iv. hasil dan pembahasan

advertisement
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian yang dilakukan melibatkan responden yang berjumlah 120
orang yang telah diambil secara acak dan ditentukan berdasarkan rumus proporsi
dengan jumlah sampel minimal 100 dengan penambahan 20%. Adapun
rekapitulasi keseluruhan data yang diperoleh dari 120 responden tersebut dapat
dilihat pada Lampiran 2. Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa parameter uji
yang meliputi karakteristik responden, perilaku konsumsi, perilaku responden
dalam memilih ikan, preferensi dan persepsi responden memiliki nilai di atas
0.195 (r-tabel untuk n=100 dan α=0.05 adalah 0.195). Hal ini menunjukkan
bahwa instrument yang digunakan dalam penelitian adalah reliable. Adapun hasil
uji reliabilitas dapat dilihat pada Lampiran 3.
4.1
Karakteristik Responden
Rekapitulasi karakteristik responden secara umum yang meliputi jenis
kelamin, usia, pekerjaan, besar pengeluaran rumah tangga per bulan, jumlah
anggota keluarga dan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.1.1 Jenis Kelamin
Jumlah perempuan yang terpilih sebagai responden dalam penelitian ini
berjumlah 99 orang atau 82.50% dan laki-laki berjumlah 21 orang atau 17.50%
(Gambar 6). Jumlah perempuan yang menjadi sampel dalam penelitian ini lebih
banyak dibandingkan dengan sampel laki-laki karena pada saat dilakukan
penelitian ke rumah responden, yang dijumpai sebagian besar adalah perempuan.
Hal ini tentunya sejalan dengan harapan penelitian untuk mendapatkan responden
ibu rumah tangga sebagai penentu menu masakan di rumah, sehingga data yang
diperoleh mencerminkan konsumsi ikan dalam suatu keluarga.
4.1.2 Usia
Berdasarkan karakteristik usia, presentase responden yang paling tinggi
dalam penelitian ini berusia antara 26 – 35 tahun yaitu sebesar 46.70% yang
diikuti oleh responden berusia 36 – 45 tahun dan di atas 45 tahun masing-masing
sebesar 30.80% dan 18.30%. Sementara itu, responden dengan usia antara 20-25
tahun hanya memiliki persentase yang rendah yakni sebesar 4.20%. Dominasi
28
responden pada usia 26 – 35 tahun ini menunjukkan bahwa responden yang
diperoleh sebagai sampel dalam penelitian menempati porsi optimal. Proporsi usia
responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.
4.1.3 Pekerjaan
Kegiatan responden sebagian besar berprofesi sebagai ibu rumah tangga
yakni sebanyak 60 orang atau 50% dari total sampel. Sementara itu, terdapat 1
orang atau 0.80% sebagai pensiunan dan sisanya sebesar 49.20% merupakan
responden yang berstatus sebagai pekerja baik pekerja formal maupun informal
sebagai buruh. Dari 49.20% tersebut sebesar 25% berprofesi sebagai pegawai
swasta dan sebesar 14.20% berprofesi sebagai wiraswasta. Sementara itu,
responden yang bekerja sebagai buruh berjumlah 4 orang atau 3.30%. proporsi
pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 8.
>45
tahun
18,3%
L
17,5%
20-25
tahun
4,2%
36-45
tahun
30,8%
26-35
tahun
46,7%
P
82,5%
Gambar 6. Proporsi jenis kelamin
responden (n=120)
Gambar 7. Proporsi usia responden
(n=120)
4.1.4 Pengeluaran rumah tangga per bulan
Status ekonomi yang tercermin dari pengeluaran, menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memiliki pengeluaran antara 1 – 2 juta per bulan, yaitu
sebesar 33.30%. Namun persentase ini tidak berbeda jauh dengan responden yang
memiliki pengeluaran di atas 3 juta dan dibawah 1 juta yakni masing-masing
sebesar 28.40% dan 27.50%. Selebihnya atau sebesar 10.80% memiliki
pengeluaran antara 2.1 – 3 juta. Meratanya pengeluaran pada setiap level
menunjukkan bahwa sampel yang diperoleh pada penelitian ini cukup heterogen.
Proporsi pengeluaran rumah tangga per bulan dapat dilihat pada Gambar 9.
29
PNS/
TNI
6,7%
Pensiun
an
0,8%
Ibu
rumah
tangga
50,0%
Pegawai
swasta
25,0%
>3 juta
28,3%
2.1 3juta
10,8%
Wiraswasta
14,2%
Buruh
3,3%
Gambar 8. Proporsi pekerjaan
responden (n=120)
<1juta
27,5%
1-2 juta
33,3%
Gambar 9. Proporsi pengeluaran rumah
tangga per bulan (n=120)
4.1.5 Tingkat Pendidikan
Pada Gambar 11 terlihat bahwa tingkat pendidikan responden didominasi
oleh lulusan universitas sebesar 35% dan diikuti oleh responden yang
berpendidikan SD sebesar 25%. Sementara itu responden yang berpendidikan
SLTA dan SLTP masing-masing adalah sebesar 21.70% dan 18.30%. Tingkat
pendidikan responden tersebut hampir merata untuk setiap jenjang dan
menandakan heterogenitas sampel yang diperoleh.
>5
orang
15,8%
1-2
orang
5,8%
Univers
itas
35%
SLTA
21,7%
SD
25%
SLTP
18,3%
3-5
orang
78,3%
Gambar 10. Proporsi jumlah anggota
Gambar 11. Proporsi tingkat pendidikan
keluarga responden (n=120)
responden (n=120)
4.2 Pola Konsumsi Ikan
Konsumsi ikan, sebagaimana teori konsumsi lainnya dipengaruhi oleh
berbagai variabel seperti tingkat harga, ketersediaan dan harga barang pengganti
atau pelengkapnya dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat. Harga ikan yang
lebih murah dari harga daging sapi misalnya, dianggap akan mendorong tingkat
30
konsumsi ikan. Namun demikian, perubahan harga tersebut bukanlah satu-satunya
faktor penentu jumlah konsumsi, tetapi juga dipengaruhi oleh preferensi, selera
dan atribut sosial lainnya. Oleh karena itu perlu dikenali karakteristik sosial
ekonomi yang diduga mempengaruhi permintaan konsumsi ikan. Penelitian yang
dilakukan kali ini salah satunya bertujuan untuk mengenali pola konsumsi ikan
masyarakat khususnya di Kota Depok.
Penelitian yang dilakukan terhadap 120 responden di Kota Depok
menunjukkan
bahwa
hampir
semua
responden
yakni
99.20%
pernah
mengonsumsi ikan dalam tiga bulan terakhir. Hanya ada 1 responden atau 0.80%
dari total sampel yang menyatakan tidak makan ikan karena alergi. Namun
demikian, responden yang berperan sebagai penentu menu masakan di rumahnya,
tidak membatasi keluarganya untuk mengonsumsi ikan.
4.2.1
Pola konsumsi ikan menurut frekuensi konsumsi
Kebiasaan responden dalam mengonsumsi ikan dapat dilihat pada Gambar
12. Sebanyak 78 responden (65%) mengonsumsi ikan di atas 11 kali dalam
sebulan, 26 responden (21.67%) mengonsumsi ikan sebanyak 5 – 11 kali per
bulan dan 16 responden (13.33%) mengonsumsi ikan di bawah 5 kali dalam
sebulan. Artinya lebih dari separuh responden ternyata mengonsumsi ikan lebih
dari 3 kali dalam seminggu.
< 5 kali
13,33%
> 11 kali
65%
5-11 kali
21,67%
Gambar 12. Proporsi responden menurut frekuensi makan ikan per bulan (n=120)
Berdasarkan frekuensi makan ikan yang dikelompokkan kedalam tiga
kelompok yakni rendah (1-4 kali per bulan), sedang (5-11 kali per bulan) dan
tinggi (≥ 12 kali per bulan), maka sebagian besar responden (65%) termasuk pada
kelompok dengan tingkat frekuensi konsumsi ikan yang tinggi. Frekuensi makan
31
ikan responden per bulan berdasarkan karakteristik demografi dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Frekuensi makan ikan per bulan menurut karakteristik demografi (n=120)
Karakteristik Responden
Frekuensi makan ikan
Rendah
Sedang
Tinggi
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1
4.76
6
28.57 14 66.67
15 15.15 20 20.20 64 64.65
Jml
21
99
%
100
100
60.00
55.36
67.57
86.36
5
56
37
22
100
100
100
100
20
27
5
26
60.61
67.50
38.46
76.47
33
40
13
34
100
100
100
100
28.57
22.34
15.79
4
60
14
57.14
63.83
73.68
7
94
19
100
100
100
4
4
7
11
13.33
18.18
26.92
26.19
24
16
13
25
80.00
72.73
50.00
59.52
30
22
26
42
100
100
100
100
26
21.67
78
65
120
100
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Usia
<26 tahun
26-35 tahun
36-45 tahun
>45 tahun
0
8
7
1
14.29
18.92
4.55
2
17
5
2
40.00
30.36
13.51
9.09
3
31
25
19
Pengeluaran
< 1 juta
1 - 2 juta
2,1 - 3 juta
> 3 juta
5
4
2
5
15.15
10.00
15.38
14.71
8
9
6
3
24.24
22.50
46.15
8.82
Jml anggota
keluarga
1-2 orang
3-5 orang
> 5 orang
1
13
2
14.29
13.83
10.53
2
21
3
Pendidikan
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Universitas
2
2
6
6
6.67
9.09
23.08
14.29
16
13.33
Total
Total
Tabel 5 menunjukkan bahwa responden laki-laki maupun perempuan
menyukai ikan dengan tingkat konsumsi tinggi di atas 3 kali dalam seminggu.
Namun
demikian, responden laki-laki lebih sering mengonsumsi
ikan
dibandingkan dengan perempuan. Sebanyak 20 orang dari 21 responden laki-laki
(95.23%) mengonsumsi ikan dengan frekuensi sedang dan tinggi dan hanya
4.76% yang mengonsumsi ikan dengan frekuensi yang rendah. Sementara itu,
responden perempuan yang mengonsumsi ikan dengan frekuensi sedang dan
tinggi adalah 84 orang dari 99 responden (84.85%). Dapat dikatakan bahwa dalam
pemenuhan kebutuhan terhadap ikan, responden laki-laki memiliki tingkat
kesadaran yang lebih tinggi dari pada responden perempuan.
32
Jika dilihat dari karakteristik usia, terdapat keterkaitan antara usia dengan
frekuensi makan ikan. Hal ini ditunjukkan pada nilai koefisien kontingensi dari
hasil uji Chi-Square sebesar 0.098 sebagaimana pada Tabel 6 (hasil uji lengkap
dapat dilihat pada Lampiran 5). Penduduk golongan usia muda saat ini relatif
memiliki
pola
konsumsi
yang
berbeda
dengan
generasi
sebelumnya.
Kecenderungan anak muda untuk mengonsumsi fast food dengan variasi rasa dan
warna cenderung menarik anak-anak muda. Sementara bagi generasi sebelumnya,
hidangan ikan segar atau makanan tradisional masih tetap menjadi pilihan yang
berselera. Tingkat kesadaran akan asupan gizi yang aman juga menjadi
pertimbangan dipilihnya ikan sebagai sumber protein yang dikonsumsi pada
kelompok usia yang lebih tinggi (Gambar 13).
Tabel 6. Hasil uji Chi-Square antara karakterisik responden dengan
frekuensi makan ikan
Nilai Koefisien
Kontingensi
0.127
0.286
0.240
0.265
0.087
120
Parameter
67,57
9,09
Rendah
4,55
13,51
58,93
18,92
33,93
60
30
0.373
0.098*
0.292
0.171
0.922
86,36
90
14,29
% Jumlah responden
Jenis Kelamin
Usia
Pendidikan
Pengeluaran
Jumlah anggota keluarga
N
*
Signifikan pada level 0.1
Signifikansi
Sedang
Tinggi
0
20-35 tahun
36-45 tahun
> 45 tahun
Usia
Gambar 13. Frekuensi makan ikan berdasarkan usia (n=120)
Dari hasil analisis korespondensi (Gambar 14) terhadap faktor usia sebagai
faktor yang berpengaruh signifikan (Tabel 6), diketahui bahwa kelompok usia
antara 20-35 tahun lebih dekat kepada frekuensi makan ikan kategori sedang (511 kali per bulan), sedangkan untuk kelompok usia 36-45 tahun menempati porsi
pada kedua kategori frekuensi yakni tinggi (di atas 11 kali per bulan) dan kategori
33
frekuensi rendah (di bawah 5 kali per bulan). Sementara itu, kelompok usia di atas
45 tahun lebih dekat kepada tingkat konsumsi ikan tinggi (di atas 11 kali per
bulan).
Jika dilihat dari tingkat pengeluaran per bulan, diketahui adanya
peningkatan jumlah responden dengan frekuensi makan ikan tinggi, yakni dari
60.60% pada tingkat pengeluaran di bawah 1 juta rupiah meningkat menjadi
67.50% pada tingkat pengeluaran antara 1–2 juta rupiah. Namun pada tingkat
pendapatan antara 2.1-3 rupiah juta terjadi penurunan persentase jumlah
responden dengan tingkat konsumsi ikan yang tinggi. Kenaikan persentase
kembali terjadi pada golongan pengeluaran di atas 3 juta rupiah. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 15. Hasil uji Chi-Square pada Tabel 6 menunjukkan
keterkaitan yang lemah antara tingkat pengeluaran dengan frekuensi makan ikan,
dengan nilai signifikansi sebesar 0.171.
1.0
frekuensi makan ikan
usia
>45 tahun
0.5
Dimensi 2
"sedang 5-11 kali"
"tinggi >11 kali"
20-35 tahun
0.0
36-45 tahun
-0.5
'rendah < 5 kali'
-1.0
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Dimensi 1
% Jumlah responden
Gambar 14. Hasil analisis korespondensi antara usia dan frekuensi makan ikan
(n=120)
80
76,50
67,50
60,60
40
46,20
38,50
24,20
15,2
22,50
10,00
15,4
14,70
8,80
0
< 1 juta
1-2 juta
2,1-3 juta
Rendah (<5 kali)
Sedang (5-11 kali)
Tinggi (> 11 kali)
> 3 juta
Tingkat pengeluaran
Gambar 15. Tingkat konsumsi ikan responden berdasarkan tingkat pengeluaran
per bulan (n=120)
34
Jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
frekuensi makan ikan responden, dengan nilai signifikansi pada uji chi-square
sebesar 0.933 sebagaimana pada Tabel 6. Namun demikian, frekuensi makan ikan
dengan kategori sering (di atas 11 kali) mengalami peningkatan dari 57.10% pada
responden dengan jumlah anggota keluarga antara 1-2 orang menjadi 63.80%
pada jumlah keluarga antara 3-5 orang dan meningkat kembali pada jumlah
anggota keluarga di atas 5 orang sebesar 73.70%. Frekuensi makan ikan menurut
% Jumlah responden
jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Gambar 16.
80
70
60
50
40
30
20
10
0
< 5 kali
5-11 kali
>11 kali
1-2 orang
3-5 orang
> 5 orang
Jumlah anggota keluarga
Gambar 16. Frekuensi makan ikan menurut jumlah anggota keluarga (n=120)
Pola konsumsi ikan menurut tingkat pendidikan menunjukkan bahwa
terjadi kecenderungan penurunan tingkat konsumsi ikan dengan frekuensi di atas
11 kali per bulan dari responden yang berpendidikan sekolah dasar (SD) hingga
sekolah menengah atas (SMA). Peningkatan yang terjadi disini adalah tingkat
konsumsi dengan frekuensi di bawah 12 kali per bulan. Namun pola ini mulai
berubah pada responden dengan tingkat pendidikan universitas. Pada tingkat
pendidikan ini mulai menunjukkan peningkatan konsumsi ikan pada frekuensi di
atas 11 kali per bulan. Pola konsumsi makan ikan menurut tingkat pendidikan
dapat dilihat pada Gambar 17.
Jika dilihat dari minat responden dalam meningkatkan frekuensi makan
ikan, sebagian besar responden menyatakan masih berminat meningkatkan
konsumsi ikan dalam keluarganya. Sebanyak 90% responden berminat untuk
meningkatkan konsumsi ikan, sebagaimana pada Tabel 7. Alasan responden
adalah seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa kandungan gizi seperti
berprotein tinggi, rendah kolesterol dan kandungan omega 3 yang terdapat di
35
dalam tubuh ikan menjadi faktor pertimbangan utama. Sementara itu, 7.50%
responden menyatakan tidak berminat meningkatkan konsumsi ikan karena
mengalami kejenuhan terhadap ikan, dan 2.50% menyatakan abstain karena faktor
ekonomi, yang berarti konsumsi ikan akan ditingkatkan jika keadaan
perekonomiannya mampu menjangkau untuk membeli ikan. Dengan kata lain,
responden akan meningkatkan konsumsi ikan dalam keluarganya jika harga ikan
terjangkau oleh perekonomian keluarganya.
% Jumlah 90
responden
60
30
0
SD
SMP
< 5 kali
SMA
5-11 kali
Universitas
Tingkat
pendidikan
>11 kali
Gambar 17. Frekuensi makan ikan menurut tingkat pendidikan (n=120)
Tabel 7. Minat responden dalam meningkatkan konsumsi ikan (n=120)
No
1
2
3
4.2.2
Minat responden
Rendah
(< 5 kali)
Tingkat Konsumsi Ikan
Sedang
Tinggi
(5-11 kali) ( >11 kali)
Total
Berminat
Tidak berminat
Tidak tahu
87.5
88.46
91.03
90
12.5
7.69
6.41
7.50
0
3.85
2.56
2.50
Total
100
100
100
100
Pola konsumsi ikan menurut jenis ikan yang disukai responden
Pola konsumsi terhadap ikan dalam bentuk segar dan olahan secara umum
diketahui bahwa ikan segar air laut dan ikan segar air tawar masih menjadi pilihan
sebagian besar responden. Untuk jenis ikan air laut, sebanyak 65% responden
lebih menyukai ikan laut dalam bentuk segar dan 34.17% responden menyukai
olahan atau keduanya. Hal yang sama yang terjadi pada ikan air tawar bahwa
84.17% responden lebih meyukai ikan air tawar dalam bentuk segar dan 10%
36
responden menyukai keduanya. Secara lengkap bentuk ikan yang disukai
responden dapat dilihat pada Tabel 8.
Jika dilihat dari karakteristik jenis kelamin, diketahui bahwa ikan segar
baik ikan air laut maupun ikan air tawar lebih disukai oleh responden laki-laki
(89.95%) maupun responden perempuan (77.16%). Sementara itu, hanya sebagian
kecil responden yang menyukai jenis ikan segar dan olahan, sebagaimana dapat
dilihat pada Gambar 18.
Tabel 8. Bentuk ikan yang disukai responden (n=120)
Jenis Ikan
Hanya
Segar
% Jumlah responden
Ikan Air Laut
Jumlah
%
Ikan Air Tawar
Jumlah
%
Bentuk Ikan yang Disukai
Hanya
Tidak Suka
Keduanya
Olahan
Keduanya
Total
78
65.00
1
0.83
40
33.33
1
0.83
120
100
101
84.17
0
0.00
12
10.00
7
5.83
120
100
80,95
77,16
80
60
40
22,84
19,05
20
0
Laki-laki
Perempuan
Jenis Kelamin
Suka ikan utuh
Suka ikan utuh dan olahan
Gambar 18. Bentuk ikan yang disukai responden menurut jenis kelamin (n=120)
Berdasarkan karakteristik usia, terjadi perubahan pola konsumsi ikan
antara ikan segar dan olahan. Kesukaan terhadap ikan segar dan olahan meningkat
dari 10% pada kelompok usia antara 20-25 menjadi 23.64% pada kelompok usia
26-35 tahun. Hal ini terus mengalami kenaikan pada kelompok usia 36-45 tahun
menjadi 26.76%. Namun kesukaan terhadap ikan segar dan olahan ini kembali
menurun pada kelompok usia di atas 45 tahun menjadi 17.07%. Secara lengkap
mengenai hal ini dapat dilihat pada Gambar 19.
37
Sementara itu, pola konsumsi ikan segar pada responden dengan tingkat
pengeluaran di atas 3 juta rupiah telah mengalami pergesaran kedalam bentuk
segar dan olahan. Pada Gambar 20 diketahui terdapat pergeseran pola secara
umum pada tingkatan per bulan yakni semakin tinggi pengeluaran maka kesukaan
terhadap ikan olahan (dengan tidak meninggalkan ikan segar) mulai mengalami
peningkatan kecuali yang terjadi pada golongan kelompok dengan tingkat
pengeluaran antara 2.1-3 juta rupiah.
% Jumlah
responden
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
90
82,93
76,36
73,24
26,76
23,64
17,07
10
<26
26-35
36-45
>45
Usia responden
Suka ikan utuh
Suka ikan utuh dan olahan
Gambar 19. Bentuk ikan yang disukai responden menurut usia (n=120)
% Jumlah 100
responden 90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
82,54
87,50
76,62
30,88
23,38
17,46
< 1 juta
69,12
12,50
1-2 juta
2,1-3 juta
> 3 juta
Pengeluaran/
bulan
Pengeluaran/ bulan
Suka ikan utuh
Suka ikan utuh dan olahan
Gambar 20. Bentuk ikan yang disukai responden menurut pengeluaran per bulan
(n=120)
Produk olahan ikan disukai pada semua kelompok menurut jumlah
anggota keluarga meskipun dalam persentase yang kecil. Persentase paling tinggi
ditunjukkan pada kelompok dengan jumlah anggota keluarga antara 3-5 orang.
38
Dengan kata lain, ikan segar merupakan jenis ikan yang disukai pada semua
kelompok ini. Bentuk ikan yang disukai responden menurut jumlah anggota
keluarga dapat dilihat pada Gambar 21.
Dalam hal konsumsi produk olahan ikan, terdapat pola yang menunjukkan
peningkatan konsumsi ikan dan produk olahannya pada responden yang memiliki
tingkat pendidikan universitas. Pada tingkatan ini, responden sudah mulai
menyukai produk olahan meskipun belum meninggalkan konsumsi ikan segar.
Secara jelas mengenai pola konsumsi ikan tersebut dapat dilihat pada Gambar 22.
% Jumlah
responden
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
85,7
83,33
75,27
24,73
16,67
14,3
1-2 orang
3-5 orang
suka ikan utuh
Jumlah
anggota
keluarga
> 5 orang
suka ikan utuh & olahan
Gambar 21. Bentuk ikan yang disukai responden menurut jumlah anggota
keluarga (n=120)
% Jumlah
responden
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
78,85
77,27
71,67
21,67
6,67
Tamat SD
suka ikan utuh/segar
72,62
27,38
18,18
4,55
Tamat SMP
17,31
3,85
Tamat SMA
suka ikan utuh & olahan
Universitas
Tingkat
pendidikan
tidak suka
Gambar 22. Persentase kesukaan responden terhadap ikan dan produk olahannya
menurut tingkat pendidikan (n=120)
Dari bentuk ikan olahan yang ada, ikan asin adalah olahan yang paling
disukai responden. Persentase responden yang memilih ikan asin sebagai olahan
39
kesukaannya mencapai 55%, sedangkan olahan ikan yang lain memiliki
persentase yang cukup kecil. Tingkat kesukaan responden terhadap ikan olahan
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Tingkat kesukaan responden terhadap ikan olahan (n=120)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jenis olahan ikan
Jumlah
Ikan asin
Ikan pindang
Ikan kaleng
Bakso ikan
Ikan asap/panggang
Nugget ikan
Terasi
Sosis ikan
Tidak suka olahan
Total
66
12
10
10
8
7
4
1
2
120
%
55.00
10.00
8.33
8.33
6.67
5.83
3.33
0.83
1.67
100
Tabel 10 menunjukkan persentase tingkat kesukaan responden terhadap
jenis ikan olahan menurut usia. Responden yang berusia tua memiliki tingkat
kesukaan yang tinggi terhadap ikan asin. Sementara itu, responden yang berusia
muda (20-25 tahun) selera terhadap ikan asin jauh lebih rendah dibandingkan
kelompok usia tua (diatas 45 tahun) dan lebih menyukai ikan pindang. Sementara
responden yang berusia diatas 45 tahun lebih dari 70% menyukai ikan asin.
Tabel 10. Persentase responden mengenai jenis ikan olahan yang disukai menurut
usia (n=120)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jenis Ikan Olahan
Ikan asin
Ikan pindang
Ikan asap/ panggang
Ikan kaleng
Bakso
Sosis
Nugget
Terasi
Tidak suka
Total
<26
20.00
40.00
0.00
0.00
20.00
0.00
0.00
0.00
20.00
100
Usia
26-35
36-45
50.00
16.07
1.79
10.71
5.36
1.79
8.93
5.36
0.00
100
56.76
0.00
13.51
10.81
13.51
0.00
2.70
0.00
2.70
100
>45
72.73
4.55
9.09
0.00
4.55
0.00
4.55
4.55
0.00
100
Pola yang terjadi pada pengeluaran untuk ikan asin menunjukkan perilaku
sebagai barang inferior, yaitu terjadi penurunan tingkat konsumsi ikan asin pada
40
golongan pengeluaran yang lebih tinggi. Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa
terjadi penurunan presentase kesukaan terhadap ikan asin dari 72.73% pada
golongan pengeluaran di bawah 1 juta rupiah turun menjadi 32.35% pada
golongan pengeluaran di atas 3 juta rupiah. Pengeluaran untuk bakso, ikan kaleng
dan nugget menunjukkan sifat sebagai barang normal, yaitu kenaikan presentase
tingkat kesukaan responden meningkat seiring dengan peningkatan golongan
pengeluaran.
Tabel 11. Persentase responden mengenai jenis ikan olahan yang disukai menurut
pengeluaran per bulan (n=120)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jenis Ikan Olahan
Pengeluaran/bulan
1 - 2 juta
2,1 - 3 juta
72.73
60.00
53.85
32.35
Ikan pindang
9.09
7.50
23.08
8.82
Bakso
6.06
0
15.38
17.65
Terasi
6.06
5.00
0
0
Ikan kaleng
3.03
5.00
0
20.59
Ikan asap/panggang
0
12.50
7.69
5.88
Sosis
0
2.50
0
0
Nugget
0
7.50
0
11.76
Tidak suka
3.03
0
0
2.94
Total
100
100
100
100
Ikan asin
< 1 juta
> 3 juta
Pola konsumsi ikan olahan pada kelompok responden dengan jumlah
anggota keluarga antara 3-5 orang menunjukkan tingkat kesukaan yang merata
pada semua jenis olahan, sedangkan untuk kelompok responden dengan jumlah
anggota keluarga antara 1-2 orang dan di atas 5 orang menunjukkan tingkat
kesukaan pada beberapa jenis olahan saja. Pola konsumsi ikan asin menunjukkan
kenaikan pada kelompok responden dengan jumlah anggota keluarga di atas 5
orang yaitu sebesar 78.95% memiliki prosentase tertinggi diantara kelompok yang
lain. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 13 menunjukkan persentase tingkat kesukaan responden terhadap
jenis ikan olahan menurut tingkat pendidikan. Ikan asin disukai hampir semua
tingkatan pendidikan. Namun tingkat kesukaan tersebut mengalami penurunan
seiring dengan semakin tinggi tingkat pendidikan. Untuk ikan kaleng dan bakso
memiliki pola yang hampir sama yaitu disukai responden dengan tingkat
pendidikan di atas SMA. Pada kelompok yang berpendidikan tinggi terlihat
41
kesukaan pada ikan olahan semakin lebih bervariasi dan hampir merata pada
semua jenis olahan, termasuk bakso dan nugget ikan.
Terasi sebagai produk ikan olahan yang tidak asing dalam masyarakat
Indonesia dan dianggap penting bagi kelompok masyarakat tertentu, ternyata tidak
begitu disukai responden. Temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa hanya
sebagian kecil responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMP yang menyukai
terasi.
Tabel 12. Persentase responden mengenai jenis ikan olahan yang disukai menurut
jumlah anggota keluarga (n=120)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jenis Ikan Olahan
Ikan asin
Jml anggota keluarga
1-2 orang
3-5 orang
'> 5 orang
57.14
50.00
78.95
Ikan pindang
0
11.70
5.26
Ikan kaleng
0
10.64
0
Bakso
0
10.64
0
Ikan asap/panggang
14.29
5.32
10.53
Nugget
14.29
5.32
5.26
Terasi
14.29
3.19
0
Sosis
0
1.06
0
Tidak suka
0
2.13
0
Total
100
100
100
Tabel 13. Persentase responden mengenai jenis ikan olahan yang disukai menurut
tingkat pendidikan (n=120)
Jenis Ikan Olahan
Ikan asin
Ikan pindang
Ikan asap/ panggang
Ikan kaleng
Bakso
Sosis
Nugget
Terasi
Tidak suka
Total
SD
80.00
3.33
0.00
3.33
0.00
0.00
3.33
6.67
3.33
100
Pendidikan
SLTP
SLTA
68.18
13.64
4.55
0.00
9.09
0.00
0.00
4.55
0.00
100
46.15
7.69
3.85
15.38
11.54
3.85
7.69
0
3.85
100
Univ.
35.71
14.29
14.29
11.90
11.90
0.00
9.52
2.38
0.00
100
Dari bentuk ikan segar dan ikan olahan yang sukai responden di atas, jenis
ikan air laut yang paling disukai responden dari hasil penelitian ini adalah ikan
kembung. Sebanyak 39.17% responden menyukai ikan ini dan 17.50% responden
42
menyukai ikan tongkol atau tuna. Jenis ikan air laut yang menjadi favorit
berikutnya adalah bendeng, kakap dan udang, dengan persentase masing-masing
16.67%, 10% dan 7.50%. Sementara itu, ikan kerapu, tengiri, kerang dan kuwe
menjadi ikan yang kurang disukai.
Jenis ikan yang disukai responden untuk ikan air tawar adalah ikan lele,
dimana 50% responden menyukai ikan ini. Ikan mas, gurame, mujahir dan patin
adalah ikan yang disukai responden setelah ikan lele, dengan persentase berturutturut adalah 22.50%; 10%; 8.33% dan 3.33%. Salah satu faktor yang mendorong
responden untuk menyukai ikan tersebut adalah karena jenis ikan segar tersebut
memang tidak asing lagi dan sangat mudah didapatkan di pasar. Jenis ikan yang
disukai responden secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Presentase tingkat kesukaan responden terhadap jenis ikan segar (n=120)
No
1
2
3
4
5
4.2.3
Jenis
Ikan air laut
%
Kembung
Tongkol/tuna
Bandeng
Kakap
Udang
39.17
17.50
16.67
10
7.50
Ikan air tawar
Jenis
%
Lele
Mas
Gurame
Mujahir
Patin
50
22.50
10
8.33
3.33
Pola konsumsi ikan berdasarkan pilihan tempat konsumsi
Kegiatan mengolah ikan seringkali menjadi kendala dalam mengonsumsi
ikan karena membutuhkan waktu yang lama. Dalam kehidupan modern yang
berjalan cepat ini menuntut manusia untuk dapat memanfaatkan waktunya sebaik
mungkin. Waktu dianggap terlalu berharga hanya sekedar digunakan untuk
mengolah atau memasak ikan. Hasil survei pada penelitian ini menunjukkan
bahwa responden cenderung mengonsumsi ikan di luar rumah. Sebagian besar
responden (72.50%) lebih menyukai mengonsumsi ikan di luar rumah dan hanya
27.50% responden yang lebih suka makan di rumah. Proporsi pilihan tempat
konsumsi dapat dilihat pada Gambar 23.
Responden yang lebih menyukai makan ikan di rumah (27.50%) biasanya
membeli ikan di dekat tempat tinggal mereka. Dalam hal ini pedagang keliling
merupakan tempat favorit sebagian besar responden (61.70%). Selanjutnya tempat
yang disukai setelah pedagang keliling adalah pasar tradisional (34.20%),
43
supermarket (3.30%) dan pasar khusus ikan (0.80%). Pilihan tempat membeli ikan
oleh responden dapat dilihat pada Gambar 24, sedangkan alasan responden
memilih tempat tersebut dapat dilihat pada Tabel 15.
Makan di
rumah
27,5%
Makan di luar
rumah
72,5%
Gambar 23. Proporsi pilihan tempat konsumsi ikan (n=120)
Supermarket
3,3%
Pasar khusus
ikan
1%
Pasar
tradisional
34,2%
Pedagang
keliling
61,7%
Gambar 24. Proporsi pilihan tempat membeli ikan (n=120)
Tabel 15. Alasan responden dalam memilih tempat membeli ikan (n=120)
Alasan membeli
ikan di tempat
yang disukai
Lokasinya dekat
Harga murah
Mutu ikan baik
Jenis ikannya
banyak
Ikannya bersih
Tempatnya
nyaman
Pelayanan cepat
Total
Pedagang keliling
Pasar tradisional
Supermarket
Jml
Jml
Jml
%
%
responden
responden
responden
61
82.43
11
26.83
1
1
1.35
13
31.71
4
5.41
9
21.95
1
2
2.70
7
17.07
6
8.11
74
100
%
Pasar khusus
ikan
Jml
%
responden
25
25
1
2.44
1
1
25
25
41
100
4
100
1
100
1
100
44
Sementara itu, dari 72.50% responden yang lebih suka mengonsumsi ikan
di luar rumah tersebut, sebagian besar (33.33%) beralasan karena makan bersama
keluarga. Alasan berikutnya adalah makan ditempat kerja (29.89%), karena alasan
kepraktisan (17.24%) dan alasan lainnya yang dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Alasan responden mengonsumsi ikan di luar rumah (n=120)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Alasan mengonsumsi ikan
di luar rumah
Makan bersama keluarga
Makan di kantor/hari kerja
Praktis
Lebih bervariasi
Lebih enak
Rekreasi
Lebih segar
Diajak teman
Total
Jumlah
responden Persentase
29
33.33
26
29.89
15
17.24
5
5.75
5
5.75
5
5.75
1
1.15
1
1.15
87
100
Terdapat perilaku yang sama dalam mengonsumsi ikan antara responden
laki-laki dan perempuan. Pada Gambar 25 menunjukkan bahwa hampir semua
responden laki-laki (85.71%) suka mengonsumsi ikan di luar rumah. Sama halnya
dengan responden perempuan yang mengalami kecenderungan suka makan ikan
di luar rumah meskipun prosentasenya lebih rendah jika dibanding dengan
responden laki-laki.
% Jumlah
responden
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
85,71
69,70
30,30
14,29
Laki-laki
Makan di rumah
Jenis
Kelamin
Perempuan
Makan di luar rumah
Gambar 25. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut
jenis kelamin (n=120)
Pada penelitian ini, 95.24% responden laki-laki adalah pekerja, sehingga
alasan mereka lebih suka mengonsumsi ikan di luar rumah adalah makan di
tempat kerja. Alasan lain yang menjadikan mereka suka mengonsumsi ikan di luar
45
rumah adalah makan bersama keluarga dan makanan lebih bervariasi. Sementara
itu, responden perempuan mempunyai alasan yang lebih banyak jika dia harus
mengonsumsi ikan di luar rumah. Alasan responden dalam mengonsumsi ikan di
luar rumah dapat dilihat pada Gambar 26.
Makan di kantor
50
21,43
Lebih enak
1,43
7,14
10
Lebih bervariasi
4,29
5,71
11,11
5,56
30
20
Makan bersama keluarga
25,71
32,86
40
33,33
% Jumlah responden
50
60
Praktis
Lebih segar
Diajak teman
0
Laki-laki
Perempuan
Rekreasi
Jenis Kelamin
Gambar 26. Alasan responden mengonsumsi ikan di luar rumah menurut jenis
kelamin (n=120)
Gambar 27 memperlihatkan bahwa sebagian responden cenderung suka
mengonsumsi ikan di luar rumah pada masing-masing kelompok usia. Hasil uji
chi square menunjukkan keterkaitan yang lemah antara usia dengan kesukaan
mengonsumsi ikan di luar rumah, dengan nilai koefisien kontingensi sebesar
0.751.
% Jumlah
responden
80
90
73,20
75,70
63,60
60
36,40
30
20
26,80
24,30
Usia
0
<26
26-35
Makan di rumah
36-45
>45
Makan di luar rumah
Gambar 27. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut
usia (n=120)
Alasan responden menyukai makan ikan di luar rumah berbeda pada setiap
kelompok usia. Pada kelompok usia 20-25 tahun dan kelompok usia antara 35-45
tahun mempunyai alasan makan di luar rumah karena makan bersama keluarga,
46
sedangkan pada kelompok usia antara 26-35 tahun menyukai makan ikan di luar
rumah pada saat di tempat kerja. Sementara itu, pada kelompok usia di atas 45
tahun menyukai mengonsumsi ikan di luar rumah karena alasan kepraktisan,
14,29
14,29
21,43
39,29
3,57
2,44
0,00
2,44
9,76
14,29
14,29
25
25,00
25
40
35
30
25
20
15
10
5
0
39,02
34,15
50,00
% Jumlah 50
responden 45
42,86
sebagaimana pada Gambar 28.
Usia
20-26
26-35
Makan di kantor Makan bersama keluarga
36-45
Lebih bervariasi
Praktis
>45
Lebih enak
Gambar 28. Alasan responden mengonsumsi ikan di luar rumah menurut usia (n=120)
Kesukaan responden mengonsumsi ikan di luar rumah menurut
pengeluaran per bulan menunjukkan pola yang meningkat seiring dengan
meningkatnya tingkat pengeluaran per bulan. Bahkan semua responden dengan
tingkat pengeluaran antara 2.1-3 juta rupiah menyukai makan ikan di luar rumah.
Berbagai alasan responden dalam mengonsumsi ikan di luar rumah adalah karena
makan di kantor, makan bersama keluarga dan karena kepraktisan. Sementara itu,
responden dengan tingkat pengeluaran di bawah 1 juta rupiah lebih menyukai
makan ikan di rumah dari pada makan ikan di luar rumah. Kesukaan responden
mengonsumsi ikan di rumah dan di luar rumah selengkapnya dapat dilihat pada
% Jumlah responden
Gambar 29.
120
100,00
100
80
60
91,20
67,50
51,50
48,50
40
32,50
8,80
20
0
< 1 juta
1-2 juta
2,1-3 juta
> 3 juta
Pengeluaran / bln
Makan di rumah
Makan di luar rumah
Gambar 29. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut
pengeluaran per bulan (n=120)
47
Gambar 30 memperlihatkan meningkatnya kesukaan responden dalam
mengonsumsi ikan di luar rumah seiring dengan bertambahnya jumlah anggota
keluarga. Pada jumlah anggota keluarga antara 1-2 orang, 71.40% responden
menyukai makan ikan di luar rumah. Hal ini mengalami kenaikan hingga
mencapai angka 73.70% pada jumlah anggota keluarga di atas 5. Hasil uji ChiSquare menunjukkan keterkaitan yang lemah antara jumlah anggota keluarga
dengan tingkat kesukaan mengonsumsi ikan di luar rumah, dengan nilai koefisien
kontingensi sebesar 0.012.
73,70
72,30
71,40
80
% Jumlah responden
60
40
28,60
27,70
26,30
20
0
1-2 orang
3-5 orang
Jumlah anggota keluarga
Makan di rumah
>5 orang
Makan di luar rumah
Gambar 30. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut
jumlah anggota keluarga (n=120)
Responden dengan tingkat pendidikan SD lebih menyukai mengonsumsi
ikan di rumah daripada di luar rumah. Pola ini cenderung berubah seiring dengan
tingginya tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden,
semakin lebih menyukai mengonsumsi ikan di luar rumah. Pada Gambar 31
terlihat bahwa 92.90% responden dengan tingkat pendidikan universitas lebih
% Jumlah responden
menyukai mengonsumsi ikan di luar rumah.
120
60
92,90
84,60
90
56,70
43,30
59,10
40,90
15,40
30
7,10
0
SD
SMP
SMA
Universitas
Tingkat pendidikan
Makan di rumah
Makan di luar rumah
Gambar 31. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut
tingkat pendidikan (n=120)
48
4.2.4
Pola konsumsi ikan berdasarkan sumber protein yang disukai
Dalam memilih sumber protein hewani yang dikonsumsi, sebagian besar
responden (52.50%) lebih menyukai ikan daripada daging unggas dan daging
merah. Responden yang lebih menyukai daging unggas (ayam, bebek dan burung)
adalah sebesar 43.30% sedangkan daging merah kurang disukai responden dan
hanya 4.20% responden yang menyukai daging merah, seperti daging sapi dan
kambing, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Sumber protein hewani yang paling disukai responden (n=120)
No
1
2
3
Sumber protein hewani
Ikan
Daging unggas
Daging merah
Total
Jumlah responden
63
52
5
120
Persen
52.50
43.30
4.20
100.00
Sebagian besar responden laki-laki (71.43%) lebih menyukai ikan
daripada daging unggas dan daging merah, sedangkan responden perempuan
menyukai ikan dan daging unggas dengan proporsi yang hampir sama, yakni
48.48% untuk ikan dan 46.47% untuk daging unggas (Gambar 32). Sementara itu,
daging merah kurang disukai oleh responden laki-laki maupun perempuan.
Pada kelompok usia >45 tahun, tingkat kesukaan terhadap sumber protein
mempunyai proporsi yang sama antara ikan dan daging unggas. Sementara itu,
pada kelompok usia di bawah 45 tahun lebih menyukai ikan dibanding daging
unggas dan daging merah. Secara lengkap tentang sumber protein yang disukai
% Jumlah responden
responden dapat dilihat pada Gambar 33.
80
60
40
daging unggas
20
ikan
daging merah
0
Laki-laki
Perempuan
Jenis Kelamin
Gambar 32. Sumber protein hewani yang paling disukai responden menurut jenis
kelamin (n=120)
49
% Jumlah responden
100
80
60
40
20
0
<26
26-35
daging unggas
36-45
>45
Usia (tahun)
ikan
daging merah
Gambar 33. Persentase kesukaan responden terhadap sumber protein hewani
menurut usia (n=120)
Pilihan
ikan
sebagai
sumber
protein
hewani
yang
dikonsumsi
menunjukkan pola yang meningkat seiring dengan semakin besarnya tingkat
pengeluaran per bulan. Gambar 34 menunjukkan peningkatan dari 42.40% pada
pengeluaran di bawah 1 juta rupiah menjadi 50% pada tingkat pengeluaran antara
1-2 juta rupiah dan terus meningkat hingga 61.80% pada tingkat pengeluaran di
% Jumlah responden
atas 3 juta rupiah.
80
60
40
20
0
< 1 juta
1-2 juta
2,1-3 juta
> 3 juta
Pengeluaran/bulan
daging unggas
ikan
daging merah
Gambar 34. Sumber protein hewani yang paling disukai responden menurut
tingkat pengeluaran per bulan (n=120)
Kelompok dengan jumlah anggota keluarga antara 3-5 orang, lebih
menyukai ikan dibandingkan dengan kelompok yang lain dengan persentase
sebesar 56.40%. Sementara itu pada kelompok lainnya lebih memilih daging
unggas dibanding dengan ikan dan daging merah. Pilihan sumber protein hewani
yang disukai responden menurut jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada
Gambar 35.
% Jumlah responden
50
60
50
40
30
20
10
0
1-2 orang
3-5 orang
> 5 orang
Jml anggota keluarga
daging unggas
ikan
daging merah
Gambar 35. Sumber protein hewani yang paling disukai responden menurut
jumlah anggota keluarga (n=120)
Kelompok responden dengan tingkat pendidikan SD dan universitas lebih
menyukai ikan dibanding dengan daging unggas dan daging merah. Sementara itu,
daging unggas menempati proporsi yang sama dengan ikan pada kelompok
dengan tingkat pendidikan SMP. Hal yang berbeda terjadi pada kelompok
responden dengan tingkat pendidikan SMA, yakni lebih menyukai daging unggas
dari pada ikan dan daging merah. Sumber protein hewani yang disukai responden
% Jumlah responden
menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 36.
70
60
50
40
30
20
10
0
SD
SMP
SMA
Tingkat pendidikan
daging unggas
ikan
Universitas
daging merah
Gambar 36. Sumber protein hewani yang paling disukai responden menurut
tingkat pendidikan (n=120)
Dalam memilih sumber protein tersebut, sebagian besar responden
(62.50%) mengonsumsi ikan dikarenakan mereka menyadari bahwa kandungan
gizi di dalam ikan lebih tinggi atau lebih baik dibandingkan dengan makanan yang
berasal dari hewan lainnya seperti daging unggas, sapi dan sejenisnya. Hal yang
sama ditunjukkan oleh penelitian Harlin (2008) bahwa sebagian besar responden
51
beralasan bahwa kebiasaan mereka dalam mengonsumsi ikan yang cukup tinggi
dikarenakan mereka menyadari bahwa kandungan gizi di dalam ikan lebih
tinggi/baik dibandingkan dengan makanan yang berasal dari hewan lainnya
seperti daging unggas, sapi dan sejenisnya. Penelitian Suratno (2006) tentang
pengembangan produk pangan fungsional mendapati bahwa sejalan dengan
bertambahnya usia, terkait dengan semakin meningkatnya gangguan kesehatan
yang diderita responden, maka responden semakin memperhatikan gizi dan
menjadi semakin selektif dalam pola konsumsinya. Pola konsumsi selektif yang
secara umum banyak dipilih oleh responden adalah pola konsumsi rendah lemak
(>50%). Sementara itu, pada penelitian Palash dan Sabur (2004), faktor nilai gizi
menempati urutan kelima yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam
membeli ikan di Kota Dhaka Banglades. Dalam penelitian tersebut, lima faktor
utama yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli ikan adalah rasa,
harga, ukuran, kenampakan dan nilai gizi ikan. Sementara itu, pada Tabel 18
diketahui bahwa faktor harga menempati urutan keenam sebagai faktor yang
dipertimbangan responden dalam mengonsumsi ikan.
Tabel 18. Faktor yang dipertimbangkan responden dalam mengonsumsi ikan
No
Faktor yang dipertimbangkan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kandungan gizi
Pengaruh keluarga
Kandungan gizi dan pengaruh keluarga
Harga murah, kandungan gizi dan ketersediaan ikan
Ketersediaan ikan dan pengaruh keluarga
Harga murah
Harga murah dan kandungan gizi
Ketersediaan ikan
Harga murah, kandungan gizi, ketersediaan ikan dan
pengaruh keluarga
Harga murah, kandungan gizi dan pengaruh
keluarga
Harga murah dan ketersediaan ikan
Kandungan gizi dan ketersediaan ikan
Harga murah dan pengaruh keluarga
kandungan gizi, ketersediaan ikan dan pengaruh
keluarga
Harga murah, ketersediaan ikan dan pengaruh
keluarga
Total
10
11
12
13
14
15
Jumlah
responden
75
6
6
5
4
3
3
3
120
Persen
62.50
5
5
4.20
3.30
2.50
2.50
2.50
3
2.50
3
2
2
2
2.50
1.70
1.70
1.70
2
1.70
1
0.80
100
52
Alasan kedua yang dijadikan alasan responden dalam mengonsumsi ikan
adalah karena pengaruh keluarga, sebesar 5%. Sejumlah 5% responden juga
menyatakan alasan mengonsumsi ikan karena pengaruh gizi dan keluarga.
Sementara itu, sisanya beralasan mengonsumsi ikan karena faktor harga yang
murah ataupun karena gabungan beberapa alasan (harga murah, gizi, mudah
mendapatkan dan pengaruh keluarga).
4.3 Persepsi Responden Terhadap Produk Ikan
Hasil survei pada penelitian ini menunjukkan bahwa ikan segar lebih
dipilih responden sebagai persepsinya terhadap ikan. Responden lebih menyukai
ikan segar dibandingkan dengan ikan olahan, sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 8. Hal ini terjadi karena sebagian besar informasi baik eksternal maupun
internal lebih mengarah kepada ikan dalam bentuk segar. Informasi internal
tersebut diperoleh dari pengalaman pribadi, keluarga dan nilai yang dianut,
sedangkan informasi eksternal diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Dalam
persepsi sebagian besar responden, ikan adalah ikan yang diolah dalam bentuk
segar. Sementara itu, ikan dalam dalam bentuk olahan seperti nugget, bakso dan
sosis masih belum melekat pada presepsi responden. Hal ini ditunjukkan oleh
masih rendahnya tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan ikan. Lebih
lanjut bahkan hal ini sudah melekat pada sikap responden dan membentuk
preferensi.
Penelitian Harlin (2008) mengkonfirmasi dengan hasil yang sama bahwa
persepsi masyarakat Kota Bekasi atas ikan adalah ikan dalam bentuk ikan segar,
lebih dari 95% responden mengatakan setuju dan sangat setuju terhadap konsumsi
ikan segar (Tabel 19).
Tabel 19. Pendapat responden terhadap konsumsi ikan segar di Kota Bekasi
Penilaian Responden
Ragu-ragu
Setuju
Sangat Setuju
N
Sumber: Harlin (2008)
Jumlah Responden
5
66
65
136
%
3.68
48.53
47.79
100
Ikan segar juga menjadi pilihan sebagian besar masyarakat di Beijing
China. Feng et al (2009) menyatakan bahwa 75.20% masyarakat di Beijing lebih
53
memilh ikan segar dibanding dengan ikan olahan yang hanya dipilih oleh 24.80%
responden.
Beberapa informasi mengenai produk olahan ikan telah disampaikan oleh
kementerian kelautan dan perikanan kepada masyarakat luas melalui beberapa
media diantaranya majalah perikanan, demo masak dan penyuluhan kepada ibuibu PKK yang terpilih sebagai sampel. Penggunaan media televisi untuk
menyampaikan informasi tentang olahan perikanan belum banyak dilakukan dan
terbatas pada televisi dan jam-jam tertentu. Namun hal itu ternyata belum bisa
merubah persepsi responden sebagai objek penelitian. Hasil survei menunjukkan
bahwa media yang telah disebutkan di atas ternyata menurut responden tidak
berpengaruh terhadap
persepsi
dan
keputusannya
dalam membeli
dan
mengonsumsi ikan.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 20 yang menunjukkan bahwa media
televisi adalah media yang dianggap paling berpengaruh dalam penyampaian
informasi guna pembentukan persepsi konsumen terhadap ikan. Sebanyak 58.33%
responden menyatakan televisi adalah media yang paling berpengaruh dalam
pembentukan persepsinya. Sedangkan demo masak merupakan media kedua yang
dianggap mempengaruhi persepsi responden.
Tabel 20. Urutan media yang diangap paling berpengaruh dalam keputusan
pembelian ikan
No
1
2
3
4
5
6
Jenis Media
Televisi
Demo masak
Penyuluhan/pelatihan
Koran/majalah
Brosur
Internet
Total
Pendapat Responden
Jumlah
%
70
26
15
5
2
2
120
58.33
21.67
12.50
4.17
1.67
1.67
100
Dengan demikian, belum ada titik temu antara informasi yang diberikan
dengan keinginan responden dalam pembentukan persepsinya terhadap ikan.
Informasi
yang diperoleh
responden
melalui
penglihatan,
pendengaran,
penyentuhan perasaan dan penciuman didapatkan melalui media yang berbeda
dengan media yang digunakan untuk mensosialisasikan produk olahan ikan.
Seperti dikatakan Kotler (1995) pada bab sebelumnya bahwa pemahaman
54
informasi pembentuk persepsi dapat diperoleh melalui proses penglihatan,
pendengaran, penyentuhan perasaan dan penciuman sehingga informasi tersebut
dapat mempengaruhi cara seseorang untuk mengorganisasikan persepsinya. Hal
inilah yang terjadi pada sebagian besar responden dalam mengorganisasikan
persepsinya, sehingga produk olahan ikan belum melekat sebagai persepsi
responden.
Jika dilihat secara mendalam, tingkat pendidikan mempengaruhi proses
pengorganisasian persepsi seseorang. Sejalan dengan teori Solomon (1999) dalam
Prasetyo dan Ihalauw (2005), hal ini berkaitan dengan faktor internal yang
dimiliki responden berupa pengalaman dan nilai-nilai yang dianut responden
sebagai dampak dari pendidikan yang diperolehnya. Responden dengan tingkat
pendidikan SD dan SMP mempunyai pendapat yang sama bahwa televisi dan
kegiatan praktek demo masak bisa membentuk persepsinya dalam mengonsumsi
ikan (Gambar 37). Menurut mereka, praktek demo masak merupakan informasi
yang secara jelas mereka rasakan melalui sekumpulan proses mulai dari
penglihatan, penyentuhan perasaan dan penciuman. Hal ini sejalan dengan teori
yang dikemukakan oleh Kotler (1995). Dengan tingkat pendidikan yang relatif
rendah, konsumen lebih menyukai informasi yang dapat secara langsung
menyentuh sikap emosi mereka. Perbedaan latar belakang pendidikan ini tentunya
dapat digunakan untuk menyusun strategi dalam pelaksanaan sosialisasi ikan dan
45,50
40,90
Televisi
14,3
7,1
7,70
7,7
3,8
Demo masak
9,1
20
16,7
40
3,3
60
66,70
76,90
80
40,00
40,00
% Jumlah responden
produk olahan lainnya.
Penyuluhan
Koran
Brosur
0
SD
SMP
SMA
Universitas
Internet
Tingkat pendidikan
Gambar 37. Media yang dianggap paling berpengaruh dalam keputusan
pembelian ikan menurut tingkat pendidikan (n=120)
Dalam
penyampaian
informasi
tentang manfaat
ikan,
responden
mempunyai pendapat yang sama tentang penggunaan media yang efektif.
Sebagian besar dari responden (71.67%) memiliki persepsi bahwa dengan
55
sosialisasi manfaat ikan melalui media televisi dianggap mampu menyentuh
semua umur dan semua lapisan masyarakat pada semua strata pendidikan.
Sementara itu, media berupa penyuluhan menempati posisi setelah televisi dengan
persentase sebesar 19.17%. Secara rinci, media yang paling efektif tersebut secara
berurutan dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Pendapat responden tentang media yang paling efektif untuk sosialisasi
manfaat ikan
No
Media
Jumlah
%
1
2
3
4
5
Televisi
86
71.67
Penyuluhan
Majalah
Brosur
Buku
23
4
4
2
19.17
3.33
3.33
1.67
6
Koran
Total
1
120
0.83
100
4.4 Preferensi Responden Terhadap Ikan
Kepercayaan responden terhadap ikan sebagai sumber protein hewani yang
baik telah menjadikan ikan sebagai nilai yang dianut dan dipertahankan oleh
responden sebagai preferensi pribadinya dalam memilih sumber protein hewani.
Dalam hal ini preferensi konsumen tentang ikan dapat diketahui dengan
membandingkan keranjang pasar (market basket), yaitu dengan membandingkan
ikan, daging unggas dan daging merah pada suatu keranjang pasar yang dapat
dipilih responden, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Pindyck dan
Rubinfield (1999). Dalam asumsi preferensi lengkap, ikan menduduki urutan
pertama dalam preferensi responden. Tabel 22 menunjukkan bahwa ikan lebih
disukai dan dipilih responden sebagai sumber protein hewani, dengan persentase
sebesar 52.5% dan diikuti dengan daging unggas (43.33%) yang menempati porsi
kedua.
Preferensi ini terjadi karena responden memiliki persepsi yang baik
terhadap ikan, diantaranya berprotein tinggi, rendah kolesterol dan mengandung
omega 3 yang baik untuk kesehatan. Beberapa responden berpendapat bahwa ikan
sangat baik untuk diet.
56
Tabel 22. Sumber protein hewani yang paling disukai responden
Sumber protein hewani
Ikan
Daging unggas
Daging merah
Total
Responden
Jumlah
%
63
52.50
52
43.33
5
4.17
120
100
Jika dilihat dari pola preferensi (Supranto dan Limakrisna, 2007), terjadi
segmen preferensi yang homogen, yakni suka pada ikan dalam bentuk segar, baik
ikan air tawar maupun ikan air laut. Preferensi responden dalam mengonsumsi
ikan olahan di Kota Bekasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan preferensi
ikan segar (Harlin, 2008). Preferensi homogen ini ditunjukkan pada Gambar 38.
Suka ikan
segar dan
olahan
(keduanya)
22,41%
Hanya suka
ikan segar
77,59%
Gambar 38. Preferensi responden dalam mengonsumsi ikan (n=120)
Preferensi responden terhadap ikan dalam bentuk segar tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karena kandungan gizi dan budaya
(kebiasaan sejak kecil). Faktor ini dianggap berpengaruh pada preferensi
responden karena lebih dari 50% responden menyatakan faktor tersebut
mempengaruhi sikapnya dalam memilih dan mengonsumsi ikan (Tabel 23).
Sementara itu, faktor lingkungan dan variasi produk olahan dianggap tidak
mempengaruhi sikapnya dalam mengonsumsi ikan.
Tabel 23. Pendapat responden tentang hal yang mempengaruhi sikapnya dalam
membeli dan mengonsumsi ikan (n=120)
Hal yang mempengaruhi
Kandungan gizi
Budaya (kebiasaan sejak kecil)
Lingkungan tempat tinggal
Variasi produk olahan
Pendapat responden
Berpengaruh
Tidak berpengaruh
Jumlah
%
Jumlah
%
87
72.5
33
27.5
76
63.3
44
36.7
33
27.5
87
72.5
23
19.2
97
80.8
57
Faktor lingkungan memberikan nilai preferensi yang lebih rendah kepada
responden dalam mengonsumsi ikan jika dibanding dengan faktor budaya karena
sebagian besar responden sudah mempunyai preferensi tentang ikan yang melekat
sejak responden kecil dengan kebudayaan tertentu yang dianutnya. Sebagai
contoh pada masyarakat Jawa yang memiliki budaya membatasi makan ikan
karena dianggap bisa menyebabkan cacingan. Sementara itu, faktor variasi produk
olahan belum mempengaruhi sikap responden dalam mengonsumsi ikan karena
produk olahan tersebut belum banyak di pasaran sehingga belum dikenal oleh
responden.
Terjadi perbedaan pendapat mengenai faktor kandungan gizi dan faktor
budaya dalam pengaruhnya terhadap preferensi pada tingkat pendidikan yang
berbeda. Responden yang mempunyai tingkat pendidikan setingkat universitas
menganggap bahwa pengaruh budaya cenderung berkurang pengaruhnya dan
keputusannya mengonsumsi ikan. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan
informasi
yang
diperoleh
telah
mampu
merubah
preferensinya
dalam
mengonsumsi ikan, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor budaya saja melainkan
juga dipengaruhi faktor lain. Dalam hal ini, faktor kandungan gizi dalam ikan
lebih berpengaruh pada preferensinya dalam memilih dan mengonsumsi ikan
sebagai pilihan sumber protein hewani. Hal ini tentunya bisa menjadi
pertimbangan dalam melakukan kegiatan sosialisasi tentang ikan kepada
masyarakat luas.
Dengan demikian nilai-nilai yang dianut dan dipertahankan oleh responden
sebagai preferensinya terhadap ikan dapat diketahui bahwa ikan dalam preferensi
responden adalah ikan dalam bentuk segar. Preferensi ini cenderung dipengaruhi
oleh budaya atau kebiasaan sejak kecil. Preferensi ini akan mengalami pergeseran
ke bentuk ikan olahan karena inforrmasi formal yang diperolehnya setelah
sebelumnya seseorang mengorganisasikan persepsinya tentang produk tersebut.
Sementara itu, preferensi tentang tempat membeli ikan adalah yang mudah
dijangkau atau dekat dengan tempat tinggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden membeli ikan di tempat yang dekat dengan tempat
tinggalnya. Dalam hal ini peran distribusi menjadi sangat penting untuk
mendekatkan ikan kepada masyarakat.
58
4.5 Strategi Pengembangan Peningkatan Konsumsi Ikan
4.5.1 Faktor-faktor yang berpengaruh dalam keputusan pembelian ikan
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam keputusan pembelian ikan oleh
responden diperoleh melalui analisis logit. Variabel dependen yang digunakan
dalam analisis logit adalah frekuensi makan ikan oleh responden setiap bulan.
Variabel tersebut dibagi menjadi dua kategori yakni jarang dan sering. Kategori
jarang dengan kode 0 apabila frekuensi makan ikan di bawah 12 kali per bulan,
sedangkan kategori sering dengan kode 1 apabila frekuensi makan ikan di atas
atau sama dengan 12 kali per bulan. Pemisahan kategori ini dilakukan atas dasar
data konsumsi ikan di kota Depok yang masih rendah sebagaimana dijelaskan
pada Bab I yakni sebesar 13.18 kg/kap/tahun. Dengan asumsi setiap kali makan
ikan adalah sebanyak 200 gram, maka tingkat konsumsi ikan per tahun dengan
frekuensi 12 kali dalam sebulan adalah sebesar 28.8 kg. Dengan demikian
frekuensi makan ikan sebanyak 12 kali atau lebih dikategorikan sering dan jika
kurang dari 12 kali dikategorikan jarang.
Pada permodelan logit ini seluruh responden teramati (120 responden),
artinya tidak ada satu pun data yang tidak teramati. Hal ini dapat dilihat pada
output model logit ini pada Lampiran 6. Pada blok 0 atau blok permulaan, dimana
model belum menggunakan variabel independen dan hanya menggunakan
konstanta saja, nilai signifikansi yang dihasilkan dari konstanta ini adalah 0.001
dengan exp (B) = 1.857. Hal ini berarti bahwa hanya dengan menggunakan model
sederhana (hanya melibatkan konstanta saja), ternyata mampu memberikan
penjelasan bahwa proporsi responden yang makan ikan 12 kali atau lebih per
bulan (sering) adalah 1.857 kali proporsi responden yang makan di bawah 12 kali
per bulan (jarang) tanpa dilibatkannya variabel usia (X1), tingkat pendidikan (X2),
pengeluaran rumah tangga per bulan (X3) dan jumlah anggota keluarga (X4).
Hasil validasi kecocokan model menunjukkan bahwa model hasil estimasi
signifikan fit atau model layak digunakan (Tabel 24). Hal ini terlihat dari hasil uji
Chi-Square yang digunakan mempunyai nilai 1.245 dengan p-value sebesar 0.537
(>0.05), yang berarti model hasil estimasi signifikan fit (terima hipotesis nol).
Selanjutnya untuk melihat variabel mana yang sesungguhnya berpengaruh
terhadap frekuensi makan ikan dapat dilihat pada tabel variable in the equation
59
dan variable not in the equation. Tabel 25 menunjukkan bahwa variabel usia
signifikan mempengaruhi frekuensi makan ikan oleh responden (jarang atau
sering). Hal ini diketahui dari nilai statistik uji Wald yang mempunyai nilai
signifikansi value lebih kecil dari 0.05. Nilai statistik Wald untuk variabel usia
adalah 5.759 dan nilai signifikasinya 0.016.
Tabel 24. Hosmer and Lemeshow Test pada hasil analisis logit
Chi-square
Derajat bebas
1.245
Signifikansi
2
0.537
Tabel 25. Variabel yang signifikan pada model logit
Parameter
Konstanta
Usia
Kefisien
(B)
Derajat
bebas
Signifikansi
(p-value)
Exp(B)
-0.946 0.665 2.023
1
0.155
0.388
0.609 0.254 5.759
1
0.016
1.839
S.E.
Wald
Berdasarkan hasil permodelan di atas, hanya terdapat satu faktor yang
paling dominan mempengaruhi responden untuk mengonsumsi ikan yakni usia
responden (X1). Sementara itu, ketiga faktor lain yakni tingkat pendidikan,
pengeluaran rumah tangga per bulan dan jumlah anggota keluarga, yang dianggap
mempengaruhi frekuensi makan ikan ternyata tidak dominan dalam model.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya ada satu faktor saja yang paling
dominan mempengaruhi frekuensi makan ikan responden berdasarkan survei yang
dilakukan. Nilai odds rasio pada kolom exp (B) menunjukkan bahwa dengan
meningkatnya 1 satuan dalam kelompok usia maka terdapat perubahan odds ratio
sebesar 1.839. Dalam hal ini responden memperlihatkan bahwa pada kelompok
usia yang lebih tinggi lebih sering mengonsumsi ikan jika dibanding dengan
kelompoik usia rendah, dengan tingkat akurasi sebesar 64.2% (Tabel 26).
Hasil penelitian yang dilakukan Myrland et al (1999) terhadap faktor yang
mempengaruhi konsumsi makanan laut di Norwegia menunjukkan bahwa ada
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi makanan laut yakni
ukuran rumah tangga (jumlah anggota keluarga), usia, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan dan harga. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa wanita dengan usia
dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai tingkat konsumsi makan laut
60
yang lebih tinggi dibanding dengan yang memiliki usia dan tingkat pendidikan
yang lebih rendah.
Penelitian Cheng dan Capps (1988) di Amerika Serikat menunjukkan
kondisi yang berbeda. Pada penelitian tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi
variasi pengeluaran rumah tangga dalam membeli ikan segar dan beku untuk
dikonsumsi di rumah adalah harga, jumlah anggota keluarga (ukuran keluarga),
tingkat pendapatan, wilayah geografis, urbanisasi, ras dan musim.
Secara umum, model regresi logit sebagaimana telah dijelaskan pada Bab
III adalah sebagai berikut:
𝑝𝑖
𝐿𝑖 = 𝑙𝑛
= 𝛽0 + 𝛽1 π‘₯1𝑖 + 𝛽2 π‘₯2𝑖 + β‹― + 𝛽8 π‘₯8𝑖 + 𝑒𝑖
1 − 𝑝𝑖
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada variabel yang signifikan (Tabel
25) diperoleh nilai koefisien konstanta sebesar -0.946 dan nilai koefisien variabel
usia sebesar 0.609 sehingga diperoleh model regresi logit sebagai berikut:
𝑙𝑛
𝑝𝑖
= -0.946 + 0.609*usia
1 − 𝑝𝑖
Tabel 26 menunjukkan perbandingan antara status frekuensi makan ikan
hasil estimasi model (prediksi) dengan status awal (observasi). Tabel tersebut
menunjukkan bahwa dari 42 data observasi yang berstatus jarang, 2 data
diprediksi jarang dan ada 40 data yang diprediksi sering, dan dari 78 data
observasi yang berstatus sering, ada 75 data yang diprediksi sering dan ada 3 data
yang diprediksi jarang. Prediksi secara keseluruhan menunjukkan angka 64.20%
atau dapat dikatakan bahwa data yang diprediksi secara tepat oleh model hasil
estimasi adalah sebesar 64.20%.
Tabel 26. Klasifikasi frekuensi makan ikan pada model logit
Prediksi (estimasi model)
Observasi (status awal)
Jarang (< 12 kali): 42
Sering (≥12 kali): 78
Keseluruhan (jarang &
sering)
frekuensi makan ikan
Jarang
(<12 kali)
2
3
Sering
(≥12 kali)
40
75
Persentase
4.8
96.2
64.2
61
4.5.2 Rumusan strategi
Secara garis besar, tingkat konsumsi ikan masyarakat dipengaruhi oleh sisi
permintaan (demand) dan sisi pasokan (supply) (Poernomo 2007). Pada sisi
permintaan, masalah preferensi yang dipengaruhi kultur dan faktor sosial dapat
mempengaruhi keputusan dalam pembelian ikan, sedangkan pada sisi pasokan
atau ketersediaan dipengaruhi oleh produksi dan distribusi. Sebagian masyarakat
hanya mengenal jenis ikan tertentu yang dekat dengan tempat tinggal mereka,
yang pada akhirnya menjadi preferensi secara pribadi.
Secara umum, strategi yang dilakukan adalah untuk meningkatkan
konsumsi ikan per kapita dan usaha untuk mengatasi pasokan dan distribusi untuk
konsumsi domestik. Strategi terkait dengan pengembangan produk diarahkan
kepada produsen untuk mendekatkan ikan segar kepada masyarakat. Selain itu,
produsen diarahkan untuk mengembangkan produk olahan baik olahan sekunder
seperti ikan asin, ikan pindang, ikan asap dan ikan kaleng maupun produk olahan
tersier seperti bakso, nugget dan sosis ikan. Sementara itu, strategi pengembangan
kebijakan yang diperuntukkan bagi pemerintah mencakup dua sisi yakni
meningkatkan konsumsi dan meningkatkan pasokan.
Strategi pengembangan peningkatan konsumsi ikan dalam hal ini
dikelompokkan menjadi dua yakni strategi pengembangan produk yang dapat
dilakukan produsen produk perikanan bersama dengan pemerintah, dan strategi
penyusunan kebijakan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan.
4.5.2.1 Strategi pengembangan produk
Berdasarkan data hasil penelitian tentang persepsi dan preferensi
responden tentang ikan menunjukkan bahwa lebih dari 65% responden mengenal
ikan dalam bentuk ikan segar, dengan jenis ikan yang terbatas sesuai dengan
keterjangkauan responden. Hal ini menunjukkan bahwa ikan segar sangat dekat
dengan ingatan responden.
Data pada tahun 2010 (sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II)
menunjukkan bahwa 60% dari total produksi dipasarkan dalam bentuk ikan segar
dan hanya 40% dalam bentuk ikan olahan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa produsen ikan segar tidak memerlukan upaya yang besar untuk membuat
produknya diterima responden. Dalam hal ini, strategi yang diperlukan adalah
62
mempertahankan tingkat konsumsi ikan masyarakat terhadap ikan segar, baik ikan
segar air laut maupun ikan segar air tawar, dengan mendekatkan ikan segar
kepada konsumen. Dari hasil penelitian, ikan segar air laut yang paling disukai
responden pada penelitian ini berturut-turut adalah kembung (39.17%), tongkol
(17.50%) dan bandeng (16.67%), sedangkan untuk ikan segar air tawar yakni ikan
lele (50%), ikan mas (23.50%) dan ikan gurame (10%). Jika keenam jenis ikan
tersebut diurutkan dalam tiga urutan teratas maka ikan segar yang paling digemari
responden dan paling tepat untuk diperhatikan distribusinya dalam kaitannya
dengan peningkatan konsumsi ikan adalah ikan lele (27.03%), ikan kembung
(21.17%) dan ikan mas (12.16%).
Strategi pengembangan produk berikutnya adalah dengan pengembangan
produk olahan. Strategi pengembangan produk olahan ikan tersebut dapat
dilakukan berdasarkan data hasil penelitian terhadap tren tingkat pengeluaran dan
tren tingkat pendidikan.
Berdasarkan pola tingkat pengeluaran (sebagai proksi tingkat pendapatan),
diketahui bahwa tingkat kesukaan responden terhadap ikan asin, ikan pindang dan
ikan asap semakin menurun seiring dangan semakin tinggi tingkat pengeluaran.
Berdasarkan prosentase responden terhadap jenis ikan yang disukai (Tabel 11)
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran, produk yang mengalami
tren peningkatan adalah bakso ikan, nugget ikan dan ikan kaleng. Pada tabel
tersebut dapat dilihat bahwa proporsi tingkat pengeluaran > 3 juta rupiah
menduduki urutan kedua setelah tingkat pengeluaran antara 1-2 juta rupiah. Hal
ini menunjukkan bahwa pengembangan ketiga produk olahan pada kelompok
tingkat pengeluaran tinggi mempunyai potensi pasar yang besar, terlebih lagi
dengan adanya peran pemerintah yang senantiasa mendorong pertumbuhan
ekonomi yang diharapkan akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara
keseluruhan.
Berdasarkan pola tingkat pendidikan, kelompok responden dengan tingkat
pendidikan universitas mulai menyukai produk olahan meskipun belum
meninggalkan konsumsi ikan segar. Dengan demikian terdapat peluang
pengembangan produk olahan ikan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan.
Pangsa pasar yang dibidik dalam hal ini adalah masyarakat yang mempunyai
63
tingkat pendidikan universitas. Hal ini didukung oleh data indikator pendidikan
dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 menunjukkan adanya peningkatan
Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi pada lima tahun terakhir (APK
adalah proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu dalam kelompok usia
yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut). Pada tahun 2006 APK
perguruan tinggi menunjukkan angka sebesar 12.16 dan terus meningkat hingga
16.35 pada tahun 2010. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2010 sebesar
12.06%. APK perguruan tinggi dari tahun 2006 hingga tahun 2010 dapat dilihat
APK (%)
pada Gambar 39.
17
16
15
14
13
12
11
10
16,35
14,42
14,59
2008
Tahun
2009
13,31
12,16
2006
2007
2010
APK Perguruan Tinggi
Gambar 39. Angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK), tahun 2006 sampai
dengan 2010
Tren peningkatan jumlah penduduk yang menempuh perguruan tinggi
tersebut menunjukkan potensi pasar produk olahan yang semakin meningkat.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan konsumsi ikan olahan pada responden
dengan tingkat pendidikan universitas (perguruan tinggi) memberikan peluang
bagi produsen dalam mengembangkan produk olahan ikan. Dalam hal ini
pemerintah juga mempunyai peran dalam membuat suatu kebijakan yang
mendukung pengembangan produk olahan ikan dan lebih mendekatkan produk
olahan ikan kepada masyarakat luas.
Dari telaah deskriptif diketahui bahwa produk olahan ikan yang paling
disukai adalah ikan asin, dan kemudian secara berurutan adalah ikan pindang,
ikan kaleng, bakso ikan, ikan asap, nugget ikan, terasi dan sosis ikan. Namun jika
dilihat berdasarkan tren tingkat pengeluaran dan tingkat pendidikan, ada tiga
64
produk olahan yang semakin disukai responden seiring dengan semakin tingginya
tingkat pengeluaran dan tingkat pendidikan. Produk olahan tersebut adalah bakso
ikan, nugget ikan dan ikan kaleng.
Strategi
pengembangan
produk
dalam
hal
ini
adalah
dengan
mengembangkan produk yang disukai responden berdasarkan hasil penelitian,
yang meliputi produk segar dan produk olahan. Produk segar yang perlu
diperhatikan distribusinya dalam kaitannya dengan peningkatan konsumsi ikan
adalah ikan lele (27.03%), ikan kembung (21.17%) dan ikan mas (12.16%).
Sementara itu, produk olahan yang perlu dikembangkan adalah bakso ikan, nugget
ikan dan ikan kaleng, sehingga mampu meningkatkan ikan dari sisi produk olahan
ikan. Dalam pelaksanaan strategi ini perlu diperhatikan empat unsur bauran
pemasaran yakni produk, harga tempat atau distribusi dan promosi sehingga
dalam implementasinya mampu memberikan keuntungan baik bagi produsen
maupun konsumen yang akan menjadi sasaran atas produk yang dikembangkan.
4.5.2.2 Strategi penyusunan kebijakan
Strategi penyusunan kebijakan yang dilakukan adalah untuk mendorong
minat masyarakat dalam mengonsumsi ikan. Kebijakan tersebut harus mampu
menyentuh sisi pasokan (ketersediaan dan keterjangkauan) dan sisi permintaan
yang disinyalir menjadi penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan saat ini,
sebagaimana telah diuraikan pada Bab II. Berdasarkan hasil analisis logit,
keputusan responden dalam membeli dan mengonsumsi ikan yang dalam hal ini
dicerminkan pada frekuensi mengkosumsi ikan, dipengaruhi oleh variabel usia
(sig 0.016). Variabel ini yang kemudian akan diuraikan ke dalam strategi
penyusunan kebijakan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan.
1) Meningkatkan konsumsi dari sisi permintaan
Pola konsumsi ikan yang terjadi berdasarkan persepsi dan preferensi
responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden (lebih dari 65%) lebih
menyukai ikan segar. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan informasi yang
diperoleh sebagai bahan persepsi dan preferensi terhadap ikan cenderung kearah
ikan segar. Sebagian besar informasi dan pengetahuan tentang ikan diperoleh
responden dari proses penglihatan dan pengamatan di sekitar tempat tinggal
mereka. Ikan segar adalah bentuk ikan yang paling sering dijumpai di lokasi
65
tempat tinggal mereka atau yang sering mereka jumpai di tempat perbelanjaan
mereka sehingga paling banyak dikenal dan disukai responden. Dalam hal ini
aksesibilitas atau keterjangkauan menjadi faktor yang sangat berperan penting
selain faktor ketersediaan dan keamanan pangan.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan formal yang
diperoleh responden telah mampu menggeser tingkat kesukaan responden yang
semula hanya menyukai ikan dalam bentuk segar menjadi menyukai ikan dalam
bentuk segar beserta olahannya. Terkait dengan tersebut maka strategi kebijakan
yang dapat diambil dari sisi permintaan ini adalah:
a) Memasyarakatkan produk olahan ikan
Produk olahan ikan masih kurang diminati oleh sebagian besar responden.
Persepsi tentang ikan masih didominasi oleh ikan segar sehingga untuk
meningkatkan konsumsi ikan diperlukan pengenalan produk olahan ikan kepada
masyarakat. Jika dibandingkan dengan ikan segar, upaya pengenalan terhadap
produk olahan ikan memerlukan pendekatan yag lebih serius. Pengenalan produk
olahan ikan diperlukan untuk mendekatkan ikan kepada masyarakat sehingga
dapat diinterpretasikan sebagai persepsinya. Pengenalan terhadap berbagai jenis
olahan ikan diharapkan mampu mengurangi kejenuhan masyarakat terhadap ikan,
sehingga ada penambahan konsumsi ikan dalam menu sehari-hari. Pengenalan
produk olahan ini dilakukan dengan alasan kepraktisan dalam mengolah dan
mengonsumsi ikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden yang berpendidikan
universitas telah mulai mengenal dan menyukai olahan ikan, sedangkan untuk
strata pendidikan dibawahnya masih menunjukkan kesukaannya pada ikan segar.
Dengan demikian diperlukan segmentasi pada sasaran pengenalan produk olahan
ikan tersebut. Pengenalan produk olahan saat ini harus lebih difokuskan kepada
masyarakat dengan tingkat pendidikan SLTA dan jenjang dibawahnya.
Sementara itu, bentuk olahan yang menjadi fokus pengenalan produk
adalah bentuk olahan tersier seperti bakso, nugget dan sosis ikan, karena bentuk
olahan yang lain lain seperti ikan pindang, ikan kaleng, ikan asap dan terasi telah
dikenal sebagian responden. Dengan segmentasi pada sasaran pengenalan produk
66
dan pemilihan produk tersebut diharapkan mampu meningkatan konsumsi ikan
secara keseluruhan.
b) Meningkatkan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat tentang
ikan
Berdasarkan hasil penelitian, usia responden terbukti signifikan
mempengaruhi keputusan konsumen dalam mengonsumsi ikan. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada responden kelompok usia tua lebih
sering mengonsumsi ikan dari pada kelompok usia muda. Oleh karena itu
diperlukan suatu kebijakan yang mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang ikan sejak usia dini. Peningkatan pengetahuan ini dapat diberikan melalui
pendidikan formal maupun informal dengan memberikan pemahaman tentang
keunggulan kandungan gizi yang terkandung di dalam tubuh ikan. Kegiatan
melalui pendidikan formal yang dapat dilakukan diantaranya melalui pemberian
bahan ajaran tentang kesehatan dan ikan, sedangkan kegiatan secara informal
dapat dilakukan antara lain dengan memberikan pengetahuan cara mengolah ikan
yang benar bagi ibu-ibu muda dan memberikan informasi tentang masakan yang
sebelumnya tidak dikenal atau modifikasi menu yang telah ada.
Dalam penyampaian pengetahuan dan informasi tersebut perlu dibuat
segmentasi berdasarkan tingkat pendapatan. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa pada tingkatan pendapatan yang berbeda
terdapat persepsi yang berbeda tentang penggunaan media yang berpengaruh pada
keputusan pembelian ikan. Gambar 40 menunjukkan perbedaan penggunaan
media yang paling berpengaruh pada setiap tingkat pendapatan.
Media penyampaian pesan yang melibatkan target peserta secara langsung
seperti pelaksanaan demo masak dan penyuluhan akan menjadi efektif jika
dilakukan pada peserta dengan tingkat pendapatan di bawah 3 juta rupiah. Untuk
penyuluhan seperti pada kegiatan PKK masih nampak efektif pada golongan
pendapatan atara 3–4 juta rupiah. Sementara itu, media televisi paling tepat
digunakan untuk menyampaikan pengetahuan dan informasi pada golongan
tingkat pendapatan di atas 4 juta rupiah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kesibukan
yang cenderung terjadi pada golongan pedapatan di atas 4 juta rupiah. Adapun
bentuk penyampaian informasi dengan menggunakan media televisi ini dapat
berupa iklan layanan masyarakat maupun tayangan dalam kegiatan seperti demo
67
masak maupun talk show tentang manfaat ikan. Hal perlu diperhatikan dalam
penggunaan media adalah ketepatan waktu, tempat dan pilihan media yang
80,0
digunakan.
30,0
Televisi
5,7
5,7
10
53,1
38,5
26,9
19,2
30
10,2
%
32,7
60
60,0
90
0
< 2 juta
2,1 - 3 juta
3,1 - 4 juta
Demo masak
Penyuluhan
> 4 juta
Tingkat pendapatan
Gambar 40. Tiga media yang paling berpengaruh dalam keputusan membeli ikan
menurut tingkat pendapatan (n=120)
2) Meningkatkan ketersediaan ikan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa persepsi tentang jenis ikan
yang ada di benak responden terbentuk berdasarkan ketersedian dan
keterjangkauan jenis ikan tersebut di sekitar tempat tinggal mereka. Dengan
demikian diperlukan kebijakan peningkatan konsumsi ikan dari sisi pasokan.
Pasokan yang dimaksud dalam hal ini adalah ketersediaan dan keterjangkauan
ikan dan produk olahan ikan di pasaran. Ketersediaan ikan meliputi terjaminnya
jenis ikan yang ada di pasaran baik ikan dari hasil tangkapan maupun ikan hasil
budidaya, sedangkan keterjangkauan meliputi keterjangkauan ikan terhadap
konsumen baik dalam hal harga maupun tempat.
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam menjaga ketersediaan ikan
diantaranya dengan meningkatkan produksi budidaya untuk menutup kekurangan
produksi penangkapan. Hal ini dilakukan karena semakin lama kecenderungan
hasil tangkapan mengalami penurunan, sehingga untuk menjaga pasokan ikan
diperlukan ikan dari hasil budidaya sebagai substitusi atas ikan hasil tangkapan.
Dalam menjaga ketersediaan ikan tersebut diperlukan dukungan fasilitas
yang mampu mendekatkan ikan hingga terjangkau oleh konsumen. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 61.70% responden membeli ikan di tempat yang
68
dekat dengan tempat tinggal mereka yakni pedagang keliling (Tabel 15). Selain
itu, responden juga telah menyadari mutu dan gizi ikan yang dibelinya,
sebagaimana pada Tabel 18 yang menunjukkan bahwa kandungan gizi menjadi
faktor yang utama yang dipertimbangkan responden dalam membeli ikan. Dengan
demikian, sarana dan perlatan rantai dingin diperlukan dalam mendekatkan ikan
kepada masyarakat. Widiastuti (2008) mengkonfirmasi hal yang sama bahwa
untuk mempertahankan mutu ikan diperlukan penerapan pengawasan dan
penanganan rantai dingin mulai dari ikan ditangkap hingga ke tangan konsumen.
Penggunaan peti es (coolbox) dengan perbandingan es 1:1 dapat mempertahankan
suhu ikan tetap dingin sehingga mampu mempertahankan mutu ikan.
Jenis ikan laut yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam hal pasokan
di Kota Depok berdasarkan hasil penelitian adalah ikan kembung, tongkol, tuna,
bandeng, kakap dan udang. Sementara itu, ikan air tawar yang perlu diperhatikan
pasokannya adalah ikan lele, mas, gurame, mujahir dan patin.
Download