Diskusi Terbatas Pusdema tentang Pentingnya Kajian Identitas

advertisement
Diskusi Terbatas Pusdema tentang Pentingnya Kajian Identitas
USD | 20 November 2014 | 08:55 WIB
Kajian mengenai identitas merupakan kajian yang sangat menarik namun sekaligus tidak mudah. Salah satu
sebabnya adalah bahwa yang namanya identitas-entah itu identitas etnis, sosial, kultural maupun
religius-tidak pernah merupakan sesuatu yang tetap atau fixed. Identitas cenderung bersifat cair (fluid), terus
bergerak dan sekaligus kontekstual. Identitas ke-Jawa-an, misalnya. Tidak mudah menetapkan kriteria untuk
secara pasti menentukan apakah seseorang itu memiliki identitas Jawa atau tidak. Pada satu sisi banyak
orang bangga akan identitasnya sebagai orang Jawa, namun pada sisi lain ia merasa lebih nyaman jika
dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa lain, misalnya bahasa Indonesia. Banyak orang bangga
dengan tradisi Jawa, namun tidak banyak orang Jawa yang tertarik untuk menulis dan menerbitkan buku
dalam bahasa Jawa. Akibatnya semakin sedikit terbitan koran atau majalah berbahasa Jawa. Setelah
proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 banyak orang Jawa lebih suka memandang diri sebagai “orang
Indonesia” daripada sebagai “orang Jawa”. Contoh ini menunjukkan bahwa yang namanya identitas,
setidaknya identitas etnis, bukan merupakan sesuatu yang statis melainkan dinamis. Hal serupa dapat
diterapkan pula pada kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia, semisal kelompok etnis Dayak atau Batak.
Pokok-pokok gagasan di atas mencuat dalam diskusi terbatas Pusdema (Pusat Studi Demokrasi dan
Masyarakat) LPPM-USD hari Rabu (19/11) bersama narasumber Dr. Henk Maier dari University of California
Riverside, AS. Maier adalah seorang pakar sastra yang banyak melakukan kajian tentang sastra dan
identitas Melayu. Ia juga telah banyak menerjemahkan artikel, buku, serta karya-karya sastra berbahasa
Melayu dan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dan Belanda.
Maier melihat bahwa dalam hikayat-hikayat Melayu banyak termuat gambaran mengenai “negeri
antah-berantah”. Banyak termuat pula kisah tentang seorang tokoh protagonis yang mengembara ke negeri
seperti itu. Dalam perjalanan ke sana, sebagaimana dikisahkan dalam sejumlah hikayat, tokoh tersebut
menemui banyak sekali tantangan dan hambatan, sebelum akhirnya mendapatkan apa yang ia cari. Apa
yang didapat itu bisa berupa burung, cincin, batu berhikmat, atau yang lain.
Bagi Maier kisah-kisah seperti ini mencerminkan bahwa orang-orang Melayu tidak memandang diri sebagai
orang-orang yang statis, melainkan orang-orang yang terus bergerak, terus mencari sesuatu, termasuk
mencari identitasnya. Identitas tidak diperoleh dengan sekedar berdiam diri, melainkan dengan terus
“mengembara” dan berinteraksi dengan situasi atau orang-orang lain, lengkap dengan segala tantangannya.
Hadir dalam diskusi di Ruang Pusdema ini sejumlah dosen, peneliti, mahasiswa dan alumni USD.
Berdasarkan penelitiannya, beberapa peserta menunjukkan bahwa akhir-akhir ini di kalangan anak muda
Indonesia identitas agama semakin menguat. Hal ini tampak misalnya dalam kasus kerusuhan di Ambon dan
Poso. Pernah terjadi, hanya gara-gara identitas agama, seluruh penumpang bus dihabisi oleh sekelompok
orang lain yang melakukan sweeping dan berbeda identitas agamanya. Dalam skala lebih kecil, kekerasan
serupa juga bisa terjadi di antara para supporter sepakbola yang identitasnya berbeda.
Dari contoh-contoh ini tampak bahwa sementara di ranah akademis seringkali masalah identitas lebih
1/2
merupakan masalah wacana, dalam realitas sosial masalah identitas bisa menjadi masalah hidup atau mati.
Oleh karena itu diharapkan bahwa meskipun tidak mudah, hendaknya penelitian dan kajian tentang identitas
bisa terus dilakukan.(rmb)
2/2
Download