IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian yang dilakukan melibatkan responden yang berjumlah 120 orang yang telah diambil secara acak dan ditentukan berdasarkan rumus proporsi dengan jumlah sampel minimal 100 dengan penambahan 20%. Adapun rekapitulasi keseluruhan data yang diperoleh dari 120 responden tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa parameter uji yang meliputi karakteristik responden, perilaku konsumsi, perilaku responden dalam memilih ikan, preferensi dan persepsi responden memiliki nilai di atas 0.195 (r-tabel untuk n=100 dan α=0.05 adalah 0.195). Hal ini menunjukkan bahwa instrument yang digunakan dalam penelitian adalah reliable. Adapun hasil uji reliabilitas dapat dilihat pada Lampiran 3. 4.1 Karakteristik Responden Rekapitulasi karakteristik responden secara umum yang meliputi jenis kelamin, usia, pekerjaan, besar pengeluaran rumah tangga per bulan, jumlah anggota keluarga dan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Lampiran 4. 4.1.1 Jenis Kelamin Jumlah perempuan yang terpilih sebagai responden dalam penelitian ini berjumlah 99 orang atau 82.50% dan laki-laki berjumlah 21 orang atau 17.50% (Gambar 6). Jumlah perempuan yang menjadi sampel dalam penelitian ini lebih banyak dibandingkan dengan sampel laki-laki karena pada saat dilakukan penelitian ke rumah responden, yang dijumpai sebagian besar adalah perempuan. Hal ini tentunya sejalan dengan harapan penelitian untuk mendapatkan responden ibu rumah tangga sebagai penentu menu masakan di rumah, sehingga data yang diperoleh mencerminkan konsumsi ikan dalam suatu keluarga. 4.1.2 Usia Berdasarkan karakteristik usia, presentase responden yang paling tinggi dalam penelitian ini berusia antara 26 – 35 tahun yaitu sebesar 46.70% yang diikuti oleh responden berusia 36 – 45 tahun dan di atas 45 tahun masing-masing sebesar 30.80% dan 18.30%. Sementara itu, responden dengan usia antara 20-25 tahun hanya memiliki persentase yang rendah yakni sebesar 4.20%. Dominasi 28 responden pada usia 26 – 35 tahun ini menunjukkan bahwa responden yang diperoleh sebagai sampel dalam penelitian menempati porsi optimal. Proporsi usia responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7. 4.1.3 Pekerjaan Kegiatan responden sebagian besar berprofesi sebagai ibu rumah tangga yakni sebanyak 60 orang atau 50% dari total sampel. Sementara itu, terdapat 1 orang atau 0.80% sebagai pensiunan dan sisanya sebesar 49.20% merupakan responden yang berstatus sebagai pekerja baik pekerja formal maupun informal sebagai buruh. Dari 49.20% tersebut sebesar 25% berprofesi sebagai pegawai swasta dan sebesar 14.20% berprofesi sebagai wiraswasta. Sementara itu, responden yang bekerja sebagai buruh berjumlah 4 orang atau 3.30%. proporsi pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 8. >45 tahun 18,3% L 17,5% 20-25 tahun 4,2% 36-45 tahun 30,8% 26-35 tahun 46,7% P 82,5% Gambar 6. Proporsi jenis kelamin responden (n=120) Gambar 7. Proporsi usia responden (n=120) 4.1.4 Pengeluaran rumah tangga per bulan Status ekonomi yang tercermin dari pengeluaran, menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengeluaran antara 1 – 2 juta per bulan, yaitu sebesar 33.30%. Namun persentase ini tidak berbeda jauh dengan responden yang memiliki pengeluaran di atas 3 juta dan dibawah 1 juta yakni masing-masing sebesar 28.40% dan 27.50%. Selebihnya atau sebesar 10.80% memiliki pengeluaran antara 2.1 – 3 juta. Meratanya pengeluaran pada setiap level menunjukkan bahwa sampel yang diperoleh pada penelitian ini cukup heterogen. Proporsi pengeluaran rumah tangga per bulan dapat dilihat pada Gambar 9. 29 PNS/ TNI 6,7% Pensiun an 0,8% Ibu rumah tangga 50,0% Pegawai swasta 25,0% >3 juta 28,3% 2.1 3juta 10,8% Wiraswasta 14,2% Buruh 3,3% Gambar 8. Proporsi pekerjaan responden (n=120) <1juta 27,5% 1-2 juta 33,3% Gambar 9. Proporsi pengeluaran rumah tangga per bulan (n=120) 4.1.5 Tingkat Pendidikan Pada Gambar 11 terlihat bahwa tingkat pendidikan responden didominasi oleh lulusan universitas sebesar 35% dan diikuti oleh responden yang berpendidikan SD sebesar 25%. Sementara itu responden yang berpendidikan SLTA dan SLTP masing-masing adalah sebesar 21.70% dan 18.30%. Tingkat pendidikan responden tersebut hampir merata untuk setiap jenjang dan menandakan heterogenitas sampel yang diperoleh. >5 orang 15,8% 1-2 orang 5,8% Univers itas 35% SLTA 21,7% SD 25% SLTP 18,3% 3-5 orang 78,3% Gambar 10. Proporsi jumlah anggota Gambar 11. Proporsi tingkat pendidikan keluarga responden (n=120) responden (n=120) 4.2 Pola Konsumsi Ikan Konsumsi ikan, sebagaimana teori konsumsi lainnya dipengaruhi oleh berbagai variabel seperti tingkat harga, ketersediaan dan harga barang pengganti atau pelengkapnya dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat. Harga ikan yang lebih murah dari harga daging sapi misalnya, dianggap akan mendorong tingkat 30 konsumsi ikan. Namun demikian, perubahan harga tersebut bukanlah satu-satunya faktor penentu jumlah konsumsi, tetapi juga dipengaruhi oleh preferensi, selera dan atribut sosial lainnya. Oleh karena itu perlu dikenali karakteristik sosial ekonomi yang diduga mempengaruhi permintaan konsumsi ikan. Penelitian yang dilakukan kali ini salah satunya bertujuan untuk mengenali pola konsumsi ikan masyarakat khususnya di Kota Depok. Penelitian yang dilakukan terhadap 120 responden di Kota Depok menunjukkan bahwa hampir semua responden yakni 99.20% pernah mengonsumsi ikan dalam tiga bulan terakhir. Hanya ada 1 responden atau 0.80% dari total sampel yang menyatakan tidak makan ikan karena alergi. Namun demikian, responden yang berperan sebagai penentu menu masakan di rumahnya, tidak membatasi keluarganya untuk mengonsumsi ikan. 4.2.1 Pola konsumsi ikan menurut frekuensi konsumsi Kebiasaan responden dalam mengonsumsi ikan dapat dilihat pada Gambar 12. Sebanyak 78 responden (65%) mengonsumsi ikan di atas 11 kali dalam sebulan, 26 responden (21.67%) mengonsumsi ikan sebanyak 5 – 11 kali per bulan dan 16 responden (13.33%) mengonsumsi ikan di bawah 5 kali dalam sebulan. Artinya lebih dari separuh responden ternyata mengonsumsi ikan lebih dari 3 kali dalam seminggu. < 5 kali 13,33% > 11 kali 65% 5-11 kali 21,67% Gambar 12. Proporsi responden menurut frekuensi makan ikan per bulan (n=120) Berdasarkan frekuensi makan ikan yang dikelompokkan kedalam tiga kelompok yakni rendah (1-4 kali per bulan), sedang (5-11 kali per bulan) dan tinggi (≥ 12 kali per bulan), maka sebagian besar responden (65%) termasuk pada kelompok dengan tingkat frekuensi konsumsi ikan yang tinggi. Frekuensi makan 31 ikan responden per bulan berdasarkan karakteristik demografi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Frekuensi makan ikan per bulan menurut karakteristik demografi (n=120) Karakteristik Responden Frekuensi makan ikan Rendah Sedang Tinggi Jml % Jml % Jml % 1 4.76 6 28.57 14 66.67 15 15.15 20 20.20 64 64.65 Jml 21 99 % 100 100 60.00 55.36 67.57 86.36 5 56 37 22 100 100 100 100 20 27 5 26 60.61 67.50 38.46 76.47 33 40 13 34 100 100 100 100 28.57 22.34 15.79 4 60 14 57.14 63.83 73.68 7 94 19 100 100 100 4 4 7 11 13.33 18.18 26.92 26.19 24 16 13 25 80.00 72.73 50.00 59.52 30 22 26 42 100 100 100 100 26 21.67 78 65 120 100 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Usia <26 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun >45 tahun 0 8 7 1 14.29 18.92 4.55 2 17 5 2 40.00 30.36 13.51 9.09 3 31 25 19 Pengeluaran < 1 juta 1 - 2 juta 2,1 - 3 juta > 3 juta 5 4 2 5 15.15 10.00 15.38 14.71 8 9 6 3 24.24 22.50 46.15 8.82 Jml anggota keluarga 1-2 orang 3-5 orang > 5 orang 1 13 2 14.29 13.83 10.53 2 21 3 Pendidikan Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Universitas 2 2 6 6 6.67 9.09 23.08 14.29 16 13.33 Total Total Tabel 5 menunjukkan bahwa responden laki-laki maupun perempuan menyukai ikan dengan tingkat konsumsi tinggi di atas 3 kali dalam seminggu. Namun demikian, responden laki-laki lebih sering mengonsumsi ikan dibandingkan dengan perempuan. Sebanyak 20 orang dari 21 responden laki-laki (95.23%) mengonsumsi ikan dengan frekuensi sedang dan tinggi dan hanya 4.76% yang mengonsumsi ikan dengan frekuensi yang rendah. Sementara itu, responden perempuan yang mengonsumsi ikan dengan frekuensi sedang dan tinggi adalah 84 orang dari 99 responden (84.85%). Dapat dikatakan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan terhadap ikan, responden laki-laki memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi dari pada responden perempuan. 32 Jika dilihat dari karakteristik usia, terdapat keterkaitan antara usia dengan frekuensi makan ikan. Hal ini ditunjukkan pada nilai koefisien kontingensi dari hasil uji Chi-Square sebesar 0.098 sebagaimana pada Tabel 6 (hasil uji lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5). Penduduk golongan usia muda saat ini relatif memiliki pola konsumsi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Kecenderungan anak muda untuk mengonsumsi fast food dengan variasi rasa dan warna cenderung menarik anak-anak muda. Sementara bagi generasi sebelumnya, hidangan ikan segar atau makanan tradisional masih tetap menjadi pilihan yang berselera. Tingkat kesadaran akan asupan gizi yang aman juga menjadi pertimbangan dipilihnya ikan sebagai sumber protein yang dikonsumsi pada kelompok usia yang lebih tinggi (Gambar 13). Tabel 6. Hasil uji Chi-Square antara karakterisik responden dengan frekuensi makan ikan Nilai Koefisien Kontingensi 0.127 0.286 0.240 0.265 0.087 120 Parameter 67,57 9,09 Rendah 4,55 13,51 58,93 18,92 33,93 60 30 0.373 0.098* 0.292 0.171 0.922 86,36 90 14,29 % Jumlah responden Jenis Kelamin Usia Pendidikan Pengeluaran Jumlah anggota keluarga N * Signifikan pada level 0.1 Signifikansi Sedang Tinggi 0 20-35 tahun 36-45 tahun > 45 tahun Usia Gambar 13. Frekuensi makan ikan berdasarkan usia (n=120) Dari hasil analisis korespondensi (Gambar 14) terhadap faktor usia sebagai faktor yang berpengaruh signifikan (Tabel 6), diketahui bahwa kelompok usia antara 20-35 tahun lebih dekat kepada frekuensi makan ikan kategori sedang (511 kali per bulan), sedangkan untuk kelompok usia 36-45 tahun menempati porsi pada kedua kategori frekuensi yakni tinggi (di atas 11 kali per bulan) dan kategori 33 frekuensi rendah (di bawah 5 kali per bulan). Sementara itu, kelompok usia di atas 45 tahun lebih dekat kepada tingkat konsumsi ikan tinggi (di atas 11 kali per bulan). Jika dilihat dari tingkat pengeluaran per bulan, diketahui adanya peningkatan jumlah responden dengan frekuensi makan ikan tinggi, yakni dari 60.60% pada tingkat pengeluaran di bawah 1 juta rupiah meningkat menjadi 67.50% pada tingkat pengeluaran antara 1–2 juta rupiah. Namun pada tingkat pendapatan antara 2.1-3 rupiah juta terjadi penurunan persentase jumlah responden dengan tingkat konsumsi ikan yang tinggi. Kenaikan persentase kembali terjadi pada golongan pengeluaran di atas 3 juta rupiah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil uji Chi-Square pada Tabel 6 menunjukkan keterkaitan yang lemah antara tingkat pengeluaran dengan frekuensi makan ikan, dengan nilai signifikansi sebesar 0.171. 1.0 frekuensi makan ikan usia >45 tahun 0.5 Dimensi 2 "sedang 5-11 kali" "tinggi >11 kali" 20-35 tahun 0.0 36-45 tahun -0.5 'rendah < 5 kali' -1.0 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 Dimensi 1 % Jumlah responden Gambar 14. Hasil analisis korespondensi antara usia dan frekuensi makan ikan (n=120) 80 76,50 67,50 60,60 40 46,20 38,50 24,20 15,2 22,50 10,00 15,4 14,70 8,80 0 < 1 juta 1-2 juta 2,1-3 juta Rendah (<5 kali) Sedang (5-11 kali) Tinggi (> 11 kali) > 3 juta Tingkat pengeluaran Gambar 15. Tingkat konsumsi ikan responden berdasarkan tingkat pengeluaran per bulan (n=120) 34 Jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap frekuensi makan ikan responden, dengan nilai signifikansi pada uji chi-square sebesar 0.933 sebagaimana pada Tabel 6. Namun demikian, frekuensi makan ikan dengan kategori sering (di atas 11 kali) mengalami peningkatan dari 57.10% pada responden dengan jumlah anggota keluarga antara 1-2 orang menjadi 63.80% pada jumlah keluarga antara 3-5 orang dan meningkat kembali pada jumlah anggota keluarga di atas 5 orang sebesar 73.70%. Frekuensi makan ikan menurut % Jumlah responden jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Gambar 16. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 < 5 kali 5-11 kali >11 kali 1-2 orang 3-5 orang > 5 orang Jumlah anggota keluarga Gambar 16. Frekuensi makan ikan menurut jumlah anggota keluarga (n=120) Pola konsumsi ikan menurut tingkat pendidikan menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan penurunan tingkat konsumsi ikan dengan frekuensi di atas 11 kali per bulan dari responden yang berpendidikan sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Peningkatan yang terjadi disini adalah tingkat konsumsi dengan frekuensi di bawah 12 kali per bulan. Namun pola ini mulai berubah pada responden dengan tingkat pendidikan universitas. Pada tingkat pendidikan ini mulai menunjukkan peningkatan konsumsi ikan pada frekuensi di atas 11 kali per bulan. Pola konsumsi makan ikan menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 17. Jika dilihat dari minat responden dalam meningkatkan frekuensi makan ikan, sebagian besar responden menyatakan masih berminat meningkatkan konsumsi ikan dalam keluarganya. Sebanyak 90% responden berminat untuk meningkatkan konsumsi ikan, sebagaimana pada Tabel 7. Alasan responden adalah seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa kandungan gizi seperti berprotein tinggi, rendah kolesterol dan kandungan omega 3 yang terdapat di 35 dalam tubuh ikan menjadi faktor pertimbangan utama. Sementara itu, 7.50% responden menyatakan tidak berminat meningkatkan konsumsi ikan karena mengalami kejenuhan terhadap ikan, dan 2.50% menyatakan abstain karena faktor ekonomi, yang berarti konsumsi ikan akan ditingkatkan jika keadaan perekonomiannya mampu menjangkau untuk membeli ikan. Dengan kata lain, responden akan meningkatkan konsumsi ikan dalam keluarganya jika harga ikan terjangkau oleh perekonomian keluarganya. % Jumlah 90 responden 60 30 0 SD SMP < 5 kali SMA 5-11 kali Universitas Tingkat pendidikan >11 kali Gambar 17. Frekuensi makan ikan menurut tingkat pendidikan (n=120) Tabel 7. Minat responden dalam meningkatkan konsumsi ikan (n=120) No 1 2 3 4.2.2 Minat responden Rendah (< 5 kali) Tingkat Konsumsi Ikan Sedang Tinggi (5-11 kali) ( >11 kali) Total Berminat Tidak berminat Tidak tahu 87.5 88.46 91.03 90 12.5 7.69 6.41 7.50 0 3.85 2.56 2.50 Total 100 100 100 100 Pola konsumsi ikan menurut jenis ikan yang disukai responden Pola konsumsi terhadap ikan dalam bentuk segar dan olahan secara umum diketahui bahwa ikan segar air laut dan ikan segar air tawar masih menjadi pilihan sebagian besar responden. Untuk jenis ikan air laut, sebanyak 65% responden lebih menyukai ikan laut dalam bentuk segar dan 34.17% responden menyukai olahan atau keduanya. Hal yang sama yang terjadi pada ikan air tawar bahwa 84.17% responden lebih meyukai ikan air tawar dalam bentuk segar dan 10% 36 responden menyukai keduanya. Secara lengkap bentuk ikan yang disukai responden dapat dilihat pada Tabel 8. Jika dilihat dari karakteristik jenis kelamin, diketahui bahwa ikan segar baik ikan air laut maupun ikan air tawar lebih disukai oleh responden laki-laki (89.95%) maupun responden perempuan (77.16%). Sementara itu, hanya sebagian kecil responden yang menyukai jenis ikan segar dan olahan, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 18. Tabel 8. Bentuk ikan yang disukai responden (n=120) Jenis Ikan Hanya Segar % Jumlah responden Ikan Air Laut Jumlah % Ikan Air Tawar Jumlah % Bentuk Ikan yang Disukai Hanya Tidak Suka Keduanya Olahan Keduanya Total 78 65.00 1 0.83 40 33.33 1 0.83 120 100 101 84.17 0 0.00 12 10.00 7 5.83 120 100 80,95 77,16 80 60 40 22,84 19,05 20 0 Laki-laki Perempuan Jenis Kelamin Suka ikan utuh Suka ikan utuh dan olahan Gambar 18. Bentuk ikan yang disukai responden menurut jenis kelamin (n=120) Berdasarkan karakteristik usia, terjadi perubahan pola konsumsi ikan antara ikan segar dan olahan. Kesukaan terhadap ikan segar dan olahan meningkat dari 10% pada kelompok usia antara 20-25 menjadi 23.64% pada kelompok usia 26-35 tahun. Hal ini terus mengalami kenaikan pada kelompok usia 36-45 tahun menjadi 26.76%. Namun kesukaan terhadap ikan segar dan olahan ini kembali menurun pada kelompok usia di atas 45 tahun menjadi 17.07%. Secara lengkap mengenai hal ini dapat dilihat pada Gambar 19. 37 Sementara itu, pola konsumsi ikan segar pada responden dengan tingkat pengeluaran di atas 3 juta rupiah telah mengalami pergesaran kedalam bentuk segar dan olahan. Pada Gambar 20 diketahui terdapat pergeseran pola secara umum pada tingkatan per bulan yakni semakin tinggi pengeluaran maka kesukaan terhadap ikan olahan (dengan tidak meninggalkan ikan segar) mulai mengalami peningkatan kecuali yang terjadi pada golongan kelompok dengan tingkat pengeluaran antara 2.1-3 juta rupiah. % Jumlah responden 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 90 82,93 76,36 73,24 26,76 23,64 17,07 10 <26 26-35 36-45 >45 Usia responden Suka ikan utuh Suka ikan utuh dan olahan Gambar 19. Bentuk ikan yang disukai responden menurut usia (n=120) % Jumlah 100 responden 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 82,54 87,50 76,62 30,88 23,38 17,46 < 1 juta 69,12 12,50 1-2 juta 2,1-3 juta > 3 juta Pengeluaran/ bulan Pengeluaran/ bulan Suka ikan utuh Suka ikan utuh dan olahan Gambar 20. Bentuk ikan yang disukai responden menurut pengeluaran per bulan (n=120) Produk olahan ikan disukai pada semua kelompok menurut jumlah anggota keluarga meskipun dalam persentase yang kecil. Persentase paling tinggi ditunjukkan pada kelompok dengan jumlah anggota keluarga antara 3-5 orang. 38 Dengan kata lain, ikan segar merupakan jenis ikan yang disukai pada semua kelompok ini. Bentuk ikan yang disukai responden menurut jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Gambar 21. Dalam hal konsumsi produk olahan ikan, terdapat pola yang menunjukkan peningkatan konsumsi ikan dan produk olahannya pada responden yang memiliki tingkat pendidikan universitas. Pada tingkatan ini, responden sudah mulai menyukai produk olahan meskipun belum meninggalkan konsumsi ikan segar. Secara jelas mengenai pola konsumsi ikan tersebut dapat dilihat pada Gambar 22. % Jumlah responden 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 85,7 83,33 75,27 24,73 16,67 14,3 1-2 orang 3-5 orang suka ikan utuh Jumlah anggota keluarga > 5 orang suka ikan utuh & olahan Gambar 21. Bentuk ikan yang disukai responden menurut jumlah anggota keluarga (n=120) % Jumlah responden 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 78,85 77,27 71,67 21,67 6,67 Tamat SD suka ikan utuh/segar 72,62 27,38 18,18 4,55 Tamat SMP 17,31 3,85 Tamat SMA suka ikan utuh & olahan Universitas Tingkat pendidikan tidak suka Gambar 22. Persentase kesukaan responden terhadap ikan dan produk olahannya menurut tingkat pendidikan (n=120) Dari bentuk ikan olahan yang ada, ikan asin adalah olahan yang paling disukai responden. Persentase responden yang memilih ikan asin sebagai olahan 39 kesukaannya mencapai 55%, sedangkan olahan ikan yang lain memiliki persentase yang cukup kecil. Tingkat kesukaan responden terhadap ikan olahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Tingkat kesukaan responden terhadap ikan olahan (n=120) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis olahan ikan Jumlah Ikan asin Ikan pindang Ikan kaleng Bakso ikan Ikan asap/panggang Nugget ikan Terasi Sosis ikan Tidak suka olahan Total 66 12 10 10 8 7 4 1 2 120 % 55.00 10.00 8.33 8.33 6.67 5.83 3.33 0.83 1.67 100 Tabel 10 menunjukkan persentase tingkat kesukaan responden terhadap jenis ikan olahan menurut usia. Responden yang berusia tua memiliki tingkat kesukaan yang tinggi terhadap ikan asin. Sementara itu, responden yang berusia muda (20-25 tahun) selera terhadap ikan asin jauh lebih rendah dibandingkan kelompok usia tua (diatas 45 tahun) dan lebih menyukai ikan pindang. Sementara responden yang berusia diatas 45 tahun lebih dari 70% menyukai ikan asin. Tabel 10. Persentase responden mengenai jenis ikan olahan yang disukai menurut usia (n=120) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis Ikan Olahan Ikan asin Ikan pindang Ikan asap/ panggang Ikan kaleng Bakso Sosis Nugget Terasi Tidak suka Total <26 20.00 40.00 0.00 0.00 20.00 0.00 0.00 0.00 20.00 100 Usia 26-35 36-45 50.00 16.07 1.79 10.71 5.36 1.79 8.93 5.36 0.00 100 56.76 0.00 13.51 10.81 13.51 0.00 2.70 0.00 2.70 100 >45 72.73 4.55 9.09 0.00 4.55 0.00 4.55 4.55 0.00 100 Pola yang terjadi pada pengeluaran untuk ikan asin menunjukkan perilaku sebagai barang inferior, yaitu terjadi penurunan tingkat konsumsi ikan asin pada 40 golongan pengeluaran yang lebih tinggi. Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa terjadi penurunan presentase kesukaan terhadap ikan asin dari 72.73% pada golongan pengeluaran di bawah 1 juta rupiah turun menjadi 32.35% pada golongan pengeluaran di atas 3 juta rupiah. Pengeluaran untuk bakso, ikan kaleng dan nugget menunjukkan sifat sebagai barang normal, yaitu kenaikan presentase tingkat kesukaan responden meningkat seiring dengan peningkatan golongan pengeluaran. Tabel 11. Persentase responden mengenai jenis ikan olahan yang disukai menurut pengeluaran per bulan (n=120) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis Ikan Olahan Pengeluaran/bulan 1 - 2 juta 2,1 - 3 juta 72.73 60.00 53.85 32.35 Ikan pindang 9.09 7.50 23.08 8.82 Bakso 6.06 0 15.38 17.65 Terasi 6.06 5.00 0 0 Ikan kaleng 3.03 5.00 0 20.59 Ikan asap/panggang 0 12.50 7.69 5.88 Sosis 0 2.50 0 0 Nugget 0 7.50 0 11.76 Tidak suka 3.03 0 0 2.94 Total 100 100 100 100 Ikan asin < 1 juta > 3 juta Pola konsumsi ikan olahan pada kelompok responden dengan jumlah anggota keluarga antara 3-5 orang menunjukkan tingkat kesukaan yang merata pada semua jenis olahan, sedangkan untuk kelompok responden dengan jumlah anggota keluarga antara 1-2 orang dan di atas 5 orang menunjukkan tingkat kesukaan pada beberapa jenis olahan saja. Pola konsumsi ikan asin menunjukkan kenaikan pada kelompok responden dengan jumlah anggota keluarga di atas 5 orang yaitu sebesar 78.95% memiliki prosentase tertinggi diantara kelompok yang lain. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 13 menunjukkan persentase tingkat kesukaan responden terhadap jenis ikan olahan menurut tingkat pendidikan. Ikan asin disukai hampir semua tingkatan pendidikan. Namun tingkat kesukaan tersebut mengalami penurunan seiring dengan semakin tinggi tingkat pendidikan. Untuk ikan kaleng dan bakso memiliki pola yang hampir sama yaitu disukai responden dengan tingkat pendidikan di atas SMA. Pada kelompok yang berpendidikan tinggi terlihat 41 kesukaan pada ikan olahan semakin lebih bervariasi dan hampir merata pada semua jenis olahan, termasuk bakso dan nugget ikan. Terasi sebagai produk ikan olahan yang tidak asing dalam masyarakat Indonesia dan dianggap penting bagi kelompok masyarakat tertentu, ternyata tidak begitu disukai responden. Temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMP yang menyukai terasi. Tabel 12. Persentase responden mengenai jenis ikan olahan yang disukai menurut jumlah anggota keluarga (n=120) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jenis Ikan Olahan Ikan asin Jml anggota keluarga 1-2 orang 3-5 orang '> 5 orang 57.14 50.00 78.95 Ikan pindang 0 11.70 5.26 Ikan kaleng 0 10.64 0 Bakso 0 10.64 0 Ikan asap/panggang 14.29 5.32 10.53 Nugget 14.29 5.32 5.26 Terasi 14.29 3.19 0 Sosis 0 1.06 0 Tidak suka 0 2.13 0 Total 100 100 100 Tabel 13. Persentase responden mengenai jenis ikan olahan yang disukai menurut tingkat pendidikan (n=120) Jenis Ikan Olahan Ikan asin Ikan pindang Ikan asap/ panggang Ikan kaleng Bakso Sosis Nugget Terasi Tidak suka Total SD 80.00 3.33 0.00 3.33 0.00 0.00 3.33 6.67 3.33 100 Pendidikan SLTP SLTA 68.18 13.64 4.55 0.00 9.09 0.00 0.00 4.55 0.00 100 46.15 7.69 3.85 15.38 11.54 3.85 7.69 0 3.85 100 Univ. 35.71 14.29 14.29 11.90 11.90 0.00 9.52 2.38 0.00 100 Dari bentuk ikan segar dan ikan olahan yang sukai responden di atas, jenis ikan air laut yang paling disukai responden dari hasil penelitian ini adalah ikan kembung. Sebanyak 39.17% responden menyukai ikan ini dan 17.50% responden 42 menyukai ikan tongkol atau tuna. Jenis ikan air laut yang menjadi favorit berikutnya adalah bendeng, kakap dan udang, dengan persentase masing-masing 16.67%, 10% dan 7.50%. Sementara itu, ikan kerapu, tengiri, kerang dan kuwe menjadi ikan yang kurang disukai. Jenis ikan yang disukai responden untuk ikan air tawar adalah ikan lele, dimana 50% responden menyukai ikan ini. Ikan mas, gurame, mujahir dan patin adalah ikan yang disukai responden setelah ikan lele, dengan persentase berturutturut adalah 22.50%; 10%; 8.33% dan 3.33%. Salah satu faktor yang mendorong responden untuk menyukai ikan tersebut adalah karena jenis ikan segar tersebut memang tidak asing lagi dan sangat mudah didapatkan di pasar. Jenis ikan yang disukai responden secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Presentase tingkat kesukaan responden terhadap jenis ikan segar (n=120) No 1 2 3 4 5 4.2.3 Jenis Ikan air laut % Kembung Tongkol/tuna Bandeng Kakap Udang 39.17 17.50 16.67 10 7.50 Ikan air tawar Jenis % Lele Mas Gurame Mujahir Patin 50 22.50 10 8.33 3.33 Pola konsumsi ikan berdasarkan pilihan tempat konsumsi Kegiatan mengolah ikan seringkali menjadi kendala dalam mengonsumsi ikan karena membutuhkan waktu yang lama. Dalam kehidupan modern yang berjalan cepat ini menuntut manusia untuk dapat memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. Waktu dianggap terlalu berharga hanya sekedar digunakan untuk mengolah atau memasak ikan. Hasil survei pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden cenderung mengonsumsi ikan di luar rumah. Sebagian besar responden (72.50%) lebih menyukai mengonsumsi ikan di luar rumah dan hanya 27.50% responden yang lebih suka makan di rumah. Proporsi pilihan tempat konsumsi dapat dilihat pada Gambar 23. Responden yang lebih menyukai makan ikan di rumah (27.50%) biasanya membeli ikan di dekat tempat tinggal mereka. Dalam hal ini pedagang keliling merupakan tempat favorit sebagian besar responden (61.70%). Selanjutnya tempat yang disukai setelah pedagang keliling adalah pasar tradisional (34.20%), 43 supermarket (3.30%) dan pasar khusus ikan (0.80%). Pilihan tempat membeli ikan oleh responden dapat dilihat pada Gambar 24, sedangkan alasan responden memilih tempat tersebut dapat dilihat pada Tabel 15. Makan di rumah 27,5% Makan di luar rumah 72,5% Gambar 23. Proporsi pilihan tempat konsumsi ikan (n=120) Supermarket 3,3% Pasar khusus ikan 1% Pasar tradisional 34,2% Pedagang keliling 61,7% Gambar 24. Proporsi pilihan tempat membeli ikan (n=120) Tabel 15. Alasan responden dalam memilih tempat membeli ikan (n=120) Alasan membeli ikan di tempat yang disukai Lokasinya dekat Harga murah Mutu ikan baik Jenis ikannya banyak Ikannya bersih Tempatnya nyaman Pelayanan cepat Total Pedagang keliling Pasar tradisional Supermarket Jml Jml Jml % % responden responden responden 61 82.43 11 26.83 1 1 1.35 13 31.71 4 5.41 9 21.95 1 2 2.70 7 17.07 6 8.11 74 100 % Pasar khusus ikan Jml % responden 25 25 1 2.44 1 1 25 25 41 100 4 100 1 100 1 100 44 Sementara itu, dari 72.50% responden yang lebih suka mengonsumsi ikan di luar rumah tersebut, sebagian besar (33.33%) beralasan karena makan bersama keluarga. Alasan berikutnya adalah makan ditempat kerja (29.89%), karena alasan kepraktisan (17.24%) dan alasan lainnya yang dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Alasan responden mengonsumsi ikan di luar rumah (n=120) No 1 2 3 4 5 6 7 8 Alasan mengonsumsi ikan di luar rumah Makan bersama keluarga Makan di kantor/hari kerja Praktis Lebih bervariasi Lebih enak Rekreasi Lebih segar Diajak teman Total Jumlah responden Persentase 29 33.33 26 29.89 15 17.24 5 5.75 5 5.75 5 5.75 1 1.15 1 1.15 87 100 Terdapat perilaku yang sama dalam mengonsumsi ikan antara responden laki-laki dan perempuan. Pada Gambar 25 menunjukkan bahwa hampir semua responden laki-laki (85.71%) suka mengonsumsi ikan di luar rumah. Sama halnya dengan responden perempuan yang mengalami kecenderungan suka makan ikan di luar rumah meskipun prosentasenya lebih rendah jika dibanding dengan responden laki-laki. % Jumlah responden 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 85,71 69,70 30,30 14,29 Laki-laki Makan di rumah Jenis Kelamin Perempuan Makan di luar rumah Gambar 25. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut jenis kelamin (n=120) Pada penelitian ini, 95.24% responden laki-laki adalah pekerja, sehingga alasan mereka lebih suka mengonsumsi ikan di luar rumah adalah makan di tempat kerja. Alasan lain yang menjadikan mereka suka mengonsumsi ikan di luar 45 rumah adalah makan bersama keluarga dan makanan lebih bervariasi. Sementara itu, responden perempuan mempunyai alasan yang lebih banyak jika dia harus mengonsumsi ikan di luar rumah. Alasan responden dalam mengonsumsi ikan di luar rumah dapat dilihat pada Gambar 26. Makan di kantor 50 21,43 Lebih enak 1,43 7,14 10 Lebih bervariasi 4,29 5,71 11,11 5,56 30 20 Makan bersama keluarga 25,71 32,86 40 33,33 % Jumlah responden 50 60 Praktis Lebih segar Diajak teman 0 Laki-laki Perempuan Rekreasi Jenis Kelamin Gambar 26. Alasan responden mengonsumsi ikan di luar rumah menurut jenis kelamin (n=120) Gambar 27 memperlihatkan bahwa sebagian responden cenderung suka mengonsumsi ikan di luar rumah pada masing-masing kelompok usia. Hasil uji chi square menunjukkan keterkaitan yang lemah antara usia dengan kesukaan mengonsumsi ikan di luar rumah, dengan nilai koefisien kontingensi sebesar 0.751. % Jumlah responden 80 90 73,20 75,70 63,60 60 36,40 30 20 26,80 24,30 Usia 0 <26 26-35 Makan di rumah 36-45 >45 Makan di luar rumah Gambar 27. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut usia (n=120) Alasan responden menyukai makan ikan di luar rumah berbeda pada setiap kelompok usia. Pada kelompok usia 20-25 tahun dan kelompok usia antara 35-45 tahun mempunyai alasan makan di luar rumah karena makan bersama keluarga, 46 sedangkan pada kelompok usia antara 26-35 tahun menyukai makan ikan di luar rumah pada saat di tempat kerja. Sementara itu, pada kelompok usia di atas 45 tahun menyukai mengonsumsi ikan di luar rumah karena alasan kepraktisan, 14,29 14,29 21,43 39,29 3,57 2,44 0,00 2,44 9,76 14,29 14,29 25 25,00 25 40 35 30 25 20 15 10 5 0 39,02 34,15 50,00 % Jumlah 50 responden 45 42,86 sebagaimana pada Gambar 28. Usia 20-26 26-35 Makan di kantor Makan bersama keluarga 36-45 Lebih bervariasi Praktis >45 Lebih enak Gambar 28. Alasan responden mengonsumsi ikan di luar rumah menurut usia (n=120) Kesukaan responden mengonsumsi ikan di luar rumah menurut pengeluaran per bulan menunjukkan pola yang meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pengeluaran per bulan. Bahkan semua responden dengan tingkat pengeluaran antara 2.1-3 juta rupiah menyukai makan ikan di luar rumah. Berbagai alasan responden dalam mengonsumsi ikan di luar rumah adalah karena makan di kantor, makan bersama keluarga dan karena kepraktisan. Sementara itu, responden dengan tingkat pengeluaran di bawah 1 juta rupiah lebih menyukai makan ikan di rumah dari pada makan ikan di luar rumah. Kesukaan responden mengonsumsi ikan di rumah dan di luar rumah selengkapnya dapat dilihat pada % Jumlah responden Gambar 29. 120 100,00 100 80 60 91,20 67,50 51,50 48,50 40 32,50 8,80 20 0 < 1 juta 1-2 juta 2,1-3 juta > 3 juta Pengeluaran / bln Makan di rumah Makan di luar rumah Gambar 29. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut pengeluaran per bulan (n=120) 47 Gambar 30 memperlihatkan meningkatnya kesukaan responden dalam mengonsumsi ikan di luar rumah seiring dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga. Pada jumlah anggota keluarga antara 1-2 orang, 71.40% responden menyukai makan ikan di luar rumah. Hal ini mengalami kenaikan hingga mencapai angka 73.70% pada jumlah anggota keluarga di atas 5. Hasil uji ChiSquare menunjukkan keterkaitan yang lemah antara jumlah anggota keluarga dengan tingkat kesukaan mengonsumsi ikan di luar rumah, dengan nilai koefisien kontingensi sebesar 0.012. 73,70 72,30 71,40 80 % Jumlah responden 60 40 28,60 27,70 26,30 20 0 1-2 orang 3-5 orang Jumlah anggota keluarga Makan di rumah >5 orang Makan di luar rumah Gambar 30. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut jumlah anggota keluarga (n=120) Responden dengan tingkat pendidikan SD lebih menyukai mengonsumsi ikan di rumah daripada di luar rumah. Pola ini cenderung berubah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin lebih menyukai mengonsumsi ikan di luar rumah. Pada Gambar 31 terlihat bahwa 92.90% responden dengan tingkat pendidikan universitas lebih % Jumlah responden menyukai mengonsumsi ikan di luar rumah. 120 60 92,90 84,60 90 56,70 43,30 59,10 40,90 15,40 30 7,10 0 SD SMP SMA Universitas Tingkat pendidikan Makan di rumah Makan di luar rumah Gambar 31. Pilihan tempat bagi responden dalam mengonsumsi ikan menurut tingkat pendidikan (n=120) 48 4.2.4 Pola konsumsi ikan berdasarkan sumber protein yang disukai Dalam memilih sumber protein hewani yang dikonsumsi, sebagian besar responden (52.50%) lebih menyukai ikan daripada daging unggas dan daging merah. Responden yang lebih menyukai daging unggas (ayam, bebek dan burung) adalah sebesar 43.30% sedangkan daging merah kurang disukai responden dan hanya 4.20% responden yang menyukai daging merah, seperti daging sapi dan kambing, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Sumber protein hewani yang paling disukai responden (n=120) No 1 2 3 Sumber protein hewani Ikan Daging unggas Daging merah Total Jumlah responden 63 52 5 120 Persen 52.50 43.30 4.20 100.00 Sebagian besar responden laki-laki (71.43%) lebih menyukai ikan daripada daging unggas dan daging merah, sedangkan responden perempuan menyukai ikan dan daging unggas dengan proporsi yang hampir sama, yakni 48.48% untuk ikan dan 46.47% untuk daging unggas (Gambar 32). Sementara itu, daging merah kurang disukai oleh responden laki-laki maupun perempuan. Pada kelompok usia >45 tahun, tingkat kesukaan terhadap sumber protein mempunyai proporsi yang sama antara ikan dan daging unggas. Sementara itu, pada kelompok usia di bawah 45 tahun lebih menyukai ikan dibanding daging unggas dan daging merah. Secara lengkap tentang sumber protein yang disukai % Jumlah responden responden dapat dilihat pada Gambar 33. 80 60 40 daging unggas 20 ikan daging merah 0 Laki-laki Perempuan Jenis Kelamin Gambar 32. Sumber protein hewani yang paling disukai responden menurut jenis kelamin (n=120) 49 % Jumlah responden 100 80 60 40 20 0 <26 26-35 daging unggas 36-45 >45 Usia (tahun) ikan daging merah Gambar 33. Persentase kesukaan responden terhadap sumber protein hewani menurut usia (n=120) Pilihan ikan sebagai sumber protein hewani yang dikonsumsi menunjukkan pola yang meningkat seiring dengan semakin besarnya tingkat pengeluaran per bulan. Gambar 34 menunjukkan peningkatan dari 42.40% pada pengeluaran di bawah 1 juta rupiah menjadi 50% pada tingkat pengeluaran antara 1-2 juta rupiah dan terus meningkat hingga 61.80% pada tingkat pengeluaran di % Jumlah responden atas 3 juta rupiah. 80 60 40 20 0 < 1 juta 1-2 juta 2,1-3 juta > 3 juta Pengeluaran/bulan daging unggas ikan daging merah Gambar 34. Sumber protein hewani yang paling disukai responden menurut tingkat pengeluaran per bulan (n=120) Kelompok dengan jumlah anggota keluarga antara 3-5 orang, lebih menyukai ikan dibandingkan dengan kelompok yang lain dengan persentase sebesar 56.40%. Sementara itu pada kelompok lainnya lebih memilih daging unggas dibanding dengan ikan dan daging merah. Pilihan sumber protein hewani yang disukai responden menurut jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Gambar 35. % Jumlah responden 50 60 50 40 30 20 10 0 1-2 orang 3-5 orang > 5 orang Jml anggota keluarga daging unggas ikan daging merah Gambar 35. Sumber protein hewani yang paling disukai responden menurut jumlah anggota keluarga (n=120) Kelompok responden dengan tingkat pendidikan SD dan universitas lebih menyukai ikan dibanding dengan daging unggas dan daging merah. Sementara itu, daging unggas menempati proporsi yang sama dengan ikan pada kelompok dengan tingkat pendidikan SMP. Hal yang berbeda terjadi pada kelompok responden dengan tingkat pendidikan SMA, yakni lebih menyukai daging unggas dari pada ikan dan daging merah. Sumber protein hewani yang disukai responden % Jumlah responden menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 36. 70 60 50 40 30 20 10 0 SD SMP SMA Tingkat pendidikan daging unggas ikan Universitas daging merah Gambar 36. Sumber protein hewani yang paling disukai responden menurut tingkat pendidikan (n=120) Dalam memilih sumber protein tersebut, sebagian besar responden (62.50%) mengonsumsi ikan dikarenakan mereka menyadari bahwa kandungan gizi di dalam ikan lebih tinggi atau lebih baik dibandingkan dengan makanan yang berasal dari hewan lainnya seperti daging unggas, sapi dan sejenisnya. Hal yang sama ditunjukkan oleh penelitian Harlin (2008) bahwa sebagian besar responden 51 beralasan bahwa kebiasaan mereka dalam mengonsumsi ikan yang cukup tinggi dikarenakan mereka menyadari bahwa kandungan gizi di dalam ikan lebih tinggi/baik dibandingkan dengan makanan yang berasal dari hewan lainnya seperti daging unggas, sapi dan sejenisnya. Penelitian Suratno (2006) tentang pengembangan produk pangan fungsional mendapati bahwa sejalan dengan bertambahnya usia, terkait dengan semakin meningkatnya gangguan kesehatan yang diderita responden, maka responden semakin memperhatikan gizi dan menjadi semakin selektif dalam pola konsumsinya. Pola konsumsi selektif yang secara umum banyak dipilih oleh responden adalah pola konsumsi rendah lemak (>50%). Sementara itu, pada penelitian Palash dan Sabur (2004), faktor nilai gizi menempati urutan kelima yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli ikan di Kota Dhaka Banglades. Dalam penelitian tersebut, lima faktor utama yang mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli ikan adalah rasa, harga, ukuran, kenampakan dan nilai gizi ikan. Sementara itu, pada Tabel 18 diketahui bahwa faktor harga menempati urutan keenam sebagai faktor yang dipertimbangan responden dalam mengonsumsi ikan. Tabel 18. Faktor yang dipertimbangkan responden dalam mengonsumsi ikan No Faktor yang dipertimbangkan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kandungan gizi Pengaruh keluarga Kandungan gizi dan pengaruh keluarga Harga murah, kandungan gizi dan ketersediaan ikan Ketersediaan ikan dan pengaruh keluarga Harga murah Harga murah dan kandungan gizi Ketersediaan ikan Harga murah, kandungan gizi, ketersediaan ikan dan pengaruh keluarga Harga murah, kandungan gizi dan pengaruh keluarga Harga murah dan ketersediaan ikan Kandungan gizi dan ketersediaan ikan Harga murah dan pengaruh keluarga kandungan gizi, ketersediaan ikan dan pengaruh keluarga Harga murah, ketersediaan ikan dan pengaruh keluarga Total 10 11 12 13 14 15 Jumlah responden 75 6 6 5 4 3 3 3 120 Persen 62.50 5 5 4.20 3.30 2.50 2.50 2.50 3 2.50 3 2 2 2 2.50 1.70 1.70 1.70 2 1.70 1 0.80 100 52 Alasan kedua yang dijadikan alasan responden dalam mengonsumsi ikan adalah karena pengaruh keluarga, sebesar 5%. Sejumlah 5% responden juga menyatakan alasan mengonsumsi ikan karena pengaruh gizi dan keluarga. Sementara itu, sisanya beralasan mengonsumsi ikan karena faktor harga yang murah ataupun karena gabungan beberapa alasan (harga murah, gizi, mudah mendapatkan dan pengaruh keluarga). 4.3 Persepsi Responden Terhadap Produk Ikan Hasil survei pada penelitian ini menunjukkan bahwa ikan segar lebih dipilih responden sebagai persepsinya terhadap ikan. Responden lebih menyukai ikan segar dibandingkan dengan ikan olahan, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 8. Hal ini terjadi karena sebagian besar informasi baik eksternal maupun internal lebih mengarah kepada ikan dalam bentuk segar. Informasi internal tersebut diperoleh dari pengalaman pribadi, keluarga dan nilai yang dianut, sedangkan informasi eksternal diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Dalam persepsi sebagian besar responden, ikan adalah ikan yang diolah dalam bentuk segar. Sementara itu, ikan dalam dalam bentuk olahan seperti nugget, bakso dan sosis masih belum melekat pada presepsi responden. Hal ini ditunjukkan oleh masih rendahnya tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan ikan. Lebih lanjut bahkan hal ini sudah melekat pada sikap responden dan membentuk preferensi. Penelitian Harlin (2008) mengkonfirmasi dengan hasil yang sama bahwa persepsi masyarakat Kota Bekasi atas ikan adalah ikan dalam bentuk ikan segar, lebih dari 95% responden mengatakan setuju dan sangat setuju terhadap konsumsi ikan segar (Tabel 19). Tabel 19. Pendapat responden terhadap konsumsi ikan segar di Kota Bekasi Penilaian Responden Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju N Sumber: Harlin (2008) Jumlah Responden 5 66 65 136 % 3.68 48.53 47.79 100 Ikan segar juga menjadi pilihan sebagian besar masyarakat di Beijing China. Feng et al (2009) menyatakan bahwa 75.20% masyarakat di Beijing lebih 53 memilh ikan segar dibanding dengan ikan olahan yang hanya dipilih oleh 24.80% responden. Beberapa informasi mengenai produk olahan ikan telah disampaikan oleh kementerian kelautan dan perikanan kepada masyarakat luas melalui beberapa media diantaranya majalah perikanan, demo masak dan penyuluhan kepada ibuibu PKK yang terpilih sebagai sampel. Penggunaan media televisi untuk menyampaikan informasi tentang olahan perikanan belum banyak dilakukan dan terbatas pada televisi dan jam-jam tertentu. Namun hal itu ternyata belum bisa merubah persepsi responden sebagai objek penelitian. Hasil survei menunjukkan bahwa media yang telah disebutkan di atas ternyata menurut responden tidak berpengaruh terhadap persepsi dan keputusannya dalam membeli dan mengonsumsi ikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 20 yang menunjukkan bahwa media televisi adalah media yang dianggap paling berpengaruh dalam penyampaian informasi guna pembentukan persepsi konsumen terhadap ikan. Sebanyak 58.33% responden menyatakan televisi adalah media yang paling berpengaruh dalam pembentukan persepsinya. Sedangkan demo masak merupakan media kedua yang dianggap mempengaruhi persepsi responden. Tabel 20. Urutan media yang diangap paling berpengaruh dalam keputusan pembelian ikan No 1 2 3 4 5 6 Jenis Media Televisi Demo masak Penyuluhan/pelatihan Koran/majalah Brosur Internet Total Pendapat Responden Jumlah % 70 26 15 5 2 2 120 58.33 21.67 12.50 4.17 1.67 1.67 100 Dengan demikian, belum ada titik temu antara informasi yang diberikan dengan keinginan responden dalam pembentukan persepsinya terhadap ikan. Informasi yang diperoleh responden melalui penglihatan, pendengaran, penyentuhan perasaan dan penciuman didapatkan melalui media yang berbeda dengan media yang digunakan untuk mensosialisasikan produk olahan ikan. Seperti dikatakan Kotler (1995) pada bab sebelumnya bahwa pemahaman 54 informasi pembentuk persepsi dapat diperoleh melalui proses penglihatan, pendengaran, penyentuhan perasaan dan penciuman sehingga informasi tersebut dapat mempengaruhi cara seseorang untuk mengorganisasikan persepsinya. Hal inilah yang terjadi pada sebagian besar responden dalam mengorganisasikan persepsinya, sehingga produk olahan ikan belum melekat sebagai persepsi responden. Jika dilihat secara mendalam, tingkat pendidikan mempengaruhi proses pengorganisasian persepsi seseorang. Sejalan dengan teori Solomon (1999) dalam Prasetyo dan Ihalauw (2005), hal ini berkaitan dengan faktor internal yang dimiliki responden berupa pengalaman dan nilai-nilai yang dianut responden sebagai dampak dari pendidikan yang diperolehnya. Responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMP mempunyai pendapat yang sama bahwa televisi dan kegiatan praktek demo masak bisa membentuk persepsinya dalam mengonsumsi ikan (Gambar 37). Menurut mereka, praktek demo masak merupakan informasi yang secara jelas mereka rasakan melalui sekumpulan proses mulai dari penglihatan, penyentuhan perasaan dan penciuman. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kotler (1995). Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, konsumen lebih menyukai informasi yang dapat secara langsung menyentuh sikap emosi mereka. Perbedaan latar belakang pendidikan ini tentunya dapat digunakan untuk menyusun strategi dalam pelaksanaan sosialisasi ikan dan 45,50 40,90 Televisi 14,3 7,1 7,70 7,7 3,8 Demo masak 9,1 20 16,7 40 3,3 60 66,70 76,90 80 40,00 40,00 % Jumlah responden produk olahan lainnya. Penyuluhan Koran Brosur 0 SD SMP SMA Universitas Internet Tingkat pendidikan Gambar 37. Media yang dianggap paling berpengaruh dalam keputusan pembelian ikan menurut tingkat pendidikan (n=120) Dalam penyampaian informasi tentang manfaat ikan, responden mempunyai pendapat yang sama tentang penggunaan media yang efektif. Sebagian besar dari responden (71.67%) memiliki persepsi bahwa dengan 55 sosialisasi manfaat ikan melalui media televisi dianggap mampu menyentuh semua umur dan semua lapisan masyarakat pada semua strata pendidikan. Sementara itu, media berupa penyuluhan menempati posisi setelah televisi dengan persentase sebesar 19.17%. Secara rinci, media yang paling efektif tersebut secara berurutan dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Pendapat responden tentang media yang paling efektif untuk sosialisasi manfaat ikan No Media Jumlah % 1 2 3 4 5 Televisi 86 71.67 Penyuluhan Majalah Brosur Buku 23 4 4 2 19.17 3.33 3.33 1.67 6 Koran Total 1 120 0.83 100 4.4 Preferensi Responden Terhadap Ikan Kepercayaan responden terhadap ikan sebagai sumber protein hewani yang baik telah menjadikan ikan sebagai nilai yang dianut dan dipertahankan oleh responden sebagai preferensi pribadinya dalam memilih sumber protein hewani. Dalam hal ini preferensi konsumen tentang ikan dapat diketahui dengan membandingkan keranjang pasar (market basket), yaitu dengan membandingkan ikan, daging unggas dan daging merah pada suatu keranjang pasar yang dapat dipilih responden, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Pindyck dan Rubinfield (1999). Dalam asumsi preferensi lengkap, ikan menduduki urutan pertama dalam preferensi responden. Tabel 22 menunjukkan bahwa ikan lebih disukai dan dipilih responden sebagai sumber protein hewani, dengan persentase sebesar 52.5% dan diikuti dengan daging unggas (43.33%) yang menempati porsi kedua. Preferensi ini terjadi karena responden memiliki persepsi yang baik terhadap ikan, diantaranya berprotein tinggi, rendah kolesterol dan mengandung omega 3 yang baik untuk kesehatan. Beberapa responden berpendapat bahwa ikan sangat baik untuk diet. 56 Tabel 22. Sumber protein hewani yang paling disukai responden Sumber protein hewani Ikan Daging unggas Daging merah Total Responden Jumlah % 63 52.50 52 43.33 5 4.17 120 100 Jika dilihat dari pola preferensi (Supranto dan Limakrisna, 2007), terjadi segmen preferensi yang homogen, yakni suka pada ikan dalam bentuk segar, baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Preferensi responden dalam mengonsumsi ikan olahan di Kota Bekasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan preferensi ikan segar (Harlin, 2008). Preferensi homogen ini ditunjukkan pada Gambar 38. Suka ikan segar dan olahan (keduanya) 22,41% Hanya suka ikan segar 77,59% Gambar 38. Preferensi responden dalam mengonsumsi ikan (n=120) Preferensi responden terhadap ikan dalam bentuk segar tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karena kandungan gizi dan budaya (kebiasaan sejak kecil). Faktor ini dianggap berpengaruh pada preferensi responden karena lebih dari 50% responden menyatakan faktor tersebut mempengaruhi sikapnya dalam memilih dan mengonsumsi ikan (Tabel 23). Sementara itu, faktor lingkungan dan variasi produk olahan dianggap tidak mempengaruhi sikapnya dalam mengonsumsi ikan. Tabel 23. Pendapat responden tentang hal yang mempengaruhi sikapnya dalam membeli dan mengonsumsi ikan (n=120) Hal yang mempengaruhi Kandungan gizi Budaya (kebiasaan sejak kecil) Lingkungan tempat tinggal Variasi produk olahan Pendapat responden Berpengaruh Tidak berpengaruh Jumlah % Jumlah % 87 72.5 33 27.5 76 63.3 44 36.7 33 27.5 87 72.5 23 19.2 97 80.8 57 Faktor lingkungan memberikan nilai preferensi yang lebih rendah kepada responden dalam mengonsumsi ikan jika dibanding dengan faktor budaya karena sebagian besar responden sudah mempunyai preferensi tentang ikan yang melekat sejak responden kecil dengan kebudayaan tertentu yang dianutnya. Sebagai contoh pada masyarakat Jawa yang memiliki budaya membatasi makan ikan karena dianggap bisa menyebabkan cacingan. Sementara itu, faktor variasi produk olahan belum mempengaruhi sikap responden dalam mengonsumsi ikan karena produk olahan tersebut belum banyak di pasaran sehingga belum dikenal oleh responden. Terjadi perbedaan pendapat mengenai faktor kandungan gizi dan faktor budaya dalam pengaruhnya terhadap preferensi pada tingkat pendidikan yang berbeda. Responden yang mempunyai tingkat pendidikan setingkat universitas menganggap bahwa pengaruh budaya cenderung berkurang pengaruhnya dan keputusannya mengonsumsi ikan. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan informasi yang diperoleh telah mampu merubah preferensinya dalam mengonsumsi ikan, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor budaya saja melainkan juga dipengaruhi faktor lain. Dalam hal ini, faktor kandungan gizi dalam ikan lebih berpengaruh pada preferensinya dalam memilih dan mengonsumsi ikan sebagai pilihan sumber protein hewani. Hal ini tentunya bisa menjadi pertimbangan dalam melakukan kegiatan sosialisasi tentang ikan kepada masyarakat luas. Dengan demikian nilai-nilai yang dianut dan dipertahankan oleh responden sebagai preferensinya terhadap ikan dapat diketahui bahwa ikan dalam preferensi responden adalah ikan dalam bentuk segar. Preferensi ini cenderung dipengaruhi oleh budaya atau kebiasaan sejak kecil. Preferensi ini akan mengalami pergeseran ke bentuk ikan olahan karena inforrmasi formal yang diperolehnya setelah sebelumnya seseorang mengorganisasikan persepsinya tentang produk tersebut. Sementara itu, preferensi tentang tempat membeli ikan adalah yang mudah dijangkau atau dekat dengan tempat tinggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden membeli ikan di tempat yang dekat dengan tempat tinggalnya. Dalam hal ini peran distribusi menjadi sangat penting untuk mendekatkan ikan kepada masyarakat. 58 4.5 Strategi Pengembangan Peningkatan Konsumsi Ikan 4.5.1 Faktor-faktor yang berpengaruh dalam keputusan pembelian ikan Faktor-faktor yang berpengaruh dalam keputusan pembelian ikan oleh responden diperoleh melalui analisis logit. Variabel dependen yang digunakan dalam analisis logit adalah frekuensi makan ikan oleh responden setiap bulan. Variabel tersebut dibagi menjadi dua kategori yakni jarang dan sering. Kategori jarang dengan kode 0 apabila frekuensi makan ikan di bawah 12 kali per bulan, sedangkan kategori sering dengan kode 1 apabila frekuensi makan ikan di atas atau sama dengan 12 kali per bulan. Pemisahan kategori ini dilakukan atas dasar data konsumsi ikan di kota Depok yang masih rendah sebagaimana dijelaskan pada Bab I yakni sebesar 13.18 kg/kap/tahun. Dengan asumsi setiap kali makan ikan adalah sebanyak 200 gram, maka tingkat konsumsi ikan per tahun dengan frekuensi 12 kali dalam sebulan adalah sebesar 28.8 kg. Dengan demikian frekuensi makan ikan sebanyak 12 kali atau lebih dikategorikan sering dan jika kurang dari 12 kali dikategorikan jarang. Pada permodelan logit ini seluruh responden teramati (120 responden), artinya tidak ada satu pun data yang tidak teramati. Hal ini dapat dilihat pada output model logit ini pada Lampiran 6. Pada blok 0 atau blok permulaan, dimana model belum menggunakan variabel independen dan hanya menggunakan konstanta saja, nilai signifikansi yang dihasilkan dari konstanta ini adalah 0.001 dengan exp (B) = 1.857. Hal ini berarti bahwa hanya dengan menggunakan model sederhana (hanya melibatkan konstanta saja), ternyata mampu memberikan penjelasan bahwa proporsi responden yang makan ikan 12 kali atau lebih per bulan (sering) adalah 1.857 kali proporsi responden yang makan di bawah 12 kali per bulan (jarang) tanpa dilibatkannya variabel usia (X1), tingkat pendidikan (X2), pengeluaran rumah tangga per bulan (X3) dan jumlah anggota keluarga (X4). Hasil validasi kecocokan model menunjukkan bahwa model hasil estimasi signifikan fit atau model layak digunakan (Tabel 24). Hal ini terlihat dari hasil uji Chi-Square yang digunakan mempunyai nilai 1.245 dengan p-value sebesar 0.537 (>0.05), yang berarti model hasil estimasi signifikan fit (terima hipotesis nol). Selanjutnya untuk melihat variabel mana yang sesungguhnya berpengaruh terhadap frekuensi makan ikan dapat dilihat pada tabel variable in the equation 59 dan variable not in the equation. Tabel 25 menunjukkan bahwa variabel usia signifikan mempengaruhi frekuensi makan ikan oleh responden (jarang atau sering). Hal ini diketahui dari nilai statistik uji Wald yang mempunyai nilai signifikansi value lebih kecil dari 0.05. Nilai statistik Wald untuk variabel usia adalah 5.759 dan nilai signifikasinya 0.016. Tabel 24. Hosmer and Lemeshow Test pada hasil analisis logit Chi-square Derajat bebas 1.245 Signifikansi 2 0.537 Tabel 25. Variabel yang signifikan pada model logit Parameter Konstanta Usia Kefisien (B) Derajat bebas Signifikansi (p-value) Exp(B) -0.946 0.665 2.023 1 0.155 0.388 0.609 0.254 5.759 1 0.016 1.839 S.E. Wald Berdasarkan hasil permodelan di atas, hanya terdapat satu faktor yang paling dominan mempengaruhi responden untuk mengonsumsi ikan yakni usia responden (X1). Sementara itu, ketiga faktor lain yakni tingkat pendidikan, pengeluaran rumah tangga per bulan dan jumlah anggota keluarga, yang dianggap mempengaruhi frekuensi makan ikan ternyata tidak dominan dalam model. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya ada satu faktor saja yang paling dominan mempengaruhi frekuensi makan ikan responden berdasarkan survei yang dilakukan. Nilai odds rasio pada kolom exp (B) menunjukkan bahwa dengan meningkatnya 1 satuan dalam kelompok usia maka terdapat perubahan odds ratio sebesar 1.839. Dalam hal ini responden memperlihatkan bahwa pada kelompok usia yang lebih tinggi lebih sering mengonsumsi ikan jika dibanding dengan kelompoik usia rendah, dengan tingkat akurasi sebesar 64.2% (Tabel 26). Hasil penelitian yang dilakukan Myrland et al (1999) terhadap faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan laut di Norwegia menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi makanan laut yakni ukuran rumah tangga (jumlah anggota keluarga), usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan harga. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa wanita dengan usia dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai tingkat konsumsi makan laut 60 yang lebih tinggi dibanding dengan yang memiliki usia dan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Penelitian Cheng dan Capps (1988) di Amerika Serikat menunjukkan kondisi yang berbeda. Pada penelitian tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi variasi pengeluaran rumah tangga dalam membeli ikan segar dan beku untuk dikonsumsi di rumah adalah harga, jumlah anggota keluarga (ukuran keluarga), tingkat pendapatan, wilayah geografis, urbanisasi, ras dan musim. Secara umum, model regresi logit sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III adalah sebagai berikut: ππ πΏπ = ππ = π½0 + π½1 π₯1π + π½2 π₯2π + β― + π½8 π₯8π + π’π 1 − ππ Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada variabel yang signifikan (Tabel 25) diperoleh nilai koefisien konstanta sebesar -0.946 dan nilai koefisien variabel usia sebesar 0.609 sehingga diperoleh model regresi logit sebagai berikut: ππ ππ = -0.946 + 0.609*usia 1 − ππ Tabel 26 menunjukkan perbandingan antara status frekuensi makan ikan hasil estimasi model (prediksi) dengan status awal (observasi). Tabel tersebut menunjukkan bahwa dari 42 data observasi yang berstatus jarang, 2 data diprediksi jarang dan ada 40 data yang diprediksi sering, dan dari 78 data observasi yang berstatus sering, ada 75 data yang diprediksi sering dan ada 3 data yang diprediksi jarang. Prediksi secara keseluruhan menunjukkan angka 64.20% atau dapat dikatakan bahwa data yang diprediksi secara tepat oleh model hasil estimasi adalah sebesar 64.20%. Tabel 26. Klasifikasi frekuensi makan ikan pada model logit Prediksi (estimasi model) Observasi (status awal) Jarang (< 12 kali): 42 Sering (≥12 kali): 78 Keseluruhan (jarang & sering) frekuensi makan ikan Jarang (<12 kali) 2 3 Sering (≥12 kali) 40 75 Persentase 4.8 96.2 64.2 61 4.5.2 Rumusan strategi Secara garis besar, tingkat konsumsi ikan masyarakat dipengaruhi oleh sisi permintaan (demand) dan sisi pasokan (supply) (Poernomo 2007). Pada sisi permintaan, masalah preferensi yang dipengaruhi kultur dan faktor sosial dapat mempengaruhi keputusan dalam pembelian ikan, sedangkan pada sisi pasokan atau ketersediaan dipengaruhi oleh produksi dan distribusi. Sebagian masyarakat hanya mengenal jenis ikan tertentu yang dekat dengan tempat tinggal mereka, yang pada akhirnya menjadi preferensi secara pribadi. Secara umum, strategi yang dilakukan adalah untuk meningkatkan konsumsi ikan per kapita dan usaha untuk mengatasi pasokan dan distribusi untuk konsumsi domestik. Strategi terkait dengan pengembangan produk diarahkan kepada produsen untuk mendekatkan ikan segar kepada masyarakat. Selain itu, produsen diarahkan untuk mengembangkan produk olahan baik olahan sekunder seperti ikan asin, ikan pindang, ikan asap dan ikan kaleng maupun produk olahan tersier seperti bakso, nugget dan sosis ikan. Sementara itu, strategi pengembangan kebijakan yang diperuntukkan bagi pemerintah mencakup dua sisi yakni meningkatkan konsumsi dan meningkatkan pasokan. Strategi pengembangan peningkatan konsumsi ikan dalam hal ini dikelompokkan menjadi dua yakni strategi pengembangan produk yang dapat dilakukan produsen produk perikanan bersama dengan pemerintah, dan strategi penyusunan kebijakan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan. 4.5.2.1 Strategi pengembangan produk Berdasarkan data hasil penelitian tentang persepsi dan preferensi responden tentang ikan menunjukkan bahwa lebih dari 65% responden mengenal ikan dalam bentuk ikan segar, dengan jenis ikan yang terbatas sesuai dengan keterjangkauan responden. Hal ini menunjukkan bahwa ikan segar sangat dekat dengan ingatan responden. Data pada tahun 2010 (sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II) menunjukkan bahwa 60% dari total produksi dipasarkan dalam bentuk ikan segar dan hanya 40% dalam bentuk ikan olahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produsen ikan segar tidak memerlukan upaya yang besar untuk membuat produknya diterima responden. Dalam hal ini, strategi yang diperlukan adalah 62 mempertahankan tingkat konsumsi ikan masyarakat terhadap ikan segar, baik ikan segar air laut maupun ikan segar air tawar, dengan mendekatkan ikan segar kepada konsumen. Dari hasil penelitian, ikan segar air laut yang paling disukai responden pada penelitian ini berturut-turut adalah kembung (39.17%), tongkol (17.50%) dan bandeng (16.67%), sedangkan untuk ikan segar air tawar yakni ikan lele (50%), ikan mas (23.50%) dan ikan gurame (10%). Jika keenam jenis ikan tersebut diurutkan dalam tiga urutan teratas maka ikan segar yang paling digemari responden dan paling tepat untuk diperhatikan distribusinya dalam kaitannya dengan peningkatan konsumsi ikan adalah ikan lele (27.03%), ikan kembung (21.17%) dan ikan mas (12.16%). Strategi pengembangan produk berikutnya adalah dengan pengembangan produk olahan. Strategi pengembangan produk olahan ikan tersebut dapat dilakukan berdasarkan data hasil penelitian terhadap tren tingkat pengeluaran dan tren tingkat pendidikan. Berdasarkan pola tingkat pengeluaran (sebagai proksi tingkat pendapatan), diketahui bahwa tingkat kesukaan responden terhadap ikan asin, ikan pindang dan ikan asap semakin menurun seiring dangan semakin tinggi tingkat pengeluaran. Berdasarkan prosentase responden terhadap jenis ikan yang disukai (Tabel 11) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran, produk yang mengalami tren peningkatan adalah bakso ikan, nugget ikan dan ikan kaleng. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa proporsi tingkat pengeluaran > 3 juta rupiah menduduki urutan kedua setelah tingkat pengeluaran antara 1-2 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan ketiga produk olahan pada kelompok tingkat pengeluaran tinggi mempunyai potensi pasar yang besar, terlebih lagi dengan adanya peran pemerintah yang senantiasa mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan pola tingkat pendidikan, kelompok responden dengan tingkat pendidikan universitas mulai menyukai produk olahan meskipun belum meninggalkan konsumsi ikan segar. Dengan demikian terdapat peluang pengembangan produk olahan ikan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan. Pangsa pasar yang dibidik dalam hal ini adalah masyarakat yang mempunyai 63 tingkat pendidikan universitas. Hal ini didukung oleh data indikator pendidikan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 menunjukkan adanya peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi pada lima tahun terakhir (APK adalah proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu dalam kelompok usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut). Pada tahun 2006 APK perguruan tinggi menunjukkan angka sebesar 12.16 dan terus meningkat hingga 16.35 pada tahun 2010. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2010 sebesar 12.06%. APK perguruan tinggi dari tahun 2006 hingga tahun 2010 dapat dilihat APK (%) pada Gambar 39. 17 16 15 14 13 12 11 10 16,35 14,42 14,59 2008 Tahun 2009 13,31 12,16 2006 2007 2010 APK Perguruan Tinggi Gambar 39. Angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK), tahun 2006 sampai dengan 2010 Tren peningkatan jumlah penduduk yang menempuh perguruan tinggi tersebut menunjukkan potensi pasar produk olahan yang semakin meningkat. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan konsumsi ikan olahan pada responden dengan tingkat pendidikan universitas (perguruan tinggi) memberikan peluang bagi produsen dalam mengembangkan produk olahan ikan. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai peran dalam membuat suatu kebijakan yang mendukung pengembangan produk olahan ikan dan lebih mendekatkan produk olahan ikan kepada masyarakat luas. Dari telaah deskriptif diketahui bahwa produk olahan ikan yang paling disukai adalah ikan asin, dan kemudian secara berurutan adalah ikan pindang, ikan kaleng, bakso ikan, ikan asap, nugget ikan, terasi dan sosis ikan. Namun jika dilihat berdasarkan tren tingkat pengeluaran dan tingkat pendidikan, ada tiga 64 produk olahan yang semakin disukai responden seiring dengan semakin tingginya tingkat pengeluaran dan tingkat pendidikan. Produk olahan tersebut adalah bakso ikan, nugget ikan dan ikan kaleng. Strategi pengembangan produk dalam hal ini adalah dengan mengembangkan produk yang disukai responden berdasarkan hasil penelitian, yang meliputi produk segar dan produk olahan. Produk segar yang perlu diperhatikan distribusinya dalam kaitannya dengan peningkatan konsumsi ikan adalah ikan lele (27.03%), ikan kembung (21.17%) dan ikan mas (12.16%). Sementara itu, produk olahan yang perlu dikembangkan adalah bakso ikan, nugget ikan dan ikan kaleng, sehingga mampu meningkatkan ikan dari sisi produk olahan ikan. Dalam pelaksanaan strategi ini perlu diperhatikan empat unsur bauran pemasaran yakni produk, harga tempat atau distribusi dan promosi sehingga dalam implementasinya mampu memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun konsumen yang akan menjadi sasaran atas produk yang dikembangkan. 4.5.2.2 Strategi penyusunan kebijakan Strategi penyusunan kebijakan yang dilakukan adalah untuk mendorong minat masyarakat dalam mengonsumsi ikan. Kebijakan tersebut harus mampu menyentuh sisi pasokan (ketersediaan dan keterjangkauan) dan sisi permintaan yang disinyalir menjadi penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan saat ini, sebagaimana telah diuraikan pada Bab II. Berdasarkan hasil analisis logit, keputusan responden dalam membeli dan mengonsumsi ikan yang dalam hal ini dicerminkan pada frekuensi mengkosumsi ikan, dipengaruhi oleh variabel usia (sig 0.016). Variabel ini yang kemudian akan diuraikan ke dalam strategi penyusunan kebijakan dalam rangka peningkatan konsumsi ikan. 1) Meningkatkan konsumsi dari sisi permintaan Pola konsumsi ikan yang terjadi berdasarkan persepsi dan preferensi responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden (lebih dari 65%) lebih menyukai ikan segar. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan informasi yang diperoleh sebagai bahan persepsi dan preferensi terhadap ikan cenderung kearah ikan segar. Sebagian besar informasi dan pengetahuan tentang ikan diperoleh responden dari proses penglihatan dan pengamatan di sekitar tempat tinggal mereka. Ikan segar adalah bentuk ikan yang paling sering dijumpai di lokasi 65 tempat tinggal mereka atau yang sering mereka jumpai di tempat perbelanjaan mereka sehingga paling banyak dikenal dan disukai responden. Dalam hal ini aksesibilitas atau keterjangkauan menjadi faktor yang sangat berperan penting selain faktor ketersediaan dan keamanan pangan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan formal yang diperoleh responden telah mampu menggeser tingkat kesukaan responden yang semula hanya menyukai ikan dalam bentuk segar menjadi menyukai ikan dalam bentuk segar beserta olahannya. Terkait dengan tersebut maka strategi kebijakan yang dapat diambil dari sisi permintaan ini adalah: a) Memasyarakatkan produk olahan ikan Produk olahan ikan masih kurang diminati oleh sebagian besar responden. Persepsi tentang ikan masih didominasi oleh ikan segar sehingga untuk meningkatkan konsumsi ikan diperlukan pengenalan produk olahan ikan kepada masyarakat. Jika dibandingkan dengan ikan segar, upaya pengenalan terhadap produk olahan ikan memerlukan pendekatan yag lebih serius. Pengenalan produk olahan ikan diperlukan untuk mendekatkan ikan kepada masyarakat sehingga dapat diinterpretasikan sebagai persepsinya. Pengenalan terhadap berbagai jenis olahan ikan diharapkan mampu mengurangi kejenuhan masyarakat terhadap ikan, sehingga ada penambahan konsumsi ikan dalam menu sehari-hari. Pengenalan produk olahan ini dilakukan dengan alasan kepraktisan dalam mengolah dan mengonsumsi ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden yang berpendidikan universitas telah mulai mengenal dan menyukai olahan ikan, sedangkan untuk strata pendidikan dibawahnya masih menunjukkan kesukaannya pada ikan segar. Dengan demikian diperlukan segmentasi pada sasaran pengenalan produk olahan ikan tersebut. Pengenalan produk olahan saat ini harus lebih difokuskan kepada masyarakat dengan tingkat pendidikan SLTA dan jenjang dibawahnya. Sementara itu, bentuk olahan yang menjadi fokus pengenalan produk adalah bentuk olahan tersier seperti bakso, nugget dan sosis ikan, karena bentuk olahan yang lain lain seperti ikan pindang, ikan kaleng, ikan asap dan terasi telah dikenal sebagian responden. Dengan segmentasi pada sasaran pengenalan produk 66 dan pemilihan produk tersebut diharapkan mampu meningkatan konsumsi ikan secara keseluruhan. b) Meningkatkan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat tentang ikan Berdasarkan hasil penelitian, usia responden terbukti signifikan mempengaruhi keputusan konsumen dalam mengonsumsi ikan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada responden kelompok usia tua lebih sering mengonsumsi ikan dari pada kelompok usia muda. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan yang mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang ikan sejak usia dini. Peningkatan pengetahuan ini dapat diberikan melalui pendidikan formal maupun informal dengan memberikan pemahaman tentang keunggulan kandungan gizi yang terkandung di dalam tubuh ikan. Kegiatan melalui pendidikan formal yang dapat dilakukan diantaranya melalui pemberian bahan ajaran tentang kesehatan dan ikan, sedangkan kegiatan secara informal dapat dilakukan antara lain dengan memberikan pengetahuan cara mengolah ikan yang benar bagi ibu-ibu muda dan memberikan informasi tentang masakan yang sebelumnya tidak dikenal atau modifikasi menu yang telah ada. Dalam penyampaian pengetahuan dan informasi tersebut perlu dibuat segmentasi berdasarkan tingkat pendapatan. Hal ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada tingkatan pendapatan yang berbeda terdapat persepsi yang berbeda tentang penggunaan media yang berpengaruh pada keputusan pembelian ikan. Gambar 40 menunjukkan perbedaan penggunaan media yang paling berpengaruh pada setiap tingkat pendapatan. Media penyampaian pesan yang melibatkan target peserta secara langsung seperti pelaksanaan demo masak dan penyuluhan akan menjadi efektif jika dilakukan pada peserta dengan tingkat pendapatan di bawah 3 juta rupiah. Untuk penyuluhan seperti pada kegiatan PKK masih nampak efektif pada golongan pendapatan atara 3–4 juta rupiah. Sementara itu, media televisi paling tepat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan dan informasi pada golongan tingkat pendapatan di atas 4 juta rupiah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kesibukan yang cenderung terjadi pada golongan pedapatan di atas 4 juta rupiah. Adapun bentuk penyampaian informasi dengan menggunakan media televisi ini dapat berupa iklan layanan masyarakat maupun tayangan dalam kegiatan seperti demo 67 masak maupun talk show tentang manfaat ikan. Hal perlu diperhatikan dalam penggunaan media adalah ketepatan waktu, tempat dan pilihan media yang 80,0 digunakan. 30,0 Televisi 5,7 5,7 10 53,1 38,5 26,9 19,2 30 10,2 % 32,7 60 60,0 90 0 < 2 juta 2,1 - 3 juta 3,1 - 4 juta Demo masak Penyuluhan > 4 juta Tingkat pendapatan Gambar 40. Tiga media yang paling berpengaruh dalam keputusan membeli ikan menurut tingkat pendapatan (n=120) 2) Meningkatkan ketersediaan ikan Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa persepsi tentang jenis ikan yang ada di benak responden terbentuk berdasarkan ketersedian dan keterjangkauan jenis ikan tersebut di sekitar tempat tinggal mereka. Dengan demikian diperlukan kebijakan peningkatan konsumsi ikan dari sisi pasokan. Pasokan yang dimaksud dalam hal ini adalah ketersediaan dan keterjangkauan ikan dan produk olahan ikan di pasaran. Ketersediaan ikan meliputi terjaminnya jenis ikan yang ada di pasaran baik ikan dari hasil tangkapan maupun ikan hasil budidaya, sedangkan keterjangkauan meliputi keterjangkauan ikan terhadap konsumen baik dalam hal harga maupun tempat. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam menjaga ketersediaan ikan diantaranya dengan meningkatkan produksi budidaya untuk menutup kekurangan produksi penangkapan. Hal ini dilakukan karena semakin lama kecenderungan hasil tangkapan mengalami penurunan, sehingga untuk menjaga pasokan ikan diperlukan ikan dari hasil budidaya sebagai substitusi atas ikan hasil tangkapan. Dalam menjaga ketersediaan ikan tersebut diperlukan dukungan fasilitas yang mampu mendekatkan ikan hingga terjangkau oleh konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 61.70% responden membeli ikan di tempat yang 68 dekat dengan tempat tinggal mereka yakni pedagang keliling (Tabel 15). Selain itu, responden juga telah menyadari mutu dan gizi ikan yang dibelinya, sebagaimana pada Tabel 18 yang menunjukkan bahwa kandungan gizi menjadi faktor yang utama yang dipertimbangkan responden dalam membeli ikan. Dengan demikian, sarana dan perlatan rantai dingin diperlukan dalam mendekatkan ikan kepada masyarakat. Widiastuti (2008) mengkonfirmasi hal yang sama bahwa untuk mempertahankan mutu ikan diperlukan penerapan pengawasan dan penanganan rantai dingin mulai dari ikan ditangkap hingga ke tangan konsumen. Penggunaan peti es (coolbox) dengan perbandingan es 1:1 dapat mempertahankan suhu ikan tetap dingin sehingga mampu mempertahankan mutu ikan. Jenis ikan laut yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam hal pasokan di Kota Depok berdasarkan hasil penelitian adalah ikan kembung, tongkol, tuna, bandeng, kakap dan udang. Sementara itu, ikan air tawar yang perlu diperhatikan pasokannya adalah ikan lele, mas, gurame, mujahir dan patin.