Dampak kandungan logam berat terhadap

advertisement
138
PEMBAHASAN UMUM
Penelitian tentang kandungan logam berat dalam perairan dan kemunculan
polimorfisme tulang sirip keras ikan Badukang, ikan Sembilang di muara Sungai Kahayan
serta Katingan dengan latar belakang kegiatan pertambangan, kebakaran hutan dan
gambut, pengawetan kayu, pertanian, perkebunan dan pemukiman yang disinyalir
berdampak negatif terhadap perairan muara sungai. Hal ini dilakukan pengajian secara
komprehensif dalam penelitian ini. Hasil pendekatan pertama adalah mengevaluasi sifat
fisik perairan yang mengindikasikan bahwa ada peningkatan kandungan total padatan
tersuspensi dan pendangkalan muara sungai. Sepintas perubahan yang terjadi hanya pada
beberapa parameter sifat fisik perairan, sedangkan nilai parameter sifat kimia air dapat
dikatakan masih dibawah ambang batas baku mutu air laut yang ditetapkan pemerintah,
keculai potensial redusk dalam sedimen. Kelimpahan individu dan Komposisi genus fitozooplankton di muara Sungai Kahayan dan Katingan relatif tinggi dibandingkan
makrobentos. Keanekaragaman relatif tinggi dengan penyebaran merata dan tidak
didominasi individu genus Coscinodiscus dan Biddulphia (fitoplankton); Tintinnopsis dan
Hexacontiu (Zooplankton); Nereis, Lineus, Tubulanus dan Mysella (makrobentos).
Perubahan kandungan padatan tersuspensi total dan suhu dapat dikatakan tidak
mempengaruhi berpengaruh terhadap struktur komunitas fito-zoopankton, kecuali
kelimpahan dan komposisi makrobentos. Hasil kajian parameter sifat fisik dan kimia secara
sepintas bahwa hilangnya areal hutan dan penggunaan logam berat dalam kegiatan
pertambangan emas tradisional hanya sekedar merubah sifat fisik. Hasil pengukuran sifat
kimia tidak menunjukkan perubahan sifat kimia perairan, kecuali reduks dalam sedimen
dan pH, kecuali kandungan logam berat. Berdasar fakta yang ada bahwa tingginya
kandungan total padatan tersuspensi berkaitan dengan erosi dari wilayah hutan yang
terbakar, lahan pertanian, perkembunan, pertambangan dan pemukiman. Hasil kajian
pertama mendorong dilakukannya kajian yang lebih spesifik terhadap kandungan logam
berat dalam air laut, sedimen, plankton, polichaeta dan organ tubuh ikan sebagai pokok
kajian kedua.
139
Hasil kajian kedua menunjukkan bahwa air laut, sedimen, plankton, polichaeta,
organ ikan di muara Sungai Kahayan dan Katingan terpapar Hg, Cd serta Pb. Data
demikian sangat mungkin merupakan konsekuensi logis dari adanya erosi di wilayah bekas
kebakaran hutan dan gambut, lahan pertanian, perkebunan, pemukiman serta penggunaan
water canon (water gun) dalam kegiatan penambangan emas tradisional. Aliran air hujan
dan water canon yang digunakan dalam penambangan emas menyebabkan logam berat
dalam partikel tanah tercuci. Bumi Kalimantan Tengah di wilayah hulu mengandung bahan
tambang timah hitam (Pb) dan cadmium (Cd) (Kalimantan Tengah Mining 2010). Bila benar
bahwa sumber pencemaran logam berat berasal dari hasil erosi dan kebakaran hutan serta
gambut, maka dapat dikatakan bahwa hingga saat kini fenomena ini terlepas dari
perhatian. Kebakaran hutan dan gambut, penebangan hutan yang tidak terkendali
menyebabkan hilangnya tanaman penyangga (vegetasi). Erosi karena hilangnya tanaman
penyangga dapat mendatangkan bencana banjir dan longsor di wilayah hulu. Erosi
menyebabkan logam berat yang terkandung dalam tanah larut dan terangkut aliran air
hujan ke perairan sungai hingga muara. Kandungan logam berat di perairan muara Sungai
Kahayan dan Katingan (lokasi penelitian) semakin meningkat karena adanya penggunaan
logam berat dalam kegiatan penambangan emas. Limbah logam berat yang digunakan
oleh penambang emas langsung dibuang ke sungai. Kondisi demikian menyebabkan air
sungai hingga muara terpapar logam berat. Sebagaimana diketahui suhu dan hujan tropis
berperan penting dalam mempercepat pelarutan, pelapukan batuan dan mobilitas logam
berat ke muara sungai (estuaria). Kondisi demikian dengan jelas tergambarkan dalam
kandungan logam berat dan padatan tersuspensi total dalam peneitian ini.
Akumulasi logam berat pada hati, ginjal, insang, kulit, tulang keras sirip dada dan
punggung sangat dimungkinkan terkait dengan keberadaan gugus metallotionien (sulfhidril
–SH) dan amina (nitrogen –NH) yang dapat mengikat Hg, Cd dan Pb secara kovalen.
Tingginya akumulasi logam berat yang ditemukan dalam organ tubuh ikan Badukang dan
Sembilang berukuran kecil yang dievaluasi sangat mungkin terkait dengan belum berfungsi
optimum organ ekskresi dan filtasi serta tidak mampunya ikan bermigrasi ke perairan lain
yang tidak tercemar logam berat. Faktor lain yang sangat mungkin terkait dengan tingginya
akumulasi logam berat dalam organ tubuh ikan berukuran kecil adalah tidak adanya sensor
pada ikan untuk mendeteksi logam berat di dalam air laut dan organisme makanan.
140
Plankton dan makrobentos merupakan biota laut yang paling menderita akibat tingginya
kandungan logam berat dalam air laut dan sedimen. Hal ini terjadi karena biota laut
tersebut tidak dapat bermigrasi ke perairan lain yang tidak tercemar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat dalam plankton lebih
tinggi dibandingkan dengan organ tubuh ikan. Hal ini terjadi karena permukaan tubuh
plankton yang merupakan pintu masuk logam berat lebih luas dibandingkan organ
polichaeta dan organ tubuh ikan. Semakin kecil ukuran plankton, maka luas permukaan
tubuhnya semakin besar. Hal ini memungkinan logam berat terakumulasi dalam jumlah
lebih besar di dalam plankton, sehingga kandungan logam berat dalam plankton lebih tinggi
dibandingkan polichaeta dan organ tubuh ikan. Polichaeta salah satu hewan laut yang
mengandung logam berat paling rendah. Sementara sedimen yang merupakan habitat
polichaeta mengandung logam berat paling tinggi. Hal demikian terjadi karena kulit luar
hewan terdiri dari kutikola (citin), sehingga logam berat sulit sekali menembus jaringan kulit
hewan tersebut. Policaheta juga sangat efisien dalam penggunaan oksigen, sehingga
logam berat sedikit terakumulasi dalam jaringan kulit. Polichaeta lebih toleran terhadap
sedimen dalam kondisi anaerobik. Kondisi demikian menyebabkan polichaeta mampu
hidup di dalam sedimen muara sungai. Hasil analisis regresi dan korelasi menunjukan
bahwa kandungan logam berat dalam polichaeta berhubungan linier positif dengan logam
berat yang terkandung di dalam sedimen dan kandungan logam berat meningkat secara
signifikan (P<0.05). Hasil analisis regresi dan korelasi kandungan logam berat dalam
sedimen, plankton dan tulang sirip keras ikan berhubungan linier positif dengan logam
berat yang terkandung dalam air laut dan kandungan logam berat meningkat secara
signifikan (P<0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan logam berat dalam
plankton, polichaeta dan tulang sirip keras ikan berkaitan erat dengan logam berat yang
terkandung dalam air laut dan sedimen.
Kandungan logam berat dalam tulang sirip keras ikan berkaitan dengan akumulasi
logam berat dalam sel lamela insang. Kegiatan sel lamela insang berperan penting dalam
menyerap oksigen dan logam berat dalam air laut. Tingginya kelarutan logam berat dalam
air laut menyebabkan logam berat cepat diserap sel lamela insang. Kegiatan mikroba
anaerobik di dalam sedimen menyebabkan logam berat mengalami metilasi (-SH3) dan
terangkat ke dalam badan air bersama dengan sirkulasi air interstisial. Metil logam berat
141
memiliki tingkat kelarutan tinggi dalam air laut dan jaringan organ tubuh biota laut. Hal ini
menyebabkan hubungan kandungan logam berat dengan air laut linier dan terakumulasi
secara signifikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa organ tubuh polichaeta hanya
memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat dalam sedimen sangat rendah,
sedangkan organ tubuh ikan memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat dalam air
laut lebih tinggi dibandingkan polichaeta. Berdasarkan waktu logam berat terpapar dalam
plankton jauh lebih pendek dibandingkan polichaeta dan organ tubuh ikan. Hal ini
menunjukkan bahwa plankton mengakumulasi logam berat lebih tinggi dibandingkan
polichaeta dan organ tubuh ikan. Akumulasi logam berat secara berkelanjutan
menyebabkan kandungan logam berat dalam plankton, policaheta dan organ tubuh ikan
meningkat melebihi yang terkandung dalam habitatnya. Hasil demikian selaras dengan
yang dikemukakan oleh Carroll dan Voltaire (1989), metil logam berat memiliki tingkat
kelarutan paling tinggi dalam air laut, jaringan organ tubuh ikan dan biota laut lainnya.
Lebih dari itu, suhu dan salinitas berperan penting dalam proses penetrasi logam berat
dalam organ tubuh ikan. Suhu air di wilayah tropis berpengaruh terhadap kegiatan kimia didalam air dan organ tubuh biota laut, sedangkan salinitas lebih berpengaruh terhadap
proses difusi logam berat ke dalam sel jaringan biota laut. Semua jaringan organ biota laut
mengandung gugus nitrogen serta sulfur (Cowan 1993; Eisler 2006; Manahan 2003). Unsur
kimia tersebut sangat reaktif dengan logam berat. Menurut Konovalov (1994), Hg dan Cd
termasuk logam paling reaktif dan akumulatif dengan gugus sulfur, sedangkan Pb paling
reaktif dan akumulatif dengan gugus nitrogen. Kondisi tersebut menyebabkan jaringan
organ tubuh ikan tertentu mengandung logam berat paling tinggi. Di duga sebaran gugus
sulfur dan nitrogen yang reaktif dalam organ tubuh ikan tidak tersebar merata. Menurut
teori asam basa Lewis bahwa logam berat basa lemah hanya berikatan asam lemah. Hg
dan Cd termasuk basa kuat dan cenderung berikatan sangat kuat dengan asam lemah
yang mengandung gugus sulfur (R-SH, R2-S, S2O3-2) dan nitrogen (-CN-), sedangkan Pb
termasuk basa menengah (moderate) dan cenderung berikatan dengan asam menengah
yang mengandung gugus nitrogen (-NH) (Cowan 1993; Pin et al. 1988). Hal itu
menunjukkan bahwa semua gugus sulfur dan nitogen yang terkandungan dalam sel hati,
ginjal, insang, otot dan tulang sirip keras ikan Badukang serta Sembilang mengakumulasi
Hg, Cd dan Pb.
142
Hasil pengukuran kandungan logam berat dalam sedimen muara Sungai Kahayan
dan Katingan lebih tinggi dibandingkan air laut. Gugus sulfur dan nitrogen yang terkandung
dalam partikel permukaan sedimen mengikat logam berat dalam air laut sangat tinggi.
Sedimen juga mengandung senyawa humik dan fulvik yang mengandung gugus sulfur dan
nitrogen yang dapat mengikat Hg, Cd dan Pb dalam air laut. Selain itu, partikel tersuspensi
dalam air laut mengikat logam berat dalam air laut. Partikel padatan tersuspensi
mengendap di permukaan sedimen, sehingga kandungan logam berat dalam sedimen jauh
lebih tinggi dibandingkan air laut. Logam berat yang terakumulasi dalam sedimen dapat
terlepas ke dalam air laut. Hal ini sangat mungkin terkait dengan proses metilasi logam
berat karena kegiatan mikroba anaerobik dalam sedimen. Proses metilasi logam berat
dalam sedimen berperan dalam seleksi alam yang menyebabkan kemunculan polimorfisme
pada tulang sirip keras ikan (abnormal). Secara rinci Carroll dan Voltaire (1989)
melaporkan bahwa kegiatan mikroba Neurospora crassa (Hg), Pseudomonas (Pb, Cd),
Acinetobacter (Pb), Flvobacterium dan Aeromonas (Pb) menyebabkan logam berat
termetilasi. Metil logam berat larut dalam air pori-pori sedimen dan terlepas ke air laut
melalui sirkulasi air interstisial. Selain itu, kulit dan saluran pencernaan polichaeta
membujur sepanjang tubuhnya berperan penting dalam menghambat Hg, Cd dan Pb
terakumulasi dalam tubuhnya. Kondisi demikian menyebabkan kelimpahan individu dan
komposisi genus polichaeta dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan crustacea dan
makrobentos lainnya, sedangkan kelimpahan dan komposisi individu genus crustacea lebih
dominan dibandingkan kelompok genus makrobentos lainnya.
Polichaeta di wilayah ini di duga memiliki kemampuan beradaptasi dan toleransi
optimum lebih tinggi dibandingkan polichaeta yang hidup laut bebas. Biota laut yang
memiliki daya adaptasi dan toleransi optimum lebih rendah akan tergusur dari sedimen
muara sungai. Kandungan logam berat dan faktor lingkungan yang selalu berubah-ubah
di muara sungai menyebabkan makrobentos yang tidak toleran tertekan (stress). Hal ini
mungkin terkait dengan tidak ditemukannya kelompok makrobentos lainnya, karena tidak
mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan muara sungai yang berubah setiap saat.
Organ tubuh ikan, plankton, polichaeta mengandung sekitar 70% air. Hal tersebut
menunjukkan bahwa organ tubuh biota air laut yang memerlukan air dari lingkungan
habitatnya. Kondisi demikian menunjukkan bahwa air berperan penting dalam proses
143
biotranspormasi dan biokonsentrasi logam berat dari air laut ke dalam jaringan organ tubuh
ikan. Logam berat dalam makanan ikan tanpa air tidak dapat diserap dan diakumulasi oleh
sel organ tubuh ikan. Penyerapan oksigen dan logam berat dalam air oleh sel lamela
insang ikan serta penyebaran logam berat oleh seluruh jaringan organ tubuh ikan tidak
terlepas dari peran air. Kegiatan lamela insang menyerap oksigen dalam air terjadi secara
berkelanjutan. Hal ini menyebabkan logam berat dalam air terserap dan terakumulasi
secara terus menerus. Air laut merupakan pelarut paling baik dan dominan dipermukaan
bumi. Hal itu menyebabkan logam berat menyusup jauh ke dalam seluruh jaringan organ
tubuh ikan dan biota laut lainnya. Air laut merupakan tempat penyimpanan sementara
logam berat, sebelum diserap dan diakumulasi oleh permukaan sedimen dan biota laut. Hal
ini menunjukkan bahwa air yang terkandung dalam sel darah berperan penting dalam
proses akumulasi logam berat dalam jaringan sel hati, ginjal, insang, otot dan tulang sirip
keras ikan. Logam berat dalam air laut dapat menyusup ke dalam jaringan organ tubuh ikan
dan biota laut lainnya dengan cara difusi. Kondisi demikian menunjukkan bahwa logam
berat dalam air laut dapat terserap melalui selaput sel kulit dan organ tubuh ikan lainnya.
Kajian ketiga menunjukkan bahwa sel jaringan hati, ginjal, insang dan otot cenderung
mengakumulasi logam berat tertentu yang lebih dominan. Namun sel jaringan organ tubuh
ikan dapat mengakumulasi Hg, Cd dan Pb dalam jaringan tubuh ikan tertentu dan
membentuk senyawa kompleks Hg, Cd dan Pb. Pengaruh sinergis Hg, Cd dan Pb yang
terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan dapat meningkat jauh lebih tinggi dari pengaruh
setiap logam. Kondisi demikian berpengaruh terhadap morfologi sel jaringan organ lokal
dan fenotip. Hasil penelitian kandungan logam berat dalam organ hati, ginjal, insang ikan
Badukang dan Sembilang morfologi tulang sirip keras abnormal di muara Sungai Kahayan
serta Katingan tidak jauh berbeda dibandingkan ikan normal. Kemampuan jaringan organ
hati, ginjal, insang dan tulang sirip keras ikan morfologi abnormal mengakumulasi logam
berat dalam air laut tidak jauh berbeda dibandingkan ikan normal. Namun sel jaringan
organ tubuh ikan memiliki pola mengakumulasi Hg, Cd dan Pb yang berbeda. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa otot ikan tidak mengadung logam berat, kecuali di sekitar
pembuluh darah, jaringan ikat dan sel darah.
Kajian keempat menunjukan bahwa organ tubuh ikan mengakumulasi Pb dengan
pola sebaran akumulasi bergerombol dan acak, sedangkan pola akumulasi Cd dan Hg
144
tersebar acak. Organ tubuh ikan memiliki kemampuan mengikat Hg, Cd, Pb dan
membentuk senyawa kompleks organometal. Akumulasi logam berat yang bergerombol
dalam tulang sirip keras ikan morfologi abnormal cenderung lebih dominan dibandingkan
ikan normal. Akumulasi logam berat dalam organ tubuh ikan menyebabkan nekrosis, lisis
dan aurtrofi serta hipetrofi. Lisis, aurtrofi dan hipertrofi merupakan gejala awal nekrosis.
Nekrosis berpengaruh terhadap perkembangan morfologi sel jaringan organ tubuh ikan.
Perubahan struktur dalam organ tubuh ikan morfologi abnormal lebih tinggi dibandingkan
ikan normal. Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi dalam tulang sirip keras ikan morfologi
abnormal cenderung bergerombol membentuk senyawa kompleks organometal. Akumulasi
logam berat dalam tulang sirip keras abnormal cenderung tersebar bergerombol di jaringan
tulang bagian tertentu. Kondisi demikian menyebabkan kemunculan polimorfisme.
Akumulasi logam berat dalam tulang sirip keras ikan morfologi normal tersebar dalam
dinding pembuluh darah dan sekitarnya. Akumulasi logam berat dalam organ tulang sirip
keras ikan pada morfologi abnormal diikuti dengan perubahan struktur mikroskopis,
sehingga tidak ditemukan lingkaran dalam tulang sirip keras ikan sebagaimana yang
ditemukan pada ikan normal. Jika lingkaran dalam tulang sirip keras ikan morfologi
abnormal ada, namun lingkaran dalam tulang abnormal. Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi
dalam jaringan tulang sirip keras ikan menghambat penyerapan mineral essensial, zat
makanan dan vitamin yang diperlukan sel tulang. Hal ini menyebabkan perkembangan
jaringan dalam tulang sirip keras ikan terganggu. Kondisi demikian merupakan karakteristik
jaringan dalam tulang keras ikan morfologi abnormal. Hal ini menunjukkan bahwa logam
berat yang terakumulasi bergerombol dalam jaringan tulang sirip keras ikan menyebabkan
kemunculan polimorfisme.
Mekanisme kemunculan polimorfisme sangat mungkin terkait dengan terhambatnya
pengiriman hormon, mineral essensial dan zat makanan oleh adanya akumulasi logam
berat dalam dinding pembuluh darah dan sel dilokasi logam berat terakumulasi. Terhambat
pengiriman hormon, mineral essensial dan zat makanan yang diperlukan dalam
pembentukan struktur tulang tidak mencukupi. Kondisi demikian memicu perubahan
morfologi sel jaringan pada lokasi logam berat terakumulasi abnormal. Menurut Darmono
(2001) dan Hodgson dan Levi (2000), logam berat memiliki kemampuan menyingkirkan
kalsium (Ca) dan mensubtitusi kofaktor enzim seng (Zn), sedangkan menurut Granner
145
(2003), morfologi abnormal terjadi karena penyerapan hormon, mineral Ca, Zn, P dan
vitamin ke dalam tulang terganggu. Selanjutnya dikatakan bahwa tulang yang kekurangan
mineral dan zat makanan menyebabkan kegiatan enzim dan metabolisme terganggu. Hal
ini memicu gangguan fisiologi dan morfologi tulang sirip keras ikan
Variasi polimorfisme yang ditemukan dengan karakteristik morfologi tulang sirip keras
bengkok tidak beraturan, sebagian tulang sirip keras mengecil dan membesar secara tidak
beraturan, muncul benjolan pada tulang sirip keras ikan, tulang menipis dan mengecil,
gerigi pada tulang sirip keras tidak tumbuh dan jika tumbuh tidak beraturan, tulang sirip
keras berlobang, ujung tulang sirip rapuh dan mudah patah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa komposisi kandungan logam berat dalam organ tubuh ikan dengan perbandingan
95% Pb, 3.0% Cd dan 2.0% Hg. Menurut Kennish (1992), afinitas 0.1 µg/l Hg (0.97%)
lebih tinggi dari 0.2 µg/l Cd (1.94%) dan 10 µg/l Pb (97.08%). Hasil analisis faktor
biokonsentrasi (BCF) menunjukkan bahwa kemampuan organ tubuh ikan mengakumulasi
Hg dalam air laut lebih tinggi dibandingkan Cd dan Pb. Hasil penelitian membuktikan
bahwa kemampuan organ tulang sirip keras ikan morfologis abnormal mengakumulasi Hg
air laut cendrung lebih tinggi dibandingkan ikan normal. Hal ini menunjukkan bahwa Hg
berpengaruh terhadap perubahan diberbagai jaringan dalam tulang sirip keras ikan dan
polimorfisme. Pengaruh sinergis Hg, Cd dan Pb yang terakumulasi dalam tulang sirip
keras ikan memicu kemunculan polimorfisme. Akumulasi logam berat dalam organ tubuh
ikan berukuran kecil sangat signifikan pada periode pertumbuhan cepat. Kemunculan
polimorfisme ikan dewasa sangat kecil kemungkinan terjadi. Hal ini terjadi karena
perkembangan dan pertumbuhan sel jaringan tulang sirip keras ikan sangat lambat.
Pendekatan demikian selaras dengan hasil penelitian kandungan logam berat dalam organ
tubuh ikan yang menunjukkan bahwa kandungan logam berat dalam organ tubuh ikan
berukuran kecil (ikan muda) lebih tinggi dibandingkan ikan berukuran sedang dan besar
(ikan dewasa). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan berukuran kecil mengakumulasi logam berat dalam air laut lebih tinggi dibandingkan ikan berukuran sedang.
Pengaruh akumulasi logam berat dalam organ tubuh ikan muda paling nyata dibandingkan
dengan ikan dewasa. Kondisi demikian sangat mungkin terkait dengan kemampuan organ
ekskresi dan detoksifikasi yang masih rendah.
Download