001). Ownership structure and corporate performance. Journal of Corporate Performance, 7, 209-233. Dewenter, K. L., Malatesta, P. H., (2001). State-Owned and Privately Owned Firms: An Empirical Analysis of Profitability, Leverage, and Labor Intensity. The American Economic Review, 91 (1), 320-334. Donaldson, L., Davis, J. H. (1991). Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance and Shareholder Returns. Australian Journal of Management, 16 (1). Eng, L. L., Mak, Y. T., (2003). Corporate governance and voluntary disclosure. Journal of Accounting and Public Policy, 22, 325–345. European Commission. (2011). A renewed EU strategy 2011-14 for Corporate Social Responsibility. Brussels: 25 Oktober 2011. Farooque, O. A., Zijl, T. V., Dunstan, K., & Karim, A. K. M. W. (2007). Corporate governance in Bangladesh: Link between ownership concentration and financial performance. Corporate Governance: An International Review, 15 (6), 1453–1468. Fox, M. B. (1999). Required disclosure and corporate governance. Law and Contemporary Problems, 62 (3), 113-127. Gao, Y. (2009). Corporate Social Performance in China: Evidence from Large Companies. Journal of Business Ethics, 89 (1), 23–35. Gedajlovic, E., Shapiro, D. M. (2002). Ownership structure and firm profitability in Japan. The Academy of Management Journal, 45 (3), 565-575. Ghazali, N. A. M. (2007). Ownership structure and corporate social responsibility disclosure: Some Malaysian evidence. Corporate Governance, 7 (3), 251–266. Gisbert, A., Navallas, B. (2013). The association between voluntary disclosure and corporate governance in the presence of severe agency conflicts. Advances in Accounting, incorporating Advances in International Accounting, 29, 286–298. Gujarati, D. N. (2004). Basic Econometrics. Singapore: McGraw Hill. Haniffa, R. M., & Cooke, T. E. (2005). The impact of culture and governance on corporate social reporting. Journal of Accounting and Public Policy, 24 (5), 391–430. Healy, P.M., & Palepu, K. G. (2001). Information asymmetry, corporate disclosure and the capital markets: A review of the empirical disclosure literature. Journal of Accounting and Economics, 31, 405–440. Husted, B. W. (2003). Governance choices for Corporate Social Responsibility: to contribute, collaborate, or internalize? Long Range Planning, 36, 481-498. Indonesian Institute for Corporate Governance. (2014) Tentang IICG. January 15, 2014. http://iicg.org/v25/tentang-iicg International Organization for Standardization. 2010. ISO 26000:2010 Guidance on Corporate Social Responsibility. https://www.iso.org/obp/ui/#iso:std:iso:26000:ed-1:v1:en Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 Institute of Chartered Secretaries and Administrators. (2009). The History of Corporate Governance in the United Kingdom. https://www.icsa.org.uk/assets/files/pdfs/BusinessPractice_and_IQS_docs/studytexts/c orporategovernance2/r_CorpGov_6thEd_StudyText_Chapter12.pdf International Financial Corporation. (2009). Corporate Governance: The Foundation of Corporate Citizenship and Sustainable Businesses. January 18, 2014. http://www.ifc.org/wps/wcm/connect/a2b5ef8048a7e2db96cfd76060ad5911/IFC_UN GC_brochure.pdf?MOD=AJPERES International Financial Corporation. (2009). Practical Guide to Corporate Governance. January 19, 2014. http://www.oecd.org/daf/ca/corporategovernanceprinciples/43653645.pdf Jurdant, F. (2013), “Disclosure of Beneficial Ownership and Control in Indonesia: Legislative and Regulatory Policy Options for Sustainable Capital Markets”, OECD Corporate Governance Working Papers, No. 9, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/5k43m4pdrj36-en Jurgens, M., Berthon, P., Papania, L., Shabbir, H. A. (2010). Stakeholder theory and practice in Europe and North America: The key to success lies in a marketing approach. Industrial Marketing Management, 39, 769–775. Kang, Y. S., Kim, B. Y., (2012). Ownership Structure and Firm Performance: Evidence from the Chinese Corporate Reform. China Economic Review, 23, 471-481. Kansal, M., Joshi, M., Batra, G. S. (2014). Determinants of Corporate Social Responsibility disclosure: Evidence from India. Advances in Accounting. 30 (1). 217-229. Keputusan Meneteri Badan Usaha Milik Negara. (2002). KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jakarta: 31 Juli 2002. Khan, A., Muttakin, M. B., Siddiqui, J. (2013). Corporate Governance and Corporate Social Responsibility Disclosures: Evidence from an Emerging Economy. Journal of Bussiness Ethics, 114, 207–223. Komite Nasional Kebijakan Governance. (2010). Pedoman Umum Good Public Governance (online, ISBN: 979-18954-1-5) La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., (1999). Corporate ownership around the world. Journal of Finance, 54 (2), 471–517. Li, W., Zhang, R. (2010). Corporate Social Responsibility, Ownership Structure, and Political Interference: Evidence from China. Journal of Business Ethics, 96, 631-645. Martin, S. (1987). The Measurement of Profitability and The Diagnosis of Market Power. International Journal of Industrial Organisation, 6, 301-321. Mayer, R. C., Davis, J. H., & Schoorman, D. F. (1995). An integrativemodel of organizational trust. Academy of Management Review, 20 (3), 709–734. Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 Matos, S., Silvestre, B.S.(2013). Managing stakeholder relations when developing sustainable business models: the case of the Brazilian energy sector. Journal of Cleaner Production, 45, 61-73. McKnight, D. H., Choudhury, V., & Kacmar, C. (2002). Developing and validating trust measures for e-commerce: An integrative typology. Information Systems Research, 13 (3), 334–359. Muttakin, M., Khan, A. (2014). Determinants of corporate social disclosure: empirical evidence from Bangladesh, Advances in accounting, 30 (1), 168-175. Mutti, D., Yakovleva, N., Vasquez-Brust, D., Marco, M. H. (2012). Corporate social responsibility in the mining industry: Perspectives from stakeholder groups in Argentina. Resource Policy, 37, 212-222. Oganisation for Economic Co-operation and Development. (2004). OECD Principles of Corporate Governance. January 15, 2014. http://www.oecd.org/daf/ca/corporategovernanceprinciples/31557724.pdf Oh, W. Y., Chang, Y. K., Martynov, A. (2011). The Effect of Ownership Structure on Corporate Social Responsibility: Empirical Evidence from Korea. Journal of Bussiness Ethics, 104, 283–297 Park, J., Lee, H., Kim, C. (2014). Corporate social responsibilities, consumer trust and corporate reputation: South Korean consumers' perspectives. Journal of Business Research, 67, 295–302 Sembiring, E. R. (2005). Karakteristik perusahaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial: studi empiris pada perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi 8. Solo. Sprinkle, G. B., Maines, L. A. (2010). The benefits and costs of corporate social responsibility. Business Horizons, 53, 445-453. Sukami. (2009). Tanggung jawab sosial perusahaan dan iklim penanaman modal. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-bisnis/84-tanggung-jawab-sosialperusahaan-corporate-social-responsibility-dan-iklim-penanaman-modal.html Tarjo. (2008). Pengaruh konsentrasi kepemilikan institusional dan leverage terhadap manajemen laba, nilai pemegang saham serta cost of equity capital. Simposium Nasional Akuntansi 11. Pontianak. The World Bank (2010), Report on the Observance of Standards and Code (ROSC), Corporate Governance Country Assessment: Indonesia, April, http://www.worldbank.org/ifa/rosc_cg_idn_2010.pdf. Undang-undang Republik Indonesia. (2007). UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jakarta: 26 April 2007. Undang-undang Republik Indonesia. (2007). UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Jakarta: 16 Agustus 2007. Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014 Vermeulen, E. (2013), “Beneficial Ownership and Control: A Comparative Study Disclosure, Information and Enforcement”, OECD Corporate Governance Working Papers, No. 7, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/5k4dkhwckbzv-en Waagstein, P. R. (2011). The mandatory Corporate Social Responsibility in Indonesia: problems and implications. Journal of Business Ethics, 98, 455-466. Wei, Z., Varela, O. (2003). State equity ownership and firm market performance: evidence from China's newly privatized firms. Global Finance Journal, 14, 65–82. Widiana, D. (2012). Analisis Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Jenis Industri terhadap Tingkat Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010). Skripsi. Universitas Indonesia. Xu, X., Wang, Y. (1999). Ownership structure and corporate governance in Chinese stock companies. China Economic Review, 10, 75-98 Lampiran Lampiran 1 Kriteria Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial menurut Ghazali (2007) dalam Khan et al. (2013) Kriteria Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial menurut Ghazali (2007) dalam Khan et al. (2013) I KETERLIBATAN DENGAN KOMUNITAS 1 Donasi untuk amal 2 Sponsor dan iklan 3 Kegiatan untuk komunitas (kesehatan dan pendidikan) II LINGKUNGAN 1 Kebijakan lingkungan III INFORMASI TENTANG SUMBER DAYA MANUSIA 1 Jumlah karyawan 2 Hubungan karyawan 3 Kesejahteraan karyawan 4 Pendidikan karyawan 5 Pelatihan dan pengembangan keterampilan karyawan 6 Pembagian keuntungan dengan karyawan 7 Remunerasi manajemen 8 Kesehatan dan keselamatan kerja 9 Pekerja di bawah umur dan hal-hal terkait IV INFORMASI PRODUK DAN JASA 1 Jenis-jenis produk 2 Pengembangan dan riset produk 3 Kualitas dan keselamatan produk 4 Pembahasan jaringan pemasaran 5 Fokus kepada kepuasan dan pelayanan pelanggan 6 Penghargaan yang diterima V INFORMASI TAMBAHAN 1 Penjelasan lain-lain Analisis pengaruh..., Seraphine Nathania, FE UI, 2014