FISHERY RESOURCES MANAGEMENT INSTITUTION OF THE

advertisement
FISHERY RESOURCES MANAGEMENT INSTITUTION
OF THE “LELANG LEBAK LEBUNG” AND
FISHING COMMUNITY POVERTY
ABSTRACT
Institutional management of open water fisheries resources "lelang lebak
lebung" has an important role in the utilization of open water fishery resources
(lebak lebung) in South Sumatra. Institutionalization has been being practiced
since the establishment of clan government. The institution was gradually
changed since the Governor of South Sumatra delegates the authority to manage
such the resource to the Regencial adminidtration level or even to the district
administration level. This study aimed at analyzing the effectiveness of
institutional management of open water fisheries resources "lelang lebak lebung"
during the period of clan goverment and in the period of district administration.
The study was also assessed the impact of the institution practices on the
condition of open water fishery resources and the poverty of fishing communities.
This research was considered a field of sociology with the study focus on
institutional, open water fishery resources and fishing communities. A case study
method was used in this study. Data collection were carried out during the period
July to December 2009. Primary data were collected through interview method.
Interviews were conducted using both structured and unstructured questionnaires
and guided by the data subject. Data were analyzed qualitatively. Result of the
study showed that the institutional management of fisheries resources practiced in
the study site is less effective than the prevailing institutional during the clan
governance. These, in turn, will impact on fostering degradation rate of the open
water fishery resources. This situation resulted on declining a high economic
value fish caught and growing dominance of low economic value fish caught by
fishers. Finally, these accumulated conditions will cause poverty within fishing
communities which indicating by lower income from fishing and higher food
consumption on fishermen household. Policy recommendation can be drawn from
this study is to develop an institutional enabling to eliminate the negative impact
of an auction practiced so that conserve the resources and fishing communities
prosperity can be ensured.
Key words: Open water fishery, fishing community, poverty, auction, South
Sumatra, resource degradation.
RINGKASAN
ZAHRI NASUTION. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
“Lelang Lebak Lebung” dan Kemiskinan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus
di Kabupaten Ogan Komering Ilir - Sumatera Selatan). Dibimbing:
TITIK SUMARTI sebagai Ketua,
SOERYO ADIWIBOWO dan
SEDIONO M. P. TJONDRONEGORO sebagai Anggota.
Perairan umum lebak lebung (PULL) di Sumatera Selatan (Sumsel)
merupakan penghasil ikan air tawar utama bagi kebutuhan masyarakat. Hak usaha
penangkapan ikan di PULL ini diatur dengan sistem pelelangan yang dilakukan
oleh pemerintah setempat dan telah berlangsung sejak lama, dan dikenal dengan
nama ”lelang lebak lebung”. Namun demikian, pada saat ini kelembagaan tersebut
lebih diarahkan untuk meningkatkan Pendapatan Aasli Daerah (PAD) daripada
untuk kepentingan masyarakat nelayan. Padahal, di lain pihak, usaha penangkapan
ikan di PULL tersebut merupakan sumber mata pencaharian utama bagi
masyarakat nelayan.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis efektifitas
kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa
pemerintahan Marga dan masa pemerintahan kabupaten dalam kaitannya dengan
akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL. Kemudian,
memahami dan menganalisis terjadinya degradasi kondisi sumberdaya perikanan
PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan dalam kaitannya dengan perubahan
kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa
pemerintahan Marga dan Kabupaten. Akhirnya, mencari alternatif kelembagaan
pengelolaan sumberdaya perikanan PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan
fasilitasi Pemerintah Desa yang pro rakyat, dapat diakses masyarakat nelayan
dengan mudah dan murah, serta mampu mempertahankan kelestarian sumber daya
perikanan PULL.
Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi dengan bidang kajian
kelembagaan, sumberdaya perikanan perairan umum lebak lebung (PULL) dan
masyarakat nelayan. Kasus penelitian ini yaitu kelembagaan pengelolaan
sumberdaya perikanan lelang lebak lebung di wilayah Kabupaten Ogan Komering
Ilir, Sumatera Selatan, dan perubahannya sejak awal terbentuk hingga saat
dilakukannya penelitian ini. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan
yang dipedomani dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan PULL ini adalah
Perda No. 9 Tahun 2005 tentang Lelang Lebak Lebung di wilayah Kabupaten
OKI, Sumatera Selatan beserta perubahan dan keterkaitannya.
Berdasarkan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan, kelembagaan
pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa
pemerintahan Marga masih berada pada kondisi yang efektif jika dibandingkan
dengan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung”
pada masa pemerintahan kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan
pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa
pemerintahan Marga berfungsi sebagai wadah pengaturan terkait dengan
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL. Di sisi lain, pada
tahun penangkapan ikan 2009 dan 2010 kelembagaan pengelolaan sumberdaya
perikanan pada PULL dibagi dua kategori yaitu ada yang dilelang dan ada
perairan yang tidak dilelang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penyempitan akses
masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan pada masa pemerintahan
kabupaten jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Marga. Dalam hal ini,
nelayan hanya mendapatkan akses untuk menangkap ikan dari para pengemin
(pemenang lelang) dengan harga yang lebih tinggi daripada harga pelelangan.
Untuk itu, nelayan akan berusaha menangkap ikan dengan segala daya upaya,
menggunakan semua teknik penangkapan ikan yang mereka kuasai untuk
memperoleh hasil sebesar-besarnya.
Degradasi sumberdaya perikanan terlihat dengan semakin langkanya
beberapa jenis ikan tertentu dan semakin kecilnya ukuran individu ikan dan
produktivitas ikan yang berhasil ditangkap oleh masyarakat nelayan. Disamping
itu, kemiskinan masyarakat nelayan terlihat dengan besarnya pangsa pengeluaran
konsumsi pangan yang mereka keluarkan yang memperlihatkan bahwa rata-rata
pangsa pangan masyarakat nelayan adalah sebesar 62,3%, dan ini menunjukkan
bahwa masyarakat nelayan masih termasuk kategori miskin.
Adapun bentuk kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan
(termasuk dalam mengalokasi dan mengatur pengelolaan) yang diusulkan adalah
berupa kelembagaan komunitas nelayan (Kelompok Nelayan) yang tujuan
utamanya mengurangi intervensi pemerintah. Pengambilan keputusan pada
Kelompok Nelayan dilakukan dengan cara “musyawarah dan mufakat” dalam
rangka penyusunan konsepsi pengelolaan (termasuk pencadangan areal
perlindungan perikanan) dan pengalokasian hak penangkapan ikan pada
sumberdaya perikanan.
Secara teoritis, penggunaan teori Ostrom tentang prinsip keberlanjutan
kelembagaan untuk menganalisis efektifitas kelembagaan pengelolaan
sumberdaya perikanan ”lelang lebak lebung” tidak cukup mampu menjelaskan
fakta yang ada di lapangan. Dalam hal ini, harus ditambah dengan penggunaan
teori akses dari Ribbot dan Peluso terkait dengan adanya kekuasaan yang dalam
hal ini mengatur alokasi sumberdaya perikanan PULL tersebut terhadap
masyarakat. Dengan perpaduan dua teori tersebut untuk membedah kelembagaan
pengelolaan sumberdaya perikanan ”lelang lebak lebung” akan tertangkap
bagaimana hubungan kekuasaan yang dimainkan oleh pedagang dalam
pelaksanaan ”lelang lebak lebung”.
Namun demikian, untuk penerapan pengelolaan sumberdaya perikanan
PULL yang dilakukan oleh masyarakat dengan fasilitasi pemerintah desa, BPD
dan Pokmaswas, maka partisipasi masyarakat nelayan merupakan unsur penting
dalam kerangka evaluasi efektifitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya
perikanan PULL yang demikian. Selanjutnya untuk pengelolaan sumberdaya yang
meliputi dua desa atau lebih maka koordinasi antar desa menjadi penting pula.
Dengan demikian efektifitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan
PULL dapat dilakukan dengan menggunakan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan
kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom dan teori akses Ribot dan Peluso
ditambah dengan dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip
pengelolaan bersama (ko-manajemen) yaitu partisipasi dan koordinasi.
Saran penelitian lebih lanjut antara lain adalah mengungkapkan
sejauhmana Peraturan Desa Berkat No. 1 Tahun 2009 efektif dalam kaitannya
dengn pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL beserta segala
tata aturan yang terkandung didalamnya. Termasuk pula bagaimana partisipasi
masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan PULL tersebut
serta sejauhmana intensitas koordinasi antar kelembagaan tingkat kabupaten, desa
dan Pokmaswas sudah dapat berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Download