Birgus latro - IPB Repository

advertisement
STUDI BIOLOGI REPRODUKSI SEBAGAI DASAR
PENGELOLAAN KETAM KELAPA (Birgus latro) DI PULAU
YOI, KECAMATAN P. GEBE, MALUKU UTARA
YUYUN ABUBAKAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Biologi Reproduksi
Sebagai Dasar Pengelolaan Ketam Kelapa (Birgus latro) Di Pulau Yoi,
Kec.P.Gebe, Maluku Utara adalah hasil karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2009
Yuyun Abubakar
ABSTRACT
YUYUN ABUBAKAR. Biology reproduction study as the basic of coconut crab
(Birgus latro) management In Yoi island, at middle Halmahera district, North
Mollucass. Advised by SULISTIONO and KADARWAN SOEWARDI.
Coconut crab is kind of crustase which the best suited to the land
environment, and it is one of commodity that has high value and being protected.
It is an animal in beach ecosystem which until this present is getting decreased
population. It because of intensively catchment. The objective of this research
were(1) to see the reproduction of coconut crab (2) to see the distribution deal
with characteristic of the inhabitant suited to coconut crab (Birgus latro),. This
research was conducted at Yoi island, at middle Halmahera, North Mollucass,
during 12 months, from January until Desember 2008. samples of coconut crab
collected using hands with coconut as feed. This study learned about the
indicators of physically, chemistry and biology factor. They were soil
temperature, air temperature, dampness air, pH, soil texture, C-organic, gonad
mature, closing area. Aspects which studied about gonad maturity were gonad
weight, gonad maturity level/tingkat kematangan gonad (TKG), gonad maturity
index , fecundity and egg diameter. Sex ratio during this research was 1:1. Chi
square value at 0,05 shows that sex ratio is balance. Relation value between length
(CP+r) with weight of male coconut crab W= 0,006(CP+r) 2,531 and R2 = 0,877.
and the female W = 0,046(CP+r)2,030dengan R2 = 0,675. Condition factor of male
and female crab has the highest value at September until Desember. Spawn
process of female crab keeps on going. Gonad maturity index of male crab has the
top of spawn at September. And female at Desember. Fecundity between
17.698– 143.210 eggs. Egg diameter at TKG III between 0,010-0,085 mm and
TKG IV approximately between 0,012-0,095 mm. Spawn type of this crab was
total spawner. This is total eggs being out from its body. Analysis of correlation
between gonad maturity with habitat characteristic shows that there were
correlation between air temperature, air and soil humidity, with coconut crab
gonad maturity.
Keywords : coconut crab, biology, reproduction.
RINGKASAN
YUYUN ABUBAKAR. Studi Biologi Reproduksi Sebagai Dasar Ketam
Kelapa (Birgus latro) Di Pulau Yoi, Kec.P.Gebe, Maluku Utara.
Dibimbing oleh SULISTIONO dan KADARWAN SOEWARDI.
Birgus latro (LINNAEUS, 1767) lebih dikenal dengan nama ketam
kelapa atau Ketam kenari adalah jenis krustasea yang paling sukses
beradaptasi dengan lingkungan darat dan merupakan salah satu komoditi
yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Nilai ekonomi yang begitu penting
karena memiliki potensi sebagai komoditi ekspor. Ketam kelapa
merupakan hewan ekosistem pantai yang saat ini mengalami ancaman
penurunan populasi. Ketam ini dilindungi oleh pemerintah melalui surat
keputusan Menteri Kehutanan dengan SK Menhut No.12/KPTSII/Um/1987.
Kepentingan pelestariaan ketam kelapa pada alam asli dan
desakan permintaan konsumen akan semakin nyata dimasa akan datang.
Kesetimbangan antara permintaan dan suplai akan meningkatkan tekanan
terhadap populasi di alam. Pembukaan hutan pesisir yang merupakan
habitat ketam kelapa untuk berbagai kepentingan, diduga telah ikut
mengurangi sumber makanan alami dilingkungannya. Dengan berbagai
kepentingan diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian biologi
reproduksi sebagai dasar pengelolaan ketam kelapa (birgus latro) di
lingkungan asli dan untuk melakukan domestikasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui biologi reproduksi ketam kelapa (Birgus
latro). Manfaat penelitian diharapkan dapat dijadikan informasi tentang
biologi dan habitat ketam kelapa (Birgus latro) bagi upaya pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya ketam kelapa terutama dalam upaya
konservasi dan domestikasi dengan tujuan restocking serta sebagai data
awal bagi usaha budidaya sehingga keberadaan di alam dapat dilestarikan
(tidak sampai punah) di masa mendatang.
Pelaksanaan penelitian untuk pengumpulan data terdiri dari 2
tahap, yaitu penelitian dilapangan dan pengamatan serta analisis di
laboratorium. Karakristik fisika kimia habitat sebagai data penunjang
penelitian diukur dan diamati. Pengamatan dan pengukuran parameter
dilakukan di insitu, bersamaan dengan waktu pengambilan contoh.
Sedangkan koleksi ketam kelapa contoh dilakukan pada 2 bulan sekali
dengan penangkapan menggunakan secara langsung tangan oleh nelayan.
Penangkapan dilakukan pada malam hari berdasarkan lokasi pengamatan.
Dari hasil penangkapan dilakukan identifikasi jenis kelamin dan
pengukuran panjang (CP+r) dan berat tubuh. kemudian preservasi
menggunakan larutan parraform 10%, sampel kemudian dianalisis di
laboratorium. Pengamatan aspek reproduksi seperti penentuan tingkat
kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas dan pola
sebaran diameter telur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, rasio kelamin didapat 1 : 1 .
pada uji Chi-Square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa rasio kelamin
menunjukkan adanya seimbangan. Pada hubungan panjang (CP+r) dengan
berat tubuh pada ketam jantan dan betina pada waktu pengamatan
memiliki pola pertumbuhan allometrik yaitu pertambahan (CP+r) lebih
cepat dibandingkan pertambahan berat tubuh dan lokasi pengamatan
diperoleh pola pertumbuhaan allometrik kecuali pada ketam jantan di
lokasi Selatan, utara dan barat yang memiliki pola pertumbuhan isometrik
yaitu pertambahan berat lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang
(CP+r). Faktor kondisi ketam kelapa memiliki nilai terbesar pada
September dan Desember dan pada lokasi pengamatan terbesar di stasiun
telaga dan timur. Ketam kelapa (Birgus latro) dapat memijah pada bulan
September sampai Desember. Ukuran pertama kali matang gonad ketam
kelapa jantan pada selang ukuran 60-69 mm dan betina 50-59 mm. Indeks
kematangan gonad ketam kelapa jantan mencapai puncak pada bulan
September dan betina pada bulan Desember. Fekunditas berkisar 17.698 –
143.210 butir telur. Diameter telur pada TKG III adalah kisaran terbesar
0,052 – 0,054 dan TKG IV kisaran terbesar 0,052 – 0,054 mm dan 0,058 –
0,060 mm. Ketam kelapa memilki tipe pemijahan total spawner yaitu telur
seluruhnya dikeluarkan dari tubuh. Pengelolaan ketam kelapa yaitu
dilakukan penutupan area penangkapan pada musim pemijahan,
pembatasan ukuran penangkapan, melakukan kegiatan penangkaran dan
domestikasi di Pulau Yoi, Kec.p.Gebe, Maluku Utara.
@Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2.
Dilarang menggunakan atau memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STUDI BIOLOGI REPRODUKSI SEBAGAI DASAR
PENGELOLAAN KETAM KELAPA (Birgus latro) DI PULAU
YOI, KECAMATAN P. GEBE, MALUKU UTARA
YUYUN ABUBAKAR
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister sains pada
Departemen Perikanan dan Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari
Sampai Desember 2009 dengan judul ‘’Studi Biologi Reproduksi Sebagai Dasar
Pengelolaan Ketam kelapa (Birgus latro) Di Pulau Yoi, Kec.P.Gebe, Maluku Utara’’
Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi sebagai Anggota Komisi Pembimbing
3. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi sebagai dosen penguji luar komisi.
4. Bapak Drs. H. Sidik D. Siokona, M.pd sebagai Ketua Yayasan STIKIP Kieraha.
5. PT. Aneka Tambang Tbk di Jakarta yang telah memberikan bantuan dana dalam
penelitian ini.
6. Ayahanda Abubakar Aba dan Ibunda Asha Anto tercinta beserta Adik-adik Suriyanti
Abubakar, Murdiyono Abubakar dan Atman Anwar serta keluarga besar serta Fauzi
Hamisi, atas doa dan dorongan semangat selama penulis menyelesaikan studi.
7. Teman-teman di Program Studi Ilmu Perairan, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
8. Teman-teman Forum Pascasarjana Maluku Utara (FPMU).
9. Masyarakat pulau Yoi yang telah membantu penelitian ini.
10. Serta semua pihak yang telah memberikan masukan dan saran sampai terselesainya
penulisan tesis ini.
Akhirnya kata penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini belum mencapai
kesempurnaan, oleh karena itu semua saran, masukan dan kritik yang sifatnya untuk
perbaikan penulisan ini, penulis terima dengan tangan terbuka.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Juli 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ternate, Maluku Utara pada tanggal 01
Januari 1983 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari ayah
Abubakar Aba dan Ibu Asha Anto.
Penulis selesaikan pendidikan dasar SD Inpres Togafo Ternate
1995. Selanjutnya penulis melanjutkan pada pendidikan menengah di
SLTP Neg 1 Ternate dan lulus pada tahun 1998 dan melanjutkan
pendidikan menengah atas pada SMU Neg 4 ternate dan selesai pada tahun
2001. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa
Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Universitas khairun Ternate dan menyelesaikan pada tahun 2005.
Pada tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu
Perairan.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN................................................ i
HALAMAN HAK CIPTA...................................................... iv
PENGESAHAN...................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR.............................................................. xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................
Perumusan Masalah ..........................................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
1
2
3
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi .................................................................
Distribusi dan Habitat .......................................................................
Reproduksi ........................................................................................
Siklus Hidup......................................................................................
4
7
9
11
METODELOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................
Penentuan stasiun penelitian .....................................................
Metode pengambilan data ........................................................
Analisis Data .........................................................................
16
16
16
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................
Morfologi Ketam Jantan dan Betina ..........................................
Rasio Kelamin .......................................................................
Hubungan Panjang CP+r dengan Berat Tubuh ............................
Faktor Kondisi .......................................................................
Tingkat Kematangan Gonad .....................................................
Indeks Kematangan Gonad ......................................................
Fekunditas ............................................................................
Karakteristik Fisika Kimia Habitat ............................................
Pola Penyebaran ....................................................................
Pengelolaan Ketam Kelapa ......................................................
24
25
36
38
41
44
45
50
53
63
64
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ...........................................................................
Saran ....................................................................................
67
67
DAFTAR PUSTAKA....................................................................
LAMPIRAN...................................................................................
68
72
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa ..............................
18
2.
Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan ....................
28
3.
Klasifikasi tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina ....................
33
4.
Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa
berdasarkan waktu pengambilan contoh ............................................
38
Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa
Berdasarkan lokasi pengambilan contoh .............................................
40
6.
Hasil pengukuran fisika kimia habitat ketam kelapa di Pulau Yoi ..............
54
7.
Keadaan umum setiap lokasi pengamatan ............................................
58
5.
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Gambar morfologi ketam kelapa...................................................
6
2.
Distribusi ketam kelapa di dunia ..................................................
7
3.
Ketam kelapa mengeluarkan telur dari tubuh...............................
11
4.
Siklus hidup ketam kelapa (Birgus latro)......................................
12
5.
Juvenil ketam kelapa .....................................................................
13
6.
Bagian yang diukur pada ketam kelapa.........................................
17
7.
Morfologi ketam kelapa .......................................................
26
8.
Morfologi ketam kelapa, (A) Jantan (B) Betina............................
26
9.
Ciri kelamin secara morfologis ....................................................
27
10. Gonad ketam kelapa jantan ...........................................................
27
11. Organ reproduksi ketam kelapa.....................................................
29
12. Organ ketam kelapa jantan ............................................................
29
13. Struktur histologist tubuli gonad/testis ketam kelapa jantan.........
30
14. Potongan melintang vas deferens ketam kelapa jantan .................
32
15. Morfolofis gonad ketam kelapa betina..........................................
34
16. Struktur histologis ovarium ketam kelapa betina ..........................
35
17. Rasio kelamin ketam kelapa..........................................................
37
18. Faktor kondisi ketam kelapa berdasarkan waktu ..........................
42
19. Faktor kondisi ketam kelapa berdasarkan lokasi...........................
43
20. Tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan berdasarkan
waktu .............................................................................................
44
21. Tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina berdasarkan
waktu .............................................................................................
45
22. Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan.........
46
23. Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina..........
47
24. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan waktu........
48
25. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan lokasi ........
49
26. Hubungan panjang (CP+r) dan berat tubuh dengan fekunditas
TKG III..........................................................................................
51
27. Hubungan panjang (CP+r) dan berat tubuh dengan fekunditas
TKG IV..........................................................................................
51
28. Sebaran diameter telur ketam kelapa TKG III ..............................
52
29. Sebaran diameter telur ketam kelapa TKG IV ..............................
53
30. Jumlah ketam kelapa berdasarkan waktu ......................................
63
31. Jumlah ketam kelapa berdasarkan lokasi ......................................
63
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta lokasi penelitian ketam kelapa (Birgus latro) di Pulau Yoi
Kec. P. Gebe, Maluku Utara .....................................................
72
2. Lokasi pengambilan contoh ketam kelapa di Pulau Yoi Kec.
P. Gebe, Maluku Utara .............................................................
73
3. Pembuatan preparat histologi gonad ...........................................
76
4. Rasio kelamin ketam kelapa berdasarkan waktu dan lokasi
Pengamatan ............................................................................
78
5. Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan
waktu dan lokasi pengamatan ....................................................
79
6. Indeks kematangan gonad ketam kelapa berdasarkan waktu
dan lokasi pengamatan .............................................................
80
7. Pola penyebaran ketam kelapa berdasarkan lokasi pengamatan ......
81
8. Pola penyebaran ketam kelapa berdasarkan Waktu pengamatan.......
84
9. Perhitungan Uji Khi-kuadrat .....................................................
87
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Birgus latro (LINNAEUS, 1767) lebih dikenal dengan nama ketam kelapa
atau Ketam kenari adalah jenis krustasea yang paling sukses beradaptasi dengan
lingkungan darat dan merupakan salah satu komoditi yang memiliki nilai
ekonomis tinggi. Nilai ekonomi yang begitu penting karena memiliki potensi
sebagai komoditi ekspor. Ketam kelapa merupakan hewan ekosistem pantai yang
saat ini mengalami ancaman penurunan populasi. Ketam ini dilindungi oleh
pemerintah melalui surat keputusan Menteri Kehutanan dengan SK Menhut
No.12/KPTS-II/Um/1987 dan Menurut IUCN, ketam ini sudah dikatagorikan
sebagai ‘’rare’’ atau jarang dan spesies terancam punah ‘’endengared spesies’’
dalam’’Red Data Book’’ (I983 ; Anonim 2004)
Keberadaan ketam kelapa atau ketam kenari sudah dianggap hewan
langkah dan tergolong rawan, serta statusnya populasinya belum jelas, namun
masih diburu terus karena bernilai ekonomis tinggi (Pratiwi, 1989). Boneka
(1990) dan shokita (1991) dalam Sahami (1994), menyatakan bahwa populasinya
di alam kemungkinan akan merosot terus karena penangkapan yang sangat
intensif dan perombakan habitatnya. Selain dagingnya sebagai bahan makanan,
cangkangnya dapat digunakan sebagai hiasan. Di samping itu ketam
kelapa
terancam punah karena pertumbuhan yang lambat, juga banyak diburu karena
dagingnya yang lezat, bernilai untuk perdagangan maupun konsumsi masyarakat
lokal.
Ketam kelapa Coconut Crab, Kepiting kelapa atau disebut juga kepiting
kenari Robber Crab dan memiliki nama yang berbeda-beda di tiap - tiap daerah.
Menurut Holthuis 1963; Motoh 1980 dalam Pratiwi 1989) di Papua Nugini
menyebutnya Tinggau (Demta); di Jamna menyebutnya Tingkau Tankidi (Sobei)
sedangkan di Sarmi menyebut ‘’Adsoma’’ (Sobei). Di Filipina dikenal dengan
nama ‘’Alimangong lupa’’ (Tagalog), ‘’Tatus’’ ((Cebuano), dan ‘’umang’’
(Cebuano dan Ilongo). Di Inggris penduduk setempat menyebutnya dengan nama
“Coconut Crab” dan atau “Robber Crab”.
Menurut Pratiwi, 1989 ; Reyne, 1993 ; Rafiani, 2005, menyatakan bahwa
di Indonesia ketam kelapa atau ketam kenari tersebar di bagian timur yakni di
pulau-pulau Sulawesi Utara, Kepulauan Togian sampai Kepulauan Talaud,
Maluku, Irian Jaya dan di bagian timur Nusa tenggara Timur, wilayah Indonesia
bagian Utara, Tengah dan Timur : Sulawesi, Halmahera, Maluku, Nusa Tenggara
dan Irian Jaya. Namun hingga saat ini upaya perlindungan terhadap hewan ini
hanya sebatas penetapan hewan ini sebagai hewan yang dilindungi. Belum ada
upaya penetapan suatu daerah atau kawasan konservasi bagi keberlangsungan
hidup ketam yang jarang ini. Pulau Yoi terletak di Maluku Utara merupakan
pulau yang memiliki karakteristik ideal untuk dijadikan kawasan konservasi bagi
kelangsungan hidup ketam kelapa.
Konflik antara kepentingan pelestariaan ketam kelapa pada alam asli dan
desakan permintaan konsumen akan semakin nyata dimasa akan datang.
Kesetimbangan antara permintaan dan suplai akan meningkatkan tekanan
terhadap populasi di alam. Pembukaan hutan pesisir yang merupakan habitat
ketam kelapa untuk berbagai kepentingan, diduga telah ikut mengurangi sumber
makanan alami dilingkungannya. Dengan berbagai kepentingan diatas, maka perlu
dilakukan suatu penelitian biologi reproduksi sebagai dasar pengelolaan ketam
kelapa (birgus latro) di lingkungan asli dan untuk melakukan domestikasi
Perumusan Masalah
Tingginya usaha penangkapan yang dilakukan, dan penurunan kondisi
habitat
merupakan salahsatu penyebab penurunan jumlah populasi. Sebagai
upaya pengelolaan sumberdaya ketam kelapa (B. latro) perlu dilakukan berbagai
upaya agar sumberdaya ketam kelapa (B. latro) tetap lestari.
Pola pemikiran yang digunakan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan
untuk mengatasi penurunan populasi ketam tersebut antara lain dengan (1)
mencari ukuran minimal yang matang gonad sehingga dapat dilakukan
pembatasan ukuran ketam yang boleh ditangkap, (2) mengetahui pola reproduksi
dan
musim pemijahan sehingga dapat diatur waktu penangkapan yang tidak
mengancam proses reproduksi ketam, (3) identifikasi karakteristik habitat yang
sesuai bagi ketam untuk melakukan reproduksi, dan (4) untuk keperluan
domestikasi.
Tujuan dan manfaat penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Biologi reproduksi ketam
kelapa (Birgus latro) , (2) identifikasi karakteristik habitat yang sesuai bagi ketam
kelapa (Birgus latro). Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi
tentang biologi dan habitat ketam kelapa (Birgus latro) bagi upaya pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya ketam kelapa terutama dalam upaya konservasi dan
domestikasi dengan tujuan restocking serta sebagai data awal bagi usaha budidaya
sehingga keberadaan di alam dapat dilestarikan (tidak sampai punah) di masa
mendatang.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi
Crustacea termasuk ke dalam filum Arthoropoda berasal dari bahasa
(Yunani = sendi ; pous = kaki). Namanya berasal kakinya yang bersendi. Tubuhnya
terbagi dalam kepala (cephalin), dada (thorax) dan abdomen. Kepala dan dada
bergabung membentuk kepala- dada (cephalothorax). Menurut PPSDAHP
(1987/1988) dalam Pratiwi (1989) , B.latro adalah salah satu kelompok Decapoda
yang banyak menghabiskan waktunya didaratan. Ketam kelapa ini adalah krustase
yang paling besar dibandingkan dengan jenis-jenis krustase lainnya, sehingga
dikenal dengan arthropoda daratan yang terbesar di dunia. Hewan ini berperan
dalam perputaran bahan organik dalam tanah. Lemak perutnya dapat berkhasiat
sebagai aphrodisiac (perangsang gairah seksual). Berdasarkan cara makan dan jenis
pakan yang dimakannya, ketam ini termasuk ketam hama bagi pertanian dan
perkebunan karena sering memakan buah dan merusak pohon kelapa, kenari, dan
pepaya. Menurut Abele dan Bowman (1982) dalam Rafiani (2005) Ketam kelapa
(B.latro) memiliki susunan klasifikasi sebagai berikut :
Phylum
: Arthopoda
Superkelas
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Subkelas
: Eumalacostraca
Superordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Pleocyemata
Infraordo
: Anomura
Superfamili
: Coenabitidea
Famili
: Coenabitidae
Genus
: Birgus
Spesies
: Birgus latro (L.)
Ketam kelapa atau ketam kenari (Birgus latro L.), mempunyai
karakteristik yang khas yakni secara morfologis mereka berada diantara seksi
Branchyura (dikenal dengan ketam sejati) dan Macrura (dikenal sebagai udangudangan) (Nontji, 1987). Tubuh terdiri dari bagian kepala (cephalon), dada
(toraks), perut (abdomen), ekor (telson yang diselimuti oleh rangka luar
(eksoskeleton) yang merupakan sifat morfologi krustasea (Barnes, 1974 dalam
Sahami, 1994). Disamping itu terdapat pula anggota tubuh yang lainnya yakni
pereopod, pleopod, antena dan mata.
Ketam kelapa mempunyai abdomen yang pendek dan terlindung kulit
yang keras serta memiliki bagian yang eksternal yang simetris dan ujung
abdomennya dapat berfungsi sebagai pemberat bila berada dalam liangnya, yang
berada dibawah akar pohon maupun pada pohon yang roboh. Karapas merupakan
bagian tubuh yang sangat keras karena mengandung zat kapur yang lebih tinggi
jika dibandingkan jenis kepiting lainnya, sedangkan bagian branchial bergembung
dengan
pembuluh-pembuluh
kapiler
yang
tebal(Wikipedia,
2008
http://id.wikipedia.org/wiki/ketam).
Tubuh ketam kelapa terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagian depan
(kelapa = cephalon), bagian tengah (dada = toraks) dan bagian belakang (perut =
abdomen). Pembagian daerah kepala dan dada sangat jelas. Rostrum kecil dan
pendek. Dibalik karapas pada bagian toraks kiri dan kanan terdapat insang. Tubuh
beruas-ruas yang jumlahnya 14 ruas. Bagian kepala dan dada berjumlah delapan
ruas, bagian perut dimulai dari ruas kesembilan sampai ruas teakhir (Limbong,
1983) dalam Sahami (1994).
Ukuran tubuh ketam betina lebih kecil dari jantan dengan panjang
maksimum toraks kira-kira 55 mm (Whitten, et al., 1987 dalam Sahami 1994).
Betina mempunyai pleopod pada sebelah kiri yang digunakan membawa telur
sedangkan jantan tidak memilikinya.
Ketam dewasa memiliki panjang karapas kurang lebih 25-47 cm, lebar 5176 cm dan berat badan berkisar antara 2-4 kg. Capit sebelah kiri biasanya
mempunyai ukuran lebih besar dari capit yang sebelah kanan. Ketam
ini
dilengkapi dengan lima pasang kaki jalan, yang terdiri atas empat pasang kaki
jalan yang jelas terlihat berbentuk keras dan kuat dan satu pasang kaki jalan
terakhir berukuran kecil dan bersembunyi di bawah karapas. Semua kaki jalan
ditutupi oleh duri serta rambut-rambut halus. Ketam ini memiliki bagian bawah
(abdomen) yang lunak yang pada waktu kecil terlindung dari rumah siput, tetapi
rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak dewasa. Ketam ini tumbuh
dengan cara berganti kulit, dimana ia harus keluar dari rumah siputnya lalu
mencari tempat yang terlindung dari pemangsanya dan berganti kulit disana
(Motoh, 1980 dalam Pratiwi, 1989)
Gambar 1 Morfologi ketam kelapa
Kemampuan hewan ini untuk hidup dibantu oleh organ insang (alat
pernapasan yang telah dimodifikasi), modifikasi ini dikelilingi oleh jaringan
seperti spon yang selalu dalam keadaan basah (lembab). Ia akan mencelupkan ke
air dan mengambil air dari atas insang. Ketam kelapa memerlukan minum air laut
dari waktu ke waktu untuk menjaga keseimbangan garam (salinitas) dalam
tubuhnya. Menurut Cameron dan Meckklenburg (1973), hewan ini mengambil O2
dengan cara membenamkan kepalanya kedalam air dalam selang waktu yang
cukup lama. Hal ini dapat berlangsung karena insang marga B. latro telah
teradaptasi dengan ruangan insang yang sudah terbagi oleh membran, sehingga
membantu proses pertukaran gas. Dengan adanya fungsi dari insang tersebut,
menyebabkan ketam ini mampu bertahan cukup lama di daratan.
Harris dan Kormanik (1981) dalam Brown dan Fielder (1991) menyatakan
bahwa abdomen yang besar merupakan tempat penyimpanan air bagi ketam
Birgus yang dipergunakan ketika kondisi tubuhnya kekurangan air dan
lingkungan sangat kering. Morris et al. 2000) dalam Brown dan Fielder (1991),
melaporkan bahwa ketam di Pulau Christmas memiliki akses rutin terhadap air
tawar dan dengan demikian dapat mengurangi kehilangan ion dalam tubuhnya.
Distribusi dan Habitat
Ketam kelapa (Birgus latro) tersebar di Indo – Pasifik (Brown dan Fielder
(1991)). Whitten et al., (1987) dalam Sahami (1994), melaporkan bahwa hewan
ini dulu tersebar luas diseluruh pasifik barat hingga Samudera Hindia bagian
timur, tetapi sekarang terbatas pada pulau-pulau kecil. Di Aldabra dilaporkan
masih terdapat ketam ini di Kepulauan Seychelles diperkirakan sudah punah. B.
latro juga tersebar di pulau-pulau kecil di wilayah pantai Tanzania dan Sentinal
selatan (Andaman dan Nikobar), kepulauan Keeling dan Mauritius. Di Filipina
sekarang dilaporkan hanya terdapat di pulau Ilongo dan sebagian di pulau Cebu.
Di kawasan Pasifik ketam ini dapat dijumpai di Timor, kemudian menyebar ke
belahan bumi utara sampai Ryukus, Fiji dan kepulauan Marshall kecuali
kepulauan Hawaii, Wake dan Midway. Di Papua Nugini dapat ditemukan di
Propinsi Manus, yakni di Rantan, Sae dan Los Negros (PPSDAHP, 1987/1988)
dalam Pratiwi (1989).
Gambar 2 Distribusi ketam kelapa dunia (Brown et al. 1991).
Di Indonesia B. latro hanya tersebar di kawasan Indonesia timur yaitu di
pulau-pulau Sulawesi, Nusa tenggara, Maluku, Papua. Di Sulawesi, ketam kelapa
terdapat di wilayah Kepulauan Kawio, Talaud, Sangihe, Sulawesi Utara, Pulau
Siompu, Tongali, Kaimbulawa dan Liwutongkidi , Sulawesi Tenggara (Ramli,
1997) sedangkan di Nusa Tenggara terdapat di pantai berbatu Pulau Yamdena
(Monk, et al. 2000), dan Kalimantan terdapat di Pulau Derawan.
Ketam kelapa (Birgus latro L.), mendiami lubang-lubang pesisir yang
masih ditumbuhi vegetasi (Rondo dan Limbong, 1990 dalam Sahami 1994).
Mereka aktif pada malam hari (nokturnal) (Boneka, (1990) dalam Sahami (1994).
Tetapi jika keadaan lingkungan aman mereka juga dapat terlihat pada siang hari
dan cenderung bersifat kanibal, namun seringkali mereka membentuk grup terdiri
dari beberapa individu dalam suatu lubang.
Ketam kelapa tergolong ketam semi daratan (semiterestrial), namun
mereka mengawali hidupnya dilaut. Mereka bermigrasi dari laut (selama fase
postlarva glaocothoe) dengan menampilkan tingkah laku kehidupan seperti hermit
crab yakni menempati cangkang gastropoda yang kosong (Reese, 1968 dalam
Pratiwi, 1989). Cangkang tersebut akan dilepaskan kembali setelah ia tumbuh
menjadi lebih besar dan kemudian mereka tidak membutuhkan cangkang lagi.
Habitat yang disukai ketam kelapa dicirikan dengan kondisi vegetasi semak,
kelapa, pisang dan berbagai tanaman pantai yang cukup lebat (Rafiani, 2005).
Pada wilayah yang dekat pemukiman jumlah populasi berkurang dibandingkan
dengan yang jauh dari pemukiman.
Ketam kelapa hidup dibawah tanah atau celah-celah bebatuan, tergantung
daerah setempat. Mereka menggali tempat bersembunyi di pasir atau tanah
gembur. Di siang hari, ketam kelapa bersembunyi, untuk berlindung dan
mengurangi hilangnya air karena panas. Di tempat persembunyiannya terdapat
serat sabut kelapa yang dipakainya sebagai alas. Menurut Streets (1877), saat
beristirahat di liangnya, ketam kelapa menutup jalan masuk dengan salah satu
capitnya untuk menjaga kelembaban untuk pernafasannya. Di area dengan banyak
ketam kelapa, beberapa ketam juga keluar waktu siang hari, untuk mencari
makan. Ketam kelapa juga kadang-kadang keluar waktu siang jika keadaan
lembab atau hujan, karena keadaan ini memudahkan mereka untuk bernafas.
Mereka hanya ditemukan di darat dan beberapa dapat ditemui sejauh 6 km dari
lautan.
Reproduksi
McLaughlin (1983) dalam Rafiani (2005), menyatakan bahwa Sistem
reproduksi Ordo Malacostraca secara anatomi terpusat pada cephalothorax. Untuk
suku Caenobitidae dan Paguraidae khususnya, memiliki sepasang testis dan
sepasang ovarium berada pada abdomennya. Menurut Whitten et al., (1987)
menyatakan bahwa kematangan gonad ketam kelapa (Birgus latro) pada
umumnya mencapai panjang karapas kurang lebih 5 cm. Perkawinan hewan ini
berlangsung di darat. Telur yang telah dibuahi terletak pada bagian bawah perut
atau menempel pada pleopod. Limbong (1983) mencatat bahwa telur yang
dimiliki oleh seekor induk berjumlah ribuan. Hampir semua ketam kelapa harus
mencari air untuk perkembangan larvanya. Ketam betina melepaskan telurnya ke
laut pada saat pasang tertinggi dan selanjutnya telur menetas.
Ketam kelapa melakukan aktivitas reproduksinya yang ditandai oleh
adanya ovigerous pada tubuh. Secara geografis seluruh area tampaknya terjadi
musiman, berlangsung pada musim panas baik di belahan bumi utara maupun
selatan.
Menurut Brown dan Fielder ,1991 menyatakan bahwa pada musim panas
biasanya ketam kelapa betina hanya satu kali dalam setahun meletakkan telurnya
di negara belahan bumi utara dan selatan. Reese (1965 dan 1967) dalam Brown
dan Fielder (1991) mengamati betina ovigerous di kepulauan Eniwetok terjadi
pada bulan april (pertengahan musim semi) sampai dengan Agustus (akhir musim
panas).
Di daerah sub trofik di belahan bumi selatan ketam kelapa betina paling
sedikit aktif bereproduksi selama lebih kurang 9 bulan, setiap tahun adalah dari
akhir September atau awal Oktober sampai dengan awal Juni pada tahun
berikutnya. Sebaliknya di daerah tropik belahan bumi utara dan selatan aktifitasnya
tidak bergantung musim, tetapi terjadi sepanjang tahun berdasarkan data yang
didapat dari kepulauan Christmas dan Vanuatu (Brown dan Fielder ,1991).
Ketam betina apabila menetaskan telurnya akan bermigrasi dari daratan ke
tepi laut, untuk melepaskan telur-telurnya tanpa ketam jantan. Hal ini berbeda
dengan ketam darat lainnya, seperti Gecarcoidea natalis yang bila migrasi selalu
diikuti oleh ketam jantan (Gray, 1981 dalam Brown dan Fielder,1991). Hanya
betina Birgus yang berpartisipasi dalam reproduksi migrasi (Borradaile, 1900;
Chapman 1948; Gibson-Hill, 1949 dalam Brown dan Fielder, 1991).
Di Vanuatu ketam akan berada di daerah pantai selama 5-6 minggu
(1 bulan) dan biasanya akan kembali ke daratan 4 -10 hari setelah melepaskan
telur-telurnya. Ketam
ini biasanya berkumpul dalam kelompok di sepanjang
pantai dan kembali ke darat juga dalam kelompoknya yang kemudian akan
berpisah (menyebar) setelah sampai di darat. Migrasi ketam menuju ke laut dan
kembali ke daratan terjadi berdasarkan ritmik dari gelombang dan periodisitas
yang sama dari proses penetasan dan pelepasan telur (Brown dan Fielder ,1991).
Menurut Helfman (1977) telah melakukan pengamatan terhadap dua ketam
kelapa melakukan kopulasi di darat. Tidak seperti coenabitidae yang lain, kopulasi
pada ketam kelapa berlangsung singkat (sekitar 3 menit) dengan sedikit aktifitas
tingkah laku pre dan pasca kopulasi. Ketam jantan akan memegang cheliped betina
dengan capitnya dan berjalan ke depan sampai punggung ketam betina berada
dibawah, kaki-kaki mereka bersilang dan abdomen memanjang ke balik badan
mereka dengan abdomen betina memutar diatas abdomen jantan. Ketam jantan
menggunakan coxea yang dimodifikasi dari pasangan kaki kelima pereiopoda untuk
mentransfer masa spermatofora ke dan sekitar oviduct betina yang terbuka pada
bagian dasar pasangan kaki ketiga pereopoda.
Menurut Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa untuk inkubasi
telur, pada bagian luar di bawah abdomen betina memiliki membran seperti spon
yang memberikan perlindungan dari lingkungan yang rentan terhadap
penggenangan air baik tawar atau asin. Telur yang sedang berkembang ini
terlindung dari perubahan jangka pendek akibat pengaruh eksternal ion-ion
inorganik dan air akibat dari paparnya telur dengan air tawar atau laut. Ketika
telur semakin matang, membran yang melindungi telur mulai memecah, membuat
telur rentan terhadap tekanan osmotik dan ionik jika terpapar dengan air tawar.
Pada telur yang telah matang sebagian besar membran telur telah pecah telur
bertindak sebagai osmometer akan segera menetas kontak dengan air tawar
ataupun air laut.
Gambar 3 Ketam kelapa mengeluarkan telur dari tubuh (Taku Sato dan Kenzo
Yoseda, http://www.mba.ac.uk/jmba/pdf/6370.pdf, 2009).
Proses vitelogenesis, inkubasi dan pengeluaran telur membutuhkan jalan
masuknya air dan ion inorganik. krustase teresterial, seperti B. latro dan
Gecarcoidea natalis, tidak mudah mendatangi air asin dari habitat normal mereka,
harus bermigrasi ke daerah pantai untuk mendapatkan air asin sebelum
melepaskan telurnya. Jejak ketam didaerah pantai dapat ditemukan selama masa
inkubasi sampai menemukan daerah yang cocok untuk tempat tinggalnya. Untuk
memperkecil dehidrasi dari massa telur, betina ovigerous memerlukan
perlindungan terhadap kelembaban tinggi, minimal terbuka untuk dikeringkan
dengan angin dan batasi cahaya matahari. Ini kontras dengan kepiting darat
lainnya Cardisoma guanhumi, dengan bermigrai ke pantai hanya melepaskan
telurnya, setelah itu segera kembali ke darat. Air dibutuhkan selama vitelogenesis
dan inkubasi telur, tersedia dari habitat “normal” ketam, dan kalau perlu
membangun tempat berlindung sementara waktu dilingkungan pantai.
Siklus Hidup Ketam Kelapa
Ketam kelapa selama hidupnya memiliki dua habitat yaitu laut
dan
daratan. Proses inkubasi dan matang telur berada di daratan, masa penetasan telur
berada di daerah pantai kemudian burayak sebagai larva planktonik yang hidup
bebas di laut, dan tahap dewasa kembali kedaratan.
Ketam kelapa yang sudah dewasa melakukan perkawinan di darat,
kemudian ketam betina akan mengerami telur. Ketika telur telah siap menetas,
ketam betina berjalan menuju laut untuk melepaskan telur dengan berjalan diatas
batu-batuan pada perbatasan daerah pasang surut, sehingga ombak yang datang
memecah akan membasahi bagian atas tubuhnya secara teratur. Pada saat telurtelur tersebut kontak dengan air laut, setelah menetas zoea dilepaskan ke dalam
laut (Brown dan Fielder, 1991).
Gambar 4 Siklus hidup Ketam Kelapa (B. Latro) (Fletcher dan Amost,1993)
Telur-telur yang menetas pada tahap zoea pertama lamanya 4-9 hari,
biasanya 5-6 hari, pergantian ke tahap zoea kedua dimulai pada hari ke empat dari
kehidupan larva dan mencapai puncaknya pada hari kelima dan hari keenam.
Tahap zoea berlangsung 3 – 15 hari dari kehidupan larva dan sebagian selesai
dalam waktu 10 hari. Lamanya tahap zoea ke tiga 3 -18 hari, tetapi biasanya 8-9
hari. Pergantian pada tahap zoea ke empat dimulai tepat pada hari ke 15 dari
kehidupan larva dan dilanjutkan kira-kira hari ke 24. Burayak yang mengalami
pergantian kulit pada hari ke 18 -20, biasanya pada hari ke 18 lah pergantian kulit
berlangsung sangat aktif. Sedangkan lamanya tahap zoea keempat dan
penyempurnaan atau tahap metazoa adalah 6 -12 hari dan akhirnya ketika usia
larva 20 -30 hari ketam berada dalam tahap terakhir pergantian zoea untuk
berubah ke tahap post larva “ glaucothoe”. Sedangkan Shokita et al.,1991) dalam
Sahami (1994) membagi tahap perkembangan zoea mulai dari tahap zoea I hingga
zoea V. Pada tahap-tahap ini bentuk tubuh ketam kelapa menyerupai udang.
Sesudah tahap zoea V tubuh berubah bentuk menjadi glaucothoe (megalopa).
Glaucothoe
akan mencari cangkang gastropoda yang kosong sebagai tempat
berlindung dan kemudian hidup di perairan dangkal. Ketam kelapa berada dalam
cangkang selama kurang lebih 6 bulan (Morton (1991) dalam Sahami (1994).
Ketam kelapa bermigrasi dan memulai hidupnya di darat setelah menjadi juvenil
(Shokita et al., (1991) dalam Sahami (1994).
Gambar 5 Juvenil ketam kelapa (a) dan Juvenil dengan cangkang gastropoda (b)
http://www.iucnredlist.org/details/2811. (2009).
Kadang-kadang tahap zoea ke lima ini terjadi, tetapi sedikit sekali
pengetahuan tentang lamanya zoea ke lima. Biasanya tahap zoea ke lima ini sama
seperti tahap zoea ke empat yaitu kurang dari enam hari. Tahap ini penting karena
memperhatikan campuran antara karakteristik zoea dan “glaucothoe” jika
diperhatikan pada umbai dada yang berhubungan dengan lipatan tertutup
sefalothoraks dan banyaknya setae pada pleopod dan abdomen. Ciri lainnya
adalah bentuk telson dan perlindungan terhadap segmen abdomialnya.
Fase post larva “glaucothoe” merupakan tahapan yang terpenting dalam
pertumbuhan
Perkembangan
B. latro. pada tahapan ini terjadi perubahan seperti amphibi.
selanjutnya
telah
dapat
berenang
dengan
menggunakan
pleopodanya atau bergerak perlahan-lahan di daratan. Pada tingkatan ini ketam
tersebut mulai menggunakan cangkang.
Biasanya “glaucothoe” memilih
cangkang gastropoda yang kecil dan bermigrasi dari lautan ke daratan. Seperti
halnya tingkah laku yang khas sebagai anggota infra ordo Anomura (kelomang).
Setelah itu bergerak perlahan-lahan menuju daratan, “glaucothoe” berjalan dengan
kulitnya yang sangat kecil dan bila sudah dewasa (“glaucothoe” dewasa) akan
mengubur dirinya dalam rangka mempersiapkan diri untuk berganti kulit. Setelah
tahap ini ketam tersebut menggali lubang dan terjadi pergantian kulit pada hari ke
28, ketam ini muncul sebagai ketam mudah pada hari ke 36. Setelah perubahan
bentuk mereka memakan kerangka luarnya yang lebih tua (Pratiwi, 1989).
Kecuali sebagai larva, ketam kelapa tidak berenang bahkan spesimen kecil
akan tenggelam dalam air. Mereka menggunakan organ khusus yang disebut paruparu branchiostegal untuk bernafas. Organ ini dapat ditafsirkan sebagai tingkat
perkembangan antara insang dan paru-paru, dan merupakan salah satu adaptasi
paling signifikan dari ketam kelapa terhadap habitatnya. Ruangan dari organ
pernafasan ini terletak bagian belakang sefalotoraks. Di organ ini terdapat jaringan
yang sama seperti pada insang, namun cocok untuk penyerapan oksigen dari udara,
bukannya di air. Mereka memakai kaki terakhir yang paling kecil untuk
membersihkan organ nafas ini, dan untuk membasahinya dengan air laut. Organ itu
memerlukan air agar berfungsi, dan ketam ini memenuhi hal ini dengan menekan
kaki yang dibasahi pada jaringan spons didekatnya. Ketam kelapa juga bisa
meminum air laut, menggunakan cara yang sama untuk mengambil air ke mulutnya.
Selain organ pernafasan ini, ketam kelapa mempunyai kumpulan insang
rudimenter tambahan. Namun sewaktu insang ini kemungkinan digunakan untuk
bernafas dalam air pada sejarah evolusi jenis ini, mereka tidak lagi menyediakan
cukup oksigen, dan ketam yang terbenam di air akan tenggelam dalam waktu
beberapa menit (laporan beragam, mungkin tergantung tingkat stres dan latihan
serta
konsumsi
oksigen
yang
dihasilkan)
(Wikipedia,
http://id.wikipedia.org/wiki/ketam 2008).
Menurut Reese, 1968 dalam Pratiwi (1989) penggunaan cangkang
gastropoda yang kosong pada fase “glaucothoe” dan ketam mudah merupakan
adaptasi tingkah laku yang berhubungan dengan keberhasilan emigrasi ketam
kelapa dari lingkungan perairan laut ke daratan. Tingkah laku ini dilakukan
sebagai cara untuk melindungi diri dari kekeringan dan berbagai ancaman yang
terjadi dalam fase yang rentan dalam siklus hidup hewan ini.
Biasanya setiap kali berganti kulit ketam kelapa juga akan mengganti
rumah keongnya. Penggantian rumah tersebut disesuaikan dengan pertambahan
ukuran tubuh. Tingkah laku yang demikian menjadikan ketam ini sebagai hewan
pembawa cangkang dan dapat berlangsung selama dua setengah tahun. Namun
demikian di Enowetok ditemukan ketam kelapa terkecil yang berukuran karapas
22 mm dan di Guam sekitar 8,4 mm keduanya tanpa rumah cangkang. Hill (1947)
dalam Pratiwi (1989) melaporkan bahwa di pulau Christmas, ketam kelapa
mempergunakan cangkang Trochus sp. hingga berumur 9 bulan. pada ketam
berukuran lebih kecil yang tidak menemukan cangkang untuk tinggal, akan
berlindung didalam hutan hingga berumur 12 bulan.
Menurut Reag dan Haig (1990); Tapilatu (1991) dalam Ramli (1997),
ketam
kelapa pada fase kelomang atau hidup dengan cangkang gastropoda,
bersifat semi-teresterial dan karakteristik hidup pada mintakat supra litoral yang
berpasir dan pada siang hari dapat ditemukan berkumpul di bawah semak-semak
dan diantara reruntuhan pohon yang mati dan kayu. Ketam kelapa mempunyai
tingkah laku yang menarik, pada fase kelomang hidup di mintakat litoral hingga
supralitoral dan jarang ditemukan pada daerah diatas mintakat supralitoral. Ketam
kelapa dewasa ditemukan diatas mintakat supralitoral yaitu pada celah atau lubang
karang atau pohon. Liangnya ditemukan berkisar antara 100 – 200 meter dari
garis pantai, walaupun pada daerah yang jauh dari pantai sekalipun dapat
ditemukan, diduga hal ini berhubungan dengan sifat reproduksinya yaitu pada
masa bertelur, ketam kelapa betina akan kembali ke laut untuk melepaskan telur.
Menurut Brown dan Fielder (1991) menyatakan bahwa ketam kelapa akan
mencapai matang gonad ketika mencapai umur 3,5 dan 5 tahun. Pada umur
tersebut ketam kelapa akan kembali melakukan aktifitas perkawinan dan memulai
siklus hidupnya dengan melepaskan telurnya ke laut. Sedangkan Pratiwi (1989)
menyatakan bahwa telur-telur ketam kelapa yang telah matang berwarna abu-abu
kekuning-kuningan dengan titik mata yang terlihat jelas.
METODELOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Yoi, Kecamatan P. Gebe Kabupaten
Halmahera Tengah, Maluku Utara dan dimulai dari bulan Januari sampai
Desember 2008.
Penentuan Lokasi Penelitian
Pulau Yoi sebagian besar terdiri atas tebing-tebing yang curam. Diatas
tebing tumbuh vegetasi hutan sampai ke tengah pulau. Bagian pantai yang curam
dibagian basecamp, selatan, utara dan barat. Sedangkan telaga dan timur landai.
Untuk pengambilan data, ditetapkan pada 6 stasiun berdasarkan informasi yang
diperoleh dari masyarakat.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan ketam kelapa dilakukan menggunakan tangan oleh penduduk
lokal yang umpannya kelapa di pasang pada siang hari. Penangkapan dilaksanakan
pada malam hari umumnya pada pukul 21.00 – 23.00. Pada setiap stasiun dipasang
transek yang berukuran 10 x 10 m. Tiap-tiap stasiun dipasang sebanyak 6 buah
kelapa. Sampel ketam kelapa yang tertangkap dikumpulkan untuk dilakukan
pengukuran terhadap Cephalothoraks tambah rostrum (CP+r).
Kemudian
ditimbang digital dengan menggunakan timbangan berketelitian 1 gram. Preservasi
dilakukan dengan menggunakan larutan paraform 10%.
Alat dan Bahan
Dilakukan histologi untuk studi penentuan berat gonad, TKG dan IKG
menggunakan alat bedah, kantung plastik, dan botol fim. Fekunditas dan diameter
telur yang digunakan adalah cawan petri, tissue, mikroskop, mikrometer okuler,
dan gelas preparat. Sedangkan bahan dan alat histologi gonad jantan dan betina
ketam kelapa meliputi aquades, alkohol, silol, haematoksilin, eosin, entellan
(canada balsam), mikrotom, oven (65 – 70 oC, gelas objek dan gelas penutup.
Pengukuran Aspek Biologi
Morfometrik
Pengambilan data morfometrik meliputi : pengukuran Rostrum, Kepala,
Dada (CP+r) dengan menggunakan meteran dan bobot total ketam kelapa
ditimbang dengan gonad yang masih di dalam tubuhnya dengan menggunakan
timbangan duduk yang memiliki ketelitian 1 gram. pengukuran dilakukan 2
bulan sekali.
Gambar 6 Bagian yang diukur pada ketam kelapa
Penentuan TKG
Pengamatan TKG dilakukan secara visual yaitu dengan melihat perubahan
morfologi gonad dan secara histologis. Penentuan TKG dilakukan berdasarkan
hasil histologi sel gonad. Contoh gonad diambil dari kematangan gonad I, II, III
dan IV pada jantan dan betina.
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ketam kelapa (B.latro)
betina berdasarkan morfologi gonad (Rafiani, 2005)
TKG
Ciri morfologi
I
Permukaan ovarium halus, belum terbentuk butiran-butiran telur.
Ovarium mulai berkembang, berbentuk sepasang, ovariun berwarna
abu-abu muda. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 25 persen.
II
Permukaan ovarium lembut, mulai terlihat butiran-butiran telur, jika di
tekan mudah hancur. Ukuran ovarium semakin bertambah dan meluas,
warna dari putih menjadi abu-abu tua. Pengisian ovarium didalam
abdomen adalah 30 persen.
III
Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiran-butiran telur semakin
membesar dan padat, jika di tekan kuat dan tidak mudah hancur.
Volume ovarium semakin membesar, berwarna orange. Butiran telur
terlihat dengan jelas, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak.
Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 60 persen.
IV
Permukaan ovarium terasa kasar dan padat, karena butiran-butiran telur
yang semakin membesar dan jelas, jika di tekan kuat dan tidak akan
hancur. Hampir semua telur mempunyai ukuran yang relatif sama dan
bentuknya bulat. Butir-butir telur semakin membesar, hampir mengisi
seluruh abdomen dan terlihat dengan jelas berwarna merah tua dengan
mudah dapat dipisahkan karena lapisan minyak yang menyelubungi
sudah berkurang. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 80
persen.
Berat gonad dan IKG
Berat gonad dihitung menggunakan digital dengan ketelitian 0,01 gram
setelah dikeluarkan dari tubuh ketam. Setelah gonad itu diawetkan dengan
paraform 10%. IKG dihitung pada jantan dan betina disetiap TKG dengan dengan
menghitung perbandingan berat gonad dan berat tubuh yang diukur dengan
timbangan digital, hasil perbandingan tersebut dikalikan 100%.
Fekunditas
Perhitungan fekunditas dilakukan dengan mengambil gonad ketam yang
sudah mancapai TKG III dan TKG IV, dimana butiran telur sudah terlihat jelas
dengan mikroskop. Fekunditas dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik.
Dengan menentukan terlebih dahulu berat kering udara seluruh gonadnya, demikian
pula sebagian dari telur yang akan ditimbang beratnya. Selanjutnya jumlah telur
dari sebagian kecil gonad yang ditimbang tersebut dihitung.
Diameter telur
Pengamatan diameter telur telah dilakukan dengan menggunakan
mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dan mikrometer objektif.
Telur yang diukur diameternya berasal dari gonad yang sudah mencapai TKG III
dan TKG IV yang masing-masing individu sebanyak 100 butir.
Pengukuran Aspek Fisika
Pengukuran aspek fisika yaitu suhu udara, suhu tanah, dan kelembaban
udara. Pengukuran suhu udara dan suhu tanah dilakukan dengan menggunakan
termometer. Kelembaban udara diukur dengan menggunakan alat hygrometer dan
data curah hujan diambil dari BMG Kota Ternate, Maluku Utara.
Pengukuran Aspek Kimia
Tekstur Tanah
Tanah diambil didalam tanah dengan kedalaman 30 cm. Tanah tersebut
dipisahkan sesuai fraksi dengan menggunakan ayakan berlapis. Komposisi
tekstur tanah yang diukur meliputi tiga bagian yaitu fraksi pasir, debu, dan liat
pada setiap stasiun.
Bahan Organik Tanah
Analisis kandungan bahan organik tanah dilakukan dengan metode
Walkei-Blak (Michael, 1994). Menurut Suin (1997), material organik tanah
merupakan sisa tumbuhan, hewan, dan organisme tanah. Material organik tanah
yang tidak terdekomposisi menjadi humus yang warnanya coklat sampai hitam,
dan bersifat koloidal.
Analisis Statistik
Rasio Kelamin
Penentuan jenis kelamin jantan dilakukan berdasarkan ciri kelamin
sekunder, yaitu dengan melihat bentuk abdomen dan rambut pleopod pada
abdomen dan pengamatan morfologi gonad (bentuk, ukuran, dan warna). Rasio
kelamin ketam jantan dan betina ditentukan dari hasil penangkapan selama
penelitian. Pendugaan rasio kelamin jantan dan betina menurut Effendi (1979)
menggunakan rumus :
P=A:B
Keterangan :
P = Rasio kelamin antara ketam jantan dan ketam betina
A = Jumlah ketam jantan
B = Jumlah ketam betina
Selanjutnya rasio kelamin diuji dengan menggunakan Chi- Square (Steel
dan Torrie, 1993) dengan rumus :
n
(Oi − ei )
i =1
ei
X2 =∑
Keterangan :
Oi = Frekuwensi teramati (jumlah ketam jantan dan betina)
ei = Frekuwensi harapan (jumlah rata-rata jantan dan betina)
Hubungan Panjang (CP+r) Berat
Untuk mengetahui hubungan panjang CP+r dan bobot ketam
kelapa
dilakukan menurut jenis kelamin di masing-masing staiun pengamatan, dengan
demikian korelasi panjang dada dan bobot populasi masing-masing stasiun dapat
dibedakan. Perhitungan hubungan panjang CP+r dan bobot badan total dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
W = a [CP+r]b
Keterangan :
W
= Bobot total ketam kelapa
CP+r
= Panjang cephalotoraks (mm)
a dan b = konstanta
Persamaaan diatas dapat dilogaritmakan menjadi persamaan regresi linier
sebagai berikut :
Log W = Log a + b Log [CP+r]
Selanjutnya dari persamaan tersebut harga a dan b (konstanta) dapat
ditentukan. Menurut Effendi (1979), kriterianya sebagai berikut : Jika b<3, maka
pertambahan panjang ketam lebih lebih cepat dari pertambahan beratnya. b>3,
maka pertambahan panjang lebih lambat dari pertambahan berat. Sehingga kedua
pertumbuhan ini disebut pertumbuhan allometrik. Jika b = 3, maka pertumbuhan
bersifat isometrik yaitu pertambahan panjang dan berat sama.
Faktor Kondisi
Perhitungan faktor kondisi berdasarkan panjang dada dan bobot contoh,
yaitu menggunakan rumus :
Untuk pola pertumbuhan isometrik :
K=
(105W )
[CP + r ]3
Untuk pola pertumbuhan allometrik :
K=
W
b
a[CP + r ]
Keterangan :
K =
W =
CP+r
a =
b =
Faktor Kondisi ketam
Bobot tubuh yang diukur (gram)
= Panjang cephalotoraks ketam (mm)
Koefisien pertumbuhan
Ukuran dari perbedaan rata-rata tumbuh
Penentuan IKG
IKG diperoleh melalui rumus yang diuraikan oleh Effendi (1979), yaitu :
IKG =
BG
x 100%
BT
Keterangan :
IKG = Indeks kematangan gonad
BG = Berat gonad (gram)
BT = Berat tubuh (gram)
Perhitungan Fekunditas
Fekunditas dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik (Effendi,
1979) yaitu :
F =
G. X
g
Keterangan :
F = Fekunditas yang dicari
G = Berat total gonad (gram)
X = Jumlah telur dari gonad contoh
g = Berat gonad contoh
Analisis hubungan panjang dengan fekunditas dilakukan untuk melihat
jumlah telur ketam pada ukuran tertentu. Hubungan panjang dengan fekunditas
dinyatakan dengan rumus :
F = a[CP+r]b
Keterangan :
F
= Fekunditas yang dicari
CP+r
= Panjang Cephalotoraks + rostrum (mm)
a dan b = konstanta
Persamaan tersebut ditransformasikan kedalam logaritma sehingga
diperoleh bentuk linear/persamaan garis lurus :
Log F = Log a + b Log [CP+r]
Distribusi Ketam Kelapa
Distribusi ketam kelapa dianalisis dengan menggunakan Indeks Morisita,
sebagai berikut (Brower dan Zaar, 1977), dengan rumus berikut :
id = n
Keterangan :
∑X
2
−N
N ( N − 1)
Id = Indeks Morisita
N = Jumlah Plot (unit)
N = Jumlah total individu dalam total n plot (ekor)
∑X2= Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot
Kriteria pola penyebaran dikelompokkan sebagai berikut :
Jika
Nilai Id < 1 : seragam
Nilai Id >1 : mengelompok
Nilai Id =1 : acak
Selanjutnya diuji dengan
Khi-Kuadrat pada taraf nyata 0,05 dengan
menggunakan rumus :
Keterangan :
⎡ n
2⎤
⎢ n∑ X ⎥
⎣ i =1
⎦
X2 =
N
n = Jumlah plot (unit)
N = Jumlah total individu dalam total n plot (ekor)
∑X2 = Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot
Nilai Khi-kuadrat hasil perhitungan yang diperoleh, dibandingkan dengan
nilai Khi-kuadrat total statistik pada selang kepercayaaan 95 % (α = 0,05). Jika
nilai X2 lebih kecil dari nilai tabel, maka tidak berbeda nyata secara acak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Pulau Yoi secara administrasi termasuk dalam gugusan kepulauan Gebe
kabupaten Halmahera Tengah. Dari geografisnya pulau ini terletak pada posisi :
0º0'10 - 0º3'80" LU dan 129º 34'90" - 129º39'10" BT. Pulau ini berbatasan dengan
sebelah utara pulau uta, sebelah selatan laut Halmahera, sebelah barat pulau Gebe,
sedangkan sebelah timur dengan pulau Gag.
Pulau ini hanya mempunyai satu desa yang namanya Umiyal adalah satusatunya desa yang terpisah daratan dengan Pulau Gebe. Namun Pulau Umiyal
dikenal sebagai pulau terapung dikarenakan petrografi daripada pulau tersebut
tidak memiliki bukit ataupun gunung. Pulau ini dikenal juga sebagai penghasil
Kopra terbanyak di Kecamatan Pulau Gebe. Pulau Umiyal biasa juga disebut
sebagai Pulau Yoi yakni pulau kecil yang terletak disebelah Utara Pulau Gebe.
Pulau Yoi memiliki jarak terdekat dengan Pulau Gebe yaitu pada Desa SabafKacepo (Sanafi).
Sarana transportasi untuk mencapai Pulau Yoi menggunakan perahu motor
tempel waktu 20 – 30 menit menggunakan perahu motor tempel (PMT) 3 4 gross
tonase ton bermesin 25
40 PK. Pulau dengan luas 2.929,074 Ha, memiliki
hamparan pasir 587, 264 Ha, terumbu karang 162, 145 Ha, padang lamun 326,
579 Ha, dan hutan mangrove 206, 119 Ha. Pulau ini beriklim trofis dan
mengalami 2 perubahan musim, yaitu Musim Barat sepanjang bulan Juli, Agustus
dan Musim Selatan pada bulan Desember, Maret sedangkan Musim Panca Roba
pada bulan Januari, Mei. Terdapat ekosistem hayati dan nir hayati ini menjadikan
pulau Yoi memiliki biodiversity cukup tinggi. Pulau Yoi merupakan pulau
berpenghuni, terletak di sebelah timur Pulau Gebe dan berbatasan langsung
dengan wilayah Kabupaten Kepulauan Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Pada
tahun 2003 jumlah penduduk pulau Yoi sebanyak 563 jiwa yang terbagi kedalam
114 KK yang berdomisili pada desa Umiyal dan terbagi dalam 2 dusun. Dari
jumlah penduduk tersebut terdiri atas laki-laki sebanyak 307 jiwa dan perempuan
256 jiwa. Jumlah usia sekolah sebanyak 275 jiwa (6 – 24 tahun) dan sisanya 288
jiwa merupakan penduduk berusia diatas batas usia sekolah (25 – 45 tahun).
Jumlah penduduk Pulau Yoi meningkat 18,65% atau menjadi 668 jiwa atau 145
KK pada tahun 2008.
Penduduk Pulau Yoi bermata pencaharian utama sebagai petani kopra.
Hampir semua penduduk Pulau Yoi memiliki kebun kelapa. Disamping sebagai
petani kopra, penduduk Pulau Yoi bekerja sambilan sebagai nelayan dengan
menangkap ikan, ketam kelapa, tripang, lobster, lola (bia) dan kepiting laut.
Kebun kelapa milik penduduk Pulau Yoi terdapat di Pulau Yoi dan Pulau Sain.
Pulau Sain berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Raja Ampat Papua Barat.
Jarak dari Pulau Yoi ke Pulau Sain sekitar 20 mil laut.
Di Pulau ini Ketam kelapa biasanya berada tidak jauh dari pantai yaitu
diantara batu-batu karang dan timbunan daun-daun terutama memilih daerah
yang banyak ditumbuhi pohon kelapa serta terlindung dari cahaya matahari.
Ketam kelapa terlihat menyukai lokasi-lokasi yang gelap dan lembab. Ini juga
didukung dengan bukti tangkapan pada malam hari lebih banyak. Fakta ini
menguatkan pola aktivitas ketam kelapa sebagai satwa nokturnal (aktif saat
malam hari). Namun, pada daerah yang tak banyak gangguan manusia, lembab
dan terlindung dapat ditemukan pada siang hari.
Morfologi Ketam Kelapa Jantan dan Betina
Secara morfologis ketam kelapa (Birgus latro) terdiri atas bagian kepala,
dada, dan perut (Gambar 8). Di bagian ujung kepala terdapat rostrum, dan di
bagian dada terdapat kaki-kaki. Ketam ini mempunyai 5 pasang kaki, dimana
sepasang pertama dinamakan capit yang sangat kuat dan digunakan untuk
mengambil makanan. Ukuran capit ini lebih besar di sebelah kiri dibandingkan
dengan yang kanan. Tiga pasang kaki berikutnya digunakan untuk berjalan dan
sepasang lainnya (yaitu kaki kelima) lebih kecil dan tersembunyi dibawah
karapas. Ujung kaki (2-4) tajam sehingga bisa memanjat pohon dan bebatuan.
Karapas hanya menutupi bagian cephalothorax, sedang bagian abdomen agak
lunak. Bagian yang lunak ini pada waktu kecil terlindung dalam rumah siput,
tetapi rumah siput ini akan ditinggalkan ketika menginjak dewasa. Ketam ini
tumbuh dengan cara berganti kulit.
Gambar 7 Morfologi ketam kelapa (Birgus latro).
Ketam Kelapa jantan bisa mencapai berat tiga kilogram, sedangkan
yang betina sekitar satu kilogram. Ciri morfologi pembeda antara jantan dan
betina adalah ditemukannya pleopoda yang terdapat pada bagian abdomen
ketam betina (Gambar 9).
Ketam kelapa jantan tidak memiliki pleopoda,
sedangkan ketam betina memiliki 3 buah pleopoda untuk menginkubasi telurtelur sebelum di lepaskan ke laut. Pleopoda ini terdiri atas rambut-rambut.
Selain itu karakter lain yang umumnya membedakan jantan dan betina adalah
ukuran ketam kelapa jantan yang lebih besar dari pada betina.
A
B
Gambar 8 Morfologi ketam kelapa (A) Jantan dan (B) betina dengan telurnya.
A
B
Gambar 9 Ciri kelamin secara morfologis ketam kelapa (A) Betina memiliki
pleopoda. (B) jantan tidak memiliki pleopoda.
Reproduksi Ketam Kelapa
Organ Reproduksi Jantan
Pada penelitian ditemukan gonad ketam jantan dengan 4 kematangan
gonad (Gambar 10). Ukuran gonad /testis terkecil terdapat pada ketam dengan
panjang (CP+r) adalah 34 mm dan berat gonad 0,10 gram dan ukuran gonad
yang paling besar dengan panjang dada 61 mm dan berat gonad 8,01gram
A
B
C
D
Gambar 10 Gonad ketam kelapa jantan, TKG I (A), TKG II (B), TKG III (C),
dan TKG IV (D).
Tingkat kematangan gonad/testis uji diukur perubahan morfologi dan
histologi testisnya (Gambar 11). Perubahan morfologi gonad/testis, baik dari segi
ukuran maupun warna, dipengaruhi oleh perkembangan sel testis terutama dalam
bertambahnya
deposisi
gonad/testis.
Bertambahnya
jumlah
gonad/testis
menyebabkan perubahan warna gonad/testis dan membesarnya sel testis.
Dalam pewarnaan HE, hematoksilin akan mewarnai inti dan akan
menunjukkan warna biru, sedangkan eosin merupakan warna asam yang akan
mewarnai komponen basa dalam jaringan. Pada sediaan gonad ketam betina yang
diwarnai dengan HE (Hematoksilin Eosin), dapat terlihat struktur dan komponen
jaringan gonad ketam. Di dalam komponen sel, basa terdapat di dalam protein
sitoplasma sehingga eosin akan mewarnai sitoplasma dan akan menunjukkan
warna merah.
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ketam kelapa (B.latro)
Jantan berdasarkan morfologis gonad/testis
TKG
Ciri morfologi
I
Permukaan testis halus, belum terbentuk butiran-butiran. Testis mulai
berkembang, testis berwarna putih. Pengisian testis didalam abdomen adalah
10 persen.
II
Permukaan testis lembut, belum terlihat butiran-butirannya, jika di tekan
mudah hancur. Ukuran testis semakin bertambah dan meluas, warna putih.
Pengisian testis didalam abdomen adalah 20 persen.
III
Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiran-butiran testis semakin
membesar dan padat, jika di tekan kuat dan tidak mudah hancur. Warna
putih mulai keabu-abuan. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 30
persen.
IV
Permukaan ovarium terasa kasar dan keras, karena butiran-butiran testis
yang semakin membesar dan jelas, jika di tekan kuat dan tidak akan hancur.
Hampir semuanya mempunyai ukuran yang relatif sama dan bentuknya
panjang. Warna putih kecoklatan. Butir-butir testis semakin membesar.
Pengisian testis didalam abdomen adalah 40 persen.
Sistem reproduksi ketam kelapa jantan terdiri atas sepasang gonad/testis
yang secara khusus terdapat pada bagian abdomen. Dapat diamati pada Gambar.
12, sepasang gonad jantan menyatu dengan organ hepatopankreas. Sedangkan
gonad ketam betina terlihat sangat nyata dan terpisah dari hepatopankreas.
A
B
Gambar 11 organ reproduksi ketam kelapa; (A) Betina, (B) Jantan
Gonad jantan terdiri atas testis (Gambar. 12). Dari hasil penelitian telah
terlihat bahwa ketam kelapa mempunyai alat mentransfer spermatozoa yang telah
matang dengan menggunakan koksa dari pasangan kaki kelima periopoda (kaki
jalan kelima). Alat untuk mentransfer sperma ini mirip dengan penis atau klasper.
Cl
Vd
Te
Gambar 12 Organ ketam kelapa yang terdiri atas (Vd), Vas deferens, Clasper (Cl)
dan Te (testis)
Pada penelitian ini, gambaran histologi dari testis ketam kelapa
memperlihatkan adanya aktivitas spermatogenesis, ditandai dengan ditemukannya
kumpulan berisi sel-sel spermatogenik dalam berbagai tahap seperti pada Gambar
13. Dalam testis, sel germinal primer berkembang ke sel gonial sekuder kemudian
membelah secara mitosis dan meiosis. Pada masa spermatosit, pembelahan sel
pertama dan sel kedua akan membentuk spermatid. Secara normal, empat
spermatid yang berbentuk berasal dari satu spermatosit. Pematangan spermatid
membentuk spermatozoa.
Spermatid adalah bentuk dari sperma yang berkembang. Sel haploid yang
dihasilkan adalah sel spermatid. Metamorfosa ini disebut spermiogenesis.
Keseluruhan proses spermatogenesis dan spermiogenesis disebut spermatogenesis.
Menurut Hozumi et al. (2001) dalam Rafiani (2005) spermatogonium adalah sel
bakal sebelum menjadi spermatosit. Spermatosit membelah dalam proses meiosis
dan DNA yang terkandung didalamnya berkurang separuh. Proses perbanyakan sel
spermatogonium yang bermiosis dan disebut spermatogenesis.
Spermatid
Spermatozoa
A
B
Spermatosid primer
Spermatozoa
C 13 Struktur histologis tubuli testis/gonad
D
Gambar
jantan ketam kelapa
memperlihatkan tubuli dengan sel spermatogenik pada berbagai
tahap yaitu (B)., spermatid (C). spermatosit primer, (A) (D).
Spermatozoa yang terbungkus di dalam spermatofora yang
berbentuk kapsul.
Dari hasil penelitian sediaan histologi gonad menunjukkan adanya reaksi
PAS positif yang menunjukkan adanya karbohidrat di dalam sel-sel spermatozoa
ketam kelapa, sekaligus menandakan adanya suatu aktivitas (aktivitas
spermatogenesis). Pada sediaan gonad jantan diwarnai dengan pewarnaan PAS,
yang berfungsi untuk mendeteksi adanya karbohidrat yang bersifat netral
(Kiernan, 1990) yang terdapat di dalam sel-sel gonad dengan memperlihatkan
PAS positif yang ditunjukkan dengan adanya warnam merah. Pada metode
pewarnaan PAS digunakan periode acid yang berfungsi dalam mengoksidasi
gugus-gugus glikol menjadi aldehid. Aldehid ini kemudian bereaksi dengan
reagens Schiff. Selain itu PAS juga dapat mendeteksi adanya kelompok sulphat
ester, sialic acid dan beberapa gula amino.
Menurut Bliss dan Mantell (1985) struktur yang utama dari spermatozoa
ketam adalah susunan biokimia didalam sitoplasma dan nukleus yang ada selama
spermiogenesis. Protein inti spermatozoa terdiri dari histon dan protamin.
Spermatid ini dikeluarkan dari tubulus kedalam tubulus pengumpul dari
testis melalui proliferasi spermatosit primer baru dari epitel germinal pada
masing-masing tubulus. Sehingga spermatid yang telah mengalami metamorfosis
dan berusia tua yang telah penuh banyak didorong keluar tubulus melalui
perkembangan spermatosit primer baru. Matthews (1953) melaporkan bahwa
sayatan testis dari Dardanus punctulatus menampakkan bentuk seperti koil,
berkelanjutan, memiliki dinding tabung yang tipis yang berhubungan dengan
banyak tubuli terbuka. Potongan melintang tubuli diamati pada semua tahap
kematangan. Tubulus yang belum matang atau dewasa diisi dengan spermatosit
primer berukuran besar, tubulus yang lebih matang diisi dengan spermatid pada
semua tahapan metamorfosis. Vas diferencia yang masih hidup pada D.
punctulatus, C. rugosus dan B. latro menunjukkan struktur yang tidak teratur.
Belum dilakukan pengamatan pengaruh kontraksi vas diferens (Gambar 14)
terhadap massa sperma yang lunak. Kontraksi ini bertujuan memindahkan massa
sperma sesuai dengan perubahan secara gradual pada vas deferens.
Tubuli terlihat di semua tahapan perkembangan. Terdapat sedikit
perbedaan, proses pengisian tubuli dengan spermatosit primer dan pengeluaran
spermatid yang telah bermetamorfosis identik dengan terjadi pada D. punctulatus.
Kombinasi proses secara ritmis akan mampu menghasilkan aktivitas tubuller yang
kontinyu, massa sperma yang tidak terdeferensiasi mamasuki bagian proksimal
dari vas deferen. Adanya sedikit perbedaan jumlah dan pengaturan sel-sel
sustentacullur. Meskipun hal ini terdapat di semua tubuli yang spermatidnya
mengalami metamorfosis, namun masih belum diteliti. Penelitian mengenai
tubulus adalah sebagai suatu proses ritmis. Proses ini akan menghasilkan massa
sperma secara kontinyu. Massa sperma yang tidak terdeferensiasi ini berukuran
kecil, dan memasuki bagian proksimal dari vas deferens. Matthews menambahkan
bahwa pada dasarnya, sayatan testis dari Caenobita rugosus seperti dengan D.
punctulatus. Tubuli terbuka sesaat, bergelung-gelung tinggi menuju tubulus
pengumpul.
Semua tubuli pada setiap tahap kematangan dan aktivitas ritmisnya
mampu mengisi tubuli pengumpul, kemudian menjadi spermatid yang telah
bermetamorfosis. Sayatan dari testis B. latro juga serupa dengan testis D.
punctulatus, dan C. rugosus. Terdapat Perbedaannya adalah ukuran, tubuli D.
punctulatus, dan C. rugosus secara umum lebih kecil daripada tubuli B. latro.
Karena secara morfologi dan fisiologi ukuran dan berat B. latro. lebih besar dari
D. punctulatus, dan C. rugosus.
Ampulla
Tudung
Epitel
Tangkai
Gambar 14 Potongan melintang vas deferens ketam kelapa (B. latro L) pada
pewarnaan PAS. Pada gambar ini spermatozoa telah mencapai
tingkat kematangan IV.
Harms (1973) dalam Matthews (1953) melaporkan aktivitas reproduktif
pada B. latro adalah proses penggabungan/persetubuhan hingga saat ini terjadi
ditanah, ketika mendapati hewan betina berada pada jarak yang cukup jauh dari
pantai/pesisir. Sperma ditransmisikan melalui clasper. Hewan jantan memancarkan
massa sperma (spermatofor) yang ditransfer ke hewan betina. Spermatozoa pada
ketam kelapa, tersimpan dalam spermatofor yang berbentuk kapsul. Kapsul ini
diduga untuk melindungi spermatofora selama proses fertilisasi.
Organ Reproduksi Betina
Pada penelitian ditemukan gonad ketam betina dengan 4 kematangan
gonad (Gambar 15). Ukuran gonad terkecil terdapat pada ketam dengan panjang
(CP+r) 63 mm dan berat gonad 0,13 gram dan ukuran gonad yang paling besar
dengan panjang (CP+r) 97 mm, berat gonad 25,97 gram. Menurut McLaughlin,
(1983) sistem reproduksi betina pada malacostraca adalah sepasang ovarium atau
sebuah ovari dan terletak di abdomen.
Tabel 3 Klasifikasi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ketam kelapa (B. latro)
betina berdasarkan struktur morfologis dan histologi gonad (Rafiani,
2005)
TKG
Ciri morfologis
I
Permukaan ovarium halus, belum terbentuk butiran-butiran telur. Ovarium mulai
berkembang, berbentuk sepasang, ovariun berwarna abu-abu muda. Pengisian
ovarium didalam abdomen adalah 25 persen.
II
Permukaan ovarium lembut, mulai terlihat butiran-butiran telur, jika di tekan mudah
hancur. Ukuran ovarium semakin bertambah dan meluas, warna dari putih menjadi
abu-abu tua. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 30 persen.
III
Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiran-butiran telur semakin membesar dan
padat, jika di tekan kuat dan tidak mudah hancur. Volume ovarium semakin
membesar, berwarna orange. Butiran telur terlihat dengan jelas, namun masih dilapisi
oleh kelenjar minyak. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 60 persen.
IV
Permukaan ovarium terasa kasar dan padat, karena butiran-butiran telur yang semakin
membesar dan jelas,
jika di tekan kuat dan tidak akan hancur. Hampir semua telur
mempunyai ukuran yang relatif sama dan bentuknya bulat. Butir-butir telur semakin
membesar, hampir mengisi seluruh abdomen dan terlihat dengan jelas berwarna
merah tua dengan mudah dapat dipisahkan karena lapisan minyak yang menyelubungi
sudah berkurang. Pengisian ovarium didalam abdomen adalah 80 persen.
A
B
C
D
Gambar 15 Gambaran morfologis gonad ketam kelapa betina, TKG I (A), TKG II
(B), TKG III (C), dan TKG IV (D).
Tingkat kematangan gonad uji diukur perubahan morfologi dan histologi
ovariumnya (Gambar 15). Perubahan morfologi ovarium, baik dari segi ukuran
maupun warna, dipengaruhi oleh perkembangan sel telur terutama dalam
bertambahnya deposisi kuning telur di dalam sel telur. Bertambahnya jumlah
kuning telur menyebabkan perubahan warna ovarium dan membesarnya sel telur.
Dalam pewarnaan HE, hematoksilin akan mewarnai inti dan akan
menunjukkan warna biru, sedangkan eosin merupakan warna asam yang akan
mewarnai komponen basa dalam jaringan. Pada sediaan gonad ketam betina yang
diwarnai dengan HE (Hematoksilin Eosin), dapat terlihat strukutur dan komponen
jaringan gonad ketam. Di dalam komponen sel, basa terdapat di dalam protein
sitoplasma sehingga eosin akan mewarnai sitoplasma dan akan menunjukkan
warna merah.
Menurut Silversand et al. (1993) vitellogenesis adalah pembentukan
kuning telur ;vitellogenin disekresikan ke dalam darah dan di bawa ke sel telur
untuk dibentuk menjadi kuning telur. Kuning telur ini adalah sumber nutrisi pada
perkembangan embrio. Vitellogenin adalah bahan baku (prekursor) protein
kuning telur yang disintesa pada ovarium.
Hasil pengamatan warna ovarium selama penelitian di dapatkan adanya
variasi warna ovarium, yaitu berwarna keputihan pada ovarium yang belum
matang dan menjadi orange setelah ovarium matang (Gambar 16). Adanya
perubahan tersebut disebabkan oleh adanya akumulasi dari kuning telur dalam
bentuk lipoprotein dan pigmen, atau proses vitellogenesis.
N
N
S
S
A
B
N
N
S
C
S
D
Gambar 16 Struktur histologis ovarium ketam kelapa (B. latro ), memperlihatkan
TKG I (A), TKG II (B), TKG III (C) dan TKG IV (D). N =Nukleus,
dan
S = Sitoplasma.
Menurut Lee dan Walker (1995), akumulasi lipoprotein pada telur yang
telah matang diikuti oleh akumulasi butiran lemak. Pada krustasea akumulasi
butiran lemak ini akan terlihat pada saat vitellogenesis akhir. Adanya butiran
lemak dan lipovitelin merupakan komponen kecil pada ovarium dan telur yang
belum matang tetapi konsentrasinya meningkat menjadi komponen besar pada
ovarium dan sel telur matang.
Hepatopankreas adalah organ penyimpanan berisi lipid dan glikogen yang
banyak. Pillay dan Nair 1973 dalam Rafiani, 2005, mendeterminasikan unsur
pokok biokimia dari gonad dan hepatopankreas berhubungan terhadap siklus
reproduksi. Besarnya lemak berfluktuasi dalam hubungannya dengan siklus
reproduksi, dimana ovari yang matang berisi lemak yang banyak daripada yang
tidak matang atau ovari yang telah dikeluarkan. Sehingga diindikasikan lemak
dari hepatopankreas akan ditranslokasikan ke ovari. Perbedaan, perubahan unsur
utama biokimia pada testis adalah tidak nyata. Berdasarkan tahunan, ovari terlihat
kaya akan lipid dan testis kaya akan kandungan protein.
Ketam kelapa memiliki organ hepatopankreas di bagian abdomennya.
Sumber lemak yang berada di dalam hepatopankreas sangat penitng sebagai unsur
utama bagi ketam dan terjadi deposit lemak yang sangat besar selama
perkembangan ovari pada periode produksi telur. Menurut Herring (1973) dan
Clarke (1977) komposisi lipid pada ovari dan telur dekapoda terdiri atas 95%
lebih jumlah trigliserida dan phospolipid. Sterol bebas dan lemak lain hanya
terdapat dalam jumlah yang kecil, caratenoid ditemukan dalam jumlah kecil, hal
yang sama juga ditemukan pada dekapoda yang lain.
Rasio Kelamin
Dalam suatu populasi, apabila nisbah kelamin tidak seimbang maka
perkembangan populasinya terhambat. Kesetimbangan nisbah kelamin jantan dan
betina bisa mengakibatkan terganggunya ketam berkembang sampai pada fase
rekruitmen,
sehingga
dapat
terjadi
penurunan
populasi.
Penyebab
ketidakseimbangan ini diduga karena pengaruh tingkah laku, musim pemijahan,
ukuran pertama kali matang gonad dan pertumbuhan.
Rasio kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan
populasi spesies ketam. Dari 159 ekor ketam yang diamati, 75 ekor ketam jantan
dan 84 ekor ketam betina dengan rasio kelamin selama penelitian didapat 1 : 1
pada uji Chi-Square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa rasio kelamin
menunjukkan adanya keseimbangan. Ramli (1997) menemukan bahwa
penyebaran jumlah ketam kelapa jantan banyak daripada betina.
Di daerah
Tonggali Sulawesi Tenggara diperoleh rasio kelamin jantan betina adalah 1,4 :1,
di kaimbulawa dan liwutongkidi. Sedangkan Rafiani (2005) di pulau Pasoso
Sulawesi Tengah melaporkan bahwa rasio kelamin 1 : 1,052.
A
B
Gambar 17. Rasio ketam kelapa pada (A) Waktu dan (B) Lokasi
Rasio kelamin merupakan indikator populasi dalam suatu daerah yang
dapat memprediksikan kondisi populasi tersebut baik atau tidak. Populasi yang
baik didukung oleh hábitat yang ideal untuk kelangsungan hidup populasi. Pada
hábitat yang baik populasi biasanya seimbang. Pada penelitian di Pulau Yoi
didapatkan nilai rasio kelamin masih seimbang karena didukung oleh kondisi
hábitat yang ideal.
Kondisi hábitat yang ideal sangat baik untuk kelangsungan hidup ketam.
Penebangan hutan, penghunian, perubahan hutan alami menjadi lahan pertanian
serta eksploitasi sumberdaya secara berlebihan di pulau Yoi ini, akan
mengakibatkan hilangnya jenis ketam ini secara nyata. Hal ini akan
mengakibatkan berkurangnya wilayah untuk ekosistem alami sebagai hábitat
ketam kelapa ini. Selain faktor lingkungan yang mendukung mikrohabitat ketam
adalah manusia.
Pada umumnya suatu pulau besar atau induk, secara ekologis sebagai
pemasok spesies pada pulau-pulau kecil disekitarnya. Jumlah penambahan spesies
tergantung dari besar-kecilnya serta letak atau jarak pulau tersebut dari induknya.
Berkembangnya pembangunan akan mengancam punahnya ketam ini dari pulau
induk, selanjutnya menuju ke tingkat pulau kecil yaitu pulau Yoi di masa
mendatang. Untuk mengendalikan pulau Yoi sebagai kawasan perlindungan untuk
melindungi ketam kelapa ini dari kepunahan.
Hubungan Panjang (CP+r) dengan Berat Tubuh
Ketam kelapa yang diperoleh dari hasil penelitian untuk ketam kelapa
jantan adalah 75 ekor dan betina 84 ekor. Kisaran panjang ketam jantan 32 – 109
mm dan berat 30 – 990 gram sedangkan ketam betina 23 – 97 mm dan berat 60 –
660 gram.
Tabel 4. Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh Ketam kelapa (Birgus
latro)
Waktu
penagamatan
Ketam betina
Ketam jantan
n
W=a(CP+r)b
Januari
12
W=0,004(CP+r)
Maret
10
W=0,047(CP+r)
Mei
9
W=0,001(CP+r)
Juli
15
W=0,000(CP+r)
September
17
W=0,002(CP+r)
Desember
12
W=0,000(CP+r)
2
R
Pola
pertumbuhan
n
W=a(CP+r)b
2,626
0,768
Allometrik
16
W=0,377(CP+r)
2,086
0,961
Allometrik
7
W=0,123(CP+r)
2,922
0,685
Allometrik
8
W=0,004(CP+r)
2,912
0,778
Allometrik
15
W=0,015(CP+r)
2,733
0,932
Allometrik
19
W=0,174(CP+r)
3,240
0,699
Isometrik
19
W=0,062(CP+r)
2
R
Pola
pertumbuhan
1,614
0,347
Allometrik
1,836
0,937
Allometrik
2,593
0,630
Allometrik
2,231
0,449
Allometrik
1,733
0,712
Allometrik
1,958
0,911
Allometrik
Dari hasil hubungan panjang (CP+r) dan berat ketam diperoleh nilai b,
nilai b adalah indicator pertumbuhan yang menggambarkan kecenderungan
pertambahan panjang (CP+r) dengan berat ketam. Pada bulan Januari ketam
jantan memiliki nilai b = 2,626 dan betina b= 1,614, Bulan Maret ketam jantan
memiliki nilai b = 2,086 dan betina b= 1,836, bulan Mei ketam jantan memiliki
nilai b= 2,922 dan betina b= 2,593, bulan Juli ketam memiliki nilai b=2,912 dan
betina b= 2,231, bulan September ketam jantan memiliki nilai b=2,733 dan betina
b=1,733, sedangkan bulan Desamber ketam jantan memiliki nilai b=3,240 dan
betina b=1,958.
Hasil analisis statistik hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam
kelapa untuk masing-masing jenis kelamin dan waktu pengamatan diperoleh
persamaan hubungan panjang (CP+r) dan berat tubuh dengan R2 (koefisien
determinan) yang mendekati satu (Tabel 4). Besarnya nilai R2 yang diperoleh
tersebut menunjukkan bahwa antara panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam
kelapa mempunyai hubungan yang erat. Berdasarkan pengujian nilai b, pada bulan
Januari sampai Desember
ketam kelapa jantan dan betina mempunyai pola
pertumbuhan allometrik (t hitung > t tabel) (b≠3), berarti bahwa pertambahan
panjang (CP+r) lebih cepat dibandingkam pertambahan beratnya. Kecuali bulan
Desember ketam kelapa jantan
memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3),
berarti pertambahan panjang (CP+r) seimbang dengan pertambahan berat.
Sedangkan analisis hubungan panjang (CP+r) dengan berat ketam kelapa pada
Lokasi pengamatan ketam kelapa jantan diperoleh nilai b, b = 1,958 dan betina b=
1,467 pada stasiun Basecamp, stasiun Selatan ketam jantan memiliki nilai b=
3,012 dan betina b=2,140, stasiun Telaga ketam jantan memiliki nilai b = 2,231
dan betina b=1,794, stasiun Timur ketam jantan memiliki nilai b=2,954 dan betina
b=2,005, stasiun Utara ketam kelapa jantan memiliki nilai b=3,062 dan betina
b=2,103 dan stasiun Barat ketam jantan memiliki nilai b=3,426 dan betina
b=2,363 (Tabel 5).
Hasil uji t yang telah dilakukan pada ketam jantan dan betina pada lokasi
pengamatan menunjukkkan bahwa, nilai b pada ketam jantan dan betina secara
keseluruhan adalah t hitung > t tabel (b≠3). Secara umum, pola pertumbuhannya
allometrik yaitu pertambahan panjang (CP+r) lebih cepat daripada pertambahan
bertat tubuhnya, kecuali ketam jantan pada stasiun Selatan, Utara dan Barat
adalah t hitung < t tabel (b=3), pola pertumbuhannya isometrik yaitu pertambahan
panjang (CP+r) seimbang dengan berat tubuh.
Tabel 5. Hubungan panjang (CP+r) dengan berat tubuh ketam kelapa (Birgus
latro)
Lokasi
penagamatan
Ketam betina
Ketam jantan
n
W=a(CP+r)b
Basecamp
16
W=0,078(CP+r)
Selatan
14
W=0,000(CP+r)
Telaga
13
W=0,021(CP+r)
Timur
13
W=0,001(CP+r)
Utara
11
W=0,000(CP+r)
2
b
2
R
Pola
pertumbuhan
n
W=a(CP+r)
R
Pola
pertumbuhan
1,958
0,825
Allometrik
10
W=0,0,469(CP+r)
0,559
Allometrik
3,012
0,865
Isometrik
15
2,140
W=0,027(CP+r)
0,726
Allometrik
2,231
0,816
Allometrik
17
W=0,132(CP+r)
1,794
0,527
Allometrik
2,954
0,953
Allometrik
19
W=0,049(CP+r)
2,005
0,446
Allometrik
3,062
0,959
Isometrik
12
2,103
0,959
Allometrik
W=0,038(CP+r)
1,467
Barat
8
W=0,000(CP+r)
3,426
0,891
Isometrik
11
2363
W=0,011(CP+r)
0,687
Allometrik
Pada penelitian ini nilai b pada ketam kelapa jantan berkisar antara 2,086
– 3,240 dan betina 1,614 – 2,593 pada waktu pengamatan, sedangkan pada lokasi
pengamatan ketam kelapa jantan berkisar antara 1,958 – 3,426 dan betina 1,467 –
2,363. Sedangakan pada penelitian Rafiani (2005), di pulau Pasoso, hubungan
panjang (CP+r) dengan berat tubuh pada ketam jantan nilai b=2,5562 dan betina
b =2,5536. Sehingga berdasarkan pernyataan Effendi (1979), nilai b=<3, maka
pertumbuhan bersifat allometrik yaitu pertambahan panjang (CP+r) lebih cepat
dibandingkan beratnya atau pertambahan berat lebih dominan dibandingkan
pertambahan panjang (CP+r)nya. Hal ini disebabkan ketam kelapa, seperti
kelompok krustase lain, untuk tumbuh ketam kelapa harus melakukan gantu kulit
atau moulting.
Menurut Fletcher et al., 1991), berkaitan dengan aktifitas moulting, ketam
kelapa biasanya membuat sebuah lubang perlindungan dengan cara menggali
lubang dan membuat lorong bawah tanah di daerah berpasir pada jarak tertentu
dari daerah normalnya yaitu hábitat berbatu. Ketika mulai menggali, ketam kelapa
menggunakan chelaenya yang besar untuk mengeluarkan tanah dan meninggalkan
gundukan tanah pada pintu masuknya.
Lubang-lubang ini terkadang rumit,
menyulitkan bagi ketam kelapa itu sendiri dan berada dibawah bebatuan dan
pohon-pohon, membuat sulit untuk mengetahui keberadaan ketam ini jika diamati
melalui permukaan. Jarak rata-rata antara pintu masuk dengan runag moulting
berkisar 1 meter dan tidak terdapat hubungan antara ukuran ketam kelapa dengan
panjang dari lubang tersebut. Ruang akhirnya berada 50 cm dari permukaan
tanah, meskipun ketam kelapa lebih kecil sanggup menggali lebih dalam daripada
ketam kelapa berukuran besar. Yang menarik dari ruang moulting ketam adalah
ruangan ini digali di tanah pasir yang kering dan tidak terdapat air yang
terkandung didalamnya (Rafiani, 2005).
Aktivitas moulting ketam kelapa biasanya membuat sebuah lubang
persembunyiaan dengan cara menggali lubang dan membuat lorong dibawah
tanah didaerah berpasir pada jarak tertentu dari daerah normalnya yaitu hábitat
berbatu. Ketika mulai menggali, ketam kelapa menggunakan chelaenya yang
besar untuk mengeluarkan tanah dan meninggalkan gundukan tanah pada pintu
masuknya. Lorong-lorong tersebut terkadang rumit dan menyulitkan bagi ketam
kelapa sendiri dan berada dibawah batuan dan pohon-pohon, sehingga sulit untuk
mengetahui keberadaan ketam kelapa, jika diamati dari permukaan. Jarak rata-rata
antara pintu masuk dengan daerah moulting berkisar 1 meter. (Fletcher et al.,
1991). Di alam aslinya, ketam kenari senang menggali lubang. Caranya membuat
lubang, kaki jalan pertama (bercapit) sebelah kanan digunakan sebagai penggali,
sedang kaki jalan pertama sebelah kiri dipakai untuk mendorong hasil galian dan
menumpukkannya pada sisi kirinya.
Setelah moulting ketam kelapa akan memakan exuvium dari cangkangnya.
Jika ketam kelapa tidak makan exuvium dari cangkangnya, makacangkang yang
baru tidak mencapai derajat kekerasan seperti cangkang sebelumnya. Umumnya
yang dimakan dahulu adalah bagian dada yang tipis, bagian capit merupakan
bagian terakhir yang dimakan. Hanya beberapa bagian kecil dari cangkang yang
masih tersisa ketika ketam keluar dari lubang persembunyiannya. Ketam kelapa
besar membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat minggu untuk mengeraskan
cephalothoraksnya.
Faktor Kondisi
Faktor kondisi adalah derivat penting dari pertumbuhan. Faktor kondisi
disebut faktor K. faktor kondisi ini menunujukkan keadaan baik dari ketam dilihat
dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi (Effendie, 2002). Didalam
penggunaan secara komersil, kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas
daging yang tersedia, sehingga kondisi ini dapat memberikan keterangan baik
secara biologis maupun komersil. Untuk melihat adanya pengaruh lingkungan
terhadap kondisi fisik organisme yang dirumuskan dalam fungsi bobot tubuh
berbanding panjang tubuh ketam kelapa. Secara teoritis nilai faktor kondisi
berbanding lurus dengan berat tubuh. Apabila terjadi penurunan mutu lingkungan,
maka bobot tubuh akan menurun juga. Variasi nilai faktor kondisi bergantung
kepada ketersediaan makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad.
Faktor kondisi pada ketam kelapa jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 18
dan 19.
Jantan
Betina
Gambar 18 Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan waktu
pengambilan contoh.
Jantan
Betina
Gambar 19 Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan lokasi
pengambilan contoh
Nilai faktor kondisi ketam kelapa (Birgus latro) berfluktuasi dimasingmasing bulan dan stasiun, baik ketam jantan maupun betina. Selama penelitian
diperoleh kisaran nilai rata-rata ketam jantan 1,00-1,05 dan faktor kondisi ketam
betina berkisar antara 1,01-1,16. Sedangkan faktor kondisi ketam jantan pada
stasiun dengan nilai rata-rata 1,00-1,03 dan faktor kondisi ketam betina 1,001,012. Sedangkan berdasarkan pernyataaan (Rafiani, 2005) , pulau pasoso
terdapat faktor kondisi pada ketam jantan mempunyai nilai terbesar 1,15 dan
betina mencapai nilai tertinggi 1,134. Puncak kurva dapat diartikan sebagai
kesiapan ketam kelapa dalam bereproduksi karena peningkatan faktor kondisi.
Peningkatan faktor kondisi merupakan indikasi adanya peningkatan aktifitas
reproduksi, sehingga diperkirakan puncak faktor kondisi merupakan puncak
aktifitas pemijahan atau musim pemijahan.
Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah dapat dipergunakan sebagai
penduga status reproduksi ketam kelapa, umur dan pertama kali matang gonad,
proporsi jumlah stok yang secara produktif matang dengan pemahaman tentang
siklus reproduksi bagi satu populasi atau spesies.
Di dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar
hasil metabolisme tubuh ditujukan untuk perkembangan gonad. Tingkat
kematangan gonad adalah tingkatan atau tahapan dari perkembangan gonad
sebelum telur tersebut dikeluarkan atau dipijahkan. Gonad semakin berat diikuti
oleh meningkatnya ukuran, termasuk ukuran diameter telur di dalam ovari. Berat
ovari akan mencapai maksimum sesaat ketam kelapa akan memijah yang
kemudian akan menurun secara cepat selama berlangsungnya pemijahan sampai
selesainya pemijahan. ketam kelapa akan mencapai matang gonad ketika
mencapai umur 3,5 dan 5 tahun. Pada umur tersebut ketam kelapa akan kembali
melakukan aktifitas perkawinan dan memulai kembali siklus hidupnya dengan
melepaskan telurnya ke laut (Obet et al.,1992).
Gambar 20 Tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan berdasarkan waktu
pengambilan contoh
Gambar 21 Tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina berdasarkan waktu
pengambilan contoh
Dari hasil penelitian gonad ketam kelapa jantan memiliki semua tahapan
tingkatan kematangan gonad, baik tingkat kematangan I, II, III, dan IV. Menurut
Sastry (1983), puncak kegiatan gonad pada ketam jantan dan betina tidak
seimbang, jantan biasanya matang lebih awal dibandingkan dengan betina.
Berdasarkan (Gambar 27 dan 28), komposisi ketam kelapa jantan pada
TKG I yang tertinggi terdapat pada bulan Juli adalah 50%, diikuti dengan bulan
Maret 40%, bulan Mei 30%, September dan Desember adalah 20% dan Januari
10%. TKG II tertinggi pada bulan Januari adalah 70%, bulan Mei, Juli dan
Sepember adalah 50%, bulan Desember adalah 40% dan terendah bulan Maret
adalah 20%. TKG III pada bulan Maret dan September adalah 60%, bulan
September 40%, bulan Juli 30%, dan Januari 20% .TKG IV pada bulan
September adalah 60% dan bulan Juli adalah 20%. Sedangkan pada ketam betina
TKG I yang tertinggi pada bulan Juli, September dan Desember adalah 50%,
bulan Maret 30%, bulan Januari dan Mei 10%, TKG II pada bulan Juli dan
Desember adalah 60% dan bulan Maret, Mei dan September masing-masing
adalah 40%, TKG III pada bulan September adalah 60%, bulan Maret 50% dan
bulan Mei, Juli dan September adalah 30%. Pada TKG IV pada bulan Desember
50%, Maret dan September adalah 40%, bulan Januari adalah 20%, sedangkan
bulan Juli 10%. Sedangkan menurut (Rafiani, 2005), tingkat kematangan gonad
ketam kelapa di pulau pasoso, TKG I yang tertinggi terdapat pada bulan oktober
yaitu 66,67%, TKG II bulan Agustus 50%, TKG III BULAN Februari adalah
100% dan TKG IV pada bulan Januari 100%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kematangan tidak secara berurutan dan serentak dari fase belum matang gonad ke
fase matang gonad. Adanya ketidakseragaman atau variasi TKG memperlihatkan
bahwa proses pemijahan ketam kelapa betina berlangsung secara terus-menerus.
Tipe pemijahan ketam di daerah tropis berkelanjutan selama hampir satu tahun.
Pemijahan dapat terjadi beberapa kali selama musim pemijahan yang panjang.
Ketam kelapa yang tertangkap terbagi dalam sembilan ukuran panjang
(CP+r). Ketam jantan TKG III ditemukan pada ukuran 30-109 mm . Sedangkan
pada TKG IV ditemukan pada ukuran 60-109 (Gambar 29 dan 30). Ukuran
pertama kali matang gonad ketam kelapa jantan pada selang ukuran 60-69 mm,
sedangakan pada betina 50-59mm.
Gambar 22 Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa jantan berdasarkan
selang ukuran panjang CP+r (mm)
Persentase ketam kelapa betina pada berbagai tingkat kematangan gonad
(TKG) yang dicapai selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 30 . Terlihat bahwa
ukuran pertama kali matang gonad TKG III ditemukan pada selang kelas 50-59 mm.
Sedangkan pada TKG IV ditemukan dengan ukuran 60-69 mm. Ukuran ketam kelapa
pada saat pertama matang gonad merupakan informasi yang sangat penting karena
merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi ketam kelapa.
Pertama
kali ketam kelapa matang gonad sebagai indikator ketersediaan stok
reproduksi dan juga merupakan informasi penting dalam penerapan perikanan.
Ketam kelapa merupakan hewan yang dilindungi, maka ukuran pertama kali matang
gonad sangat diperlu diketahui untuk ukuran ketam bereproduksi.
Gambar 23 Persentase tingkat kematangan gonad ketam kelapa betina berdasarkan
selang ukuran panjang CP+r (mm)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ketam kelapa jantan matang gonad
pada panjang (CP+r) adalah 60-99 mm dan ketam betina dengan panjang (CP+r)
adalah 50-99 mm pada TKG III dan IV (Gambar 29 dan 30). Dilihat dari persentase
tingkat kematangan gonad, diketahui bahwa bulan September
dan Desember
memiliki nilai yang cukup tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada kedua
bulan tersebut diduga terdapat musim pemijahan bagi ketam kelapa di Pulau Yoi.
Namun demikian keadaan ini perlu dilihat lagi nilai indeks kematangan gonadnya
sebagai pembanding yang memperkuat pernyataan tersebut.
Indeks Kematangan Gonad
Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil
metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Pada masa tersebut gonad
semakin berkembang seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan
gonadnya. Gonad ketam akan berkembang mencapai maksimum sesaat ketam
akan memijah, kemudian gonad ketam turun secara cepat selama pemijahan
berlangsung sampai selesai.
Indek kematangan gonad merupakan persentase dari berat gonad terhadap
berat tubuh ketam kelapa. Nilai IKG yang didapatkan adalah sejalan dengan
perkembangan gonad. Nilai IKG akan mencapai nilai tertinggi pada saat akan
terjadi pemijahan. Ukuran gonad bertambah sejalan dengan meningkatnya tingkat
kematangan gonad. Berbeda dengan TKG dimana ukuran kematangan gonad
dinyatakan secara kualitatif, IKG merupakan ukuran perkembangan gonad secara
kuantitatif. Nilai IKG bergantung dari ukuran ketam dan tingkat perkembangan
gonad. Secara umum nilai IKG meningkat sejalan perkembangan gonad ketam,
nilai tertinggi dicapai pada saat mencapai TKG IV, kemudian menurun setelah
ketam melakukan pemijahan (TKG V). bobot gonad dan IKG ketam mencapai
maksimal pada TKG IV.
Jantan
Betina
Gambar 29 Indeks kematangan gonad ketam kelapa jantan dan betina
berdasarkan waktu pengambilan contoh
Jantan
Betina
Gambar 25 Indeks kematangan gonad ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan
lokasi pengambilan contoh
Indeks kematangan gonad merupakan persentasi dari berat gonad terhadap
berat tubuh ketam kelapa. Nilai indeks kematangan gonad yang didapatkan adalah
sejalan dengan perkembangan gonad. Akan semakin besar nilai indeks
kematangan gonad akan mencapai nilai tertinggi pada saat akan terjadi pemijahan.
Indeks kematangan gonad pada ketam kelapa bulan Januari sampai
Februari, naik pada bulan Maret dan turun pada bulan Mei, kemudian naik pada
bulan Juli dan mencapai tertinggi pada bulan September dengan nilai rata-rata
adalah 1,51 kemudian turun lagi pada bulan Desember. Sedangkan pada ketam
betina mencapai puncak tertinggi pada bulan Desember adalah 2,94 dan IKG
terendah pada bulan Mei adalah 0,61.
Dari hasil penelitian diperoleh kisaran nilai rata-rata IKG ketam kelapa
jantan adalah 0,560-1,516. Sedangkan ketam kelapa betina adalah 0,375-2,949,
sehingga nilai IKG ketam kelapa jantan umumnya memiliki nilai lebih kecil
dibandingkan dengan IKG betina (Gambar 31 dan 32). Rafiani, 2005, menyatakan
bahwa di pulau pasoso, IKG jantan tertinggi pada bulan November dengan nilai
1,108 dan terendah bulan Februari dengan nilainya adalah 0,87 dan betina
mencapai nilai tertinggi pada bulan Desember dengan nilai 6,45 dan terendah
pada bulan bulan Agustus yaitu 0,7. Pillay dan Nair (1973) melaporkan bahwa
IKG ketam kelapa betina lebih tinggi dibandingkan jantan yang hanya
memproduksi sperma. Adanya variasi ukuran dari kematangan gonad antara
populasi diperkirakan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain lingkungan,
genetik, kepadatan, seleksi tekanan dari penangkapan atau tekanan dari predator.
Pada lokasi penelitian dipengaruhi oleh dua perubahan musim yaitu
musim barat sepanjang bulan Juli, Agustus dan musim selatan pada bulan
Desember, Maret, sedangkan musim pancaroba pada bulan Januari dan Mei.
Curah hujan setiap tahun sangat bervariasi. Kematangan gonad dipengaruhi oleh
pola curah hujan, semakin tinggi curah hujan semakin cepat matang gonad.
Fekunditas
Fekunditas yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 17.698 –
143.210 butir telur dengan rataan sebesar 128776,9 butir (Gambar 30 dan 31).
Menurut Helfman (1973) ketam kelapa di Vanuatu mengeluarkan sekitar 51000
sampai 138000 butir telur (dengan rata-rata sekitar 100000 butir). Rafiani (2005)
menyampaikan bahwa fekunditas ketam kelapa di pulau Pasoso (Sulawesi
Tengah) bervariasi dari 58717 sampai 197400 butir telur.
Gambar 26 Hubungan panjang CP+r dan berat tubuh dengan fekunditas pada
TKG III
Gambar 27 Hubungan panjang CP+r dan berat tubuh dengan fekunditas pada
TKG IV
Berdasarkan Gambar. 26 hubungan panjang (Cp+r) dan berat tubuh
dengan fekunditas pada TKG III menghasilkan persamaan F = 84.00(CP+r)1.211
dengan R2 sebesar 0.336 dan F = 233.1Bt 0.643 dengan R2 sebesar 0.694. sedangkan
Gambar 27. Menjelaskan hubungan Panjang CP+r dan berat tubuh dengan
fekunditas pada TKG IV, diperoleh persamaan F = 1.019CP+r-2.577 dengan R2
sebesar 0.784 dan F= 161.1Bt-1.055 dengan R2 sebesar 0.802. Hal ini menunjukkan
fekunditas dengan panjang (CP+r) serta fekunditas dengan berat tubuh, tidak
mampu menggambarkan kondisi ketam pada saat ketam tersebut akan memijah.
Diameter Telur dan Pola Pemijahan
Dari hasil penelitian diperoleh diameter telur ketam kelapa yang berTKG
III adalah 0,010 sampai 0,085 mm, sedangkan diameter telur pada TKG IV adalah
0,010 sampai 0,095 mm. Diameter telur pada TKG III kisaran terbesar 0,052 –
0,054 dan TKG IV kisaran terbesar 0,052 – 0,054 dan 0,058 – 0,060 ( Gambar 28
dan 29). Rafiani (2005), diameter telur yang diperoleh pada penelitiannya untuk
TKG III berkisar antara 0,011 -0,032 mm kisaran terbesar pada 0,0152 – 0,0172
mm. sedangkan pada TKG IV berkisar antara 0,015-0,035mm dengan kisaran
terbesar berada pada 0,0188 – 0,0206 dan 0,0207- 0,0225.
Gambar 28 Sebaran diameter telur ketam kelapa pada tingkat kematangan gonad
(TKG III)
Gambar 29 Sebaran diameter telur ketam kelapa pada tingkat kematangan gonad
(TKG IV)
Sebaran diameter telur dari tingkat kematangan gonad tersebut terlihat
adanya satu puncak, sehingga bisa dinyatakan ketam ini memiliki tipe pemijahan
total spawner yaitu telur dikeluarkan secara total dari tubuhnya. Tingkat
kegagalan reproduksi pada ketam total “spawner” lebih tinggi karena waktu
pemijahan yang hanya sekali.
Keadaan ini dapat berbahaya jika faktor
lingkungan dimana biota tersebut ditemukan kurang mendukung baik fisik, kimia,
maupun biologi, serta adanya hewan kompetitor ataupun pemangsa.
Ukuran dari telur yang diproduksi oleh suatu spesies adalah di bawah
kendali genetik (Raven, 1961). Ukuran telur mempunyai konsekwensi penting
kepada tingkat pengembangan dan kepada ukuran larva atau juvenil. Telur lebih
besar menghasilkan keturunan lebih besar, mereka mengadaptasikan lebih baik
untuk memberi makan dan menyediakan kemampuan kompetitif lebih besar di
lingkungan agar tetap hidup.
Karakteristik Fisika Kimia Habitat
Habitat ketam kelapa di Pulau Yoi diwakili oleh hasil pengamatan pada 6
stasiun pengambilan contoh yang meliputi hasil pengukuran pada lokasi daratan
di mana hewan tersebut tetangkap. Hasil tersebut ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 6. Hasil pengukuran fisika kimia habitat ketam kelapa di Pulau Yoi
Stasiun
pengamatan
Basecamp
Selatan
Telaga
Timur
Utara
Barat
Kelembaban
Udara
83
88
87
88
81
81
Stasiun
Suhu
Udara
26,5
26,7
26,2
26,9
26,1
26,6
Suhu
Tanah
26
26
26
26
26
26
Ph
Tanah
6,4
5,5
6,4
5,3
7
6,9
Fraksi
Pasir
35,93
55,57
86,58
30,94
91,83
47,99
Fraksi
Debu
12,85
4,20
8,20
26,08
1,74
17,78
Fraksi
Liat
51,23
40,23
5,22
42,98
6,43
34,23
COrganik
2,15
1,65
0,41
3,12
2,64
0,79
basecamp adalah stasiun yang terletak dekat pemukiman
penduduk yang jaraknya hanya 400 – 500 m ke lokasi penangkapan ketam kelapa
. Kondisi pantai di lokasi ini dicirikan oleh pantai yang curam. Selain itu, substrat
pantai yang didominasi oleh substrat pasir. Hasil analisis terhadap fraksi tanah,
memperlihatkan bahwa liat lebih dominan dibandingkan pasir dan debu, dengan
kandungan bahan organiknya 2,15%.
Lokasi penangkapan ketam
kelapa di stasiun basecamp secara visual
masih dalam kondisi alamiah, yakni secara fisik keadaan lubang-lubang pada
batu-batu karang yang terjal. Selain itu, pada stasiun ini ditemukan rawa-rawa
yang diduga airnya mengalir pada atau sekitar lubang-lubang tempat Ketam
Penutupan
lahan
75
70
95
90
80
78
kelapa ditemukan. Keberadaan aliran air seperti ini sangat diperlukan bagi hewan
ini untuk melembabkan insangnya. Sebagai konsekuensi dari kedekatan lokasi
dengan tempat tinggal penduduk, lokasi ini sudah sejak lama menjadi tempat
kegiatan penangkapan utama ketam sehingga populasinya diduga cepat menurun.
Hal ini diperkuat oleh keterangan penduduk setempat dan juga hasil tangkapan
saat penelitian yakni ketam kelapa sedikit dan ukurannya relatif kecil.
Stasiun selanjutnya adalah stasiun Selatan yang terletak antara basecamp
dengan stasiun Telaga. Pada lokasi ini dicirikan oleh kemiringan pantai yang
curam dan bahkan pada beberapa lokasi ada tebing dengan ketinggian sekitar 1 m.
Jarak lokasi ditemukan lubang-lubang ketam dari perairan sekitar 100-200 meter.
Berdekatan dengan lokasi ini terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi oleh pohon
bakau dari jenis Avicennia sp.
Jarak yang dekat dari pemukiman yakni sekitar 1,5 km serta akses yang
mudah menjadikan tekanan penangkapan ketam oleh penduduk lokal di lokasi ini
cukup tinggi. Sudah diduga akibatnya adalah penurunan populasi yang dicirikan
semakin sedikit jumlah tangkapan dan semakin mengecilnya ukuran.
Stasiun penelitian berikutnya adalah stasiun Telaga. Ciri yang menonjol
pada stasiun ini dibandingkan dengan stasiun lainnya adalah kemiringan pantai
yang tergolong landai dengan kemiringan rata-rata <5o. Lokasi perairan relatif
terlindung dari energi gelombang karena morfologi pantai menjorok ke daratan
serta di muka teluk ada pulau-pulau kecil yang berfungsi mereduksi energi massa
air yang masuk ke dalam teluk. Sebagian kondisi di stasiun Telaga (lampiran 2).
Ciri khas lainnya dari stasiun ini adalah substrat yang 100 % berpasir. Hal ini
terbukti dari tingginya fraksi pasir (>85%) dibandingkan fraksi tanah lainnya.
Kondisi fisik stasiun Telaga diduga merupakan tempat yang sangat cocok untuk
kehidupan ketam kelapa. Pantai yang landai dan perairan yang tenang sangat
mendukung siklus hidup dari hewan ini terutama saat terjadi transisi sebagai
hewan planktonik di air dan untuk pertamakalinya merambah habitat daratan yang
berjarak sekitar 100-250 meter dari pantai. Perairan yang tenang dan adanya
komunitas lamun yang didominasi oleh spesies Enhalus acoroides diduga tiak
hanya menyediakan habitat yang baik bagi stadia planktonik Ketam kelapa,
namun juga menyediakan makanan yang diperlukan oleh larva hewan ini.
Bergerak ke arah daratan pada stasiun ini, kondisi lubang-lubang batu
mirip dengan stasiun-stasiun lainnya.
Namun pada stasiun ini tempat
penangkapan ketam kelapa berdekatan dengan daerah berawa-rawa sehingga
menciptakan kondisi lembab yang sangat cocok bagi kehidupan ketam kelapa
(lampiran 2). Dapat disimpulkan secara fisik-kimia, baik habitat daratan pada
stasiun ini sangat mendukung bagi kehidupan ketam. Vegetasi daratan banyak
didominasi oleh pohon pinus, semak dan mengkudu serta sebagian kecil pohon
keras yang secara keseluruhan kondisinya masih relatif alamiah kecuali pada
lokasi yang sudah dibuka untuk kebun masyarakat.
Data hasil tangkapan menunjukkan bahwa stasiun ini memiliki jumlah
tertinggi selain stasiun Timur, sehingga terdapat korelasi positif antara kecocokan
habitat . Akan tetapi, tekanan penangkapan yang tinggi telah mengakibatkan
meskipun jumlah masih cukup baik tetapi ukuran hewan yang besar di atas 1,5 kg
sudah sangat jarang didapat.
Untuk mencapai stasiun Timur dilakukan dengan transportasi air yang
memutari pulau ini dari basecamp atau dari stasiun Barat dengan jalan kaki atau
dengan perahu. Seperti halnya stasiun Utara, stasiun Timur dicirikan oleh pantai
yang curam dan memiliki energi gelombang yang tinggi.
Substrat pantai
didominasi oleh pasir kemudian batu. Fraksi tanah antara liat, debu dan pasir
tidak berbeda jauh. Dibandingkan dengan stasiun lainnya, seperti terlihat pada
Tabel 4, persentase C-organik pada stasiun ini paling tinggi. Kegiatan manusia
yang ada dan berpotensi mengganggu kualitas air pada lokasi ini terbilang minim
atau tidak ada. Seperti terlihat pada lampiran 2, kondisi vegetasi dekat pantai
didominasi oleh semak, kelapa, katyu, kayu besi dan pandan laut . Apabila masuk
ke dalam vegetasi alamiah seperti pohon Kai Yoi dapat ditemukan. Kondisi
stasiun Timur.
Stasiun berikutnya yang juga memiliki kekuatan oseanografis tinggi
adalah stasiun Utara yang terletak di bagian utara dan berhadapan dengan Pulau
Uta. Secara umum stasiun ini memiliki pantai berbatu dengan kondisi daratan
merupakan campuran antara hutan alamiah dengan perkebunan kelapa milik
penduduk. Pantai tergolong curam dan sangat berbahaya bagi perahu kecil untuk
mendarat terutama pada saat musim selatan yang terjadi pada bulan September
hingga November.
Substrat pantai pada lokasi penelitian didominasi oleh batu dan pasir
meskipun tidak jauh dari lokasi tersebut pasir lebih mendominasi.
Vegetasi
alamiah yang ada di sini hampir sama dengan stasiun lainnya yaitu perdu, semak
dan pohon keras. Data lengkap mengenai jenis-jenis vegetasi disajikan pada tabel
5. Berdasarkan hasil analisis faksi tanah, stasiun utara didominasi oleh pasir yakni
di atas 90 %, sisanya berupa liat dan debu. Adapun kualitas air di stasiun Utara
umumnya masih sangat baik dan berada pada kondisi alamiahnya. Jarak perairan
pantai ke lokasi penangkapan Ketam relatif dekat sekitar 250 m. Namun untuk
sampai ke lokasi ini harus melewati hutan dari ujung teluk atau memutar ke arah
timur pulau, namun seperti dikatakan tadi kurang aman untuk pelayaran dengan
menggunakan perahu “bodi” atau perahu kayu kecil yang dimiliki nelayan
setempat.
Posisi stasiun Utara yang
jauh dari pemukiman penduduk serta
lingkungannya yang kurang nyaman karena banyaknya nyamuk dan agas,
menyebabkan tingkat penangkapan di daerah ini diduga lebih sedikit
dibandingkan dengan stasiun telaga dan basecamp.
Ukuran ketam yang
tertangkap di sini ada yang mencapai ukuran cukup besar meskipun jumlahnya
tidak sebanyak yang diperoleh di Telaga. Bahkan ditemukan betina yang bertelur.
Seperti halnya di stasiun Utara, tekanan penangkapan pada lokasi ini
relatif
kurang karena faktor jarak dan keberadaan nyamuk dan agas yang
membuat kegiatan penangkapan ketam kurang nyaman. Salah satu bukti bahwa
tekanan tangkapan kurang adalah meskipun jumlah ketam tidak sebanyak di
Telaga, tetapi di sini ukuran yang agak besar masih sering ditemukan. Selama
sampling ke Pulau Yoi, ukuran ketam kelapa terbesar ditemukan di pulau ini
yaitu sekitar 1,8 kg. Selain itu, pada lokasi ini ditemukan juga ketam kelapa yang
bertelur. Secara umum kondisi habitat perairan di stasiun Timur ini secara fisik
kurang mendukung proses rekrutmen dari perairan, akan tetapi karena tekanan
penangkapan yang kurang intensif sehingga masih ditemukan ketam dalam
jumlah dan ukuran yang cukup memadai.
Berlawanan dengan stasiun telaga yang kondisi oseanografisnya paling
tenang, stasiun barat dicirikan oleh gelombang yang kuat dan pantai yang curam.
Selain itu, pada stasiun barat terdapat tebing terjal setinggi 1-3 m.
Kondisi
perairan dilihat dari kualitas air masih sangat baik dan mendukung kehidupan
organisme akuatik. Tidak banyak kegiatan manusia di lokasi ini selain
perkebunan bahkan sebagian lagi merupakan hutan yang masih alami yang
ditumbuhi vegetasi alamiah Pulau Yoi.
Pada ekosistem daratan yang terdiri dari hamparan batu karang dan lapisan
tanah yang tipis sehingga kandungan bahan organiknya relatif kecil (<1 %), fraksi
pasir dan fraksi liat tidak berbeda jauh yakni 34 % berbanding 47 %, sementara
fraksi debu sekitar 17 %. Hal ini menggambarkan kesuburan tanah di lokasi ini
dan juga secara umum Pulau Yoi relatif rendah dan hanya cocok ditanami pohon
kelapa.
Perubahan yang mendadak dari lingkungan pantai yang berenergi tinggi
ke ekosistem darat yang dibatasi tebing yan terjal menyebabkan secara fisik
habitat ketam kelapa
paling sulit untuk dicapai oleh manusia; Penangkapan
ketam tetap ada tetapi relatif lebih jarang. Hal ini selain hambatan fisik, jumlah
ketamnya dan diduga paling sedikit.
Tidak seperti di stasiun telaga, habitat
perairan di sini diduga kurang menunjang proses rekrutmen dari hewan
planktonik menjadi hewan daratan dikarenakan hambatan fisik yang terlalu besar
baik yang berasal dari kekuatan energi gelombang, ketiadaan habitat untuk larva
berlindung dan mencari makan, serta hambatan migrasi ke arah darat yang
terhalang tebing.
Pada gilirannya, kombinasi dari faktor-faktor tersebut
berpengaruh terhadap populasi ketam dewasa.
Vegetasi Daratan
Vegetasi yang tumbuh di atas pulau Yoi adalah pohon kelapa, perdu,
semak dan rerumputan yang mampu beradaptasi dengan kondisi tanah yang
memiliki hara yang rendah (Tabel 4. fraksi C-Organik). Berbagai jenis vegetasi
yang ada yang ada merupakan spesies lokal yang umum ditemukan di Kepulauan
Halmahera dan sekitarnya. Menurut nama lokal setempat dinamakan mengkudu,
dankehnyala, dankehrud, midmid, kayu besi, lago, badenga puti, sengen man, kai
yoi, ceu, kabu, bis, bibau, selegig, kebu, galipiopo, iawan dan katanewu. Daun
dari jenis-jenis tersebut di atas ditampilkan pada . Selain itu ada beberapa jenis
tanaman perdu termasuk pandan dan semak termasuk di dalamnya berbagai jenis
rumput-rumputan dan tanaman merambat. Selain yang alami, vegetasi introduksi
yang umum terdapat di pulau umumnya pohon kelapa.
Tabel 7. Keadaan umum setiap stasiun pengamatan
Stasiun
penagamatan
Vegetasi
PT
Tipologi pantai
Basecamap
Mengkudu, kelapa, semak,
kayu hitam. Penutupan lahan
75%
400-500
Pasir berbatu dan curam
Selatan
Pohon kelapa, ketapang,
pohon beringin, pandan laut,
mengkudu , kayu besi.
Penutupan lahan 70%
100-200
Pasir berbatu dan curam
Telaga
Pandan laut, pohon kelapa,
ketapang, pohon beringin,
semak, mengkudu
100-250
Berpasir dan landai
Timur
Kelapa, pandan laut, kayu
hitam, kayu besi, pohon
beringin, mengkudu.
Penutupan lahan 80%.
Penutupan lahan 95%
100-200
Pasir berbatu dan landai
Utara
Kebun kelapa, pohon
beringin, ketapang,
mengkudu, kayu besi, kayu
hitam, semak, pandan laut.
Penutupan lahan 80%
100-250
Batu berpasir dan curam
Barat
Pohon kelapa, kayu hitam,
pohon beringin, pandan laut.
Penutupan lahan 78%
100-300
Pasir berbatu dan curam
Keterangan : PT = Jarak dari pantai
Kerapatan vegetasi yang dihitung hanya berdasarkan tegakan pohon pada
setiap stasiun. Kerapatan tertinggi di temukan di stasiun selatan, barat, timur dan
utara yakni antara 5 – 8 pohon/m2, sementara untuk lokasi telaga dan basecamp
antara 3 – 5 pohon/m2. Selain pohon terdapat juga tegakan dan anakan namun
tidak dilakukan pencacahan.
Perbedaan kerapatan tersebut umumnya adalah
karena kondisi alamiah dan tidak ada gangguan berupa penebangan oleh manusia.
Stasiun Barat, terpelihara dengan baik. Selain pengaruh kesuburan, kelimpahan
juga dipengaruhi oleh ukuran pulau, yang mana jumlah jenis dan kerapatan pada
pulau lebih kecil umumnya lebih rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa makanan utama ketam kelapa adalah
kelapa (>90 % dari isi perutnya). Meskipun merupakan introduksi, keberadaan
vegetasi kelapa ini sangat penting bagi kelangsungan hidup ketam kelapa. Belum
ada penelitian tentang peranan vegetasi (alamiah) lainnya bagi kehadiran hewan
ini.
Namun diduga vegetasi tersebut dapat berperan dalam memberikan
lindungan/shelter baik secara langsung terhadap lubang-lubang batu karang yang
ada maupun lindungan cahaya karena hewan ini bersifat nokturnal. Komunikasi
pribadi dengan nelayan (2008) bahwa di pulau yang tidak memiliki habitat batu
karang, ketam kelapa membuat lubang di balik akar-akar kayu. Fungsi lainnya
dari keberadaan vegetasi ini adalah membantu meningkatkan kelembaban daerah
sekitarnya karena mengurangi penguapan.
Sebagai bagian dari upaya
perlindungan habitat, maka tidak upaya untuk mempertahankan keberadaan
vegetasi ini sangat penting.
Keterkaitan antara kondisi habitat dengan jumlah ketam kelapa
Keterkaitan
populasi ketam kelapa selama penelitian dengan kondisi
habitat, baik habitat darat, kondisi vegetasi dan tekstur tanah. Terlihat bahwa
basecamp jumlah penangkapan paling rendah, demikian halnya barat. Adapun
Timur dan Telaga yang memiliki jumlah populasi ketam terbanyak dicirikan oleh
pantai yang paling landai, kekuatan osanografi yang minimal dan substrat pasir
(lampiran 2). Seperti dijelaskan diatas bahwa stasiun Telaga diduga merupakan
stasiun yang paling optimal memberikan peluang kehidupan bagi hewan ini, baik
pada saat stadia planktonik di perairan maupun saat menjadi hewan darat.
Di lokasi penelitian di pulau Yoi ditemukan ketam kelapa, Birgus latro
adalah wilayah pesisir yang masih ditumbuhi vegetasi primer. Kondisi hutan
pesisir yang masih utuh dapat menyediakan sumber makanan secara langsung
bagi organisme. Kondisi pepohonan yang yang masih lebat atau rimbun
menciptakan kondisi kelembaban yang relatif tinggi.
Menurut Fletcher et al.,(1991) dan Holthuis 1963 dalam Pratiwi 1989)
menyatakan bahwa Birgus latro merupakan hewan yang paling menyukai buahbuahan. Jenis buah-buahan yang disukai antara lain kelapa (Cocos nucifera),
kenari (Canarium commune), pepaya (Carica papaya), pisang (Musa spp),
ketapang (Terminalia catappa), buru (Pandanus spp), sukun (Artocarpus spp),
sagu (Sago spp). Buah-buahan tersebut akan dimakan oleh jenis ketam ini dengan
cara memanjat dengan cepat dan tangkas. (Amesbury, 1980). Ketam kelapa
merupakan binatang pemakan segala. Selain itu memakan daging kelapa, buah
pandan, bangkai pecahan kayu, lobster, kepiting dan kerang-kerangan.
Pada
penelitian yang dilakukan pada kurungan ini ketam kelapa diberi makan sayuran
seperti selada dan kubis serta siput afrika.
Makanan ketam kelapa terutama terdiri dari buah, termasuk kelapa dan
beringin. Tetapi, mereka akan memakan hampir semua yang organik, seperti
daun, buah busuk, telur penyu, hewan mati, dan cangkang hewan lain, yang
dipercaya menyediakan kalsium. Mungkin mereka juga makan hewan hidup lain
yang terlalu lambat untuk lari, seperti tukik penyu yang baru menetas. Ketam
kenari memanjat pohon untuk makan kelapa atau buah, untuk menghilangkan
panas atau untuk lari dari pemangsa. Adalah anggapan umum bahwa ketam kenari
memotong buah kelapa dari pohonnya lalu memakannya di tanah (dari situlah
nama Jerman Palmendieb, yang berarti "pencuri kelapa", dan nama Belanda
Klapperdief). Tetapi menurut ahli biologi Jerman Holger Rumpf, hewan itu tidak
cukup pintar untuk melakukan hal itu, melainkan ketam itu menjatuhkan buah
kelapa ke tanah saat mencoba membuka buah itu di pohon.
Ketam kelapa membuat lubang ke dalam kelapa dengan capit mereka
yang kuat lalu memakan isinya; perilaku ini unik dalam dunia binatang.
Diragukan beberapa lama bahwa ketam kelapa dapat membuka buah kelapa, dan
pada percobaan, beberapa ekor mati dikelilingi kelapa. Namum Thomas Hale
Streets membahas perilaku itu tahun 1877. Meski saat itu ragu bahwa ketam itu
memanjat pohon untuk mencapai buah kelapa. Dan tahun 1980 Holger Rumpf
mampu membenarkan laporan Streets, dengan mengamati dan mempelajari cara
ketam itu mengupas kelapa di alam. Hewan itu mengembangkan cara khusus
untuk melakukannya, jika buah kelapa masih tertutup sabut, ia akan memakai
capitnya untuk merobek sabut, selalu dimulai dari sisi dengan tiga lubang
perkecambahan. kumpulan tiga lubang itu ditemukan di luar buah. Begitu lubang
itu terlihat, ketam akan menjepit sampai salah satu lubang itu pecah. Setelah itu,
ia akan berbaik dan memakai capitnya yang lebih kecil pada kaki lainnya untuk
mengeluarkan daging putih buah kelapa. Dengan cakarnya yang kuat, hewan yang
lebih besar dapat memecahkan kelapa yang keras menjadi potongan kecil untuk
memudahkan konsumsi. (Wikipedia, 2008 http://id.wikipedia.org/wiki/ketam).
Dari penelitian tersebut, ketam kelapa terlihat menyukai lokasi-lokasi
yang gelap dan lembab. Ini juga didukung dengan bukti tangkapan pada malam
hari lebih banyak ketimbang siang hari. Fakta tersebut menguatkan pola aktivitas
ketam kenari sebagai satwa nokturnal (aktif saat malam hari). Namun, pada
daerah yang tak banyak gangguan manusia, lembab dan terlindung, ketam kenari
dapat juga bersifat diurnal. (IPTEK, Sinar Harapan (2003)).
Menurut Rafiani (2005), menyatakan di Pulau Pasoso secara alami aktif
pada malam hari (nocturnal). Diduga hal ini berkaitan dengan keberadaan
predator. Predator dari ketam ini biawak hutan. Ketam kelapa yang berada dalam
lubang tanah atau kayu yang lapuk dapat mengantisipasi gangguan predator. Hal
sama yang juga ditemukan di Pulau Yoi adalah ketam kelapa melakukan aktivitas
pada malam hari. Amesbury (1980) menyatakan bahwa di Pulau Mariana
ditemukan ketam kelapa aktif pada malam maupun siang tetapi sebagian besar
aktif pada malam hari.
Berdasarkan penjelasan mengenai kondisi habitat pada masing-masing
stasiun pengamatan di Pulau Yoi, maka dapat dikatakan secara umum kondisi
daratan secara alamiah masih mendukung kehidupan ketam kelapa (Birgus latro).
Hambatan alamiah yang diduga menimbulkan variasi jumlah tangkapan hewan ini
antara satu stasiun dengan stasiun lainnya adalah sebagai berikut:
1.
Kondisi perairan yang memiliki energi tinggi dicirikan oleh perairan yang
curam hingga sangat curam dan kekuatan ombak yang besar dapat
menghambat tingkat keberhasilan rekrutmen larva hewan ini, sehingga
pada gilirannya variasi kondisi oseanografi dapat mempengaruhi jumlah
hewan ini.
2.
Kondisi oseanografis yang kuat juga berasosiasi dengan ketiadaan
ekosistem lamun yang merupakan dapat berfungsi sebagai nursery ground
(tempat pembesaran larva) ketam kelapa.
3.
Kelembaban habitat sangat penting bagi hewan ini, oleh sebab itu lubanglubang tempat hewan ini berada selalu berada dekat dengan air yang dari
penguapannya atau kontak langsung hewan tersebut dapat sekali-kali
membasahi insangnya.
4.
Ketam kelapa adalah hewan nocturnal yakni binatang yang aktif pada
malam hari. Adanya pembukaan lahan untuk kegiatan perkebunan dapat
merubah distribusi dan jumlah di Pulau Yoi.
Selain 4 faktor di atas, faktor utama penyebab menurunnya populasi ketam
kelapa adalah tingkat eksploitasi yang semakin hari semakin meningkat. Oleh
sebab itu dalam upaya konservasi hewan ini, selain perlindungan habitat,
diperlukan juga upaya pengaturan penangkapan, penguatan kelembagaan
masyarakat lokal serta upaya pemberdayaan melalui upaya diversifikasi mata
pencaharian.
Distribusi Ketam Kelapa
Distribusi ketam kelapa di pulau yoi, dilihat dengan menggunakan indeks
morisita. Adapun jumlah ketam kelapa berdasarkan hasil waktu dan lokasi
pengamatan disajikan pada gambar 30 dan 31.
Gambar 36. Jumlah ketam kelapa berdasarkan waktu pengambilan contoh
Gambar 37. Jumlah ketam kelapa berdasarkan lokasi pengambilan contoh
Dari hasil pengukuran diperoleh nilai indeks morisita untuk stasiun
Basecamp adalah 1,294, stasiun Selatan 1,248, stasiun Telaga 1,713, stasiun
Timur 1,269, stasiun Utara 1,0625, dan stasiun Barat 2,164, berarti penyebaran
ketam kelapa mengelompok. Setelah diuji dengan menggunakan
uji Khi-
kuadrat pada taraf nyata 0,05, diperoleh nilai Khi-kuadrat hitung (stasiun
Basecamp = 4,91 stasiun Selatan = 5,16 ; stasiun Timur = 33 ; stasiun Utara = 17,
stasiun Barat = 28,14). Hal ini membuktikan bahwa pola penyebaran ketam pada
bulan pengamatan bersifat mengelompok. Sedangkan pada stasiun Telaga
diperoleh nilai khi-kuadrat hitung = 0,04 lebih kecil dari khi kuadrat tabel, berarti
bersifat seragam.
Pada stasiun Basecamp, Selatan, Timur, Utara dan Barat terdapat pola
penyebaran mengelompok, pola ini sering terjadi di alam. Hal ini menunjukkan
bahwa ketam kelapa menyenangi kondisi yang sama yaitu pada tempat yang
lembab dan terlindung dari cahaya matahari. Menurut Rafiani (1997), pola
penyebaran ketam kelapa di Pulau Pasoso adalah mengelompok yaitu sebesar
1,29 dengan khi-kuadrat hitung 18,13 > khi-kuadrat 12,6 yang berbeda nyata
dengan pola penyebaran acak, berarti mengelompok. Pada stasiun Telaga terdapat
pola penyebaran seragam dengan nilai khi-kuadrat 0,04. Hal tersebut didukung
oleh karakteristik dan dan kondisi lingkungan yang seragam.
Hasil pengukuran pada bulan pengamatan diperoleh nilai indeks
penyebaran morisita untuk bulan Januari = 1,327, bulan Maret = 1,280, Mei
1,327, bulan Juli = 1,137 dan bulan September = 1,152 berarti penyebaran ketam
pada bulan pengamatan mengelompok. Setelah diuji dengan menggunakan uji
Khi-kuadrat pada taraf nyata 0,05, diperoleh nilai Khi-kuadrat hitung (bulan
Januari = 21,23 ; bulan Maret = 34,57; bulan Mei = 21,23 ; bulan Juli = 33 ; bulan
September 40,33). Hal ini membuktikan bahwa pola penyebaran ketam pada
bulan pengamatan bersifat mengelompok.
Pada Pada stasiun Basecamp, Selatan, Timur, Utara dan Barat terdapat
pola penyebaran mengelompok karena habitat, makanan serta kondisi lingkungan
yang cocok sehingga penyebarannya mengelompok. Sedangkan pada stasiun
Telaga, pola penyebaran seragam dikarenakan ketam kelapa pada stasiun ini
kondisi lingkungan cocok bagi ketam.
Pengelolaan Ketam Kelapa
Pengelolaan ketam kelapa pada dasarnya adalah pengetahuan dan
keterampilan mengatur dan mengontrol pemanfaatan yang dilakukan oleh
manusia dan berdampak terhadap populasi, hingga tercipta kondisi yang seimbang
antara pemanfaatan dan kelestarian sehingga tersedianya produk yang
berkelanjutan, demi kesejahteraan manusia. Dengan berlandaskan hal tersebut
maka penerapan strategi pengelolaan ketam kelapa berdasarkan hasil penelitian
sebagai berikut :
1.
Penutupan area penangkapan (close seosen) pada musim pemijahan
Kegiatan penutupan area dimaksud untuk memberi perlindungan pada
waktu tertentu saat musim pemijahan. Sehingga area tertentu perlu ditutup
untuk memungkinkan suatu pemijahan yang efektif. Penerapan metode
seperti ini dilakukan dengan memahami tingkah laku pemijahan ketam
kelapa, oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian dapat dilakukan
penutupan area penangkapan pada bulan September sampai Desember.
Berdasarkan data indeks kematangan gonad pada bulan tersebut , nilai
IKG ketam kelapa mencapai puncak. Diduga ketam kelapa melakukan
pemijahan. Sehingga perlu ditutup untuk penangkapan.
2.
Pembatasan ukuran penangkapan ketam kelapa
Penangkapan dalam upaya pemanfaatan melibatkan sejumlah induk dari
ketam kelapa. Berdasarkan hasil penelitian, kegiatan eksploitasi minimum
yang dapat dimanfaatkan adalah dengan selang ukuran 60- 69 dan 50- 59
mm dan berat 990 gram. Hal ini berhubungan dengan aktivitas dari ketam
kelapa. Pada ukuran panjang (CP+r) pertama matang gonad pada jantan
dan betina masing-masing adalah berkisar antara 60-99 mm dan 50-59 mm
. upaya pengelolaan dan pelestariaan sumberdaya ketam kelapa diperlukan
pengurangan jumlah penangkapan ketam-ketam yang sedang bertelur
terutama pada saat pemijahan.
3.
Pengaturan Daerah penangkapan
Distribusi ketam kelapa (Birgus latro) pada setiap lokasi. Tetapi untuk
jumlah tangkapan tertinggi pada Stasiun Timur, Telaga dan Selatan. Hal
ini diduga terkait dengan kondisi habitat. Berdasarkan pengamatan dan
jumlah tangkapan ketam kelapa pada tiga lokasi tersebut. Patut diduga
merupakan habitat utama (main habitat) ketam kelapa. Di daerah ini
dijumpai berbagai ukuran panjang (CP+r) dari terkecil 32 mm hingga
terbesar 109 mm dan berat 30-990 gram untuk jantan. Sedangkan pada
betina ukuran terkecil 23 mm hingga 97 mm dengan berat 60 - 660 gram.
Hal ini diindikasikan bahwa lokasi/daerah ini juga dihuni oleh ketam
mulai dari ukuran anakan hingga dewasa. Pada tempat dengan kondisi
demikian umumnya merupakan tapak pemijahan (spawning site) dan tapak
mencari makan (feeding site). Perlu dilakukan upaya monitoring kegiatan
penangkapan ketam pada daerah tersebut. Sebagai langkah awal perlu
pendekatan agar nelayan ketam tidak beroperasi di sekitar lokasi tersebut.
Untuk mengatasi tertangkapnya ukuran yang matang gonad yang dalam
proses pemijahan. Kombinasi antara tempat (daerah penangkapan) dan
waktu (musim pemijahan) merupakan hal terbaik yang perlu dilakukan
untuk menjaga keberlanjutan stok ketam kelapa. Implementasi dari hal
tersebut adalah menetapkan penagturan penangkapan ketam di lokasi
Timur, Telaga dan Selatan.
4.
Melakukan kegiatan penangkaran
Kegiatan penangkaran ketam kelapa perlu dilaksanakan mengingat saat ini
khususnya di pulau Yoi, sumberdaya tersebut telah mengalami penurunan
ukuran ketam kelapa dan terjadi degradasi terhadap habitatnya.
Penangkapan langsung di alam ditinjau dari segi ekonomi menguntungkan
bagi nelayan pencari ketam kelapa, namun dari segi ekologi kegiatan
tersebut tidak menjamin kelestariaan sumberdaya ketam kelapa dan
kemungkinan keuntungan kegiatan tersebut hanya dapat dirasakan saat
sekarang tidak pada masa mendatang. Fenomena ini menuntut kita untuk
melakukan kegiatan penangkaran.
5.
Melakukan kegiatan domestikasi
Kegiatan domestikasi perlu dilakukan karena di Pulau Yoi, nelayan ketam
melakukan penangkapan setiap waktu, dikhawatirkan bukan hanya
penurunan ukuran penangkapan tetapi akan menghilangkan populasi ini.
Dengan demikian harus kegiatan domestikasi sehingga populasi ketam
kelapa di alam tidak terancam punah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
ketam kelapa (Birgus latro) diduga memijah pada bulan September sampai
Desember dengan ukuran pertama kali matang gonad pada selang ukuran 60- 69
mm (jantan) dan 50-59 mm (betina). Ketam kelapa mempunyai kisaran nilai IKG
antara 0,53 – 1,51% untuk jantan dan 0,37 – 2,94% untuk betina. , dengan
fekunditas berkisar 17.698 – 143.210 butir telur. Serta diameter telur pada TKG
III adalah kisaran terbesar 0,052 – 0,054 dan TKG IV kisaran terbesar 0,052 –
0,054 mm dan 0,058 – 0,060 mm. Ketam kelapa memilki tipe pemijahan total
spawner yaitu telur seluruhnya dikeluarkan dari tubuh. Pengelolaan ketam kelapa
yaitu dilakukan penutupan area penangkapan pada musim pemijahan, pembatasan
ukuran penangkapan, melakukan kegiatan penangkaran dan domestikasi di Pulau
Yoi, Kec.p.Gebe, Maluku Utara.
Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh selama penelitian maka beberapa saran
dapat disampaikan :
1.
Perlu diterapkan asas konservasi yang lebih ketat terhadap habitat dan
populasi ketam kelapa di pulau yoi, Maluku utara.
2.
Melakukan penelitian lanjutan tentang kebiasaan makan dan genetik pada
ketam kelapa di pulau yoi
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Endangered Species Protected on Chumbe Island. Internet Online
http://www.indianocean.org/bioinformaties/crabs/crabs/refer/crabib11.html.
Dikunjungi pada tanggal 22 September 2007.
Abele LG, Bowman TE. 1982. Classification of the Recent Crustacea Vol ke-1.
Academic Press. New York, USA. 319 hal.
Barnes, R.D., 1974. Invertebrata Zoology. Saunders Compony Philadephila London.
Bliss ED, Mantel HL. 1985. Integumen pigment, and Hormonal Processes. Academy
Press. INC. New York.
Brown IW, Fielder DR. 1991. The Coconut Crab : Aspects of The Biology and
Ecology of Birgus latro in the Republic of Vanuatu. Australian Centre for
International Agricultural Research. Canberrra, Australia. 128 hal.
Bengen, BG. 1998. Sinopsis Analisis Statistik Multivariabel/multidimensi. Bogor.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 95 p.
Bengen, BG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, Bogor.
Brower J.E, Zar J.H, Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. Third Edition WMC Brown Publishers. America.
Cameron, J.N, Meckklenburg. 1973. Areal gas Exchanges in the Coconut Crab
Birgus Latro with Some Notes on Gecarcordea lalandii. Respiration
Physiology 19 : 245-261.
Effendi M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Effendi M.I. 2002. Biologi Perikanaan. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Nusatama.
163 hal.
Fletcher WJ, Brown I.W, Fielder DR, Obed A. 1991. Moulting and Growth
Characteristics di dalam Brown, I.W. dan Fielder, D.R.1991. The Coconut
Crab : Aspects of the Biology and Ecology of Birgus latro in the Republic
Vanuatu. Australian Centre for Internasional Agricultural Research. Canberra,
Australia. 128 hal.
Fletcher, W. J, M. Amost. 1993. Stock Assesment of Coconut Crabs. A Manual. W.
A Marine Research Laboratories Australia. Fisheries Departement, Port Vila.
Republic of Vanuatu.
Hill BJ. 1947. Salinity and Temperature Tolerance of Zoeae of the Portunid Crab,
Scylla serrata (Forskal) in an Estuary. Marine Biology, 25 : 21-24.
Helfman GS.1973. Ecology and Behaviour of Coconut Crab, Birgus latro (L).
Msc. Thesis, Universitas of Hawaii (Zoology) : 159 pp.
Herring PJ. 1973 dan Clarke A. 1979. Didalam Vemberg FJ, Vemberg BW.
1983. Environmental Adaptation. Volume 8. Academic Press, New York.
Hozumi T, Herliantien, Zamanty D. 2001. Fisiologi dan Gangguan Reproduksi.
Japan International Cooperation Agency. Indonesia.
http://id.wikipedia.org/wiki/ketam (2008). Internet Online dikunjungi pada
tanggal 6 Juni 2008.
http://www.iucnredlist.org/details/2811. Dikunjungi Tanggal 13 Januari 2009
http://www.mba.ac.uk/jmba/pdf/6370.pdf. JMBA2 - Biodiversity
Published on-line. Dikunjungi Tanggal 13 Januari 2009.
Records
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and
Practice. 2th Edition. Pergamoon Press.
Limbong, D., 1983. Beberapa keterangan Tentang Biologi Ketam Kenari (Birgus
latro .,L). di Pulau Salibabu (Kepulauan Talaud). Fakultas Perikanan
UNSRAT.
Legendre L. P. Legendre, 1983. Numerical Ecology. Elsevier Scientific Publishin
p. Company. Amsterdam, Oxford, New York. 419 p.
Lee RF, Walker. 1995. Lipovitelin and Lipid Droplet Accumulation in Oocytes
During Ovarian Muration in The Blue Crab, Callinectes sapidus. The J. of
Exp. Zool, 271 : 401-412.
Mathews, D.C. 1956. The Probable method of fertilisation in terestial hermit
crabs based on comparative study of spermathofores. Pac. Sci. 10 : 303-309.
Motoh, H. 1980. Field guide for the edible crustacea of the Philippines. Southeast
Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) Aquaculture Department,
Iloilo, Philippines. 69 pp
McLaughlin AP. 1983. Internal Anatomy. Biology of Crustasea. Volume 5.
Internal Anatomy and Physiological Regulation. Departement of Biology
City College of the University of New York and the Amerika Museum of
Natural History, New York.
Morton, J.,1990. The Score Ecology of The Tropical Pasifc. Unesco Regional
Office For Science and Technology For South – Easth Asia. Jakarta –
Indonesia.
Michael P. 1994. Ecological Methods for Field and Laboratory Investigations.
mcGraw-Hill Publising Company Limited, Koestoer. Translator.
Monk A., De Fretes Y, Reksodihardjo-Liley G. 2000., Ekologi Nusantara dan
Maluku. Prenhallindo, Jakarta. 966 hal.
Nontji A., 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.372 hal.
Pillay K.K, Nair. N.B. 1973. Observation on the Biochemical Changes in Gonads
and Organs of Uca annulipes, Portunus Pelagicus and Metapenaeus affinis
(Decapoda : Crustasea) During the Reproductive Cycle. Mar. Biol. (Berlin)
18 : 187-198.
Proyek Pengembangan Sumber Daya Alam Hayati Pusat, 1987/1988. Diskripsi
biota laut langka. Departemen Kehutanan Direktorat Jendral Perlindungan
Hutan dan Pelestariaan Alam, Bogor, 170 hal.
Pratiwi R. 1989. Ketam Kelapa, Birgus latro (Linnaeus 1767) (Crustacea,
Decapoda, Coenobitidae). Dan Beberapa Aspek Biologinya. Oseana, 14:
Nomor 2:47-53.
Reyne, A., 1939. On The Food Habits of The Coconut Crab (Birgus latro L), With
Notes On Its Distribution. Arch.Neerl.Zool. 3:283-320.
Raven CP. 1961. Oogenesis; the Storage of Development Information. Pergamon,
Oxford di dalam Vemberg FJ, Vemberg BW. 1983. Emvironmental
Adaptation. Volume 8. Academic Press, New York.
Rondo, M dan Limbong, D., 1990. Bioekologi Ketam Kenari (Birgus latro L), di
Pulau Salibabu, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Jur. Perikanan. Unstrat.
1(2) :87-94
Ramli M, 1995. Studi Preferensi Habitat Kepiting Kelapa (Birgus Latro L.)
Dewasa di Pulau Siompu dan Liwutongkidi Buton, Sulawesi Tenggara.
Tesis. Institut Pertanian Bogor. 63 hal.
Rafiani S. 2005. Karakteristik Habitat dan Kematangan Gonad Kepiting Kelapa
(Birgus latro Linnaeus) Di Pulau Pasoso, Kecamatan Donggala, Sulawesi
Tengah [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Streets Thomas H, 1877. Some Account of the Natural History of the Fanning
Group of Islands. Am. Nat. 11(2): 65-72. Internet
Online
http://id.wikipedia.org/wiki/ketam Dikunjungi Pada tanggal 6 juni 2008.
Silversand C, Hyllner SJ, Haux C. 1993. Isolation, Immunochemical, and
Observation of the Instability of Vitellogenin from Four Teleostei. The J. Of
Exp. Zool. 267 : 587-597.
Steel RGD, JH. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik. Penerbit PT. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 748 p.
Sahami F. 1994. Makanan Kebiasaan Ketam Kenari, Birgus latro (Caenobotidae),
Di Pulau Salibabu dan Observasi Pertumbuhan Melalui Pemberian Makanan
Di Laboratorium. Skripsi. Fakultas Perikanan,Unsrat. Manado. 35h. tidak
dipublikasikan.
Whitten, A.J, M. Mustafa., G.S.Henderson., (1987). Ekologi Sulawesi. Gadjah
Mada University Press.844 hal.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta lokasi penelitian ketam kelapa (Birgus latro) di Pulau Yoi Kecamatan P.
Gebe, Maluku Utara
Lampiran 2. Lokasi pengambilan contoh ketam kelapa di Pulau Yoi Kecamatan P. Gebe,
Maluku Utara
1.
Lokasi Basecamp
2.
Lokasi Selatan
3.
Lokasi Telaga
4.
Lokasi Timur
5.
Lokasi Utara
6.
Lokasi Barat
Lampiran 3. Pembuatan preparat histologi gonad
1. Fiksasi
Gonad diambil dan dicucikan dengan NaCl fisiologis 0,65%, difiksasi ke
dalam larutan bouin (15 cc asam pikrat jenuh + 1 cc asam cuka pekat)
selama 24 jam lalu dicuci dengan alkohol 70% sampai warna kuning pada
gonad hilang. Gonad dapat disimpan dalam alkohol 70% untuk beberapa
waktu lamanya sebelum proses dehidrasi.
2. Dehidrasi
Organ direndam dalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%, 90% dan
95%) masing-masing selama 2 jam dan dipindahkan ke dalam alkohol 100%
sebanyak 4 kali masing-masing selama 1 jam.
3. Clearing
Organ direndam dalam alkohol 100% + xylol (1 : 1), kemudian ke dalam
xylol I, II DAN III masing-masing selama 45 menit.
4. Infiltring
Organ direndam dalam xylol + paraffin ( 1 : 1) selama 45 menit pada suhu
60oC kemudian direndam ke dalam paraffin I, II, dan III masing-masing
selama 45 menit.
5. Embeding
Organ direndam ke dalam balok paraffin cair pada suhu 60oC sampai
paraffin mengeras selama 24 jam.
6. Pemotongan
Spesimen dipotong setebal 5 mikron dengan menggunakan mikrotom,
ditempelkan pada gelas objek yang telah ditetesi ewid, direnggangkan diatas
pemanas dan dikeringkan 24 jam pada suhu 45oC.
7. Deparafinisasi
Preparat direndam berturut-turut (xylol I, II 100% I, 100% II, 95%, 90%,
85%, 80%, 70%, dan 50%) masing-masing 2 menit dan dicuci sampai
berwarna putih.
8. Pewarnaan
Preparat direndam dalam larutan haematoxylin selama 2 menit, dicuci
dengan air kran mengalir, direndam dalam larutan eosin selama 2 menit dan
dicuci kembali dengan air mengalir.
9. Dehidrasi
Preparat direndam berturut-turut di dalam alcohol 70%, 80%, 85%, 90%,
95% I, 95% II, 100% I, dan 100% II masing-masing selama 1 menit.
10. Clearing
Preparat direndam ke dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 1
menit.
11. Penutupan dengan kaca penutup
Preparat diberi zat perekat canda balsam, ditutup dengan kaca penutup,
dikeringkan selama 10 menit. Preparat diberi label sesuai dengan keperluan
sehingga didapatkan preparat permanen histologi gonad (testis dan ovarium)
yang diamati di bawah mikroskop setiap saat
Lampiran 4 Rasio kelamin berdasarkan waktu dan lokasi pengamatan
1.
Waktu
Bulan
Jantan : Betina
Januari
1
Maret
0.75
Mei
1.12
Juli
1
September
0.89
Desember
0.63
2. Lokasi
Stasiun
Jantan : Betina
Basecamp
1.7
Selatan
1.08
Telaga
0.88
Timur
0.68
Utara
0.75
Barat
0.54
Lampiran 5 Faktor kondisi ketam kelapa jantan dan betina berdasarkan waktu dan lokasi
pengamatan
1. Waktu pengamatan
Jantan
Bulan
Rata-rata FK
S.Deviasi
Januari
1.053768
0.537583
Maret
1.0092585
0.140086
Mei
1.0142451
0.188209
Juli
1.0424583
0.287637
September
1.036166
0.306699
Desember
1.060677
0.36428
Rata-rata FK
S.Deviasi
Januari
1.011813
0.168067
Maret
1.166186
0.189791
Mei
1.019814
0.197135
Juli
1.068016
0.352444
September
1.049654
0.323022
Desember
1.127271
0.533569
Betina
Bulan
2. Lokasi pengamatan
Jantan
Stasiun
Rata-rata FK
S.Deviasi
Basecamp
1.032884
0.293309
Selatan
1.030648
0.261198
Telaga
1.05964
0.329465
Timur
1.014891
0.181829
Utara
1.002573
0.078807
Barat
1.006658
0.127763
Betina
Stasiun
Rata-rata FK
S.Deviasi
Basecamp
1.121468
0.471761
Selatan
1.034828
0.249491
Telaga
1.036933
0.275065
Timur
1.110848
0.371764
Utara
1.001932
0.066253
Barat
1.007837
0.134187
Lampiran 6 Indeks kematangan gonad pada waktu dan lokasi pengamatan
1. Waktu
Jantan
Bulan
Rata-rata IKG
S.Deviasi
Januari
0.560738913
0.199945115
Maret
0.890755814
0.803054582
Mei
0.53049358
0.223100637
Juli
0.805508977
0.626771321
September
1.51639641
0.749958202
Desember
1.23781195
1.005242297
Betina
Bulan
Rata-rata IKG
S.Deviasi
Januari
0.375896309
0.216176759
Maret
1.980398032
1.925177001
Mei
0.611389557
0.312065414
Juli
1.233849614
1.130542089
September
1.377010709
1.149130851
Desember
2.949345282
2.827520013
2. Lokasi
Jantan
Stasiun
Rata2 IKG
S.Deviasi
Basecamp
1.22436
1.116061
Selatan
0.62458
0.248934
Telaga
0.593649
0.364757
Timur
0.710004
0.669484
Utara
0.623699
0.218135
Barat
0.740787
0.271716
Betina
Stasiun
Rata2 FK
SD
Basecamp
0.506290
0.362016
Selatan
3.997865
6.487399
Telaga
1.368511
1.333131
Timur
1.058107
1.956404
Utara
1.011546
1.577017
Barat
1.381097
1.405078
Lampiran 7 Pola Penyebaran Ketam Kelapa berdasarkan lokasi
Pola penyebaran ketam kelapa di lokasi penelitian ditilik menggunakan indeks
penyebaran Morisita yaitu :
[∑ X ] − N
Id = n
2
N ( N − 1)
Keterangan :
n = Jumlah plot (unit)
N = Jumlah total individu dalam n plot (ekor)
∑ X2 = Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot
1. Stasiun Basecamp
Id =
(
)
6 2 2 + 4 2 + 2 2 + 7 2 + 7 2 + 52 − 27 855
=
= 1,217
27(26)
702
2. Stasiun Selatan
Id =
(
)
6 3 2 + 6 2 + 3 2 + 6 2 + 2 2 + 5 2 − 25 689
=
= 1,148
25(24 )
600
3. Stasiun Telaga
(
)
6 2 2 + 9 2 + 2 2 + 4 2 + 102 + 52 − 32 1348
Id =
=
= 1,358
32(31)
992
4.
Stasiun Timur
Id =
(
)
6 6 2 + 4 2 + 6 2 + 4 2 + 7 2 + 52 − 32 1036
=
= 1,044
32(31)
992
5. Stasiun Utara
(
)
6 3 2 + 4 2 + 3 2 + 2 2 + 3 2 + 6 2 − 21 477
Id =
=
= 1,135
21(20 )
420
6. Stasiun Barat
(
)
6 12 + 12 + 12 + 52 + 4 2 + 52 − 17 397
Id =
=
= 1,459
17(16)
272
Kriteria pola penyebaran dikatakan seragam jika id < 1
Selanjutnya diuji dengan Khi-Kuadrat dengan rumus :
X
2
x2
= ( n ∑N N
)
1. Stasiun Basecamp
Id =
(
)
6 2 2 + 4 2 + 2 2 + 7 2 + 7 2 + 5 2 − 27 855
=
= 31,66
27
27
2 Stasiun Selatan
(
)
6 3 2 + 6 2 + 3 2 + 6 2 + 2 2 + 5 2 − 25 689
Id =
=
= 27,26
25
25
3 Stasiun Telaga
Id =
(
)
6 2 2 + 9 2 + 2 2 + 4 2 + 10 2 + 5 2 − 32 1348
=
= 42 ,12
32
32
4 Stasiun Timur
Id =
(
)
6 6 2 + 4 2 + 6 2 + 4 2 + 7 2 + 5 2 − 32 1036
=
= 32 ,37
32
32
5 Stasiun Utara
Id =
(
)
6 3 2 + 4 2 + 3 2 + 2 2 + 3 2 + 6 2 − 21 477
=
= 22,71
21
21
6 Stasiun Barat
Id =
(
)
6 1 2 + 12 + 1 2 + 5 2 + 4 2 + 5 2 − 17 397
=
= 23,35
17
17
Bulan
Indeks
Distribusi
X2 hitung
X2 tabel
Tipe Distribusi
Db
Basecamp
1,217
31,66
11,07
Mengelompok
6-1=5
Selatan
1,148
27,26
11,07
Mengelompok
6-1=5
Telaga
1,358
42,12
11,07
Mengelompok
6-1=5
Timur
1,044
32,37
11,07
Acak
6-1=5
Utara
1,135
22,71
11,07
Seragam
6-1=5
Barat
1,459
23,35
11,07
Mengelompok
6-1=5
Kriteria pola penyebaran dikelompokkan sebagai berikut ;
Jika, Nilai Id < 1 : seragam
Nilai Id > 1: mengelompok
Nilai Id = 1: acak
Berdasarkan uji khi-kuadrat disetiap stasiun menunjukkan tidak adanya perbedaan secara nyata
penyebaran secara mengelompok dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05)
Stasiun Basecamp X2 hitung < X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok
Stasiun Selatan X2 hitung < X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok
Stasiun Telaga X2 hitung < X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok
Stasiun Timur X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok berarti
seragam
Stasiun Utara X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok
Stasiun Barat X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok.
Lampiran 8. Pola Penyebaran Ketam Kelapa berdasarkan waktu pengamatan
Pola penyebaran ketam kelapa di lokasi penelitian ditilik menggunakan indeks
penyebaran Morisita yaitu :
[∑ X ] − N
Id = n
2
N ( N − 1)
Keterangan :
n = Jumlah plot (unit)
N = Jumlah total individu dalam n plot (ekor)
∑ X2 = Kuadrat jumlah individu per plot untuk total n plot
1. Bulan Januari
Id =
(
)
6 2 2 + 3 2 + 2 2 + 6 2 + 3 2 + 12 − 17 361
=
= 1,327
17(16 )
272
2. Bulan Maret
(
)
6 4 2 + 6 2 + 9 2 + 4 2 + 4 2 + 12 − 28 968
=
= 1,280
Id =
28(27)
756
3. Bulan Mei
Id =
(
)
(
)
6 2 2 + 3 2 + 2 2 + 6 2 + 3 2 + 12 − 17 891
=
= 1,269
17(16)
702
4. Bulan Juli
Id =
6 6 2 + 7 2 + 4 2 + 4 2 + 2 2 + 7 2 − 30 990
=
= 1,137
30(29 )
870
5. Bulan September
6 7 2 + 5 2 + 10 2 + 7 2 + 32 + 4 2 − 36 1,452
=
= 1,152
Id =
36(35)
1,260
(
)
6. Bulan Desember
6(52 + 52 + 52 + 62 + 52 + 52 ) − 31 935
Id =
=
= 1,005
31(30)
930
Kriteria pola penyebaran dikatakan seragam jika id < 1
Selanjutnya diuji dengan Khi-Kuadrat dengan rumus :
X
2
x2
= ( n ∑N N
)
1. Bulan Januari
Id =
(
)
6 2 2 + 3 2 + 2 2 + 6 2 + 3 2 + 12 − 17 361
=
= 21,23
17
17
2. Bulan Maret
Id =
(
)
(
)
6 4 2 + 6 2 + 9 2 + 4 2 + 4 2 + 1 2 − 28 968
=
= 34 ,57
28
28
3. Bulan Mei
Id =
4.
Bulan Juli
Id =
5.
6 2 2 + 3 2 + 2 2 + 6 2 + 3 2 + 1 2 − 17 361
=
= 21, 23
17
17
(
)
6 6 2 + 7 2 + 4 2 + 4 2 + 2 2 + 7 2 − 30 990
=
= 33
30
30
Bulan September
Id =
(
)
6 7 2 + 5 2 + 10 2 + 7 2 + 3 2 + 4 2 − 36 1, 452
=
= 40 ,33
36
36
6. Bulan Desmber
6 5 2 + 5 2 + 5 2 + 6 2 + 5 2 + 5 2 − 31 935
Id =
=
= 30 ,16
31
31
(
)
Bulan
Jantan
Frekuensi harapan
Betina
Frekuensi
harapan
Januari
10
8,5
7
8,5
17
Maret
12
14
16
14
28
Mei
9
8,5
8
8,5
17
Juli
15
15
15
15
30
September
17
18
19
18
36
Desember
12
15,5
19
15,5
31
Total
75
Total
84
159
Kriteria pola penyebaran dikelompokkan sebagai berikut ;
Jika, Nilai Id < 1 : seragam
Nilai Id > 1: mengelompok
Nilai Id = 1: acak
Berdasarkan uji khi-kuadrat disetiap stasiun menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata
penyebaran secara mengelompok dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05)
Berdasarkan uji khi-kuadrat disetiap stasiun menunjukkan tidak adanya perbedaan secara nyata
penyebaran secara mengelompok dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05)
Bulan Januari X2 hitung > X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok
Bulan Maret X2 hitung >X2 tabel = tidak berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok
Bulan Mei X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok berarti
seragam
Bulan Juli X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok
Bulan September X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok.
Bulan Desember X2 hitung > X2 tabel = berbeda nyata dengan penyebaran mengelompok.
Lampiran 9 perhitungan uji Khi-kuadrat
Frekuwensi harapan
No
Bulan
Jantan
Betina
jantan dan betina
Total
1
Januari
12
16
14
28
2
Maret
10
7
8.5
17
3
Mei
9
8
8.5
17
4
Juli
15
15
15
30
5
September
17
19
18
36
6
Desember
12
19
15.5
31
Total
75
84
79.5
159
Terima Ho, jika X2 hitung < X2 tabel
Tolak Ho, jika X2 hitung > X2 tabel
X
2
X
=
∑
2
=
(Oi − ei )2
ei
(12 − 14 )2 + (16 − 14 )2
+
(10 − 8 .5 )2 + (7 − 8 .5 )2
+
(9 − 8 .5 )2 + (8 − 8 .5 )2
14
8 .5
8 .5
2
2
2
2
2
(15 − 15 ) + (15 − 15 ) + (17 − 18 ) + (19 − 18 ) + (12 − 15 .5 ) + (19 − 15 .5 )2
15
18
15 .5
=
8 4.5 50 2 24.5
+
+
+
+
= 8,67
14 8.5 8.5 18 15.5
X2 tabel (α=0,05) = X2 tabel (6 bulan-1) x (2-1) = 12,25
Keputusan : X2 hitung < X2 tabel, maka terima Ho
Kesimpulan : rasio kelamin ketam kelapa berada dalam keseimbangan.
+
Download