STUDI BIOLOGI REPRODUKSI SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN KETAM KELAPA (Birgus latro) DI PULAU YOI, KECAMATAN P. GEBE, MALUKU UTARA YUYUN ABUBAKAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Biologi Reproduksi Sebagai Dasar Pengelolaan Ketam Kelapa (Birgus latro) Di Pulau Yoi, Kec.P.Gebe, Maluku Utara adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2009 Yuyun Abubakar ABSTRACT YUYUN ABUBAKAR. Biology reproduction study as the basic of coconut crab (Birgus latro) management In Yoi island, at middle Halmahera district, North Mollucass. Advised by SULISTIONO and KADARWAN SOEWARDI. Coconut crab is kind of crustase which the best suited to the land environment, and it is one of commodity that has high value and being protected. It is an animal in beach ecosystem which until this present is getting decreased population. It because of intensively catchment. The objective of this research were(1) to see the reproduction of coconut crab (2) to see the distribution deal with characteristic of the inhabitant suited to coconut crab (Birgus latro),. This research was conducted at Yoi island, at middle Halmahera, North Mollucass, during 12 months, from January until Desember 2008. samples of coconut crab collected using hands with coconut as feed. This study learned about the indicators of physically, chemistry and biology factor. They were soil temperature, air temperature, dampness air, pH, soil texture, C-organic, gonad mature, closing area. Aspects which studied about gonad maturity were gonad weight, gonad maturity level/tingkat kematangan gonad (TKG), gonad maturity index , fecundity and egg diameter. Sex ratio during this research was 1:1. Chi square value at 0,05 shows that sex ratio is balance. Relation value between length (CP+r) with weight of male coconut crab W= 0,006(CP+r) 2,531 and R2 = 0,877. and the female W = 0,046(CP+r)2,030dengan R2 = 0,675. Condition factor of male and female crab has the highest value at September until Desember. Spawn process of female crab keeps on going. Gonad maturity index of male crab has the top of spawn at September. And female at Desember. Fecundity between 17.698– 143.210 eggs. Egg diameter at TKG III between 0,010-0,085 mm and TKG IV approximately between 0,012-0,095 mm. Spawn type of this crab was total spawner. This is total eggs being out from its body. Analysis of correlation between gonad maturity with habitat characteristic shows that there were correlation between air temperature, air and soil humidity, with coconut crab gonad maturity. Keywords : coconut crab, biology, reproduction. RINGKASAN YUYUN ABUBAKAR. Studi Biologi Reproduksi Sebagai Dasar Ketam Kelapa (Birgus latro) Di Pulau Yoi, Kec.P.Gebe, Maluku Utara. Dibimbing oleh SULISTIONO dan KADARWAN SOEWARDI. Birgus latro (LINNAEUS, 1767) lebih dikenal dengan nama ketam kelapa atau Ketam kenari adalah jenis krustasea yang paling sukses beradaptasi dengan lingkungan darat dan merupakan salah satu komoditi yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Nilai ekonomi yang begitu penting karena memiliki potensi sebagai komoditi ekspor. Ketam kelapa merupakan hewan ekosistem pantai yang saat ini mengalami ancaman penurunan populasi. Ketam ini dilindungi oleh pemerintah melalui surat keputusan Menteri Kehutanan dengan SK Menhut No.12/KPTSII/Um/1987. Kepentingan pelestariaan ketam kelapa pada alam asli dan desakan permintaan konsumen akan semakin nyata dimasa akan datang. Kesetimbangan antara permintaan dan suplai akan meningkatkan tekanan terhadap populasi di alam. Pembukaan hutan pesisir yang merupakan habitat ketam kelapa untuk berbagai kepentingan, diduga telah ikut mengurangi sumber makanan alami dilingkungannya. Dengan berbagai kepentingan diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian biologi reproduksi sebagai dasar pengelolaan ketam kelapa (birgus latro) di lingkungan asli dan untuk melakukan domestikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui biologi reproduksi ketam kelapa (Birgus latro). Manfaat penelitian diharapkan dapat dijadikan informasi tentang biologi dan habitat ketam kelapa (Birgus latro) bagi upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ketam kelapa terutama dalam upaya konservasi dan domestikasi dengan tujuan restocking serta sebagai data awal bagi usaha budidaya sehingga keberadaan di alam dapat dilestarikan (tidak sampai punah) di masa mendatang. Pelaksanaan penelitian untuk pengumpulan data terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian dilapangan dan pengamatan serta analisis di laboratorium. Karakristik fisika kimia habitat sebagai data penunjang penelitian diukur dan diamati. Pengamatan dan pengukuran parameter dilakukan di insitu, bersamaan dengan waktu pengambilan contoh. Sedangkan koleksi ketam kelapa contoh dilakukan pada 2 bulan sekali dengan penangkapan menggunakan secara langsung tangan oleh nelayan. Penangkapan dilakukan pada malam hari berdasarkan lokasi pengamatan. Dari hasil penangkapan dilakukan identifikasi jenis kelamin dan pengukuran panjang (CP+r) dan berat tubuh. kemudian preservasi menggunakan larutan parraform 10%, sampel kemudian dianalisis di laboratorium. Pengamatan aspek reproduksi seperti penentuan tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas dan pola sebaran diameter telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, rasio kelamin didapat 1 : 1 . pada uji Chi-Square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa rasio kelamin menunjukkan adanya seimbangan. Pada hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh pada ketam jantan dan betina pada waktu pengamatan memiliki pola pertumbuhan allometrik yaitu pertambahan (CP+r) lebih cepat dibandingkan pertambahan berat tubuh dan lokasi pengamatan diperoleh pola pertumbuhaan allometrik kecuali pada ketam jantan di lokasi Selatan, utara dan barat yang memiliki pola pertumbuhan isometrik yaitu pertambahan berat lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang (CP+r). Faktor kondisi ketam kelapa memiliki nilai terbesar pada September dan Desember dan pada lokasi pengamatan terbesar di stasiun telaga dan timur. Ketam kelapa (Birgus latro) dapat memijah pada bulan September sampai Desember. Ukuran pertama kali matang gonad ketam kelapa jantan pada selang ukuran 60-69 mm dan betina 50-59 mm. Indeks kematangan gonad ketam kelapa jantan mencapai puncak pada bulan September dan betina pada bulan Desember. Fekunditas berkisar 17.698 – 143.210 butir telur. Diameter telur pada TKG III adalah kisaran terbesar 0,052 – 0,054 dan TKG IV kisaran terbesar 0,052 – 0,054 mm dan 0,058 – 0,060 mm. Ketam kelapa memilki tipe pemijahan total spawner yaitu telur seluruhnya dikeluarkan dari tubuh. Pengelolaan ketam kelapa yaitu dilakukan penutupan area penangkapan pada musim pemijahan, pembatasan ukuran penangkapan, melakukan kegiatan penangkaran dan domestikasi di Pulau Yoi, Kec.p.Gebe, Maluku Utara. @Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang menggunakan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB STUDI BIOLOGI REPRODUKSI SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN KETAM KELAPA (Birgus latro) DI PULAU YOI, KECAMATAN P. GEBE, MALUKU UTARA YUYUN ABUBAKAR Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada Departemen Perikanan dan Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari Sampai Desember 2009 dengan judul ‘’Studi Biologi Reproduksi Sebagai Dasar Pengelolaan Ketam kelapa (Birgus latro) Di Pulau Yoi, Kec.P.Gebe, Maluku Utara’’ Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi sebagai Anggota Komisi Pembimbing 3. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi sebagai dosen penguji luar komisi. 4. Bapak Drs. H. Sidik D. Siokona, M.pd sebagai Ketua Yayasan STIKIP Kieraha. 5. PT. Aneka Tambang Tbk di Jakarta yang telah memberikan bantuan dana dalam penelitian ini. 6. Ayahanda Abubakar Aba dan Ibunda Asha Anto tercinta beserta Adik-adik Suriyanti Abubakar, Murdiyono Abubakar dan Atman Anwar serta keluarga besar serta Fauzi Hamisi, atas doa dan dorongan semangat selama penulis menyelesaikan studi. 7. Teman-teman di Program Studi Ilmu Perairan, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 8. Teman-teman Forum Pascasarjana Maluku Utara (FPMU). 9. Masyarakat pulau Yoi yang telah membantu penelitian ini. 10. Serta semua pihak yang telah memberikan masukan dan saran sampai terselesainya penulisan tesis ini. Akhirnya kata penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini belum mencapai kesempurnaan, oleh karena itu semua saran, masukan dan kritik yang sifatnya untuk perbaikan penulisan ini, penulis terima dengan tangan terbuka. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat Bogor, Juli 2009 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ternate, Maluku Utara pada tanggal 01 Januari 1983 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari ayah Abubakar Aba dan Ibu Asha Anto. Penulis selesaikan pendidikan dasar SD Inpres Togafo Ternate 1995. Selanjutnya penulis melanjutkan pada pendidikan menengah di SLTP Neg 1 Ternate dan lulus pada tahun 1998 dan melanjutkan pendidikan menengah atas pada SMU Neg 4 ternate dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas khairun Ternate dan menyelesaikan pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Perairan. DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERNYATAAN................................................ i HALAMAN HAK CIPTA...................................................... iv PENGESAHAN...................................................................... vi RIWAYAT HIDUP ................................................................ viii DAFTAR GAMBAR.............................................................. xi PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................. Perumusan Masalah .......................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 1 2 3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi ................................................................. Distribusi dan Habitat ....................................................................... Reproduksi ........................................................................................ Siklus Hidup...................................................................................... 4 7 9 11 METODELOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ Penentuan stasiun penelitian ..................................................... Metode pengambilan data ........................................................ Analisis Data ......................................................................... 16 16 16 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................ Morfologi Ketam Jantan dan Betina .......................................... Rasio Kelamin ....................................................................... Hubungan Panjang CP+r dengan Berat Tubuh ............................ Faktor Kondisi ....................................................................... Tingkat Kematangan Gonad ..................................................... Indeks Kematangan Gonad ...................................................... Fekunditas ............................................................................ Karakteristik Fisika Kimia Habitat ............................................ Pola Penyebaran .................................................................... Pengelolaan Ketam Kelapa ...................................................... 24 25 36 38 41 44 45 50 53 63 64 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ........................................................................... Saran .................................................................................... 67 67 DAFTAR PUSTAKA.................................................................... LAMPIRAN................................................................................... 68 72 DAFTAR TABEL Halaman 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa .............................. 18 2. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan .................... 28 3. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina .................... 33 4. Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa berdasarkan waktu pengambilan contoh ............................................ 38 Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa Berdasarkan lokasi pengambilan contoh ............................................. 40 6. Hasil pengukuran fisika kimia habitat ketam kelapa di Pulau Yoi .............. 54 7. Keadaan umum setiap lokasi pengamatan ............................................ 58 5. DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar morfologi ketam kelapa................................................... 6 2. Distribusi ketam kelapa di dunia .................................................. 7 3. Ketam kelapa mengeluarkan telur dari tubuh............................... 11 4. Siklus hidup ketam kelapa (Birgus latro)...................................... 12 5. Juvenil ketam kelapa ..................................................................... 13 6. Bagian yang diukur pada ketam kelapa......................................... 17 7. Morfologi ketam kelapa ....................................................... 26 8. Morfologi ketam kelapa, (A) Jantan (B) Betina............................ 26 9. Ciri kelamin secara morfologis .................................................... 27 10. Gonad ketam kelapa jantan ........................................................... 27 11. Organ reproduksi ketam kelapa..................................................... 29 12. Organ ketam kelapa jantan ............................................................ 29 13. Struktur histologist tubuli gonad/testis ketam kelapa jantan......... 30 14. Potongan melintang vas deferens ketam kelapa jantan ................. 32 15. Morfolofis gonad ketam kelapa betina.......................................... 34 16. Struktur histologis ovarium ketam kelapa betina .......................... 35 17. Rasio kelamin ketam kelapa.......................................................... 37 18. Faktor kondisi ketam kelapa berdasarkan waktu .......................... 42 19. Faktor kondisi ketam kelapa berdasarkan lokasi........................... 43 20. Tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan berdasarkan waktu ............................................................................................. 44 21. Tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina berdasarkan waktu ............................................................................................. 45 22. Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan......... 46 23. Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina.......... 47 24. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan waktu........ 48 25. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan lokasi ........ 49 26. Hubungan panjang (CP+r) dan berat tubuh dengan fekunditas TKG III.......................................................................................... 51 27. Hubungan panjang (CP+r) dan berat tubuh dengan fekunditas TKG IV.......................................................................................... 51 28. Sebaran diameter telur ketam kelapa TKG III .............................. 52 29. Sebaran diameter telur ketam kelapa TKG IV .............................. 53 30. Jumlah ketam kelapa berdasarkan waktu ...................................... 63 31. Jumlah ketam kelapa berdasarkan lokasi ...................................... 63 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta lokasi penelitian ketam kelapa (Birgus latro) di Pulau Yoi Kec. P. Gebe, Maluku Utara ..................................................... 72 2. Lokasi pengambilan contoh ketam kelapa di Pulau Yoi Kec. P. Gebe, Maluku Utara ............................................................. 73 3. Pembuatan preparat histologi gonad ........................................... 76 4. Rasio kelamin ketam kelapa berdasarkan waktu dan lokasi Pengamatan ............................................................................ 78 5. Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan waktu dan lokasi pengamatan .................................................... 79 6. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan waktu dan lokasi pengamatan ............................................................. 80 7. Pola penyebaran ketam kelapa berdasarkan lokasi pengamatan ...... 81 8. Pola penyebaran ketam kelapa berdasarkan Waktu pengamatan....... 84 9. Perhitungan Uji Khi-kuadrat ..................................................... 87 PENDAHULUAN Latar Belakang Birgus latro (LINNAEUS, 1767) lebih dikenal dengan nama ketam kelapa atau Ketam kenari adalah jenis krustasea yang paling sukses beradaptasi dengan lingkungan darat dan merupakan salah satu komoditi yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Nilai ekonomi yang begitu penting karena memiliki potensi sebagai komoditi ekspor. Ketam kelapa merupakan hewan ekosistem pantai yang saat ini mengalami ancaman penurunan populasi. Ketam ini dilindungi oleh pemerintah melalui surat keputusan Menteri Kehutanan dengan SK Menhut No.12/KPTS-II/Um/1987 dan Menurut IUCN, ketam ini sudah dikatagorikan sebagai ‘’rare’’ atau jarang dan spesies terancam punah ‘’endengared spesies’’ dalam’’Red Data Book’’ (I983 ; Anonim 2004) Keberadaan ketam kelapa atau ketam kenari sudah dianggap hewan langkah dan tergolong rawan, serta statusnya populasinya belum jelas, namun masih diburu terus karena bernilai ekonomis tinggi (Pratiwi, 1989). Boneka (1990) dan shokita (1991) dalam Sahami (1994), menyatakan bahwa populasinya di alam kemungkinan akan merosot terus karena penangkapan yang sangat intensif dan perombakan habitatnya. Selain dagingnya sebagai bahan makanan, cangkangnya dapat digunakan sebagai hiasan. Di samping itu ketam kelapa terancam punah karena pertumbuhan yang lambat, juga banyak diburu karena dagingnya yang lezat, bernilai untuk perdagangan maupun konsumsi masyarakat lokal. Ketam kelapa Coconut Crab, Kepiting kelapa atau disebut juga kepiting kenari Robber Crab dan memiliki nama yang berbeda-beda di tiap - tiap daerah. Menurut Holthuis 1963; Motoh 1980 dalam Pratiwi 1989) di Papua Nugini menyebutnya Tinggau (Demta); di Jamna menyebutnya Tingkau Tankidi (Sobei) sedangkan di Sarmi menyebut ‘’Adsoma’’ (Sobei). Di Filipina dikenal dengan nama ‘’Alimangong lupa’’ (Tagalog), ‘’Tatus’’ ((Cebuano), dan ‘’umang’’ (Cebuano dan Ilongo). Di Inggris penduduk setempat menyebutnya dengan nama “Coconut Crab” dan atau “Robber Crab”. Menurut Pratiwi, 1989 ; Reyne, 1993 ; Rafiani, 2005, menyatakan bahwa di Indonesia ketam kelapa atau ketam kenari tersebar di bagian timur yakni di pulau-pulau Sulawesi Utara, Kepulauan Togian sampai Kepulauan Talaud, Maluku, Irian Jaya dan di bagian timur Nusa tenggara Timur, wilayah Indonesia bagian Utara, Tengah dan Timur : Sulawesi, Halmahera, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Namun hingga saat ini upaya perlindungan terhadap hewan ini hanya sebatas penetapan hewan ini sebagai hewan yang dilindungi. Belum ada upaya penetapan suatu daerah atau kawasan konservasi bagi keberlangsungan hidup ketam yang jarang ini. Pulau Yoi terletak di Maluku Utara merupakan pulau yang memiliki karakteristik ideal untuk dijadikan kawasan konservasi bagi kelangsungan hidup ketam kelapa. Konflik antara kepentingan pelestariaan ketam kelapa pada alam asli dan desakan permintaan konsumen akan semakin nyata dimasa akan datang. Kesetimbangan antara permintaan dan suplai akan meningkatkan tekanan terhadap populasi di alam. Pembukaan hutan pesisir yang merupakan habitat ketam kelapa untuk berbagai kepentingan, diduga telah ikut mengurangi sumber makanan alami dilingkungannya. Dengan berbagai kepentingan diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian biologi reproduksi sebagai dasar pengelolaan ketam kelapa (birgus latro) di lingkungan asli dan untuk melakukan domestikasi Perumusan Masalah Tingginya usaha penangkapan yang dilakukan, dan penurunan kondisi habitat merupakan salahsatu penyebab penurunan jumlah populasi. Sebagai upaya pengelolaan sumberdaya ketam kelapa (B. latro) perlu dilakukan berbagai upaya agar sumberdaya ketam kelapa (B. latro) tetap lestari. Pola pemikiran yang digunakan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan untuk mengatasi penurunan populasi ketam tersebut antara lain dengan (1) mencari ukuran minimal yang matang gonad sehingga dapat dilakukan pembatasan ukuran ketam yang boleh ditangkap, (2) mengetahui pola reproduksi dan musim pemijahan sehingga dapat diatur waktu penangkapan yang tidak mengancam proses reproduksi ketam, (3) identifikasi karakteristik habitat yang sesuai bagi ketam untuk melakukan reproduksi, dan (4) untuk keperluan domestikasi. Tujuan dan manfaat penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Biologi reproduksi ketam kelapa (Birgus latro) , (2) identifikasi karakteristik habitat yang sesuai bagi ketam kelapa (Birgus latro). Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi tentang biologi dan habitat ketam kelapa (Birgus latro) bagi upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ketam kelapa terutama dalam upaya konservasi dan domestikasi dengan tujuan restocking serta sebagai data awal bagi usaha budidaya sehingga keberadaan di alam dapat dilestarikan (tidak sampai punah) di masa mendatang. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Crustacea termasuk ke dalam filum Arthoropoda berasal dari bahasa (Yunani = sendi ; pous = kaki). Namanya berasal kakinya yang bersendi. Tubuhnya terbagi dalam kepala (cephalin), dada (thorax) dan abdomen. Kepala dan dada bergabung membentuk kepala- dada (cephalothorax). Menurut PPSDAHP (1987/1988) dalam Pratiwi (1989) , B.latro adalah salah satu kelompok Decapoda yang banyak menghabiskan waktunya didaratan. Ketam kelapa ini adalah krustase yang paling besar dibandingkan dengan jenis-jenis krustase lainnya, sehingga dikenal dengan arthropoda daratan yang terbesar di dunia. Hewan ini berperan dalam perputaran bahan organik dalam tanah. Lemak perutnya dapat berkhasiat sebagai aphrodisiac (perangsang gairah seksual). Berdasarkan cara makan dan jenis pakan yang dimakannya, ketam ini termasuk ketam hama bagi pertanian dan perkebunan karena sering memakan buah dan merusak pohon kelapa, kenari, dan pepaya. Menurut Abele dan Bowman (1982) dalam Rafiani (2005) Ketam kelapa (B.latro) memiliki susunan klasifikasi sebagai berikut : Phylum : Arthopoda Superkelas : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Eumalacostraca Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda Subordo : Pleocyemata Infraordo : Anomura Superfamili : Coenabitidea Famili : Coenabitidae Genus : Birgus Spesies : Birgus latro (L.) Ketam kelapa atau ketam kenari (Birgus latro L.), mempunyai karakteristik yang khas yakni secara morfologis mereka berada diantara seksi Branchyura (dikenal dengan ketam sejati) dan Macrura (dikenal sebagai udangudangan) (Nontji, 1987). Tubuh terdiri dari bagian kepala (cephalon), dada (toraks), perut (abdomen), ekor (telson yang diselimuti oleh rangka luar (eksoskeleton) yang merupakan sifat morfologi krustasea (Barnes, 1974 dalam Sahami, 1994). Disamping itu terdapat pula anggota tubuh yang lainnya yakni pereopod, pleopod, antena dan mata. Ketam kelapa mempunyai abdomen yang pendek dan terlindung kulit yang keras serta memiliki bagian yang eksternal yang simetris dan ujung abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat bila berada dalam liangnya, yang berada dibawah akar pohon maupun pada pohon yang roboh. Karapas merupakan bagian tubuh yang sangat keras karena mengandung zat kapur yang lebih tinggi jika dibandingkan jenis kepiting lainnya, sedangkan bagian branchial bergembung dengan pembuluh-pembuluh kapiler yang tebal(Wikipedia, 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/ketam). Tubuh ketam kelapa terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian depan (kelapa = cephalon), bagian tengah (dada = toraks) dan bagian belakang (perut = abdomen). Pembagian daerah kepala dan dada sangat jelas. Rostrum kecil dan pendek. Dibalik karapas pada bagian toraks kiri dan kanan terdapat insang. Tubuh beruas-ruas yang jumlahnya 14 ruas. Bagian kepala dan dada berjumlah delapan ruas, bagian perut dimulai dari ruas kesembilan sampai ruas teakhir (Limbong, 1983) dalam Sahami (1994). Ukuran tubuh ketam betina lebih kecil dari jantan dengan panjang maksimum toraks kira-kira 55 mm (Whitten, et al., 1987 dalam Sahami 1994). Betina mempunyai pleopod pada sebelah kiri yang digunakan membawa telur sedangkan jantan tidak memilikinya. Ketam dewasa memiliki panjang karapas kurang lebih 25-47 cm, lebar 5176 cm dan berat badan berkisar antara 2-4 kg. Capit sebelah kiri biasanya mempunyai ukuran lebih besar dari capit yang sebelah kanan. Ketam ini dilengkapi dengan lima pasang kaki jalan, yang terdiri atas empat pasang kaki jalan yang jelas terlihat berbentuk keras dan kuat dan satu pasang kaki jalan terakhir berukuran kecil dan bersembunyi di bawah karapas. Semua kaki jalan ditutupi oleh duri serta rambut-rambut halus. Ketam ini memiliki bagian bawah (abdomen) yang lunak yang pada waktu kecil terlindung dari rumah siput, tetapi rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak dewasa. Ketam ini tumbuh dengan cara berganti kulit, dimana ia harus keluar dari rumah siputnya lalu mencari tempat yang terlindung dari pemangsanya dan berganti kulit disana (Motoh, 1980 dalam Pratiwi, 1989) Gambar 1 Morfologi ketam kelapa Kemampuan hewan ini untuk hidup dibantu oleh organ insang (alat pernapasan yang telah dimodifikasi), modifikasi ini dikelilingi oleh jaringan seperti spon yang selalu dalam keadaan basah (lembab). Ia akan mencelupkan ke air dan mengambil air dari atas insang. Ketam kelapa memerlukan minum air laut dari waktu ke waktu untuk menjaga keseimbangan garam (salinitas) dalam tubuhnya. Menurut Cameron dan Meckklenburg (1973), hewan ini mengambil O2 dengan cara membenamkan kepalanya kedalam air dalam selang waktu yang cukup lama. Hal ini dapat berlangsung karena insang marga B. latro telah teradaptasi dengan ruangan insang yang sudah terbagi oleh membran, sehingga membantu proses pertukaran gas. Dengan adanya fungsi dari insang tersebut, menyebabkan ketam ini mampu bertahan cukup lama di daratan. Harris dan Kormanik (1981) dalam Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa abdomen yang besar merupakan tempat penyimpanan air bagi ketam Birgus yang dipergunakan ketika kondisi tubuhnya kekurangan air dan lingkungan sangat kering. Morris et al. 2000) dalam Brown dan Fielder (1991), melaporkan bahwa ketam di Pulau Christmas memiliki akses rutin terhadap air tawar dan dengan demikian dapat mengurangi kehilangan ion dalam tubuhnya. Distribusi dan Habitat Ketam kelapa (Birgus latro) tersebar di Indo – Pasifik (Brown dan Fielder (1991)). Whitten et al., (1987) dalam Sahami (1994), melaporkan bahwa hewan ini dulu tersebar luas diseluruh pasifik barat hingga Samudera Hindia bagian timur, tetapi sekarang terbatas pada pulau-pulau kecil. Di Aldabra dilaporkan masih terdapat ketam ini di Kepulauan Seychelles diperkirakan sudah punah. B. latro juga tersebar di pulau-pulau kecil di wilayah pantai Tanzania dan Sentinal selatan (Andaman dan Nikobar), kepulauan Keeling dan Mauritius. Di Filipina sekarang dilaporkan hanya terdapat di pulau Ilongo dan sebagian di pulau Cebu. Di kawasan Pasifik ketam ini dapat dijumpai di Timor, kemudian menyebar ke belahan bumi utara sampai Ryukus, Fiji dan kepulauan Marshall kecuali kepulauan Hawaii, Wake dan Midway. Di Papua Nugini dapat ditemukan di Propinsi Manus, yakni di Rantan, Sae dan Los Negros (PPSDAHP, 1987/1988) dalam Pratiwi (1989). Gambar 2 Distribusi ketam kelapa dunia (Brown et al. 1991). Di Indonesia B. latro hanya tersebar di kawasan Indonesia timur yaitu di pulau-pulau Sulawesi, Nusa tenggara, Maluku, Papua. Di Sulawesi, ketam kelapa terdapat di wilayah Kepulauan Kawio, Talaud, Sangihe, Sulawesi Utara, Pulau Siompu, Tongali, Kaimbulawa dan Liwutongkidi , Sulawesi Tenggara (Ramli, 1997) sedangkan di Nusa Tenggara terdapat di pantai berbatu Pulau Yamdena (Monk, et al. 2000), dan Kalimantan terdapat di Pulau Derawan. Ketam kelapa (Birgus latro L.), mendiami lubang-lubang pesisir yang masih ditumbuhi vegetasi (Rondo dan Limbong, 1990 dalam Sahami 1994). Mereka aktif pada malam hari (nokturnal) (Boneka, (1990) dalam Sahami (1994). Tetapi jika keadaan lingkungan aman mereka juga dapat terlihat pada siang hari dan cenderung bersifat kanibal, namun seringkali mereka membentuk grup terdiri dari beberapa individu dalam suatu lubang. Ketam kelapa tergolong ketam semi daratan (semiterestrial), namun mereka mengawali hidupnya dilaut. Mereka bermigrasi dari laut (selama fase postlarva glaocothoe) dengan menampilkan tingkah laku kehidupan seperti hermit crab yakni menempati cangkang gastropoda yang kosong (Reese, 1968 dalam Pratiwi, 1989). Cangkang tersebut akan dilepaskan kembali setelah ia tumbuh menjadi lebih besar dan kemudian mereka tidak membutuhkan cangkang lagi. Habitat yang disukai ketam kelapa dicirikan dengan kondisi vegetasi semak, kelapa, pisang dan berbagai tanaman pantai yang cukup lebat (Rafiani, 2005). Pada wilayah yang dekat pemukiman jumlah populasi berkurang dibandingkan dengan yang jauh dari pemukiman. Ketam kelapa hidup dibawah tanah atau celah-celah bebatuan, tergantung daerah setempat. Mereka menggali tempat bersembunyi di pasir atau tanah gembur. Di siang hari, ketam kelapa bersembunyi, untuk berlindung dan mengurangi hilangnya air karena panas. Di tempat persembunyiannya terdapat serat sabut kelapa yang dipakainya sebagai alas. Menurut Streets (1877), saat beristirahat di liangnya, ketam kelapa menutup jalan masuk dengan salah satu capitnya untuk menjaga kelembaban untuk pernafasannya. Di area dengan banyak ketam kelapa, beberapa ketam juga keluar waktu siang hari, untuk mencari makan. Ketam kelapa juga kadang-kadang keluar waktu siang jika keadaan lembab atau hujan, karena keadaan ini memudahkan mereka untuk bernafas. Mereka hanya ditemukan di darat dan beberapa dapat ditemui sejauh 6 km dari lautan. Reproduksi McLaughlin (1983) dalam Rafiani (2005), menyatakan bahwa Sistem reproduksi Ordo Malacostraca secara anatomi terpusat pada cephalothorax. Untuk suku Caenobitidae dan Paguraidae khususnya, memiliki sepasang testis dan sepasang ovarium berada pada abdomennya. Menurut Whitten et al., (1987) menyatakan bahwa kematangan gonad ketam kelapa (Birgus latro) pada umumnya mencapai panjang karapas kurang lebih 5 cm. Perkawinan hewan ini berlangsung di darat. Telur yang telah dibuahi terletak pada bagian bawah perut atau menempel pada pleopod. Limbong (1983) mencatat bahwa telur yang dimiliki oleh seekor induk berjumlah ribuan. Hampir semua ketam kelapa harus mencari air untuk perkembangan larvanya. Ketam betina melepaskan telurnya ke laut pada saat pasang tertinggi dan selanjutnya telur menetas. Ketam kelapa melakukan aktivitas reproduksinya yang ditandai oleh adanya ovigerous pada tubuh. Secara geografis seluruh area tampaknya terjadi musiman, berlangsung pada musim panas baik di belahan bumi utara maupun selatan. Menurut Brown dan Fielder ,1991 menyatakan bahwa pada musim panas biasanya ketam kelapa betina hanya satu kali dalam setahun meletakkan telurnya di negara belahan bumi utara dan selatan. Reese (1965 dan 1967) dalam Brown dan Fielder (1991) mengamati betina ovigerous di kepulauan Eniwetok terjadi pada bulan april (pertengahan musim semi) sampai dengan Agustus (akhir musim panas). Di daerah sub trofik di belahan bumi selatan ketam kelapa betina paling sedikit aktif bereproduksi selama lebih kurang 9 bulan, setiap tahun adalah dari akhir September atau awal Oktober sampai dengan awal Juni pada tahun berikutnya. Sebaliknya di daerah tropik belahan bumi utara dan selatan aktifitasnya tidak bergantung musim, tetapi terjadi sepanjang tahun berdasarkan data yang didapat dari kepulauan Christmas dan Vanuatu (Brown dan Fielder ,1991). Ketam betina apabila menetaskan telurnya akan bermigrasi dari daratan ke tepi laut, untuk melepaskan telur-telurnya tanpa ketam jantan. Hal ini berbeda dengan ketam darat lainnya, seperti Gecarcoidea natalis yang bila migrasi selalu diikuti oleh ketam jantan (Gray, 1981 dalam Brown dan Fielder,1991). Hanya betina Birgus yang berpartisipasi dalam reproduksi migrasi (Borradaile, 1900; Chapman 1948; Gibson-Hill, 1949 dalam Brown dan Fielder, 1991). Di Vanuatu ketam akan berada di daerah pantai selama 5-6 minggu (1 bulan) dan biasanya akan kembali ke daratan 4 -10 hari setelah melepaskan telur-telurnya. Ketam ini biasanya berkumpul dalam kelompok di sepanjang pantai dan kembali ke darat juga dalam kelompoknya yang kemudian akan berpisah (menyebar) setelah sampai di darat. Migrasi ketam menuju ke laut dan kembali ke daratan terjadi berdasarkan ritmik dari gelombang dan periodisitas yang sama dari proses penetasan dan pelepasan telur (Brown dan Fielder ,1991). Menurut Helfman (1977) telah melakukan pengamatan terhadap dua ketam kelapa melakukan kopulasi di darat. Tidak seperti coenabitidae yang lain, kopulasi pada ketam kelapa berlangsung singkat (sekitar 3 menit) dengan sedikit aktifitas tingkah laku pre dan pasca kopulasi. Ketam jantan akan memegang cheliped betina dengan capitnya dan berjalan ke depan sampai punggung ketam betina berada dibawah, kaki-kaki mereka bersilang dan abdomen memanjang ke balik badan mereka dengan abdomen betina memutar diatas abdomen jantan. Ketam jantan menggunakan coxea yang dimodifikasi dari pasangan kaki kelima pereiopoda untuk mentransfer masa spermatofora ke dan sekitar oviduct betina yang terbuka pada bagian dasar pasangan kaki ketiga pereopoda. Menurut Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa untuk inkubasi telur, pada bagian luar di bawah abdomen betina memiliki membran seperti spon yang memberikan perlindungan dari lingkungan yang rentan terhadap penggenangan air baik tawar atau asin. Telur yang sedang berkembang ini terlindung dari perubahan jangka pendek akibat pengaruh eksternal ion-ion inorganik dan air akibat dari paparnya telur dengan air tawar atau laut. Ketika telur semakin matang, membran yang melindungi telur mulai memecah, membuat telur rentan terhadap tekanan osmotik dan ionik jika terpapar dengan air tawar. Pada telur yang telah matang sebagian besar membran telur telah pecah telur bertindak sebagai osmometer akan segera menetas kontak dengan air tawar ataupun air laut. Gambar 3 Ketam kelapa mengeluarkan telur dari tubuh (Taku Sato dan Kenzo Yoseda, http://www.mba.ac.uk/jmba/pdf/6370.pdf, 2009). Proses vitelogenesis, inkubasi dan pengeluaran telur membutuhkan jalan masuknya air dan ion inorganik. krustase teresterial, seperti B. latro dan Gecarcoidea natalis, tidak mudah mendatangi air asin dari habitat normal mereka, harus bermigrasi ke daerah pantai untuk mendapatkan air asin sebelum melepaskan telurnya. Jejak ketam didaerah pantai dapat ditemukan selama masa inkubasi sampai menemukan daerah yang cocok untuk tempat tinggalnya. Untuk memperkecil dehidrasi dari massa telur, betina ovigerous memerlukan perlindungan terhadap kelembaban tinggi, minimal terbuka untuk dikeringkan dengan angin dan batasi cahaya matahari. Ini kontras dengan kepiting darat lainnya Cardisoma guanhumi, dengan bermigrai ke pantai hanya melepaskan telurnya, setelah itu segera kembali ke darat. Air dibutuhkan selama vitelogenesis dan inkubasi telur, tersedia dari habitat “normal” ketam, dan kalau perlu membangun tempat berlindung sementara waktu dilingkungan pantai. Siklus Hidup Ketam Kelapa Ketam kelapa selama hidupnya memiliki dua habitat yaitu laut dan daratan. Proses inkubasi dan matang telur berada di daratan, masa penetasan telur berada di daerah pantai kemudian burayak sebagai larva planktonik yang hidup bebas di laut, dan tahap dewasa kembali kedaratan. Ketam kelapa yang sudah dewasa melakukan perkawinan di darat, kemudian ketam betina akan mengerami telur. Ketika telur telah siap menetas, ketam betina berjalan menuju laut untuk melepaskan telur dengan berjalan diatas batu-batuan pada perbatasan daerah pasang surut, sehingga ombak yang datang memecah akan membasahi bagian atas tubuhnya secara teratur. Pada saat telurtelur tersebut kontak dengan air laut, setelah menetas zoea dilepaskan ke dalam laut (Brown dan Fielder, 1991). Gambar 4 Siklus hidup Ketam Kelapa (B. Latro) (Fletcher dan Amost,1993) Telur-telur yang menetas pada tahap zoea pertama lamanya 4-9 hari, biasanya 5-6 hari, pergantian ke tahap zoea kedua dimulai pada hari ke empat dari kehidupan larva dan mencapai puncaknya pada hari kelima dan hari keenam. Tahap zoea berlangsung 3 – 15 hari dari kehidupan larva dan sebagian selesai dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ke tiga 3 -18 hari, tetapi biasanya 8-9 hari. Pergantian pada tahap zoea ke empat dimulai tepat pada hari ke 15 dari kehidupan larva dan dilanjutkan kira-kira hari ke 24. Burayak yang mengalami pergantian kulit pada hari ke 18 -20, biasanya pada hari ke 18 lah pergantian kulit berlangsung sangat aktif. Sedangkan lamanya tahap zoea keempat dan penyempurnaan atau tahap metazoa adalah 6 -12 hari dan akhirnya ketika usia larva 20 -30 hari ketam berada dalam tahap terakhir pergantian zoea untuk berubah ke tahap post larva “ glaucothoe”. Sedangkan Shokita et al.,1991) dalam Sahami (1994) membagi tahap perkembangan zoea mulai dari tahap zoea I hingga zoea V. Pada tahap-tahap ini bentuk tubuh ketam kelapa menyerupai udang. Sesudah tahap zoea V tubuh berubah bentuk menjadi glaucothoe (megalopa). Glaucothoe akan mencari cangkang gastropoda yang kosong sebagai tempat berlindung dan kemudian hidup di perairan dangkal. Ketam kelapa berada dalam cangkang selama kurang lebih 6 bulan (Morton (1991) dalam Sahami (1994). Ketam kelapa bermigrasi dan memulai hidupnya di darat setelah menjadi juvenil (Shokita et al., (1991) dalam Sahami (1994). Gambar 5 Juvenil ketam kelapa (a) dan Juvenil dengan cangkang gastropoda (b) http://www.iucnredlist.org/details/2811. (2009). Kadang-kadang tahap zoea ke lima ini terjadi, tetapi sedikit sekali pengetahuan tentang lamanya zoea ke lima. Biasanya tahap zoea ke lima ini sama seperti tahap zoea ke empat yaitu kurang dari enam hari. Tahap ini penting karena memperhatikan campuran antara karakteristik zoea dan “glaucothoe” jika diperhatikan pada umbai dada yang berhubungan dengan lipatan tertutup sefalothoraks dan banyaknya setae pada pleopod dan abdomen. Ciri lainnya adalah bentuk telson dan perlindungan terhadap segmen abdomialnya. Fase post larva “glaucothoe” merupakan tahapan yang terpenting dalam pertumbuhan Perkembangan B. latro. pada tahapan ini terjadi perubahan seperti amphibi. selanjutnya telah dapat berenang dengan menggunakan pleopodanya atau bergerak perlahan-lahan di daratan. Pada tingkatan ini ketam tersebut mulai menggunakan cangkang. Biasanya “glaucothoe” memilih cangkang gastropoda yang kecil dan bermigrasi dari lautan ke daratan. Seperti halnya tingkah laku yang khas sebagai anggota infra ordo Anomura (kelomang). Setelah itu bergerak perlahan-lahan menuju daratan, “glaucothoe” berjalan dengan kulitnya yang sangat kecil dan bila sudah dewasa (“glaucothoe” dewasa) akan mengubur dirinya dalam rangka mempersiapkan diri untuk berganti kulit. Setelah tahap ini ketam tersebut menggali lubang dan terjadi pergantian kulit pada hari ke 28, ketam ini muncul sebagai ketam mudah pada hari ke 36. Setelah perubahan bentuk mereka memakan kerangka luarnya yang lebih tua (Pratiwi, 1989). Kecuali sebagai larva, ketam kelapa tidak berenang bahkan spesimen kecil akan tenggelam dalam air. Mereka menggunakan organ khusus yang disebut paruparu branchiostegal untuk bernafas. Organ ini dapat ditafsirkan sebagai tingkat perkembangan antara insang dan paru-paru, dan merupakan salah satu adaptasi paling signifikan dari ketam kelapa terhadap habitatnya. Ruangan dari organ pernafasan ini terletak bagian belakang sefalotoraks. Di organ ini terdapat jaringan yang sama seperti pada insang, namun cocok untuk penyerapan oksigen dari udara, bukannya di air. Mereka memakai kaki terakhir yang paling kecil untuk membersihkan organ nafas ini, dan untuk membasahinya dengan air laut. Organ itu memerlukan air agar berfungsi, dan ketam ini memenuhi hal ini dengan menekan kaki yang dibasahi pada jaringan spons didekatnya. Ketam kelapa juga bisa meminum air laut, menggunakan cara yang sama untuk mengambil air ke mulutnya. Selain organ pernafasan ini, ketam kelapa mempunyai kumpulan insang rudimenter tambahan. Namun sewaktu insang ini kemungkinan digunakan untuk bernafas dalam air pada sejarah evolusi jenis ini, mereka tidak lagi menyediakan cukup oksigen, dan ketam yang terbenam di air akan tenggelam dalam waktu beberapa menit (laporan beragam, mungkin tergantung tingkat stres dan latihan serta konsumsi oksigen yang dihasilkan) (Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/ketam 2008). Menurut Reese, 1968 dalam Pratiwi (1989) penggunaan cangkang gastropoda yang kosong pada fase “glaucothoe” dan ketam mudah merupakan adaptasi tingkah laku yang berhubungan dengan keberhasilan emigrasi ketam kelapa dari lingkungan perairan laut ke daratan. Tingkah laku ini dilakukan sebagai cara untuk melindungi diri dari kekeringan dan berbagai ancaman yang terjadi dalam fase yang rentan dalam siklus hidup hewan ini. Biasanya setiap kali berganti kulit ketam kelapa juga akan mengganti rumah keongnya. Penggantian rumah tersebut disesuaikan dengan pertambahan ukuran tubuh. Tingkah laku yang demikian menjadikan ketam ini sebagai hewan pembawa cangkang dan dapat berlangsung selama dua setengah tahun. Namun demikian di Enowetok ditemukan ketam kelapa terkecil yang berukuran karapas 22 mm dan di Guam sekitar 8,4 mm keduanya tanpa rumah cangkang. Hill (1947) dalam Pratiwi (1989) melaporkan bahwa di pulau Christmas, ketam kelapa mempergunakan cangkang Trochus sp. hingga berumur 9 bulan. pada ketam berukuran lebih kecil yang tidak menemukan cangkang untuk tinggal, akan berlindung didalam hutan hingga berumur 12 bulan. Menurut Reag dan Haig (1990); Tapilatu (1991) dalam Ramli (1997), ketam kelapa pada fase kelomang atau hidup dengan cangkang gastropoda, bersifat semi-teresterial dan karakteristik hidup pada mintakat supra litoral yang berpasir dan pada siang hari dapat ditemukan berkumpul di bawah semak-semak dan diantara reruntuhan pohon yang mati dan kayu. Ketam kelapa mempunyai tingkah laku yang menarik, pada fase kelomang hidup di mintakat litoral hingga supralitoral dan jarang ditemukan pada daerah diatas mintakat supralitoral. Ketam kelapa dewasa ditemukan diatas mintakat supralitoral yaitu pada celah atau lubang karang atau pohon. Liangnya ditemukan berkisar antara 100 – 200 meter dari garis pantai, walaupun pada daerah yang jauh dari pantai sekalipun dapat ditemukan, diduga hal ini berhubungan dengan sifat reproduksinya yaitu pada masa bertelur, ketam kelapa betina akan kembali ke laut untuk melepaskan telur. Menurut Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa ketam kelapa akan mencapai matang gonad ketika mencapai umur 3,5 dan 5 tahun. Pada umur tersebut ketam kelapa akan kembali melakukan aktifitas perkawinan dan memulai siklus hidupnya dengan melepaskan telurnya ke laut. Sedangkan Pratiwi (1989) menyatakan bahwa telur-telur ketam kelapa yang telah matang berwarna abu-abu kekuning-kuningan dengan titik mata yang terlihat jelas. METODELOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Yoi, Kecamatan P. Gebe Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara dan dimulai dari bulan Januari sampai Desember 2008. Penentuan Lokasi Penelitian Pulau Yoi sebagian besar terdiri atas tebing-tebing yang curam. Diatas tebing tumbuh vegetasi hutan sampai ke tengah pulau. Bagian pantai yang curam dibagian basecamp, selatan, utara dan barat. Sedangkan telaga dan timur landai. Untuk pengambilan data, ditetapkan pada 6 stasiun berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan ketam kelapa dilakukan menggunakan tangan oleh penduduk lokal yang umpannya kelapa di pasang pada siang hari. Penangkapan dilaksanakan pada malam hari umumnya pada pukul 21.00 – 23.00. Pada setiap stasiun dipasang transek yang berukuran 10 x 10 m. Tiap-tiap stasiun dipasang sebanyak 6 buah kelapa. Sampel ketam kelapa yang tertangkap dikumpulkan untuk dilakukan pengukuran terhadap Cephalothoraks tambah rostrum (CP+r). Kemudian ditimbang digital dengan menggunakan timbangan berketelitian 1 gram. Preservasi dilakukan dengan menggunakan larutan paraform 10%. Alat dan Bahan Dilakukan histologi untuk studi penentuan berat gonad, TKG dan IKG menggunakan alat bedah, kantung plastik, dan botol fim. Fekunditas dan diameter telur yang digunakan adalah cawan petri, tissue, mikroskop, mikrometer okuler, dan gelas preparat. Sedangkan bahan dan alat histologi gonad jantan dan betina ketam kelapa meliputi aquades, alkohol, silol, haematoksilin, eosin, entellan (canada balsam), mikrotom, oven (65 – 70 oC, gelas objek dan gelas penutup. Pengukuran Aspek Biologi Morfometrik Pengambilan data morfometrik meliputi : pengukuran Rostrum, Kepala, Dada (CP+r) dengan menggunakan meteran dan bobot total ketam kelapa ditimbang dengan gonad yang masih di dalam tubuhnya dengan menggunakan timbangan duduk yang memiliki ketelitian 1 gram. pengukuran dilakukan 2 bulan sekali. Gambar 6 Bagian yang diukur pada ketam kelapa Penentuan TKG Pengamatan TKG dilakukan secara visual yaitu dengan melihat perubahan morfologi gonad dan secara histologis. Penentuan TKG dilakukan berdasarkan hasil histologi sel gonad. Contoh gonad diambil dari kematangan gonad I, II, III dan IV pada jantan dan betina. Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ketam kelapa (B.latro) betina berdasarkan morfologi gonad (Rafiani, 2005) TKG Ciri morfologi I Permukaan ovarium halus, belum terbentuk butiran-butiran telur. Ovarium mulai berkembang, berbentuk sepasang, ovariun berwarna abu-abu muda. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 25 persen. II Permukaan ovarium lembut, mulai terlihat butiran-butiran telur, jika di tekan mudah hancur. Ukuran ovarium semakin bertambah dan meluas, warna dari putih menjadi abu-abu tua. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 30 persen. III Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiran-butiran telur semakin membesar dan padat, jika di tekan kuat dan tidak mudah hancur. Volume ovarium semakin membesar, berwarna orange. Butiran telur terlihat dengan jelas, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 60 persen. IV Permukaan ovarium terasa kasar dan padat, karena butiran-butiran telur yang semakin membesar dan jelas, jika di tekan kuat dan tidak akan hancur. Hampir semua telur mempunyai ukuran yang relatif sama dan bentuknya bulat. Butir-butir telur semakin membesar, hampir mengisi seluruh abdomen dan terlihat dengan jelas berwarna merah tua dengan mudah dapat dipisahkan karena lapisan minyak yang menyelubungi sudah berkurang. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 80 persen. Berat gonad dan IKG Berat gonad dihitung menggunakan digital dengan ketelitian 0,01 gram setelah dikeluarkan dari tubuh ketam. Setelah gonad itu diawetkan dengan paraform 10%. IKG dihitung pada jantan dan betina disetiap TKG dengan dengan menghitung perbandingan berat gonad dan berat tubuh yang diukur dengan timbangan digital, hasil perbandingan tersebut dikalikan 100%. Fekunditas Perhitungan fekunditas dilakukan dengan mengambil gonad ketam yang sudah mancapai TKG III dan TKG IV, dimana butiran telur sudah terlihat jelas dengan mikroskop. Fekunditas dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik. Dengan menentukan terlebih dahulu berat kering udara seluruh gonadnya, demikian pula sebagian dari telur yang akan ditimbang beratnya. Selanjutnya jumlah telur dari sebagian kecil gonad yang ditimbang tersebut dihitung. Diameter telur Pengamatan diameter telur telah dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dan mikrometer objektif. Telur yang diukur diameternya berasal dari gonad yang sudah mencapai TKG III dan TKG IV yang masing-masing individu sebanyak 100 butir. Pengukuran Aspek Fisika Pengukuran aspek fisika yaitu suhu udara, suhu tanah, dan kelembaban udara. Pengukuran suhu udara dan suhu tanah dilakukan dengan menggunakan termometer. Kelembaban udara diukur dengan menggunakan alat hygrometer dan data curah hujan diambil dari BMG Kota Ternate, Maluku Utara. Pengukuran Aspek Kimia Tekstur Tanah Tanah diambil didalam tanah dengan kedalaman 30 cm. Tanah tersebut dipisahkan sesuai fraksi dengan menggunakan ayakan berlapis. Komposisi tekstur tanah yang diukur meliputi tiga bagian yaitu fraksi pasir, debu, dan liat pada setiap stasiun. Bahan Organik Tanah Analisis kandungan bahan organik tanah dilakukan dengan metode Walkei-Blak (Michael, 1994). Menurut Suin (1997), material organik tanah merupakan sisa tumbuhan, hewan, dan organisme tanah. Material organik tanah yang tidak terdekomposisi menjadi humus yang warnanya coklat sampai hitam, dan bersifat koloidal. Analisis Statistik Rasio Kelamin Penentuan jenis kelamin jantan dilakukan berdasarkan ciri kelamin sekunder, yaitu dengan melihat bentuk abdomen dan rambut pleopod pada abdomen dan pengamatan morfologi gonad (bentuk, ukuran, dan warna). Rasio kelamin ketam jantan dan betina ditentukan dari hasil penangkapan selama penelitian. Pendugaan rasio kelamin jantan dan betina menurut Effendi (1979) menggunakan rumus : P=A:B Keterangan : P = Rasio kelamin antara ketam jantan dan ketam betina A = Jumlah ketam jantan B = Jumlah ketam betina Selanjutnya rasio kelamin diuji dengan menggunakan Chi- Square (Steel dan Torrie, 1993) dengan rumus : n (Oi − ei ) i =1 ei X2 =∑ Keterangan : Oi = Frekuwensi teramati (jumlah ketam jantan dan betina) ei = Frekuwensi harapan (jumlah rata-rata jantan dan betina) Hubungan Panjang (CP+r) Berat Untuk mengetahui hubungan panjang CP+r dan bobot ketam kelapa dilakukan menurut jenis kelamin di masing-masing staiun pengamatan, dengan demikian korelasi panjang dada dan bobot populasi masing-masing stasiun dapat dibedakan. Perhitungan hubungan panjang CP+r dan bobot badan total dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : W = a [CP+r]b Keterangan : W = Bobot total ketam kelapa CP+r = Panjang cephalotoraks (mm) a dan b = konstanta Persamaaan diatas dapat dilogaritmakan menjadi persamaan regresi linier sebagai berikut : Log W = Log a + b Log [CP+r] Selanjutnya dari persamaan tersebut harga a dan b (konstanta) dapat ditentukan. Menurut Effendi (1979), kriterianya sebagai berikut : Jika b<3, maka pertambahan panjang ketam lebih lebih cepat dari pertambahan beratnya. b>3, maka pertambahan panjang lebih lambat dari pertambahan berat. Sehingga kedua pertumbuhan ini disebut pertumbuhan allometrik. Jika b = 3, maka pertumbuhan bersifat isometrik yaitu pertambahan panjang dan berat sama. Faktor Kondisi Perhitungan faktor kondisi berdasarkan panjang dada dan bobot contoh, yaitu menggunakan rumus : Untuk pola pertumbuhan isometrik : K= (105W ) [CP + r ]3 Untuk pola pertumbuhan allometrik : K= W b a[CP + r ] Keterangan : K = W = CP+r a = b = Faktor Kondisi ketam Bobot tubuh yang diukur (gram) = Panjang cephalotoraks ketam (mm) Koefisien pertumbuhan Ukuran dari perbedaan rata-rata tumbuh Penentuan IKG IKG diperoleh melalui rumus yang diuraikan oleh Effendi (1979), yaitu : IKG = BG x 100% BT Keterangan : IKG = Indeks kematangan gonad BG = Berat gonad (gram) BT = Berat tubuh (gram) Perhitungan Fekunditas Fekunditas dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik (Effendi, 1979) yaitu : F = G. X g Keterangan : F = Fekunditas yang dicari G = Berat total gonad (gram) X = Jumlah telur dari gonad contoh g = Berat gonad contoh Analisis hubungan panjang dengan fekunditas dilakukan untuk melihat jumlah telur ketam pada ukuran tertentu. Hubungan panjang dengan fekunditas dinyatakan dengan rumus : F = a[CP+r]b Keterangan : F = Fekunditas yang dicari CP+r = Panjang Cephalotoraks + rostrum (mm) a dan b = konstanta Persamaan tersebut ditransformasikan kedalam logaritma sehingga diperoleh bentuk linear/persamaan garis lurus : Log F = Log a + b Log [CP+r] Distribusi Ketam Kelapa Distribusi ketam kelapa dianalisis dengan menggunakan Indeks Morisita, sebagai berikut (Brower dan Zaar, 1977), dengan rumus berikut : id = n Keterangan : ∑X 2 −N N ( N − 1) Id = Indeks Morisita N = Jumlah Plot (unit) N = Jumlah total individu dalam total n plot (ekor) ∑X2= Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot Kriteria pola penyebaran dikelompokkan sebagai berikut : Jika Nilai Id < 1 : seragam Nilai Id >1 : mengelompok Nilai Id =1 : acak Selanjutnya diuji dengan Khi-Kuadrat pada taraf nyata 0,05 dengan menggunakan rumus : Keterangan : ⎡ n 2⎤ ⎢ n∑ X ⎥ ⎣ i =1 ⎦ X2 = N n = Jumlah plot (unit) N = Jumlah total individu dalam total n plot (ekor) ∑X2 = Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot Nilai Khi-kuadrat hasil perhitungan yang diperoleh, dibandingkan dengan nilai Khi-kuadrat total statistik pada selang kepercayaaan 95 % (α = 0,05). Jika nilai X2 lebih kecil dari nilai tabel, maka tidak berbeda nyata secara acak. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Yoi secara administrasi termasuk dalam gugusan kepulauan Gebe kabupaten Halmahera Tengah. Dari geografisnya pulau ini terletak pada posisi : 0º0'10 - 0º3'80" LU dan 129º 34'90" - 129º39'10" BT. Pulau ini berbatasan dengan sebelah utara pulau uta, sebelah selatan laut Halmahera, sebelah barat pulau Gebe, sedangkan sebelah timur dengan pulau Gag. Pulau ini hanya mempunyai satu desa yang namanya Umiyal adalah satusatunya desa yang terpisah daratan dengan Pulau Gebe. Namun Pulau Umiyal dikenal sebagai pulau terapung dikarenakan petrografi daripada pulau tersebut tidak memiliki bukit ataupun gunung. Pulau ini dikenal juga sebagai penghasil Kopra terbanyak di Kecamatan Pulau Gebe. Pulau Umiyal biasa juga disebut sebagai Pulau Yoi yakni pulau kecil yang terletak disebelah Utara Pulau Gebe. Pulau Yoi memiliki jarak terdekat dengan Pulau Gebe yaitu pada Desa SabafKacepo (Sanafi). Sarana transportasi untuk mencapai Pulau Yoi menggunakan perahu motor tempel waktu 20 – 30 menit menggunakan perahu motor tempel (PMT) 3 4 gross tonase ton bermesin 25 40 PK. Pulau dengan luas 2.929,074 Ha, memiliki hamparan pasir 587, 264 Ha, terumbu karang 162, 145 Ha, padang lamun 326, 579 Ha, dan hutan mangrove 206, 119 Ha. Pulau ini beriklim trofis dan mengalami 2 perubahan musim, yaitu Musim Barat sepanjang bulan Juli, Agustus dan Musim Selatan pada bulan Desember, Maret sedangkan Musim Panca Roba pada bulan Januari, Mei. Terdapat ekosistem hayati dan nir hayati ini menjadikan pulau Yoi memiliki biodiversity cukup tinggi. Pulau Yoi merupakan pulau berpenghuni, terletak di sebelah timur Pulau Gebe dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Kepulauan Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Pada tahun 2003 jumlah penduduk pulau Yoi sebanyak 563 jiwa yang terbagi kedalam 114 KK yang berdomisili pada desa Umiyal dan terbagi dalam 2 dusun. Dari jumlah penduduk tersebut terdiri atas laki-laki sebanyak 307 jiwa dan perempuan 256 jiwa. Jumlah usia sekolah sebanyak 275 jiwa (6 – 24 tahun) dan sisanya 288 jiwa merupakan penduduk berusia diatas batas usia sekolah (25 – 45 tahun). Jumlah penduduk Pulau Yoi meningkat 18,65% atau menjadi 668 jiwa atau 145 KK pada tahun 2008. Penduduk Pulau Yoi bermata pencaharian utama sebagai petani kopra. Hampir semua penduduk Pulau Yoi memiliki kebun kelapa. Disamping sebagai petani kopra, penduduk Pulau Yoi bekerja sambilan sebagai nelayan dengan menangkap ikan, ketam kelapa, tripang, lobster, lola (bia) dan kepiting laut. Kebun kelapa milik penduduk Pulau Yoi terdapat di Pulau Yoi dan Pulau Sain. Pulau Sain berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Raja Ampat Papua Barat. Jarak dari Pulau Yoi ke Pulau Sain sekitar 20 mil laut. Di Pulau ini Ketam kelapa biasanya berada tidak jauh dari pantai yaitu diantara batu-batu karang dan timbunan daun-daun terutama memilih daerah yang banyak ditumbuhi pohon kelapa serta terlindung dari cahaya matahari. Ketam kelapa terlihat menyukai lokasi-lokasi yang gelap dan lembab. Ini juga didukung dengan bukti tangkapan pada malam hari lebih banyak. Fakta ini menguatkan pola aktivitas ketam kelapa sebagai satwa nokturnal (aktif saat malam hari). Namun, pada daerah yang tak banyak gangguan manusia, lembab dan terlindung dapat ditemukan pada siang hari. Morfologi Ketam Kelapa Jantan dan Betina Secara morfologis ketam kelapa (Birgus latro) terdiri atas bagian kepala, dada, dan perut (Gambar 8). Di bagian ujung kepala terdapat rostrum, dan di bagian dada terdapat kaki-kaki. Ketam ini mempunyai 5 pasang kaki, dimana sepasang pertama dinamakan capit yang sangat kuat dan digunakan untuk mengambil makanan. Ukuran capit ini lebih besar di sebelah kiri dibandingkan dengan yang kanan. Tiga pasang kaki berikutnya digunakan untuk berjalan dan sepasang lainnya (yaitu kaki kelima) lebih kecil dan tersembunyi dibawah karapas. Ujung kaki (2-4) tajam sehingga bisa memanjat pohon dan bebatuan. Karapas hanya menutupi bagian cephalothorax, sedang bagian abdomen agak lunak. Bagian yang lunak ini pada waktu kecil terlindung dalam rumah siput, tetapi rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak dewasa. Ketam ini tumbuh dengan cara berganti kulit. Gambar 7 Morfologi ketam kelapa (Birgus latro). Ketam Kelapa jantan bisa mencapai berat tiga kilogram, sedangkan yang betina sekitar satu kilogram. Ciri morfologi pembeda antara jantan dan betina adalah ditemukannya pleopoda yang terdapat pada bagian abdomen ketam betina (Gambar 9). Ketam kelapa jantan tidak memiliki pleopoda, sedangkan ketam betina memiliki 3 buah pleopoda untuk menginkubasi telurtelur sebelum di lepaskan ke laut. Pleopoda ini terdiri atas rambut-rambut. Selain itu karakter lain yang umumnya membedakan jantan dan betina adalah ukuran ketam kelapa jantan yang lebih besar dari pada betina. A B Gambar 8 Morfologi ketam kelapa (A) Jantan dan (B) betina dengan telurnya. A B Gambar 9 Ciri kelamin secara morfologis ketam kelapa (A) Betina memiliki pleopoda. (B) jantan tidak memiliki pleopoda. Reproduksi Ketam Kelapa Organ Reproduksi Jantan Pada penelitian ditemukan gonad ketam jantan dengan 4 kematangan gonad (Gambar 10). Ukuran gonad /testis terkecil terdapat pada ketam dengan panjang (CP+r) adalah 34 mm dan berat gonad 0,10 gram dan ukuran gonad yang paling besar dengan panjang dada 61 mm dan berat gonad 8,01gram A B C D Gambar 10 Gonad ketam kelapa jantan, TKG I (A), TKG II (B), TKG III (C), dan TKG IV (D). Tingkat kematangan gonad/testis uji diukur perubahan morfologi dan histologi testisnya (Gambar 11). Perubahan morfologi gonad/testis, baik dari segi ukuran maupun warna, dipengaruhi oleh perkembangan sel testis terutama dalam bertambahnya deposisi gonad/testis. Bertambahnya jumlah gonad/testis menyebabkan perubahan warna gonad/testis dan membesarnya sel testis. Dalam pewarnaan HE, hematoksilin akan mewarnai inti dan akan menunjukkan warna biru, sedangkan eosin merupakan warna asam yang akan mewarnai komponen basa dalam jaringan. Pada sediaan gonad ketam betina yang diwarnai dengan HE (Hematoksilin Eosin), dapat terlihat struktur dan komponen jaringan gonad ketam. Di dalam komponen sel, basa terdapat di dalam protein sitoplasma sehingga eosin akan mewarnai sitoplasma dan akan menunjukkan warna merah. Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ketam kelapa (B.latro) Jantan berdasarkan morfologis gonad/testis TKG Ciri morfologi I Permukaan testis halus, belum terbentuk butiran-butiran. Testis mulai berkembang, testis berwarna putih. Pengisian testis didalam abdomen adalah 10 persen. II Permukaan testis lembut, belum terlihat butiran-butirannya, jika di tekan mudah hancur. Ukuran testis semakin bertambah dan meluas, warna putih. Pengisian testis didalam abdomen adalah 20 persen. III Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiran-butiran testis semakin membesar dan padat, jika di tekan kuat dan tidak mudah hancur. Warna putih mulai keabu-abuan. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 30 persen. IV Permukaan ovarium terasa kasar dan keras, karena butiran-butiran testis yang semakin membesar dan jelas, jika di tekan kuat dan tidak akan hancur. Hampir semuanya mempunyai ukuran yang relatif sama dan bentuknya panjang. Warna putih kecoklatan. Butir-butir testis semakin membesar. Pengisian testis didalam abdomen adalah 40 persen. Sistem reproduksi ketam kelapa jantan terdiri atas sepasang gonad/testis yang secara khusus terdapat pada bagian abdomen. Dapat diamati pada Gambar. 12, sepasang gonad jantan menyatu dengan organ hepatopankreas. Sedangkan gonad ketam betina terlihat sangat nyata dan terpisah dari hepatopankreas. A B Gambar 11 organ reproduksi ketam kelapa; (A) Betina, (B) Jantan Gonad jantan terdiri atas testis (Gambar. 12). Dari hasil penelitian telah terlihat bahwa ketam kelapa mempunyai alat mentransfer spermatozoa yang telah matang dengan menggunakan koksa dari pasangan kaki kelima periopoda (kaki jalan kelima). Alat untuk mentransfer sperma ini mirip dengan penis atau klasper. Cl Vd Te Gambar 12 Organ ketam kelapa yang terdiri atas (Vd), Vas deferens, Clasper (Cl) dan Te (testis) Pada penelitian ini, gambaran histologi dari testis ketam kelapa memperlihatkan adanya aktivitas spermatogenesis, ditandai dengan ditemukannya kumpulan berisi sel-sel spermatogenik dalam berbagai tahap seperti pada Gambar 13. Dalam testis, sel germinal primer berkembang ke sel gonial sekuder kemudian membelah secara mitosis dan meiosis. Pada masa spermatosit, pembelahan sel pertama dan sel kedua akan membentuk spermatid. Secara normal, empat spermatid yang berbentuk berasal dari satu spermatosit. Pematangan spermatid membentuk spermatozoa. Spermatid adalah bentuk dari sperma yang berkembang. Sel haploid yang dihasilkan adalah sel spermatid. Metamorfosa ini disebut spermiogenesis. Keseluruhan proses spermatogenesis dan spermiogenesis disebut spermatogenesis. Menurut Hozumi et al. (2001) dalam Rafiani (2005) spermatogonium adalah sel bakal sebelum menjadi spermatosit. Spermatosit membelah dalam proses meiosis dan DNA yang terkandung didalamnya berkurang separuh. Proses perbanyakan sel spermatogonium yang bermiosis dan disebut spermatogenesis. Spermatid Spermatozoa A B Spermatosid primer Spermatozoa C 13 Struktur histologis tubuli testis/gonad D Gambar jantan ketam kelapa memperlihatkan tubuli dengan sel spermatogenik pada berbagai tahap yaitu (B)., spermatid (C). spermatosit primer, (A) (D). Spermatozoa yang terbungkus di dalam spermatofora yang berbentuk kapsul. Dari hasil penelitian sediaan histologi gonad menunjukkan adanya reaksi PAS positif yang menunjukkan adanya karbohidrat di dalam sel-sel spermatozoa ketam kelapa, sekaligus menandakan adanya suatu aktivitas (aktivitas spermatogenesis). Pada sediaan gonad jantan diwarnai dengan pewarnaan PAS, yang berfungsi untuk mendeteksi adanya karbohidrat yang bersifat netral (Kiernan, 1990) yang terdapat di dalam sel-sel gonad dengan memperlihatkan PAS positif yang ditunjukkan dengan adanya warnam merah. Pada metode pewarnaan PAS digunakan periode acid yang berfungsi dalam mengoksidasi gugus-gugus glikol menjadi aldehid. Aldehid ini kemudian bereaksi dengan reagens Schiff. Selain itu PAS juga dapat mendeteksi adanya kelompok sulphat ester, sialic acid dan beberapa gula amino. Menurut Bliss dan Mantell (1985) struktur yang utama dari spermatozoa ketam adalah susunan biokimia didalam sitoplasma dan nukleus yang ada selama spermiogenesis. Protein inti spermatozoa terdiri dari histon dan protamin. Spermatid ini dikeluarkan dari tubulus kedalam tubulus pengumpul dari testis melalui proliferasi spermatosit primer baru dari epitel germinal pada masing-masing tubulus. Sehingga spermatid yang telah mengalami metamorfosis dan berusia tua yang telah penuh banyak didorong keluar tubulus melalui perkembangan spermatosit primer baru. Matthews (1953) melaporkan bahwa sayatan testis dari Dardanus punctulatus menampakkan bentuk seperti koil, berkelanjutan, memiliki dinding tabung yang tipis yang berhubungan dengan banyak tubuli terbuka. Potongan melintang tubuli diamati pada semua tahap kematangan. Tubulus yang belum matang atau dewasa diisi dengan spermatosit primer berukuran besar, tubulus yang lebih matang diisi dengan spermatid pada semua tahapan metamorfosis. Vas diferencia yang masih hidup pada D. punctulatus, C. rugosus dan B. latro menunjukkan struktur yang tidak teratur. Belum dilakukan pengamatan pengaruh kontraksi vas diferens (Gambar 14) terhadap massa sperma yang lunak. Kontraksi ini bertujuan memindahkan massa sperma sesuai dengan perubahan secara gradual pada vas deferens. Tubuli terlihat di semua tahapan perkembangan. Terdapat sedikit perbedaan, proses pengisian tubuli dengan spermatosit primer dan pengeluaran spermatid yang telah bermetamorfosis identik dengan terjadi pada D. punctulatus. Kombinasi proses secara ritmis akan mampu menghasilkan aktivitas tubuller yang kontinyu, massa sperma yang tidak terdeferensiasi mamasuki bagian proksimal dari vas deferen. Adanya sedikit perbedaan jumlah dan pengaturan sel-sel sustentacullur. Meskipun hal ini terdapat di semua tubuli yang spermatidnya mengalami metamorfosis, namun masih belum diteliti. Penelitian mengenai tubulus adalah sebagai suatu proses ritmis. Proses ini akan menghasilkan massa sperma secara kontinyu. Massa sperma yang tidak terdeferensiasi ini berukuran kecil, dan memasuki bagian proksimal dari vas deferens. Matthews menambahkan bahwa pada dasarnya, sayatan testis dari Caenobita rugosus seperti dengan D. punctulatus. Tubuli terbuka sesaat, bergelung-gelung tinggi menuju tubulus pengumpul. Semua tubuli pada setiap tahap kematangan dan aktivitas ritmisnya mampu mengisi tubuli pengumpul, kemudian menjadi spermatid yang telah bermetamorfosis. Sayatan dari testis B. latro juga serupa dengan testis D. punctulatus, dan C. rugosus. Terdapat Perbedaannya adalah ukuran, tubuli D. punctulatus, dan C. rugosus secara umum lebih kecil daripada tubuli B. latro. Karena secara morfologi dan fisiologi ukuran dan berat B. latro. lebih besar dari D. punctulatus, dan C. rugosus. Ampulla Tudung Epitel Tangkai Gambar 14 Potongan melintang vas deferens ketam kelapa (B. latro L) pada pewarnaan PAS. Pada gambar ini spermatozoa telah mencapai tingkat kematangan IV. Harms (1973) dalam Matthews (1953) melaporkan aktivitas reproduktif pada B. latro adalah proses penggabungan/persetubuhan hingga saat ini terjadi ditanah, ketika mendapati hewan betina berada pada jarak yang cukup jauh dari pantai/pesisir. Sperma ditransmisikan melalui clasper. Hewan jantan memancarkan massa sperma (spermatofor) yang ditransfer ke hewan betina. Spermatozoa pada ketam kelapa, tersimpan dalam spermatofor yang berbentuk kapsul. Kapsul ini diduga untuk melindungi spermatofora selama proses fertilisasi. Organ Reproduksi Betina Pada penelitian ditemukan gonad ketam betina dengan 4 kematangan gonad (Gambar 15). Ukuran gonad terkecil terdapat pada ketam dengan panjang (CP+r) 63 mm dan berat gonad 0,13 gram dan ukuran gonad yang paling besar dengan panjang (CP+r) 97 mm, berat gonad 25,97 gram. Menurut McLaughlin, (1983) sistem reproduksi betina pada malacostraca adalah sepasang ovarium atau sebuah ovari dan terletak di abdomen. Tabel 3 Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ketam kelapa (B. latro) betina berdasarkan struktur morfologis dan histologi gonad (Rafiani, 2005) TKG Ciri morfologis I Permukaan ovarium halus, belum terbentuk butiran-butiran telur. Ovarium mulai berkembang, berbentuk sepasang, ovariun berwarna abu-abu muda. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 25 persen. II Permukaan ovarium lembut, mulai terlihat butiran-butiran telur, jika di tekan mudah hancur. Ukuran ovarium semakin bertambah dan meluas, warna dari putih menjadi abu-abu tua. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 30 persen. III Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiran-butiran telur semakin membesar dan padat, jika di tekan kuat dan tidak mudah hancur. Volume ovarium semakin membesar, berwarna orange. Butiran telur terlihat dengan jelas, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 60 persen. IV Permukaan ovarium terasa kasar dan padat, karena butiran-butiran telur yang semakin membesar dan jelas, jika di tekan kuat dan tidak akan hancur. Hampir semua telur mempunyai ukuran yang relatif sama dan bentuknya bulat. Butir-butir telur semakin membesar, hampir mengisi seluruh abdomen dan terlihat dengan jelas berwarna merah tua dengan mudah dapat dipisahkan karena lapisan minyak yang menyelubungi sudah berkurang. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 80 persen. A B C D Gambar 15 Gambaran morfologis gonad ketam kelapa betina, TKG I (A), TKG II (B), TKG III (C), dan TKG IV (D). Tingkat kematangan gonad uji diukur perubahan morfologi dan histologi ovariumnya (Gambar 15). Perubahan morfologi ovarium, baik dari segi ukuran maupun warna, dipengaruhi oleh perkembangan sel telur terutama dalam bertambahnya deposisi kuning telur di dalam sel telur. Bertambahnya jumlah kuning telur menyebabkan perubahan warna ovarium dan membesarnya sel telur. Dalam pewarnaan HE, hematoksilin akan mewarnai inti dan akan menunjukkan warna biru, sedangkan eosin merupakan warna asam yang akan mewarnai komponen basa dalam jaringan. Pada sediaan gonad ketam betina yang diwarnai dengan HE (Hematoksilin Eosin), dapat terlihat strukutur dan komponen jaringan gonad ketam. Di dalam komponen sel, basa terdapat di dalam protein sitoplasma sehingga eosin akan mewarnai sitoplasma dan akan menunjukkan warna merah. Menurut Silversand et al. (1993) vitellogenesis adalah pembentukan kuning telur ;vitellogenin disekresikan ke dalam darah dan di bawa ke sel telur untuk dibentuk menjadi kuning telur. Kuning telur ini adalah sumber nutrisi pada perkembangan embrio. Vitellogenin adalah bahan baku (prekursor) protein kuning telur yang disintesa pada ovarium. Hasil pengamatan warna ovarium selama penelitian di dapatkan adanya variasi warna ovarium, yaitu berwarna keputihan pada ovarium yang belum matang dan menjadi orange setelah ovarium matang (Gambar 16). Adanya perubahan tersebut disebabkan oleh adanya akumulasi dari kuning telur dalam bentuk lipoprotein dan pigmen, atau proses vitellogenesis. N N S S A B N N S C S D Gambar 16 Struktur histologis ovarium ketam kelapa (B. latro ), memperlihatkan TKG I (A), TKG II (B), TKG III (C) dan TKG IV (D). N =Nukleus, dan S = Sitoplasma. Menurut Lee dan Walker (1995), akumulasi lipoprotein pada telur yang telah matang diikuti oleh akumulasi butiran lemak. Pada krustasea akumulasi butiran lemak ini akan terlihat pada saat vitellogenesis akhir. Adanya butiran lemak dan lipovitelin merupakan komponen kecil pada ovarium dan telur yang belum matang tetapi konsentrasinya meningkat menjadi komponen besar pada ovarium dan sel telur matang. Hepatopankreas adalah organ penyimpanan berisi lipid dan glikogen yang banyak. Pillay dan Nair 1973 dalam Rafiani, 2005, mendeterminasikan unsur pokok biokimia dari gonad dan hepatopankreas berhubungan terhadap siklus reproduksi. Besarnya lemak berfluktuasi dalam hubungannya dengan siklus reproduksi, dimana ovari yang matang berisi lemak yang banyak daripada yang tidak matang atau ovari yang telah dikeluarkan. Sehingga diindikasikan lemak dari hepatopankreas akan ditranslokasikan ke ovari. Perbedaan, perubahan unsur utama biokimia pada testis adalah tidak nyata. Berdasarkan tahunan, ovari terlihat kaya akan lipid dan testis kaya akan kandungan protein. Ketam kelapa memiliki organ hepatopankreas di bagian abdomennya. Sumber lemak yang berada di dalam hepatopankreas sangat penitng sebagai unsur utama bagi ketam dan terjadi deposit lemak yang sangat besar selama perkembangan ovari pada periode produksi telur. Menurut Herring (1973) dan Clarke (1977) komposisi lipid pada ovari dan telur dekapoda terdiri atas 95% lebih jumlah trigliserida dan phospolipid. Sterol bebas dan lemak lain hanya terdapat dalam jumlah yang kecil, caratenoid ditemukan dalam jumlah kecil, hal yang sama juga ditemukan pada dekapoda yang lain. Rasio Kelamin Dalam suatu populasi, apabila nisbah kelamin tidak seimbang maka perkembangan populasinya terhambat. Kesetimbangan nisbah kelamin jantan dan betina bisa mengakibatkan terganggunya ketam berkembang sampai pada fase rekruitmen, sehingga dapat terjadi penurunan populasi. Penyebab ketidakseimbangan ini diduga karena pengaruh tingkah laku, musim pemijahan, ukuran pertama kali matang gonad dan pertumbuhan. Rasio kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi spesies ketam. Dari 159 ekor ketam yang diamati, 75 ekor ketam jantan dan 84 ekor ketam betina dengan rasio kelamin selama penelitian didapat 1 : 1 pada uji Chi-Square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa rasio kelamin menunjukkan adanya keseimbangan. Ramli (1997) menemukan bahwa penyebaran jumlah ketam kelapa jantan banyak daripada betina. Di daerah Tonggali Sulawesi Tenggara diperoleh rasio kelamin jantan betina adalah 1,4 :1, di kaimbulawa dan liwutongkidi. Sedangkan Rafiani (2005) di pulau Pasoso Sulawesi Tengah melaporkan bahwa rasio kelamin 1 : 1,052. A B Gambar 17. Rasio ketam kelapa pada (A) Waktu dan (B) Lokasi Rasio kelamin merupakan indikator populasi dalam suatu daerah yang dapat memprediksikan kondisi populasi tersebut baik atau tidak. Populasi yang baik didukung oleh hábitat yang ideal untuk kelangsungan hidup populasi. Pada hábitat yang baik populasi biasanya seimbang. Pada penelitian di Pulau Yoi didapatkan nilai rasio kelamin masih seimbang karena didukung oleh kondisi hábitat yang ideal. Kondisi hábitat yang ideal sangat baik untuk kelangsungan hidup ketam. Penebangan hutan, penghunian, perubahan hutan alami menjadi lahan pertanian serta eksploitasi sumberdaya secara berlebihan di pulau Yoi ini, akan mengakibatkan hilangnya jenis ketam ini secara nyata. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya wilayah untuk ekosistem alami sebagai hábitat ketam kelapa ini. Selain faktor lingkungan yang mendukung mikrohabitat ketam adalah manusia. Pada umumnya suatu pulau besar atau induk, secara ekologis sebagai pemasok spesies pada pulau-pulau kecil disekitarnya. Jumlah penambahan spesies tergantung dari besar-kecilnya serta letak atau jarak pulau tersebut dari induknya. Berkembangnya pembangunan akan mengancam punahnya ketam ini dari pulau induk, selanjutnya menuju ke tingkat pulau kecil yaitu pulau Yoi di masa mendatang. Untuk mengendalikan pulau Yoi sebagai kawasan perlindungan untuk melindungi ketam kelapa ini dari kepunahan. Hubungan Panjang (CP+r) dengan Berat Tubuh Ketam kelapa yang diperoleh dari hasil penelitian untuk ketam kelapa jantan adalah 75 ekor dan betina 84 ekor. Kisaran panjang ketam jantan 32 – 109 mm dan berat 30 – 990 gram sedangkan ketam betina 23 – 97 mm dan berat 60 – 660 gram. Tabel 4. Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh Ketam kelapa (Birgus latro) Waktu penagamatan Ketam betina Ketam jantan n W=a(CP+r)b Januari 12 W=0,004(CP+r) Maret 10 W=0,047(CP+r) Mei 9 W=0,001(CP+r) Juli 15 W=0,000(CP+r) September 17 W=0,002(CP+r) Desember 12 W=0,000(CP+r) 2 R Pola pertumbuhan n W=a(CP+r)b 2,626 0,768 Allometrik 16 W=0,377(CP+r) 2,086 0,961 Allometrik 7 W=0,123(CP+r) 2,922 0,685 Allometrik 8 W=0,004(CP+r) 2,912 0,778 Allometrik 15 W=0,015(CP+r) 2,733 0,932 Allometrik 19 W=0,174(CP+r) 3,240 0,699 Isometrik 19 W=0,062(CP+r) 2 R Pola pertumbuhan 1,614 0,347 Allometrik 1,836 0,937 Allometrik 2,593 0,630 Allometrik 2,231 0,449 Allometrik 1,733 0,712 Allometrik 1,958 0,911 Allometrik Dari hasil hubungan panjang (CP+r) dan berat ketam diperoleh nilai b, nilai b adalah indicator pertumbuhan yang menggambarkan kecenderungan pertambahan panjang (CP+r) dengan berat ketam. Pada bulan Januari ketam jantan memiliki nilai b = 2,626 dan betina b= 1,614, Bulan Maret ketam jantan memiliki nilai b = 2,086 dan betina b= 1,836, bulan Mei ketam jantan memiliki nilai b= 2,922 dan betina b= 2,593, bulan Juli ketam memiliki nilai b=2,912 dan betina b= 2,231, bulan September ketam jantan memiliki nilai b=2,733 dan betina b=1,733, sedangkan bulan Desamber ketam jantan memiliki nilai b=3,240 dan betina b=1,958. Hasil analisis statistik hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa untuk masing-masing jenis kelamin dan waktu pengamatan diperoleh persamaan hubungan panjang (CP+r) dan berat tubuh dengan R2 (koefisien determinan) yang mendekati satu (Tabel 4). Besarnya nilai R2 yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa antara panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa mempunyai hubungan yang erat. Berdasarkan pengujian nilai b, pada bulan Januari sampai Desember ketam kelapa jantan dan betina mempunyai pola pertumbuhan allometrik (t hitung > t tabel) (b≠3), berarti bahwa pertambahan panjang (CP+r) lebih cepat dibandingkam pertambahan beratnya. Kecuali bulan Desember ketam kelapa jantan memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), berarti pertambahan panjang (CP+r) seimbang dengan pertambahan berat. Sedangkan analisis hubungan panjang (CP+r) dengan berat ketam kelapa pada Lokasi pengamatan ketam kelapa jantan diperoleh nilai b, b = 1,958 dan betina b= 1,467 pada stasiun Basecamp, stasiun Selatan ketam jantan memiliki nilai b= 3,012 dan betina b=2,140, stasiun Telaga ketam jantan memiliki nilai b = 2,231 dan betina b=1,794, stasiun Timur ketam jantan memiliki nilai b=2,954 dan betina b=2,005, stasiun Utara ketam kelapa jantan memiliki nilai b=3,062 dan betina b=2,103 dan stasiun Barat ketam jantan memiliki nilai b=3,426 dan betina b=2,363 (Tabel 5). Hasil uji t yang telah dilakukan pada ketam jantan dan betina pada lokasi pengamatan menunjukkkan bahwa, nilai b pada ketam jantan dan betina secara keseluruhan adalah t hitung > t tabel (b≠3). Secara umum, pola pertumbuhannya allometrik yaitu pertambahan panjang (CP+r) lebih cepat daripada pertambahan bertat tubuhnya, kecuali ketam jantan pada stasiun Selatan, Utara dan Barat adalah t hitung < t tabel (b=3), pola pertumbuhannya isometrik yaitu pertambahan panjang (CP+r) seimbang dengan berat tubuh. Tabel 5. Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa (Birgus latro) Lokasi penagamatan Ketam betina Ketam jantan n W=a(CP+r)b Basecamp 16 W=0,078(CP+r) Selatan 14 W=0,000(CP+r) Telaga 13 W=0,021(CP+r) Timur 13 W=0,001(CP+r) Utara 11 W=0,000(CP+r) 2 b 2 R Pola pertumbuhan n W=a(CP+r) R Pola pertumbuhan 1,958 0,825 Allometrik 10 W=0,0,469(CP+r) 0,559 Allometrik 3,012 0,865 Isometrik 15 2,140 W=0,027(CP+r) 0,726 Allometrik 2,231 0,816 Allometrik 17 W=0,132(CP+r) 1,794 0,527 Allometrik 2,954 0,953 Allometrik 19 W=0,049(CP+r) 2,005 0,446 Allometrik 3,062 0,959 Isometrik 12 2,103 0,959 Allometrik W=0,038(CP+r) 1,467 Barat 8 W=0,000(CP+r) 3,426 0,891 Isometrik 11 2363 W=0,011(CP+r) 0,687 Allometrik Pada penelitian ini nilai b pada ketam kelapa jantan berkisar antara 2,086 – 3,240 dan betina 1,614 – 2,593 pada waktu pengamatan, sedangkan pada lokasi pengamatan ketam kelapa jantan berkisar antara 1,958 – 3,426 dan betina 1,467 – 2,363. Sedangakan pada penelitian Rafiani (2005), di pulau Pasoso, hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh pada ketam jantan nilai b=2,5562 dan betina b =2,5536. Sehingga berdasarkan pernyataan Effendi (1979), nilai b=<3, maka pertumbuhan bersifat allometrik yaitu pertambahan panjang (CP+r) lebih cepat dibandingkan beratnya atau pertambahan berat lebih dominan dibandingkan pertambahan panjang (CP+r)nya. Hal ini disebabkan ketam kelapa, seperti kelompok krustase lain, untuk tumbuh ketam kelapa harus melakukan gantu kulit atau moulting. Menurut Fletcher et al., 1991), berkaitan dengan aktifitas moulting, ketam kelapa biasanya membuat sebuah lubang perlindungan dengan cara menggali lubang dan membuat lorong bawah tanah di daerah berpasir pada jarak tertentu dari daerah normalnya yaitu hábitat berbatu. Ketika mulai menggali, ketam kelapa menggunakan chelaenya yang besar untuk mengeluarkan tanah dan meninggalkan gundukan tanah pada pintu masuknya. Lubang-lubang ini terkadang rumit, menyulitkan bagi ketam kelapa itu sendiri dan berada dibawah bebatuan dan pohon-pohon, membuat sulit untuk mengetahui keberadaan ketam ini jika diamati melalui permukaan. Jarak rata-rata antara pintu masuk dengan runag moulting berkisar 1 meter dan tidak terdapat hubungan antara ukuran ketam kelapa dengan panjang dari lubang tersebut. Ruang akhirnya berada 50 cm dari permukaan tanah, meskipun ketam kelapa lebih kecil sanggup menggali lebih dalam daripada ketam kelapa berukuran besar. Yang menarik dari ruang moulting ketam adalah ruangan ini digali di tanah pasir yang kering dan tidak terdapat air yang terkandung didalamnya (Rafiani, 2005). Aktivitas moulting ketam kelapa biasanya membuat sebuah lubang persembunyiaan dengan cara menggali lubang dan membuat lorong dibawah tanah didaerah berpasir pada jarak tertentu dari daerah normalnya yaitu hábitat berbatu. Ketika mulai menggali, ketam kelapa menggunakan chelaenya yang besar untuk mengeluarkan tanah dan meninggalkan gundukan tanah pada pintu masuknya. Lorong-lorong tersebut terkadang rumit dan menyulitkan bagi ketam kelapa sendiri dan berada dibawah batuan dan pohon-pohon, sehingga sulit untuk mengetahui keberadaan ketam kelapa, jika diamati dari permukaan. Jarak rata-rata antara pintu masuk dengan daerah moulting berkisar 1 meter. (Fletcher et al., 1991). Di alam aslinya, ketam kenari senang menggali lubang. Caranya membuat lubang, kaki jalan pertama (bercapit) sebelah kanan digunakan sebagai penggali, sedang kaki jalan pertama sebelah kiri dipakai untuk mendorong hasil galian dan menumpukkannya pada sisi kirinya. Setelah moulting ketam kelapa akan memakan exuvium dari cangkangnya. Jika ketam kelapa tidak makan exuvium dari cangkangnya, makacangkang yang baru tidak mencapai derajat kekerasan seperti cangkang sebelumnya. Umumnya yang dimakan dahulu adalah bagian dada yang tipis, bagian capit merupakan bagian terakhir yang dimakan. Hanya beberapa bagian kecil dari cangkang yang masih tersisa ketika ketam keluar dari lubang persembunyiannya. Ketam kelapa besar membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat minggu untuk mengeraskan cephalothoraksnya. Faktor Kondisi Faktor kondisi adalah derivat penting dari pertumbuhan. Faktor kondisi disebut faktor K. faktor kondisi ini menunujukkan keadaan baik dari ketam dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi (Effendie, 2002). Didalam penggunaan secara komersil, kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging yang tersedia, sehingga kondisi ini dapat memberikan keterangan baik secara biologis maupun komersil. Untuk melihat adanya pengaruh lingkungan terhadap kondisi fisik organisme yang dirumuskan dalam fungsi bobot tubuh berbanding panjang tubuh ketam kelapa. Secara teoritis nilai faktor kondisi berbanding lurus dengan berat tubuh. Apabila terjadi penurunan mutu lingkungan, maka bobot tubuh akan menurun juga. Variasi nilai faktor kondisi bergantung kepada ketersediaan makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad. Faktor kondisi pada ketam kelapa jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19. Jantan Betina Gambar 18 Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan contoh. Jantan Betina Gambar 19 Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan lokasi pengambilan contoh Nilai faktor kondisi ketam kelapa (Birgus latro) berfluktuasi dimasingmasing bulan dan stasiun, baik ketam jantan maupun betina. Selama penelitian diperoleh kisaran nilai rata-rata ketam jantan 1,00-1,05 dan faktor kondisi ketam betina berkisar antara 1,01-1,16. Sedangkan faktor kondisi ketam jantan pada stasiun dengan nilai rata-rata 1,00-1,03 dan faktor kondisi ketam betina 1,001,012. Sedangkan berdasarkan pernyataaan (Rafiani, 2005) , pulau pasoso terdapat faktor kondisi pada ketam jantan mempunyai nilai terbesar 1,15 dan betina mencapai nilai tertinggi 1,134. Puncak kurva dapat diartikan sebagai kesiapan ketam kelapa dalam bereproduksi karena peningkatan faktor kondisi. Peningkatan faktor kondisi merupakan indikasi adanya peningkatan aktifitas reproduksi, sehingga diperkirakan puncak faktor kondisi merupakan puncak aktifitas pemijahan atau musim pemijahan. Tingkat Kematangan Gonad Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah dapat dipergunakan sebagai penduga status reproduksi ketam kelapa, umur dan pertama kali matang gonad, proporsi jumlah stok yang secara produktif matang dengan pemahaman tentang siklus reproduksi bagi satu populasi atau spesies. Di dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar hasil metabolisme tubuh ditujukan untuk perkembangan gonad. Tingkat kematangan gonad adalah tingkatan atau tahapan dari perkembangan gonad sebelum telur tersebut dikeluarkan atau dipijahkan. Gonad semakin berat diikuti oleh meningkatnya ukuran, termasuk ukuran diameter telur di dalam ovari. Berat ovari akan mencapai maksimum sesaat ketam kelapa akan memijah yang kemudian akan menurun secara cepat selama berlangsungnya pemijahan sampai selesainya pemijahan. ketam kelapa akan mencapai matang gonad ketika mencapai umur 3,5 dan 5 tahun. Pada umur tersebut ketam kelapa akan kembali melakukan aktifitas perkawinan dan memulai kembali siklus hidupnya dengan melepaskan telurnya ke laut (Obet et al.,1992). Gambar 20 Tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan berdasarkan waktu pengambilan contoh Gambar 21 Tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina berdasarkan waktu pengambilan contoh Dari hasil penelitian gonad ketam kelapa jantan memiliki semua tahapan tingkatan kematangan gonad, baik tingkat kematangan I, II, III, dan IV. Menurut Sastry (1983), puncak kegiatan gonad pada ketam jantan dan betina tidak seimbang, jantan biasanya matang lebih awal dibandingkan dengan betina. Berdasarkan (Gambar 27 dan 28), komposisi ketam kelapa jantan pada TKG I yang tertinggi terdapat pada bulan Juli adalah 50%, diikuti dengan bulan Maret 40%, bulan Mei 30%, September dan Desember adalah 20% dan Januari 10%. TKG II tertinggi pada bulan Januari adalah 70%, bulan Mei, Juli dan Sepember adalah 50%, bulan Desember adalah 40% dan terendah bulan Maret adalah 20%. TKG III pada bulan Maret dan September adalah 60%, bulan September 40%, bulan Juli 30%, dan Januari 20% .TKG IV pada bulan September adalah 60% dan bulan Juli adalah 20%. Sedangkan pada ketam betina TKG I yang tertinggi pada bulan Juli, September dan Desember adalah 50%, bulan Maret 30%, bulan Januari dan Mei 10%, TKG II pada bulan Juli dan Desember adalah 60% dan bulan Maret, Mei dan September masing-masing adalah 40%, TKG III pada bulan September adalah 60%, bulan Maret 50% dan bulan Mei, Juli dan September adalah 30%. Pada TKG IV pada bulan Desember 50%, Maret dan September adalah 40%, bulan Januari adalah 20%, sedangkan bulan Juli 10%. Sedangkan menurut (Rafiani, 2005), tingkat kematangan gonad ketam kelapa di pulau pasoso, TKG I yang tertinggi terdapat pada bulan oktober yaitu 66,67%, TKG II bulan Agustus 50%, TKG III BULAN Februari adalah 100% dan TKG IV pada bulan Januari 100%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kematangan tidak secara berurutan dan serentak dari fase belum matang gonad ke fase matang gonad. Adanya ketidakseragaman atau variasi TKG memperlihatkan bahwa proses pemijahan ketam kelapa betina berlangsung secara terus-menerus. Tipe pemijahan ketam di daerah tropis berkelanjutan selama hampir satu tahun. Pemijahan dapat terjadi beberapa kali selama musim pemijahan yang panjang. Ketam kelapa yang tertangkap terbagi dalam sembilan ukuran panjang (CP+r). Ketam jantan TKG III ditemukan pada ukuran 30-109 mm . Sedangkan pada TKG IV ditemukan pada ukuran 60-109 (Gambar 29 dan 30). Ukuran pertama kali matang gonad ketam kelapa jantan pada selang ukuran 60-69 mm, sedangakan pada betina 50-59mm. Gambar 22 Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan berdasarkan selang ukuran panjang CP+r (mm) Persentase ketam kelapa betina pada berbagai tingkat kematangan gonad (TKG) yang dicapai selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 30 . Terlihat bahwa ukuran pertama kali matang gonad TKG III ditemukan pada selang kelas 50-59 mm. Sedangkan pada TKG IV ditemukan dengan ukuran 60-69 mm. Ukuran ketam kelapa pada saat pertama matang gonad merupakan informasi yang sangat penting karena merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi ketam kelapa. Pertama kali ketam kelapa matang gonad sebagai indikator ketersediaan stok reproduksi dan juga merupakan informasi penting dalam penerapan perikanan. Ketam kelapa merupakan hewan yang dilindungi, maka ukuran pertama kali matang gonad sangat diperlu diketahui untuk ukuran ketam bereproduksi. Gambar 23 Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina berdasarkan selang ukuran panjang CP+r (mm) Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ketam kelapa jantan matang gonad pada panjang (CP+r) adalah 60-99 mm dan ketam betina dengan panjang (CP+r) adalah 50-99 mm pada TKG III dan IV (Gambar 29 dan 30). Dilihat dari persentase tingkat kematangan gonad, diketahui bahwa bulan September dan Desember memiliki nilai yang cukup tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada kedua bulan tersebut diduga terdapat musim pemijahan bagi ketam kelapa di Pulau Yoi. Namun demikian keadaan ini perlu dilihat lagi nilai indeks kematangan gonadnya sebagai pembanding yang memperkuat pernyataan tersebut. Indeks Kematangan Gonad Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Pada masa tersebut gonad semakin berkembang seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan gonadnya. Gonad ketam akan berkembang mencapai maksimum sesaat ketam akan memijah, kemudian gonad ketam turun secara cepat selama pemijahan berlangsung sampai selesai. Indek kematangan gonad merupakan persentase dari berat gonad terhadap berat tubuh ketam kelapa. Nilai IKG yang didapatkan adalah sejalan dengan perkembangan gonad. Nilai IKG akan mencapai nilai tertinggi pada saat akan terjadi pemijahan. Ukuran gonad bertambah sejalan dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad. Berbeda dengan TKG dimana ukuran kematangan gonad dinyatakan secara kualitatif, IKG merupakan ukuran perkembangan gonad secara kuantitatif. Nilai IKG bergantung dari ukuran ketam dan tingkat perkembangan gonad. Secara umum nilai IKG meningkat sejalan perkembangan gonad ketam, nilai tertinggi dicapai pada saat mencapai TKG IV, kemudian menurun setelah ketam melakukan pemijahan (TKG V). bobot gonad dan IKG ketam mencapai maksimal pada TKG IV. Jantan Betina Gambar 29 Indeks kematangan gonad ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan waktu pengambilan contoh Jantan Betina Gambar 25 Indeks kematangan gonad ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan lokasi pengambilan contoh Indeks kematangan gonad merupakan persentasi dari berat gonad terhadap berat tubuh ketam kelapa. Nilai indeks kematangan gonad yang didapatkan adalah sejalan dengan perkembangan gonad. Akan semakin besar nilai indeks kematangan gonad akan mencapai nilai tertinggi pada saat akan terjadi pemijahan. Indeks kematangan gonad pada ketam kelapa bulan Januari sampai Februari, naik pada bulan Maret dan turun pada bulan Mei, kemudian naik pada bulan Juli dan mencapai tertinggi pada bulan September dengan nilai rata-rata adalah 1,51 kemudian turun lagi pada bulan Desember. Sedangkan pada ketam betina mencapai puncak tertinggi pada bulan Desember adalah 2,94 dan IKG terendah pada bulan Mei adalah 0,61. Dari hasil penelitian diperoleh kisaran nilai rata-rata IKG ketam kelapa jantan adalah 0,560-1,516. Sedangkan ketam kelapa betina adalah 0,375-2,949, sehingga nilai IKG ketam kelapa jantan umumnya memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan IKG betina (Gambar 31 dan 32). Rafiani, 2005, menyatakan bahwa di pulau pasoso, IKG jantan tertinggi pada bulan November dengan nilai 1,108 dan terendah bulan Februari dengan nilainya adalah 0,87 dan betina mencapai nilai tertinggi pada bulan Desember dengan nilai 6,45 dan terendah pada bulan bulan Agustus yaitu 0,7. Pillay dan Nair (1973) melaporkan bahwa IKG ketam kelapa betina lebih tinggi dibandingkan jantan yang hanya memproduksi sperma. Adanya variasi ukuran dari kematangan gonad antara populasi diperkirakan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain lingkungan, genetik, kepadatan, seleksi tekanan dari penangkapan atau tekanan dari predator. Pada lokasi penelitian dipengaruhi oleh dua perubahan musim yaitu musim barat sepanjang bulan Juli, Agustus dan musim selatan pada bulan Desember, Maret, sedangkan musim pancaroba pada bulan Januari dan Mei. Curah hujan setiap tahun sangat bervariasi. Kematangan gonad dipengaruhi oleh pola curah hujan, semakin tinggi curah hujan semakin cepat matang gonad. Fekunditas Fekunditas yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 17.698 – 143.210 butir telur dengan rataan sebesar 128776,9 butir (Gambar 30 dan 31). Menurut Helfman (1973) ketam kelapa di Vanuatu mengeluarkan sekitar 51000 sampai 138000 butir telur (dengan rata-rata sekitar 100000 butir). Rafiani (2005) menyampaikan bahwa fekunditas ketam kelapa di pulau Pasoso (Sulawesi Tengah) bervariasi dari 58717 sampai 197400 butir telur. Gambar 26 Hubungan panjang CP+r dan berat tubuh dengan fekunditas pada TKG III Gambar 27 Hubungan panjang CP+r dan berat tubuh dengan fekunditas pada TKG IV Berdasarkan Gambar. 26 hubungan panjang (Cp+r) dan berat tubuh dengan fekunditas pada TKG III menghasilkan persamaan F = 84.00(CP+r)1.211 dengan R2 sebesar 0.336 dan F = 233.1Bt 0.643 dengan R2 sebesar 0.694. sedangkan Gambar 27. Menjelaskan hubungan Panjang CP+r dan berat tubuh dengan fekunditas pada TKG IV, diperoleh persamaan F = 1.019CP+r-2.577 dengan R2 sebesar 0.784 dan F= 161.1Bt-1.055 dengan R2 sebesar 0.802. Hal ini menunjukkan fekunditas dengan panjang (CP+r) serta fekunditas dengan berat tubuh, tidak mampu menggambarkan kondisi ketam pada saat ketam tersebut akan memijah. Diameter Telur dan Pola Pemijahan Dari hasil penelitian diperoleh diameter telur ketam kelapa yang berTKG III adalah 0,010 sampai 0,085 mm, sedangkan diameter telur pada TKG IV adalah 0,010 sampai 0,095 mm. Diameter telur pada TKG III kisaran terbesar 0,052 – 0,054 dan TKG IV kisaran terbesar 0,052 – 0,054 dan 0,058 – 0,060 ( Gambar 28 dan 29). Rafiani (2005), diameter telur yang diperoleh pada penelitiannya untuk TKG III berkisar antara 0,011 -0,032 mm kisaran terbesar pada 0,0152 – 0,0172 mm. sedangkan pada TKG IV berkisar antara 0,015-0,035mm dengan kisaran terbesar berada pada 0,0188 – 0,0206 dan 0,0207- 0,0225. Gambar 28 Sebaran diameter telur ketam kelapa pada tingkat kematangan gonad (TKG III) Gambar 29 Sebaran diameter telur ketam kelapa pada tingkat kematangan gonad (TKG IV) Sebaran diameter telur dari tingkat kematangan gonad tersebut terlihat adanya satu puncak, sehingga bisa dinyatakan ketam ini memiliki tipe pemijahan total spawner yaitu telur dikeluarkan secara total dari tubuhnya. Tingkat kegagalan reproduksi pada ketam total “spawner” lebih tinggi karena waktu pemijahan yang hanya sekali. Keadaan ini dapat berbahaya jika faktor lingkungan dimana biota tersebut ditemukan kurang mendukung baik fisik, kimia, maupun biologi, serta adanya hewan kompetitor ataupun pemangsa. Ukuran dari telur yang diproduksi oleh suatu spesies adalah di bawah kendali genetik (Raven, 1961). Ukuran telur mempunyai konsekwensi penting kepada tingkat pengembangan dan kepada ukuran larva atau juvenil. Telur lebih besar menghasilkan keturunan lebih besar, mereka mengadaptasikan lebih baik untuk memberi makan dan menyediakan kemampuan kompetitif lebih besar di lingkungan agar tetap hidup. Karakteristik Fisika Kimia Habitat Habitat ketam kelapa di Pulau Yoi diwakili oleh hasil pengamatan pada 6 stasiun pengambilan contoh yang meliputi hasil pengukuran pada lokasi daratan di mana hewan tersebut tetangkap. Hasil tersebut ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 6. Hasil pengukuran fisika kimia habitat ketam kelapa di Pulau Yoi Stasiun pengamatan Basecamp Selatan Telaga Timur Utara Barat Kelembaban Udara 83 88 87 88 81 81 Stasiun Suhu Udara 26,5 26,7 26,2 26,9 26,1 26,6 Suhu Tanah 26 26 26 26 26 26 Ph Tanah 6,4 5,5 6,4 5,3 7 6,9 Fraksi Pasir 35,93 55,57 86,58 30,94 91,83 47,99 Fraksi Debu 12,85 4,20 8,20 26,08 1,74 17,78 Fraksi Liat 51,23 40,23 5,22 42,98 6,43 34,23 COrganik 2,15 1,65 0,41 3,12 2,64 0,79 basecamp adalah stasiun yang terletak dekat pemukiman penduduk yang jaraknya hanya 400 – 500 m ke lokasi penangkapan ketam kelapa . Kondisi pantai di lokasi ini dicirikan oleh pantai yang curam. Selain itu, substrat pantai yang didominasi oleh substrat pasir. Hasil analisis terhadap fraksi tanah, memperlihatkan bahwa liat lebih dominan dibandingkan pasir dan debu, dengan kandungan bahan organiknya 2,15%. Lokasi penangkapan ketam kelapa di stasiun basecamp secara visual masih dalam kondisi alamiah, yakni secara fisik keadaan lubang-lubang pada batu-batu karang yang terjal. Selain itu, pada stasiun ini ditemukan rawa-rawa yang diduga airnya mengalir pada atau sekitar lubang-lubang tempat Ketam Penutupan lahan 75 70 95 90 80 78 kelapa ditemukan. Keberadaan aliran air seperti ini sangat diperlukan bagi hewan ini untuk melembabkan insangnya. Sebagai konsekuensi dari kedekatan lokasi dengan tempat tinggal penduduk, lokasi ini sudah sejak lama menjadi tempat kegiatan penangkapan utama ketam sehingga populasinya diduga cepat menurun. Hal ini diperkuat oleh keterangan penduduk setempat dan juga hasil tangkapan saat penelitian yakni ketam kelapa sedikit dan ukurannya relatif kecil. Stasiun selanjutnya adalah stasiun Selatan yang terletak antara basecamp dengan stasiun Telaga. Pada lokasi ini dicirikan oleh kemiringan pantai yang curam dan bahkan pada beberapa lokasi ada tebing dengan ketinggian sekitar 1 m. Jarak lokasi ditemukan lubang-lubang ketam dari perairan sekitar 100-200 meter. Berdekatan dengan lokasi ini terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon bakau dari jenis Avicennia sp. Jarak yang dekat dari pemukiman yakni sekitar 1,5 km serta akses yang mudah menjadikan tekanan penangkapan ketam oleh penduduk lokal di lokasi ini cukup tinggi. Sudah diduga akibatnya adalah penurunan populasi yang dicirikan semakin sedikit jumlah tangkapan dan semakin mengecilnya ukuran. Stasiun penelitian berikutnya adalah stasiun Telaga. Ciri yang menonjol pada stasiun ini dibandingkan dengan stasiun lainnya adalah kemiringan pantai yang tergolong landai dengan kemiringan rata-rata <5o. Lokasi perairan relatif terlindung dari energi gelombang karena morfologi pantai menjorok ke daratan serta di muka teluk ada pulau-pulau kecil yang berfungsi mereduksi energi massa air yang masuk ke dalam teluk. Sebagian kondisi di stasiun Telaga (lampiran 2). Ciri khas lainnya dari stasiun ini adalah substrat yang 100 % berpasir. Hal ini terbukti dari tingginya fraksi pasir (>85%) dibandingkan fraksi tanah lainnya. Kondisi fisik stasiun Telaga diduga merupakan tempat yang sangat cocok untuk kehidupan ketam kelapa. Pantai yang landai dan perairan yang tenang sangat mendukung siklus hidup dari hewan ini terutama saat terjadi transisi sebagai hewan planktonik di air dan untuk pertamakalinya merambah habitat daratan yang berjarak sekitar 100-250 meter dari pantai. Perairan yang tenang dan adanya komunitas lamun yang didominasi oleh spesies Enhalus acoroides diduga tiak hanya menyediakan habitat yang baik bagi stadia planktonik Ketam kelapa, namun juga menyediakan makanan yang diperlukan oleh larva hewan ini. Bergerak ke arah daratan pada stasiun ini, kondisi lubang-lubang batu mirip dengan stasiun-stasiun lainnya. Namun pada stasiun ini tempat penangkapan ketam kelapa berdekatan dengan daerah berawa-rawa sehingga menciptakan kondisi lembab yang sangat cocok bagi kehidupan ketam kelapa (lampiran 2). Dapat disimpulkan secara fisik-kimia, baik habitat daratan pada stasiun ini sangat mendukung bagi kehidupan ketam. Vegetasi daratan banyak didominasi oleh pohon pinus, semak dan mengkudu serta sebagian kecil pohon keras yang secara keseluruhan kondisinya masih relatif alamiah kecuali pada lokasi yang sudah dibuka untuk kebun masyarakat. Data hasil tangkapan menunjukkan bahwa stasiun ini memiliki jumlah tertinggi selain stasiun Timur, sehingga terdapat korelasi positif antara kecocokan habitat . Akan tetapi, tekanan penangkapan yang tinggi telah mengakibatkan meskipun jumlah masih cukup baik tetapi ukuran hewan yang besar di atas 1,5 kg sudah sangat jarang didapat. Untuk mencapai stasiun Timur dilakukan dengan transportasi air yang memutari pulau ini dari basecamp atau dari stasiun Barat dengan jalan kaki atau dengan perahu. Seperti halnya stasiun Utara, stasiun Timur dicirikan oleh pantai yang curam dan memiliki energi gelombang yang tinggi. Substrat pantai didominasi oleh pasir kemudian batu. Fraksi tanah antara liat, debu dan pasir tidak berbeda jauh. Dibandingkan dengan stasiun lainnya, seperti terlihat pada Tabel 4, persentase C-organik pada stasiun ini paling tinggi. Kegiatan manusia yang ada dan berpotensi mengganggu kualitas air pada lokasi ini terbilang minim atau tidak ada. Seperti terlihat pada lampiran 2, kondisi vegetasi dekat pantai didominasi oleh semak, kelapa, katyu, kayu besi dan pandan laut . Apabila masuk ke dalam vegetasi alamiah seperti pohon Kai Yoi dapat ditemukan. Kondisi stasiun Timur. Stasiun berikutnya yang juga memiliki kekuatan oseanografis tinggi adalah stasiun Utara yang terletak di bagian utara dan berhadapan dengan Pulau Uta. Secara umum stasiun ini memiliki pantai berbatu dengan kondisi daratan merupakan campuran antara hutan alamiah dengan perkebunan kelapa milik penduduk. Pantai tergolong curam dan sangat berbahaya bagi perahu kecil untuk mendarat terutama pada saat musim selatan yang terjadi pada bulan September hingga November. Substrat pantai pada lokasi penelitian didominasi oleh batu dan pasir meskipun tidak jauh dari lokasi tersebut pasir lebih mendominasi. Vegetasi alamiah yang ada di sini hampir sama dengan stasiun lainnya yaitu perdu, semak dan pohon keras. Data lengkap mengenai jenis-jenis vegetasi disajikan pada tabel 5. Berdasarkan hasil analisis faksi tanah, stasiun utara didominasi oleh pasir yakni di atas 90 %, sisanya berupa liat dan debu. Adapun kualitas air di stasiun Utara umumnya masih sangat baik dan berada pada kondisi alamiahnya. Jarak perairan pantai ke lokasi penangkapan Ketam relatif dekat sekitar 250 m. Namun untuk sampai ke lokasi ini harus melewati hutan dari ujung teluk atau memutar ke arah timur pulau, namun seperti dikatakan tadi kurang aman untuk pelayaran dengan menggunakan perahu “bodi” atau perahu kayu kecil yang dimiliki nelayan setempat. Posisi stasiun Utara yang jauh dari pemukiman penduduk serta lingkungannya yang kurang nyaman karena banyaknya nyamuk dan agas, menyebabkan tingkat penangkapan di daerah ini diduga lebih sedikit dibandingkan dengan stasiun telaga dan basecamp. Ukuran ketam yang tertangkap di sini ada yang mencapai ukuran cukup besar meskipun jumlahnya tidak sebanyak yang diperoleh di Telaga. Bahkan ditemukan betina yang bertelur. Seperti halnya di stasiun Utara, tekanan penangkapan pada lokasi ini relatif kurang karena faktor jarak dan keberadaan nyamuk dan agas yang membuat kegiatan penangkapan ketam kurang nyaman. Salah satu bukti bahwa tekanan tangkapan kurang adalah meskipun jumlah ketam tidak sebanyak di Telaga, tetapi di sini ukuran yang agak besar masih sering ditemukan. Selama sampling ke Pulau Yoi, ukuran ketam kelapa terbesar ditemukan di pulau ini yaitu sekitar 1,8 kg. Selain itu, pada lokasi ini ditemukan juga ketam kelapa yang bertelur. Secara umum kondisi habitat perairan di stasiun Timur ini secara fisik kurang mendukung proses rekrutmen dari perairan, akan tetapi karena tekanan penangkapan yang kurang intensif sehingga masih ditemukan ketam dalam jumlah dan ukuran yang cukup memadai. Berlawanan dengan stasiun telaga yang kondisi oseanografisnya paling tenang, stasiun barat dicirikan oleh gelombang yang kuat dan pantai yang curam. Selain itu, pada stasiun barat terdapat tebing terjal setinggi 1-3 m. Kondisi perairan dilihat dari kualitas air masih sangat baik dan mendukung kehidupan organisme akuatik. Tidak banyak kegiatan manusia di lokasi ini selain perkebunan bahkan sebagian lagi merupakan hutan yang masih alami yang ditumbuhi vegetasi alamiah Pulau Yoi. Pada ekosistem daratan yang terdiri dari hamparan batu karang dan lapisan tanah yang tipis sehingga kandungan bahan organiknya relatif kecil (<1 %), fraksi pasir dan fraksi liat tidak berbeda jauh yakni 34 % berbanding 47 %, sementara fraksi debu sekitar 17 %. Hal ini menggambarkan kesuburan tanah di lokasi ini dan juga secara umum Pulau Yoi relatif rendah dan hanya cocok ditanami pohon kelapa. Perubahan yang mendadak dari lingkungan pantai yang berenergi tinggi ke ekosistem darat yang dibatasi tebing yan terjal menyebabkan secara fisik habitat ketam kelapa paling sulit untuk dicapai oleh manusia; Penangkapan ketam tetap ada tetapi relatif lebih jarang. Hal ini selain hambatan fisik, jumlah ketamnya dan diduga paling sedikit. Tidak seperti di stasiun telaga, habitat perairan di sini diduga kurang menunjang proses rekrutmen dari hewan planktonik menjadi hewan daratan dikarenakan hambatan fisik yang terlalu besar baik yang berasal dari kekuatan energi gelombang, ketiadaan habitat untuk larva berlindung dan mencari makan, serta hambatan migrasi ke arah darat yang terhalang tebing. Pada gilirannya, kombinasi dari faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap populasi ketam dewasa. Vegetasi Daratan Vegetasi yang tumbuh di atas pulau Yoi adalah pohon kelapa, perdu, semak dan rerumputan yang mampu beradaptasi dengan kondisi tanah yang memiliki hara yang rendah (Tabel 4. fraksi C-Organik). Berbagai jenis vegetasi yang ada yang ada merupakan spesies lokal yang umum ditemukan di Kepulauan Halmahera dan sekitarnya. Menurut nama lokal setempat dinamakan mengkudu, dankehnyala, dankehrud, midmid, kayu besi, lago, badenga puti, sengen man, kai yoi, ceu, kabu, bis, bibau, selegig, kebu, galipiopo, iawan dan katanewu. Daun dari jenis-jenis tersebut di atas ditampilkan pada . Selain itu ada beberapa jenis tanaman perdu termasuk pandan dan semak termasuk di dalamnya berbagai jenis rumput-rumputan dan tanaman merambat. Selain yang alami, vegetasi introduksi yang umum terdapat di pulau umumnya pohon kelapa. Tabel 7. Keadaan umum setiap stasiun pengamatan Stasiun penagamatan Vegetasi PT Tipologi pantai Basecamap Mengkudu, kelapa, semak, kayu hitam. Penutupan lahan 75% 400-500 Pasir berbatu dan curam Selatan Pohon kelapa, ketapang, pohon beringin, pandan laut, mengkudu , kayu besi. Penutupan lahan 70% 100-200 Pasir berbatu dan curam Telaga Pandan laut, pohon kelapa, ketapang, pohon beringin, semak, mengkudu 100-250 Berpasir dan landai Timur Kelapa, pandan laut, kayu hitam, kayu besi, pohon beringin, mengkudu. Penutupan lahan 80%. Penutupan lahan 95% 100-200 Pasir berbatu dan landai Utara Kebun kelapa, pohon beringin, ketapang, mengkudu, kayu besi, kayu hitam, semak, pandan laut. Penutupan lahan 80% 100-250 Batu berpasir dan curam Barat Pohon kelapa, kayu hitam, pohon beringin, pandan laut. Penutupan lahan 78% 100-300 Pasir berbatu dan curam Keterangan : PT = Jarak dari pantai Kerapatan vegetasi yang dihitung hanya berdasarkan tegakan pohon pada setiap stasiun. Kerapatan tertinggi di temukan di stasiun selatan, barat, timur dan utara yakni antara 5 – 8 pohon/m2, sementara untuk lokasi telaga dan basecamp antara 3 – 5 pohon/m2. Selain pohon terdapat juga tegakan dan anakan namun tidak dilakukan pencacahan. Perbedaan kerapatan tersebut umumnya adalah karena kondisi alamiah dan tidak ada gangguan berupa penebangan oleh manusia. Stasiun Barat, terpelihara dengan baik. Selain pengaruh kesuburan, kelimpahan juga dipengaruhi oleh ukuran pulau, yang mana jumlah jenis dan kerapatan pada pulau lebih kecil umumnya lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makanan utama ketam kelapa adalah kelapa (>90 % dari isi perutnya). Meskipun merupakan introduksi, keberadaan vegetasi kelapa ini sangat penting bagi kelangsungan hidup ketam kelapa. Belum ada penelitian tentang peranan vegetasi (alamiah) lainnya bagi kehadiran hewan ini. Namun diduga vegetasi tersebut dapat berperan dalam memberikan lindungan/shelter baik secara langsung terhadap lubang-lubang batu karang yang ada maupun lindungan cahaya karena hewan ini bersifat nokturnal. Komunikasi pribadi dengan nelayan (2008) bahwa di pulau yang tidak memiliki habitat batu karang, ketam kelapa membuat lubang di balik akar-akar kayu. Fungsi lainnya dari keberadaan vegetasi ini adalah membantu meningkatkan kelembaban daerah sekitarnya karena mengurangi penguapan. Sebagai bagian dari upaya perlindungan habitat, maka tidak upaya untuk mempertahankan keberadaan vegetasi ini sangat penting. Keterkaitan antara kondisi habitat dengan jumlah ketam kelapa Keterkaitan populasi ketam kelapa selama penelitian dengan kondisi habitat, baik habitat darat, kondisi vegetasi dan tekstur tanah. Terlihat bahwa basecamp jumlah penangkapan paling rendah, demikian halnya barat. Adapun Timur dan Telaga yang memiliki jumlah populasi ketam terbanyak dicirikan oleh pantai yang paling landai, kekuatan osanografi yang minimal dan substrat pasir (lampiran 2). Seperti dijelaskan diatas bahwa stasiun Telaga diduga merupakan stasiun yang paling optimal memberikan peluang kehidupan bagi hewan ini, baik pada saat stadia planktonik di perairan maupun saat menjadi hewan darat. Di lokasi penelitian di pulau Yoi ditemukan ketam kelapa, Birgus latro adalah wilayah pesisir yang masih ditumbuhi vegetasi primer. Kondisi hutan pesisir yang masih utuh dapat menyediakan sumber makanan secara langsung bagi organisme. Kondisi pepohonan yang yang masih lebat atau rimbun menciptakan kondisi kelembaban yang relatif tinggi. Menurut Fletcher et al.,(1991) dan Holthuis 1963 dalam Pratiwi 1989) menyatakan bahwa Birgus latro merupakan hewan yang paling menyukai buahbuahan. Jenis buah-buahan yang disukai antara lain kelapa (Cocos nucifera), kenari (Canarium commune), pepaya (Carica papaya), pisang (Musa spp), ketapang (Terminalia catappa), buru (Pandanus spp), sukun (Artocarpus spp), sagu (Sago spp). Buah-buahan tersebut akan dimakan oleh jenis ketam ini dengan cara memanjat dengan cepat dan tangkas. (Amesbury, 1980). Ketam kelapa merupakan binatang pemakan segala. Selain itu memakan daging kelapa, buah pandan, bangkai pecahan kayu, lobster, kepiting dan kerang-kerangan. Pada penelitian yang dilakukan pada kurungan ini ketam kelapa diberi makan sayuran seperti selada dan kubis serta siput afrika. Makanan ketam kelapa terutama terdiri dari buah, termasuk kelapa dan beringin. Tetapi, mereka akan memakan hampir semua yang organik, seperti daun, buah busuk, telur penyu, hewan mati, dan cangkang hewan lain, yang dipercaya menyediakan kalsium. Mungkin mereka juga makan hewan hidup lain yang terlalu lambat untuk lari, seperti tukik penyu yang baru menetas. Ketam kenari memanjat pohon untuk makan kelapa atau buah, untuk menghilangkan panas atau untuk lari dari pemangsa. Adalah anggapan umum bahwa ketam kenari memotong buah kelapa dari pohonnya lalu memakannya di tanah (dari situlah nama Jerman Palmendieb, yang berarti "pencuri kelapa", dan nama Belanda Klapperdief). Tetapi menurut ahli biologi Jerman Holger Rumpf, hewan itu tidak cukup pintar untuk melakukan hal itu, melainkan ketam itu menjatuhkan buah kelapa ke tanah saat mencoba membuka buah itu di pohon. Ketam kelapa membuat lubang ke dalam kelapa dengan capit mereka yang kuat lalu memakan isinya; perilaku ini unik dalam dunia binatang. Diragukan beberapa lama bahwa ketam kelapa dapat membuka buah kelapa, dan pada percobaan, beberapa ekor mati dikelilingi kelapa. Namum Thomas Hale Streets membahas perilaku itu tahun 1877. Meski saat itu ragu bahwa ketam itu memanjat pohon untuk mencapai buah kelapa. Dan tahun 1980 Holger Rumpf mampu membenarkan laporan Streets, dengan mengamati dan mempelajari cara ketam itu mengupas kelapa di alam. Hewan itu mengembangkan cara khusus untuk melakukannya, jika buah kelapa masih tertutup sabut, ia akan memakai capitnya untuk merobek sabut, selalu dimulai dari sisi dengan tiga lubang perkecambahan. kumpulan tiga lubang itu ditemukan di luar buah. Begitu lubang itu terlihat, ketam akan menjepit sampai salah satu lubang itu pecah. Setelah itu, ia akan berbaik dan memakai capitnya yang lebih kecil pada kaki lainnya untuk mengeluarkan daging putih buah kelapa. Dengan cakarnya yang kuat, hewan yang lebih besar dapat memecahkan kelapa yang keras menjadi potongan kecil untuk memudahkan konsumsi. (Wikipedia, 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/ketam). Dari penelitian tersebut, ketam kelapa terlihat menyukai lokasi-lokasi yang gelap dan lembab. Ini juga didukung dengan bukti tangkapan pada malam hari lebih banyak ketimbang siang hari. Fakta tersebut menguatkan pola aktivitas ketam kenari sebagai satwa nokturnal (aktif saat malam hari). Namun, pada daerah yang tak banyak gangguan manusia, lembab dan terlindung, ketam kenari dapat juga bersifat diurnal. (IPTEK, Sinar Harapan (2003)). Menurut Rafiani (2005), menyatakan di Pulau Pasoso secara alami aktif pada malam hari (nocturnal). Diduga hal ini berkaitan dengan keberadaan predator. Predator dari ketam ini biawak hutan. Ketam kelapa yang berada dalam lubang tanah atau kayu yang lapuk dapat mengantisipasi gangguan predator. Hal sama yang juga ditemukan di Pulau Yoi adalah ketam kelapa melakukan aktivitas pada malam hari. Amesbury (1980) menyatakan bahwa di Pulau Mariana ditemukan ketam kelapa aktif pada malam maupun siang tetapi sebagian besar aktif pada malam hari. Berdasarkan penjelasan mengenai kondisi habitat pada masing-masing stasiun pengamatan di Pulau Yoi, maka dapat dikatakan secara umum kondisi daratan secara alamiah masih mendukung kehidupan ketam kelapa (Birgus latro). Hambatan alamiah yang diduga menimbulkan variasi jumlah tangkapan hewan ini antara satu stasiun dengan stasiun lainnya adalah sebagai berikut: 1. Kondisi perairan yang memiliki energi tinggi dicirikan oleh perairan yang curam hingga sangat curam dan kekuatan ombak yang besar dapat menghambat tingkat keberhasilan rekrutmen larva hewan ini, sehingga pada gilirannya variasi kondisi oseanografi dapat mempengaruhi jumlah hewan ini. 2. Kondisi oseanografis yang kuat juga berasosiasi dengan ketiadaan ekosistem lamun yang merupakan dapat berfungsi sebagai nursery ground (tempat pembesaran larva) ketam kelapa. 3. Kelembaban habitat sangat penting bagi hewan ini, oleh sebab itu lubanglubang tempat hewan ini berada selalu berada dekat dengan air yang dari penguapannya atau kontak langsung hewan tersebut dapat sekali-kali membasahi insangnya. 4. Ketam kelapa adalah hewan nocturnal yakni binatang yang aktif pada malam hari. Adanya pembukaan lahan untuk kegiatan perkebunan dapat merubah distribusi dan jumlah di Pulau Yoi. Selain 4 faktor di atas, faktor utama penyebab menurunnya populasi ketam kelapa adalah tingkat eksploitasi yang semakin hari semakin meningkat. Oleh sebab itu dalam upaya konservasi hewan ini, selain perlindungan habitat, diperlukan juga upaya pengaturan penangkapan, penguatan kelembagaan masyarakat lokal serta upaya pemberdayaan melalui upaya diversifikasi mata pencaharian. Distribusi Ketam Kelapa Distribusi ketam kelapa di pulau yoi, dilihat dengan menggunakan indeks morisita. Adapun jumlah ketam kelapa berdasarkan hasil waktu dan lokasi pengamatan disajikan pada gambar 30 dan 31. Gambar 36. Jumlah ketam kelapa berdasarkan waktu pengambilan contoh Gambar 37. Jumlah ketam kelapa berdasarkan lokasi pengambilan contoh Dari hasil pengukuran diperoleh nilai indeks morisita untuk stasiun Basecamp adalah 1,294, stasiun Selatan 1,248, stasiun Telaga 1,713, stasiun Timur 1,269, stasiun Utara 1,0625, dan stasiun Barat 2,164, berarti penyebaran ketam kelapa mengelompok. Setelah diuji dengan menggunakan uji Khi- kuadrat pada taraf nyata 0,05, diperoleh nilai Khi-kuadrat hitung (stasiun Basecamp = 4,91 stasiun Selatan = 5,16 ; stasiun Timur = 33 ; stasiun Utara = 17, stasiun Barat = 28,14). Hal ini membuktikan bahwa pola penyebaran ketam pada bulan pengamatan bersifat mengelompok. Sedangkan pada stasiun Telaga diperoleh nilai khi-kuadrat hitung = 0,04 lebih kecil dari khi kuadrat tabel, berarti bersifat seragam. Pada stasiun Basecamp, Selatan, Timur, Utara dan Barat terdapat pola penyebaran mengelompok, pola ini sering terjadi di alam. Hal ini menunjukkan bahwa ketam kelapa menyenangi kondisi yang sama yaitu pada tempat yang lembab dan terlindung dari cahaya matahari. Menurut Rafiani (1997), pola penyebaran ketam kelapa di Pulau Pasoso adalah mengelompok yaitu sebesar 1,29 dengan khi-kuadrat hitung 18,13 > khi-kuadrat 12,6 yang berbeda nyata dengan pola penyebaran acak, berarti mengelompok. Pada stasiun Telaga terdapat pola penyebaran seragam dengan nilai khi-kuadrat 0,04. Hal tersebut didukung oleh karakteristik dan dan kondisi lingkungan yang seragam. Hasil pengukuran pada bulan pengamatan diperoleh nilai indeks penyebaran morisita untuk bulan Januari = 1,327, bulan Maret = 1,280, Mei 1,327, bulan Juli = 1,137 dan bulan September = 1,152 berarti penyebaran ketam pada bulan pengamatan mengelompok. Setelah diuji dengan menggunakan uji Khi-kuadrat pada taraf nyata 0,05, diperoleh nilai Khi-kuadrat hitung (bulan Januari = 21,23 ; bulan Maret = 34,57; bulan Mei = 21,23 ; bulan Juli = 33 ; bulan September 40,33). Hal ini membuktikan bahwa pola penyebaran ketam pada bulan pengamatan bersifat mengelompok. Pada Pada stasiun Basecamp, Selatan, Timur, Utara dan Barat terdapat pola penyebaran mengelompok karena habitat, makanan serta kondisi lingkungan yang cocok sehingga penyebarannya mengelompok. Sedangkan pada stasiun Telaga, pola penyebaran seragam dikarenakan ketam kelapa pada stasiun ini kondisi lingkungan cocok bagi ketam. Pengelolaan Ketam Kelapa Pengelolaan ketam kelapa pada dasarnya adalah pengetahuan dan keterampilan mengatur dan mengontrol pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia dan berdampak terhadap populasi, hingga tercipta kondisi yang seimbang antara pemanfaatan dan kelestarian sehingga tersedianya produk yang berkelanjutan, demi kesejahteraan manusia. Dengan berlandaskan hal tersebut maka penerapan strategi pengelolaan ketam kelapa berdasarkan hasil penelitian sebagai berikut : 1. Penutupan area penangkapan (close seosen) pada musim pemijahan Kegiatan penutupan area dimaksud untuk memberi perlindungan pada waktu tertentu saat musim pemijahan. Sehingga area tertentu perlu ditutup untuk memungkinkan suatu pemijahan yang efektif. Penerapan metode seperti ini dilakukan dengan memahami tingkah laku pemijahan ketam kelapa, oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian dapat dilakukan penutupan area penangkapan pada bulan September sampai Desember. Berdasarkan data indeks kematangan gonad pada bulan tersebut , nilai IKG ketam kelapa mencapai puncak. Diduga ketam kelapa melakukan pemijahan. Sehingga perlu ditutup untuk penangkapan. 2. Pembatasan ukuran penangkapan ketam kelapa Penangkapan dalam upaya pemanfaatan melibatkan sejumlah induk dari ketam kelapa. Berdasarkan hasil penelitian, kegiatan eksploitasi minimum yang dapat dimanfaatkan adalah dengan selang ukuran 60- 69 dan 50- 59 mm dan berat 990 gram. Hal ini berhubungan dengan aktivitas dari ketam kelapa. Pada ukuran panjang (CP+r) pertama matang gonad pada jantan dan betina masing-masing adalah berkisar antara 60-99 mm dan 50-59 mm . upaya pengelolaan dan pelestariaan sumberdaya ketam kelapa diperlukan pengurangan jumlah penangkapan ketam-ketam yang sedang bertelur terutama pada saat pemijahan. 3. Pengaturan Daerah penangkapan Distribusi ketam kelapa (Birgus latro) pada setiap lokasi. Tetapi untuk jumlah tangkapan tertinggi pada Stasiun Timur, Telaga dan Selatan. Hal ini diduga terkait dengan kondisi habitat. Berdasarkan pengamatan dan jumlah tangkapan ketam kelapa pada tiga lokasi tersebut. Patut diduga merupakan habitat utama (main habitat) ketam kelapa. Di daerah ini dijumpai berbagai ukuran panjang (CP+r) dari terkecil 32 mm hingga terbesar 109 mm dan berat 30-990 gram untuk jantan. Sedangkan pada betina ukuran terkecil 23 mm hingga 97 mm dengan berat 60 - 660 gram. Hal ini diindikasikan bahwa lokasi/daerah ini juga dihuni oleh ketam mulai dari ukuran anakan hingga dewasa. Pada tempat dengan kondisi demikian umumnya merupakan tapak pemijahan (spawning site) dan tapak mencari makan (feeding site). Perlu dilakukan upaya monitoring kegiatan penangkapan ketam pada daerah tersebut. Sebagai langkah awal perlu pendekatan agar nelayan ketam tidak beroperasi di sekitar lokasi tersebut. Untuk mengatasi tertangkapnya ukuran yang matang gonad yang dalam proses pemijahan. Kombinasi antara tempat (daerah penangkapan) dan waktu (musim pemijahan) merupakan hal terbaik yang perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan stok ketam kelapa. Implementasi dari hal tersebut adalah menetapkan penagturan penangkapan ketam di lokasi Timur, Telaga dan Selatan. 4. Melakukan kegiatan penangkaran Kegiatan penangkaran ketam kelapa perlu dilaksanakan mengingat saat ini khususnya di pulau Yoi, sumberdaya tersebut telah mengalami penurunan ukuran ketam kelapa dan terjadi degradasi terhadap habitatnya. Penangkapan langsung di alam ditinjau dari segi ekonomi menguntungkan bagi nelayan pencari ketam kelapa, namun dari segi ekologi kegiatan tersebut tidak menjamin kelestariaan sumberdaya ketam kelapa dan kemungkinan keuntungan kegiatan tersebut hanya dapat dirasakan saat sekarang tidak pada masa mendatang. Fenomena ini menuntut kita untuk melakukan kegiatan penangkaran. 5. Melakukan kegiatan domestikasi Kegiatan domestikasi perlu dilakukan karena di Pulau Yoi, nelayan ketam melakukan penangkapan setiap waktu, dikhawatirkan bukan hanya penurunan ukuran penangkapan tetapi akan menghilangkan populasi ini. Dengan demikian harus kegiatan domestikasi sehingga populasi ketam kelapa di alam tidak terancam punah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ketam kelapa (Birgus latro) diduga memijah pada bulan September sampai Desember dengan ukuran pertama kali matang gonad pada selang ukuran 60- 69 mm (jantan) dan 50-59 mm (betina). Ketam kelapa mempunyai kisaran nilai IKG antara 0,53 – 1,51% untuk jantan dan 0,37 – 2,94% untuk betina. , dengan fekunditas berkisar 17.698 – 143.210 butir telur. Serta diameter telur pada TKG III adalah kisaran terbesar 0,052 – 0,054 dan TKG IV kisaran terbesar 0,052 – 0,054 mm dan 0,058 – 0,060 mm. Ketam kelapa memilki tipe pemijahan total spawner yaitu telur seluruhnya dikeluarkan dari tubuh. Pengelolaan ketam kelapa yaitu dilakukan penutupan area penangkapan pada musim pemijahan, pembatasan ukuran penangkapan, melakukan kegiatan penangkaran dan domestikasi di Pulau Yoi, Kec.p.Gebe, Maluku Utara. Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh selama penelitian maka beberapa saran dapat disampaikan : 1. Perlu diterapkan asas konservasi yang lebih ketat terhadap habitat dan populasi ketam kelapa di pulau yoi, Maluku utara. 2. Melakukan penelitian lanjutan tentang kebiasaan makan dan genetik pada ketam kelapa di pulau yoi DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Endangered Species Protected on Chumbe Island. Internet Online http://www.indianocean.org/bioinformaties/crabs/crabs/refer/crabib11.html. Dikunjungi pada tanggal 22 September 2007. Abele LG, Bowman TE. 1982. Classification of the Recent Crustacea Vol ke-1. Academic Press. New York, USA. 319 hal. Barnes, R.D., 1974. Invertebrata Zoology. Saunders Compony Philadephila London. Bliss ED, Mantel HL. 1985. Integumen pigment, and Hormonal Processes. Academy Press. INC. New York. Brown IW, Fielder DR. 1991. The Coconut Crab : Aspects of The Biology and Ecology of Birgus latro in the Republic of Vanuatu. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberrra, Australia. 128 hal. Bengen, BG. 1998. Sinopsis Analisis Statistik Multivariabel/multidimensi. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 95 p. Bengen, BG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor. Brower J.E, Zar J.H, Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition WMC Brown Publishers. America. Cameron, J.N, Meckklenburg. 1973. Areal gas Exchanges in the Coconut Crab Birgus Latro with Some Notes on Gecarcordea lalandii. Respiration Physiology 19 : 245-261. Effendi M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor. Effendi M.I. 2002. Biologi Perikanaan. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal. Fletcher WJ, Brown I.W, Fielder DR, Obed A. 1991. Moulting and Growth Characteristics di dalam Brown, I.W. dan Fielder, D.R.1991. The Coconut Crab : Aspects of the Biology and Ecology of Birgus latro in the Republic Vanuatu. Australian Centre for Internasional Agricultural Research. Canberra, Australia. 128 hal. Fletcher, W. J, M. Amost. 1993. Stock Assesment of Coconut Crabs. A Manual. W. A Marine Research Laboratories Australia. Fisheries Departement, Port Vila. Republic of Vanuatu. Hill BJ. 1947. Salinity and Temperature Tolerance of Zoeae of the Portunid Crab, Scylla serrata (Forskal) in an Estuary. Marine Biology, 25 : 21-24. Helfman GS.1973. Ecology and Behaviour of Coconut Crab, Birgus latro (L). Msc. Thesis, Universitas of Hawaii (Zoology) : 159 pp. Herring PJ. 1973 dan Clarke A. 1979. Didalam Vemberg FJ, Vemberg BW. 1983. Environmental Adaptation. Volume 8. Academic Press, New York. Hozumi T, Herliantien, Zamanty D. 2001. Fisiologi dan Gangguan Reproduksi. Japan International Cooperation Agency. Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/ketam (2008). Internet Online dikunjungi pada tanggal 6 Juni 2008. http://www.iucnredlist.org/details/2811. Dikunjungi Tanggal 13 Januari 2009 http://www.mba.ac.uk/jmba/pdf/6370.pdf. JMBA2 - Biodiversity Published on-line. Dikunjungi Tanggal 13 Januari 2009. Records Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice. 2th Edition. Pergamoon Press. Limbong, D., 1983. Beberapa keterangan Tentang Biologi Ketam Kenari (Birgus latro .,L). di Pulau Salibabu (Kepulauan Talaud). Fakultas Perikanan UNSRAT. Legendre L. P. Legendre, 1983. Numerical Ecology. Elsevier Scientific Publishin p. Company. Amsterdam, Oxford, New York. 419 p. Lee RF, Walker. 1995. Lipovitelin and Lipid Droplet Accumulation in Oocytes During Ovarian Muration in The Blue Crab, Callinectes sapidus. The J. of Exp. Zool, 271 : 401-412. Mathews, D.C. 1956. The Probable method of fertilisation in terestial hermit crabs based on comparative study of spermathofores. Pac. Sci. 10 : 303-309. Motoh, H. 1980. Field guide for the edible crustacea of the Philippines. Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) Aquaculture Department, Iloilo, Philippines. 69 pp McLaughlin AP. 1983. Internal Anatomy. Biology of Crustasea. Volume 5. Internal Anatomy and Physiological Regulation. Departement of Biology City College of the University of New York and the Amerika Museum of Natural History, New York. Morton, J.,1990. The Score Ecology of The Tropical Pasifc. Unesco Regional Office For Science and Technology For South – Easth Asia. Jakarta – Indonesia. Michael P. 1994. Ecological Methods for Field and Laboratory Investigations. mcGraw-Hill Publising Company Limited, Koestoer. Translator. Monk A., De Fretes Y, Reksodihardjo-Liley G. 2000., Ekologi Nusantara dan Maluku. Prenhallindo, Jakarta. 966 hal. Nontji A., 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.372 hal. Pillay K.K, Nair. N.B. 1973. Observation on the Biochemical Changes in Gonads and Organs of Uca annulipes, Portunus Pelagicus and Metapenaeus affinis (Decapoda : Crustasea) During the Reproductive Cycle. Mar. Biol. (Berlin) 18 : 187-198. Proyek Pengembangan Sumber Daya Alam Hayati Pusat, 1987/1988. Diskripsi biota laut langka. Departemen Kehutanan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestariaan Alam, Bogor, 170 hal. Pratiwi R. 1989. Ketam Kelapa, Birgus latro (Linnaeus 1767) (Crustacea, Decapoda, Coenobitidae). Dan Beberapa Aspek Biologinya. Oseana, 14: Nomor 2:47-53. Reyne, A., 1939. On The Food Habits of The Coconut Crab (Birgus latro L), With Notes On Its Distribution. Arch.Neerl.Zool. 3:283-320. Raven CP. 1961. Oogenesis; the Storage of Development Information. Pergamon, Oxford di dalam Vemberg FJ, Vemberg BW. 1983. Emvironmental Adaptation. Volume 8. Academic Press, New York. Rondo, M dan Limbong, D., 1990. Bioekologi Ketam Kenari (Birgus latro L), di Pulau Salibabu, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Jur. Perikanan. Unstrat. 1(2) :87-94 Ramli M, 1995. Studi Preferensi Habitat Kepiting Kelapa (Birgus Latro L.) Dewasa di Pulau Siompu dan Liwutongkidi Buton, Sulawesi Tenggara. Tesis. Institut Pertanian Bogor. 63 hal. Rafiani S. 2005. Karakteristik Habitat dan Kematangan Gonad Kepiting Kelapa (Birgus latro Linnaeus) Di Pulau Pasoso, Kecamatan Donggala, Sulawesi Tengah [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Streets Thomas H, 1877. Some Account of the Natural History of the Fanning Group of Islands. Am. Nat. 11(2): 65-72. Internet Online http://id.wikipedia.org/wiki/ketam Dikunjungi Pada tanggal 6 juni 2008. Silversand C, Hyllner SJ, Haux C. 1993. Isolation, Immunochemical, and Observation of the Instability of Vitellogenin from Four Teleostei. The J. Of Exp. Zool. 267 : 587-597. Steel RGD, JH. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 748 p. Sahami F. 1994. Makanan Kebiasaan Ketam Kenari, Birgus latro (Caenobotidae), Di Pulau Salibabu dan Observasi Pertumbuhan Melalui Pemberian Makanan Di Laboratorium. Skripsi. Fakultas Perikanan,Unsrat. Manado. 35h. tidak dipublikasikan. Whitten, A.J, M. Mustafa., G.S.Henderson., (1987). Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press.844 hal. LAMPIRAN Lampiran 1. Peta lokasi penelitian ketam kelapa (Birgus latro) di Pulau Yoi Kecamatan P. Gebe, Maluku Utara Lampiran 2. Lokasi pengambilan contoh ketam kelapa di Pulau Yoi Kecamatan P. Gebe, Maluku Utara 1. Lokasi Basecamp 2. Lokasi Selatan 3. Lokasi Telaga 4. Lokasi Timur 5. Lokasi Utara 6. Lokasi Barat Lampiran 3. Pembuatan preparat histologi gonad 1. Fiksasi Gonad diambil dan dicucikan dengan NaCl fisiologis 0,65%, difiksasi ke dalam larutan bouin (15 cc asam pikrat jenuh + 1 cc asam cuka pekat) selama 24 jam lalu dicuci dengan alkohol 70% sampai warna kuning pada gonad hilang. Gonad dapat disimpan dalam alkohol 70% untuk beberapa waktu lamanya sebelum proses dehidrasi. 2. Dehidrasi Organ direndam dalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%, 90% dan 95%) masing-masing selama 2 jam dan dipindahkan ke dalam alkohol 100% sebanyak 4 kali masing-masing selama 1 jam. 3. Clearing Organ direndam dalam alkohol 100% + xylol (1 : 1), kemudian ke dalam xylol I, II DAN III masing-masing selama 45 menit. 4. Infiltring Organ direndam dalam xylol + paraffin ( 1 : 1) selama 45 menit pada suhu 60oC kemudian direndam ke dalam paraffin I, II, dan III masing-masing selama 45 menit. 5. Embeding Organ direndam ke dalam balok paraffin cair pada suhu 60oC sampai paraffin mengeras selama 24 jam. 6. Pemotongan Spesimen dipotong setebal 5 mikron dengan menggunakan mikrotom, ditempelkan pada gelas objek yang telah ditetesi ewid, direnggangkan diatas pemanas dan dikeringkan 24 jam pada suhu 45oC. 7. Deparafinisasi Preparat direndam berturut-turut (xylol I, II 100% I, 100% II, 95%, 90%, 85%, 80%, 70%, dan 50%) masing-masing 2 menit dan dicuci sampai berwarna putih. 8. Pewarnaan Preparat direndam dalam larutan haematoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air kran mengalir, direndam dalam larutan eosin selama 2 menit dan dicuci kembali dengan air mengalir. 9. Dehidrasi Preparat direndam berturut-turut di dalam alcohol 70%, 80%, 85%, 90%, 95% I, 95% II, 100% I, dan 100% II masing-masing selama 1 menit. 10. Clearing Preparat direndam ke dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 1 menit. 11. Penutupan dengan kaca penutup Preparat diberi zat perekat canda balsam, ditutup dengan kaca penutup, dikeringkan selama 10 menit. Preparat diberi label sesuai dengan keperluan sehingga didapatkan preparat permanen histologi gonad (testis dan ovarium) yang diamati di bawah mikroskop setiap saat Lampiran 4 Rasio kelamin berdasarkan waktu dan lokasi pengamatan 1. Waktu Bulan Jantan : Betina Januari 1 Maret 0.75 Mei 1.12 Juli 1 September 0.89 Desember 0.63 2. Lokasi Stasiun Jantan : Betina Basecamp 1.7 Selatan 1.08 Telaga 0.88 Timur 0.68 Utara 0.75 Barat 0.54 Lampiran 5 Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan waktu dan lokasi pengamatan 1. Waktu pengamatan Jantan Bulan Rata-rata FK S.Deviasi Januari 1.053768 0.537583 Maret 1.0092585 0.140086 Mei 1.0142451 0.188209 Juli 1.0424583 0.287637 September 1.036166 0.306699 Desember 1.060677 0.36428 Rata-rata FK S.Deviasi Januari 1.011813 0.168067 Maret 1.166186 0.189791 Mei 1.019814 0.197135 Juli 1.068016 0.352444 September 1.049654 0.323022 Desember 1.127271 0.533569 Betina Bulan 2. Lokasi pengamatan Jantan Stasiun Rata-rata FK S.Deviasi Basecamp 1.032884 0.293309 Selatan 1.030648 0.261198 Telaga 1.05964 0.329465 Timur 1.014891 0.181829 Utara 1.002573 0.078807 Barat 1.006658 0.127763 Betina Stasiun Rata-rata FK S.Deviasi Basecamp 1.121468 0.471761 Selatan 1.034828 0.249491 Telaga 1.036933 0.275065 Timur 1.110848 0.371764 Utara 1.001932 0.066253 Barat 1.007837 0.134187 Lampiran 6 Indeks kematangan gonad pada waktu dan lokasi pengamatan 1. Waktu Jantan Bulan Rata-rata IKG S.Deviasi Januari 0.560738913 0.199945115 Maret 0.890755814 0.803054582 Mei 0.53049358 0.223100637 Juli 0.805508977 0.626771321 September 1.51639641 0.749958202 Desember 1.23781195 1.005242297 Betina Bulan Rata-rata IKG S.Deviasi Januari 0.375896309 0.216176759 Maret 1.980398032 1.925177001 Mei 0.611389557 0.312065414 Juli 1.233849614 1.130542089 September 1.377010709 1.149130851 Desember 2.949345282 2.827520013 2. Lokasi Jantan Stasiun Rata2 IKG S.Deviasi Basecamp 1.22436 1.116061 Selatan 0.62458 0.248934 Telaga 0.593649 0.364757 Timur 0.710004 0.669484 Utara 0.623699 0.218135 Barat 0.740787 0.271716 Betina Stasiun Rata2 FK SD Basecamp 0.506290 0.362016 Selatan 3.997865 6.487399 Telaga 1.368511 1.333131 Timur 1.058107 1.956404 Utara 1.011546 1.577017 Barat 1.381097 1.405078 Lampiran 7 Pola Penyebaran Ketam Kelapa berdasarkan lokasi Pola penyebaran ketam kelapa di lokasi penelitian ditilik menggunakan indeks penyebaran Morisita yaitu : [∑ X ] − N Id = n 2 N ( N − 1) Keterangan : n = Jumlah plot (unit) N = Jumlah total individu dalam n plot (ekor) ∑ X2 = Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot 1. Stasiun Basecamp Id = ( ) 6 2 2 + 4 2 + 2 2 + 7 2 + 7 2 + 52 − 27 855 = = 1,217 27(26) 702 2. Stasiun Selatan Id = ( ) 6 3 2 + 6 2 + 3 2 + 6 2 + 2 2 + 5 2 − 25 689 = = 1,148 25(24 ) 600 3. Stasiun Telaga ( ) 6 2 2 + 9 2 + 2 2 + 4 2 + 102 + 52 − 32 1348 Id = = = 1,358 32(31) 992 4. Stasiun Timur Id = ( ) 6 6 2 + 4 2 + 6 2 + 4 2 + 7 2 + 52 − 32 1036 = = 1,044 32(31) 992 5. Stasiun Utara ( ) 6 3 2 + 4 2 + 3 2 + 2 2 + 3 2 + 6 2 − 21 477 Id = = = 1,135 21(20 ) 420 6. Stasiun Barat ( ) 6 12 + 12 + 12 + 52 + 4 2 + 52 − 17 397 Id = = = 1,459 17(16) 272 Kriteria pola penyebaran dikatakan seragam jika id < 1 Selanjutnya diuji dengan Khi-Kuadrat dengan rumus : X 2 x2 = ( n ∑N N ) 1. Stasiun Basecamp Id = ( ) 6 2 2 + 4 2 + 2 2 + 7 2 + 7 2 + 5 2 − 27 855 = = 31,66 27 27 2 Stasiun Selatan ( ) 6 3 2 + 6 2 + 3 2 + 6 2 + 2 2 + 5 2 − 25 689 Id = = = 27,26 25 25 3 Stasiun Telaga Id = ( ) 6 2 2 + 9 2 + 2 2 + 4 2 + 10 2 + 5 2 − 32 1348 = = 42 ,12 32 32 4 Stasiun Timur Id = ( ) 6 6 2 + 4 2 + 6 2 + 4 2 + 7 2 + 5 2 − 32 1036 = = 32 ,37 32 32 5 Stasiun Utara Id = ( ) 6 3 2 + 4 2 + 3 2 + 2 2 + 3 2 + 6 2 − 21 477 = = 22,71 21 21 6 Stasiun Barat Id = ( ) 6 1 2 + 12 + 1 2 + 5 2 + 4 2 + 5 2 − 17 397 = = 23,35 17 17 Bulan Indeks Distribusi X2 hitung X2 tabel Tipe Distribusi Db Basecamp 1,217 31,66 11,07 Mengelompok 6-1=5 Selatan 1,148 27,26 11,07 Mengelompok 6-1=5 Telaga 1,358 42,12 11,07 Mengelompok 6-1=5 Timur 1,044 32,37 11,07 Acak 6-1=5 Utara 1,135 22,71 11,07 Seragam 6-1=5 Barat 1,459 23,35 11,07 Mengelompok 6-1=5 Kriteria pola penyebaran dikelompokkan sebagai berikut ; Jika, Nilai Id < 1 : seragam Nilai Id > 1: mengelompok Nilai Id = 1: acak Berdasarkan uji khi-kuadrat disetiap stasiun menunjukkan tidak adanya perbedaan secara nyata penyebaran secara mengelompok dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) Stasiun Basecamp X2 hitung < X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok Stasiun Selatan X2 hitung < X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok Stasiun Telaga X2 hitung < X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok Stasiun Timur X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok berarti seragam Stasiun Utara X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok Stasiun Barat X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok. Lampiran 8. Pola Penyebaran Ketam Kelapa berdasarkan waktu pengamatan Pola penyebaran ketam kelapa di lokasi penelitian ditilik menggunakan indeks penyebaran Morisita yaitu : [∑ X ] − N Id = n 2 N ( N − 1) Keterangan : n = Jumlah plot (unit) N = Jumlah total individu dalam n plot (ekor) ∑ X2 = Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot 1. Bulan Januari Id = ( ) 6 2 2 + 3 2 + 2 2 + 6 2 + 3 2 + 12 − 17 361 = = 1,327 17(16 ) 272 2. Bulan Maret ( ) 6 4 2 + 6 2 + 9 2 + 4 2 + 4 2 + 12 − 28 968 = = 1,280 Id = 28(27) 756 3. Bulan Mei Id = ( ) ( ) 6 2 2 + 3 2 + 2 2 + 6 2 + 3 2 + 12 − 17 891 = = 1,269 17(16) 702 4. Bulan Juli Id = 6 6 2 + 7 2 + 4 2 + 4 2 + 2 2 + 7 2 − 30 990 = = 1,137 30(29 ) 870 5. Bulan September 6 7 2 + 5 2 + 10 2 + 7 2 + 32 + 4 2 − 36 1,452 = = 1,152 Id = 36(35) 1,260 ( ) 6. Bulan Desember 6(52 + 52 + 52 + 62 + 52 + 52 ) − 31 935 Id = = = 1,005 31(30) 930 Kriteria pola penyebaran dikatakan seragam jika id < 1 Selanjutnya diuji dengan Khi-Kuadrat dengan rumus : X 2 x2 = ( n ∑N N ) 1. Bulan Januari Id = ( ) 6 2 2 + 3 2 + 2 2 + 6 2 + 3 2 + 12 − 17 361 = = 21,23 17 17 2. Bulan Maret Id = ( ) ( ) 6 4 2 + 6 2 + 9 2 + 4 2 + 4 2 + 1 2 − 28 968 = = 34 ,57 28 28 3. Bulan Mei Id = 4. Bulan Juli Id = 5. 6 2 2 + 3 2 + 2 2 + 6 2 + 3 2 + 1 2 − 17 361 = = 21, 23 17 17 ( ) 6 6 2 + 7 2 + 4 2 + 4 2 + 2 2 + 7 2 − 30 990 = = 33 30 30 Bulan September Id = ( ) 6 7 2 + 5 2 + 10 2 + 7 2 + 3 2 + 4 2 − 36 1, 452 = = 40 ,33 36 36 6. Bulan Desmber 6 5 2 + 5 2 + 5 2 + 6 2 + 5 2 + 5 2 − 31 935 Id = = = 30 ,16 31 31 ( ) Bulan Jantan Frekuensi harapan Betina Frekuensi harapan Januari 10 8,5 7 8,5 17 Maret 12 14 16 14 28 Mei 9 8,5 8 8,5 17 Juli 15 15 15 15 30 September 17 18 19 18 36 Desember 12 15,5 19 15,5 31 Total 75 Total 84 159 Kriteria pola penyebaran dikelompokkan sebagai berikut ; Jika, Nilai Id < 1 : seragam Nilai Id > 1: mengelompok Nilai Id = 1: acak Berdasarkan uji khi-kuadrat disetiap stasiun menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata penyebaran secara mengelompok dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) Berdasarkan uji khi-kuadrat disetiap stasiun menunjukkan tidak adanya perbedaan secara nyata penyebaran secara mengelompok dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) Bulan Januari X2 hitung > X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok Bulan Maret X2 hitung >X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok Bulan Mei X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok berarti seragam Bulan Juli X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok Bulan September X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok. Bulan Desember X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok. Lampiran 9 perhitungan uji Khi-kuadrat Frekuwensi harapan No Bulan Jantan Betina jantan dan betina Total 1 Januari 12 16 14 28 2 Maret 10 7 8.5 17 3 Mei 9 8 8.5 17 4 Juli 15 15 15 30 5 September 17 19 18 36 6 Desember 12 19 15.5 31 Total 75 84 79.5 159 Terima Ho, jika X2 hitung < X2 tabel Tolak Ho, jika X2 hitung > X2 tabel X 2 X = ∑ 2 = (Oi − ei )2 ei (12 − 14 )2 + (16 − 14 )2 + (10 − 8 .5 )2 + (7 − 8 .5 )2 + (9 − 8 .5 )2 + (8 − 8 .5 )2 14 8 .5 8 .5 2 2 2 2 2 (15 − 15 ) + (15 − 15 ) + (17 − 18 ) + (19 − 18 ) + (12 − 15 .5 ) + (19 − 15 .5 )2 15 18 15 .5 = 8 4.5 50 2 24.5 + + + + = 8,67 14 8.5 8.5 18 15.5 X2 tabel (α=0,05) = X2 tabel (6 bulan-1) x (2-1) = 12,25 Keputusan : X2 hitung < X2 tabel, maka terima Ho Kesimpulan : rasio kelamin ketam kelapa berada dalam keseimbangan. +