BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR DIAZINON SECARA EX SITU DENGAN MENGGUNAKAN KOMPOS LIMBAH MEDIA JAMUR (SPENT MUSHROOM COMPOST) JUMBRIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2006 Jumbriah NIM F351030251 ABSTRAK JUMBRIAH. Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost). Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI dan M. AHKAM SUBROTO. Pestisida merupakan senyawa asing (xenobiotik) dan sulit terdegradasi pada kondisi tertentu (rekalsitran) sehingga perlu penanganan yang serius agar tidak membawa dampak negatif bagi lingkungan dan manusia. Salah satu metode yang dapat dilakukan yaitu dengan teknik bioremediasi menggunakan spent mushroom compost (SMC). Tanah dicemari diazinon dengan konsentrasi 500 ppm,1000 ppm, dan 1500 ppm kemudian ditambahkan SMC sebanyak 10%, 20%, dan 30% lalu diinkubasi selama 28 hari. Penurunan konsentrasi diazinon diukur setiap minggu dengan cara mengestraksi sampel dengan etil asetat dan dianalisis dengan spektrofotometer. Pengolahan data menggunakan metoda respon permukaan (RSM). Dari hasil analisis diperoleh pada hari ke-14 titik maksimum penurunan konsentrasi diazinon mencapai 88.1% pada perlakuan kombinasi jumlah kompos 30% dan konsentrasi diazinon 1000 ppm. Pada hari ke-21 penurunan konsentrasi diazinon mencapai 91.8% pada perlakuan kombinasi jumlah kompos 25% dan konsentrasi diazinon 1000 ppm. Pada hari ke-28 penurunan konsentrasi diazinon sebesar 97.5% pada perlakuan kombinasi jumlah kompos 26% dan konsentrasi diazinon 1000 ppm. Proses degradasi diazinon yang efektif dapat dilakukan selama 21 hari dengan penambahan kompos pada tanah sebesar 15-30% pada konsentrasi diazinon 1000 ppm. Beberapa jenis bakteri telah diisolasi dari SMC antara lain Bacillus mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis, Pseudomonas stutzeri, dan Chromobacterium spp. Bakteri tersebut mampu tumbuh pada media padat yang mengandung diazinon hingga 500 ppm kecuali Bacillus brevis. Kemampuan bakteri mendegradasi diazinon dicirikan dengan pembentukan zona jernih di sekeliling koloni yang ditumbuhkan pada media padat mineral salt peptone yeast (MSPY) yang mengandung diazinon. Bacillus cereus mampu mendegradasi diazinon sampai 1700 ppm. ABSTRACT JUMBRIAH. Ex Situ Bioremediation of Diazinon Contaminated Soil by Using Spent Mushroom Compost. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, MOH. YANI dan M. AHKAM SUBROTO. Pesticide is a xenobiotic compound and rexalcytran which should be handled seriously in order to prevent human and environment from those negative effects. One of the methods which can be utilized is bioremediation technique which is utilizing fresh spent mushroom compost (SMC). The diazinon contaminated soil whith the concentration of 500 ppm, 1000 ppm and1500 ppm, was added with SMC of 10%, 20% and 30%, then incubated for 28 days. The reduction of diazinon concentrate was analyzed every week through extracted sample with etyl acetat and measured by spectrophotometer. The data processing was conducted by using respon surface method (RSM). Based on this analysis, the maximum point of diazinon concentrate reduction was 88% with the treatment of combination of 30% compost and 1000 ppm diazinon, it was obatined on the 14th. On the 21st day the diazinon concentration reduction was 91.8%. It was the result from combination of 25% compost and 1000 ppm diazinon. On 28th day, the diazinon concentration reduction was 97.5%, result from the treatment of 26% compost and 1000 ppm diazinon. The diazinon degradation process can be effectively ferformed by adding 15-30% compost, with 1000 ppm of diazinon within 21 days incubation. Some of bacteria have been isolated from SMC. that were, Bacillus mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis, Pseudomonas stutzeri, dan Chromobacterium spp. Those bacteria were able to growth in solid medium which contains diazinon up to 500 ppm, except Bacillus brevis. The ability of bacteria to degrade diazinon based on their properties is forming a clear zone around the colony which is growth in solid medium of mineral salt peptone yeast (MSPY). Apparently, it is only Bacillus cereus is able to degrade diazinon up to 1700 ppm. © Hak cipta milik Jumbriah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR DIAZINON SECARA EX SITU DENGAN MENGGUNAKAN KOMPOS LIMBAH MEDIA JAMUR (SPENT MUSHROOM COMPOST) JUMBRIAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 Judul Tesis : Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost) Nama : Jumbriah NIM : F351030251 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng Anggota Dr. Ir. M. Ahkam S, M.App.Sc.APU Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dr. Ir. Irawadi Jamaran Tanggal Ujian: 16 Februari 2006 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Lulus: Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanaman-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Ra’d (13): 13-14) Kupersembahkan buat Ayah dan Ibu yang tercinta Yang telah membesarkan & mendidik Dengan penuh pengorbanan yang tak ternilai PRAKATA Bismillahirrahmaanirrahim. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang dilaksanakan pada bulan April-Oktober 2005 di Laboratorium Bioproses IV Puslit Biotek-LIPI Cibinong dengan judul: Bioremediasi Tanah Tercemar Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost). Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti selaku ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng dan Bapak Dr. Ir. M. Ahkam Subroto, M.App.Sc.,APU selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi bimbingan, arahan, perhatian, dan masukan selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Ibu Atit Kanti, MSc selaku koordinator Laboratorium Taksonomi LIPI-Bogor yang banyak membantu dan memberikan bimbingan mengenai identifikasi bakteri. Ungkapan terima kasih yang tulus dan ikhlas disampaikan kepada ayah dan ibu serta adik-adikku atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada rekan-rekan mahasiswa TIP khususnya angkatan tahun 2003 yang banyak membantu dan memberi dorongan serta motivasi. Kepada rekan-rekan di Laboratorium Bioproses IV Bioteknologi LIPI-Cibinong yang banyak membantu selama melakukan penelitian ini penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Bapak koordinator Proyek Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Melalui Sistem Bioremediasi (RUT: 01.6401) tahun anggaran 2005 atas pendanaan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Kepada semua pihak yang telah membantu secara moril maupun materil, penulis menyampaikan terima kasih, semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal. Amin. Bogor, Februari 2006 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bone pada tanggal 1 September 1968 dari ayah H. Lade Tellana dan ibu Hj. Nabang D. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia Makassar dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2003, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana di Program Studi Toknologi Industri Pertanian, Sekolan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai dosen yayasan di Universitas Lakidende dan karyawan di PT. Teknik Optimasi Prima (TOP) Consultant-Kendari. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Permasalahan ..................................................................................... 2 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4 1.4. Hipotesis.............................................................................................. 4 1.5. Ruang Lingkup .................................................................................... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pestisida .............................................................................................. 5 2.2. Diazinon ............................................................................................. 8 2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi .......................................................... 11 2.4. Degradasi Residu Pestisida Diazinon ................................................. 14 2.5. Kompos ............................................................................................... 19 2.6. Bioremediasi Menggunakan Kompos ................................................. 20 2.7. Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost).............. 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 24 3.2. Alat dan Bahan .................................................................................... 24 3.2.1. Alat .......................................................................................... 24 3.2.2. Bahan ...................................................................................... 24 3.3. Pengambilan Sampel untuk Perlakuan ................................................ 25 3.4. Desain Penelitian................................................................................. 25 3.4.1. Penelitian Tahap I ................................................................... 25 3.3.3. Penelitian Tahap II .................................................................. 25 3.5. Proses Biodegradasi Diazinon ............................................................ 26 3.6. Analisis Kadar Diazinon ..................................................................... 27 3.6.1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ............................................. 27 3.6.2. Spektrofotometer UV-VIS ....................................................... 28 3.7. Isolasi Mikroba dan Identifikasi ......................................................... 28 3.7.1. Pembuatan Media .................................................................... 28 3.7.1.1. Potato Dextrose Agar (PDA) .................................... 28 3.7.1.2. Nutrien Agar (NA) .................................................... 29 3.7.2. Isolasi Mikroba (Bakteri dan Kapang) .................................... 29 3.7.3. Pewarnaan Bakteri .................................................................. 31 3.7.4. Determinasi dan Identifikasi ................................................... 33 3.7.5. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon ..................................... 37 3.7.5.1. Pembuatan Media NA Adaptasi ................................ 38 3.7.5.2. Pembuatan Media MSPY .......................................... 38 3.8. Analisis Aktivitas Mikroba dengan Fuorescein Diacetate (FDA) Assay ....................................................................... 39 3.9. Rancangan Percobaan ......................................................................... 40 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Diazinon ................................................................................ 42 4.1.1. Analisis Degradasi Diazinon dengan KLT ............................. 42 4.1.2. Analisis Penurunan Konsentrasi Diazinon dengan Spektrofotometer ........................................................ 43 4.2. Isolasi dan Identifikasi Bakteri dari SMC ........................................... 58 4.3. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon ................................................ 60 4.4. Komposting ......................................................................................... 62 4.5. Uji Aktivitas Mikroba ......................................................................... 66 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 69 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 70 LAMPIRAN ..................................................................................................... 75 DAFTAR TABEL Halaman 1. Penemuan toksikologi dan evaluasi pada insektisida tertentu .................... 10 2. Karakteristik kompos limbah media jamur ................................................ 22 3. Komposisi kompos limbah media jamur ................................................... 23 4. Kisaran dan taraf peubah uji pada optimasi bioremediasi ......................... 40 5. Matriks satuan percobaan ........................................................................... 41 6. Jumlah populasi, aktivitas mikroba dan degradasi diazinon .................... 52 7. Pembentukan zona jernih oleh Bacillus cereus.......................................... 62 8. Hasil analisis unsur hara SMC yang digunakan......................................... 63 9. Hasil analisis unsur hara pada sampel (tanah + kompos) .......................... 64 10. Standar kualitas unsur makro kompos berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI-19-7030-2004) ................................................................. 65 11. Bebarapa data degradasi diazinon ............................................................ 66 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Rumus bangun diazinon .............................................................................. 9 2. Produk-produk degradasi diazinon ............................................................. 17 3. Diagram tahapan penelitian ........................................................................ 26 4. Tahapan isolasi dan identifikasi bakteri ...................................................... 37 5. Kromatogram hasil KLT ............................................................................. 42 6. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-7 .................... 44 7. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-7 .............................. 45 8. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-14 .................. 47 9. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-14 ........................... 48 10. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-21 ................. 49 11. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-21 ........................... 50 12. Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-28 ............................ 51 13. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-28 .......................... 52 14. Kurva jumlah populasi dan aktivitas mikroba ......................................... 53 15. Grafik interaksi tiga faktor terhadap hasil degradasi diazinon.................. 56 16. Probabilitas normal hasil degradasi diazinon dengan tiga faktor .............. 57 17. Grafik interaksi ratio kompos dengan waktu terhadap aktivitas mikroba ..................................................................................... 58 18. Bentuk bakteri hasil identifikasi ............................................................... 59 19. Pertumbuhan bakteri pada media NA padat 100 ppm diazinon ................ 60 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data pengamatan analisis diazinon dan kurva standar .............................. 76 2. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-7 ................................................. 78 3. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-14 ............................................... 79 4. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-21 .............................................. 80 5. Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-28 .............................................. 81 6. Hasil analisis degradasi diazinon kombinasi waktu, rasio kompos, dan konsentrasi diazinon .................................................................................. 82 7. Deskripsi hasil identifikasi bakteri ............................................................. 83 8. Analisis aktivitas mikroba dan kurva standar .......................................... 87 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pestisida sering juga disebut obat-obatan antiparasit atau bahan fitofarmasi yang mempunyai peranan penting dalam usaha peningkatan produksi pertanian. Penggunaan pestisida pada sektor pertanian di satu sisi akan memberi hal yang positif yaitu dapat meningkatkan produksi tanaman. Namun di sisi lain akan menimbulkan dampak negatif karena adanya sejumlah residu pestisida yang tertinggal pada tanaman, biji-bijian, tanah ataupun terbawa dalam perairan. Residu pestisida yang tertinggal tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan manusia. Secara langsung ataupun tidak langsung sejumlah bahan kimia tersebut dapat mencapai manusia, melalui pernapasan, makanan dan air minum. Dampak negatif lain yang ditimbulkan adalah masalah keracunan yang terjadi lebih dari 400 ribu kasus pertahun, pencemaran lingkungan yang mencakup kontaminasi terhadap tanah, air permukaan, air tanah, dan udara (www.tempo.co.id/medika). Permasalahan dalam pendegradasian pestisida adalah adanya senyawasenyawa pestisida yang kuat menetap di lingkungan dan sulit terdegradasi (rekalsitran) oleh mikroorganisme. Hal ini disebabkan mikroorganisme perombak tidak pernah berhubungan dengan senyawa tersebut sehingga mikroorganisme perombak belum berpengalaman dalam perombakan senyawa-senyawa yang belum dikenal sebelumnya, karena tidak memiliki enzim yang dibutuhkan untuk mendegradasi senyawa-senyawa rekalsitran ataupun bahan pencemar tersebut. Melalui proses kimia, biokimia dan fisika, maka lambat laun mikroorganismemikroorganisme tersebut dapat beradaptasi dan melakukan perombakan. Dalam proses adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim dan plasmid yang dibutuhkan untuk mendegradasi senyawa rekalsitran (Gumbira-Said dan Fauzi, 1996). Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan pola pengendalian hama terpadu, mengembangkan teknologi mikroorganisme efektif, dan menggunakan pestisida yang berasal dari tanaman atau pestisida nabati. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah banyak teknologi alternatif untuk mengatasi dan memperbaiki kondisi lingkungan yang telah terkena polutan. Salah satunya yakni dengan berkembangnya teknik bioremediasi baik secara in situ maupun secara ex situ. Di negara-negara barat saat ini telah dikembangkan teknik bioremediasi dengan menggunakan kompos (compost bioremediation). Teknik bioremediasi ini banyak diminati karena lebih praktis dan ekonomis dibanding dengan teknik bioremediasi lainnya (US-EPA, 1997; 1998). Penggunaan kompos dalam proses bioremediasi efektif dalam mendegradasi banyak jenis kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tak terklorinasi, bahan-bahan kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida, produk-produk minyak, bahan peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (EPA 1997; EPA 1999; Gray et al. 1999; Baker & Bryson 2002 ). Kompos merupakan salah satu pupuk organik yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan pupuk sintetis, karena selain dapat memperbaiki sifat-sifat fisik tanah, memulihkan dan meningkatkan kesuburan tanah, kompos juga mempunyai kandungan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman serta merupakan absorban yang sangat baik untuk senyawa-senyawa organik dan anorganik. Pemakaian kompos akan menambah kemampuan tanah dalam menyimpan air dan menyerap pupuk, sehingga akan membantu dalam pertumbuhan tanaman (CPIS 1992). 1.2. Permasalahan Residu pestisida merupakan salah satu limbah kimia berbahaya dan beracun yang bersifat persisten (sulit terdegradasi pada kondisi tertentu) di alam. Akan tetapi bukan berarti tidak dapat terdegradasi sama sekali, namun peristiwa degradasi yang terjadi sangat lambat karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Secara alamiah lingkungan tercemar tersebut mengandung aneka ragam mikroorganisme (mikroba indigenous). Mikroorganisme tersebut diperlukan dalam penanganan limbah atau polutan sebagai pendegradasi dan untuk menguraikan bahan organik menjadi bahan yang lebih sederhana. Fenomena yang perlu mendapatkan perhatian dalam mengoptimalisasikan aktivitas mikroorganisme untuk bioremediasi adalah interaksi antara beberapa galur mikroorganisme di lingkungan. Menurut Ohshiro et al. (1996), Arthrobacter sp. mampu mendegradasi organofosfat isoxathion melalui reaksi hidrolisis menjadi 3-hidroksi-5-fenilisoxazol dan asam dietiltiofosforik, juga dapat menghidrolisis diazinon, paration, fenitrotion, isofenfos, khlorphyrifos dan ethoprofos. Chen dan Mulchandani (1998) dalam penelitiannya menemukan bahwa Pseudomonas putida dapat mendegradasi pestisida golongan organofosfat seperti diazinon, fenitrition, paration, dan malation dengan menjadikannya sebagai sumber karbon dan atau sumber fosfor. Mikroorganisme tersebut terlebih dahulu harus diadaptasikan dengan lingkungan yang terdapat pestisida agar secara genetik plasmid di dalam sel mikroorganisme akan mengeluarkan enzim untuk melawan pestisida, sehingga mikroorganisme akan terbiasa dengan lingkungan yang mengandung pestisida. Salah satu cemaran yang perlu mendapatkan penanganan yang serius saat ini adalah cemaran pestisida jenis diazinon. Diazinon adalah salah satu jenis pestisida golongan organofosfat yang banyak digunakan oleh petani untuk mengendalikan dan memberantas hama tanaman padi, tembakau, tebu, jagung dan tanaman hortikultura lainnya, karena diazinon mempunyai sifat pestisida dengan spektrum yang luas, hasilnya cepat diketahui dan sifat persistensinya rendah. Bila hal ini tidak mendapat perhatian secepatnya maka akan menimbulkan dampak yang semakin buruk dan merusak lingkungan maupun kesehatan manusia karena hal ini sangat berpotensi untuk masuk ke dalam rantai makanan, sehingga dapat membahayakan bagi kesehatan manusia. Hingga saat ini usaha untuk penanganan pencemaran pestisida khususnya diazinon baru dilakukan secara konvensional ataupun dengan teknik bioremediasi secara in situ maupun secara ex situ. Namun hal ini belum berhasil dengan baik yang disebabkan oleh faktor teknis dan faktor ekonomi. Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman (2000) telah dapat diisolasi mikroba indigenous galur B3 yang dapat mendegradasi diazinon. Isolat galur B3 yang di peroleh belum murni dan hanya diidentifikasi secara visual dari bentuk penampakan koloninya yang masih merupakan campuran koloni-koloni bakteri. Isolat tersebut menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan diazinon sampai konsentrasi 1000 ppm dalam media agar. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Ningsih (2001) menunjukkan bahwa isolat B3 mampu hidup dalam lingkungan yang mengandung diazinon dengan konsentrasi 200 ppm. Degradasi diazinon oleh isolat B3 menghasilkan suatu senyawa namun senyawa tersebut belum dapat diidentifikasi secara jelas. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menentukan jumlah pencampuran kompos yang terbaik untuk mendegradasi diazinon dalam tanah; (2) Memperoleh galur bakteri dari kompos limbah jamur tiram (spent mushroom compost /SMC) yang mampu mendegradasi diazinon; (3) Mengetahui kemampuan bakteri yang terdapat pada SMC dalam mendegradasi diazinon. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah (1) Untuk memberikan alternatif penggunaan kompos dalam bidang pengolahan tanah/lahan yang tercemar pestisida; (2) Memberi informasi bagi masyarakat tentang cara mengeliminasi pencemaran pestisida dalam tanah. 1.4. Hipotesis 1. Jumlah kompos, konsentrasi diazinon, dan waktu serta interaksinya berpengaruh terhadap tingkat degradasi diazinon pada teknik bioremediasi secara ex situ (pengomposan) 2. Pada biodegradasi diazinon dengan menggunakan kompos (compost bioremediation) terdapat konsorsium bakteri yang dapat mendegradasi diazinon. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian 1. Bioremediasi untuk menentukan pengaruh jumlah kompos, konsentrasi diazinon dan waktu inkubasi. 2. Penentuan kondisi terbaik untuk proses bioremediasi tanah tercemar diazinon 3. Isolasi dan identifikasi bakteri dari SMC yang diduga dapat mendegradasi diazinon. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pestisida Pestisida berasal dari bahasa latin yaitu pestis (hama) dan caedo (pembunuh), dapat diterjemahkan menjadi racun untuk mengendalikan jasad pengganggu atau yang biasa juga disebut organisma pengganggu tanaman (OPT). Pestisida adalah semua zat yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan-bahan lain serta jasad-jasad renik dari virus yang digunakan untuk: 1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian 2. Memberantas rerumputan 3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan 4. Memberantas atau mencegah hama luar pada hewan piaraan dan ternak 5. Memberantas atau mencegah hama-hama air 6. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman, tidak termasuk pupuk 7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah, bangunan dan alat-alat pengangkutan 8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada menusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air. Pestisida merupakan pilihan utama yang sering digunakan untuk melindungi tanaman dari hama serta memberantas organisma pengganggu pada budidaya suatu tanaman sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat diketahui. Namun bila aplikasinya kurang bijaksana dapat membawa dampak negatif pada pengguna, hama sasaran, maupun terhadap lingkungan, masalah yang utama bagi kesehatan manusia adalah adanya residu pestisida dalam makanan karena hal ini dapat melibatkan sejumlah besar orang selama jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu efektivitas penggunaan pestisida hanya berdasarkan sifat-sifat racunnya dan direkomendasikan dalam dosis yang tepat pada batas yang aman (safety margins). Pestisida tidak hanya dibutuhkan dalam bidang pertanian saja, tetapi dalam bidang dan kegiatan lainpun memerlukan pestisida untuk mengatasi permasalahannya. Misalnya penggunaan dalam bidang kesehatan masyarakat, pestisida digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit demi kesehatan manusia dan lingkungannya yakni terdapatnya jenis-jenis penyakit yang dapat disebarkan oleh hewan-hewan perantara yang merupakan potensi bahaya bagi manusia, sehingga perlu dilakukan pengendalian ataupun pemberantasan populasi agar dapat mengurangi menyebaran penyakit. Penggunaan lain yaitu dalam bidang perikanan dan peternakan, pestisida ini digunakan untuk melindungi dan mengawetkan ikan, ataupun untuk melindungi ternak dari beberapa penyakit hewan yang disebabkan oleh serangga dan hewan lain misalnya cacing. Penggunaan pestisida dalam jumlah yang sangat kecilpun dapat menimbulkan permasalahan apalagi dalam jangka waktu yang sangat panjang. Permasalahan tersebut dapat terjadi karena potensi racun (toksisitas) kimia, sifat keawetan di alam maupun substrat, variasi pemakaian dan penyiapan yang tidak sesuai serta adanya kecenderungan untuk biomagnifikasi. Akumulasi pestisida karena adanya absorpsi oleh alam melalui tanah, air dan mahluk hidup lainnya (Tarumengkeng 1992). Berdasarkan jenis hama dan sasarannya, pestisida terdiri atas beberapa kelompok yakni insektisida untuk membasmi serangga, herbisida untuk membasmi gulma, rodentisida untuk membasmi tikus, fungisida untuk membasmi jamur, moluskisida untuk membasmi siput, bakterisida untuk membasmi bakteri dan nematisida untuk membasmi cacing. Sedang berdasar jenis bahan kimia penyusunnya, pestisida dibagi atas empat golongan yaitu organoklorin, organofosfat, karbamat serta pestisida lain yang mengandung substansi organik. sebagian besar jenis pestisida termasuk senyawa-senyawa hidrokarbon siklik berklor, aromatik berklor, ester, alkil halida pendek (fumigan) dan fosfat organik (Ekha 1991; Tarumengkeng 1992). Usaha yang telah dilakukan untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida adalah menerapkan pola pengendalian hama terpadu, mengembangkan teknologi mikroorganisme efektif, dan menggunakan pestisida yang berasal dari tanaman atau pestisida nabati. Kontribusi pemerintah dalam usaha ini adalah memberikan izin penggunaan pada jenis pestisida yang mempunyai spektrum sempit serta mencabut subsidi pestisida agar harga pestisida menjadi mahal. Namun kenyataannya para petanipun masih menggunakan pestisida dalam jumlah yang cukup banyak, karena dengan menggunakan pestisida produksi pertanian mereka akan meningkat. Dengan demikian peningkatan produksi pertanian masih tergantung pada penggunaan pestisida. Keawetan pestisida dengan pemakaian normal dalam tanah sangat bervariasi tergantung pada struktur dan sifat senyawanya. Misalnya keawetan insektisida golongan organofosfat yang sangat beracun dalam tanah sangat rendah yaitu tidak akan tahan lebih dari tiga bulan seperti diazinon (3 bulan), disulfoton (4 minggu), forat (2 minggu), malation dan paration (sampai 2 minggu). Sebaliknya beberapa insektisida hidrokarbon terklorinasi dapat tetap bertahan sampai waktu yang lama (4-5) tahun, misalnya Klordan (5 tahun), DDT (4 tahun), BHC (3 tahun) heptaklor epoksida dan dieldrin (1-3 tahun) (Rao 1994). Pemakaian pestisida dalam jumlah yang sedikitpun namun secara terus menerus akan menyebabkan penimbunan residu dalam tanah dan menyebabkan meningkatnya penyerapan senyawa kimia tersebut oleh tanaman sehingga membahayakan bagi ternak dan manusia ataupun lingkungan. Apabila pestisida tersebut digunakan pada tanah yang baru diusahakan, akan lebih mudah hilang setelah adanya fase tenggang permulaan tetapi pemakaian senyawa kimia yang sama secara periodik akan menyebabkan terakumulasinya bahan yang digunakan tergantung keawetan pestisida tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan dan penyerapan pestisida dalam sistem biologis dikaitkan dengan antara lain (1) sifat fisik dan kimia inheren dan pestisida (misalnya, volatilisasi, kelarutan dalam air); (2) karakteristik fisiologis berbagai spesies (misalnya perilaku makan, jalur pengambilan, dan habitat); (3) sifat spesifik ekosistem (misalnya jenis sistem aliran, suhu, pH, bahan organik, struktur jaring makanan). Lenyapnya suatu pestisida tergantung pada konsentrasi awal senyawa kimianya di dalam tanah, fotodekomposisi dan erosi tanah oleh air dan angin juga ikut menyumbang hilangnya pestisida dalam tanah. Toksisitas pestisida tergantung pada golongan pestisida itu sendiri misalnya insektisida organoklorin (OC) bersifat karsinogenik, cenderung mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi karena mampu bertahan tersimpan lama dalam lemak tubuh, serta dapat merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap perangsangan, iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor dan kejang-kejang. Sedangkan golongan Organofosfat (OP) dan Karbamat tidak bersifat karsinogenik tetapi dapat menghambat asetilkolinesterase sehingga mengganggu sistem saraf yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Beberapa organofosfat, karbamat, organoklorin, fungisida ditiokarbamat, dan herbisida mengubah berbagai fungsi imun, misalnya malation, metilparation, karbaril, DDT, parakuat, dan dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibodi, mengganggu fagositosida leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa, dan kelenjar limpa (Koller 1979; Street 1981 dalam Lu 1995). Tanah dan sedimen juga sangat berperanan penting dalam pengangkutan dan penghilangan pencemaran di lingkungan dengan (1) menyediakan permukaan penyerapan; (2) bertindak sebagai sistem penyangga; dan (3) sebagai pencuci pencemar. Namun proses pengangkutan paling menonjol yang berhubungan dengan tanah dan sedimen adalah penyerapan (adsorpsi) dan pencucian (Connel 1995). 2.2. Diazinon Diazinon merupakan salah satu pestisida yang termasuk golongan organofosfat dari grup fosforotioat/fosforotionat (Chambers 1992). Diazinon merupakan insektisida yang sangat efektif digunakan untuk memberantas dan membasmi, ataupun mengendalikan hama-hama tanaman seperti kutu daun, lalat, wereng, kumbang penggerek padi, dan sebagainya. Diazinon umumnya digunakan pada tanaman buah, padi, tebu, jagung, dan tembakau serta tanaman hortikultura. Diazinon mempunyai nama kimia O,O-diethyl-O(2-isoprophyl-4-methyl-6pyrimidinyl)-phosphorithioate dengan rumus empiris C12H21N2O3PS. Kandungan C 47.36%, H 6.95%, N 9.20%, O 15.77%, P 10.18% dan S 10.54%, dan rumus bangunnya seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar 1 Rumus bangun diazinon Diazinon dikenal dengan beberapa nama formulasi (dagang) antara lain: Basudin, Dazzel, Gardentox, Kayazal, Knox Out, Nucidol, Spectracide, Diazinon 10 G, Diazinon 60 EC, Sidazinon 600 EC, Agrostar 600 EC, dan Prozinon 600 EC. Diazinon murni tidak berwarna dan berbentuk cairan, sedang diazinon teknis berwarna kecoklatan dan berbentuk cairan. Diazinon mempunyai bobot molekul 304.35 g/mol, titik didih antara 83 – 84oC pada 258 mPa, dan tekanan uap sebesar 1.4 x 10-4 mmHg pada suhu 20oC. Kelarutan dalam air 0.004% pada suhu 20oC, volatilitas 2.4 mg/m3 pada 20oC dan 17.6 mg/m3 pada 40oC (Marck Index, 1996). Diazinon mempunyai waktu paruh (waktu tinggal) 30 hari (Wauchope et al. 1992 dalam Leland 1998), larut dalam pelarut organik seperti alkohol, aseton, benzen, sikloheksana, diklorometana, dietil eter, petrolium eter, dan toluena. Sensitif terhadap oksidasi dan suhu tinggi, mudah terurai di atas suhu 100oC, stabil pada lingkungan alkali tetapi secara perlahan-lahan dapat terhidrolisis dalam air dan asam lemah tetapi dapat terhidrolisis dengan cepat dalam lingkungan yang asam (Hayes dan Laws 1991). Diazinon mempunyai spektrum daya bunuh yang luas terhadap serangga dan berbagai cacing tanah. Toksisitas akut secara oral adalah Lethal Dosis (LD50) pada tikus berkisar antara 66-600mg/kg, (McEwen dan Stephenson 1979). Diazinon lebih toksik pada burung dan ikan yaitu LD50 pada beberapa spesies burung 3-40 mg/kg dan pada beberapa spesies ikan LD50 0.4-8 μg/ml (Sumner et al. 1985 dalam Leland 1998). Walaupun masih sulit untuk menentukan dosis yang masih dapat diterima oleh manusia, namun FAO/WHO telah menetapkan batas ambang aman (no observed effect level/NOEL) kadar diazinon dalam makanan adalah 0.02 mg/kg, sedang asupan harian yang dapat diterima (Acceptable Daily Intake/ADI) adalah 0.002 mg/kg/hari (Gallo & Lawryk 1991; Lu 1995). Beberapa penemuan toksikologi dan evaluasi pada beberapa jenis insektisida seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Penemuan toksikologi dan evaluasi pada insektisida tertentu Pestisida Azinfosmetil Klorfenvinfos Diazinon Diklorvos Dimetoat Disulfoton Malation Mevinfos Paration Paration-metil Triklorfon Aldikarb Karbaril Propoksur LD50 NOEL (mg/kg) mg/kg Tikus Anjing Manusia 13 0.125 0.125 15 0.05 0.05 108 0.1 0.02 0.02 80 0.033 215 0.4 0.2 6.8 0.05 0.025 0.75 1375 5 0.2 6.1 0.02 0.025 0.014 13 0.05 14 0.1 0.375 0.1 630 2.5 1.25 - ADI (mg/kg) 0.0025 0.002 0.002 0.004 0.02 0.002 0.02 0.0015 0.005 0.001 0.005 0.8 0.125 850 10 83 12.5 0.25 50 0.06 0.005 0.01 0.02 DDT 113 0.05 Aldrin/dieldrin 40 0.025 Klordan 335 0.25 Endrin 18 0.05 Heptaklor 100 0.25 Lindan 88 1.25 Metoksiklor 6000 10 Sumber: Lu (1995). 0.025 0.075 0.025 0 0.0625 1.6 - - 0.01 0.001 0.001 0.0002 0.0005 0.01 0.1 Di bawah kondisi tertentu diazinon dapat membentuk senyawa yang berbahaya khususnya jika pelarut hidrokarbon terkontaminasi oleh sejumlah kecil air (0.1-2.0%) dan terkena udara, suhu, dan intensitas cahaya yang tinggi. Pada kondisi ini akan membentuk formasi monothiotepp (O,S-TEPP) dan Sulfotepp (S,S-TEPP). Senyawa-senyawa ini memiliki toksisitas yang tinggi dan mempunyai pengaruh yang kuat sebagai inhibitor pada sistem enzim kolinesterase (Allender dan Britt 1994). Diazinon mempunyai gugus organofosfat yang terikat dengan gugus nitrogen heterosiklik melalui ikatan ester, yang bersifat aromatik dan efektif mempengaruhi sistem saraf dimana diazinon akan menghambat asetilkolinesterase (AChE) sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh) dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai neurotransmitter, kemudian akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleksi (kelumpuhan) dan paralisis jaringan (Lu 1995; EPA 1999). Selanjutnya saraf tidak dapat berfungsi sebagai pengatur atau pusat koordinasi pergerakan tubuh, dimana koordinasi pergerakan tubuh yang tidak teratur dapat mengakibatkan kematian . 2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik secara biologis dalam kondisi terkendali, umumnya melibatkan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri). Pendekatan umum yang dilakukan untuk meningkatkan biodegradasi adalah dengan cara: (1) Menggunakan mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik), (2) Memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi dan aerasi (biostimulasi), (3) Penambahan mikroorganisme (bioaugmentasi), (www.ipard.com). Menurut Yani et al. (2003) bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegradasi dengan menggunakan aktivitas mikroba yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan sedimen dari kontaminasi terutama senyawa organik. Citroreksoko (1996) menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik berbahaya secara biologi menjadi senyawa lain misalnya CO2, metan, air, garam anorganik, biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula. Sedang menurut Gumbira-Said dan Fauzi (1996) bioremediasi merupakan proses penyehatan (remediasi) secara biologis terhadap komponen tanah dan air yang telah tercemar oleh kegiatan manusia. Bahan pencemar tersebut biasanya merupakan senyawa xenobiotik (asing di alam) misalnya residu pestisida, deterjen, limbah eksplorasi dari pengolahan minyak bumi dan residu amunisi. Senyawa-senyawa tersebut bersifat rekalsitran (sulit terdegradasi) sehingga senyawa tersebut memiliki ketahanan yang tinggi di alam. Lebih lanjut Subroto (1996) menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses dekontaminasi yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan lebih murah dibanding dengan metode penanganan limbah lain yang telah ada. Beberapa dekade terakhir, teknik bioremediasi adalah merupakan salah satu cara penanganan secara cepat dalam pengolahan limbah dalam suatu industri, karena teknik bioremediasi merupakan suatu metode yang efektif dan ekonomis sebagai suatu alternatif untuk membersihkan tanah, permukaan air dan kontaminasi air tanah yang mengandung sejumlah bahan beracun seperti rekasitran dan kimia. Bioremediasi tidak hanya mendegradasi polutan tetapi juga digunakan untuk menyerap bahan-bahan logam dan mineral dan memisahkan zatzat yang tidak diinginkan dalam udara, air, tanah dan bahan baku proses produksi (industri). Proses bioremediasi didasarkan pada siklus karbon untuk mendaur ulang senyawa organik dan anorganik melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Bioremediasi dapat dilakukan secara in situ ataupun secara ex situ. Secara in situ yaitu bioremediasi dilakukan langsung di lingkungan yang tercemar sedang secara ex situ yaitu bioremediasi dilakukan di luar lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan dengan menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi cemaran kontaminan organik (Citroreksoko 1996). Proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer yang dilakukan oleh mikroorganisme (bakteri, kapang, khamir, dan jamur heterotropik) yang memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa organik alami sebagai sumber karbon dan nitrogen. Teknologi bioremediasi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu teknik dalam penanganan limbah senyawa kimia sintetis seperti pestisida senyawa kloroaromatik, senyawa kloroalipatik, dan sebagainya. Biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh mikroba (Ohshiro et al. 1996). Sedang Gumbira-Said dan Fauzi (1996) menerangkan bahwa biodegradasi merupakan transformasi struktur dalam senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi perubahan integritas molekuler. Dalam proses degradasi kondisi lingkungan harus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Berbagai reaksi enzimatik yang terjadi dalam proses bioremediasi dapat berupa reaksi oksidasi, hidrolisis, dehalogenasi dan reaksi gugus nitro. Reaksi ini dikenal dengan proses kometabolisme dimana mikroorganisme tidak memanfaatkan kontaminan sebagai sumber substrat tetapi kontaminan tersebut dapat terdegradasi. Keberhasilan proses degradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Aktivitasnya dioptimasikan dengan pengaturan kondisi dan pemberian suplemen yang sesuai. Faktor-faktor lain yang berpengaruh dan mendukung proses biodegradasi adalah: 1. Oksigen Keberadaan oksigen merupakan faktor pembatas laju degradasi hidrokarbon dan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob. Oksigen digunakan untuk mengkatabolisme senyawa hidrokarbon dengan cara mengoksidasi substrat dengan katalisis enzim oksidase. Ketersediaan oksigen dalam tanah tergantung pada kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, tipe tanah dan kehadiran substrat lain juga bereaksi dengan oksigen. 2. Kelembaban Kelembaban tanah juga dapat mempengaruhi keberadaan kontaminan, transfer gas dan tingkat toksisitas dari kontaminan. Kelembaban sangat penting untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Namun kandungan air dalam tanah yang terlalu tinggi selama proses bioremediasi berlangsung akan mengakibatkan sulitnya oksigen untuk masuk ke dalam tanah. 3. pH Tingkat keasaman (pH) juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Kebanyakan bakteri dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral (pH 6.5–7.5). Misalnya P. aeruginosa mampu tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada kisaran 5.6– 8.0, sedangkan bakteri tanah Rhizobium mampu bertahan pada kisaran pH 3.4– 8.1. 4. Suhu Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia, kecepatan degradasi oleh mikroorganisme serta komposisi komunitas mikroorganisme selama proses degradasi. 5. Nutrisi Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan keseimbangan metabolisme sel. Boopathy (2000) menerangkan bahwa hasil dari setiap proses degradasi tergantung pada mikroorganisme (konsentrasi biomassa, keragaman populasi dan aktivitas enzim), substrat (karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan konsentrasi), dan faktor lingkungan (pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor elektron sebagai sumber karbon dan energi). Struktur molekul dan konsentrasi kontaminan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam proses bioremediasi serta tipe transformasi bakteri yang terjadi, meskipun senyawa tersebut dipakai sebagai substrat primer, sekunder atau kometabolit. 2.4. Degradasi Residu Pestisida Diazinon Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya keinginan untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan bebas polutan, telah banyak ditemukan upaya untuk meningkatkan kinerja mikroba indigenous, yang dilakukan dengan rekayasa kondisi lingkungan sehingga menjadi optimum. Hal ini dapat dilakukan secara in situ yaitu dengan pengkayaan terhadap kondisi lingkungan tercemar ataupun secara ex situ yaitu dengan mengisolasi mikroba indigenous untuk kemudian dipekerjakan pada suatu bioreaktor yang telah diatur kondisi optimum lingkungannya untuk melakukan degradasi residu pestisida dari areal yang tercemar. Pestisida yang banyak tertinggal di alam harus didegradasi agar menjadi berkurang atau hilang secara keseluruhan. Penggunaan pestisida secara luas telah mengundang problem-problem yang disebabkan oleh interaksi antara zat-zat tersebut dengan sistim biologis alam. Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai baik dalam lingkungan abiotik maupun dalam lingkungan biotik. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan, pertumbuhan, cahaya dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi, maupun secara fotokimia. Kecepatan degradasi pestisida di alam ataupun di dalam tumbuhan mengikuti kinetika ordo pertama yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh banyaknya pestisida dan faktor waktu. Residu pestisida dalam tanaman atau hewan menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut. Rani dan Lalithakumari (1994) dalam penelitiannya diperoleh Pseudomonas putida yang mampu mendegradasi pestisida organofosfat metil parathion. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Shelton et al. (1996) dilaporkan bahwa hampir seluruh herbisida dapat ditransformasikan oleh Streptomyces sp lebih dari 50% dari konsentrasi awalnya. Arthrobacter sp merupakan mikroba indigenous yang diisolasi dari tanah mampu mendegradasi pestisida organofosfat isoxathion, diazinon, parathion, EPN, fenithrothion, isophenfos, clorpyrifos, dan ethoprophos (Oshiro et al. 1996). Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Chaudhry et al. (1988) mengisolasi bakteri dari tanah dan diidentifikasi sebagai genus Pseudomonas sp yang dapat mendegradasi parathion dan metil parathion. Menurut Rao (1994) bahwa beberapa genus mikroorganisme yang mampu menguraikan pestisida golongan organoklorin jenis DDT menjadi DDD dalam tanah antara lain: Achromobacter, Aerobacter, Agrobacterium, Bacillus, Clostridium, Streptonebacterium, Escherichia, Erwinia, Kurthia, Pseudomonas, dan Streptococcus. Aldrin diubah menjadi dieldrin (namun sifat-sifat insektisidanya tidak hilang) oleh mikroorganisme genus Trichoderma, Fusarium, Penicillium, dan Pseudomonas. Heptaklor diubah menjadi heptaklor epoksida oleh Rhizopus, Fusarium, Penicillium, Trichoderma, Nocardia, Streptomyces, Bacillus, dan Micromonospora.. Sedangkan pestisida golongan organofosfat diketahui dapat diuraikan oleh mikroorganisme genus Torulopsis, Chlorella, Pseudomonas, Thiobacillus, dan Trichoderma. Penelitian yang dilakukan oleh Britton (1984) dalam Cookson (1995) melaporkan bahwa Bacillus sp dan Pseudomonas sp dominan untuk mendegradasi hidrokarbon demikian pula Chromobacterium sp dan Azetobacteri sp juga mempunyai kemampuan seperti Pseudomonas sp dalam mendegradasi hidrokarbon. Aktivitas bersama Pseudomonas stutzeri dan Pseudomonas aeruginosa dapat mendegradasi paration. Sedangkan Bacillus cereus dapat mendegradasi pestisida jenis piretroid (Cookson 1995). Mikroba yang ada dalam SMC diharapkan mampu melakukan degradasi terhadap diazinon. Faktor yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi dan degradasi diazinon yaitu faktor fisik, kimiawi dan faktor mikrobial. Namun kenyataannya sulit untuk membedakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh karena struktur tanah yang kompleks, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya proses absorpsi molekul pestisida ke dalam zat-zat yang ada dalam tanah ataupun yang ada dalam jaringan tumbuhan (Bollag 1974). Dalam penelitian ini diharapkan agar biodegradasi yang terjadi adalah degradasi yang melibatkan metabolisme mikroba dimana mikroba tersebut mampu menggunakan senyawa diazinon sebagai sumber karbon dan energi. Selain sebagai sumber karbon dan energi juga dapat terjadi gangguan mikrobial yakni terjadinya transformasi kometabolisme reaksi konjugasi dan akumulasi pestisida dalam sel mikroba itu sendiri dan dapat menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa yang lebih toksik dari pada senyawa asalnya (Bollag 1974). Reaksi perubahan zat racun yang mungkin terjadi ialah oksidasi, reduksi, hidrolisis dan sintesis. Setiap reaksi tersebut merupakan bagian dari berbagai kegiatan metabolisme yang berlangsung dalam tubuh organisme. Proses detoksifikasi zat racun berlangsung dalam dua tahap yaitu tahap primer dan sekunder. Tahap primer (proses non sintesis) melalui reaksi oksidasi, hidrolisis dan kegiatan enzimatik yang menghasilkan produk-produk yang bersifat polar. Sedang tahap sekunder (proses sintesis) adalah reaksi yang menghasilkan konjugat-konjugat sebagai produk sintesis (Tarumengkeng 1995). Formulasi diazinon terdegradasi menjadi sejumlah tetraetilpirofosfat, menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp (O,S-TEPP) seperti pada Gambar 2 (a dan b), kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih tinggi dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP yaitu 14000 kali lebih toksik dari pada diazinon (Allender dan Britt 1994). Komponen heterosiklik diazinon dapat diaktivasi oleh enzim monooksidase yang membentuk derivatif P = O menghasilkan diazoxon (Gambar 2c) yang juga bersifat lebih toksik dari diazinon karena adanya aktivitas anti asetilkholinesterase (Zhang dan Pehkonen, 1999). Secara umum diazinon mempunyai rute degradasi mencakup pemutusan ikatan P – O – Pirimidin oleh aktivitas NADPH-dependent oksidase. Pelepasan diazinon ke dalam tanah diharapkan tidak terikat pada tanah akan tetapi bergerak mengalir dalam tanah. Fotolisis diazinon terjadi pada permukaan tanah yang membentuk produk berupa senyawa 2-(1-hidroksi-1-metil)etil-4-metil6-hidroksipirimidin (Gambar 2d). + da fotolisis fotolisis/ hidrolisis oksidasi dekomposisi ca fa ea asetilasi Diazinon dekomposisi aa Gambar 2 Produk-produk degradasi diazinon ga ba Proses pembentukan metabolit diazinon (reaksi transformasi enzimatik) terjadi melalui reaksi primernya yaitu hidrolisis yang diikuti oleh reaksi pemecahan rantai cincin diazinon, sehingga diazinon terdegradasi pada reaksi primer menjadi 2-isopropil-4-metil-6-pirimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Menurut Ku et al. (1997) bahwa dekomposisi diazinon secara hidrolisis dan fotolisis berkaitan erat dengan pH dan intensitas cahaya ultraviolet yang membentuk senyawa IMP dan tiofosfonat (Gambar 2e dan 2f). Produk hidrolisis dan fotolisis tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya menurun dibanding dengan senyawa diazinon (Bollag 1974). Menurut Machin et al. (1971) dalam Gallo dan Lawryk (1991) bahwa irradiasi sinar ultraviolat pada diazinon selama 2 jam maka dapat mensubstitusi gugus isopropil pada cincin menjadi gugus asetil (Gambar 2g) . Senyawa tersebut merupakan inhibitor kolinesterase tidak langsung dan lebih kuat dari pada diazinon. Secara alamiah di lingkungan yang tercemar diazinon mengandung beraneka ragam mikroorganisme sehingga polutan yang ada di lingkungan tersebut dapat didegradasi. Degradasi diazinon tidak hanya dilakukan oleh mikroba yang ada di lingkungan tersebut (mikroba indigenous), tetapi dengan adanya cahaya diazinon juga dapat terdegradasi. Mikroba indigenous membutuhkan waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan bahan/senyawa pencemar (residu pestisida), yang disebabkan karena mikroba tersebut tidak pernah berhubungan langsung dengan residu pestisida tersebut. Oleh karena itu perlu suatu adaptasi dimana dalam proses adaptasi mikroba tersebut berusaha mengeluarkan enzim dan plasmid yang dapat mendetoksifikasi senyawa yang akan didegradasi. Tapi sebaliknya sering pula terjadi aktivasi yaitu zat racun lebih dimodifikasi dan dikonversi menjadi zat yang lebih beracun. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman (2000) telah dapat diisolasi mikroba indigenous galur B3 yang dapat mendegradasi diazinon. Isolat tersebut menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan diazinon sampai konsentrasi 1000 ppm dalam media agar. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Ningsih (2001) menunjukkan bahwa isolat B3 mampu hidup dalam lingkungan yang mengandung diazinon pada konsentrasi 200 ppm. Isolat B3 yang diisolasi dari areal persawahan mampu menurunkan konsentrasi residu diazinon sebesar 55.52% pada konsentrasi 50 ppm (54.98 ppm) dan sebesar 68.34% untuk konsentrasi 100 ppm (118.82 ppm) selama kurun waktu 27 jam (Suherman 2000). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2001) yakni untuk melihat kemampuan isolat B3 dalam mendegradasi diazinon, ternyata isolat B3 dapat menurunkan konsentrasi diazinon 54.82% pada konsentrasi diazinon 50 ppm, sebesar 79.66% pada konsentrasi diazinon 100 ppm, dan sebesar 36.75% pada konsentrasi diazinon 200 ppm. Menurut Bollag (1974) diazinon mempunyai masa persistensi selama 9 hari di dalam tanah, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan konsenstrasi diazinon diakibatkan karena terdegradasinya diazinon secara mikrobial (Suherman 2000; Ningsih 2001). 2.5. Kompos Menurut Indriani (1999) kompos adalah bahan organik yang telah mengalami degradasi/penguraian/pengomposan sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenali bentuk aslinya, warna kehitam-hitaman, dan tidak berbau. Bahan organik berasal dari tanaman maupun hewan, termasuk kotoran hewan. Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan dalam tanah, serta mengandung zat-zat organik yang dibutuhkan tanaman. Penambahan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah yang diperbaiki di antaranya adalah meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan sulfur. Menurut Indrasti (2003), kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari proses degradasi bahan organik yang dapat berguna bagi tanah-tanah pertanian seperti memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi. Kandungan utama kompos selain bahan organik, kompos juga mengandung unsur-unsur hara makro dan mikro seperti nitrogen, fosfat, kalium, magnesium, besi, dan mangan. Susunan unsur hara yang dikandung oleh kompos bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan yang dikomposkan, cara pengomposan, tingkat kematangan, dan cara penyimpanan (US-EPA 1994). Kandungan unsur hara dalam kompos relatif kecil bila dibandingkan dengan pupuk kimia. Oleh karena itu pupuk kimia lebih banyak digunakan oleh petani, selain karena kandungan unsur-unsur yang tinggi juga karena kemudahan dalam pengaplikasiannya. Tetapi penggunaan pupuk kimia tersebut akan memberikan efek yang merugikan karena dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahaya residu bahan kimia terhadap kesehatan manusia (Indrasti et al. 2005). Oleh karena itu kombinasi penggunaan pupuk organik) kompos dengan pupuk anorganik masih merupakan salah satu solusinya, tetapi porsi pupuk organik perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas produksi. Kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh kematangan kompos. Kompos yang telah matang memiliki kandungan bahan organik yang dapat terdekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebabkan bau, kadar air yang memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan bagi tanaman (phytotoxic, benih rumput dan patogen). Beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa penggunaan kompos dalam proses bioremediasi telah terbukti efektif dalam mendegradasi banyak jenis kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tak terklorionasi, bahan-bahan kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida, produk-produk minyak, bahan peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (EPA 1997; EPA 1999; Gray et al. 1999; Baker & Bryson 2002). 2.6. Bioremediasi Menggunakan Kompos Beberapa tahun terakhir di negara-negara barat telah dikembangkan teknik bioremediasi menggunakan kompos (compost bioremediation), namun di Indonesia belum berkembang sama sekali. Perkembangan yang telah ada masih terfokus pada proses bioremediasi in situ yaitu dengan melakukan pengkayaan terhadap kondisi optimum lingkungan tercemar, maupun secara ex situ yaitu dilakukan dalam suatu reaktor dengan mengisolasi mikroba kemudian dikondisikan dengan lingkungan untuk melakukan degradasi dari areal tercemar. Bioremediasi menggunakan kompos (compost bioremediation) merupakan upaya penanganan masalah limbah dan pencemaran lingkungan dengan menggunakan mikroorganisme yang ada dalam kompos tersebut untuk mendegradasi kontaminan air atau tanah. Dalam proses bioremediasi menggunakan kompos, mikroorganisme dalam kompos akan mengkonsumsi kontaminan dalam tanah, air tanah, permukaan tanah maupun udara. Kontaminan tersebut dicerna, dimetabolisme dan diubah menjadi humus dan produk-produk akhir seperti CO2, air dan garam-garam. Aplikasi teknik bioremediasi menggunakan kompos mempunyai beberapa keunggulan dan lebih ekonomis dibanding dengan teknik bioremediasi lainnya sehingga teknologi bioremediasi menggunakan kompos lebih disenangi dan diminati (US-EPA 1997, 1998). Beberapa keunggulan teknik bioremediasi menggunakan kompos antara lain: 1. Kompos mempunyai keragaman populasi mikroba yang terlibat dalam proses degradasi yakni sekitar 5-10 kali lebih banyak dibandingkan dengan kandungan mikroba dalam tanah yang subur 2. Tingginya aktivitas mikroba dalam proses yakni sekitar 20-40 kali lebih aktif dalam hal aktivitas dehidrogenasi dibanding dengan aktivitas dalam tanah yang subur 3. Kompos tidak mengandung hama dan penyakit serta tidak membahayakan pertumbuhan atau produk tanaman 4. Kompos dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit 5. Kompos tidak mengakibatkan pencemaran dalam tanah, air ataupun udara 6. Kompos merupakan absorben yang sangat baik untuk senyawa-senyawa organik maupun anorganik. 2.7. Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost/SMC) Miselia jamur sebagian besar tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin, serta vitamin dan mineral, sehingga limbah substrat (media) tanam jamur masih mengandung sejumlah besar unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Formula substrat (media) yang digunakan adalah berupa serbuk gergaji, dedak, gypsum dan kapur (CaCO3). SMC adalah merupakan limbah media pembibitan jamur dimana selama dijadikan sebagai media taman maka bahan tersebut mengalami proses pengomposan. SMC ini masih merupakan kompos setengah matang yang dapat mendegradasi diazinon menjadi beberapa produk turunan. SMC merupakan limbah hasil industri budidaya jamur yang berlimpah sehingga sangat memungkinkan untuk gunakan dalam proses bioremediasi. Kompos limbah media jamur (spent mushroom compost/SMC) ini banyak mengandung nutrisi (kandungan bahan organik tinggi) di antaranya sebagai sumber fosfor, kalium, nitrogen, kalsium, sulfur dan unsur-unsur lainnya seperti besi, natrium, mangan, boron, tembaga, dan seng sehingga dapat memperbaiki sifat fisik tanah, struktur, tekstur, porositas, dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan cacing tanah sehingga memudahkan dalam penghancuran tanah pada saat diolah (Anonim 2003). Karakteristik kompos limbah media jamur seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik kompos limbah media jamur Sifat fisik Keuntungan Bahan organik 65 % • Meningkatkan struktur dan tekstur tanah. • Meningkatkan aktivitas biologis tanah • Berasal dari rerumputan dan tanaman patogen • Sumber bahan organik N, P, K, Ca, dan S • Sumber bahan organik Fe, Na, Mn, Br, Cu, dan Zn. Bebas dari polutan Kandungan nutrisi utama Unsur lain (dalam jumlah kecil) Sumber: Anonim (2003) Spent Mushroom Compost (SMC) telah diaplikasikan pada kontaminasi organopolutan, ternyata kompos limbah media jamur dapat mendegradasi polyciclyc aromatic hydrocarbon (PAHs) dengan sempurna menjadi napthalene, phenanthrene, benzo[a]pyrene, dan benzo[g,h,i]perylene. SMC juga dapat menghilangkan polutan penthaclorophenol (PCP) dan dapat digunakan sebagai pengganti humus pada sistem biobed yang menggunakan bahan organik untuk mengadsorpsi dan mendegradasi pestisida. PCP dapat dimineralisasi apabila diinkubasi dengan kompos setelah masa pengkayaan yang sesuai. Bakteri yang diisolasi dari kompos jamur Pleurotus pulminarius mampu toleran hingga 100 ppm PCP namun bakteri ini belum diketahui identitasnya (Lau et al. 2003). Penggunaan kompos limbah media jamur dalam proses bioremediasi pestisida merupakan salah satu upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan dapat meningkatkan nilai tambah limbah yang dihasilkan dari industri budidaya jamur. SMC mempunyai beberapa keuntungan bila digunakan dalam proses bioremediasi dibanding jika menggunakan karbon aktif dan bakteri karena SMC mudah didapatkan dan biaya yang murah serta cara memproduksinya relatif simpel. SMC ini sangat baik digunakan untuk memperbaiki sifat dan struktur tanah karena kaya akan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, sulfur, besi, natrium, mangan, boron, tembaga, dan seng (Anonim 2003). Komposisi kompos limbah media jamur seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kompos limbah media jamur Ketersediaan nutrien pH EC (mS/m) Nitrogen nitrat Nitrogen amonia Phosphor (P) Kalium (K) Natrium (Na) Klorida (Cl) Kerapatan massa (g/l) % Bahan kering (DM) Kadar abu (%) Sumber: Anonim (2003) Total kandungan nutrien 6.6 750 (mg/l) 62 49 31 2130 253 118 319 31.5 35.0 Nitrogen (N) Phosphor (P) Kalium (K) Calsium (Ca) Magnesium (Mg) Sulphur (S) Natrium (Na) Besi (Fe) Mangan (Mn) Boron (B) Cu Seng (Zn) (g/kg) 22.5 12.5 25.0 72.5 6.7 15.9 2.7 (mg/kg) 2153 376 37 46 273 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioproses IV Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Cibinong. Analisis kadar diazinon dan isolasi bakteri dilakukan di Laboratorium Bioproses IV Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Taksonomi Bidang Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor, analisis kompos dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Oktober 2005. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, labu erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, labu ukur, botol Schott, corong, jarum ose, kertas saring, neraca analitik, pH meter, filter ukuran 0.45 μm (millipore), thermometer, autoklaf, sentrifugase, lampu spirtus, obyek glass, mikroskop, mikropipet Eppendorf 100 dan 1000 μl, shaker, bak fermentor/inkubator, plat silika gel 60 F254 dan spektrofometer UV-VIS. 3.2.2. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah yang tidak tercemar diazinon, kompos limbah media jamur tiram (Pleuorotus ostreatus), plastik untuk penutup bak fermentor/inkubator, dan pestisida organofosfat merek diazinon 60EC yang mengandung 600.000 ppm diazinon (teknis), metanol p.a, etil asetat teknis, aseton, aquadest, alkohol, spirtus, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4.7H2O, NaCl, CaCl2.2H2O, FeSO4.7H2O, Na2MoO4, MnSO4, NaWo2, Bakto Peptone, dan Yeast Extract, FDA, Aquabidest dan air destilata. Bahan-bahan lain yang dibutuhkan yaitu media Potato Dekstrose Agar (PDA). Nutrien Agar (NA), nistatyn, khloramphenikol, larutan pewarna Hucker’s violet (Gram A), larutan Mordan Lugol’s iodin (Gram B), larutan pencuci (Gram C), larutan pewarna sapranin (Gram D), Media khusus Gram Mac Conkey Agar, NNNN tetramethyl-pphenylene diamine dihydrochloride (C6H4[N(CH3)2]22HCl, H2O2, methyl red, bromtymol biru, phenol red, media nutrien cair/broth. 3.3. Pengambilan Sampel untuk Perlakuan Pengambilan sampel dipilih daerah yang relatif bebas pestisida. Oleh karena itu dipilih sekitar lokasi laboratorium bioteknologi-LIPI cibinong karena daerah ini masih relatif bebas pestisida terutama pestisida jenis diazinon. Kompos yang digunakan adalah kompos limbah media jamur tiram (Pleurotus ostreatus) yang diperoleh dari petani jamur di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Sebelum digunakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap residu pestisida dalam tanah dan kompos. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah dan kompos tersebut tidak mengandung residu pestisida diazinon maupun jenis pestisida lainnya. 3.4. Desain Penelitian 3.4.1. Penelitian Tahap I Penelitian tahap I melakukan proses bioremediasi dengan menggunakan kompos limbah media jamur (SMC) dan menentukan kondisi terbaik untuk proses degradasi diazinon. 3.4.2. Penelitian Tahap II Penelitian tahap II melakukan isolasi bakteri dan kapang serta mengidentifikasi bakteri dari kompos limbah media jamur tiram (Pleurotus ostreatus) untuk mengetahui jenis bakteri yang terdapat dalam SMC tersebut yang dapat mendegradasi diazinon. Kemudian dilakukan uji kemampuan degradasi diazinon. Bagan alir tahapan penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Penelitian tahap I dilakukan seperti berikut: 1. Sterilisasi tanah yang bebas diazinon pada suhu 121 oC selama 15 menit, kemudian dicemari dengan diazinon masing-masing konsentrasi 0 ppm, 293 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, dan 1707 ppm dengan jumlah kompos dalam tanah 6%, 10%, 20%, 30% dan 35%. 2. Analisis kompos (SMC) yang meliputi: TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, pH, aktivitas mikroba, dan kadar pestisida. 3. Pencampuran kompos dengan tanah yang telah dicemari diazinon. 4. Fermentasi/inkubasi pada suhu ruang dengan kadar air bahan 30-60% selama 28 hari. 5. Analisis hasil fermentasi/inkubasi (kadar diazinon, TPC, C/N, KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, pH, dan aktivitas mikroba). Tanah Sterilisasi tanah Kompos limbah media jamur Pencampuran Analisis Kompos Fermentasi/inkubasi (C/N, KTK, unsur hara, Kadar air, kadar abu, pH, kadar pestisida, TPC, aktivitas mikroba) T = suhu ruang Kadar air bahan = 30-60% Waktu = 28 hari Isolasi Mikroba (bakteri & kapang) kadar diazinon, TPC, C/N,KTK, unsur hara, kadar air, kadar abu, pH, dan aktivitas mikroba. Diazinon EC 60 Sampling: satu kali seminggu untuk analisis penurunan kadar diazinon, TPC, aktivitas mikroba Analisis: Identifikasi bakteri Uji kemampuan degradasi diazinon Gambar 3 Diagram tahapan penelitian 3.5. Proses Biodegradasi Diazinon Sampel tanah yang belum dicemari dengan diazinon terlebih dahulu disterilisasi pada suhu 120 oC dalam autoklaf selama 15 menit setelah dingin tanah dicemari dengan pestisida organofosfat merk diazinon 60EC, kemudian tanah tersebut dicampur dengan kompos dengan perbandingan tertentu. Sebelum kompos dicampur dengan tanah, terlebih dahulu dilakukan pengujian mutu kompos tersebut. Parameter yang diuji adalah C/N, unsur hara, KTK, kadar air, kadar abu, pH, TPC, aktivitas mikroba, dan kadar pestisida. Campuran tersebut kemudian diaduk hingga homogen lalu diinkubasi selama 28 hari dengan kadar air bahan 30-60% pada suhu kamar (28-32 oC) dan pH 7-8. Selama proses inkubasi berlangsung sampel ditutup dengan plastik untuk mengurangi terjadinya penguapan dan tidak terkena cahaya. Sampel diambil satu kali seminggu di lima titik dengan dua kali pengambilan kemudian digabung menjadi satu dan diaduk hingga homogen (sistem komposit) kemudian dianalisis penurunan kadar diazinonnya. Pada akhir proses inkubasi, selain analisis penurunan kadar diazinon juga dilakukan pengujian C/N, KTK, unsur hara, kadar abu, kadar air, pH, TPC, dan aktivitas mikroba. 3.6. Analisis Kadar Diazinon Analisis kadar diazinon menggunakan metode seperti yang dilakukan oleh Ningsih (2001) yaitu menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan plat silika gel 60 F254 dan spektrofotometer UV/VIS Beckman DU 650 pada panjang gelombang 241 nm. 3.6.1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis adalah metode pemisahan fisikokimia yang lapisan pemisahan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) dan ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas logam atau lapisan yang cocok, campuran yang akan dipisahkan berupa larutan. Larutan ditotolkan berupa bercak, kemudian plat diletakkan dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak) yang telah dijenuhkan. Pemisahan terjadi selama perambatan fase gerak. Derajat retensi pada KLT dinyatakan sebagai “Retention Factor” (Rf) yang dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf = …………………….(1) Jarak garis depan dari titik awal Metode ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui adanya atau tidaknya produk turunan hasil degradasi diazinon dalam sampel. Analisis kadar diazinon dengan metode KLT ini menggunakan plat silika gel 60 F254, eluen pengembang heksana:etilasetat dengan perbandingan 10:1 (v/v) dan pewarna digunakan serium (II) sulfat. KLT dilakukan dengan cara mentotolkan sampel pada plat kemudian dimasukkan kedalam bejana yang berisi heksana dan etyl asetat dengan perbandingan 10:1 (v/v) yang telah dijenuhkan selama 30 menit. Lalu didiamkan hingga eluen naik sampai batas garis. Spot yang terbentuk dapat dilihat dengan menggunakan sinar ultraviolet dan pewarnaan dengan menggunakan serium (II) sulfat. 3.6.2. Spektrofotometer UV-VIS Spektrofotometri adalah suatu metode pengukuran serapan radiasi elektromegnetik pada panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik dan diserap oleh zat. Pelarut yang sering digunakan adalah air, metanol, n-heksana, etanol, minyak bumi, dan eter. Analisis diazinon dengan metode spektrofometri ini merupakan modifikasi yang dilakukan oleh Bavcon et al. (2003) dengan metode yang dilakukan oleh Ningsih (2001), yaitu dilakukan dengan cara mengekstraksi sebanyak 10 gram sampel dengan etil asetat sebanyak 20 ml. Larutan yang diperoleh diuapkan kemudian dilarutkan kembali dengan 2 ml metanol p.a, sampel disonifikasi agar larutan tersebut tercampur dengan baik (homogen). Kemudian dilakukan pembacaan pada spektrofotometer UV-VIS (Beckman DU 650) dengan sinar UV pada panjang gelombang 241 nm. Absorbansi yang diperoleh kemudian diplot pada kurva standar untuk menghitung konsentrasi diazinon dalam sampel. 3.7. Isolasi Mikroba dan Identifikasi bakteri 3.7.1. Pembuatan Media 3.7.1.1. Potato Dekstrose Agar (PDA). Media ini digunakan untuk menginokulasi kapang dari SMC. Cara pembuatan: 1. Ditimbang PDA sebanyak 3.9 g dan agar powder 0.5 g. 2. Kedua bahan tersebut dicampur dan ditambahkan dengan aquadest sebanyak 100 ml, kemudian dipanaskan sambil diaduk. 3. Setelah mendidih dan homogen media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. 4. Media didinginkan (hangat kuku) lalu ditambahkan khloramphenikol 50 ppm sebanyak 1 ml yang telah disterilkan dengan millipore 0.45 μm. 5. Media dituang ke dalam petri steril ± 1-2 ml, dan didinginkan 6. Setelah padat petri ditutup dan dibalik agar uap air tidak jatuh ke atas permukaan agar. 3.7.1.2. Nutrien Agar (NA) Media ini digunakan untuk menginokulasi bakteri dari SMC. Cara pembuatan: 1. Ditimbang NA sebanyak 2.3 g dan agar powder 0.5 g. 2. Kedua bahan tersebut dicampur dan ditambahkan dengan aquadest sebanyak 100 ml, kemudian dipanaskan sambil diaduk. 3. Setelah mendidih dan homogen media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. 4. Media didinginkan (hangat kuku) lalu ditambahkan nistatyn 50 ppm sebanyak 1 ml yang telah disterilkan dengan millipore 0.45 μm. 5. Media dituang ke dalam petri steril ± 1-2 ml, dan didinginkan 6. Setelah padat petri ditutup dan dibalik agar uap air tidak jatuh ke atas permukaan agar. 3.7.2. Isolasi Mikroba (Bakteri dan Kapang) Mikroba yang terdapat dalam SMC masih merupakan koloni campuran sehingga perlu dilakukan isolasi untuk mendapatkan isolat/biakan murni (koloni tunggal). Isolasi mikroba dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Metode Cawan Tuang/Taburan (Puor Plate Method) Metode ini dilakukan dengan cara menggoreskan suspensi bahan yang mengandung bakteri pada permukaan medium agar yang sesuai dalam cawan petri. Setelah diinkubasi pada bekas goresan akan tumbuh koloni-koloni yang terpisah yang mungkin berasal dari satu sel bakteri, sehingga dapat diisolasi lebih lanjut. Metode goresan ini dapat dilakukan dengan metode goresan lurus, kuadran, atau radian. 2. Metode Cawan Gores (Streak Plate Method) Metode dilakukan dengan cara menginokulasi medium agar yang sedang mencair pada temperatur 50oC dengan suspensi bahan yang mengandung bakteri dan menuangkannya ke dalam cawan petri, setelah diinkubasi akan terlihat kolonikoloni yang tersebar di permukaan agar. Dalam penelitian ini isolasi mikroba dilakukan dengan metode cawan tuang/gores yaitu dengan menginokulasi SMC pada media padat Nutrient Agar (NA) dan Potato Dekstrose Agar (PDA). Pada media padat NA ditambahkan zat antibiotik nistatyn yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme kapang dan khamir sedangkan pada media padat PDA ditambahkan dengan khloramphenikol untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Inokulasi mikroba ini dilakukan dengan dua metode yaitu cair dan padat: 1. Menimbang SMC sebanyak 1gram lalu di larutkan dengan air steril sebanyak 10 ml kemudian di goyang (shaker) selama 30 menit, supernatan yang diperoleh dipipet sebanyak 100 μl lalu dituang kedalam cawan petri yang berisi media PDA dan NA 2. Ditimbang kompos sebanyak 5 gram lalu ditabur kedalam cawan petri yang yang berisi media PDA dan NA. Masing-masing cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu kamar selama 24-48 jam. Bakteri dan kapang yang tumbuh dipindahkan pada media padat lain untuk memperoleh biakan murni. Setelah 2-3 hari isolat yang tumbuh pada media awal dipindahkan dan dipisahkan berdasarkan perbedaan bentuk dan morfologinya ke media padat NA dan PDA lainnya yang tidak mengandung nistatyn dan khloramphenikol. Isolat-isolat tersebut dipindahkan dengan menggunakan jarum ose kemudian menggoreskannya pada media padat untuk memisahkan isolat-isolat tersebut agar diperoleh koloni tunggal (single coloni). Koloni tersebut diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga diperoleh isolat yang murni. Isolat yang telah murni dipindahkan ke dalam media agar miring (NA dan PDA) dengan cara membuat garis zig zag. Kemudian diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang lalu disimpan dalam lemari pendingin. 3.7.3. Pewarnaan bakteri Pewarnaan bakteri dimaksudkan untuk melihat struktur sel bakteri dengan seksama. Fungsi pewarnaan bakteri terutama memberi warna pada sel dan bagian-bagiannya agar lebih kontras dan tampak lebih jelas, sehingga dapat diamati berbagai bentuk (morfologi), jenis (gram positif atau gram negatif), susunan bakteri, serta sel-sel bakteri (spora, kapsel, atau flagela). Sel-sel bakteri yang tidak diwarnai pada umumnya sukar diamati dengan mikroskop cahaya biasa, karena sitoplasma sel mempunyai indeks bias yang hampir sama dengan indeks bias lingkungannya (Lay 1992). Hasil pewarnaan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: a. Fiksasi, sebelum bakteri diwarnai terlebih dahulu dilakukan fiksasi dengan menggunakan cara fisik (pemanasan atau dengan freeze drying) ataupun menggunakan agen kimia (asam pikrat, alkohol, aseton, asam kromat-asam osmiat). Fiksasi berfungsi untuk (1) Mencegah mengkerutnya globula-globula protein sel; (2) Mempertinggi sifat reaktif gugusan-gugusan karboksilat, amino primer, sulfihidril; (3) Merubah afinitas pewarna bakteri; (4) Mencegah terjadinya otolisis sel; (5) Dapat membunuh bakteri secara cepat dengan tidak menyebabkan perubahan-perubahan bentuk atau strukturnya; (6) Melekatkan bakteri di atas gelas benda; (7) Membuat sel lebih kuat (keras). b. Substrat, tiap pewarna asam maupun basa dapat bereaksi dengan konstituen sel. Oleh karena itu substrat organik (lipid, protein, asam nukleat, dan karbohidrat) akan mempengaruhi pewarnaan bakteri. Sehingga dapat dibedakan sel-sel yang (1) basofil, yaitu sel-sel yang dapat mengikat pewarna bakteri basa; (2) asidofil atau oksifil, yaitu sel-sel yang dapat mengikat pewarna bakteri asam; (3) sudanolfil, yaitu sel-sel yang dapat mengikat pewarna bakteri yang dapat larut dalam minyak. c. Intensifikasi Pewarnaan, dilakukan dengan mempertinggi kadar pewarna, temperatur pewarnaan (60-90 oC) atau menambah suatu mordan. d. Pelunturan pewarna bakteri (Decolorizer), digunakan untuk mendapatkan kontras yang baik pada bayangan mikroskop. Beberapa cara pewarnaan bakteri yang biasa dilakukan ialah pewarnaan sederhana, pewarnaan deferensial, pewarnaan Gram, pewarnaan Ziehl Neelsen (acid fast), dan pewarnaan negatif (Lay 1992). Pada penelitian ini dilakukan pewarnaan bakteri dengan menggunakan metode pewarnaan Gram. Pewarnaan gram meliputi 4 tingkatan yaitu: 1. Pemberian pewarna utama (larutan pewarna kristal violet, warna ungu) 2. Pengintensifan pewarna utama dengan menambahkan larutan mordan (JKJ) 3. Pencucian (dekolorisasi) dengan alkohol 70% 4. Pemberian pewarna penutup (pewarna lawan, counterstain) larutan pewarna safranin yang berwarna merah. Dengan pewarnaan Gram maka dapat dibedakan bakteri yang bersifat positif dan bersifat negatif: (1) Bakteri Gram positif ialah bakteri yang mengikat pewarna utama dengan kuat sehingga tidak dapat dilunturkan dan diwarnai oleh pewarna lawan. Dengan menggunakan mikroskop sel-sel bakteri ini tampak berwarna violet; (2) Bakteri Gram negatif ialah bakteri yang daya ikat terhadap pewarna utama tidak kuat, sehingga dapat dilunturkan dan diwarnai oleh pewarna lawan. Dengan pengamatan mikroskopik sel bakteri ini tampak berwarna merah. Sifat Gram terutama ditentukan oleh sifat-sifat fisik dan kimia dinding sel dan membran sitoplasma. Dinding sel dan membran sitoplasma bakteri Gram positif mempunyai afinitas yang besar terhadap kompleks pewarna kristal violet dan iodium, sedang pada Gram negatif tidak. Pada waktu pewarnaan, larutan kristal violet dan iodium menembus sel bakteri. Pada sel bakteri Gram positif zatzat ini membentuk senyawa yang sukar larut, tidak larut dalam peluntur, dan tidak diwarnai oleh pewarna penutup sedang bakteri Gram negatif tidak demikian. Pewarnaan Gram dilakukan dengan cara : 1. Gelas objek dibersihkan dengan alkohol 70%, lalu dipanggang di atas nyala api dan dinginkan 2. Biakan diambil dengan ose secara aseptik ke atas gelas objek, diratakan dan dikering-anginkan 3. Preparat yang telah kering difiksasi dengan cara melewatkan di atas api 4. Pada preparat diteteskan pewarna utama (Gram A) 1-2 tetes, dibiarka 1 menit lalu dicuci dan dikeringkan 5. Lalu ditetesi dengan larutan mordan Lugol (Gram B) dibiarkan 1 menit, dicuci dan dikeringkan 6. Kemudian dicuci dengan larutan peluntur (Gram C) selama 30 detik, dicuci dan dikeringkan 7. Lalu diberi larutan pewarna penutup (Gram D) dibiarkan 2 menit lalu dicuci dan dikeringkan 8. pengamatan dengan mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Bakteri Gram positif berwarna violet dan Gram negatif berwarna merah. 3.7.4. Determinasi dan Identifikasi Bakteri Untuk identifikasi dan determinasi suatu biakan murni dari hasil isolasi, perlu diamati morfologi koloni serta morfologi individual, sifat-sifat pewarnaan, sifat fisiologis (biokimia), patonogenesitas dan serologinya. Pada identifikasi bakteri yang pertama-tama harus dilakukan adalah pengamatan terhadap morfologi individual dan pertumbuhannya pada bermacam-macam media. Karena bakteri tidak dapat dideterminasi hanya berdasarkan sifat-sifat morfologinya saja tapi perlu pula diteliti sifat-sifat biokimia dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya (media, pH, dan temperatur). Pada pengujian untuk identifikasi bakteri digunakan pedoman Bergey’s Manual of Determinative Bakteriology (Holt et al. 1994 ). Sifat Morfologi Bakteri: 1. Morfologi sel individual meliputi: ♦ Ukuran, bentuk, dan rangkaian sel ♦ Ada tidaknya spora, dan kedudukan spora ♦ Ada tidaknya flagela, kedudukan, dan jumlah flagela ♦ Ada tidaknya kapsula ♦ Reaksi-reaksi pengecatan (pewarnaan) 2. Morfologi koloni meliputi bentuk, ukuran, tekstur, warna koloni, tipe medium. Sifat Biokimia Bakteri: Pengujian sifat biokimia bakteri meliputi: 1. Perubahan karbohidrat (daya fermentasi terhadap zat-zat gula dan hidrolisis terhadap pati) 2. Hidrolisis lemak (bakteri dapat menghidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak) 3. Penguraian protein (tiap-tiap spesies bakteri mempunyai daya hidrolisis dan penguraian protein yang berbeda-beda) 4. Reduksi bermacam-macam unsur (bakteri anaerob dapat mereduksi garam nitrat menjadi nitrit atau amonia, metilen blue atau indikator direduksi menjadi tidak berwarna. Bakteri bersifat aerob obligat dapat mereduksi H2O2 menjadi H2O dan O2) 5. Pembentukan figmen (pigmen akan tampak bila ada O2 bebas/aerob, dan dalam keadaan anaerob pigmen akan hilang) 6. Pengujian biokimia khusus lainnya. Tahapan identifikasi bakteri adalah sebagai berikut: 1. Isolat bakteri yang akan diuji dibiakkan pada media cair dan dilanjutkan dengan media agar padat, setelah pertumbuhan lengkap sesuai lamanya inkubasi biakan pada suhu ruang (30-37 oC) bahkan pada suhu thermofilik hingga 50 oC, selanjutnya diamati morfologi koloninya. Pada tahap ini dilakukan dengan mengamati kultur biakan dan koloni yang tumbuh pada permukaan agar (kasar, halus) serta besarnya koloni (mm). kemudian dilakukan pengamatan morfologi pada Media Khusus Gram Negatif (Mac Conkey Agar). Selain menggunakan media tersebut diatas juga dapat menggunakan media selektive artinya bakteri yang akan diamati akan tumbuh pada media khusus (SS agar, XLD agar, BRC). 1. Tes Katalase (Catalase Test) Menggunakan H2O2 3% dengan cara meneteskan larutan tersebut pada permukaan objek glass, biakan murni diambil dengan ose lalu disentuhkan pada tetesan tersebut, bila dalam hitungan detik terdapat gelembung udara menandakan catalase positive. 2. Tes Oksidase (Oxidase Test) Menggunakan NNNN-tetramethyl-p-phenylene diamine dihydrocloride (C6H4[N(CH3)2]22HCl) dicamper dengan asam askorbat (ascorbic acid), larutan tersebut diteteskan pada kertas saring. Biakan murni diambil dengan ose lalu digoreskan pada kertas saring tersebut. Bila dalam beberapa detik terjadi perubahan warna biru/violet menandakan Oxidase positive 3. Motility-Slide a. Biakan yang tumbuh pada media cair/broth diambil dengan ose dan diletakkan pada cover glass, object glass. Pergerakan positif terlihat bergerak dan berlarian dengan cepat sedang yang negatif hanya bergerak dan diam ditempat. b. Metode kedua yaitu menggunakan agar setengah padat yang ditempatkan pada tabung. Kultur diambil lalu ditusukkan pada media dari atas ke bawah. Setelah diinkubasi selama 24 jam terlihat penyebaran ke arah menyamping seperti warna keruh berarti menandakan positif. 4. Indole Indol merupakan zat yang berbau busuk yang dihasilkan oleh bakteri yang ditumbuhkan dalam medium yang mengandung asam amino triptofan. Uji indol dengan menggunakan pepton cair pada tabung dengan bantuan pereaksi reagent kovac’s akan terlihat warna merah. 5. Methyl Red-Voger Proskaur (MRVP) Pengujian ini dapat dilihat pada media methyl red pada tabung berwarna bening teh, kultur terlebih dahulu dibiakkan semalam setelah terjadi kekeruhan ditambahkan reagen methyl red 50-100 μL. Reaksi positif bila berwarna merah dan negatif bila berwarna kuning. Sedang untuk pengujian Vorges Proskaur (VP) ke dalam media yang sama ditambahkan α-naphtol sebanyak 500-600 μL lalu dikocok dan ditambahkan KOH 40% sebanyak 200 μL. Reaksi dapat dilihat setelah 20-30 menit berwarna merah jika positif VP. 6. Citrate Menggunakan media agar miring pada tabung yang berwarna hijau ditambahkan bromthymol blue. Biakan digereskan pada permukaan agar lalu diinkubasi 24-72 jam, perubahan warna menjadi biru jika positif. Untuk yang negatif di reinkubasi beberapa hari hingga terjadi perubahan. 7. Nitrate Reaction Menggunakan nutrien broth yang ditambahkan KNO3. Biakan murni ditumbuhkan selama semalam setelah keruh menandakan cukup pertumbuhan dengan menambahkan reagen Nitrate soln A dan soln B terjadi perubahan warna menjadi merah terang. Setelah pengujian di atas, dilakukan pengujian secara biokimia dengan menggunakan berbagai macam uji gula-gula dengan menggunakan medium Pepton water sebagai dasar medium digunakan Pepton 10 g, NaCl 5g, dan aquadest 1000 ml lalu ditambahkan indikator phenol red (pH 7.2-7.4) kemudian disterilisasi pada 115 o C selama 20 menit. Penambahan gula-gula seperti Aesculine, Arabinoce, Dulcitol, Fructose, Galactose, Inisitol, Lactose, Maltose, Rafinose, Rhamnose, Salicin, Sorbitol, Sucrose, Trehalose, Xylose dengan masing-masing konsentrasi antara 0.5-1%. Setelah penambahan gula-gula dilakukan sterilisasi dengan steam selama 10 menit. Perubahan warna menjadi kuning bila positif. Secara keseluruhan tahapan proses isolasi mikroba dan determinasi/identifikasi bakteri seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Persiapan Sampel Pembuatan Media (PDA & NA) Pembiakan (inokulasi) mikroba Pembiakan Bakteri dalam media NA Pembiakan Kapang/Khamir dalam media PDA Isolasi Bakteri Isolasi Kapang/Khamir Koloni tunggal Pewarnaan bakteri Koloni tunggal Determinasi/identifikasi bakteri Uji sifat Biokimia Genus/Spesies Gambar 4 Tahapan isolasi dan identifikasi bakteri 3.7.5. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon Mikroorganisme dapat mendegradasi pestisida apabila mikroorganisme tersebut diadaptasikan terlebih dahulu dengan lingkungan yang mengandung pestisida. Karena dalam proses adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim yang dibutuhkan unuk mendegradasi senyawa-senyawa rekalsitran (Gumbira-Said dan Fauzi 1995). Bakteri yang diperoleh dari hasil identifikasi lalu diujikan pertumbuhannya. Media pertumbuhan dan adaptasi yang digunakan adalah Nutrient Agar (NA) padat yang mengandung 100 dan 500 ppm diazinon. Bakteri yang tumbuh kemudian dilakukan uji pembentukan zona jernih untuk menguji kemampuannya dalam mendegradasi diazinon. Media yang digunakan adalah media MSPY (Mineral Salt Pepton Yeast) yang mengandung diazinon 1000 ppm, 1500 ppm, dan 1700 ppm. Bakteri tersebut diinokulasi selama empat hari untuk melihat aktivitasnya dalam mendegradasi diazinon. 3.7.5.1. Pembuatan Media NA adaptasi. Cara pembuatan media ini yakni dengan menimbang NA sebanyak 2.3 g dan agar powder 0.5 g ke dalam 100 ml air destilata kemudian dipanaskan sambil diaduk. Setelah mendidih dan homogen media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. Kemudian media didinginkan (hangat kuku) lalu ditambahkan diazinon 100 dan 500 ppm lalu dituang ke dalam petri steril. Setelah padat petri ditutup dan dibalik agar uap air tidak jatuh ke atas permukaan agar. Kemudian bakteri diinokulasikan dan diinkubasi pada suhu 30 oC selama 3 hari. 3.7.5.2. Pembuatan Media MSPY. Pembuatan media MSPY dilakukan dengan cara melarutkan KH2PO4 0.2 g, K2HPO4 0.5 g, MgSO4.7H2O 0.2 g, NaCl 0.2 g, CaCl2.2H2O 0.05 g, FeSO4.7H2O 0.025 g, Na2MoO4, 0.005 g, MnSO4 0.0005 g, NaWo2 0.0005 g, Bakto peptone 1.0 g, dan Yeast extract 2.0 g, ke dalam gelas piala yang berisi 1 liter air destilata kemudian diaduk sambil mengatur pH pada kisaran 7.0 (pH netral). Lalu larutan media dipindahkan ke dalam erlenmeyer yang berukuran 1 liter dan diisi bacto agar sebanyak 15 g, kemudian disterilkan dalam autoklaf (Oshiro 1996). Media steril tersebut kemudian ditambahkan diazinon dengan konsentrasi masingmasing, 1000 ppm, 1500 ppm, dan 1700 pm. Menurut Margot dan Stammbach (1964), bahwa diazinon menguap pada suhu 83-84 o C, sensitif terhadap oksidasi pada suhu di atas 100 oC dan terdegradasi pada di atas 120 oC sehingga diazinon tidak dapat disterilkan dengan autoklaf. Oleh karena itu diazinon harus disterilkan melalui proses sterilisasi penyaringan yakni dengan menggunakan filter ukuran 0.45 μm (millipore). 3.8. Analisis Aktivitas Mikroba dengan Fluorescein Diacetate (FDA) Assay Analisis aktivitas mikroba dilakukan dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan oleh Eggen (1999), yaitu menggunakan Fluorescein Diacetate (FDA) Assay. FDA tidak digunakan untuk menghitung biomassa mikrobial tetapi untuk membandingkan aktivitas mikroba hydrolitik dalam satu ekosistem yang sama. Penentuan FDA dilakukan dengan cara menginkubasi sampel dalam larutan buffer, yang bertindak sebagai penerima elektron yang menurunkan warna fluorescein. Intensitas warna ditentukan dengan menggunakan spektofotometri. Larutan standar FDA dibuat dengan melarutkan 0.0399 gram FDA ke dalam 100 mL aseton. Kemudian ditimbang 10 gram kompos ke dalam erlenmeyer yang telah diisi dengan larutan standar FDA masing-masing 0, 0.1; 0.2, 0.3, 0.5, 1.0 dan 1.5 mL, masing-masing erlenmeyer ditambah 50 mL buffer fosfat. Larutan standar diinkubasi dengan penggoyangan (rotary shaker) pada kecepatan 120 rpm selama satu jam kemudian ditambahkan 50 mL aseton untuk menghentikan reaksi hidrolisis. Larutan disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit, lalu disaring. Absorban filtrat diukur dengan spektrofotometri UV-VIS (Beckman DU 650) pada panjang gelombang (λ) 490 nm. Perlakuan pada sampel dilakukan dengan cara menimbang FDA 0.200 gram lalu dilarutkan dengan aseton kemudian ditambah dangan “deionized water” (aquabidest) hingga 100 mL sebagai larutan stok. Sampel di timbang masingmasing 10 gram ke dalam erlenmeyer lalu ditambah 50 ml buffer fosfat (pH 7.6) dan larutan FDA 0.5 mL kemudian diinkubasi dengan rotary shaker pada kecepatan 120 rpm selama satu jam kemudian ditambahkan 50 mL aseton. Larutan didekantasi (pindahkan) ke dalam tabung sentrifugasi dan disetrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit, lalu disaring dengan millipore (0.45 μm). Absorban diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang (λ) 490 nm. 3.9. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan ini dilakukan dengan menggunakan dua faktor yaitu konsentrasi diazinon (x1) dan perbandingan tanah dengan kompos (x2). Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon (Respons Surface Method/RSM) mengikuti Rancangan Komposit Fraksional, masing-masing peubah uji terdiri dari tiga taraf dengan rincian seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Kisaran dan taraf peubah uji pada optimasi bioremediasi Nilai faktor terendah (-1) Nilai faktor tengah 0 Nilai faktor tertinggi (+1) Konsentrasi diazinon (ppm) 500 1000 1500 Rasio kompos dalam tanah (%) 10 20 30 Jenis Perlakuan Dalam penelitian ini digunakan Central Composite Design (CCD) (Montgomery,1991) dengan 3 ulangan pada titik pusat sehingga memenuhi model kuadratik, nilai pusat perlakuan digunakan konsentrasi diazinon 1000 ppm dan rasio kompos dalam tanah 20%. Matriks satuan-satuan percobaan pada proses bioremediasi dalam unit dan nilai asli seperti disajikan pada Tabel 5. Dimana nilai asli diperoleh dengan rumus Nilai asli =[(nilai tertinggi/rendah–nilai tengah) x nilai kode + nilai tengah] ......(2) Tabel 5 Matriks satuan percobaan pada optimasi proses bioremediasi rancangan komposit fraksional Kode No Diazinon Kompos 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 -1 1 -1 0 0 0 1.414 -1.41 0 0 - 1 1 -1 -1 0 0 0 0 0 1.414 -1.414 - Nilai asli Diazinon Kompos(%) Keterangan (ppm) 1500 30 P1 500 30 P2 1500 10 P3. 500 10 P4 1000 20 P51 1000 20 P52 1000 20 P53 1707 20 P6 293 20 P7 1000 35 P8 1000 6 P9 1000 0 K1 1000 0 K2 Dengan dua peubah uji tersebut maka model kuadratiknya seperti bentuk persamaan berikut: Yi = bo + b1x1i + b2x2i + b11x1i2 +b22x2i2 +b12x1i + ri ……….……………….. (3) Keterangan: Y = Respon dari masing-masing perlakuan X = (x1: konsentrasi diazinon; x2: rasio kompos dalam tanah) b = Koefisien parameter r = error Parameter respon utama yang digunakan adalah penurunan konsentrasi diazinon. Sebagai kontrol digunakan tanah tidak disterilisasi dan tanpa penambahan kompos (K1), dan tanah disterilisasi tanpa kompos (K2) dengan masing-masing konsentrasi diazinon 1000 ppm. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Diazinon 4.1.1. Analisis Degradasi Diazinon dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Untuk memastikan ada atau tidaknya senyawa turunan hasil degradasi diazinon oleh aktivitas mikroba yang berasal dari SMC maka dilakukan analisis diazinon dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil analisis dengan KLT dapat dilihat pada Gambar 5. 1 2 3 4 Gambar 5 Kromatogram hasil KLT dengan eluen heksana : etyl asetat (10:1, v/v) (1) diazinon teknis pekat; (2) stok diazinon 10000 ppm; (3) sampel P5 (H14); (4) sampel P5 (Ho) Dari Gambar 5 secara kualitatif terlihat bahwa diazinon teknis pekat (1) dan stok diazinon 1000 ppm (2) terdapat satu spot berwarna merah muda dengan masing-masing nilai Rf 0.28 dan 0.24 dan satu spot berwarna kuning kemungkinan merupakan pelarut dari senyawa diazinon tersebut. Pada sampel hari ke-14 (3) ada tujuh spot dan satu diantaranya berwarna merah muda dan pada hari ke-0 (4) ada tiga spot dengan masing-masing nilai Rf 0.24 dan 0.28 sama dengan stok diazinon 1000 ppm dan diazinon teknis pekat, sedang spot yang berwarna coklat kemungkinan terbentuk dari kotoran yang berasal dari tanah atau kompos. Pada sampel hari ke-14 (3) terdapat spot berwarna kuning keemasan dan orange dengan Rf 0.67 dan 0.8 ini diduga adalah merupakan senyawa turunan hasil degradasi diazinon oleh SMC namun senyawa ini belum dapat diindentifikasi dengan jelas. Secara umum diazinon mempunyai rute degradasi mencakup pemutusan ikatan P – O – pirimidin oleh aktivitas NADPH-dependent oksidase. Komponen heterosiklik diazinon dapat diaktivasi oleh enzim monooksidase yang membentuk derivatif P = O menghasilkan diazoxon tetapi senyawa ini dapat terhidrolisis membentuk 2-isopropil-4-metil-6-hidroksipirimidin (IMHP), asam tiofosfonat dan etanol. Proses reaksi transformasi enzimatik oleh mikroba terhadap diazinon terjadi melalui reaksi primernya yaitu reaksi hidrolisis yang diikuti oleh reaksi pemecahan rantai cincin diazinon menjadi 2-isopropil-4-metil-6-pirimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Hasil metabolisme mikroba tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang mempunyai sifat toksik yang lebih kecil dari pada diazinon (Bollag, 1974). Di alam, pada kondisi asam atau alkali diazinon dapat terdegradasi dengan cepat, tetapi lambat pada kondisi netral (McEwen and Stephenson 1979). Proses degradasi dalam penelitian ini berlangsung dalam keadaan pH netral (pH 7-8) sehingga secara alami diazinon akan lambat terdegradasi tetapi dengan bantuan aktivitas bakteri ataupun mikroba lainnya yang terdapat dalam SMC, maka diazinon tersebut dapat terdegradasi secara mikrobial melalui proses hidrolisis. Selain degradasi secara mikrobial, diazinon juga terdegradasi secara kimiawi melalui reaksi hidrolisis dengan adanya sejumlah air sehingga hal ini mengakibatkan diazinon mengalami proses degradasi dengan cepat. 4.1.2. Analisis Penurunan Konsentrasi Diazinon dengan Spektrofotometer Analisis diazinon secara kualitatif juga dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer, yang bertujuan untuk mengetahui effisiensi penurunan konsentrasi diazinon dan waktu terbaik yang akan digunakan untuk bioremediasi yang efektif. Pengambilan sampel untuk analisis diazinon dilakukan pada hari ke0, 7, 14, 21, dan 28. Hasil analisis hari ke-7 (Lampiran 2) membentuk persamaan respon permukaan seperti berikut Y7 = 29.069 – 0.032Dz + 0.728Kp + 0 + 0.009Kp2 + 0.0002DzKp ……………(4) Dimana: Y7 = Respon terhadap degradasi diazinon pada hari ke-7 Dz = Konsentrasi diazinon Kp = Rasio kompos Berdasarkan persamaan (4) diperoleh bentuk permukaan respon interaksi antara konsentrasi diazinon dengan rasio kompos dalam tanah terhadap penurunan konsentrasi diazinon (Gambar 6). Dari Gambar tersebut terlihat bahwa rasio kompos berpengaruh positif secara linear terhadap penurunan konsentrasi diazinon dimana semakin banyak kompos dalam tanah maka penurunan konsentrasi diazinon juga semakin besar, hal ini disebabkan karena jumlah mikroba yang berperan dalam proses degradasi juga semakin banyak. Sedangkan konsentrasi diazinon memberikan pengaruh negatif terhadap penurunan konsentrasi diazinon dimana semakin tinggi konsentrasi diazinon maka sifat toksik semakin besar sehingga menyebabkan diazinon mengalami penurunan konsentrasi makin kecil. Gambar 6 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-7 Penurunan konsentrasi diazinon pada hari ke-7 pada kombinasi konsentrasi diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 20% hanya mencapai 32.1%. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme dalam SMC belum pernah berhubungan langsung dengan senyawa diazinon sehingga mikroorganisme tersebut belum memiliki enzim yang dapat melakukan perombakan terhadap senyawa diazinon. Oleh karena itu mikroorganisme tersebut masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri (beradaptasi). Lambat laun mikroorganisme-mikroorganisme tersebut akan beradaptasi dan melakukan perombakan terhadap senyawa diazinon karena dalam proses adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim dan plasmid yang dibutuhkan untuk mendegradasi diazinon dengan mendetoksifikasi menjadi zat yang kurang atau tidak beracun. Analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon (Lampiran 2) menunjukkan ketidaksesuaian model yang dikembangkan, dimana nilai P total model sebesar 0.58 lebih besar dari taraf signifikan 0.05. Interaksi antara konsentrasi diazinon (Dz) dengan rasio kompos (Kp) memberi pengaruh positif terhadap penurunan diazinon dengan nilai signifikan sebesar 92.8%. Ini berarti bahwa semakin banyak kompos yang ditambahkan maka akan semakin besar penurunan konsentrasi yang terjadi. Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smirnov Normality Test menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling bebas dengan keragaman relatif homogen dengan nilai P>0.15. Plot kenormalan seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 7 Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-7 Hasil analisis hari ke-14 (Lampiran 3) membentuk persamaan respon permukaan seperti berikut Y14 = 82.757 + 0.022 Dz – 0.313 Kp – 0 – 0.005 Kp2 + 0.001 Dz Kp ..............(5) Persamaan (5) memberikan informasi bahwa semakin tinggi konsentrasi diazinon memberikan pengaruh negatif terhadap penurunan konsentrasi diazinon, ini berarti bahwa semakin besar konsentrasi diazinon akan menghambat proses degradasi dan menyebabkan penurunan konsentrasi diazinon yang terjadi juga kecil. Hal ini disebabkan karena konsentrasi diazinon yang tinggi memiliki sifat toksik yang tinggi mikroorganisme untuk terhadap mikroorganisme menguraikan senyawa sehingga diazinon. menghambat Rasio kompos memberikan pengaruh positif terhadap penurunan konsentrasi diazinon karena jumlah mikroorganisme yang berperan dalam proses degradasi diazinon semakin banyak. Sehingga dengan penambahan kompos akan meningkatkan laju degradasi diazinon. Mikroorganisme dalam SMC mampu tumbuh dan berkembang biak dengan menggunakan sellulosa, lignosellulosa ataupun lignin dalam kompos sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya sehingga jumlah populasi mikroba semakin meningkat dan menyebabkan aktivitas mikroba juga mengalami peningkatan. Pada Gambar 8 terlihat bahwa nilai optimum pada hari ke-14 diperoleh pada kombinasi konsentrasi diazinon 1000 ppm dengan kompos dalam tanah 30% yang dapat menurunkan konsentrasi diazinon sebesar 88%. Pada kombinasi konsentrasi diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 20% penurunan konsentrasi diazinon sebesar 80.8%. Gambar 8 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-14 Dari hasil analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon (Lampiran 3) menunjukkan bahwa secara linear dan kuadratik rasio kompos berpengaruh nyata terhadap penurunan konsentrasi diazinon. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan adanya kesesuaian model yang dikembangkan dimana nilai P total model sebesar 0.029 kurang dari taraf signifikan 0.05. Nilai P interaksi kedua faktor sebesar 0.405 tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf 95%. Nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0.79 menunjukkan relatif tingginya korelasi antara nilai-nilai observasi dan nilai dugaan. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 62.8% yang menunjukkan bahwa ada 37.0% dari total keragaman yang tidak terjelaskan oleh model. Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smirnov Normality Test menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling bebas dengan keragaman relatif homogen dengan nilai P>0.15. Plot kenormalan seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Gambar 9 Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-14 Hasil analisis hari ke-21 (Lampiran 4) membentuk persamaan respon permukaan seperti berikut Y21 = 84.145 + 0.01Dz + 0.093Kp – 0 – 0.007Kp2 + 0.001DzKp ……….......(6) Berdasarkan persamaan (6) diperoleh bentuk permukaan respon interaksi antara konsentrasi diazinon dengan rasio kompos dalam tanah terhadap penurunan konsentrasi diazinon seperti ditunjukkan pada Gambar 10. Dari Gambar tersebut dapat diketahui bahwa rasio kompos yang ditambahkan akan mempengaruhi penurunan konsentrasi diazinon. Menurut Barker dan Bryson (2002) bahwa degradasi kontaminan dalam tanah dapat dipercepat dengan penambahan kompos karena meningkatkan substrat untuk kometabolisme. Mikroorganisme juga dapat mengakumulasikan racun hasil metabolisme dalam selnya sehingga terjadi penurunan konsentrasi. Penurunan konsentrasi diazinon mencapai titik optimum pada kombinasi diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 25% yang dapat menurunkan konsentrasi diazinon sebesar 91.8%. Pada kombinasi konsentrasi diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 20% penurunan konsentrasi diazinon mencapai 89.6%. Gambar 10 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-21 Dari hasil analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon pada hari ke21 (Lampiran 4) secara linear dan kuadratik menunjukkan bahwa rasio kompos berpengaruh nyata terhadap penurunan konsentrasi diazinon. Hasil analisis juga menunjukkan kesesuaian model yang kembangkan dimana nilai P total model kurang dari tarat signifikan 0.05. Nilai P interaksi kedua faktor sebesar 0.170 tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf 95%. Nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0.89 menunjukkan relatif tingginya korelasi antara nilai-nilai observasi dan nilai dugaan. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 80.0% menunjukkan bahwa ada 20% dari total keragaman yang tidak terjelaskan oleh model. Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smirnov Normality Test diperoleh nilai P<0.15. Plot kenormalan dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-21 Hasil analisis hari ke-28 (Lampiran 5) membentuk persamaan respon permukaan seperti berikut Y28 = 85.507 – 0.002Dz + 0.499Kp – 0 – 0.008Kp2 + 0.0003DzKp …...……(7) Berdasarkan persamaan (7) diperoleh bentuk permukaan respon pengaruh interaksi kedua faktor terhadap penurunan konsentrasi diazinon seperti ditunjukkan pada Gambar 12. Dari Gambar tersebut dapat diketahui bahwa rasio kompos sangat mempengaruhi penurunan konsentrasi diazinon dimana rasio kompos yang rendah memberikan efek penurunan konsentrasi diazinon juga rendah. Penurunan konsentrasi diazinon mencapai titik optimum pada kombinasi diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 26% yang dapat menurunkan konsentrasi diazinon mencapai 97.5%. Pada kombinasi rasio kompos 20% dengan konsentrasi diazinon 1000 ppm mengalami penurunan konsentrasi diazinon sebesar 92.6%. Gambar 12 Grafik permukaan respon hasil degradasi diazinon hari ke-28 Dari hasil analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon pada hari ke28 (Lampiran 5) menunjukkan bahwa secara kuadratik rasio kompos berpengaruh nyata terhadap penurunan konsentrasi diazinon. Hasil analisis juga menunjukkan kesesuaian model yang dikembangkan dimana nilai P total model sebesar 0.001 kurang dari tarat signifikan 0.05. Nilai P interaksi kedua faktor tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf 95%. Nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0.81 menunjukkan relatif tingginya korelasi antara nilai-nilai observasi dan nilai dugaan. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 65.8% ini berarti bahwa ada 34.2% dari total keragaman yang tidak terjelaskan oleh model. Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smirnov Normality Test menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling bebas dengan keragaman relatif homogen dengan nilai P>0.15. Plot kenormalan dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Probabilitas normal hasil degradasi diazinon hari ke-28 Diazinon adalah salah jenis pestisida golongan organofosfat yang paling stabil di dalam tanah. Waktu paruh diazinon adalah 30 hari (Wauchope et al. 1992 dalam Leland 1998), dan menurut Rao (1994) keawetan diazinon dalam tanah normal adalah 3 bulan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penurunan konsentrasi diazinon terjadi karena kometabolisme yang dilakukan bakteri dan mikroba lainnya yang ada dalam SMC. Mikroba tersebut menggunakan bahanbahan organik dalam kompos sebagai sumber karbon dan energi, sehingga terjadi peningkatan jumlah populasi dan aktivitas mikroba. Selama pertumbuhan mikroorganisme tersebut secara terus menerus akan memproduksi enzim yang dapat mendetoksifikasi diazinon. Jumlah populasi dan aktivitas mikroba serta hasil degradasi diazinon pada kombinasi konsentrasi diazinon 1000 ppm dengan rasio kompos 20% seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah populasi dan aktivitas mikroba serta degradasi diazinon Hari ke- TPC (cfu/g) Aktivitas mikroba (FDA/g) Penurunan konsentrasi diazinon (%) 0 7 14 21 28 2.5x105 4.5x105 3.7x106 4.5x106 4.6x106 0.0320 0.0355 0.1090 0.2484 0.2299 0 28.26 87.88 91.65 93.15 Gambar 14 (a dan b) menunjukkan bahwa jumlah populasi dan aktivitas mikroba cenderung mengikuti pola kurva pertumbuhan mikroba. Pada hari ke-7 pertambahan jumlah populasi dan aktivitas mikroba masih relatif kecil karena mikroba dalam SMC tersebut masih dalam tahap pertumbuhan dan penyesuaian, sehingga proses degradasi diazinon relatif lambat dan mengakibatkan penurunan 5000000 100 4000000 80 3000000 60 2000000 40 1000000 20 0 0 0 7 TPC 14 Hari ke- 21 Penurunan konstr diazinon (%) TPC (cfu/g) konsentrasi diazinon jadi terhambat. 28 Penurunan konstr diazinon (a) 0.3 Produk FDA 0.25 80 0.2 60 0.15 40 0.1 20 0.05 0 Penurunan konstr diazinon (%) 100 0 0 7 14 21 28 Hari keAktivitas mikroba Penurunan konstr diazinon (%) (b) Gambar 14 (a) Kurva jumlah populasi dan hasil degradasi diazinon, (b) Aktivitas mikroba dan hasil degradasi diazinon Peningkatan jumlah populasi dan aktivitas mikroba terjadi karena didukung oleh faktor suhu dan pH yang optimum serta sumber karbon yang cukup untuk pertumbuhan bagi mikroorganisme. Dalam proses bioremediasi temperatur sangat berpengaruh terhadap kecepatan reaksi kimiawi ataupun secara enzimatik. Suhu optimum untuk proses bioremediasi adalah 10-42 oC. Suhu yang terlalu tinggi dan pH yang terlalu asam akan menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Dalam penelitian ini proses degradasi pada pH 7-8 dengan kadar air 30-50% dan suhu 28-32 oC. Dimana kondisi ini merupakan kondisi yang optimum untuk pertumbuhan bagi mikroorganisme sehingga mendukung terjadinya peningkatan jumlah populasi dan aktivitas mikroba. Mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada kondisi pH netral karena pada kondisi tersebut zat-zat makanan bagi mikroorganisme mudah larut dalam air yang ada dalam tanah dan kerja enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme menjadi maksimal. Dalam pertumbuhannya, mikroba tersebut diharapkan dapat memproduksi enzim yang mampu melakukan perombakan (mendetoksifikasi) senyawa diazinon secara sempurna sehingga membentuk suatu produk senyawa turunan yang mempunyai sifat toksik yang rendah dari senyawa asalnya (diazinon). Mekanisme transformasi dan degradasi pestisida yang tidak sempurna kadang terdapat gangguan mikrobial misalnya transformasi kometabolik, reaksi konjugasi, dan akumulasi pestisida di dalam sel mikroba itu sendiri, hal ini dapat menyebabkan terbentuknya senyawa baru yang lebih berbahaya dari pestisida asalnya (Bollag 1974; Ku et al. (1998). Pada hari ke-28 pertambahan jumlah populasi relatif kecil dan aktivitas mikroba mengalami penurunan karena berada pada tahap kematian (death phase). Oleh karena itu laju degradasi menurun sehingga menghambat penurunan konsentrasi diazinon. Akan tetapi penurunan konsentrasi diazinon yang terjadi hari ke-7 sampai hari ke-28 masih mengalami peningkatan, karena selain terjadi proses degradasi secara enzimatik, proses degradasi juga terjadi secara fisik dan kimiawi melalui reaksi hidrolisis, oksidasi dan penguapan. Pengadukan yang dilakukan setiap minggu memungkinkan terjadinya proses oksidasi dan penguapan. Sehingga hal ini dapat membantu laju degradasi dan menyebabkan penurunan konsentrasi diazinon yang terjadi semakin besar. Penurunan konsentrasi diazinon semakin besar karena selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan (suhu, pH, kadar air) yang optimum, waktu juga sangat berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi diazinon, dimana semakin lama waktu remediasi maka penurunan konsentrasi diazinon juga semakin besar. Hasil analisis pengaruh interaksi antara tiga faktor (waktu, rasio kompos, dan konsentrasi diazinon) (Lampiran 6) diperoleh persamaan dan permukaan respon sebagai berikut Y = -44.295 – 0.015Dz + 1.333Kp + 11.591t – 0 – 0.012Kp2 – 0.250t2 + 0.0004DzKp + 0.0006Dz t - 0.036 Kpt …..……………………………(8) Dimana: Y = Respon terhadap degradasi diazinon Dz = Konsentrasi diazinon (ppm) Kp = Rasio kompos (%) t = Waktu (hari ke-) Bentuk permukaan respon dari pengaruh interaksi ketiga faktor terhadap penurunan konsentrasi diazinon seperti ditunjukkan pada Gambar 15. Dari Gambar tersebut diketahui bahwa dengan bertambahnya waktu dan rasio kompos yang optimal akan mempengaruhi penurunan konsentrasi diazinon dimana semakin lama waktu remediasi maka penurunan konsentrasi diazinon juga semakin besar, akan tetapi konsentrasi awal diazinon juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses dekomposisi. Interaksi antar waktu dengan rasio kompos mencapai titik optimum penurunan konsentrasi diazinon setelah hari ke-14 dengan rasio kompos antara 16-39% pada konsentrasi diazinon 1000 ppm. Penurunan konsentrasi diazinon dapat mencapai 89.5%. Plot permukaan respon seperti ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar 15 Grafik interaksi tiga faktor terhadap hasil degradasi diazinon Analisis keragaman penurunan konsentrasi diazinon akibat interaksi ketiga faktor (waktu, rasio kompos, dan konsentrasi diazinon) (Lampiran 6). Menunjukkan bahwa secara kuadratik rasio kompos berpengaruh nyata terhadap penurunan konsentrasi diazinon. Dari hasil analisis menunjukkan kesesuaian model yang dikembangkan dimana nilai P total model sebesar 0.001 kurang dari tarat signifikan 0.05. Nilai P interaksi ketiga faktor tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf 95%. Nilai koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0.93 menunjukkan relatif tingginya korelasi antara nilai-nilai observasi dan nilai dugaan. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 86.5% menunjukkan kesesuaian model dimana hanya 13.5 dari total keragaman yang tidak terjelaskan oleh model. Hasil uji kenormalan galat menggunakan Kolmogorov-Smimov Normality Test menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara normal dan saling bebas dengan keragaman relatif homogen dengan nilai P>0.15. Plot kenormalan dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 Probabilitas normal degradasi diazinon dengan tiga faktor Interaksi rasio kompos dengan waktu degradasi terhadap aktivitas mikroba pada konsentrasi diazinon 1000 ppm seperti ditunjukkan pada Gambar 17. Pada hari ke-7 merupakan tahap adaptasi dan pertumbuhan sehingga aktivitas mikroba masih terhambat. Aktivitas mikroba mencapai titik optimal setelah hari ke-14 dengan rasio kompos 15-30%, pada kondisi ini lebih optimal sebagai sumber karbon terhadap pertumbuhan mikroba. Rasio kompos yang tinggi akan menghambat pertumbuhan mikroba sehingga aktivitasnya dapat terhambat. Menurut Judoamidjojo et al. (1989) dalam Suherman (2000) bahwa suplai karbon merupakan faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan optimal, tetapi apabila sumber karbon melewati kebutuhan mikroba maka akan menimbulkan efek penghambatan terhadap pertumbuhan. Selain faktor ketersediaan sumber karbon, dalam proses degradasi ini berlangsung pada suhu 28-32 oC dan pH 7-8 yang merupakan kondisi yang optimum untuk pertumbuhan mikroba dan melakukan aktivitas. Proses perombakan kontaminan oleh mikroba dapat terjadi melalui proses metabolisme secara internal maupun melalui komponen yang berpengaruh seperti enzim yang diproduksi oleh mikroba tersebut selama proses adaptasi. Proses degradasi diazinon dapat terjadi melalui reaksi hidrolisis dimana yang berperanan adalah enzim hidrolase yang dihasilkan selama proses adaptasi (misalnya karboksilesterase, fosfatase dan esterase tipe A). Enzim-enzim tersebut dapat mengikat dan mentransfor xenobiotik, serta meningkatkan jumlah dan aktivitas enzim biodegradatif yang akan mendukung terjadinya proses dekontaminasi. Gambar 17 Grafik interaksi rasio kompos dengan waktu degradasi terhadap aktivitas mikroba Secara kimiawi dan biologis diazinon dapat mengalami oksidasi yang akan menghasilkan diazoxon tetapi dengan adanya sejumlah air diazoxon dapat terhidrolisa dan akan menghasilkan IMHP (2-isopropyl-4-methyl-6- hydroxipyrimidine), dan asam tiofosforik serta etanol. Metabolik IMHP ini akan terkonjugasi dalam binatang dan tanaman, serta terdegradasi menjadi CO2 dalam tanaman dan tanah. 4.2. Isolasi dan Identifikasi Bakteri dari SMC Isolasi bakteri dari SMC dilakukan untuk memperoleh galur bakteri yang murni untuk selanjutnya diidentifikasi. Dari hasil isolasi ini ditemukan 14 isolat kemudian diidentifikasi. Deskripsi hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil identifikasi ditemukan galur bakteri Pseudomonas stutzeri, Bacillus mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis dan Chromobacterium spp (Gambar 18). Dari beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa Pseudomonas sp dan Bacillus sp dapat mendegradasi pestisida golongan organofosfat. Aktivitas bersama Pseudomonas stutzeri dan Pseudomonas aeruginosa dapat mendegradasi paration. Sedangkan Bacillus cereus dapat mendegradasi pestisida jenis piretroid (Cookson 1995). Pseudomonas stutzeri Bacillus cereus Bacillus mycoides Bacillus brevis Chromobacterium spp Gambar 18 Bentuk bakteri hasil identifikasi 4.3. Uji Kemampuan Degradasi Diazinon Bakteri yang telah diidentifikasi kemudian ditumbuhkan pada media padat NA yang mengandung diazinon 100 ppm sebagai media adaptasi. Ternyata bakteri jenis Pseudomonas stutzeri, Bacillus cereus, Bacillus mycoides, dan Chromobacterium spp dapat tumbuh dengan baik sedangkan Bacillus brevis tidak dapat tumbuh pada media tersebut. Pertumbuhan bakteri seperti terlihat pada Gambar 19. Bakteri tersebut kemudian ditumbuhkan lagi pada media padat NA yang mengandung diazinon 500 ppm dan ternyata hanya Bacillus cereus yang mampu tumbuh pada media padat tersebut. Bacilllus mycoides Bacilllus cereus Chromobacterium spp Pseudomonas stutzeri Gambar 19 Pertumbuhan bakteri pada media NA padat 100 ppm diazinon Namun demikian belum dapat dipastikan bahwa bakteri yang tumbuh pada media tersebut adalah yang berperan dalam mendegradasi diazinon karena tidak semua bakteri yang dapat tumbuh dalam media yang mengandung diazinon adalah bakteri yang langsung dapat mendegradasi diazinon. Akan tetapi bakteri lainnya hanya dapat menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dalam media yang mengandung diazinon dan mengakumulasikannya dalam sel atau menggabungkan diazinon dengan senyawa yang terdapat di alam. Oleh karena itu dilakukan uji degradasi diazinon dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan oleh Oshiro et al. (1996), yaitu dicirikan dengan terbentuknya zona jernih/bening di sekeliling bakteri yang tumbuh. Diazinon mempunyai kelarutan dalam air 0.004% pada suhu 20oC, sehingga bila diazinon ditambahkan dalam media yang kandungan terbesarnya adalah air maka media tersebut akan membentuk suspensi dan menimbulkan sifat opaque (buram). Jika diazinon terdegradasi akan menghasilkan suatu senyawa turunan yang lebih sederhana dan bersifat polar serta mempunyai kelarutan dalam air yang lebih tinggi. Dengan kelarutan yang lebih tinggi dalam air akan menyebabkan hilangnya sifat opaque, sehingga media akan menjadi jernih. Oleh karena itu jika suatu koloni bakteri yang mampu mendegradasi diazinon menjadi senyawa yang lebih sederhana ditumbuhkan diatas permukaan media padat, maka di sekeliling koloni bakteri akan membentuk zona jernih (Margot & Stammbach 1964). Bacillus cereus ditumbuhkan pada media MSPY yang mengandung diazinon 1000 ppm, 1500 ppm, dan 1700 ppm dan diinkubasi selama empat hari. Bacillus cereus mampu membentuk zona jernih di sekelilingnya. Kemampuan pembentukan luas zona jernih seperti ditunjukkan pada Tabel 7. Dari Tabel tersebut terlihat adanya peningkatan luas zona jernih yang terbentuk. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan aktivitas sehingga terjadi suatu proses perombakan (degradasi) diazinon menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tabel 7 Pembentukan zona jernih oleh Bacillus cereus Konsentrasi diazinon (ppm) 1000 Luas zona jernih (cm2) Hari ke-2 Hari ke-4 10.2 6.6 1500 1.0048 4.8 1700 1.0048 1.8 Bacillus cereus mampu menggunakan diazinon sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya sehingga terjadi peningkatan aktivitas bakteri. Aktivitas Bacillus cereus pada media diazinon 1000 ppm mengalami peningkatan yang lebih besar dibanding dengan pada media 1500 ppm dan 1700 ppm karena pada media yang mengandung diazinon 1500 dan 1700 ppm mempunyai sifat yang lebih toksik terhadap bakteri tersebut. Akan tetapi Bacillus cereus masih mampu melakukan aktivitas untuk mendegradasi diazinon hingga mencapai 1700 ppm. 4.4. Komposting SMC yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompos setengah matang dan segar yang telah mengalami proses pengomposan selama media tersebut dijadikan sebagai media pembibitan jamur. Miselia jamur sebagian besar tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin, serta vitamin dan mineral, sehingga limbah substrat (media) tanam jamur masih mengandung sejumlah besar unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Hasil analisis unsur hara SMC seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Pengomposan (komposting) adalah suatu proses aerobik thermofilik yang secara umum digunakan untuk proses daur ulang residu organik. Gradien oksigen, nutrien dan temperatur dalam kompos akan mendukung peningkatan populasi mikroba dan mempercepat konversi bahan organik (Reddy & Michel 1999). Selain terjadi proses degradasi juga diharapkan terjadi proses komposting karena adanya aktivitas mikroba. Bacillus dan Pseudomonas dapat memanfaatkan bahan organik seperti selulosa, hemiselulosa maupun lignin sebagai sumber energi sehingga terjadi proses dekomposisi. Bahan organik tersebut akan menghasilkan CO2, H2O, NO3, SO4, CH4, dan H2S (Rao, 1994). Tabel 8 Hasil analisis unsur hara SMC yang digunakan No Parameter 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 pH N-organik (%) N-NH4 (%) N-NO3 (%) N-total (%) P2O5 (%) K2O (%) Na (%) Ca (%) Mg (%) S (%) C-organik (%) Fe (ppm) Al (ppm) Mn (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) B (ppm) Pb (ppm) Cd (ppm) Cr (ppm) Ni (ppm) Co (ppm) KTK (meq/100g) C/N Kadar air (%) Kadar abu (%) Komposisi 7 0.44 0.07 td 0.51 1.36 0.08 0.03 6053 59 1.99 35.98 1035 1777 291 29 22 54 9.3 td 1.7 td 0.4 262.4 70.5 10.56 25.45 Tabel 9 menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah proses bioremediasi terjadi penurunan nilai C/N dan perubahan kandungan unsur-unsur hara lainnya. Penurunan nilai C/N berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme pengurai yang membebaskan CO2, dimana pemanfaatan bahan organik oleh mikroorganisme tersebut akan menurunkan kandungan karbon. Sedangkan kandungan nitrogen bertambah dan kadar amonium mengalami penurunan karena terjadi fiksasi, sehingga hal ini menyebabkan terjadinya penurunan nilai C/N. Kondisi pH (7.397.68) dan kadar air (33.8-34.31) adalah kondisi yang optimum untuk pertumbuhan bakteri. Rasio C/N awal bahan yang komposkan mempengaruhi proses pengomposan dimana dengan rasio kompos yang tinggi maka proses pengomposan akan lambat. Tabel 9 Hasil analisis unsur hara pada sampel (tanah + kompos) No Parameter 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 pH N-organik (%) N-NH4 (%) N-NO3 (%) N-total (%) P2O5 (%) K2O (%) Na (%) Ca (%) Mg (%) S (%) C-organik (%) Fe (ppm) Al (ppm) Mn (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) B (ppm) Pb (ppm) Cd (ppm) Cr (ppm) Ni (ppm) Co (ppm) KTK (meq/100g) C/N Kadar air (%) Komposisi/jumlah Awal (H+0) Akhir (H+28) 7.39 7.68 0.1 0.14 0.04 0.02 < 0.01 0.02 0.14 0.16 0.18 0.22 0.02 0.02 0.01 0.02 0.23 0.67 0.11 0.1 0.08 0.07 7.19 7.12 33447 25678 99516 53790 <1 259 11 34 57 66 40 22 14.7 15.8 td <1 1.6 0.9 td td 17.9 17.8 135.4 114.5 51.4 44.5 33.85 34.31 Dengan adanya bakteri Bacillus dan Pseudomonas maka bahan-bahan organik SMC akan mengalami proses dekomposisi tapi butuh waktu yang lama untuk memperoleh kompos yang memenuhi standar kualitas kompos yaitu sesuai dengan SNI 19-7030-2004 (Tabel 10). Tabel 10 Standar kualitas unsur makro kompos berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004) Kandungan Bahan organik (%) Kadar air (%) Total N (%) Karbon (%) Rasio C/N P (%) K (%) pH Baku 27-58 <50 >0.40 9.80-32.00 10-20 >0.10 >0.20 6.80-7.49 Dalam proses pengomposan, diazinon akan terurai dengan cepat dan bahkan hampir seluruhnya dapat diuraikan. Dengan keragaman dan aktivitas mikroba yang tinggi dalam pengomposan, maka akan menyebabkan peningkatan degradasi (Barker & Bryson 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Bavcon (2003) dengan menggunakan bahan organik, dilaporkan bahwa setelah 21 hari diazinon mengalami dekomposisi secara fotolisis sebesar 30%, sedangkan sampel yang tidak terkena cahaya tidak ditemukan adanya hasil degradasi. Penurunan konsentrasi yang terjadi pada penelitian ini jauh lebih besar dibandingkan dengan yang menggunakan bahan organik. Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisme dalam SMC sangat berperan dalam proses degradasi diazinon tersebut. Dengan pengomposan diazinon lebih cepat mengalami degradasi dibanding dalam tanah secara alamiah karena temperatur yang tinggi dan kandungan air yang besar. Volatilisasi diazinon tergantung pada konsentrasi diazinon yang ditambahkan, bahan yang digunakan, rasio kompos, dan kandungan air dalam kompos (Reddy & Michel 1999). Tabel 7 menunjukkan beberapa perbandingan hasil degradasi atau biotransformasi diazinon selama pengomposan. Tabel 11 Beberapa data degradasi diazinon Metode Waktu (hari) Konsentrasi awal (ppm) Penurunan konsentrasi (%) Keterangan Alami 120 - 75-100 Rao (1994) Bahan organik terkena cahaya matahari 21 6.9 30 Bavcon (2003) Bahan organik tanpa cahaya 21 6.9 0 Bavcon (2003) Komposting (sistem windrow) 10 10 >97 Reddy dan Michel (1999) Komposting (pupuk, serbuk gergaji dengan cahaya) 10 100 100 Reddy dan Michel (1999) Komposting (rumput dengan cahaya) 10 9 99 Reddy dan Michel (1999) Komposting (SMC tanpa cahaya)* 21 1000 90 *Hasil dari penelitian ini. 4.5. Uji Aktivitas Mikroba Peningkatan aktivitas mikroba juga dapat dilihat dari hasil analisis dengan menggunakan Fluorescein Diacetate (FDA) Assay. Peningkatan jumlah FDA yang dihasilkan menunjukkan adanya peningkatan aktivitas mikroba. Semakin banyak FDA yang dihasilkan berarti semakin besar pula aktivitas mikrobanya. Hasil uji aktivitas mikroba (Lampiran 8) menunjukkan bahwa aktivitas mikroba cenderung mengkuti pola kurva pertumbuhan mikroba yaitu melewati fase lamban (lag phase), fase eksponensial (exponential phase), fase diam (stasionary phase), dan fase mati (death phase). Menurut Gumbira-Said (1997) bahwa pertumbuhan mikroba diukur dengan pendekatan massa sel dan kurva pertumbuhan yang mempunya tiga fase yang berbeda yaitu fase awal, eksponensial dan stasioner. Dari hasil uji aktivitas mikroba menunjukkan bahwa pada hari ke 0-7 masih berada pada fase awal. Fase ini merupakan tahap adaptasi dan pertumbuhan, dalam hal ini adaptasi dilakukan terhadap keberadaan senyawa diazinon. Dalam proses adaptasi ini akan mengalami perubahan komposisi kimia sebelum mampu memulai pertumbuhannya dan mikroba akan mensintesis enzim untuk melawan dan mendetoksifikasi senyawa diazinon. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil analisis penurunan konsentrasi diazinon bahwa pada hari ke-7 penurunan konsentrasi diazinon yang terjadi masih relatif kecil. Pada hari ke- 14 hingga hari ke-21 aktivitas mikroba berada pada fase eksponensial, dimana pada fase ini mikroba melakukan metabolisme yang optimal. Oleh karena itu penurunan konsentrasi pada hari ke-14 dan hari ke-21 mengalami laju penurunan yang besar karena aktivitas mikroba yang tinggi. Populasi mikroba jarang dipertahankan pertumbuhannya pada fase eksponensial dalam waktu yang lama karena dibatasi oleh sumber energi, ataupun karena adanya sifat toksik sistem inhibisi oleh akumulasi hasil metabolisme beracun. Pada hari ke-28 aktivitas mikroba mulai menurun dan sebagian cenderung mati, terlihat pada sampel (P9) yang rasio komposnya relatif lebih kecil dengan konsentrasi diazinon yang tinggi sehingga kemampuan hidup pada kondisi tersebut sangat kecil karena sifat toksik yang dimiliki. Pada hari ke-28 aktivitas mikroba berada pada tahap stasioner dan menuju ke tahap kematian. Hal ini dapat menyebabkan penurunan aktivitas mikroba sehingga kecepatan degradasi oleh mikroba juga menurun dan akan mengakibatkan laju penurunan konsentrasi diazinon terhambat. Tetapi selain terjadi proses degradasi secara biologis, diazinon juga mengalami reaksi kimia secara hidrolisis karena adanya sejumlah air dalam bahan yang tercemar diazinon. Selain itu, karena faktor waktu juga sangat berpengaruh dalam degradasi diazinon sehingga hal ini menyebabkan penurunan konsentrasi diazinon pada hari ke-28 semakin besar. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa mikroorganisme menggunakan bahan-bahan organik dalam SMC sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya sehingga populasi mikroba dan aktivitasnya meningkat yang akan meningkatkan kemampuan mikroba untuk mendegradasi senyawa diazinon. Akan tetapi dalam waktu tertentu pertumbuhan mikroba akan berada pada tahap stasioner dan menyebabkan jumlah populasi dan aktivitas mikroba akan mengalami penurunan sehingga kemampuan mendegradasi diazinon juga terhambat. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penambahan jumlah kompos dalam tanah dan waktu remediasi sangat berpengaruh dalam proses biodegradasi dan memberi pengaruh positif pada penurunan konsentrasi diazinon. Kondisi optimum untuk bioremediasi tanah tercemar diazinon yang efektif dan ekonomis yakni dengan rasio kompos 15-32% pada konsentrasi diazinon teknis 1000 ppm selama 14-21 hari yang dapat menurunkan konsentrasi diazinon 80-92%. Pseudomonas stutzeri, Bacillus mycoides, Bacillus cereus, Bacillus brevis dan Chromobacterium spp adalah galur bakteri yang diisolasi dari SMC (spent mushroom compost). Bakteri tersebut menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh dan beradaptasi pada media padat NA yang mengandung 100 ppm diazinon, kecuali Bacillus brevis. Sedangkan Bacillus cereus mampu tumbuh hingga 500 ppm diazinon. Bacillus cereus mampu mendegradasi diazinon pada media padat MSPY yang mengandung 1700 ppm diazinon. Saran 1. Perlu penelitian lebih lanjut menggunakan SMC dan mengaplikasikannya dilapangan, mengidentifikasi senyawa turunan hasil biodegradasi dan melakukan uji toksisitas untuk mengetahui pengaruh pestisida (diazinon) dan turunannya terhadap tanaman 2. Dalam proses degradasi ini melibatkan beragam mikroorganisme sehingga perlu studi lanjut dengan menggunakan isolat tunggal untuk mengetahui kemampuan mendegradasi diazinon yang ada dalam tanah. DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2003. Bord Glas Mush Book: Enrich Your Business with Spent Mushroom Compost. Ireland: Developing Horticulture. [Anonim]. Penggunaan Pestisida di Luar Usaha Budidaya Pertanian. http://edmart.staff.ugm.ac.id/detailarticle.php?mesid=20&kata_kunci=pestis ida. [4 Januari 2005]. [Anonim]. Extension Toxicology Network. Pesticide Information Profil. http://extoxnet.orst.edu/pips/diazinon.htm. [20 Oktober 2005]. [Anonim]. Aplikasi Bioteknologi dalam Upaya Peningkatan Efisiensi Agribisbis yang Berkelanjutan. http://www.ipard.com/art perkebn/dhg1.asp. [19 Juni 2004]. [Anonim]. Peruraian Pestisida Organofosfor dalam Tanah Sawah. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/07001/war-3.htm. [27 Oktober 2004]. Allender WJ, Britt AG. 1994. Analyses of Liquid Diazinon Formulation and Breakdown Products: An Australia-Wide Survey. Bulletin Environmental Contamination and Toxicology. 53:902-906. Bavcon M, Trebse P, Zupancic-Kralj L. 2003. Investigation of The Determination and Tranformation of Diazinon and Malation Under Environmental Conditions Using Gas Chromatography Coupe with a Flame Ionisation Detector. Chemosphere 50:595-601. Barker AV, Bryson GM. 2002. Bioremediation of Heavy Metals and Organic Toxicant By Composting. The Scientific World. 2:407-420. Baker HB, Diane SH. 1994. Bioremediation. New York: McGraw-Hill. Bempelou ED, Liapis KS. Determination of Residues of 16 Common Pesticides Apllied In Apple Fruit by Gas Chromatography. Pesticides Residues Laboratory: Benakl Phytopathological Institute. Bernier RL, Gray NCC Moser LE, penemu; 26 Agustus 1997. Compost Decontamination of DDT Contaminated Soil. United States Patent. 5,660,612. Boophaty R. 2000. Factor Limiting Bioremediation Technology. Review paper. Bioresource Technology. 74: 63-67. Bollag JM. 1974. Microbial Transformation of Pesticides. Adv. Appl. Microbial Vol. 18:75-130. Box GEP, Hunter JS. 1978. Statistical for Experiments. New York: John Wiley and Sons Inc. Chambers JE. Patricia EL, editor. 1992. Organophosphates: Chemistry, Fate, and Effect. San Diego: Academic Press, Inc. Chen W, Mulchandani A. 1998. The Use of Biocatalysts For Pestisida Detoxification. Tibtech. 16: 71-76. Citroreksono P. 1996. Pengantar Bioremediasi. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”. Cibinong, 24-28 Juni 1996. LIPI/BPPT/HSF. Hal 1-5. Connel DW, Gregory JM. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: UI-Press. Yanti Koestoer, penerjemah. Terjemahan dari: Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. CPIS, 1992. Panduan Teknik Pembuatan Kompos dari Sampah. Teori dan Aplikasi. Jakarta: Center for Policy and Inplementation Study. Eggen T. 1999. Application of Fungal From Commersial Mushroom Production Pleuorotus ostreatus For Bioremediation of Creosote Contaminated Soil. International Biodeterioration and Biodegradation 44: 117-126. Ekha I. 1991. Dilema Pestisida, Tragedi Revolusi Hijau. Yogyakarta: Kanisius. Gumbira-Said E. 1987. Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta: PT. Medyatama Sarana Perkasa. Gumbira-Said E, Fauzi AM. 1996. Bioremediasi dengan Mikroorganisme. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”. Cibinong, 24-28 Juni. LIPI/BPPT/HSF. Hal 1117. Gaur AC. 1983. A Manual of Rural Composting. The United Nation, Rome: FAO. Gray NCC, Moser GP, Moser LE, penemu; 11 Mei 1999Compost Decontaminating of Soil Contaminated With Chlorinated Toxicants.. United States Patent. 5,902,744. Hayes WJ, Laws ER. 1991. Handbook of Pesticide Toxicology. San Diego: Academic Press. Holt JG, Krieg NR, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 1994. Bergey’s Manual of: Determinative Bacteriology. Ninth edition. New York: Lippincott Williams and Wilkins. Indrasti NS. 2003. Penyusunan Standar Mutu dan Sistem Pemasaran Kompos, Laporan Akhir. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Indrasti NS, Purwoko, Suherman. 2005. Aplikasi Linear Programming dalam Formulasi Pupuk Organik Berbasis Kompos untuk Berbagai Tanaman. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol. 15 (2): 60-71. Indriani YH. 1999. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya. Ku Y, Jay-Lin C, Sheng-Chyi. 1998. Effect of Solution pH on the Hydrolisys and Photolisys of Diazinon in Aquous Solution. Water, Air, and Soil Pollution.108:445-456. Lau KL, Tsang YY, Chiu SW. 2003. Use of Spent Mushroom Compost to Bioremediate PAH-Contaminated Samples. Chemosphere. 52:1539-1546. Lay BW, Sugyo H. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press. Leland JE. 1998. Evaluating the Hazard of Land Applying Composted Diazinon Waste Using Earthworm Biomonitoring [thesis] Virginia: Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Risiko. Edi Nugroho, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari: Basic Toxikology: fundamentals, target organs, and risk assesment. Margot A, Stammbach K. 1964. Analitycal Method for Pesticides Plant Growth Regulation. New York: Academic Press Inc. Magette W, Smyth S, Dodd V. Logistical Consideration for Spent Mushroom Compost Utilisation. Ireland: Agricultural and Food Engineering Department, University College Dublin Earlsfort Terrate. Moser GP, Gray NCC, penemu; 7 Desember 1999. Compost Decontaminating of Soil Contaminated With TNT, HMX, and RDX with Aerobic and Anaerobic Microorganism. United States Patent. 5,998,199. Moser GP, Gray NCC, Gannon DJ, penemu; 7 Maret 2000. Compost Decontamination of Soil Contaminated with PCP using Aerobic and Anaerobic Microorgnisms. United States Patent. 6,033,738. Moser GP, Gray NCC, Gannon DJ, penemu; 4 Juli 2000. Compost Decontamination of Soil Contaminated with PCB using Aerobic and Anaerobic Microorgnisms. United States Patent. 6,083,738. Montgomery DC. 1991. Design and Analysis of Experiment. New York. McEwen FL, Stephenson GR. 1979. The Use and Significance of Pesticides in The Environment. Canada: A Wiley-Interscience Publication. Manurung H. 1992. Penurunan Kadar Residu Diazinon dan Kinetikanya Selama Proses Pemanasan Wortel (Daucus carota L) yang Disemprot dengan Diazinon 60 EC [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Norris I. et al. 1994. Handbook of Bioremediation. London: Lewis Publishers. Ningsih D. 2001. Bioremediasi Diazinon Secara Ex Situ Menggunakan Mikrob Indigenous Isolat B3 [skripsi] Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Old College Composting Technology Centre. 2004. Issues in Composting Based Bioremediation (www.oldcollege.ab.ca). Oshiro K, Kakuta T, Sakai T, Hirota H, Hoshino T, Uchiyama T. 1996. Bioremediation of Oganophosphorus Insecticides by Bacteria Isolated From Turf Green Soil. J Ferment. Bioeng 82: 299-305. Porparest C. 1989. Organic Waste Recycling. New York: John Wiley and Sons. Rahayu SP. 1985. Degradasi Pestisida dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Buletin Penelitian 28:28-32. Rao NSS. 1994. Mikrobiologi Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Herawati Susilo, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari Soil Microorganisms and Plant Growth. Reddy CA, Michel Jr. FC. 1999. Fate of Xenobiotics During Composting. Proceeding of the 8th Interntional Symposium on Microbial Ecology. Canada: Atlantic Canada Society for Microbial Ecology. SNI 19-7030. 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Badan Standarisasi Nasional. Semple KT, Reid BJ, Fermor TR. 2001. Impact of Composting Strategies on The Treatment of Soil Contaminated with Organic Pollutants. Review. Environmental Pollution 112: 269-283. Snape JB, Dunn IJ, Ingham J, Prenosil JE. 1995. Dynamics of Environmental Bioprocesses: Modelling and Simulation. New York: VCH Publishers, Inc. Soebroto MA. 1996. Fitoremediasi. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan; Cibinong, 24-28 Juni 1996. Cibinong: LIPI/BPPT/HSF. hlm 51-59. Soerjani M. 1996. Strategi Pengembangan Penelitian Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan dan Pembangunan di Indonesia. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan; Cibinong, 24-28 Jun 1996. Cibinong: LIPI/BPPT/HSF. hlm 220-231. Suherman AD. 2000. Bioremediasi Pestisida Organofosfat Diazinon Secara Ex Situ dengan Menggunakan Mikroba Indigenous dari Areal Persawahan [skripsi] Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tarumengkang, R.C. 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Jakarta: Universitas Kristen Widya Kencana. The Marck Index. 1996 : An Encyclopedia of Chemical, Drugs, and Biologicals. 12th Ed. USA: Published by Merch Research Laboratories Division of MERCK & CO., Inc. US-EPA. 1994. Composting Yard Trimming and Municipal Solid Waste. EPA530-R-94-003. US-EPA. 1997. Innovative Uses of Compost Bioremediation and Pollution Prevention EPA-530-F-97-042. US-EPA. 1998. An Analysis of Composting as An Environmental Remediation Technology EPA-530-R-98-008. U.S. Geological Survey. Bioremediation: Nature’s Way To A Cleanner Environment. (www.usga.gov/wid/html/bioremed.htlm). [20 Oktober 2005] Vidali M. 2001. Bioremediation. Pure Appl. Chem. 73:1163-1172. Wudianto R. 1997. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Edisi revisi. Jakarta: Penebar Swadaya. Yani M, Fauzi AM, Aribowo F. 2003. Bioremediasi Lahan Terkontaminasi Senyawa Hidrokarbon. Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Pertambangan dan Perminyakan; Bogor, 20 Peb 2003. Bogor: Forum Bioremediasi IPB-PKSPL-IPB. LAMPIRAN Lampiran 1 Data pengamatan analisis diazinon dengan spektrofotometri pada panjang gelombang (λ) = 241 nm a. Kurva standar diazinon Konsentrasi diazinon (ppm) I 0.0000 0.2206 0.3280 0.4444 0.6707 0.9653 1.0386 1.0648 0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 absorbansi II III 0.0000 0.0000 0.2197 0.2197 0.3282 0.3284 0.4444 0.4451 0.6711 0.6715 0.9653 0.9645 1.0405 1.0405 1.0648 1.0648 rata-rata 0.0000 0.2200 0.3282 0.4446 0.6711 0.9650 1.0399 1.0648 Absorbansi kurva std y = 0.0007x + 0.0213 R2 = 0.9703 1.5000 absorbansi rata-rata 1.0000 Linear (absorbansi rata-rata) 0.5000 0.0000 0 1000 2000 konsentrasi diazinon (ppm) b. Hasi l analisis degradasi diazinon Sampel P1 P2 P3 P4 P51 P52 P53 P6 P7 P8 P9 K1 K2 Konsentrasi efektif hari ke0 7 14 21 28 99561.87 76828.54 12177.14 12819.04 7385.71 87019.02 69104.74 46609.51 8649.52 4198.09 39090.46 33604.75 11656.19 8160.00 4509.52 22942.85 19352.37 5449.52 7621.90 2663.81 75199.97 55857.12 7754.28 7091.43 4567.62 62585.69 45014.27 6262.85 5840.95 5323.81 71380.93 49271.41 11454.28 7699.04 4258.09 110961.87 82147.59 64239.03 6520.00 3935.24 59385.69 23495.23 42225.70 8737.14 4316.19 70747.59 19938.09 9175.23 11382.85 188.57 20409.51 18614.28 5609.52 6855.24 3920.95 63085.69 58599.98 54491.41 37034.27 30805.70 62680.93 61661.88 56693.32 44358.08 32496.18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Penurunan konsentrasi hari ke7 14 21 22.83 87.77 89.85 20.57 46.4 92.58 14.03 70.18 73.78 15.65 76.25 83.79 25.72 89.69 92.25 28.08 89.99 91.08 30.97 83.95 91.62 25.97 42.11 95.29 60.44 28.9 89.01 71.82 87.03 91.82 8.8 72.52 77.40 7.11 13.62 46.07 1.63 9.55 38.86 28 92.58 95.18 88.46 88.39 93.93 91.49 94.03 96.45 92.73 99.73 80.79 50.85 48.49 78 Lampiran 2 Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-7 (output minitab versi 14) Response Surface Regression: H7 versus dz, kp The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for H7 Term Constant Kp Dz Kp*Kp Dz*Dz Kp*Dz S = 20.36 Coef 29.0688 0.7284 -0.0319 0.0092 0.0000 0.0002 SE Coef 64.4007 3.9826 0.0813 0.0824 0.0000 0.0020 R-Sq = 44.9% T 0.451 0.183 -0.393 0.111 0.232 0.095 P 0.671 0.862 0.711 0.916 0.825 0.928 R-Sq(adj) = 0.0% Analysis of Variance for H7 Source Regression Linear Square Interaction Residual Error Lack-of-Fit Pure Error Total DF 5 2 2 1 5 3 2 10 Seq SS 1689.45 1662.54 23.14 3.76 2073.60 2059.77 13.83 3763.05 Adj SS 1689.45 136.17 23.14 3.76 2073.60 2059.77 13.83 Adj MS 337.890 68.086 11.572 3.764 414.720 686.590 6.914 F 0.81 0.16 0.03 0.01 P 0.586 0.853 0.973 0.928 99.30 0.010 Unusual Observations for H7 Obs 2 StdOrder 2 H7 20.570 Fit 48.128 SE Fit 15.916 Residual -27.558 St Resid -2.17 R R denotes an observation with a large standardized residual. Estimated Regression Coefficients for H7 using data in uncoded units Term Constant Kp Dz Kp*Kp Dz*Dz Kp*Dz Coef 28.1029 0.0484254 -4.55362E-05 4.35914E-05 1.59951E-11 1.89241E-08 79 Lampiran 3 Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-14 (output minitab versi 14) Response Surface Regression: H14 versus Kp, Dz The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for H14 Term Constant Kp Dz Kp*Kp Dz*Dz Kp*Dz S = 10.53 Coef 82.7568 -0.3125 0.0221 -0.0050 -0.0000 0.0010 SE Coef 33.3018 2.0594 0.0420 0.0426 0.0000 0.0011 R-Sq = 62.8% T 2.485 -0.152 0.526 -0.118 -1.554 0.910 P 0.055 0.885 0.622 0.911 0.181 0.405 R-Sq(adj) = 25.5% Analysis of Variance for H14 Source Regression Linear Square Interaction Residual Error Lack-of-Fit Pure Error Total DF 5 2 2 1 5 3 2 10 Seq SS 934.71 559.69 283.24 91.78 554.47 531.30 23.17 1489.18 Adj SS 934.71 53.41 283.24 91.78 554.47 531.30 23.17 Adj MS 186.94 26.70 141.62 91.78 110.89 177.10 11.59 F 1.69 0.24 1.28 0.83 P 0.290 0.795 0.356 0.405 15.28 0.062 Estimated Regression Coefficients for H14 using data in uncoded units Term Constant Kp Dz Kp*Kp Dz*Dz Kp*Dz Coef 83.1593 -0.0206702 2.94255E-05 -2.38244E-05 -5.53122E-11 9.34497E-08 80 Lampiran 4 Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-21 (output minitab versi 14) Response Surface Regression: H21 versus dz, kp The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for H21 Term Constant Kp Dz Kp*Kp Dz*Dz Kp*Dz S = 4.436 Coef 84.1447 0.0930 0.0099 -0.0065 -0.0000 0.0006 SE Coef 14.0282 0.8675 0.0177 0.0179 0.0000 0.0004 R-Sq = 79.8% T 5.998 0.107 0.560 -0.362 -1.980 1.366 P 0.002 0.919 0.600 0.732 0.105 0.230 R-Sq(adj) = 59.7% Analysis of Variance for H21 Source Regression Linear Square Interaction Residual Error Lack-of-Fit Pure Error Total DF 5 2 2 1 5 3 2 10 Seq SS 389.791 274.648 78.420 36.724 98.390 94.337 4.053 488.181 Adj SS 389.791 6.790 78.420 36.724 98.390 94.337 4.053 Adj MS 77.958 3.395 39.210 36.724 19.678 31.446 2.027 F 3.96 0.17 1.99 1.87 P 0.079 0.846 0.231 0.230 15.52 0.061 Unusual Observations for H21 Obs 9 StdOrder 9 H21 82.800 Fit 88.585 SE Fit 3.498 Residual -5.785 St Resid -2.12 R R denotes an observation with a large standardized residual. Estimated Regression Coefficients for H21 using data in uncoded units Term Constant Kp Dz Kp*Kp Dz*Dz Kp*Dz Coef 83.9875 0.00761943 1.28612E-05 -3.08992E-05 -2.96912E-11 5.91133E-08 81 Lampiran 5 Hasil analisis degradasi diazinon hari ke-28 (output minitab versi 14) Response Surface Regression: h28 versus dz, kp The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for h28 Term Constant Kp Dz Kp*Kp Dz*Dz Kp*Dz S = 4.130 Coef 85.5073 0.4987 -0.0022 -0.0080 -0.0000 0.0003 SE Coef 13.0596 0.8076 0.0165 0.0167 0.0000 0.0004 R-Sq = 65.8% T 6.547 0.617 -0.135 -0.478 -0.294 0.614 P 0.001 0.564 0.898 0.653 0.780 0.566 R-Sq(adj) = 31.7% Analysis of Variance for H28 Source Regression Linear Square Interaction Residual Error Lack-of-Fit Pure Error Total DF 5 2 2 1 5 3 2 10 Seq SS 164.318 153.585 4.307 6.426 85.271 81.133 4.138 249.589 Adj SS 164.318 10.481 4.307 6.426 85.271 81.133 4.138 Adj MS 32.864 5.241 2.154 6.426 17.054 27.044 2.069 F 1.93 0.31 0.13 0.38 P 0.244 0.748 0.884 0.566 13.07 0.072 Unusual Observations for H28 Obs 8 StdOrder 8 H28 96.450 Fit 91.178 SE Fit 3.257 Residual 5.272 St Resid 2.08 R R denotes an observation with a large standardized residual. Estimated Regression Coefficients for H28 using data in uncoded units Term Constant Kp Dz Kp*Kp Dz*Dz Kp*Dz Coef 84.7899 0.0359241 -3.63660E-06 -3.79484E-05 -4.10542E-12 2.47281E-08 82 Lampiran 6 Hasil analisis kombinasi waktu, jumlah kompos dan konsentrasi diazinon Response Surface Regression: rs versus Dz, Kp, t The analysis was done using coded units. Estimated Regression Coefficients for rs Term Constant Kp Dz t Kp*Kp Dz*Dz t*t Kp*Dz Kp*t Dz*t S = 11.68 Coef -44.2949 1.3331 -0.0152 11.5907 -0.0116 -0.0000 -0.2504 0.0004 -0.0356 0.0006 SE Coef 24.5692 1.2301 0.0251 1.4786 0.0236 0.0000 0.0359 0.0006 0.0261 0.0005 R-Sq = 86.5% T -1.803 1.084 -0.607 7.839 -0.493 -0.611 -6.966 0.757 -1.366 1.229 P 0.080 0.286 0.548 0.000 0.625 0.545 0.000 0.454 0.181 0.228 R-Sq(adj) = 82.9% Analysis of Variance for Rs Source Regression Linear Square Interaction Residual Error Lack-of-Fit Pure Error Total DF 9 3 3 3 34 26 8 43 Seq SS 29677.2 22447.7 6690.4 539.0 4641.6 4599.8 41.8 34318.8 Adj SS 29677.20 8843.49 6690.44 539.05 4641.64 4599.82 41.83 Adj MS 3297.47 2947.83 2230.15 179.68 136.52 176.92 5.23 F 24.15 21.59 16.34 1.32 P 0.000 0.000 0.000 0.285 33.84 0.000 Unusual Observations for Rs Obs 2 9 10 15 StdOrder 2 9 10 15 Rs 20.570 60.440 71.820 98.810 Fit 46.406 40.542 47.031 73.717 SE Fit 6.676 6.728 6.942 5.183 Residual -25.836 19.898 24.789 25.093 St Resid -2.69 2.08 2.64 2.40 R R R R R denotes an observation with a large standardized residual. Estimated Regression Coefficients for Rs using data in uncoded units Term Constant Kp Dz t Kp*Kp Dz*Dz t*t Kp*Dz Kp*t Dz*t Coef -66.2762 0.0982521 -2.39058E-05 1.18808 -5.53652E-05 -1.20677E-11 -0.00227144 4.31522E-08 -2.33675E-04 8.73927E-08 83 Lampiran 7 Deskripsi hasil identifikasi bakteri Coloni Morfologi Gram stain o Pertumbuhan pada 37 C 1 2 3 4 5 G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg + + + + + - - - - - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - - - - - - - - - d - - - - - o Pertumbuhan pada .. C Catalase Oxidase Glukose O/F Pertumbuhan pada Mac Conkey Motility Hemolysis Citrate MR Test VP test Indole Gelatin H2S pada TsiA Lysine decarboxylase Ornithine decarboxilase Urease Nitrase Aesculin hydrolysis Pertumbuhan pada NA/Broth Glukose Adonitol Arabinose Dulcitol Glycerol Inocitol Lactose Maltose Mannitol Raffinose Rhamnose Salicin Sorbitol Sukrose Trehalose Xylose 84 Lampiran 7 Lanjutan Coloni Morfologi Gram stain o Pertumbuhan pada 37 C 6 7 8 9 10 G+Ve btg G-Ve btg G+Ve btg G+Ve btg G+Ve btg + + + + + o Pertumbuhan pada .. C Catalase Oxidase Glukose O/F Pertumbuhan pada Mac Conkey Motility Hemolysis Citrate MR Test VP test Indole Gelatin H2S pada TsiA Lysine decarboxylase Ornithine decarboxilase Urease Nitrase Aesculin hydrolysis Pertumbuhan pada NA/Broth Glukose Adonitol Arabinose Dulcitol Glycerol Inocitol Lactose Maltose Mannitol Raffinose Rhamnose Salicin Sorbitol Sukrose Trehalose Xylose + + - + + - - - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - - - - - - - - - - + d - - 85 Lampiran 7 Lanjutan Coloni Morfologi Gram stain 11 13 14 G+Ve btg G+Ve btg G-Ve btg o + + + o + + + + + - - + + + + + + + + - + + + + + + - d - - d - Pertumbuhan pada 37 C Pertumbuhan pada 30 C Catalase Oxidase Glukose O/F Pertumbuhan pada Mac Conkey Motility Hemolysis Citrate MR Test VP test Indole Gelatin H2S pada TsiA Lysine decarboxylase Ornithine decarboxilase Urease Nitrase Aesculin hydrolysis Pertumbuhan pada NA/Broth Glukose Adonitol Arabinose Dulcitol Glycerol Inocitol Lactose Maltose Mannitol Raffinose Rhamnose Salicin Sorbitol Sukrose Trehalose Xylose - - - + 86 Lampiran 7 Lanjutan Keterangan hasil identifikasi bakteri: 1. Bacillus mycoides 2. Bacillus mycoides 3. Bacillus cereus 4. Bacillus cereus 5. Bacillus cereus 6. Bacillus cereus 7. Chromobacterium spp 8. Bacillus cereus 9. Bacillus brevis 10. Bacillus brevis 11. Bacillus cereus 13. Bacillus brevis 14. Pseudomonas stutzeri 87 Lampiran 8 Analisis aktivitas mikroba dengan spektrofotometri pada panjang gelombang (λ) = 490 nm a. Kurva standar FDA 0.0 0.1 0.2 0.3 0.5 1.0 1.5 I 0.1942 0.2025 0.2143 0.2700 0.3195 0.5406 0.6031 Absorbansi II III 0.1946 0.1942 0.1973 0.1986 0.2171 0.2151 0.2712 0.2720 0.3186 0.3184 0.5445 0.5417 0.6021 0.6046 rata-rata 0.1943 0.1995 0.2155 0.2711 0.3188 0.5423 0.6033 Absorban Kurva Standar FDA 0.7000 0.6000 0.5000 0.4000 0.3000 0.2000 0.1000 0.0000 y = 0.3048x + 0.1782 R2 = 0.9674 0.0 0.5 1.0 1.5 Vol FDA (ml) 2.0 b. Uji aktivitas mikroba pada sampel 0 7 14 21 28 0.1973 0.1980 0.2119 0.2721 0.2521 Sampel P1 Produk FDA 0.0628 0.0651 0.1105 0.3081 0.2424 0.4000 Produk FDA Sampel P1 Hari Absorban ke- 0.3000 0.2000 0.1000 0.0000 0 10 Hari Ke- 20 30 88 Sampel P2 Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1966 0.1990 0.2233 0.2843 0.2641 0.0604 0.0681 0.1479 0.3480 0.2819 Hari ke- Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1788 0.1797 0.1875 0.1979 0.1966 0.0019 0.0049 0.0305 0.0648 0.0605 Hari ke- Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1787 0.1800 0.1897 0.1997 0.1994 0.0016 0.0060 0.0379 0.0706 0.0696 Hari ke- Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1866 0.1873 0.2067 0.2585 0.2386 0.0276 0.0300 0.0935 0.2634 0.1982 Sampel P2 0.4000 Produk FDA Hari ke- 0.3000 0.2000 0.1000 0.0000 0 Sampel P3 Hari Ke- 20 30 Sampel P3 0.0800 Produk FDA 10 0.0600 0.0400 0.0200 0.0000 0 Sampel P4 20 30 Hari Ke- 20 30 Hari Ke- Sampel P4 0.0800 Produk FDA 10 0.0600 0.0400 0.0200 0.0000 0 Produk FDA Sampel P51 10 Sampel P51 0.3000 0.2500 0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000 0 10 Hari Ke- 20 30 89 Sampel P52 Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1881 0.1896 0.2072 0.2475 0.2488 0.0325 0.0374 0.0951 0.2273 0.2317 Hari ke- Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1891 0.1901 0.2204 0.2558 0.2391 0.0358 0.0391 0.1384 0.2546 0.1998 Produk FDA Hari ke- Sampel P52 0.2500 0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000 0 10 Sampel P53 Hari Ke- 20 30 Sampel P53 Produk FD A 0.3000 0.2000 0.1000 0.0000 10 Hari Ke- 20 0 Sampel P6 30 Hari ke- Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1879 0.1886 0.1909 0.1901 0.1878 0.0318 0.0342 0.0418 0.0392 0.0314 Hari ke- Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1866 0.2080 0.2041 0.2136 0.2001 0.0275 0.0979 0.0851 0.1163 0.0718 Produk FDA Sampel P6 0.0500 0.0400 0.0300 0.0200 0.0100 0.0000 0 10 Sampel P7 Hari Ke- 20 30 Sampel P7 Produk FDA 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000 0 10 Hari Ke- 20 30 90 Sampel P8 Sampel P8 Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.2046 0.2112 0.2255 0.2872 0.2908 0.0865 0.1082 0.1551 0.3576 0.3696 Hari ke- Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1785 0.1784 0.1783 0.1765 0.1746 0.0009 0.0006 0.0004 -0.0056 -0.0119 Hari ke- Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1783 0.1768 0.1695 0.1529 0.1459 0.0005 -0.0044 -0.0284 -0.0830 -0.1058 Hari ke- Absorban Produk FDA 0 7 14 21 28 0.1593 0.1573 0.1552 0.1503 0.1150 -0.0619 -0.0685 -0.0753 -0.0915 -0.2072 Produk FDA Hari ke- 0.4000 0.3000 0.2000 0.1000 0.0000 0 10 Sampel P9 20 Hari Ke- 30 Sampel P9 Produk FDA 0.0050 0.0000 0 10 20 30 -0.0050 -0.0100 -0.0150 Hari Ke- Sampel K1 Produk FDA Sampel K1 0.0200 0.0000 -0.0200 0 -0.0400 -0.0600 -0.0800 -0.1000 -0.1200 Sampel K2 10 20 30 Hari Ke- Sampel K2 0.0000 Produk FDA -0.0500 0 10 20 -0.1000 -0.1500 -0.2000 -0.2500 Hari ke- 30