Paket Kebijakan Ekonomi dan Konsolidasi Fiskal Oleh Fahruddin Salim Selasa, 10 Juli 2007 Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan terbaru, yakni Inpres No 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM (usaha mikro kecil dan menengah). Keluarnya paket itu ternyata tidak disambut secara antusias oleh kalangan pengusaha, meski kehadirannya sangat penting untuk memacu perekonomian. Paket baru itu mencakup beberapa isu, yakni perbaikan iklim investasi, paket reformasi sistem keuangan, dan percepatan infrastruktur. Paket kebijakan baru ini terdiri atas paket perbaikan iklim investasi (41 kebijakan), reformasi sektor keuangan (43 kebijakan), percepatan pembangunan infrastruktur (28 kebijakan), dan pemberdayaan UMKM (29 kebijakan). Porsi kebijakan terbanyak berada di Depkeu yang harus mengeluarkan 60 tindakan kebijakan. Paket baru tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari paket kebijakan terdahulu yang belum tuntas. Kita tahu bahwa paket-paket ekonomi sebelumnya hanya kencang dibicarakan pada awal peluncurannya, namun target dan realisasinya masih jauh dari harapan. Percepatan pembangunan infrastruktur juga tidak berjalan mulus. Begitu pun dengan paket kebijakan yang terkait degan iklim investasi, tidak menyentuh substansi persoalan. Iklim investasi kita masih buruk, sebagaimana hasil survei lembaga-lembaga internasional. Anehnya, meski sudah jelas berbagai hambatan muncul di permukaan terutama terkait perbaikan iklim investasi dan infrastruktur, namun pemerintah masih kurang sigap untuk menyelesaikannya. Sementara masalah baru terus bermunculan. Berbagai paket yang telah diluncurkan oleh pemerintah sesungguhnya bagian dari implementasi strategi yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yakni triple track strategy: pro-growth, pro-job and propoor. Demikian pula Inpres No 6/2007 yang diharapkan dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kebijakan itu juga diharapkan dapat mengatasi persoalan pengangguran dan kemiskinan. Namun perkembangan kemajuan ekonomi hingga kini masih belum menyentuh sektor riil yang sesungguhnya. Tim ekonomi dalam masa sisa kepemimpinan Presiden SBY belum mampu membuat terobosan untuk memacu sektor riil, sementara stabilitas makro terus membaik. Pemerintah memang telah mampu menjaga konsolidasi fiskal dan stabilitas makro. Stabilitas makro berhasil dilakukan, antara lain berupa inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil, suku bunga yang terus menurun dan laju pertumbuhan ekonomi yang moderat. Sementara konsolidasi fiskal ditandai oleh menurunnya defisit anggaran dan tekanan terhadap rasio utang terhadap PDB (Product Domestic Bruto). Stabilitas makro dan konsolidasi fiskal merupakan dua hal yang saling menunjang. Bila pemerintah tak bisa menjamin kesinambungan fiskal, karena berbagai gejolak makro atau contingent liabilities (kewajiban yang harus ditanggung pemerintah jika sesuatu hal terjadi) yang besar, maka ancamannya adalah perbaikan makroekonomi tak akan berjalan. Selain itu, fiskal yang tak berkesinambungan akan meningkatkan country risk, yaitu memburuknya kepercayaan investor yang pada gilirannya menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Kabinet ekonomi harus mampu melahirkan terobosan fiskal dan sektor riil dengan terus menjaga stabilitas makro ekonomi sebagai fondasi untuk menopang pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan. Stabilitas makro ekonomi selama kurun waktu 2007 masih cerah, namun kesinambungan fiskal berpotensi mengalami ancaman. Volume belanja negara melalui APBN 2007 mencapai Rp 723,1 triliun, menurun menjadi Rp 684,5 triliun. Penurunan disebabkan anjoknya penerimaan pajak dari Rp 509,5 triliun menjadi Rp 489,9 triliun. Di tengah kondisi ekonomi yang masih stagnan, diperlukan efektivitas belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada titik itu, ketepatan pembelanjaan APBN menjadi hal yang krusial. Ketika mesin investasi sektor swasta masih belum pulih, pemerintah harus mendorong motor ekonomi agar tidak mogok. Kita mencatat beberapa peluang kemampuan pemerintah untuk melakukan hal itu. Pada satu sisi, Indonesia berhasil menyisihkan dana yang berasal dari pengurangan besar-besaran subsidi BBM untuk anggaran pembangunan. Ruang fiskal juga muncul dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan penurunan kewajiban pembayaran utang. Kita juga mencatat beberapa hal yang positif, yaitu total utang pemerintah berkurang hingga di bawah 40 persen dari PDB pada akhir 2006. Sayangnya ruang fiskal yang sudah mulai lapang tidak diimbangi dengan efektivitas penggunaan anggaran. Cadangan anggaran pemda yang tidak dibelanjakan terus meningkat dan mencatat rekor 3,1 persen dari PDB 2006. Dengan asumsi PDB 2006 sebesar Rp 3.119 triliun, maka anggaran nganggur di pemda mencapai Rp 96,869 triliun. Dengan kondisi seperti itu, tampak bahwa pemerintah masih belum optimal atau tidak memiliki terobosan fiskal untuk memacu pertumbuhan ekonomi menuju arah potensi ekonomi Indonesia yang maksimum dan berkelanjutan. Namun, stimulus fiskal ini harus dilakukan secara hati-hati, agar tidak merusak stabilitas makro yang sudah dicapai. Stimulus fiskal diperlukan guna memberi ruang bagi dunia usaha untuk bergerak. Stimulus itu terutama diarahkan untuk sektor yang produktif seperti infrastruktur. Stimulus juga diberikan untuk mendorong sektor-sektor yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Sektor riil seperti perdagangan dan perkembangan usaha kecil dan menengah yang selama ini masih belum optimal, harus diberi dukungan kebijakan dari pemerintah. Investasi dan ekspor yang menjadi andalan pertumbuhan harus dapat ditingkatkan dengan memecahkan sejumlah kendala yang ada. Terkait dengan iklim investasi, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kelompok kebijakan pemerintah yang memengaruhi biaya seperti pajak, beban regulasi dan pungli, korupsi, infrastruktur, ongkos operasi, dan investasi perusahaan. Kedua, kelompok yang memengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makroekonomi, prediktibilitas kebijakan, hak properti, kepastian kontrak, dan hak untuk mentransfer keuntungan.*** Penulis adalah peneliti di Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) dan kandidat doktor pada Manajemen Bisnis Unpad Bandung