bioremediasi tanah tercemar diazinon secara ex

advertisement
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR DIAZINON
SECARA EX SITU DENGAN MENGGUNAKAN
KOMPOS LIMBAH MEDIA JAMUR
(SPENT MUSHROOM COMPOST)
JUMBRIAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Bioremediasi Tanah Tercemar
Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur
(Spent Mushroom Compost) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2006
Jumbriah
NIM F351030251
ABSTRAK
JUMBRIAH. Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan
Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost).
Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI dan M. AHKAM
SUBROTO.
Pestisida merupakan senyawa asing (xenobiotik) dan sulit terdegradasi pada
kondisi tertentu (rekalsitran) sehingga perlu penanganan yang serius agar tidak
membawa dampak negatif bagi lingkungan dan manusia. Salah satu metode yang
dapat dilakukan yaitu dengan teknik bioremediasi menggunakan spent mushroom
compost (SMC). Tanah dicemari diazinon dengan konsentrasi 500 ppm,1000 ppm,
dan 1500 ppm kemudian ditambahkan SMC sebanyak 10%, 20%, dan 30% lalu
diinkubasi selama 28 hari. Penurunan konsentrasi diazinon diukur setiap minggu
dengan cara mengestraksi sampel dengan etil asetat dan dianalisis dengan
spektrofotometer. Pengolahan data menggunakan metoda respon permukaan
(RSM).
Dari hasil analisis diperoleh pada hari ke-14 titik maksimum penurunan
konsentrasi diazinon mencapai 88.1% pada perlakuan kombinasi jumlah kompos
30% dan konsentrasi diazinon 1000 ppm. Pada hari ke-21 penurunan konsentrasi
diazinon mencapai 91.8% pada perlakuan kombinasi jumlah kompos 25% dan
konsentrasi diazinon 1000 ppm. Pada hari ke-28 penurunan konsentrasi diazinon
sebesar 97.5% pada perlakuan kombinasi jumlah kompos 26% dan konsentrasi
diazinon 1000 ppm. Proses degradasi diazinon yang efektif dapat dilakukan
selama 21 hari dengan penambahan kompos pada tanah sebesar 15-30% pada
konsentrasi diazinon 1000 ppm.
Beberapa jenis bakteri telah diisolasi dari SMC antara lain Bacillus
mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis, Pseudomonas stutzeri, dan
Chromobacterium spp. Bakteri tersebut mampu tumbuh pada media padat yang
mengandung diazinon hingga 500 ppm kecuali Bacillus brevis. Kemampuan
bakteri mendegradasi diazinon dicirikan dengan pembentukan zona jernih di
sekeliling koloni yang ditumbuhkan pada media padat mineral salt peptone yeast
(MSPY) yang mengandung diazinon. Bacillus cereus mampu mendegradasi
diazinon sampai 1700 ppm.
ABSTRACT
JUMBRIAH. Ex Situ Bioremediation of Diazinon Contaminated Soil by Using
Spent Mushroom Compost. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI,
MOH. YANI dan M. AHKAM SUBROTO.
Pesticide is a xenobiotic compound and rexalcytran which should be
handled seriously in order to prevent human and environment from those negative
effects. One of the methods which can be utilized is bioremediation technique
which is utilizing fresh spent mushroom compost (SMC). The diazinon
contaminated soil whith the concentration of 500 ppm, 1000 ppm and1500 ppm,
was added with SMC of 10%, 20% and 30%, then incubated for 28 days. The
reduction of diazinon concentrate was analyzed every week through extracted
sample with etyl acetat and measured by spectrophotometer. The data processing
was conducted by using respon surface method (RSM).
Based on this analysis, the maximum point of diazinon concentrate
reduction was 88% with the treatment of combination of 30% compost and 1000
ppm diazinon, it was obatined on the 14th. On the 21st day the diazinon
concentration reduction was 91.8%. It was the result from combination of 25%
compost and 1000 ppm diazinon. On 28th day, the diazinon concentration
reduction was 97.5%, result from the treatment of 26% compost and 1000 ppm
diazinon. The diazinon degradation process can be effectively ferformed by
adding 15-30% compost, with 1000 ppm of diazinon within 21 days incubation.
Some of bacteria have been isolated from SMC. that were, Bacillus
mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis, Pseudomonas stutzeri, dan
Chromobacterium spp. Those bacteria were able to growth in solid medium which
contains diazinon up to 500 ppm, except Bacillus brevis. The ability of bacteria to
degrade diazinon based on their properties is forming a clear zone around the
colony which is growth in solid medium of mineral salt peptone yeast (MSPY).
Apparently, it is only Bacillus cereus is able to degrade diazinon up to 1700 ppm.
© Hak cipta milik Jumbriah, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR DIAZINON
SECARA EX SITU DENGAN MENGGUNAKAN
KOMPOS LIMBAH MEDIA JAMUR
(SPENT MUSHROOM COMPOST)
JUMBRIAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Tesis
: Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon Secara Ex Situ
dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur
(Spent Mushroom Compost)
Nama
: Jumbriah
NIM
: F351030251
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua
Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng
Anggota
Dr. Ir. M. Ahkam S, M.App.Sc.APU
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Tanggal Ujian: 16 Februari 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus:
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung
dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan.
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun
anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan tidak
bercabang, disirami dengan air yang sama.
Kami melebihkan sebahagian tanaman-tanaman itu atas sebahagian yang lain
tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Ra’d (13): 13-14)
Kupersembahkan buat
Ayah dan Ibu yang tercinta
Yang telah membesarkan & mendidik
Dengan penuh pengorbanan yang tak ternilai
PRAKATA
Bismillahirrahmaanirrahim. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT karena dengan taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini yang dilaksanakan pada bulan April-Oktober 2005 di Laboratorium
Bioproses IV Puslit Biotek-LIPI Cibinong dengan judul: Bioremediasi Tanah
Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media
Jamur (Spent Mushroom Compost).
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti selaku ketua Komisi
Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng dan Bapak Dr. Ir. M. Ahkam
Subroto, M.App.Sc.,APU selaku anggota komisi pembimbing yang banyak
memberi bimbingan, arahan, perhatian, dan masukan selama penulis melakukan
penelitian dan penyusunan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada Ibu Atit Kanti, MSc selaku koordinator Laboratorium
Taksonomi LIPI-Bogor yang banyak membantu dan memberikan bimbingan
mengenai identifikasi bakteri.
Ungkapan terima kasih yang tulus dan ikhlas disampaikan kepada ayah dan
ibu serta adik-adikku atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga
kepada rekan-rekan mahasiswa TIP khususnya angkatan tahun 2003 yang banyak
membantu dan memberi dorongan serta motivasi. Kepada rekan-rekan di
Laboratorium Bioproses IV Bioteknologi LIPI-Cibinong yang banyak membantu
selama melakukan penelitian ini penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Bapak koordinator
Proyek Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Melalui Sistem Bioremediasi
(RUT: 01.6401) tahun anggaran 2005 atas pendanaan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Kepada semua pihak yang telah membantu secara moril maupun materil,
penulis menyampaikan terima kasih, semoga Allah SWT memberikan pahala
yang setimpal. Amin.
Bogor, Februari 2006
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bone pada tanggal 1 September 1968 dari ayah H.
Lade Tellana dan ibu Hj. Nabang D. Penulis merupakan putri pertama dari empat
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia Makassar dan lulus pada tahun
1994. Pada tahun 2003, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan
pascasarjana di Program Studi Toknologi Industri Pertanian, Sekolan Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Penulis bekerja sebagai dosen yayasan di Universitas Lakidende dan
karyawan di PT. Teknik Optimasi Prima (TOP) Consultant-Kendari.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Permasalahan ..................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
1.4. Hipotesis.............................................................................................. 4
1.5. Ruang Lingkup .................................................................................... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pestisida .............................................................................................. 5
2.2. Diazinon ............................................................................................. 8
2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi .......................................................... 11
2.4. Degradasi Residu Pestisida Diazinon ................................................. 14
2.5. Kompos ............................................................................................... 19
2.6. Bioremediasi Menggunakan Kompos ................................................. 20
2.7. Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost).............. 21
3. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 24
3.2. Alat dan Bahan .................................................................................... 24
3.2.1. Alat .......................................................................................... 24
3.2.2. Bahan ...................................................................................... 24
3.3. Pengambilan Sampel untuk Perlakuan ................................................ 25
3.4. Desain Penelitian................................................................................. 25
3.4.1. Penelitian Tahap I ................................................................... 25
3.3.3. Penelitian Tahap II .................................................................. 25
3.5. Proses Biodegradasi Diazinon ............................................................ 26
3.6. Analisis Kadar Diazinon ..................................................................... 27
3.6.1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ............................................. 27
3.6.2. Spektrofotometer UV-VIS ....................................................... 28
3.7. Isolasi Mikroba dan Identifikasi ......................................................... 28
3.7.1. Pembuatan Media .................................................................... 28
3.7.1.1. Potato Dextrose Agar (PDA) .................................... 28
3.7.1.2. Nutrien Agar (NA) .................................................... 29
3.7.2. Isolasi Mikroba (Bakteri dan Kapang) .................................... 29
3.7.3. Pewarnaan Bakteri .................................................................. 31
3.7.4. Determinasi dan Identifikasi ................................................... 33
3.7.5. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon ..................................... 37
3.7.5.1. Pembuatan Media NA Adaptasi ................................ 38
3.7.5.2. Pembuatan Media MSPY .......................................... 38
3.8. Analisis Aktivitas Mikroba dengan Fuorescein
Diacetate (FDA) Assay ....................................................................... 39
3.9. Rancangan Percobaan ......................................................................... 40
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Diazinon ................................................................................ 42
4.1.1. Analisis Degradasi Diazinon dengan KLT ............................. 42
4.1.2. Analisis Penurunan Konsentrasi Diazinon
dengan Spektrofotometer ........................................................ 43
4.2. Isolasi dan Identifikasi Bakteri dari SMC ........................................... 58
4.3. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon ................................................ 60
4.4. Komposting ......................................................................................... 62
4.5. Uji Aktivitas Mikroba ......................................................................... 66
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 70
LAMPIRAN ..................................................................................................... 75
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Penemuan toksikologi dan evaluasi pada insektisida tertentu .................... 10
2. Karakteristik kompos limbah media jamur ................................................ 22
3. Komposisi kompos limbah media jamur ................................................... 23
4. Kisaran dan taraf peubah uji pada optimasi bioremediasi ......................... 40
5. Matriks satuan percobaan ........................................................................... 41
6. Jumlah populasi, aktivitas mikroba dan degradasi diazinon .................... 52
7. Pembentukan zona jernih oleh Bacillus cereus.......................................... 62
8. Hasil analisis unsur hara SMC yang digunakan......................................... 63
9. Hasil analisis unsur hara pada sampel (tanah + kompos) .......................... 64
10. Standar kualitas unsur makro kompos berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI-19-7030-2004) ................................................................. 65
11. Bebarapa data degradasi diazinon ............................................................ 66
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Rumus bangun diazinon .............................................................................. 9
2. Produk-produk degradasi diazinon ............................................................. 17
3. Diagram tahapan penelitian ........................................................................ 26
4. Tahapan isolasi dan identifikasi bakteri ...................................................... 37
5. Kromatogram hasil KLT ............................................................................. 42
6. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-7 .................... 44
7. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-7 .............................. 45
8. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-14 .................. 47
9. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-14 ........................... 48
10. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-21 ................. 49
11. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-21 ........................... 50
12. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-28 ............................ 51
13. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-28 .......................... 52
14. Kurva jumlah populasi dan aktivitas mikroba ......................................... 53
15. Grafik interaksi tiga faktor terhadap hasil degradasi diazinon.................. 56
16. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon dengan tiga faktor .............. 57
17. Grafik interaksi ratio kompos dengan waktu terhadap
aktivitas mikroba ..................................................................................... 58
18. Bentuk bakteri hasil identifikasi ............................................................... 59
19. Pertumbuhan bakteri pada media NA padat 100 ppm diazinon ................ 60
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data pengamatan analisis diazinon dan kurva standar .............................. 76
2. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-7 ................................................. 78
3. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-14 ............................................... 79
4. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-21 .............................................. 80
5. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-28 .............................................. 81
6. Hasil analisis degradasi diazinon kombinasi waktu, rasio kompos, dan
konsentrasi diazinon .................................................................................. 82
7. Deskripsi hasil identifikasi bakteri ............................................................. 83
8. Analisis aktivitas mikroba dan kurva standar .......................................... 87
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pestisida sering juga disebut obat-obatan antiparasit atau bahan fitofarmasi
yang mempunyai peranan penting dalam usaha peningkatan produksi pertanian.
Penggunaan pestisida pada sektor pertanian di satu sisi akan memberi hal yang
positif yaitu dapat meningkatkan produksi tanaman. Namun di sisi lain akan
menimbulkan dampak negatif karena adanya sejumlah residu pestisida yang
tertinggal pada tanaman, biji-bijian, tanah ataupun terbawa dalam perairan.
Residu pestisida yang tertinggal tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, tetapi
juga berbahaya bagi kesehatan manusia. Secara langsung ataupun tidak langsung
sejumlah bahan kimia tersebut dapat mencapai manusia, melalui pernapasan,
makanan dan air minum. Dampak negatif lain yang ditimbulkan adalah masalah
keracunan yang terjadi lebih dari 400 ribu kasus pertahun, pencemaran lingkungan
yang mencakup kontaminasi terhadap tanah, air permukaan, air tanah, dan udara
(www.tempo.co.id/medika).
Permasalahan dalam pendegradasian pestisida adalah adanya senyawasenyawa pestisida yang kuat menetap di lingkungan dan sulit terdegradasi
(rekalsitran) oleh mikroorganisme. Hal ini disebabkan mikroorganisme perombak
tidak pernah berhubungan dengan senyawa tersebut sehingga mikroorganisme
perombak belum berpengalaman dalam perombakan senyawa-senyawa yang
belum dikenal sebelumnya, karena tidak memiliki enzim yang dibutuhkan untuk
mendegradasi senyawa-senyawa rekalsitran ataupun bahan pencemar tersebut.
Melalui proses kimia, biokimia dan fisika, maka lambat laun mikroorganismemikroorganisme tersebut dapat beradaptasi dan melakukan perombakan. Dalam
proses adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim dan plasmid yang dibutuhkan untuk
mendegradasi senyawa rekalsitran (Gumbira-Said dan Fauzi, 1996).
Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil
dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida. Usaha tersebut dapat
dilakukan dengan menerapkan pola pengendalian hama terpadu, mengembangkan
teknologi mikroorganisme efektif, dan menggunakan pestisida yang berasal dari
tanaman atau pestisida nabati. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi saat ini telah banyak teknologi alternatif untuk mengatasi dan
memperbaiki kondisi lingkungan yang telah terkena polutan. Salah satunya yakni
dengan berkembangnya teknik bioremediasi baik secara in situ maupun secara ex
situ. Di negara-negara barat saat ini telah dikembangkan teknik bioremediasi
dengan menggunakan kompos (compost bioremediation). Teknik bioremediasi ini
banyak diminati karena lebih praktis dan ekonomis dibanding dengan teknik
bioremediasi lainnya (US-EPA, 1997; 1998). Penggunaan kompos dalam proses
bioremediasi efektif dalam mendegradasi banyak jenis kontaminan seperti
hidrokarbon terklorinasi dan tak terklorinasi, bahan-bahan kimia pengawet kayu,
pelarut, logam berat, pestisida, produk-produk minyak, bahan peledak dan
senyawa-senyawa senobiotik lainnya (EPA 1997; EPA 1999; Gray et al. 1999;
Baker & Bryson 2002 ).
Kompos merupakan salah satu pupuk organik yang memiliki keunggulan
dibandingkan dengan pupuk sintetis, karena selain dapat memperbaiki sifat-sifat
fisik tanah, memulihkan dan meningkatkan kesuburan tanah, kompos juga
mempunyai kandungan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman serta
merupakan absorban yang sangat baik untuk senyawa-senyawa organik dan
anorganik. Pemakaian kompos akan menambah kemampuan tanah dalam
menyimpan air dan menyerap pupuk, sehingga akan membantu dalam
pertumbuhan tanaman (CPIS 1992).
1.2. Permasalahan
Residu pestisida merupakan salah satu limbah kimia berbahaya dan beracun
yang bersifat persisten (sulit terdegradasi pada kondisi tertentu) di alam. Akan
tetapi bukan berarti tidak dapat terdegradasi sama sekali, namun peristiwa
degradasi yang terjadi sangat lambat karena kondisi lingkungan yang tidak
mendukung. Secara alamiah lingkungan tercemar tersebut mengandung aneka
ragam
mikroorganisme
(mikroba
indigenous).
Mikroorganisme
tersebut
diperlukan dalam penanganan limbah atau polutan sebagai pendegradasi dan
untuk menguraikan bahan organik menjadi bahan yang lebih sederhana.
Fenomena yang perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalisasikan
aktivitas mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa
galur mikroorganisme di lingkungan. Menurut Ohshiro et al. (1996), Arthrobacter
sp. mampu mendegradasi organofosfat isoxathion melalui reaksi hidrolisis
menjadi 3-hidroksi-5-fenilisoxazol dan asam dietiltiofosforik, juga dapat
menghidrolisis diazinon, paration, fenitrotion, isofenfos, khlorphyrifos dan
ethoprofos. Chen dan Mulchandani (1998) dalam penelitiannya menemukan
bahwa Pseudomonas putida dapat mendegradasi pestisida golongan organofosfat
seperti diazinon, fenitrition, paration, dan malation dengan menjadikannya sebagai
sumber karbon dan atau sumber fosfor. Mikroorganisme tersebut terlebih dahulu
harus diadaptasikan dengan lingkungan yang terdapat pestisida agar secara
genetik plasmid di dalam sel mikroorganisme akan mengeluarkan enzim untuk
melawan pestisida, sehingga mikroorganisme akan terbiasa dengan lingkungan
yang mengandung pestisida.
Salah satu cemaran yang perlu mendapatkan penanganan yang serius saat
ini adalah cemaran pestisida jenis diazinon. Diazinon adalah salah satu jenis
pestisida golongan organofosfat yang banyak digunakan oleh petani untuk
mengendalikan dan memberantas hama tanaman padi, tembakau, tebu, jagung dan
tanaman hortikultura lainnya, karena diazinon mempunyai sifat pestisida dengan
spektrum yang luas, hasilnya cepat diketahui dan sifat persistensinya rendah. Bila
hal ini tidak mendapat perhatian secepatnya maka akan menimbulkan dampak
yang semakin buruk dan merusak lingkungan maupun kesehatan manusia karena
hal ini sangat berpotensi untuk masuk ke dalam rantai makanan, sehingga dapat
membahayakan bagi kesehatan manusia.
Hingga saat ini usaha untuk penanganan pencemaran pestisida khususnya
diazinon baru dilakukan secara konvensional ataupun dengan teknik bioremediasi
secara in situ maupun secara ex situ. Namun hal ini belum berhasil dengan baik
yang disebabkan oleh faktor teknis dan faktor ekonomi. Dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman (2000) telah dapat diisolasi mikroba
indigenous galur B3 yang dapat mendegradasi diazinon. Isolat galur B3 yang di
peroleh belum murni dan hanya diidentifikasi secara visual dari bentuk
penampakan koloninya yang masih merupakan campuran koloni-koloni bakteri.
Isolat tersebut menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan diazinon
sampai konsentrasi 1000 ppm dalam media agar. Penelitian selanjutnya yang
dilakukan oleh Ningsih (2001) menunjukkan bahwa isolat B3 mampu hidup
dalam lingkungan yang mengandung diazinon dengan konsentrasi 200 ppm.
Degradasi diazinon oleh isolat B3 menghasilkan suatu senyawa namun senyawa
tersebut belum dapat diidentifikasi secara jelas.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menentukan jumlah pencampuran
kompos yang terbaik untuk mendegradasi diazinon dalam tanah; (2) Memperoleh
galur bakteri dari kompos limbah jamur tiram (spent mushroom compost /SMC)
yang mampu mendegradasi diazinon; (3) Mengetahui kemampuan bakteri yang
terdapat pada SMC dalam mendegradasi diazinon. Sedangkan kegunaan dari
penelitian ini adalah (1) Untuk memberikan alternatif penggunaan kompos dalam
bidang pengolahan tanah/lahan yang tercemar pestisida; (2) Memberi informasi
bagi masyarakat tentang cara mengeliminasi pencemaran pestisida dalam tanah.
1.4. Hipotesis
1. Jumlah kompos, konsentrasi diazinon, dan waktu serta interaksinya
berpengaruh terhadap tingkat degradasi diazinon pada teknik bioremediasi
secara ex situ (pengomposan)
2. Pada biodegradasi diazinon dengan menggunakan kompos (compost
bioremediation)
terdapat konsorsium bakteri yang dapat mendegradasi
diazinon.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1. Bioremediasi untuk
menentukan pengaruh jumlah kompos, konsentrasi
diazinon dan waktu inkubasi.
2. Penentuan kondisi terbaik untuk proses bioremediasi tanah tercemar diazinon
3. Isolasi dan identifikasi bakteri dari SMC yang diduga dapat mendegradasi
diazinon.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pestisida
Pestisida berasal dari bahasa latin yaitu pestis (hama) dan caedo
(pembunuh), dapat diterjemahkan menjadi racun untuk mengendalikan jasad
pengganggu atau yang biasa juga disebut organisma pengganggu tanaman (OPT).
Pestisida adalah semua zat yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan
hama. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah
semua zat kimia dan bahan-bahan lain serta jasad-jasad renik dari virus yang
digunakan untuk:
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian
2. Memberantas rerumputan
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Memberantas atau mencegah hama luar pada hewan piaraan dan ternak
5. Memberantas atau mencegah hama-hama air
6. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman,
tidak termasuk pupuk
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
rumah, bangunan dan alat-alat pengangkutan
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada menusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan
penggunaan pada tanaman, tanah dan air.
Pestisida merupakan pilihan utama yang sering digunakan untuk
melindungi tanaman dari hama serta memberantas organisma pengganggu pada
budidaya suatu tanaman sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi,
penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat diketahui. Namun bila aplikasinya
kurang bijaksana dapat membawa dampak negatif pada pengguna, hama sasaran,
maupun terhadap lingkungan, masalah yang utama bagi kesehatan manusia adalah
adanya residu pestisida dalam makanan karena hal ini dapat melibatkan sejumlah
besar orang selama jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu efektivitas
penggunaan
pestisida
hanya
berdasarkan
sifat-sifat
racunnya
dan
direkomendasikan dalam dosis yang tepat pada batas yang aman (safety margins).
Pestisida tidak hanya dibutuhkan dalam bidang pertanian saja, tetapi dalam
bidang
dan
kegiatan
lainpun
memerlukan
pestisida
untuk
mengatasi
permasalahannya. Misalnya penggunaan dalam bidang kesehatan masyarakat,
pestisida digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit demi kesehatan
manusia dan lingkungannya yakni terdapatnya jenis-jenis penyakit yang dapat
disebarkan oleh hewan-hewan perantara yang merupakan potensi bahaya bagi
manusia, sehingga perlu dilakukan pengendalian ataupun pemberantasan populasi
agar dapat mengurangi menyebaran penyakit. Penggunaan lain yaitu dalam
bidang perikanan dan peternakan, pestisida ini digunakan untuk melindungi dan
mengawetkan ikan, ataupun untuk melindungi ternak dari beberapa penyakit
hewan yang disebabkan oleh serangga dan hewan lain misalnya cacing.
Penggunaan pestisida dalam jumlah yang sangat kecilpun dapat
menimbulkan permasalahan apalagi dalam jangka waktu yang sangat panjang.
Permasalahan tersebut dapat terjadi karena potensi racun (toksisitas) kimia, sifat
keawetan di alam maupun substrat, variasi pemakaian dan penyiapan yang tidak
sesuai serta adanya kecenderungan untuk biomagnifikasi.
Akumulasi pestisida
karena adanya absorpsi oleh alam melalui tanah, air dan mahluk hidup lainnya
(Tarumengkeng 1992).
Berdasarkan jenis hama dan sasarannya, pestisida terdiri atas beberapa
kelompok yakni insektisida untuk membasmi serangga, herbisida untuk
membasmi gulma, rodentisida untuk membasmi tikus, fungisida untuk membasmi
jamur, moluskisida untuk membasmi siput, bakterisida untuk membasmi bakteri
dan nematisida untuk membasmi cacing. Sedang berdasar jenis bahan kimia
penyusunnya, pestisida dibagi atas empat golongan yaitu organoklorin,
organofosfat, karbamat serta pestisida lain yang mengandung substansi organik.
sebagian besar jenis pestisida termasuk senyawa-senyawa hidrokarbon siklik
berklor, aromatik berklor, ester, alkil halida pendek (fumigan) dan fosfat organik
(Ekha 1991; Tarumengkeng 1992).
Usaha yang telah dilakukan untuk memperkecil dampak negatif yang
ditimbulkan dari penggunaan pestisida adalah menerapkan pola pengendalian
hama
terpadu,
mengembangkan
teknologi
mikroorganisme
efektif,
dan
menggunakan pestisida yang berasal dari tanaman atau pestisida nabati.
Kontribusi pemerintah dalam usaha ini adalah memberikan izin penggunaan pada
jenis pestisida yang mempunyai spektrum sempit serta mencabut subsidi pestisida
agar harga pestisida menjadi mahal. Namun kenyataannya para petanipun masih
menggunakan pestisida dalam jumlah yang cukup banyak, karena dengan
menggunakan pestisida produksi pertanian mereka akan meningkat. Dengan
demikian peningkatan produksi pertanian masih tergantung pada penggunaan
pestisida.
Keawetan pestisida dengan pemakaian normal dalam tanah sangat
bervariasi tergantung pada struktur dan sifat senyawanya. Misalnya keawetan
insektisida golongan organofosfat yang sangat beracun
dalam tanah sangat
rendah yaitu tidak akan tahan lebih dari tiga bulan seperti diazinon (3 bulan),
disulfoton (4 minggu), forat (2 minggu), malation dan paration (sampai 2
minggu). Sebaliknya beberapa insektisida hidrokarbon terklorinasi dapat tetap
bertahan sampai waktu yang lama (4-5) tahun, misalnya Klordan (5 tahun), DDT
(4 tahun), BHC (3 tahun) heptaklor epoksida dan dieldrin (1-3 tahun) (Rao 1994).
Pemakaian pestisida dalam jumlah yang sedikitpun namun secara terus
menerus akan menyebabkan penimbunan residu dalam tanah dan menyebabkan
meningkatnya penyerapan senyawa kimia tersebut oleh tanaman sehingga
membahayakan bagi ternak dan manusia ataupun lingkungan. Apabila pestisida
tersebut digunakan pada tanah yang baru diusahakan, akan lebih mudah hilang
setelah adanya fase tenggang permulaan tetapi pemakaian senyawa kimia yang
sama secara periodik akan menyebabkan terakumulasinya bahan yang digunakan
tergantung keawetan pestisida tersebut.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan dan penyerapan
pestisida dalam sistem biologis dikaitkan dengan antara lain (1) sifat fisik dan
kimia inheren dan pestisida (misalnya, volatilisasi, kelarutan dalam air); (2)
karakteristik fisiologis berbagai spesies (misalnya perilaku makan, jalur
pengambilan, dan habitat); (3) sifat spesifik ekosistem (misalnya jenis sistem
aliran, suhu, pH, bahan organik, struktur jaring makanan). Lenyapnya suatu
pestisida tergantung pada konsentrasi awal senyawa kimianya di dalam tanah,
fotodekomposisi dan erosi tanah oleh air dan angin juga ikut menyumbang
hilangnya pestisida dalam tanah.
Toksisitas pestisida tergantung pada golongan pestisida itu sendiri
misalnya insektisida organoklorin (OC) bersifat karsinogenik, cenderung
mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi karena mampu bertahan tersimpan
lama dalam lemak tubuh, serta dapat merangsang sistem saraf dan menyebabkan
parestesia, peka terhadap perangsangan, iritabilitas, terganggunya keseimbangan,
tremor dan kejang-kejang. Sedangkan golongan Organofosfat (OP) dan Karbamat
tidak bersifat karsinogenik tetapi dapat menghambat asetilkolinesterase sehingga
mengganggu sistem saraf yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Beberapa
organofosfat, karbamat, organoklorin, fungisida ditiokarbamat, dan herbisida
mengubah berbagai fungsi imun, misalnya malation, metilparation, karbaril, DDT,
parakuat, dan dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibodi,
mengganggu fagositosida leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa,
dan kelenjar limpa (Koller 1979; Street 1981 dalam Lu 1995).
Tanah dan sedimen juga sangat berperanan penting dalam pengangkutan
dan penghilangan pencemaran di lingkungan dengan (1) menyediakan permukaan
penyerapan; (2) bertindak sebagai sistem penyangga; dan (3) sebagai pencuci
pencemar. Namun proses pengangkutan paling menonjol yang berhubungan
dengan tanah dan sedimen adalah penyerapan (adsorpsi) dan pencucian (Connel
1995).
2.2. Diazinon
Diazinon merupakan salah satu pestisida yang termasuk golongan
organofosfat dari grup fosforotioat/fosforotionat (Chambers 1992). Diazinon
merupakan insektisida yang sangat efektif digunakan untuk memberantas dan
membasmi, ataupun mengendalikan hama-hama tanaman seperti kutu daun, lalat,
wereng, kumbang penggerek padi, dan sebagainya. Diazinon umumnya digunakan
pada tanaman buah, padi, tebu, jagung, dan tembakau serta tanaman hortikultura.
Diazinon mempunyai nama kimia O,O-diethyl-O(2-isoprophyl-4-methyl-6pyrimidinyl)-phosphorithioate dengan rumus empiris C12H21N2O3PS. Kandungan
C 47.36%, H 6.95%, N 9.20%, O 15.77%, P 10.18% dan S 10.54%, dan rumus
bangunnya seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Rumus bangun diazinon
Diazinon dikenal dengan beberapa nama formulasi (dagang) antara lain:
Basudin, Dazzel, Gardentox, Kayazal, Knox Out, Nucidol, Spectracide, Diazinon
10 G, Diazinon 60 EC, Sidazinon 600 EC, Agrostar 600 EC, dan Prozinon 600
EC. Diazinon murni tidak berwarna dan berbentuk cairan, sedang diazinon teknis
berwarna kecoklatan dan berbentuk cairan. Diazinon mempunyai bobot molekul
304.35 g/mol, titik didih antara 83 – 84oC pada 258 mPa, dan tekanan uap sebesar
1.4 x 10-4 mmHg pada suhu 20oC. Kelarutan dalam air 0.004% pada suhu 20oC,
volatilitas 2.4 mg/m3 pada 20oC dan 17.6 mg/m3 pada 40oC (Marck Index, 1996).
Diazinon mempunyai waktu paruh (waktu tinggal) 30 hari (Wauchope et al. 1992
dalam Leland 1998), larut dalam pelarut organik seperti alkohol, aseton, benzen,
sikloheksana, diklorometana, dietil eter, petrolium eter, dan toluena. Sensitif
terhadap oksidasi dan suhu tinggi, mudah terurai di atas suhu 100oC, stabil pada
lingkungan alkali tetapi secara perlahan-lahan dapat terhidrolisis dalam air dan
asam lemah tetapi dapat terhidrolisis dengan cepat dalam lingkungan yang asam
(Hayes dan Laws 1991).
Diazinon mempunyai spektrum daya bunuh yang luas terhadap serangga
dan berbagai cacing tanah. Toksisitas akut secara oral adalah Lethal Dosis (LD50)
pada tikus berkisar antara 66-600mg/kg, (McEwen dan Stephenson 1979).
Diazinon lebih toksik pada burung dan ikan yaitu LD50 pada beberapa spesies
burung 3-40 mg/kg dan pada beberapa spesies ikan LD50 0.4-8 μg/ml (Sumner et
al. 1985 dalam Leland 1998). Walaupun masih sulit untuk menentukan dosis yang
masih dapat diterima oleh manusia, namun FAO/WHO telah menetapkan batas
ambang aman (no observed effect level/NOEL) kadar diazinon dalam makanan
adalah 0.02 mg/kg, sedang asupan harian yang dapat diterima (Acceptable Daily
Intake/ADI) adalah 0.002 mg/kg/hari (Gallo & Lawryk 1991; Lu 1995). Beberapa
penemuan toksikologi dan evaluasi pada beberapa jenis insektisida seperti
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Penemuan toksikologi dan evaluasi pada insektisida tertentu
Pestisida
Azinfosmetil
Klorfenvinfos
Diazinon
Diklorvos
Dimetoat
Disulfoton
Malation
Mevinfos
Paration
Paration-metil
Triklorfon
Aldikarb
Karbaril
Propoksur
LD50
NOEL (mg/kg)
mg/kg Tikus Anjing Manusia
13 0.125
0.125
15 0.05
0.05
108
0.1
0.02
0.02
80
0.033
215
0.4
0.2
6.8 0.05
0.025
0.75
1375
5
0.2
6.1 0.02
0.025
0.014
13
0.05
14
0.1
0.375
0.1
630
2.5
1.25
-
ADI
(mg/kg)
0.0025
0.002
0.002
0.004
0.02
0.002
0.02
0.0015
0.005
0.001
0.005
0.8 0.125
850
10
83 12.5
0.25
50
0.06
0.005
0.01
0.02
DDT
113 0.05
Aldrin/dieldrin
40 0.025
Klordan
335 0.25
Endrin
18 0.05
Heptaklor
100 0.25
Lindan
88 1.25
Metoksiklor
6000
10
Sumber: Lu (1995).
0.025
0.075
0.025
0
0.0625
1.6
-
-
0.01
0.001
0.001
0.0002
0.0005
0.01
0.1
Di bawah kondisi tertentu diazinon dapat membentuk senyawa yang
berbahaya khususnya jika pelarut hidrokarbon terkontaminasi oleh sejumlah kecil
air (0.1-2.0%) dan terkena udara, suhu, dan intensitas cahaya yang tinggi. Pada
kondisi ini akan membentuk formasi monothiotepp (O,S-TEPP) dan Sulfotepp
(S,S-TEPP). Senyawa-senyawa ini memiliki toksisitas yang tinggi dan
mempunyai pengaruh yang kuat sebagai inhibitor pada sistem enzim kolinesterase
(Allender dan Britt 1994).
Diazinon mempunyai gugus organofosfat yang terikat dengan gugus
nitrogen heterosiklik melalui ikatan ester, yang bersifat aromatik dan efektif
mempengaruhi sistem saraf dimana diazinon akan menghambat asetilkolinesterase
(AChE) sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh) dan tidak dapat berfungsi
lagi sebagai neurotransmitter, kemudian akan mengakibatkan kontraksi otot yang
diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleksi (kelumpuhan) dan paralisis jaringan
(Lu 1995; EPA 1999). Selanjutnya saraf tidak dapat berfungsi sebagai pengatur
atau pusat koordinasi pergerakan tubuh, dimana koordinasi pergerakan tubuh yang
tidak teratur dapat mengakibatkan kematian .
2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi
Bioremediasi
didefinisikan
sebagai
proses
penguraian
limbah
organik/anorganik secara biologis dalam kondisi terkendali, umumnya melibatkan
mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri). Pendekatan umum yang dilakukan
untuk meningkatkan biodegradasi adalah dengan cara: (1) Menggunakan mikroba
indigenous (bioremediasi instrinsik), (2) Memodifikasi lingkungan dengan
penambahan nutrisi dan aerasi (biostimulasi), (3) Penambahan mikroorganisme
(bioaugmentasi), (www.ipard.com).
Menurut Yani et al. (2003) bioremediasi merupakan bagian dari
bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegradasi dengan
menggunakan aktivitas mikroba yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan
sedimen dari kontaminasi terutama senyawa organik. Citroreksoko (1996)
menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik
berbahaya secara biologi menjadi senyawa lain misalnya CO2, metan, air, garam
anorganik, biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa
semula.
Sedang menurut Gumbira-Said dan Fauzi (1996) bioremediasi merupakan
proses penyehatan (remediasi) secara biologis terhadap komponen tanah dan air
yang telah tercemar oleh kegiatan manusia. Bahan pencemar tersebut biasanya
merupakan senyawa xenobiotik (asing di alam) misalnya residu pestisida,
deterjen, limbah eksplorasi dari pengolahan minyak bumi dan residu amunisi.
Senyawa-senyawa tersebut bersifat rekalsitran (sulit terdegradasi) sehingga
senyawa tersebut memiliki ketahanan yang tinggi di alam. Lebih lanjut Subroto
(1996) menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses dekontaminasi yang
lebih bersahabat dengan lingkungan dan lebih murah dibanding dengan metode
penanganan limbah lain yang telah ada.
Beberapa dekade terakhir, teknik bioremediasi adalah merupakan salah satu
cara penanganan secara cepat dalam pengolahan limbah dalam suatu industri,
karena teknik bioremediasi merupakan suatu metode yang efektif dan ekonomis
sebagai suatu alternatif untuk membersihkan tanah, permukaan air dan
kontaminasi air tanah yang mengandung sejumlah bahan beracun seperti
rekasitran dan kimia. Bioremediasi tidak hanya mendegradasi polutan tetapi juga
digunakan untuk menyerap bahan-bahan logam dan mineral dan memisahkan zatzat yang tidak diinginkan dalam udara, air, tanah dan bahan baku proses produksi
(industri).
Proses bioremediasi didasarkan pada siklus karbon untuk mendaur ulang
senyawa organik dan anorganik melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Bioremediasi
dapat dilakukan secara in situ ataupun secara ex situ. Secara
in situ yaitu
bioremediasi dilakukan langsung di lingkungan yang tercemar sedang secara ex
situ yaitu bioremediasi dilakukan di luar lingkungan yang tercemar dengan
membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan dengan
menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi cemaran kontaminan organik
(Citroreksoko 1996).
Proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer
yang dilakukan oleh mikroorganisme (bakteri, kapang, khamir, dan jamur
heterotropik) yang memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa organik alami
sebagai sumber karbon dan nitrogen. Teknologi bioremediasi dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu teknik dalam penanganan limbah senyawa kimia sintetis seperti
pestisida senyawa kloroaromatik, senyawa kloroalipatik, dan sebagainya.
Biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa menjadi senyawa yang lebih
sederhana oleh mikroba (Ohshiro et al. 1996). Sedang Gumbira-Said dan Fauzi
(1996) menerangkan bahwa biodegradasi merupakan transformasi struktur dalam
senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi perubahan integritas molekuler.
Dalam proses degradasi kondisi lingkungan harus sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme.
Berbagai reaksi enzimatik yang terjadi dalam proses bioremediasi dapat
berupa reaksi oksidasi, hidrolisis, dehalogenasi dan reaksi gugus nitro. Reaksi ini
dikenal
dengan
proses
kometabolisme
dimana
mikroorganisme
tidak
memanfaatkan kontaminan sebagai sumber substrat tetapi kontaminan tersebut
dapat terdegradasi.
Keberhasilan proses degradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim.
Aktivitasnya dioptimasikan dengan pengaturan kondisi dan pemberian suplemen
yang sesuai. Faktor-faktor lain yang berpengaruh dan mendukung proses
biodegradasi adalah:
1. Oksigen
Keberadaan
oksigen
merupakan
faktor
pembatas
laju
degradasi
hidrokarbon dan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob. Oksigen
digunakan
untuk
mengkatabolisme
senyawa
hidrokarbon
dengan
cara
mengoksidasi substrat dengan katalisis enzim oksidase. Ketersediaan oksigen
dalam tanah tergantung pada kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah,
tipe tanah dan kehadiran substrat lain juga bereaksi dengan oksigen.
2. Kelembaban
Kelembaban tanah juga dapat mempengaruhi keberadaan kontaminan,
transfer gas dan tingkat toksisitas dari kontaminan. Kelembaban sangat penting
untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Namun kandungan
air dalam tanah yang terlalu tinggi selama proses bioremediasi berlangsung akan
mengakibatkan sulitnya oksigen untuk masuk ke dalam tanah.
3. pH
Tingkat keasaman (pH) juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Kebanyakan bakteri dapat
tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral (pH 6.5–7.5). Misalnya P. aeruginosa
mampu tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada kisaran 5.6–
8.0, sedangkan bakteri tanah Rhizobium mampu bertahan pada kisaran pH 3.4–
8.1.
4. Suhu
Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia, kecepatan degradasi
oleh mikroorganisme serta komposisi komunitas mikroorganisme selama proses
degradasi.
5. Nutrisi
Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan
keseimbangan metabolisme sel.
Boopathy (2000) menerangkan bahwa hasil dari setiap proses degradasi
tergantung pada mikroorganisme (konsentrasi biomassa, keragaman populasi dan
aktivitas enzim), substrat (karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan
konsentrasi), dan faktor lingkungan (pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor
elektron sebagai sumber karbon dan energi). Struktur molekul dan konsentrasi
kontaminan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam proses bioremediasi
serta tipe transformasi bakteri yang terjadi, meskipun senyawa tersebut dipakai
sebagai substrat primer, sekunder atau kometabolit.
2.4. Degradasi Residu Pestisida Diazinon
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya keinginan untuk
mewujudkan lingkungan yang bersih dan bebas polutan, telah banyak ditemukan
upaya untuk meningkatkan kinerja mikroba indigenous, yang dilakukan dengan
rekayasa kondisi lingkungan sehingga menjadi optimum. Hal ini dapat dilakukan
secara in situ yaitu dengan pengkayaan terhadap kondisi lingkungan tercemar
ataupun secara ex situ yaitu dengan mengisolasi mikroba indigenous untuk
kemudian dipekerjakan pada suatu bioreaktor yang telah diatur kondisi optimum
lingkungannya untuk melakukan degradasi residu pestisida dari areal yang
tercemar. Pestisida yang banyak tertinggal di alam harus didegradasi agar menjadi
berkurang atau hilang secara keseluruhan.
Penggunaan pestisida secara luas telah mengundang problem-problem yang
disebabkan oleh interaksi antara zat-zat tersebut dengan sistim biologis alam.
Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai baik dalam lingkungan
abiotik maupun dalam lingkungan biotik. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam
penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan, pertumbuhan,
cahaya dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi, maupun secara
fotokimia.
Kecepatan degradasi pestisida di alam ataupun di dalam tumbuhan
mengikuti kinetika ordo pertama yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh
banyaknya pestisida dan faktor waktu. Residu pestisida dalam tanaman atau
hewan menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan
pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut.
Rani dan Lalithakumari (1994) dalam penelitiannya diperoleh Pseudomonas
putida yang mampu mendegradasi pestisida organofosfat metil parathion.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Shelton et al. (1996) dilaporkan bahwa
hampir seluruh herbisida dapat ditransformasikan oleh Streptomyces sp lebih dari
50% dari konsentrasi awalnya. Arthrobacter sp merupakan mikroba indigenous
yang diisolasi dari tanah mampu mendegradasi pestisida organofosfat isoxathion,
diazinon, parathion, EPN, fenithrothion, isophenfos, clorpyrifos, dan ethoprophos
(Oshiro et al. 1996). Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Chaudhry et al.
(1988) mengisolasi bakteri dari tanah dan diidentifikasi sebagai genus
Pseudomonas sp yang dapat mendegradasi parathion dan metil parathion.
Menurut Rao (1994) bahwa beberapa genus mikroorganisme yang mampu
menguraikan pestisida golongan organoklorin jenis DDT menjadi DDD dalam
tanah antara lain:
Achromobacter, Aerobacter, Agrobacterium, Bacillus,
Clostridium, Streptonebacterium, Escherichia, Erwinia, Kurthia, Pseudomonas,
dan
Streptococcus.
Aldrin diubah menjadi dieldrin (namun sifat-sifat
insektisidanya tidak hilang) oleh mikroorganisme genus Trichoderma, Fusarium,
Penicillium, dan Pseudomonas. Heptaklor diubah menjadi heptaklor epoksida
oleh Rhizopus, Fusarium, Penicillium, Trichoderma, Nocardia, Streptomyces,
Bacillus, dan Micromonospora.. Sedangkan pestisida golongan organofosfat
diketahui dapat diuraikan oleh mikroorganisme genus Torulopsis, Chlorella,
Pseudomonas, Thiobacillus, dan Trichoderma.
Penelitian yang dilakukan oleh Britton (1984) dalam Cookson (1995)
melaporkan bahwa Bacillus sp dan Pseudomonas sp dominan untuk mendegradasi
hidrokarbon demikian pula Chromobacterium sp dan Azetobacteri sp juga
mempunyai
kemampuan
seperti
Pseudomonas
sp
dalam
mendegradasi
hidrokarbon. Aktivitas bersama Pseudomonas stutzeri dan Pseudomonas
aeruginosa dapat mendegradasi paration. Sedangkan Bacillus cereus dapat
mendegradasi pestisida jenis piretroid (Cookson 1995).
Mikroba yang ada dalam SMC diharapkan mampu melakukan degradasi
terhadap diazinon. Faktor yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi dan
degradasi diazinon yaitu faktor fisik, kimiawi dan faktor mikrobial. Namun
kenyataannya sulit untuk membedakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh
karena struktur tanah yang kompleks, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya
proses absorpsi molekul pestisida ke dalam zat-zat yang ada dalam tanah ataupun
yang ada dalam jaringan tumbuhan (Bollag 1974).
Dalam penelitian ini diharapkan agar biodegradasi yang terjadi adalah
degradasi yang melibatkan metabolisme mikroba dimana mikroba tersebut
mampu menggunakan senyawa diazinon sebagai sumber karbon dan energi.
Selain sebagai sumber karbon dan energi juga dapat terjadi gangguan mikrobial
yakni terjadinya transformasi kometabolisme reaksi konjugasi dan akumulasi
pestisida dalam sel mikroba itu sendiri dan dapat menyebabkan terbentuknya
senyawa-senyawa yang lebih toksik dari pada senyawa asalnya (Bollag 1974).
Reaksi perubahan zat racun yang mungkin terjadi ialah oksidasi, reduksi,
hidrolisis dan sintesis. Setiap reaksi tersebut merupakan bagian dari berbagai
kegiatan metabolisme yang berlangsung dalam tubuh organisme. Proses
detoksifikasi zat racun berlangsung dalam dua tahap yaitu tahap primer dan
sekunder. Tahap primer (proses non sintesis) melalui reaksi oksidasi, hidrolisis
dan kegiatan enzimatik yang menghasilkan produk-produk yang bersifat polar.
Sedang tahap sekunder (proses sintesis) adalah reaksi yang menghasilkan
konjugat-konjugat sebagai produk sintesis (Tarumengkeng 1995).
Formulasi diazinon terdegradasi menjadi sejumlah tetraetilpirofosfat,
menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp (O,S-TEPP) seperti pada
Gambar 2 (a dan b), kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih
tinggi dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP yaitu
14000 kali lebih toksik dari pada diazinon (Allender dan Britt 1994). Komponen
heterosiklik diazinon dapat diaktivasi oleh enzim monooksidase yang membentuk
derivatif P = O menghasilkan diazoxon (Gambar 2c) yang juga bersifat lebih
toksik dari diazinon karena adanya aktivitas anti asetilkholinesterase (Zhang dan
Pehkonen, 1999). Secara umum diazinon mempunyai rute degradasi mencakup
pemutusan ikatan P – O – Pirimidin oleh aktivitas NADPH-dependent oksidase.
Pelepasan diazinon ke dalam tanah diharapkan tidak terikat pada tanah akan
tetapi bergerak mengalir dalam tanah. Fotolisis diazinon terjadi pada permukaan
tanah yang membentuk produk berupa senyawa 2-(1-hidroksi-1-metil)etil-4-metil6-hidroksipirimidin (Gambar 2d).
+
da
fotolisis
fotolisis/
hidrolisis
oksidasi
dekomposisi
ca
fa
ea
asetilasi
Diazinon
dekomposisi
aa
Gambar 2 Produk-produk degradasi diazinon
ga
ba
Proses pembentukan metabolit diazinon (reaksi transformasi enzimatik)
terjadi melalui reaksi primernya yaitu hidrolisis yang diikuti oleh reaksi
pemecahan rantai cincin diazinon, sehingga diazinon terdegradasi pada reaksi
primer menjadi 2-isopropil-4-metil-6-pirimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Menurut
Ku et al. (1997) bahwa dekomposisi diazinon secara hidrolisis dan fotolisis
berkaitan erat dengan pH dan intensitas cahaya ultraviolet yang membentuk
senyawa IMP dan tiofosfonat (Gambar 2e dan 2f). Produk hidrolisis dan fotolisis
tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya menurun dibanding
dengan senyawa diazinon (Bollag 1974). Menurut Machin et al. (1971) dalam
Gallo dan Lawryk (1991) bahwa irradiasi sinar ultraviolat pada diazinon selama 2
jam maka dapat mensubstitusi gugus isopropil pada cincin menjadi gugus asetil
(Gambar 2g) . Senyawa tersebut merupakan inhibitor kolinesterase tidak langsung
dan lebih kuat dari pada diazinon.
Secara alamiah di lingkungan yang tercemar
diazinon mengandung
beraneka ragam mikroorganisme sehingga polutan yang ada di lingkungan
tersebut dapat didegradasi. Degradasi diazinon tidak hanya dilakukan oleh
mikroba yang ada di lingkungan tersebut (mikroba indigenous), tetapi dengan
adanya
cahaya
diazinon
juga
dapat
terdegradasi.
Mikroba
indigenous
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan bahan/senyawa
pencemar (residu pestisida), yang disebabkan karena mikroba tersebut tidak
pernah berhubungan langsung dengan residu pestisida tersebut. Oleh karena itu
perlu suatu adaptasi dimana dalam proses adaptasi mikroba tersebut berusaha
mengeluarkan enzim dan plasmid yang dapat mendetoksifikasi senyawa yang
akan didegradasi. Tapi sebaliknya sering pula terjadi aktivasi yaitu zat racun lebih
dimodifikasi dan dikonversi menjadi zat yang lebih beracun.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman (2000) telah dapat
diisolasi mikroba indigenous galur B3 yang dapat mendegradasi diazinon. Isolat
tersebut menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan diazinon sampai
konsentrasi 1000 ppm dalam media agar. Penelitian selanjutnya yang dilakukan
oleh Ningsih (2001) menunjukkan bahwa isolat B3 mampu hidup dalam
lingkungan yang mengandung diazinon pada konsentrasi 200 ppm.
Isolat B3 yang diisolasi dari areal persawahan mampu menurunkan
konsentrasi residu diazinon sebesar 55.52% pada konsentrasi 50 ppm (54.98 ppm)
dan sebesar 68.34% untuk konsentrasi 100 ppm (118.82 ppm) selama kurun
waktu 27 jam (Suherman 2000). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ningsih
(2001) yakni untuk melihat kemampuan isolat B3 dalam mendegradasi diazinon,
ternyata isolat B3 dapat menurunkan konsentrasi diazinon 54.82% pada
konsentrasi diazinon 50 ppm, sebesar 79.66% pada konsentrasi diazinon 100 ppm,
dan sebesar 36.75% pada konsentrasi diazinon 200 ppm. Menurut Bollag (1974)
diazinon mempunyai masa persistensi selama 9 hari di dalam tanah, sehingga
dapat disimpulkan bahwa penurunan konsenstrasi diazinon diakibatkan karena
terdegradasinya diazinon secara mikrobial (Suherman 2000; Ningsih 2001).
2.5. Kompos
Menurut Indriani (1999) kompos adalah bahan organik yang telah
mengalami degradasi/penguraian/pengomposan sehingga berubah bentuk dan
sudah tidak dikenali bentuk aslinya, warna kehitam-hitaman, dan tidak berbau.
Bahan organik berasal dari tanaman maupun hewan, termasuk kotoran hewan.
Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah
terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan dalam tanah, serta mengandung zat-zat
organik yang dibutuhkan tanaman.
Penambahan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah yang diperbaiki di antaranya adalah
meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan
sulfur. Menurut Indrasti (2003), kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari
proses degradasi bahan organik yang dapat berguna bagi tanah-tanah pertanian
seperti memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi
tanaman menjadi lebih tinggi.
Kandungan utama kompos selain bahan organik, kompos juga mengandung
unsur-unsur hara makro dan mikro seperti nitrogen, fosfat, kalium, magnesium,
besi, dan mangan. Susunan unsur hara yang dikandung oleh kompos bervariasi
dan dipengaruhi oleh bahan yang dikomposkan, cara pengomposan, tingkat
kematangan, dan cara penyimpanan (US-EPA 1994). Kandungan unsur hara
dalam kompos relatif kecil bila dibandingkan dengan pupuk kimia. Oleh karena
itu pupuk kimia lebih banyak digunakan oleh petani, selain karena kandungan
unsur-unsur yang tinggi juga karena kemudahan dalam pengaplikasiannya. Tetapi
penggunaan pupuk kimia tersebut akan memberikan efek yang merugikan karena
dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahaya residu bahan kimia
terhadap kesehatan manusia (Indrasti et al. 2005). Oleh karena itu kombinasi
penggunaan pupuk organik) kompos dengan pupuk anorganik masih merupakan
salah satu solusinya, tetapi porsi pupuk organik perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan kualitas produksi.
Kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh kematangan kompos. Kompos
yang telah matang memiliki kandungan bahan organik yang dapat terdekomposisi
dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebabkan bau, kadar air yang
memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan bagi tanaman
(phytotoxic, benih rumput dan patogen).
Beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa penggunaan kompos dalam
proses bioremediasi telah terbukti efektif dalam mendegradasi banyak jenis
kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tak terklorionasi, bahan-bahan
kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida, produk-produk minyak,
bahan peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (EPA 1997; EPA 1999;
Gray et al. 1999; Baker & Bryson 2002).
2.6. Bioremediasi Menggunakan Kompos
Beberapa tahun terakhir di negara-negara barat telah dikembangkan teknik
bioremediasi menggunakan kompos (compost bioremediation), namun di
Indonesia belum berkembang sama sekali. Perkembangan yang telah ada masih
terfokus pada proses bioremediasi in situ yaitu dengan melakukan pengkayaan
terhadap kondisi optimum lingkungan tercemar, maupun secara ex situ yaitu
dilakukan dalam suatu reaktor dengan mengisolasi mikroba kemudian
dikondisikan dengan lingkungan untuk melakukan degradasi dari areal tercemar.
Bioremediasi menggunakan kompos (compost bioremediation) merupakan
upaya penanganan masalah limbah dan pencemaran lingkungan dengan
menggunakan mikroorganisme yang ada dalam kompos tersebut untuk
mendegradasi
kontaminan
air
atau
tanah.
Dalam
proses
bioremediasi
menggunakan kompos, mikroorganisme dalam kompos akan mengkonsumsi
kontaminan dalam tanah, air tanah, permukaan tanah maupun udara. Kontaminan
tersebut dicerna, dimetabolisme dan diubah menjadi humus dan produk-produk
akhir seperti CO2, air dan garam-garam.
Aplikasi teknik bioremediasi menggunakan kompos mempunyai beberapa
keunggulan dan lebih ekonomis dibanding dengan teknik bioremediasi lainnya
sehingga teknologi bioremediasi menggunakan kompos lebih disenangi dan
diminati (US-EPA 1997, 1998). Beberapa keunggulan teknik bioremediasi
menggunakan kompos antara lain:
1. Kompos mempunyai keragaman populasi mikroba yang terlibat dalam proses
degradasi yakni sekitar 5-10 kali lebih banyak dibandingkan dengan kandungan
mikroba dalam tanah yang subur
2. Tingginya aktivitas mikroba dalam proses yakni sekitar 20-40 kali lebih aktif
dalam hal aktivitas dehidrogenasi dibanding dengan aktivitas dalam tanah yang
subur
3. Kompos tidak mengandung hama dan penyakit serta tidak membahayakan
pertumbuhan atau produk tanaman
4. Kompos dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit
5. Kompos tidak mengakibatkan pencemaran dalam tanah, air ataupun udara
6. Kompos merupakan absorben yang sangat baik untuk senyawa-senyawa
organik maupun anorganik.
2.7. Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost/SMC)
Miselia jamur sebagian besar tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan
lignin, serta vitamin dan mineral, sehingga limbah substrat (media) tanam jamur
masih mengandung sejumlah besar unsur hara yang diperlukan oleh tanaman.
Formula substrat (media) yang digunakan adalah berupa serbuk gergaji, dedak,
gypsum dan kapur (CaCO3). SMC adalah merupakan limbah media pembibitan
jamur dimana selama dijadikan sebagai media taman maka bahan tersebut
mengalami proses pengomposan. SMC ini masih merupakan kompos setengah
matang yang dapat mendegradasi diazinon menjadi beberapa produk turunan.
SMC merupakan limbah hasil industri budidaya jamur yang berlimpah sehingga
sangat memungkinkan untuk gunakan dalam proses bioremediasi.
Kompos limbah media jamur (spent mushroom compost/SMC) ini banyak
mengandung nutrisi (kandungan bahan organik tinggi) di antaranya sebagai
sumber fosfor, kalium, nitrogen, kalsium, sulfur dan unsur-unsur lainnya seperti
besi, natrium, mangan, boron, tembaga, dan seng sehingga dapat memperbaiki
sifat fisik tanah, struktur, tekstur, porositas, dan meningkatkan aktivitas
mikroorganisme tanah dan cacing tanah sehingga memudahkan dalam
penghancuran tanah pada saat diolah
(Anonim 2003). Karakteristik kompos
limbah media jamur seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik kompos limbah media jamur
Sifat fisik
Keuntungan
Bahan organik 65 %
• Meningkatkan struktur dan
tekstur
tanah.
• Meningkatkan aktivitas biologis
tanah
• Berasal dari rerumputan dan
tanaman patogen
• Sumber bahan organik N, P, K,
Ca, dan S
• Sumber bahan organik Fe, Na,
Mn, Br, Cu, dan Zn.
Bebas dari polutan
Kandungan nutrisi utama
Unsur lain (dalam jumlah kecil)
Sumber: Anonim (2003)
Spent Mushroom Compost (SMC) telah diaplikasikan pada kontaminasi
organopolutan, ternyata kompos limbah media jamur dapat mendegradasi
polyciclyc aromatic hydrocarbon (PAHs) dengan sempurna menjadi napthalene,
phenanthrene,
benzo[a]pyrene, dan benzo[g,h,i]perylene. SMC juga dapat
menghilangkan polutan penthaclorophenol (PCP) dan dapat digunakan sebagai
pengganti humus pada sistem biobed yang menggunakan bahan organik untuk
mengadsorpsi dan mendegradasi pestisida. PCP dapat dimineralisasi apabila
diinkubasi dengan kompos setelah masa pengkayaan yang sesuai. Bakteri yang
diisolasi dari kompos jamur Pleurotus pulminarius mampu toleran hingga 100
ppm PCP namun bakteri ini belum diketahui identitasnya (Lau et al. 2003).
Penggunaan
kompos limbah media jamur dalam proses bioremediasi
pestisida merupakan salah satu upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan
dan dapat meningkatkan nilai tambah limbah yang dihasilkan dari industri
budidaya jamur. SMC mempunyai beberapa keuntungan bila digunakan dalam
proses bioremediasi dibanding jika menggunakan karbon aktif dan bakteri karena
SMC mudah didapatkan dan biaya yang murah serta cara memproduksinya relatif
simpel.
SMC ini sangat baik digunakan untuk memperbaiki sifat dan struktur tanah
karena kaya akan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah seperti nitrogen, fosfor,
kalium, kalsium, sulfur, besi, natrium, mangan, boron, tembaga, dan seng
(Anonim 2003). Komposisi kompos limbah media jamur seperti ditunjukkan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi kompos limbah media jamur
Ketersediaan nutrien
pH
EC (mS/m)
Nitrogen nitrat
Nitrogen amonia
Phosphor (P)
Kalium (K)
Natrium (Na)
Klorida (Cl)
Kerapatan massa (g/l)
% Bahan kering (DM)
Kadar abu (%)
Sumber: Anonim (2003)
Total kandungan nutrien
6.6
750 (mg/l)
62
49
31
2130
253
118
319
31.5
35.0
Nitrogen (N)
Phosphor (P)
Kalium (K)
Calsium (Ca)
Magnesium (Mg)
Sulphur (S)
Natrium (Na)
Besi (Fe)
Mangan (Mn)
Boron (B)
Cu
Seng (Zn)
(g/kg)
22.5
12.5
25.0
72.5
6.7
15.9
2.7
(mg/kg)
2153
376
37
46
273
3. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioproses IV Pusat Penelitian
Bioteknologi-LIPI Cibinong. Analisis kadar diazinon dan isolasi bakteri dilakukan
di Laboratorium Bioproses IV Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong,
identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Taksonomi Bidang Mikrobiologi
Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor, analisis kompos dilakukan di Laboratorium
Balai Penelitian Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Oktober 2005.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, labu
erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, labu ukur, botol Schott, corong, jarum ose,
kertas saring, neraca analitik, pH meter, filter ukuran 0.45 μm (millipore),
thermometer, autoklaf, sentrifugase, lampu spirtus, obyek glass, mikroskop,
mikropipet Eppendorf 100 dan 1000 μl, shaker, bak fermentor/inkubator, plat
silika gel 60 F254 dan spektrofometer UV-VIS.
3.2.2. Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah yang tidak
tercemar diazinon, kompos limbah media jamur tiram (Pleuorotus ostreatus),
plastik untuk penutup bak fermentor/inkubator, dan pestisida organofosfat merek
diazinon 60EC yang mengandung 600.000 ppm diazinon (teknis), metanol p.a, etil
asetat teknis, aseton, aquadest, alkohol, spirtus, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4.7H2O,
NaCl, CaCl2.2H2O, FeSO4.7H2O, Na2MoO4, MnSO4, NaWo2, Bakto Peptone, dan
Yeast Extract, FDA, Aquabidest dan air destilata. Bahan-bahan lain yang
dibutuhkan yaitu media Potato Dekstrose Agar (PDA). Nutrien Agar (NA),
nistatyn, khloramphenikol, larutan pewarna Hucker’s violet (Gram A), larutan
Mordan Lugol’s iodin (Gram B), larutan pencuci (Gram C), larutan pewarna
sapranin (Gram D), Media khusus Gram Mac Conkey Agar, NNNN tetramethyl-pphenylene diamine dihydrochloride (C6H4[N(CH3)2]22HCl, H2O2, methyl red,
bromtymol biru, phenol red, media nutrien cair/broth.
3.3. Pengambilan Sampel untuk Perlakuan
Pengambilan sampel dipilih daerah yang relatif bebas pestisida. Oleh karena
itu dipilih sekitar lokasi laboratorium bioteknologi-LIPI cibinong karena daerah
ini masih relatif bebas pestisida terutama pestisida jenis diazinon. Kompos yang
digunakan adalah kompos limbah media jamur tiram (Pleurotus ostreatus) yang
diperoleh dari petani jamur di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Bogor.
Sebelum digunakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap residu pestisida
dalam tanah dan kompos. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah dan kompos
tersebut tidak mengandung residu pestisida diazinon maupun jenis pestisida
lainnya.
3.4. Desain Penelitian
3.4.1. Penelitian Tahap I
Penelitian tahap I melakukan proses bioremediasi dengan menggunakan
kompos limbah media jamur (SMC) dan menentukan kondisi terbaik untuk proses
degradasi diazinon.
3.4.2. Penelitian Tahap II
Penelitian tahap II melakukan isolasi bakteri dan kapang serta
mengidentifikasi bakteri dari kompos limbah media jamur tiram (Pleurotus
ostreatus) untuk mengetahui jenis bakteri yang terdapat dalam SMC tersebut yang
dapat mendegradasi diazinon. Kemudian dilakukan uji kemampuan degradasi
diazinon.
Bagan alir tahapan penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Penelitian tahap I dilakukan seperti berikut:
1. Sterilisasi tanah yang bebas diazinon pada suhu 121 oC selama 15 menit,
kemudian dicemari dengan diazinon masing-masing konsentrasi 0 ppm, 293
ppm, 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, dan 1707 ppm dengan jumlah kompos
dalam tanah 6%, 10%, 20%, 30% dan 35%.
2. Analisis kompos (SMC) yang meliputi: TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar air,
kadar abu, pH, aktivitas mikroba, dan kadar pestisida.
3. Pencampuran kompos dengan tanah yang telah dicemari diazinon.
4. Fermentasi/inkubasi pada suhu ruang dengan kadar air bahan 30-60% selama
28 hari.
5. Analisis hasil fermentasi/inkubasi (kadar diazinon, TPC, C/N, KTK, unsur hara,
kadar air, kadar abu, pH, dan aktivitas mikroba).
Tanah
Sterilisasi tanah
Kompos limbah
media jamur
Pencampuran
Analisis Kompos
Fermentasi/inkubasi
(C/N, KTK, unsur hara,
Kadar air, kadar abu,
pH, kadar pestisida,
TPC, aktivitas mikroba)
T = suhu ruang
Kadar air bahan = 30-60%
Waktu = 28 hari
Isolasi Mikroba
(bakteri & kapang)
kadar diazinon, TPC, C/N,KTK,
unsur hara, kadar air, kadar abu, pH,
dan aktivitas mikroba.
Diazinon
EC 60
Sampling:
satu kali seminggu
untuk analisis penurunan
kadar diazinon, TPC,
aktivitas mikroba
Analisis:
Identifikasi bakteri
Uji kemampuan
degradasi diazinon
Gambar 3 Diagram tahapan penelitian
3.5. Proses Biodegradasi Diazinon
Sampel tanah yang belum dicemari dengan diazinon terlebih dahulu
disterilisasi pada suhu 120 oC dalam autoklaf selama 15 menit setelah dingin
tanah dicemari dengan pestisida organofosfat merk diazinon 60EC, kemudian
tanah tersebut dicampur dengan kompos dengan perbandingan tertentu. Sebelum
kompos dicampur dengan tanah,
terlebih dahulu dilakukan pengujian mutu
kompos tersebut. Parameter yang diuji adalah C/N, unsur hara, KTK, kadar air,
kadar abu, pH, TPC, aktivitas mikroba, dan kadar pestisida. Campuran tersebut
kemudian diaduk hingga homogen lalu diinkubasi selama 28 hari dengan kadar
air bahan 30-60% pada suhu kamar (28-32 oC) dan pH 7-8. Selama proses
inkubasi berlangsung sampel ditutup dengan plastik untuk mengurangi terjadinya
penguapan dan tidak terkena cahaya.
Sampel diambil satu kali seminggu di lima titik dengan dua kali
pengambilan kemudian digabung menjadi satu dan diaduk hingga homogen
(sistem komposit) kemudian dianalisis penurunan kadar diazinonnya. Pada akhir
proses inkubasi, selain analisis penurunan kadar diazinon juga dilakukan
pengujian C/N, KTK, unsur hara, kadar abu, kadar air, pH, TPC, dan aktivitas
mikroba.
3.6. Analisis Kadar Diazinon
Analisis kadar diazinon menggunakan metode seperti yang dilakukan oleh
Ningsih (2001) yaitu menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan
plat silika gel 60 F254 dan spektrofotometer UV/VIS Beckman DU 650 pada
panjang gelombang 241 nm.
3.6.1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis adalah metode pemisahan fisikokimia yang
lapisan pemisahan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) dan ditempatkan
pada penyangga berupa plat gelas logam atau lapisan yang cocok, campuran yang
akan dipisahkan berupa larutan. Larutan ditotolkan berupa bercak, kemudian plat
diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang
cocok (fase gerak) yang telah dijenuhkan. Pemisahan terjadi selama perambatan
fase gerak. Derajat retensi pada KLT dinyatakan sebagai “Retention Factor” (Rf)
yang dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
Jarak titik pusat bercak dari titik awal
Rf =
…………………….(1)
Jarak garis depan dari titik awal
Metode ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui adanya atau
tidaknya produk turunan hasil degradasi diazinon dalam sampel. Analisis kadar
diazinon dengan metode KLT ini menggunakan plat silika gel 60 F254, eluen
pengembang
heksana:etilasetat dengan perbandingan 10:1 (v/v) dan pewarna
digunakan serium (II) sulfat.
KLT dilakukan dengan cara mentotolkan sampel pada plat kemudian
dimasukkan kedalam bejana yang berisi heksana dan etyl asetat dengan
perbandingan 10:1 (v/v) yang telah dijenuhkan selama 30 menit. Lalu didiamkan
hingga eluen naik sampai batas garis. Spot yang terbentuk dapat dilihat dengan
menggunakan sinar ultraviolet dan pewarnaan dengan menggunakan serium (II)
sulfat.
3.6.2. Spektrofotometer UV-VIS
Spektrofotometri adalah suatu metode pengukuran serapan radiasi
elektromegnetik pada panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati
monokromatik dan diserap oleh zat. Pelarut yang sering digunakan adalah air,
metanol, n-heksana, etanol, minyak bumi, dan eter.
Analisis diazinon dengan metode spektrofometri ini merupakan modifikasi
yang dilakukan oleh Bavcon et al. (2003) dengan metode yang dilakukan oleh
Ningsih (2001), yaitu dilakukan dengan cara mengekstraksi sebanyak 10 gram
sampel dengan etil asetat sebanyak 20 ml. Larutan yang diperoleh diuapkan
kemudian dilarutkan kembali dengan 2 ml metanol p.a, sampel disonifikasi agar
larutan tersebut tercampur dengan baik (homogen).
Kemudian dilakukan
pembacaan pada spektrofotometer UV-VIS (Beckman DU 650) dengan sinar UV
pada panjang gelombang 241 nm. Absorbansi yang diperoleh kemudian diplot
pada kurva standar untuk menghitung konsentrasi diazinon dalam sampel.
3.7. Isolasi Mikroba dan Identifikasi bakteri
3.7.1. Pembuatan Media
3.7.1.1. Potato Dekstrose Agar (PDA).
Media ini digunakan untuk menginokulasi kapang dari SMC.
Cara pembuatan:
1. Ditimbang PDA sebanyak 3.9 g dan agar powder 0.5 g.
2. Kedua bahan tersebut dicampur dan ditambahkan dengan aquadest
sebanyak 100 ml, kemudian dipanaskan sambil diaduk.
3. Setelah mendidih dan homogen media disterilisasi dalam autoklaf pada
suhu 121 oC selama 15 menit.
4. Media didinginkan (hangat kuku) lalu ditambahkan khloramphenikol 50
ppm sebanyak 1 ml yang telah disterilkan dengan millipore 0.45 μm.
5. Media dituang ke dalam petri steril ± 1-2 ml, dan didinginkan
6. Setelah padat petri ditutup dan dibalik agar uap air tidak jatuh ke atas
permukaan agar.
3.7.1.2. Nutrien Agar (NA)
Media ini digunakan untuk menginokulasi bakteri dari SMC.
Cara pembuatan:
1. Ditimbang NA sebanyak 2.3 g dan agar powder 0.5 g.
2. Kedua bahan tersebut dicampur dan ditambahkan dengan aquadest sebanyak
100 ml, kemudian dipanaskan sambil diaduk.
3. Setelah mendidih dan homogen media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu
121 oC selama 15 menit.
4. Media didinginkan (hangat kuku) lalu ditambahkan nistatyn 50 ppm
sebanyak 1 ml yang telah disterilkan dengan millipore 0.45 μm.
5. Media dituang ke dalam petri steril ± 1-2 ml, dan didinginkan
6. Setelah padat petri ditutup dan dibalik agar uap air tidak jatuh ke atas
permukaan agar.
3.7.2. Isolasi Mikroba (Bakteri dan Kapang)
Mikroba yang terdapat dalam SMC masih merupakan koloni campuran
sehingga perlu dilakukan isolasi untuk mendapatkan isolat/biakan murni (koloni
tunggal). Isolasi mikroba dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Metode Cawan Tuang/Taburan (Puor Plate Method)
Metode ini dilakukan dengan cara menggoreskan suspensi bahan yang
mengandung bakteri pada permukaan medium agar yang sesuai dalam cawan
petri. Setelah diinkubasi pada bekas goresan akan tumbuh koloni-koloni yang
terpisah yang mungkin berasal dari satu sel bakteri, sehingga dapat diisolasi lebih
lanjut. Metode goresan ini dapat dilakukan dengan metode goresan lurus, kuadran,
atau radian.
2. Metode Cawan Gores (Streak Plate Method)
Metode dilakukan dengan cara menginokulasi medium agar yang sedang
mencair pada temperatur 50oC dengan suspensi bahan yang mengandung bakteri
dan menuangkannya ke dalam cawan petri, setelah diinkubasi akan terlihat kolonikoloni yang tersebar di permukaan agar.
Dalam penelitian ini isolasi mikroba dilakukan dengan metode cawan
tuang/gores yaitu dengan menginokulasi SMC pada media padat Nutrient Agar
(NA) dan Potato Dekstrose Agar (PDA). Pada media padat NA ditambahkan zat
antibiotik
nistatyn
yang
berfungsi
untuk
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme kapang dan khamir sedangkan pada media padat PDA
ditambahkan dengan khloramphenikol untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Inokulasi mikroba ini dilakukan dengan dua metode yaitu cair dan padat:
1. Menimbang SMC sebanyak 1gram lalu di larutkan dengan air steril sebanyak
10 ml kemudian di goyang (shaker) selama 30 menit, supernatan yang
diperoleh dipipet sebanyak 100 μl lalu dituang kedalam cawan petri yang
berisi media PDA dan NA
2. Ditimbang kompos sebanyak 5 gram lalu ditabur kedalam cawan petri yang
yang berisi media PDA dan NA.
Masing-masing cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu
kamar selama 24-48 jam. Bakteri dan kapang yang tumbuh dipindahkan pada
media padat lain untuk memperoleh biakan murni. Setelah 2-3 hari isolat yang
tumbuh pada media awal dipindahkan dan dipisahkan berdasarkan perbedaan
bentuk dan morfologinya ke media padat NA dan PDA lainnya yang tidak
mengandung nistatyn dan khloramphenikol. Isolat-isolat tersebut dipindahkan
dengan menggunakan jarum ose kemudian menggoreskannya pada media padat
untuk memisahkan isolat-isolat tersebut agar diperoleh koloni tunggal (single
coloni). Koloni tersebut diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang. Hal ini
dilakukan berulang-ulang hingga diperoleh isolat yang murni. Isolat yang telah
murni dipindahkan ke dalam media agar miring (NA dan PDA) dengan cara
membuat garis zig zag. Kemudian diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang lalu
disimpan dalam lemari pendingin.
3.7.3. Pewarnaan bakteri
Pewarnaan bakteri dimaksudkan untuk melihat struktur sel bakteri dengan
seksama.
Fungsi pewarnaan bakteri terutama memberi warna pada sel dan
bagian-bagiannya agar lebih kontras dan tampak lebih jelas, sehingga dapat
diamati berbagai bentuk (morfologi), jenis (gram positif atau gram negatif),
susunan bakteri, serta sel-sel bakteri (spora, kapsel, atau flagela). Sel-sel bakteri
yang tidak diwarnai pada umumnya sukar diamati dengan mikroskop cahaya
biasa, karena sitoplasma sel mempunyai indeks bias yang hampir sama dengan
indeks bias lingkungannya (Lay 1992). Hasil pewarnaan sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu:
a. Fiksasi, sebelum bakteri diwarnai terlebih dahulu dilakukan fiksasi dengan
menggunakan cara fisik (pemanasan atau dengan freeze drying) ataupun
menggunakan agen kimia (asam pikrat, alkohol, aseton, asam kromat-asam
osmiat). Fiksasi berfungsi untuk (1) Mencegah mengkerutnya globula-globula
protein sel; (2) Mempertinggi sifat reaktif gugusan-gugusan karboksilat,
amino primer, sulfihidril; (3) Merubah afinitas pewarna bakteri; (4) Mencegah
terjadinya otolisis sel; (5) Dapat membunuh bakteri secara cepat dengan tidak
menyebabkan perubahan-perubahan bentuk atau strukturnya; (6) Melekatkan
bakteri di atas gelas benda; (7) Membuat sel lebih kuat (keras).
b. Substrat, tiap pewarna asam maupun basa dapat bereaksi dengan konstituen
sel. Oleh karena itu substrat organik (lipid, protein, asam nukleat, dan
karbohidrat) akan mempengaruhi pewarnaan bakteri. Sehingga dapat
dibedakan sel-sel yang (1) basofil, yaitu sel-sel yang dapat mengikat pewarna
bakteri basa; (2) asidofil atau oksifil, yaitu sel-sel yang dapat mengikat
pewarna bakteri asam; (3) sudanolfil, yaitu sel-sel yang dapat mengikat
pewarna bakteri yang dapat larut dalam minyak.
c. Intensifikasi Pewarnaan, dilakukan dengan mempertinggi kadar pewarna,
temperatur pewarnaan (60-90 oC) atau menambah suatu mordan.
d. Pelunturan pewarna bakteri (Decolorizer), digunakan untuk mendapatkan
kontras yang baik pada bayangan mikroskop.
Beberapa cara pewarnaan bakteri yang biasa dilakukan ialah pewarnaan
sederhana, pewarnaan deferensial, pewarnaan Gram, pewarnaan Ziehl Neelsen
(acid fast), dan pewarnaan negatif (Lay 1992). Pada penelitian ini dilakukan
pewarnaan bakteri dengan menggunakan metode pewarnaan Gram. Pewarnaan
gram meliputi 4 tingkatan yaitu:
1. Pemberian pewarna utama (larutan pewarna kristal violet, warna ungu)
2. Pengintensifan pewarna utama dengan menambahkan larutan mordan (JKJ)
3. Pencucian (dekolorisasi) dengan alkohol 70%
4. Pemberian pewarna penutup (pewarna lawan, counterstain) larutan pewarna
safranin yang berwarna merah.
Dengan pewarnaan Gram maka dapat dibedakan bakteri yang bersifat
positif dan bersifat negatif: (1) Bakteri Gram positif ialah bakteri yang mengikat
pewarna utama dengan kuat sehingga tidak dapat dilunturkan dan diwarnai oleh
pewarna lawan. Dengan menggunakan mikroskop sel-sel bakteri ini tampak
berwarna violet; (2) Bakteri Gram negatif ialah bakteri yang daya ikat terhadap
pewarna utama tidak kuat, sehingga dapat dilunturkan dan diwarnai oleh pewarna
lawan. Dengan pengamatan mikroskopik sel bakteri ini tampak berwarna merah.
Sifat Gram terutama ditentukan oleh sifat-sifat fisik dan kimia dinding sel
dan membran sitoplasma. Dinding sel dan membran sitoplasma bakteri Gram
positif mempunyai afinitas yang besar terhadap kompleks pewarna kristal violet
dan iodium, sedang pada Gram negatif tidak. Pada waktu pewarnaan, larutan
kristal violet dan iodium menembus sel bakteri. Pada sel bakteri Gram positif zatzat ini membentuk senyawa yang sukar larut, tidak larut dalam peluntur, dan tidak
diwarnai oleh pewarna penutup sedang bakteri Gram negatif tidak demikian.
Pewarnaan Gram dilakukan dengan cara :
1. Gelas objek dibersihkan dengan alkohol 70%, lalu dipanggang di atas nyala api
dan dinginkan
2. Biakan diambil dengan ose secara aseptik ke atas gelas objek, diratakan dan
dikering-anginkan
3. Preparat yang telah kering difiksasi dengan cara melewatkan di atas api
4. Pada preparat diteteskan pewarna utama (Gram A) 1-2 tetes, dibiarka 1 menit
lalu dicuci dan dikeringkan
5. Lalu ditetesi dengan larutan mordan Lugol (Gram B) dibiarkan 1 menit, dicuci
dan dikeringkan
6. Kemudian dicuci dengan larutan peluntur (Gram C) selama 30 detik, dicuci dan
dikeringkan
7. Lalu diberi larutan pewarna penutup (Gram D) dibiarkan 2 menit lalu dicuci
dan dikeringkan
8. pengamatan dengan mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Bakteri Gram
positif berwarna violet dan Gram negatif berwarna merah.
3.7.4. Determinasi dan Identifikasi Bakteri
Untuk identifikasi dan determinasi suatu biakan murni dari hasil isolasi,
perlu diamati morfologi koloni serta morfologi individual, sifat-sifat pewarnaan,
sifat fisiologis (biokimia), patonogenesitas dan serologinya. Pada identifikasi
bakteri yang pertama-tama harus dilakukan adalah pengamatan terhadap
morfologi individual dan pertumbuhannya pada bermacam-macam media. Karena
bakteri tidak dapat dideterminasi hanya berdasarkan sifat-sifat morfologinya saja
tapi perlu pula diteliti sifat-sifat biokimia dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhannya (media, pH, dan temperatur). Pada pengujian untuk identifikasi
bakteri digunakan pedoman Bergey’s Manual of Determinative Bakteriology (Holt
et al. 1994 ).
Sifat Morfologi Bakteri:
1. Morfologi sel individual meliputi:
♦ Ukuran, bentuk, dan rangkaian sel
♦ Ada tidaknya spora, dan kedudukan spora
♦ Ada tidaknya flagela, kedudukan, dan jumlah flagela
♦ Ada tidaknya kapsula
♦ Reaksi-reaksi pengecatan (pewarnaan)
2. Morfologi koloni meliputi bentuk, ukuran, tekstur, warna koloni, tipe medium.
Sifat Biokimia Bakteri:
Pengujian sifat biokimia bakteri meliputi:
1. Perubahan karbohidrat (daya fermentasi terhadap zat-zat gula dan hidrolisis
terhadap pati)
2. Hidrolisis lemak (bakteri dapat menghidrolisis lemak menjadi gliserol dan
asam lemak)
3. Penguraian protein (tiap-tiap spesies bakteri mempunyai daya hidrolisis dan
penguraian protein yang berbeda-beda)
4. Reduksi bermacam-macam unsur (bakteri anaerob dapat mereduksi garam
nitrat menjadi nitrit atau amonia, metilen blue atau indikator direduksi menjadi
tidak berwarna. Bakteri bersifat aerob obligat dapat mereduksi H2O2 menjadi
H2O dan O2)
5. Pembentukan figmen (pigmen akan tampak bila ada O2 bebas/aerob, dan dalam
keadaan anaerob pigmen akan hilang)
6. Pengujian biokimia khusus lainnya.
Tahapan identifikasi bakteri adalah sebagai berikut:
1. Isolat bakteri yang akan diuji dibiakkan pada media cair dan dilanjutkan dengan
media agar padat, setelah pertumbuhan lengkap sesuai lamanya inkubasi
biakan pada suhu ruang (30-37 oC) bahkan pada suhu thermofilik hingga 50 oC,
selanjutnya diamati morfologi koloninya. Pada tahap ini dilakukan dengan
mengamati kultur biakan dan koloni yang tumbuh pada permukaan agar (kasar,
halus) serta besarnya koloni (mm). kemudian dilakukan pengamatan morfologi
pada Media Khusus Gram Negatif (Mac Conkey Agar). Selain menggunakan
media tersebut diatas juga dapat menggunakan media selektive artinya bakteri
yang akan diamati akan tumbuh pada media khusus (SS agar, XLD agar,
BRC).
1. Tes Katalase (Catalase Test)
Menggunakan H2O2 3% dengan cara meneteskan larutan tersebut pada
permukaan objek glass, biakan murni diambil dengan ose lalu disentuhkan pada
tetesan tersebut, bila dalam hitungan detik terdapat gelembung udara
menandakan catalase positive.
2. Tes Oksidase (Oxidase Test)
Menggunakan
NNNN-tetramethyl-p-phenylene
diamine
dihydrocloride
(C6H4[N(CH3)2]22HCl) dicamper dengan asam askorbat (ascorbic acid),
larutan tersebut diteteskan pada kertas saring. Biakan murni diambil dengan
ose lalu digoreskan pada kertas saring tersebut. Bila dalam beberapa detik
terjadi perubahan warna biru/violet menandakan Oxidase positive
3. Motility-Slide
a. Biakan yang tumbuh pada media cair/broth diambil dengan ose dan
diletakkan pada cover glass, object glass. Pergerakan positif terlihat bergerak
dan berlarian dengan cepat sedang yang negatif hanya bergerak dan diam
ditempat.
b. Metode kedua yaitu menggunakan agar setengah padat yang ditempatkan
pada tabung. Kultur diambil lalu ditusukkan pada media dari atas ke bawah.
Setelah diinkubasi selama 24 jam terlihat penyebaran ke arah menyamping
seperti warna keruh berarti menandakan positif.
4. Indole
Indol merupakan zat yang berbau busuk yang dihasilkan oleh bakteri yang
ditumbuhkan dalam medium yang mengandung asam amino triptofan. Uji
indol dengan menggunakan pepton cair pada tabung dengan bantuan pereaksi
reagent kovac’s akan terlihat warna merah.
5. Methyl Red-Voger Proskaur (MRVP)
Pengujian ini dapat dilihat pada media methyl red pada tabung berwarna bening
teh, kultur terlebih dahulu dibiakkan semalam setelah terjadi kekeruhan
ditambahkan reagen methyl red 50-100 μL. Reaksi positif bila berwarna merah
dan negatif bila berwarna kuning. Sedang untuk pengujian Vorges Proskaur
(VP) ke dalam media yang sama ditambahkan α-naphtol sebanyak 500-600 μL
lalu dikocok dan ditambahkan KOH 40% sebanyak 200 μL. Reaksi dapat
dilihat setelah 20-30 menit berwarna merah jika positif VP.
6. Citrate
Menggunakan media agar miring pada tabung yang berwarna hijau
ditambahkan bromthymol blue. Biakan digereskan pada permukaan agar lalu
diinkubasi 24-72 jam, perubahan warna menjadi biru jika positif. Untuk yang
negatif di reinkubasi beberapa hari hingga terjadi perubahan.
7. Nitrate Reaction
Menggunakan nutrien broth yang ditambahkan KNO3. Biakan murni
ditumbuhkan selama semalam setelah keruh menandakan cukup pertumbuhan
dengan menambahkan reagen Nitrate soln A dan soln B terjadi perubahan
warna menjadi merah terang.
Setelah pengujian di atas, dilakukan pengujian secara biokimia dengan
menggunakan berbagai macam uji gula-gula dengan menggunakan medium
Pepton water
sebagai dasar medium digunakan Pepton 10 g, NaCl 5g, dan
aquadest 1000 ml lalu ditambahkan indikator phenol red (pH 7.2-7.4) kemudian
disterilisasi pada 115
o
C selama 20 menit. Penambahan gula-gula seperti
Aesculine, Arabinoce, Dulcitol, Fructose, Galactose, Inisitol, Lactose, Maltose,
Rafinose, Rhamnose, Salicin, Sorbitol, Sucrose, Trehalose, Xylose dengan
masing-masing konsentrasi antara 0.5-1%.
Setelah penambahan gula-gula
dilakukan sterilisasi dengan steam selama 10 menit. Perubahan warna menjadi
kuning bila positif. Secara keseluruhan tahapan proses isolasi mikroba dan
determinasi/identifikasi bakteri seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Persiapan Sampel
Pembuatan Media
(PDA & NA)
Pembiakan (inokulasi) mikroba
Pembiakan
Bakteri dalam
media NA
Pembiakan
Kapang/Khamir dalam
media PDA
Isolasi Bakteri
Isolasi
Kapang/Khamir
Koloni tunggal
Pewarnaan
bakteri
Koloni tunggal
Determinasi/identifikasi
bakteri
Uji sifat Biokimia
Genus/Spesies
Gambar 4 Tahapan isolasi dan identifikasi bakteri
3.7.5. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon
Mikroorganisme dapat mendegradasi
pestisida apabila mikroorganisme
tersebut diadaptasikan terlebih dahulu dengan lingkungan yang mengandung
pestisida. Karena dalam proses adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim yang
dibutuhkan unuk mendegradasi senyawa-senyawa rekalsitran (Gumbira-Said dan
Fauzi 1995).
Bakteri yang diperoleh dari hasil identifikasi lalu diujikan pertumbuhannya.
Media pertumbuhan dan adaptasi yang digunakan adalah Nutrient Agar (NA)
padat yang mengandung 100 dan 500 ppm diazinon.
Bakteri yang tumbuh kemudian dilakukan uji pembentukan zona jernih
untuk menguji kemampuannya dalam mendegradasi diazinon. Media yang
digunakan adalah media MSPY (Mineral Salt Pepton Yeast) yang mengandung
diazinon 1000 ppm, 1500 ppm, dan 1700 ppm. Bakteri tersebut diinokulasi selama
empat hari untuk melihat aktivitasnya dalam mendegradasi diazinon.
3.7.5.1. Pembuatan Media NA adaptasi.
Cara pembuatan media ini yakni dengan menimbang NA sebanyak 2.3 g
dan agar powder 0.5 g ke dalam 100 ml air destilata kemudian dipanaskan sambil
diaduk. Setelah mendidih dan homogen media disterilisasi dalam autoklaf pada
suhu 121 oC selama 15 menit. Kemudian media didinginkan (hangat kuku) lalu
ditambahkan diazinon 100 dan 500 ppm lalu dituang ke dalam petri steril. Setelah
padat petri ditutup dan dibalik agar uap air tidak jatuh ke atas permukaan agar.
Kemudian bakteri diinokulasikan dan diinkubasi pada suhu 30 oC selama 3 hari.
3.7.5.2. Pembuatan Media MSPY.
Pembuatan media MSPY dilakukan dengan cara melarutkan KH2PO4 0.2 g,
K2HPO4 0.5 g, MgSO4.7H2O 0.2 g, NaCl 0.2 g, CaCl2.2H2O 0.05 g, FeSO4.7H2O
0.025 g, Na2MoO4, 0.005 g, MnSO4 0.0005 g, NaWo2 0.0005 g, Bakto peptone 1.0
g, dan Yeast extract 2.0 g, ke dalam gelas piala yang berisi 1 liter air destilata
kemudian diaduk sambil mengatur pH pada kisaran 7.0 (pH netral). Lalu larutan
media dipindahkan ke dalam erlenmeyer yang berukuran 1 liter dan diisi bacto
agar sebanyak 15 g, kemudian disterilkan dalam autoklaf (Oshiro 1996). Media
steril tersebut kemudian ditambahkan diazinon dengan konsentrasi masingmasing, 1000 ppm, 1500 ppm, dan 1700 pm.
Menurut Margot dan Stammbach (1964), bahwa diazinon menguap pada
suhu 83-84
o
C, sensitif terhadap oksidasi pada suhu di atas 100 oC dan
terdegradasi pada di atas 120 oC sehingga diazinon tidak dapat disterilkan dengan
autoklaf. Oleh karena itu diazinon harus disterilkan melalui proses sterilisasi
penyaringan yakni dengan menggunakan filter ukuran 0.45 μm (millipore).
3.8. Analisis Aktivitas Mikroba dengan Fluorescein Diacetate (FDA) Assay
Analisis aktivitas mikroba dilakukan dengan menggunakan metode seperti
yang dilakukan oleh Eggen (1999), yaitu menggunakan Fluorescein Diacetate
(FDA) Assay. FDA tidak digunakan untuk menghitung biomassa mikrobial tetapi
untuk membandingkan aktivitas mikroba hydrolitik dalam satu ekosistem yang
sama. Penentuan FDA dilakukan dengan cara menginkubasi sampel dalam larutan
buffer, yang bertindak sebagai penerima elektron yang menurunkan warna
fluorescein. Intensitas warna ditentukan dengan menggunakan spektofotometri.
Larutan standar FDA dibuat dengan melarutkan 0.0399 gram FDA ke
dalam 100 mL aseton. Kemudian ditimbang
10 gram kompos
ke dalam
erlenmeyer yang telah diisi dengan larutan standar FDA masing-masing 0, 0.1;
0.2, 0.3, 0.5, 1.0 dan 1.5 mL, masing-masing erlenmeyer ditambah 50 mL buffer
fosfat. Larutan standar diinkubasi dengan penggoyangan (rotary shaker) pada
kecepatan 120 rpm selama satu jam kemudian ditambahkan 50 mL aseton untuk
menghentikan reaksi hidrolisis. Larutan disentrifugasi dengan kecepatan 6000
rpm selama 10 menit, lalu disaring. Absorban filtrat diukur dengan
spektrofotometri UV-VIS (Beckman DU 650) pada panjang gelombang (λ) 490
nm.
Perlakuan pada sampel dilakukan dengan cara menimbang FDA 0.200 gram
lalu dilarutkan dengan aseton kemudian ditambah dangan “deionized water”
(aquabidest) hingga 100 mL sebagai larutan stok. Sampel di timbang masingmasing 10 gram ke dalam erlenmeyer lalu ditambah 50 ml buffer fosfat (pH 7.6)
dan larutan FDA 0.5 mL kemudian diinkubasi dengan rotary shaker pada
kecepatan 120 rpm selama satu jam kemudian ditambahkan 50 mL aseton.
Larutan didekantasi (pindahkan) ke dalam tabung sentrifugasi dan disetrifugasi
dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit, lalu disaring dengan millipore (0.45
μm). Absorban diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang (λ) 490
nm.
3.9. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan ini dilakukan dengan menggunakan dua faktor yaitu
konsentrasi diazinon (x1) dan perbandingan tanah dengan kompos (x2). Pada
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon
(Respons Surface Method/RSM) mengikuti Rancangan Komposit Fraksional,
masing-masing peubah uji terdiri dari tiga taraf dengan rincian seperti ditunjukkan
pada Tabel 4.
Tabel 4 Kisaran dan taraf peubah uji pada optimasi bioremediasi
Nilai
faktor
terendah
(-1)
Nilai
faktor
tengah
0
Nilai
faktor
tertinggi
(+1)
Konsentrasi diazinon (ppm)
500
1000
1500
Rasio kompos dalam tanah (%)
10
20
30
Jenis Perlakuan
Dalam penelitian ini digunakan Central Composite Design (CCD)
(Montgomery,1991) dengan 3 ulangan pada titik pusat sehingga memenuhi
model kuadratik, nilai pusat perlakuan digunakan konsentrasi diazinon 1000 ppm
dan rasio kompos dalam tanah 20%. Matriks satuan-satuan percobaan pada proses
bioremediasi dalam unit dan nilai asli seperti disajikan pada Tabel 5. Dimana nilai
asli diperoleh dengan rumus
Nilai asli =[(nilai tertinggi/rendah–nilai tengah) x nilai kode + nilai tengah] ......(2)
Tabel 5 Matriks satuan percobaan pada optimasi proses bioremediasi rancangan
komposit fraksional
Kode
No
Diazinon
Kompos
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
1
-1
1
-1
0
0
0
1.414
-1.41
0
0
-
1
1
-1
-1
0
0
0
0
0
1.414
-1.414
-
Nilai asli
Diazinon Kompos(%) Keterangan
(ppm)
1500
30
P1
500
30
P2
1500
10
P3.
500
10
P4
1000
20
P51
1000
20
P52
1000
20
P53
1707
20
P6
293
20
P7
1000
35
P8
1000
6
P9
1000
0
K1
1000
0
K2
Dengan dua peubah uji tersebut maka model kuadratiknya seperti bentuk
persamaan berikut:
Yi = bo + b1x1i + b2x2i + b11x1i2 +b22x2i2 +b12x1i + ri
……….……………….. (3)
Keterangan:
Y
= Respon dari masing-masing perlakuan
X
= (x1: konsentrasi diazinon; x2: rasio kompos dalam tanah)
b
= Koefisien parameter
r
= error
Parameter respon utama yang digunakan adalah penurunan konsentrasi
diazinon. Sebagai kontrol digunakan tanah tidak disterilisasi dan tanpa
penambahan kompos (K1), dan tanah disterilisasi tanpa kompos (K2) dengan
masing-masing konsentrasi diazinon 1000 ppm.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Diazinon
4.1.1. Analisis Degradasi Diazinon dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Untuk memastikan ada atau tidaknya senyawa turunan hasil degradasi
diazinon oleh aktivitas mikroba yang berasal dari SMC maka dilakukan analisis
diazinon dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil analisis
dengan KLT dapat dilihat pada Gambar 5.
1
2
3
4
Gambar 5 Kromatogram hasil KLT dengan eluen heksana : etyl asetat (10:1, v/v)
(1) diazinon teknis pekat; (2) stok diazinon 10000 ppm;
(3) sampel P5 (H14); (4) sampel P5 (Ho)
Dari Gambar 5 secara kualitatif terlihat bahwa diazinon teknis pekat (1) dan
stok diazinon 1000 ppm (2) terdapat satu spot berwarna merah muda dengan
masing-masing nilai Rf 0.28 dan 0.24 dan satu spot berwarna kuning
kemungkinan merupakan pelarut dari senyawa diazinon tersebut. Pada sampel
hari ke-14 (3) ada tujuh spot dan satu diantaranya berwarna merah muda dan pada
hari ke-0 (4) ada tiga spot dengan masing-masing nilai Rf 0.24 dan 0.28 sama
dengan stok diazinon 1000 ppm dan diazinon teknis pekat, sedang spot yang
berwarna coklat kemungkinan terbentuk dari kotoran yang berasal dari tanah atau
kompos. Pada sampel hari ke-14 (3) terdapat spot berwarna kuning keemasan dan
orange dengan Rf 0.67 dan 0.8 ini diduga adalah merupakan senyawa turunan
hasil degradasi diazinon oleh SMC namun senyawa ini belum dapat
diindentifikasi dengan jelas.
Secara umum diazinon mempunyai rute degradasi mencakup pemutusan
ikatan P – O – pirimidin oleh aktivitas NADPH-dependent oksidase. Komponen
heterosiklik diazinon dapat diaktivasi oleh enzim monooksidase yang membentuk
derivatif P = O menghasilkan diazoxon tetapi senyawa ini dapat terhidrolisis
membentuk 2-isopropil-4-metil-6-hidroksipirimidin (IMHP), asam tiofosfonat dan
etanol. Proses reaksi transformasi enzimatik oleh mikroba terhadap diazinon
terjadi melalui reaksi primernya yaitu reaksi hidrolisis yang diikuti oleh reaksi
pemecahan rantai cincin diazinon menjadi 2-isopropil-4-metil-6-pirimidinol
(IMP) dan tiofosfonat. Hasil metabolisme mikroba tersebut diidentifikasi sebagai
senyawa yang mempunyai sifat toksik yang lebih kecil dari pada diazinon (Bollag,
1974).
Di alam, pada kondisi asam atau alkali diazinon dapat terdegradasi dengan
cepat, tetapi lambat pada kondisi netral (McEwen and Stephenson 1979). Proses
degradasi dalam penelitian ini berlangsung dalam keadaan pH netral (pH 7-8)
sehingga secara alami diazinon akan lambat terdegradasi tetapi dengan bantuan
aktivitas bakteri ataupun mikroba lainnya yang terdapat dalam SMC, maka
diazinon tersebut dapat terdegradasi secara mikrobial melalui proses hidrolisis.
Selain degradasi secara mikrobial, diazinon juga terdegradasi secara kimiawi
melalui reaksi hidrolisis dengan adanya sejumlah air sehingga hal ini
mengakibatkan diazinon mengalami proses degradasi dengan cepat.
4.1.2. Analisis Penurunan Konsentrasi Diazinon dengan Spektrofotometer
Analisis diazinon secara kualitatif juga dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer, yang bertujuan untuk mengetahui effisiensi penurunan
konsentrasi diazinon dan waktu terbaik yang akan digunakan untuk bioremediasi
yang efektif. Pengambilan sampel untuk analisis diazinon dilakukan pada hari ke0, 7, 14, 21, dan 28. Hasil analisis hari ke-7 (Lampiran 2) membentuk persamaan
respon permukaan seperti berikut
Y7 = 29.069 – 0.032Dz + 0.728Kp + 0 + 0.009Kp2 + 0.0002DzKp ……………(4)
Dimana:
Y7 = Respon terhadap degradasi diazinon pada hari ke-7
Dz = Konsentrasi diazinon
Kp = Rasio kompos
Berdasarkan persamaan (4) diperoleh bentuk permukaan respon interaksi
antara konsentrasi diazinon dengan rasio kompos dalam tanah terhadap penurunan
konsentrasi diazinon (Gambar 6). Dari Gambar tersebut terlihat bahwa rasio
kompos berpengaruh positif secara linear terhadap penurunan konsentrasi
diazinon dimana semakin banyak kompos dalam tanah maka penurunan
konsentrasi diazinon juga semakin besar, hal ini disebabkan karena jumlah
mikroba yang berperan dalam proses degradasi juga semakin banyak. Sedangkan
konsentrasi diazinon memberikan pengaruh negatif terhadap penurunan
konsentrasi diazinon dimana semakin tinggi konsentrasi diazinon maka sifat
toksik semakin besar sehingga menyebabkan diazinon mengalami penurunan
konsentrasi makin kecil.
Gambar 6 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-7
Penurunan konsentrasi diazinon pada hari ke-7 pada kombinasi konsentrasi
diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 20% hanya mencapai 32.1%. Hal ini
disebabkan karena mikroorganisme dalam SMC belum pernah berhubungan
langsung dengan senyawa diazinon sehingga mikroorganisme tersebut belum
memiliki enzim yang dapat melakukan perombakan terhadap senyawa diazinon.
Oleh karena itu
mikroorganisme tersebut masih membutuhkan waktu untuk
menyesuaikan diri (beradaptasi). Lambat laun mikroorganisme-mikroorganisme
tersebut akan beradaptasi dan melakukan perombakan terhadap senyawa diazinon
karena dalam proses adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim dan plasmid yang
dibutuhkan untuk mendegradasi diazinon dengan mendetoksifikasi menjadi zat
yang kurang atau tidak beracun.
Analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon (Lampiran 2)
menunjukkan ketidaksesuaian model yang dikembangkan, dimana nilai P total
model sebesar 0.58 lebih besar dari taraf signifikan 0.05. Interaksi antara
konsentrasi diazinon (Dz) dengan rasio kompos (Kp) memberi pengaruh positif
terhadap penurunan diazinon dengan nilai signifikan sebesar 92.8%. Ini berarti
bahwa semakin banyak kompos yang ditambahkan maka akan semakin besar
penurunan konsentrasi yang terjadi.
Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smirnov Normality
Test menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling
bebas dengan keragaman relatif homogen dengan nilai P>0.15. Plot kenormalan
seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7 Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-7
Hasil analisis hari ke-14 (Lampiran 3) membentuk persamaan respon
permukaan seperti berikut
Y14 = 82.757 + 0.022 Dz – 0.313 Kp – 0 – 0.005 Kp2 + 0.001 Dz Kp ..............(5)
Persamaan (5) memberikan informasi bahwa semakin tinggi konsentrasi
diazinon memberikan pengaruh negatif terhadap penurunan konsentrasi diazinon,
ini berarti bahwa semakin besar konsentrasi diazinon akan menghambat proses
degradasi dan menyebabkan penurunan konsentrasi diazinon yang terjadi juga
kecil. Hal ini disebabkan karena konsentrasi diazinon yang tinggi memiliki sifat
toksik
yang
tinggi
mikroorganisme
untuk
terhadap
mikroorganisme
menguraikan
senyawa
sehingga
diazinon.
menghambat
Rasio
kompos
memberikan pengaruh positif terhadap penurunan konsentrasi diazinon karena
jumlah mikroorganisme yang berperan dalam proses degradasi diazinon semakin
banyak. Sehingga
dengan penambahan kompos akan meningkatkan laju
degradasi diazinon. Mikroorganisme dalam SMC mampu tumbuh dan
berkembang biak dengan menggunakan sellulosa, lignosellulosa ataupun lignin
dalam kompos sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya sehingga jumlah
populasi mikroba semakin meningkat dan menyebabkan aktivitas mikroba juga
mengalami peningkatan.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa nilai optimum pada hari ke-14 diperoleh
pada kombinasi konsentrasi diazinon 1000 ppm dengan kompos dalam tanah 30%
yang dapat menurunkan konsentrasi diazinon sebesar 88%. Pada kombinasi
konsentrasi diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 20% penurunan konsentrasi
diazinon sebesar 80.8%.
Gambar 8 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-14
Dari hasil analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon (Lampiran 3)
menunjukkan bahwa secara linear dan kuadratik rasio kompos berpengaruh nyata
terhadap
penurunan
konsentrasi
diazinon.
Hasil
analisis
tersebut
juga
menunjukkan adanya kesesuaian model yang dikembangkan dimana nilai P total
model sebesar 0.029 kurang dari taraf signifikan 0.05. Nilai P interaksi kedua
faktor sebesar 0.405 tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf 95%.
Nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0.79 menunjukkan relatif tingginya
korelasi antara nilai-nilai observasi dan nilai dugaan. Nilai koefisien determinasi
(R2) sebesar 62.8% yang menunjukkan bahwa ada 37.0% dari total keragaman
yang tidak terjelaskan oleh model.
Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smirnov Normality
Test menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling
bebas dengan keragaman relatif homogen dengan nilai P>0.15. Plot kenormalan
seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9 Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-14
Hasil analisis hari ke-21 (Lampiran 4) membentuk persamaan respon
permukaan seperti berikut
Y21 = 84.145 + 0.01Dz + 0.093Kp – 0 – 0.007Kp2 + 0.001DzKp
……….......(6)
Berdasarkan persamaan (6) diperoleh bentuk permukaan respon interaksi
antara konsentrasi diazinon dengan rasio kompos dalam tanah terhadap penurunan
konsentrasi diazinon seperti ditunjukkan pada Gambar 10. Dari Gambar tersebut
dapat diketahui bahwa rasio kompos yang ditambahkan akan mempengaruhi
penurunan konsentrasi diazinon. Menurut Barker dan Bryson (2002) bahwa
degradasi kontaminan dalam tanah dapat dipercepat dengan penambahan kompos
karena meningkatkan substrat untuk kometabolisme. Mikroorganisme juga dapat
mengakumulasikan racun hasil metabolisme dalam selnya sehingga terjadi
penurunan konsentrasi.
Penurunan konsentrasi diazinon mencapai titik optimum pada kombinasi
diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 25% yang dapat menurunkan
konsentrasi diazinon sebesar 91.8%. Pada kombinasi konsentrasi diazinon 1000
ppm dengan rasio kompos 20% penurunan konsentrasi diazinon mencapai 89.6%.
Gambar 10 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-21
Dari hasil analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon pada hari ke21 (Lampiran 4) secara linear dan kuadratik menunjukkan bahwa rasio kompos
berpengaruh nyata terhadap penurunan konsentrasi diazinon. Hasil analisis juga
menunjukkan kesesuaian model yang kembangkan dimana nilai P total model
kurang dari tarat signifikan 0.05. Nilai P interaksi kedua faktor sebesar 0.170
tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf 95%. Nilai koefisien korelasi
berganda (R) sebesar 0.89 menunjukkan relatif tingginya korelasi antara nilai-nilai
observasi dan nilai dugaan. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 80.0%
menunjukkan bahwa ada 20% dari total keragaman yang tidak terjelaskan oleh
model.
Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smirnov Normality
Test diperoleh nilai P<0.15. Plot kenormalan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-21
Hasil analisis hari ke-28 (Lampiran 5) membentuk persamaan respon
permukaan seperti berikut
Y28 = 85.507 – 0.002Dz + 0.499Kp – 0 – 0.008Kp2 + 0.0003DzKp
…...……(7)
Berdasarkan persamaan (7) diperoleh bentuk permukaan respon pengaruh
interaksi kedua faktor terhadap penurunan konsentrasi diazinon seperti
ditunjukkan pada Gambar 12. Dari Gambar tersebut dapat diketahui bahwa rasio
kompos sangat mempengaruhi penurunan konsentrasi diazinon dimana rasio
kompos yang rendah memberikan efek penurunan konsentrasi diazinon juga
rendah. Penurunan konsentrasi diazinon mencapai titik optimum pada kombinasi
diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 26% yang dapat menurunkan
konsentrasi diazinon mencapai 97.5%. Pada kombinasi rasio kompos 20% dengan
konsentrasi diazinon 1000 ppm mengalami penurunan konsentrasi diazinon
sebesar 92.6%.
Gambar 12 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-28
Dari hasil analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon pada hari ke28 (Lampiran 5) menunjukkan bahwa secara kuadratik rasio kompos berpengaruh
nyata terhadap penurunan konsentrasi diazinon. Hasil analisis juga menunjukkan
kesesuaian model yang dikembangkan dimana nilai P total model sebesar 0.001
kurang dari tarat signifikan 0.05.
Nilai P interaksi kedua faktor tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf 95%. Nilai koefisien korelasi
berganda (R) sebesar 0.81 menunjukkan relatif tingginya korelasi antara nilai-nilai
observasi dan nilai dugaan. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 65.8% ini
berarti bahwa ada 34.2% dari total keragaman yang tidak terjelaskan oleh model.
Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smirnov Normality
Test menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling
bebas dengan keragaman relatif homogen dengan nilai P>0.15. Plot kenormalan
dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-28
Diazinon adalah salah jenis pestisida golongan organofosfat yang paling
stabil di dalam tanah. Waktu paruh diazinon adalah 30 hari (Wauchope et al. 1992
dalam Leland 1998), dan menurut Rao (1994) keawetan diazinon dalam tanah
normal adalah 3 bulan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penurunan
konsentrasi diazinon terjadi karena kometabolisme yang dilakukan bakteri dan
mikroba lainnya yang ada dalam SMC. Mikroba tersebut menggunakan bahanbahan organik dalam kompos sebagai sumber karbon dan energi, sehingga terjadi
peningkatan jumlah populasi dan aktivitas mikroba. Selama pertumbuhan
mikroorganisme tersebut secara terus menerus akan memproduksi enzim yang
dapat mendetoksifikasi diazinon. Jumlah populasi dan aktivitas mikroba serta
hasil degradasi diazinon pada kombinasi konsentrasi diazinon 1000 ppm dengan
rasio kompos 20% seperti ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah populasi dan aktivitas mikroba serta degradasi diazinon
Hari
ke-
TPC (cfu/g)
Aktivitas mikroba
(FDA/g)
Penurunan konsentrasi
diazinon (%)
0
7
14
21
28
2.5x105
4.5x105
3.7x106
4.5x106
4.6x106
0.0320
0.0355
0.1090
0.2484
0.2299
0
28.26
87.88
91.65
93.15
Gambar 14 (a dan b) menunjukkan bahwa jumlah populasi dan aktivitas
mikroba cenderung mengikuti pola kurva pertumbuhan mikroba. Pada hari ke-7
pertambahan jumlah populasi dan aktivitas mikroba masih relatif kecil karena
mikroba dalam SMC tersebut masih dalam tahap pertumbuhan dan penyesuaian,
sehingga proses degradasi diazinon relatif lambat dan mengakibatkan penurunan
5000000
100
4000000
80
3000000
60
2000000
40
1000000
20
0
0
0
7
TPC
14
Hari ke-
21
Penurunan konstr diazinon (%)
TPC (cfu/g)
konsentrasi diazinon jadi terhambat.
28
Penurunan konstr diazinon
(a)
0.3
Produk FDA
0.25
80
0.2
60
0.15
40
0.1
20
0.05
0
Penurunan konstr diazinon (%)
100
0
0
7
14
21
28
Hari keAktivitas mikroba
Penurunan konstr diazinon (%)
(b)
Gambar 14 (a) Kurva jumlah populasi dan hasil degradasi diazinon, (b) Aktivitas
mikroba dan hasil degradasi diazinon
Peningkatan jumlah populasi dan aktivitas mikroba terjadi karena didukung
oleh faktor suhu dan pH yang optimum serta sumber karbon yang cukup untuk
pertumbuhan bagi mikroorganisme. Dalam proses bioremediasi temperatur sangat
berpengaruh terhadap kecepatan reaksi kimiawi ataupun secara enzimatik. Suhu
optimum untuk proses bioremediasi adalah 10-42 oC. Suhu yang terlalu tinggi dan
pH yang terlalu asam akan menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat.
Dalam penelitian ini proses degradasi pada pH 7-8 dengan kadar air 30-50% dan
suhu 28-32 oC. Dimana kondisi ini merupakan kondisi yang optimum untuk
pertumbuhan bagi mikroorganisme sehingga mendukung terjadinya peningkatan
jumlah populasi dan aktivitas mikroba. Mikroorganisme dapat tumbuh dan
berkembang biak dengan baik pada kondisi pH netral karena pada kondisi tersebut
zat-zat makanan bagi mikroorganisme mudah larut dalam air yang ada dalam
tanah dan kerja enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme menjadi maksimal.
Dalam pertumbuhannya, mikroba tersebut diharapkan dapat memproduksi
enzim yang mampu melakukan perombakan (mendetoksifikasi) senyawa diazinon
secara sempurna sehingga membentuk suatu produk senyawa turunan yang
mempunyai sifat toksik yang rendah dari senyawa asalnya (diazinon). Mekanisme
transformasi dan degradasi pestisida yang tidak sempurna kadang terdapat
gangguan mikrobial misalnya transformasi kometabolik, reaksi konjugasi, dan
akumulasi pestisida di dalam sel mikroba itu sendiri, hal ini dapat menyebabkan
terbentuknya senyawa baru yang lebih berbahaya dari pestisida asalnya (Bollag
1974; Ku et al. (1998).
Pada hari ke-28 pertambahan jumlah populasi relatif kecil dan aktivitas
mikroba mengalami penurunan karena berada pada tahap kematian (death phase).
Oleh karena itu laju degradasi menurun sehingga menghambat penurunan
konsentrasi diazinon. Akan tetapi penurunan konsentrasi diazinon yang terjadi
hari ke-7 sampai hari ke-28 masih mengalami peningkatan, karena selain terjadi
proses degradasi secara enzimatik, proses degradasi juga terjadi secara fisik dan
kimiawi melalui reaksi hidrolisis, oksidasi dan penguapan. Pengadukan yang
dilakukan setiap minggu memungkinkan terjadinya proses oksidasi dan
penguapan. Sehingga hal ini dapat membantu laju degradasi dan menyebabkan
penurunan konsentrasi diazinon yang terjadi semakin besar.
Penurunan konsentrasi diazinon semakin besar karena selain dipengaruhi
oleh faktor lingkungan (suhu, pH, kadar air) yang optimum, waktu juga sangat
berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi diazinon, dimana semakin lama
waktu remediasi maka penurunan konsentrasi diazinon juga semakin besar.
Hasil analisis pengaruh interaksi antara tiga faktor (waktu, rasio kompos,
dan konsentrasi diazinon) (Lampiran 6) diperoleh persamaan dan permukaan
respon sebagai berikut
Y = -44.295 – 0.015Dz + 1.333Kp + 11.591t – 0 – 0.012Kp2 – 0.250t2 +
0.0004DzKp + 0.0006Dz t - 0.036 Kpt
…..……………………………(8)
Dimana:
Y = Respon terhadap degradasi diazinon
Dz = Konsentrasi diazinon (ppm)
Kp = Rasio kompos (%)
t = Waktu (hari ke-)
Bentuk permukaan respon dari pengaruh interaksi ketiga faktor terhadap
penurunan konsentrasi diazinon
seperti ditunjukkan pada Gambar 15. Dari
Gambar tersebut diketahui bahwa dengan bertambahnya waktu dan rasio kompos
yang optimal akan mempengaruhi penurunan konsentrasi diazinon dimana
semakin lama waktu remediasi maka penurunan konsentrasi diazinon juga
semakin besar, akan tetapi konsentrasi awal diazinon juga merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh dalam proses dekomposisi.
Interaksi antar waktu dengan rasio kompos mencapai titik optimum
penurunan konsentrasi diazinon setelah hari ke-14 dengan rasio kompos antara
16-39% pada konsentrasi diazinon 1000 ppm. Penurunan konsentrasi diazinon
dapat mencapai 89.5%. Plot permukaan respon seperti ditunjukkan pada Gambar
15.
Gambar 15 Grafik interaksi tiga faktor terhadap hasil degradasi diazinon
Analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon akibat interaksi ketiga
faktor (waktu, rasio kompos, dan konsentrasi diazinon) (Lampiran 6).
Menunjukkan bahwa secara kuadratik rasio kompos berpengaruh nyata terhadap
penurunan konsentrasi diazinon. Dari hasil analisis menunjukkan kesesuaian
model yang dikembangkan dimana nilai P total model sebesar 0.001 kurang dari
tarat signifikan 0.05. Nilai P interaksi ketiga faktor tidak menunjukkan pengaruh
yang nyata pada taraf 95%. Nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0.93
menunjukkan relatif tingginya korelasi antara nilai-nilai observasi dan nilai
dugaan. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 86.5% menunjukkan kesesuaian
model dimana hanya 13.5 dari total keragaman yang tidak terjelaskan oleh model. Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smimov Normality
Test menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling
bebas dengan keragaman relatif homogen dengan nilai P>0.15. Plot kenormalan
dapat
dilihat
pada
Gambar
16.
Gambar 16 Probabilitas normal degradasi diazinon dengan tiga faktor
Interaksi rasio kompos dengan waktu degradasi terhadap aktivitas mikroba
pada konsentrasi diazinon 1000 ppm seperti ditunjukkan pada Gambar 17. Pada
hari ke-7 merupakan tahap adaptasi dan pertumbuhan sehingga aktivitas mikroba
masih terhambat. Aktivitas mikroba mencapai titik optimal setelah hari ke-14
dengan rasio kompos 15-30%, pada kondisi ini lebih optimal sebagai sumber
karbon terhadap pertumbuhan mikroba. Rasio kompos yang tinggi akan
menghambat pertumbuhan mikroba sehingga aktivitasnya dapat terhambat.
Menurut Judoamidjojo et al. (1989) dalam Suherman (2000) bahwa suplai karbon
merupakan faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan optimal, tetapi apabila
sumber karbon melewati kebutuhan mikroba maka akan menimbulkan efek
penghambatan terhadap pertumbuhan. Selain faktor ketersediaan sumber karbon,
dalam proses degradasi ini berlangsung pada suhu 28-32 oC dan pH 7-8 yang
merupakan kondisi yang optimum untuk pertumbuhan mikroba dan melakukan
aktivitas.
Proses perombakan kontaminan oleh mikroba dapat terjadi melalui proses
metabolisme secara internal maupun melalui komponen yang berpengaruh seperti
enzim yang diproduksi oleh mikroba tersebut selama proses adaptasi. Proses
degradasi diazinon dapat terjadi melalui reaksi hidrolisis dimana yang berperanan
adalah enzim hidrolase yang dihasilkan selama proses adaptasi (misalnya
karboksilesterase, fosfatase dan esterase tipe A). Enzim-enzim tersebut dapat
mengikat dan mentransfor xenobiotik, serta meningkatkan jumlah dan aktivitas
enzim biodegradatif yang akan mendukung terjadinya proses dekontaminasi.
Gambar 17 Grafik interaksi rasio kompos dengan waktu degradasi terhadap
aktivitas mikroba
Secara kimiawi dan biologis diazinon dapat mengalami oksidasi yang akan
menghasilkan diazoxon tetapi dengan adanya sejumlah air diazoxon dapat
terhidrolisa
dan
akan
menghasilkan
IMHP
(2-isopropyl-4-methyl-6-
hydroxipyrimidine), dan asam tiofosforik serta etanol. Metabolik IMHP ini akan
terkonjugasi dalam binatang dan tanaman, serta terdegradasi menjadi CO2 dalam
tanaman dan tanah.
4.2. Isolasi dan Identifikasi Bakteri dari SMC
Isolasi bakteri dari SMC dilakukan untuk memperoleh galur bakteri yang
murni untuk selanjutnya diidentifikasi. Dari hasil isolasi ini ditemukan 14 isolat
kemudian diidentifikasi. Deskripsi hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran
7.
Hasil identifikasi ditemukan galur bakteri Pseudomonas stutzeri, Bacillus
mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis dan Chromobacterium spp (Gambar
18). Dari beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa Pseudomonas sp dan
Bacillus sp dapat mendegradasi pestisida golongan organofosfat. Aktivitas
bersama Pseudomonas stutzeri dan Pseudomonas aeruginosa dapat mendegradasi
paration. Sedangkan Bacillus cereus dapat mendegradasi pestisida jenis piretroid
(Cookson 1995).
Pseudomonas stutzeri
Bacillus cereus
Bacillus mycoides
Bacillus brevis
Chromobacterium spp
Gambar 18 Bentuk bakteri hasil identifikasi
4.3. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon
Bakteri yang telah diidentifikasi kemudian ditumbuhkan pada media padat
NA yang mengandung diazinon 100 ppm sebagai media adaptasi. Ternyata bakteri
jenis
Pseudomonas
stutzeri,
Bacillus
cereus,
Bacillus
mycoides,
dan
Chromobacterium spp dapat tumbuh dengan baik sedangkan Bacillus brevis tidak
dapat tumbuh pada media tersebut. Pertumbuhan bakteri seperti terlihat pada
Gambar 19. Bakteri tersebut kemudian ditumbuhkan lagi pada media padat NA
yang mengandung diazinon 500 ppm dan ternyata hanya Bacillus cereus yang
mampu tumbuh pada media padat tersebut.
Bacilllus mycoides
Bacilllus cereus
Chromobacterium spp
Pseudomonas stutzeri
Gambar 19 Pertumbuhan bakteri pada media NA padat 100 ppm diazinon
Namun demikian belum dapat dipastikan bahwa bakteri yang tumbuh pada
media tersebut adalah yang berperan dalam mendegradasi diazinon karena tidak
semua bakteri yang dapat tumbuh dalam media yang mengandung diazinon adalah
bakteri yang langsung dapat mendegradasi diazinon. Akan tetapi bakteri lainnya
hanya dapat menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dalam media yang
mengandung diazinon dan mengakumulasikannya dalam sel atau menggabungkan
diazinon dengan senyawa yang terdapat di alam. Oleh karena itu dilakukan uji
degradasi diazinon dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan oleh
Oshiro et al. (1996), yaitu dicirikan dengan terbentuknya zona jernih/bening di
sekeliling bakteri yang tumbuh.
Diazinon mempunyai kelarutan dalam air 0.004% pada suhu 20oC, sehingga
bila diazinon ditambahkan dalam media yang kandungan terbesarnya adalah air
maka media tersebut akan membentuk suspensi dan menimbulkan sifat opaque
(buram). Jika diazinon terdegradasi akan menghasilkan suatu senyawa turunan
yang lebih sederhana dan bersifat polar serta mempunyai kelarutan dalam air
yang lebih tinggi. Dengan kelarutan yang lebih tinggi dalam air akan
menyebabkan hilangnya sifat opaque, sehingga media akan menjadi jernih. Oleh
karena itu jika suatu koloni bakteri yang mampu mendegradasi diazinon menjadi
senyawa yang lebih sederhana ditumbuhkan diatas permukaan media padat, maka
di sekeliling koloni bakteri akan membentuk zona jernih (Margot & Stammbach
1964).
Bacillus cereus ditumbuhkan pada media MSPY yang mengandung
diazinon 1000 ppm, 1500 ppm, dan 1700 ppm dan diinkubasi selama empat hari.
Bacillus cereus mampu membentuk zona jernih di sekelilingnya. Kemampuan
pembentukan luas zona jernih seperti ditunjukkan pada Tabel 7. Dari Tabel
tersebut terlihat adanya peningkatan luas zona jernih yang terbentuk. Hal tersebut
menunjukkan adanya peningkatan aktivitas sehingga terjadi suatu proses
perombakan (degradasi) diazinon menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Tabel 7 Pembentukan zona jernih oleh Bacillus cereus
Konsentrasi diazinon (ppm)
1000
Luas zona jernih (cm2)
Hari ke-2
Hari ke-4
10.2
6.6
1500
1.0048
4.8
1700
1.0048
1.8
Bacillus cereus mampu menggunakan diazinon sebagai sumber karbon dan
energi untuk pertumbuhannya sehingga terjadi peningkatan aktivitas bakteri.
Aktivitas Bacillus cereus pada media diazinon 1000 ppm mengalami peningkatan
yang lebih besar dibanding dengan pada media 1500 ppm dan 1700 ppm karena
pada media yang mengandung diazinon 1500 dan 1700 ppm mempunyai sifat
yang lebih toksik terhadap bakteri tersebut. Akan tetapi Bacillus cereus masih
mampu melakukan aktivitas untuk mendegradasi diazinon hingga mencapai 1700
ppm.
4.4. Komposting
SMC yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompos setengah matang
dan segar yang telah mengalami proses pengomposan selama media tersebut
dijadikan sebagai media pembibitan jamur. Miselia jamur sebagian besar tersusun
atas selulosa, hemiselulosa dan lignin, serta vitamin dan mineral, sehingga limbah
substrat (media) tanam jamur masih mengandung sejumlah besar unsur hara yang
diperlukan oleh tanaman. Hasil analisis unsur hara SMC seperti ditunjukkan pada
Tabel 8.
Pengomposan (komposting) adalah suatu proses aerobik thermofilik yang
secara umum digunakan untuk proses daur ulang residu organik. Gradien oksigen,
nutrien dan temperatur dalam kompos akan mendukung peningkatan populasi
mikroba dan mempercepat konversi bahan organik (Reddy & Michel 1999).
Selain terjadi proses degradasi juga diharapkan terjadi proses komposting
karena adanya aktivitas mikroba. Bacillus dan Pseudomonas dapat memanfaatkan
bahan organik seperti selulosa, hemiselulosa maupun lignin sebagai sumber energi
sehingga terjadi proses dekomposisi. Bahan organik tersebut akan menghasilkan
CO2, H2O, NO3, SO4, CH4, dan H2S (Rao, 1994).
Tabel 8 Hasil analisis unsur hara SMC yang digunakan
No
Parameter
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
pH
N-organik (%)
N-NH4 (%)
N-NO3 (%)
N-total (%)
P2O5 (%)
K2O (%)
Na (%)
Ca (%)
Mg (%)
S (%)
C-organik (%)
Fe (ppm)
Al (ppm)
Mn (ppm)
Cu (ppm)
Zn (ppm)
B (ppm)
Pb (ppm)
Cd (ppm)
Cr (ppm)
Ni (ppm)
Co (ppm)
KTK (meq/100g)
C/N
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Komposisi
7
0.44
0.07
td
0.51
1.36
0.08
0.03
6053
59
1.99
35.98
1035
1777
291
29
22
54
9.3
td
1.7
td
0.4
262.4
70.5
10.56
25.45
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah proses bioremediasi
terjadi penurunan nilai C/N dan perubahan kandungan unsur-unsur hara lainnya.
Penurunan nilai C/N berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme pengurai yang
membebaskan CO2, dimana pemanfaatan bahan organik oleh mikroorganisme
tersebut akan menurunkan kandungan karbon. Sedangkan kandungan nitrogen
bertambah dan kadar amonium mengalami penurunan karena terjadi fiksasi,
sehingga hal ini menyebabkan terjadinya penurunan nilai C/N. Kondisi pH (7.397.68) dan kadar air (33.8-34.31) adalah kondisi yang optimum untuk pertumbuhan
bakteri. Rasio C/N awal bahan yang komposkan mempengaruhi proses
pengomposan dimana dengan rasio kompos yang tinggi maka proses
pengomposan akan lambat.
Tabel 9 Hasil analisis unsur hara pada sampel (tanah + kompos)
No
Parameter
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
pH
N-organik (%)
N-NH4 (%)
N-NO3 (%)
N-total (%)
P2O5 (%)
K2O (%)
Na (%)
Ca (%)
Mg (%)
S (%)
C-organik (%)
Fe (ppm)
Al (ppm)
Mn (ppm)
Cu (ppm)
Zn (ppm)
B (ppm)
Pb (ppm)
Cd (ppm)
Cr (ppm)
Ni (ppm)
Co (ppm)
KTK (meq/100g)
C/N
Kadar air (%)
Komposisi/jumlah
Awal (H+0)
Akhir (H+28)
7.39
7.68
0.1
0.14
0.04
0.02
< 0.01
0.02
0.14
0.16
0.18
0.22
0.02
0.02
0.01
0.02
0.23
0.67
0.11
0.1
0.08
0.07
7.19
7.12
33447
25678
99516
53790
<1
259
11
34
57
66
40
22
14.7
15.8
td
<1
1.6
0.9
td
td
17.9
17.8
135.4
114.5
51.4
44.5
33.85
34.31
Dengan adanya bakteri
Bacillus dan Pseudomonas maka bahan-bahan
organik SMC akan mengalami proses dekomposisi tapi butuh waktu yang lama
untuk memperoleh kompos yang memenuhi standar kualitas kompos yaitu sesuai
dengan SNI 19-7030-2004 (Tabel 10).
Tabel 10 Standar kualitas unsur makro kompos berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI 19-7030-2004)
Kandungan
Bahan organik (%)
Kadar air (%)
Total N (%)
Karbon (%)
Rasio C/N
P (%)
K (%)
pH
Baku
27-58
<50
>0.40
9.80-32.00
10-20
>0.10
>0.20
6.80-7.49
Dalam proses pengomposan, diazinon akan terurai dengan cepat dan bahkan
hampir seluruhnya dapat diuraikan. Dengan keragaman dan aktivitas mikroba
yang tinggi dalam pengomposan, maka akan menyebabkan peningkatan degradasi
(Barker & Bryson 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Bavcon (2003) dengan menggunakan bahan
organik, dilaporkan bahwa setelah 21 hari diazinon mengalami dekomposisi
secara fotolisis sebesar 30%, sedangkan sampel yang tidak terkena cahaya tidak
ditemukan adanya hasil degradasi. Penurunan konsentrasi yang terjadi pada
penelitian ini jauh lebih besar dibandingkan dengan yang menggunakan bahan
organik. Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme dalam SMC sangat
berperan dalam proses degradasi diazinon tersebut. Dengan pengomposan
diazinon lebih cepat mengalami degradasi dibanding dalam tanah secara alamiah
karena temperatur yang tinggi dan kandungan air yang besar. Volatilisasi diazinon
tergantung pada konsentrasi diazinon yang ditambahkan, bahan yang digunakan,
rasio kompos, dan kandungan air dalam kompos (Reddy & Michel 1999). Tabel 7
menunjukkan beberapa perbandingan hasil degradasi atau biotransformasi
diazinon selama pengomposan.
Tabel 11 Beberapa data degradasi diazinon
Metode
Waktu
(hari)
Konsentrasi
awal (ppm)
Penurunan
konsentrasi (%)
Keterangan
Alami
120
-
75-100
Rao (1994)
Bahan organik
terkena cahaya
matahari
21
6.9
30
Bavcon (2003)
Bahan organik
tanpa cahaya
21
6.9
0
Bavcon (2003)
Komposting
(sistem
windrow)
10
10
>97
Reddy dan
Michel (1999)
Komposting
(pupuk, serbuk
gergaji dengan
cahaya)
10
100
100
Reddy
dan Michel
(1999)
Komposting
(rumput dengan
cahaya)
10
9
99
Reddy dan
Michel (1999)
Komposting
(SMC tanpa
cahaya)*
21
1000
90
*Hasil dari penelitian ini.
4.5. Uji Aktivitas Mikroba
Peningkatan aktivitas mikroba juga dapat dilihat dari hasil analisis dengan
menggunakan Fluorescein Diacetate (FDA) Assay. Peningkatan jumlah FDA
yang dihasilkan menunjukkan adanya peningkatan aktivitas mikroba. Semakin
banyak FDA yang dihasilkan berarti semakin besar pula aktivitas mikrobanya.
Hasil uji aktivitas mikroba (Lampiran 8) menunjukkan bahwa aktivitas
mikroba cenderung mengkuti pola kurva pertumbuhan mikroba yaitu melewati
fase lamban (lag phase), fase eksponensial (exponential phase), fase diam
(stasionary phase), dan fase mati (death phase). Menurut Gumbira-Said (1997)
bahwa pertumbuhan mikroba diukur dengan pendekatan massa sel dan kurva
pertumbuhan yang mempunya tiga fase yang berbeda yaitu fase awal,
eksponensial dan stasioner.
Dari hasil uji aktivitas mikroba menunjukkan bahwa pada hari ke 0-7 masih
berada pada fase awal. Fase ini merupakan tahap adaptasi dan pertumbuhan,
dalam hal ini adaptasi dilakukan terhadap keberadaan senyawa diazinon. Dalam
proses adaptasi ini akan mengalami perubahan komposisi kimia sebelum mampu
memulai pertumbuhannya dan mikroba akan mensintesis enzim untuk melawan
dan mendetoksifikasi senyawa diazinon. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil
analisis penurunan konsentrasi diazinon bahwa pada hari ke-7 penurunan
konsentrasi diazinon yang terjadi masih relatif kecil.
Pada hari ke- 14 hingga hari ke-21 aktivitas mikroba berada pada fase
eksponensial, dimana pada fase ini mikroba melakukan metabolisme yang
optimal. Oleh karena itu penurunan konsentrasi pada hari ke-14 dan hari ke-21
mengalami laju penurunan yang besar karena aktivitas mikroba yang tinggi.
Populasi mikroba jarang dipertahankan pertumbuhannya pada fase eksponensial
dalam waktu yang lama karena dibatasi oleh sumber energi, ataupun karena
adanya sifat toksik sistem inhibisi oleh akumulasi hasil metabolisme beracun.
Pada hari ke-28 aktivitas mikroba mulai menurun dan sebagian cenderung mati,
terlihat pada sampel (P9) yang rasio komposnya relatif lebih kecil dengan
konsentrasi diazinon yang tinggi sehingga kemampuan hidup pada kondisi
tersebut sangat kecil karena sifat toksik yang dimiliki.
Pada hari ke-28 aktivitas mikroba berada pada tahap stasioner dan menuju
ke tahap kematian. Hal ini dapat menyebabkan penurunan aktivitas mikroba
sehingga
kecepatan
degradasi
oleh
mikroba
juga
menurun
dan
akan
mengakibatkan laju penurunan konsentrasi diazinon terhambat. Tetapi selain
terjadi proses degradasi secara biologis, diazinon juga mengalami reaksi kimia
secara hidrolisis karena adanya sejumlah air dalam bahan yang tercemar diazinon.
Selain itu, karena faktor waktu juga sangat berpengaruh dalam degradasi diazinon
sehingga hal ini menyebabkan penurunan konsentrasi diazinon pada hari ke-28
semakin besar.
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa mikroorganisme menggunakan
bahan-bahan organik dalam SMC sebagai sumber karbon dan energi untuk
pertumbuhannya sehingga populasi mikroba dan aktivitasnya meningkat yang
akan meningkatkan kemampuan mikroba untuk mendegradasi senyawa diazinon.
Akan tetapi dalam waktu tertentu pertumbuhan mikroba akan berada pada tahap
stasioner dan menyebabkan jumlah populasi dan aktivitas mikroba akan
mengalami penurunan sehingga kemampuan mendegradasi diazinon juga
terhambat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penambahan jumlah kompos dalam tanah dan waktu remediasi sangat
berpengaruh dalam proses biodegradasi dan memberi pengaruh positif pada
penurunan konsentrasi diazinon. Kondisi optimum untuk bioremediasi tanah
tercemar diazinon yang efektif dan ekonomis yakni dengan rasio kompos 15-32%
pada konsentrasi diazinon teknis 1000 ppm selama 14-21 hari yang dapat
menurunkan konsentrasi diazinon 80-92%.
Pseudomonas stutzeri, Bacillus mycoides, Bacillus cereus, Bacillus
brevis dan Chromobacterium spp adalah galur bakteri yang diisolasi dari SMC
(spent mushroom compost). Bakteri tersebut menunjukkan kemampuannya
untuk tumbuh dan beradaptasi pada media padat NA yang mengandung 100 ppm
diazinon, kecuali Bacillus brevis. Sedangkan Bacillus cereus mampu tumbuh
hingga 500 ppm diazinon. Bacillus cereus mampu mendegradasi diazinon pada
media padat MSPY yang mengandung 1700 ppm diazinon.
Saran
1. Perlu penelitian lebih lanjut menggunakan SMC dan mengaplikasikannya
dilapangan, mengidentifikasi senyawa turunan hasil biodegradasi dan
melakukan uji toksisitas untuk mengetahui pengaruh pestisida (diazinon) dan
turunannya terhadap tanaman
2. Dalam proses degradasi ini melibatkan beragam mikroorganisme sehingga
perlu studi lanjut dengan menggunakan isolat tunggal untuk mengetahui
kemampuan mendegradasi diazinon yang ada dalam tanah.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2003. Bord Glas Mush Book: Enrich Your Business with Spent
Mushroom Compost. Ireland: Developing Horticulture.
[Anonim]. Penggunaan Pestisida di Luar Usaha Budidaya Pertanian.
http://edmart.staff.ugm.ac.id/detailarticle.php?mesid=20&kata_kunci=pestis
ida. [4 Januari 2005].
[Anonim]. Extension Toxicology Network. Pesticide Information Profil.
http://extoxnet.orst.edu/pips/diazinon.htm. [20 Oktober 2005].
[Anonim]. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Peningkatan Efisiensi Agribisbis
yang Berkelanjutan. http://www.ipard.com/art perkebn/dhg1.asp. [19 Juni
2004].
[Anonim]. Peruraian Pestisida Organofosfor dalam Tanah Sawah.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/07001/war-3.htm. [27 Oktober 2004].
Allender WJ, Britt AG. 1994. Analyses of Liquid Diazinon Formulation and
Breakdown Products: An Australia-Wide Survey. Bulletin Environmental
Contamination and Toxicology. 53:902-906.
Bavcon M, Trebse P, Zupancic-Kralj L. 2003. Investigation of The Determination
and Tranformation of Diazinon and Malation Under Environmental
Conditions Using Gas Chromatography Coupe with a Flame Ionisation
Detector. Chemosphere 50:595-601.
Barker AV, Bryson GM. 2002. Bioremediation of Heavy Metals and Organic
Toxicant By Composting. The Scientific World. 2:407-420.
Baker HB, Diane SH. 1994. Bioremediation. New York: McGraw-Hill.
Bempelou ED, Liapis KS. Determination of Residues of 16 Common Pesticides
Apllied In Apple Fruit by Gas Chromatography. Pesticides Residues
Laboratory: Benakl Phytopathological Institute.
Bernier RL, Gray NCC Moser LE, penemu; 26 Agustus 1997. Compost
Decontamination of DDT Contaminated Soil. United States Patent.
5,660,612.
Boophaty R. 2000. Factor Limiting Bioremediation Technology. Review paper.
Bioresource Technology. 74: 63-67.
Bollag JM. 1974. Microbial Transformation of Pesticides. Adv. Appl. Microbial
Vol. 18:75-130.
Box GEP, Hunter JS. 1978. Statistical for Experiments. New York: John Wiley
and Sons Inc.
Chambers JE. Patricia EL, editor. 1992. Organophosphates: Chemistry, Fate, and
Effect. San Diego: Academic Press, Inc.
Chen W, Mulchandani A. 1998. The Use of Biocatalysts For Pestisida
Detoxification. Tibtech. 16: 71-76.
Citroreksono P. 1996. Pengantar Bioremediasi. Prosiding Pelatihan dan
Lokakarya “Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”.
Cibinong, 24-28 Juni 1996. LIPI/BPPT/HSF. Hal 1-5.
Connel DW, Gregory JM. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta:
UI-Press. Yanti Koestoer, penerjemah. Terjemahan dari: Chemistry and
Ecotoxicology of Pollution.
CPIS, 1992. Panduan Teknik Pembuatan Kompos dari Sampah. Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Center for Policy and Inplementation Study.
Eggen T. 1999. Application of Fungal From Commersial Mushroom Production
Pleuorotus ostreatus For Bioremediation of Creosote Contaminated Soil.
International Biodeterioration and Biodegradation 44: 117-126.
Ekha I. 1991. Dilema Pestisida, Tragedi Revolusi Hijau. Yogyakarta: Kanisius.
Gumbira-Said E. 1987. Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta:
PT. Medyatama Sarana Perkasa.
Gumbira-Said E, Fauzi AM. 1996. Bioremediasi dengan Mikroorganisme.
Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peranan Bioremediasi dalam
Pengelolaan Lingkungan”. Cibinong, 24-28 Juni. LIPI/BPPT/HSF. Hal 1117.
Gaur AC. 1983. A Manual of Rural Composting. The United Nation, Rome: FAO.
Gray NCC, Moser GP, Moser LE, penemu; 11 Mei 1999Compost
Decontaminating of Soil Contaminated With Chlorinated Toxicants..
United States Patent. 5,902,744.
Hayes WJ, Laws ER. 1991. Handbook of Pesticide Toxicology. San Diego:
Academic Press.
Holt JG, Krieg NR, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 1994. Bergey’s Manual
of: Determinative Bacteriology. Ninth edition. New York: Lippincott
Williams and Wilkins.
Indrasti NS. 2003. Penyusunan Standar Mutu dan Sistem Pemasaran Kompos,
Laporan Akhir. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Indrasti NS, Purwoko, Suherman. 2005. Aplikasi Linear Programming dalam
Formulasi Pupuk Organik Berbasis Kompos untuk Berbagai Tanaman.
Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol. 15 (2): 60-71.
Indriani YH. 1999. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Ku Y, Jay-Lin C, Sheng-Chyi. 1998. Effect of Solution pH on the Hydrolisys and
Photolisys of Diazinon in Aquous Solution. Water, Air, and Soil
Pollution.108:445-456.
Lau KL, Tsang YY, Chiu SW. 2003. Use of Spent Mushroom Compost to
Bioremediate PAH-Contaminated Samples. Chemosphere. 52:1539-1546.
Lay BW, Sugyo H. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press.
Leland JE. 1998. Evaluating the Hazard of Land Applying Composted Diazinon
Waste Using Earthworm Biomonitoring [thesis] Virginia: Faculty of the
Virginia Polytechnic Institute and State University.
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Risiko. Edi
Nugroho, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari: Basic
Toxikology: fundamentals, target organs, and risk assesment.
Margot A, Stammbach K. 1964. Analitycal Method for Pesticides Plant Growth
Regulation. New York: Academic Press Inc.
Magette W, Smyth S, Dodd V. Logistical Consideration for Spent Mushroom
Compost Utilisation. Ireland: Agricultural and Food Engineering
Department, University College Dublin Earlsfort Terrate.
Moser GP, Gray NCC, penemu; 7 Desember 1999. Compost Decontaminating of
Soil Contaminated With TNT, HMX, and RDX with Aerobic and
Anaerobic Microorganism. United States Patent. 5,998,199.
Moser GP, Gray NCC, Gannon DJ, penemu; 7 Maret 2000. Compost
Decontamination of Soil Contaminated with PCP using Aerobic and
Anaerobic Microorgnisms. United States Patent. 6,033,738.
Moser GP, Gray NCC, Gannon DJ, penemu; 4 Juli 2000. Compost
Decontamination of Soil Contaminated with PCB using Aerobic and
Anaerobic Microorgnisms. United States Patent. 6,083,738.
Montgomery DC. 1991. Design and Analysis of Experiment. New York.
McEwen FL, Stephenson GR. 1979. The Use and Significance of Pesticides in
The Environment. Canada: A Wiley-Interscience Publication.
Manurung H. 1992. Penurunan Kadar Residu Diazinon dan Kinetikanya Selama
Proses Pemanasan Wortel (Daucus carota L) yang Disemprot dengan
Diazinon 60 EC [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Norris I. et al. 1994. Handbook of Bioremediation. London: Lewis Publishers.
Ningsih D. 2001. Bioremediasi Diazinon Secara Ex Situ Menggunakan Mikrob
Indigenous Isolat B3 [skripsi] Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Old College Composting Technology Centre. 2004. Issues in Composting Based
Bioremediation (www.oldcollege.ab.ca).
Oshiro K, Kakuta T, Sakai T, Hirota H, Hoshino T, Uchiyama T. 1996.
Bioremediation of Oganophosphorus Insecticides by Bacteria Isolated From
Turf Green Soil. J Ferment. Bioeng 82: 299-305.
Porparest C. 1989. Organic Waste Recycling. New York: John Wiley and Sons.
Rahayu SP. 1985. Degradasi Pestisida dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan.
Buletin Penelitian 28:28-32.
Rao NSS. 1994. Mikrobiologi Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Herawati
Susilo, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari Soil
Microorganisms and Plant Growth.
Reddy CA, Michel Jr. FC. 1999. Fate of Xenobiotics During Composting.
Proceeding of the 8th Interntional Symposium on Microbial Ecology.
Canada: Atlantic Canada Society for Microbial Ecology.
SNI 19-7030. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Badan
Standarisasi Nasional.
Semple KT, Reid BJ, Fermor TR. 2001. Impact of Composting Strategies on The
Treatment of Soil Contaminated with Organic Pollutants. Review.
Environmental Pollution 112: 269-283.
Snape JB, Dunn IJ, Ingham J, Prenosil JE. 1995. Dynamics of Environmental
Bioprocesses: Modelling and Simulation. New York: VCH Publishers, Inc.
Soebroto MA. 1996. Fitoremediasi. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya
“Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan; Cibinong, 24-28
Juni 1996. Cibinong: LIPI/BPPT/HSF. hlm 51-59.
Soerjani M. 1996. Strategi Pengembangan Penelitian Bioremediasi dalam
Pengelolaan Lingkungan dan Pembangunan di Indonesia. Prosiding
Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan
Lingkungan; Cibinong, 24-28 Jun 1996. Cibinong: LIPI/BPPT/HSF. hlm
220-231.
Suherman AD. 2000. Bioremediasi Pestisida Organofosfat Diazinon Secara Ex
Situ dengan Menggunakan Mikroba Indigenous dari Areal Persawahan
[skripsi] Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Tarumengkang, R.C. 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak
Penggunaannya. Jakarta: Universitas Kristen Widya Kencana.
The Marck Index. 1996 : An Encyclopedia of Chemical, Drugs, and Biologicals.
12th Ed. USA: Published by Merch Research Laboratories Division of
MERCK & CO., Inc.
US-EPA. 1994. Composting Yard Trimming and Municipal Solid Waste.
EPA530-R-94-003.
US-EPA. 1997. Innovative Uses of Compost Bioremediation and Pollution
Prevention EPA-530-F-97-042.
US-EPA. 1998. An Analysis of Composting as An Environmental Remediation
Technology EPA-530-R-98-008.
U.S. Geological Survey. Bioremediation: Nature’s Way To A Cleanner
Environment. (www.usga.gov/wid/html/bioremed.htlm). [20 Oktober 2005]
Vidali M. 2001. Bioremediation. Pure Appl. Chem. 73:1163-1172.
Wudianto R. 1997. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Edisi revisi. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Yani M, Fauzi AM, Aribowo F. 2003. Bioremediasi Lahan Terkontaminasi
Senyawa Hidrokarbon. Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan
Sekitar Pertambangan dan Perminyakan; Bogor, 20 Peb 2003. Bogor:
Forum Bioremediasi IPB-PKSPL-IPB.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data pengamatan analisis diazinon dengan spektrofotometri pada
panjang gelombang (λ) = 241 nm
a. Kurva standar diazinon
Konsentrasi
diazinon (ppm)
I
0.0000
0.2206
0.3280
0.4444
0.6707
0.9653
1.0386
1.0648
0
250
500
750
1000
1250
1500
1750
absorbansi
II
III
0.0000 0.0000
0.2197 0.2197
0.3282 0.3284
0.4444 0.4451
0.6711 0.6715
0.9653 0.9645
1.0405 1.0405
1.0648 1.0648
rata-rata
0.0000
0.2200
0.3282
0.4446
0.6711
0.9650
1.0399
1.0648
Absorbansi
kurva std
y = 0.0007x + 0.0213
R2 = 0.9703
1.5000
absorbansi rata-rata
1.0000
Linear (absorbansi
rata-rata)
0.5000
0.0000
0
1000
2000
konsentrasi diazinon
(ppm)
b. Hasi
l analisis degradasi diazinon
Sampel
P1
P2
P3
P4
P51
P52
P53
P6
P7
P8
P9
K1
K2
Konsentrasi efektif hari ke0
7
14
21
28
99561.87 76828.54 12177.14 12819.04 7385.71
87019.02 69104.74 46609.51 8649.52 4198.09
39090.46 33604.75 11656.19 8160.00 4509.52
22942.85 19352.37 5449.52 7621.90 2663.81
75199.97 55857.12 7754.28 7091.43 4567.62
62585.69 45014.27 6262.85 5840.95 5323.81
71380.93 49271.41 11454.28 7699.04 4258.09
110961.87 82147.59 64239.03 6520.00 3935.24
59385.69 23495.23 42225.70 8737.14 4316.19
70747.59 19938.09 9175.23 11382.85 188.57
20409.51 18614.28 5609.52 6855.24 3920.95
63085.69 58599.98 54491.41 37034.27 30805.70
62680.93 61661.88 56693.32 44358.08 32496.18
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Penurunan konsentrasi hari ke7
14
21
22.83
87.77
89.85
20.57
46.4
92.58
14.03
70.18
73.78
15.65
76.25
83.79
25.72
89.69
92.25
28.08
89.99
91.08
30.97
83.95
91.62
25.97
42.11
95.29
60.44
28.9
89.01
71.82
87.03
91.82
8.8
72.52
77.40
7.11
13.62
46.07
1.63
9.55
38.86
28
92.58
95.18
88.46
88.39
93.93
91.49
94.03
96.45
92.73
99.73
80.79
50.85
48.49
78
Lampiran 2 Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-7 (output minitab versi 14)
Response Surface Regression: H7 versus dz, kp
The analysis was done using coded units.
Estimated Regression Coefficients for H7
Term
Constant
Kp
Dz
Kp*Kp
Dz*Dz
Kp*Dz
S = 20.36
Coef
29.0688
0.7284
-0.0319
0.0092
0.0000
0.0002
SE Coef
64.4007
3.9826
0.0813
0.0824
0.0000
0.0020
R-Sq = 44.9%
T
0.451
0.183
-0.393
0.111
0.232
0.095
P
0.671
0.862
0.711
0.916
0.825
0.928
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance for H7
Source
Regression
Linear
Square
Interaction
Residual Error
Lack-of-Fit
Pure Error
Total
DF
5
2
2
1
5
3
2
10
Seq SS
1689.45
1662.54
23.14
3.76
2073.60
2059.77
13.83
3763.05
Adj SS
1689.45
136.17
23.14
3.76
2073.60
2059.77
13.83
Adj MS
337.890
68.086
11.572
3.764
414.720
686.590
6.914
F
0.81
0.16
0.03
0.01
P
0.586
0.853
0.973
0.928
99.30
0.010
Unusual Observations for H7
Obs
2
StdOrder
2
H7
20.570
Fit
48.128
SE Fit
15.916
Residual
-27.558
St Resid
-2.17 R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Estimated Regression Coefficients for H7 using data in uncoded units
Term
Constant
Kp
Dz
Kp*Kp
Dz*Dz
Kp*Dz
Coef
28.1029
0.0484254
-4.55362E-05
4.35914E-05
1.59951E-11
1.89241E-08
79
Lampiran 3 Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-14 (output minitab versi 14)
Response Surface Regression: H14 versus Kp, Dz
The analysis was done using coded units.
Estimated Regression Coefficients for H14
Term
Constant
Kp
Dz
Kp*Kp
Dz*Dz
Kp*Dz
S = 10.53
Coef
82.7568
-0.3125
0.0221
-0.0050
-0.0000
0.0010
SE Coef
33.3018
2.0594
0.0420
0.0426
0.0000
0.0011
R-Sq = 62.8%
T
2.485
-0.152
0.526
-0.118
-1.554
0.910
P
0.055
0.885
0.622
0.911
0.181
0.405
R-Sq(adj) = 25.5%
Analysis of Variance for H14
Source
Regression
Linear
Square
Interaction
Residual Error
Lack-of-Fit
Pure Error
Total
DF
5
2
2
1
5
3
2
10
Seq SS
934.71
559.69
283.24
91.78
554.47
531.30
23.17
1489.18
Adj SS
934.71
53.41
283.24
91.78
554.47
531.30
23.17
Adj MS
186.94
26.70
141.62
91.78
110.89
177.10
11.59
F
1.69
0.24
1.28
0.83
P
0.290
0.795
0.356
0.405
15.28
0.062
Estimated Regression Coefficients for H14 using data in uncoded units
Term
Constant
Kp
Dz
Kp*Kp
Dz*Dz
Kp*Dz
Coef
83.1593
-0.0206702
2.94255E-05
-2.38244E-05
-5.53122E-11
9.34497E-08
80
Lampiran 4 Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-21 (output minitab versi 14)
Response Surface Regression: H21 versus dz, kp
The analysis was done using coded units.
Estimated Regression Coefficients for H21
Term
Constant
Kp
Dz
Kp*Kp
Dz*Dz
Kp*Dz
S = 4.436
Coef
84.1447
0.0930
0.0099
-0.0065
-0.0000
0.0006
SE Coef
14.0282
0.8675
0.0177
0.0179
0.0000
0.0004
R-Sq = 79.8%
T
5.998
0.107
0.560
-0.362
-1.980
1.366
P
0.002
0.919
0.600
0.732
0.105
0.230
R-Sq(adj) = 59.7%
Analysis of Variance for H21
Source
Regression
Linear
Square
Interaction
Residual Error
Lack-of-Fit
Pure Error
Total
DF
5
2
2
1
5
3
2
10
Seq SS
389.791
274.648
78.420
36.724
98.390
94.337
4.053
488.181
Adj SS
389.791
6.790
78.420
36.724
98.390
94.337
4.053
Adj MS
77.958
3.395
39.210
36.724
19.678
31.446
2.027
F
3.96
0.17
1.99
1.87
P
0.079
0.846
0.231
0.230
15.52
0.061
Unusual Observations for H21
Obs
9
StdOrder
9
H21
82.800
Fit
88.585
SE Fit
3.498
Residual
-5.785
St Resid
-2.12 R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Estimated Regression Coefficients for H21 using data in uncoded units
Term
Constant
Kp
Dz
Kp*Kp
Dz*Dz
Kp*Dz
Coef
83.9875
0.00761943
1.28612E-05
-3.08992E-05
-2.96912E-11
5.91133E-08
81
Lampiran 5 Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-28 (output minitab versi 14)
Response Surface Regression: h28 versus dz, kp
The analysis was done using coded units.
Estimated Regression Coefficients for h28
Term
Constant
Kp
Dz
Kp*Kp
Dz*Dz
Kp*Dz
S = 4.130
Coef
85.5073
0.4987
-0.0022
-0.0080
-0.0000
0.0003
SE Coef
13.0596
0.8076
0.0165
0.0167
0.0000
0.0004
R-Sq = 65.8%
T
6.547
0.617
-0.135
-0.478
-0.294
0.614
P
0.001
0.564
0.898
0.653
0.780
0.566
R-Sq(adj) = 31.7%
Analysis of Variance for H28
Source
Regression
Linear
Square
Interaction
Residual Error
Lack-of-Fit
Pure Error
Total
DF
5
2
2
1
5
3
2
10
Seq SS
164.318
153.585
4.307
6.426
85.271
81.133
4.138
249.589
Adj SS
164.318
10.481
4.307
6.426
85.271
81.133
4.138
Adj MS
32.864
5.241
2.154
6.426
17.054
27.044
2.069
F
1.93
0.31
0.13
0.38
P
0.244
0.748
0.884
0.566
13.07
0.072
Unusual Observations for H28
Obs
8
StdOrder
8
H28
96.450
Fit
91.178
SE Fit
3.257
Residual
5.272
St Resid
2.08 R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Estimated Regression Coefficients for H28 using data in uncoded units
Term
Constant
Kp
Dz
Kp*Kp
Dz*Dz
Kp*Dz
Coef
84.7899
0.0359241
-3.63660E-06
-3.79484E-05
-4.10542E-12
2.47281E-08
82
Lampiran 6 Hasil analisis kombinasi waktu, jumlah kompos dan konsentrasi
diazinon
Response Surface Regression: rs versus Dz, Kp, t
The analysis was done using coded units.
Estimated Regression Coefficients for rs
Term
Constant
Kp
Dz
t
Kp*Kp
Dz*Dz
t*t
Kp*Dz
Kp*t
Dz*t
S = 11.68
Coef
-44.2949
1.3331
-0.0152
11.5907
-0.0116
-0.0000
-0.2504
0.0004
-0.0356
0.0006
SE Coef
24.5692
1.2301
0.0251
1.4786
0.0236
0.0000
0.0359
0.0006
0.0261
0.0005
R-Sq = 86.5%
T
-1.803
1.084
-0.607
7.839
-0.493
-0.611
-6.966
0.757
-1.366
1.229
P
0.080
0.286
0.548
0.000
0.625
0.545
0.000
0.454
0.181
0.228
R-Sq(adj) = 82.9%
Analysis of Variance for Rs
Source
Regression
Linear
Square
Interaction
Residual Error
Lack-of-Fit
Pure Error
Total
DF
9
3
3
3
34
26
8
43
Seq SS
29677.2
22447.7
6690.4
539.0
4641.6
4599.8
41.8
34318.8
Adj SS
29677.20
8843.49
6690.44
539.05
4641.64
4599.82
41.83
Adj MS
3297.47
2947.83
2230.15
179.68
136.52
176.92
5.23
F
24.15
21.59
16.34
1.32
P
0.000
0.000
0.000
0.285
33.84
0.000
Unusual Observations for Rs
Obs
2
9
10
15
StdOrder
2
9
10
15
Rs
20.570
60.440
71.820
98.810
Fit
46.406
40.542
47.031
73.717
SE Fit
6.676
6.728
6.942
5.183
Residual
-25.836
19.898
24.789
25.093
St Resid
-2.69
2.08
2.64
2.40
R
R
R
R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Estimated Regression Coefficients for Rs using data in uncoded units
Term
Constant
Kp
Dz
t
Kp*Kp
Dz*Dz
t*t
Kp*Dz
Kp*t
Dz*t
Coef
-66.2762
0.0982521
-2.39058E-05
1.18808
-5.53652E-05
-1.20677E-11
-0.00227144
4.31522E-08
-2.33675E-04
8.73927E-08
83
Lampiran 7 Deskripsi hasil identifikasi bakteri
Coloni Morfologi
Gram stain
o
Pertumbuhan pada 37 C
1
2
3
4
5
G+Ve btg
G+Ve btg
G+Ve btg
G+Ve btg
G+Ve btg
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
d
-
-
-
-
-
o
Pertumbuhan pada .. C
Catalase
Oxidase
Glukose
O/F
Pertumbuhan pada Mac
Conkey
Motility
Hemolysis
Citrate
MR Test
VP test
Indole
Gelatin
H2S pada TsiA
Lysine decarboxylase
Ornithine decarboxilase
Urease
Nitrase
Aesculin hydrolysis
Pertumbuhan pada
NA/Broth
Glukose
Adonitol
Arabinose
Dulcitol
Glycerol
Inocitol
Lactose
Maltose
Mannitol
Raffinose
Rhamnose
Salicin
Sorbitol
Sukrose
Trehalose
Xylose
84
Lampiran 7 Lanjutan
Coloni Morfologi
Gram stain
o
Pertumbuhan pada 37 C
6
7
8
9
10
G+Ve btg
G-Ve btg
G+Ve btg
G+Ve btg
G+Ve btg
+
+
+
+
+
o
Pertumbuhan pada .. C
Catalase
Oxidase
Glukose
O/F
Pertumbuhan pada Mac
Conkey
Motility
Hemolysis
Citrate
MR Test
VP test
Indole
Gelatin
H2S pada TsiA
Lysine decarboxylase
Ornithine decarboxilase
Urease
Nitrase
Aesculin hydrolysis
Pertumbuhan pada
NA/Broth
Glukose
Adonitol
Arabinose
Dulcitol
Glycerol
Inocitol
Lactose
Maltose
Mannitol
Raffinose
Rhamnose
Salicin
Sorbitol
Sukrose
Trehalose
Xylose
+
+
-
+
+
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
d
-
-
85
Lampiran 7 Lanjutan
Coloni Morfologi
Gram stain
11
13
14
G+Ve btg
G+Ve btg
G-Ve btg
o
+
+
+
o
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
-
d
-
-
d
-
Pertumbuhan pada 37 C
Pertumbuhan pada 30 C
Catalase
Oxidase
Glukose
O/F
Pertumbuhan pada Mac
Conkey
Motility
Hemolysis
Citrate
MR Test
VP test
Indole
Gelatin
H2S pada TsiA
Lysine decarboxylase
Ornithine decarboxilase
Urease
Nitrase
Aesculin hydrolysis
Pertumbuhan pada
NA/Broth
Glukose
Adonitol
Arabinose
Dulcitol
Glycerol
Inocitol
Lactose
Maltose
Mannitol
Raffinose
Rhamnose
Salicin
Sorbitol
Sukrose
Trehalose
Xylose
-
-
-
+
86
Lampiran 7 Lanjutan
Keterangan hasil identifikasi bakteri:
1. Bacillus mycoides
2. Bacillus mycoides
3. Bacillus cereus
4. Bacillus cereus
5. Bacillus cereus
6. Bacillus cereus
7. Chromobacterium spp
8. Bacillus cereus
9. Bacillus brevis
10. Bacillus brevis
11. Bacillus cereus
13. Bacillus brevis
14. Pseudomonas stutzeri
87
Lampiran 8 Analisis aktivitas mikroba dengan spektrofotometri pada panjang
gelombang (λ) = 490 nm
a. Kurva standar
FDA
0.0
0.1
0.2
0.3
0.5
1.0
1.5
I
0.1942
0.2025
0.2143
0.2700
0.3195
0.5406
0.6031
Absorbansi
II
III
0.1946
0.1942
0.1973
0.1986
0.2171
0.2151
0.2712
0.2720
0.3186
0.3184
0.5445
0.5417
0.6021
0.6046
rata-rata
0.1943
0.1995
0.2155
0.2711
0.3188
0.5423
0.6033
Absorban
Kurva Standar FDA
0.7000
0.6000
0.5000
0.4000
0.3000
0.2000
0.1000
0.0000
y = 0.3048x + 0.1782
R2 = 0.9674
0.0
0.5
1.0
1.5
Vol FDA (ml)
2.0
b. Uji aktivitas mikroba pada sampel
0
7
14
21
28
0.1973
0.1980
0.2119
0.2721
0.2521
Sampel P1
Produk
FDA
0.0628
0.0651
0.1105
0.3081
0.2424
0.4000
Produk FDA
Sampel P1
Hari
Absorban
ke-
0.3000
0.2000
0.1000
0.0000
0
10
Hari Ke-
20
30
88
Sampel P2
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1966
0.1990
0.2233
0.2843
0.2641
0.0604
0.0681
0.1479
0.3480
0.2819
Hari
ke-
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1788
0.1797
0.1875
0.1979
0.1966
0.0019
0.0049
0.0305
0.0648
0.0605
Hari
ke-
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1787
0.1800
0.1897
0.1997
0.1994
0.0016
0.0060
0.0379
0.0706
0.0696
Hari
ke-
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1866
0.1873
0.2067
0.2585
0.2386
0.0276
0.0300
0.0935
0.2634
0.1982
Sampel P2
0.4000
Produk FDA
Hari
ke-
0.3000
0.2000
0.1000
0.0000
0
Sampel P3
Hari Ke-
20
30
Sampel P3
0.0800
Produk FDA
10
0.0600
0.0400
0.0200
0.0000
0
Sampel P4
20
30
Hari Ke- 20
30
Hari Ke-
Sampel P4
0.0800
Produk FDA
10
0.0600
0.0400
0.0200
0.0000
0
Produk FDA
Sampel P51
10
Sampel P51
0.3000
0.2500
0.2000
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
0
10 Hari Ke- 20
30
89
Sampel P52
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1881
0.1896
0.2072
0.2475
0.2488
0.0325
0.0374
0.0951
0.2273
0.2317
Hari
ke-
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1891
0.1901
0.2204
0.2558
0.2391
0.0358
0.0391
0.1384
0.2546
0.1998
Produk FDA
Hari
ke-
Sampel P52
0.2500
0.2000
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
0
10
Sampel P53
Hari Ke-
20
30
Sampel P53
Produk FD A
0.3000
0.2000
0.1000
0.0000
10 Hari Ke- 20
0
Sampel P6
30
Hari
ke-
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1879
0.1886
0.1909
0.1901
0.1878
0.0318
0.0342
0.0418
0.0392
0.0314
Hari
ke-
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1866
0.2080
0.2041
0.2136
0.2001
0.0275
0.0979
0.0851
0.1163
0.0718
Produk FDA
Sampel P6
0.0500
0.0400
0.0300
0.0200
0.0100
0.0000
0
10
Sampel P7
Hari Ke-
20
30
Sampel P7
Produk FDA
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
0
10
Hari Ke-
20
30
90
Sampel P8
Sampel P8
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.2046
0.2112
0.2255
0.2872
0.2908
0.0865
0.1082
0.1551
0.3576
0.3696
Hari
ke-
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1785
0.1784
0.1783
0.1765
0.1746
0.0009
0.0006
0.0004
-0.0056
-0.0119
Hari
ke-
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1783
0.1768
0.1695
0.1529
0.1459
0.0005
-0.0044
-0.0284
-0.0830
-0.1058
Hari
ke-
Absorban
Produk
FDA
0
7
14
21
28
0.1593
0.1573
0.1552
0.1503
0.1150
-0.0619
-0.0685
-0.0753
-0.0915
-0.2072
Produk FDA
Hari
ke-
0.4000
0.3000
0.2000
0.1000
0.0000
0
10
Sampel P9
20
Hari Ke-
30
Sampel P9
Produk FDA
0.0050
0.0000
0
10
20
30
-0.0050
-0.0100
-0.0150
Hari Ke-
Sampel K1
Produk FDA
Sampel K1
0.0200
0.0000
-0.0200 0
-0.0400
-0.0600
-0.0800
-0.1000
-0.1200
Sampel K2
10
20
30
Hari Ke-
Sampel K2
0.0000
Produk FDA
-0.0500 0
10
20
-0.1000
-0.1500
-0.2000
-0.2500
Hari ke-
30
Download