JIHAD DALAM TRADISI ISLAM

advertisement
AMBIVALENSI JIHAD DALAM TRADISI ISLAM
Pendahuluan
Perdebatan mutakhir tentang peran agama dalam konflik berdarah telah membawa
analisis sosial pada salah satu dari dua ekstrem. Sebagian mengikuti tradisi analisis yang
memandang rendah agama. Mereka menganggap terorisme agama atau konflik yang
diilhami agama sebagai bukti bahwa agama secara inheren menentang kemajuan,
sebagaimana agama pada masa pertengahan Eropa. Sebagian lain termasuk kaum
sekular yang bersahabat dengan agama-agama formal, memandang agama sebagai
kredo humanis dan realitas tak tergugat. Para pendukung agama yang tercerahkan ini
cenderung dapat menjelaskan tindakan terorisme, pembunuhan dan sabotase atas nama
agama. Mereka menyatakan tindakan semacam ini bukan Islam, bukan Kristen, bukan
Sikh dan agama lainnya, karena tindakan mereka telah melanggar kesucian dan
martabat agama.
Dua pandangan di muka dibangun atas dasar asumsi masing-masing. Yang pertama
melihat agama sebagai kekuatan destruktif atau hantu masa lalu yang absurd, sedangkan
yang terakhir memandang agama sebagai kekuatan kreatif dan berkeadaban. Dua
pandangan ini sama-sama melakukan reduksi. Orang-orang yang sinis terhadap agama
gagal menghargai sifat-sifat manusiawi dari agama dan pedoman moralnya yang
menekankan perilaku toleran. Sementara itu, para pendukung agama “liberal” gagal
pula memahami bahwa ajaran agama yang otentik, yakni respon yang tulus terhadap
yang Suci, bertujuan untuk menaklukan kehidupan manusia di hadapan hukum Tuhan.
Bila agama melegitimasi tindakan kekerasan tertentu, ia juga berusaha membatasi
frekuensi dan ruang lingkup aksi tersebut. Sikap ambivalensi agama ini mencerminkan
“manfaat” agama sebagai instrumen pertahanan diri dan penguatan norma-norma agama
di satu sisi, juga mengakui potensi destruktifnya yang tak terkendali di sisi lain. Dalam
banyak agama, kita menemukan ketegangan antara penggunaan dan sublimasi
kekerasan dan “martir suci” yang berkorban demi kehidupan orang lain. Menemukan
bahasa yang tepat untuk menyampaikan ambivalensi agama ini sangat sulit. Di sinilah
tampak bahwa membincangkan sifat jihad yang ambivalen memperoleh signifikansinya,
lebih-lebih dalam konteks di mana kekerasan dan terorisme atas nama agama, telah
menjadi berita harian.
Jihad adalah istilah tipikal yang merepresentasikan ambivalensi agama. Istilah ini
akan terus menjadi perbicangan hangat dan menawan, seolah belum pudar daya
tariknya. Lebih-lebih pasca tragedi 11 September 2001 yang menghancurkan Menara
Kembar World Trade Center di Manhattan, New York, dan memicu perang di
Afghanistan. Peristiwa terakhir adalah kembali memanasnya situasi di Palestina, yang
membuat konsep jihad menjadi bagian dan perdebatan publik di kalangan Muslim
maupun non-Muslim. Sebagian orang Barat memahaminya sebagai holy war (perang
suci), suatu hantu yang mencerminkan kebiadaban crusader yang pernah tersurat dalam
ratusan tahun sejarah Kristen ketika berhadapan dengan Muslim dalam suatu kontak
senjata. Pemahaman ini menegaskan bahwa kekerasan inheren dalam konsep jihad.
Sebagian lain memandangnya sebagai perjuangan suci, suatu makna yang lebih bersifat
spiritual daripada konsep martir. Salah satu alasan kesulitan menangkap gagasan dan
makna jihad adalah karena konsep ini mempunyai basis pengalaman empirik sekaligus
legitimasi teologis-yuridis yang telah berurat berakar lebih dari 14 abad lamanya
meliputi sejarah kawasan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah.
Pengalaman panjang ini pula yang telah mempola relasi antara Muslim dan nonMuslim. Intinya, warisan masa lalu masih mempunyai pengaruh kuat dalam kehidupan
Muslim. Sejarah telah mencatat, ada satu sekte Islam ekstrem yang menempatkan
perang suci atau jihad sebagai bagian dari rukun Islam. Sekte ini adalah Khawarij.
Kebanyakan teolog dan ahli fikih ortodoks (ortodox jurist) menempatkan jihad pada
posisi yang cukup tinggi dalam skala kewajiban-kewajiban agama, satu tingkat di
bawah rukun Islam yang lima. Hal ini disebabkan perang suci mendapatkan tempat luas
baik dalam al-Qur’an maupun hadis.
Jihad Bermakna Perang
Jihad adalah bentuk masdar dari kata j-h-d, yang arti harfiahnya adalah berusaha
sungguh-sungguh atau bekerja keras. Mujahid, bentuk isim fa'il, berarti orang yang
berusaha sungguh-sungguh atau berpartisipasi dalam jihad. Istilah jihad dalam banyak
konteks berarti berperang, meskipun ada beberapa kata lain dalam bahasa Arab yang
lebih tidak mendua dengan makna tindakan membuat perang seperti qita>l dan h}arb.
Dalam al-Qur’an dan kebiasaan Muslim, jihad sering diikuti dengan ungkapan
sabilillah. Penjelasan tentang perang terhadap musuh-musuh komunitas Muslim
sebagai jiha>d fi> sabi>lilla>h telah mensakralkan aktivitas yang biasa digunakan
pada masa Arab pra Islam, yakni perang suku.
Disamping al-Qur’an, hadis juga sering memaknai jihad sebagai tindakan berperang.
Misalnya ada sekitar 199 rujukan bagi jihad dalam kitab hadis Sahih al-Bukhari yang
semuanya rnengasumsikan jihad sebagai perang (Bukhari, 1981: vol 4, 34-204). Secara
lebih luas Bernard Lewis menjumpai bahwa mayoritas mutakallimin, fuqaha dan
muhaddisin klasik memahami kewajiban jihad sebagai kewajiban militer (Lewis,
1988:72).
Gambaran-gambaran semacam ini membentuk satu interpretasi yang jelas tentang
jihad sebagai perang, meski kita juga menjumpai bahwa lbn Taymiyah dan para
pengikutnya memahami jihad dalam pengertian lain. Bagi para fuqaha, jihad cocok
dengan suatu konteks dunia yang terbagi ke dalam zona Muslim dan zona non-Muslim,
da>r al-lsla>m dan da>r al-h}arb. Model pemahaman fikih klasik ini
mengimplikasikan perang abadi antara Muslim dan non-Muslim hingga wilayah yang
berada di bawah kekuasaan Muslim dapat mengendalikan wilayah yang tidak dikuasai
Muslim, suatu sikap yang barangkali mencerminkan optimisme akibat penaklukan
bangsa Arab atas bangsa-bangsa lain yang sangat meluas dan cepat. Da>r al-lsla>m
bukan berarti meniadakan/membinasakan semua penduduk non-Muslim dan tidak pula
berarti mengharuskan adanya pemaksaan atas mereka. Bahkan jihad sama sekali tidak
mengandaikan konversi secara paksa karena al-Qur’an (al-Baqarah 2:256) menyatakan:
"Tidak ada paksaan dalam agama". Jihad juga memiliki tujuan politik, yakni
menegakkan aturan-aturan Muslim yang pada gilirannya menghasilkan dua keuntungan:
pengakuan Islam atas keberadaan agama-agama lain dan menciptakan kesempatan bagi
Muslim untuk membangun tatanan sosial dan politik yang adil.
Jihad Bukan Konversi Paksa
Hukum Islam klasik membagi penduduk da>r al-h}arb ke dalam dua kelompok:
masyarakat kitab (ahl al-kita>b) dan masyarakat politheis (Musyrikun). Ahl al-kitab,
yang menurut al-Qur’an terdiri dari Yahudi, Nasrani dan Sabi'in, mempunyai status
yang jelas di mata kaum Muslim karena tiga kelompok ini mengikuti wahyu sejati yang
berasal dari nabi sejati. Mereka dapat hidup dengan nyaman di bawah kekuasaan
Muslim sejauh mereka menerima status subordinat (ahl al-dhimmi>) yang harus
membayar upeti (jizyah) dan menderita banyak kekurangan. Sementara itu bagi orangorang Musyrik, hukum Islam menghendaki agar Muslim menawarkan pada mereka
suatu pilihan atas Islam atau mati, meskipun cara terakhir ini sangat jarang dilakukan
setelah Muslim awal menaklukan Arabia. Bahkan Muslim pada umumnya
memperlakukan semua ahl al-h}arb sebagai masyarakat kitab. Para fuqaha awal juga
memasukan Zoroaster ke dalam kategori ahl al-kitab, para penakluk Muslim atas
wilayah India bahkan memperluas konsep ahl al-kitab termasuk Hindu sekaligus,
dengan cara ini efektif untuk mengeliminasi kategori Musyrikun.
Keyakinan bahwa jihad harus terus berjalan hingga da>r al-Isla>m meliputi seluruh
dunia bukan berarti bahwa para fuqaha mengharapkan agar kaum Muslim melakukan
perang tanpa henti. Nabi Muhammad membuat perjanjian damai dengan orang-orang
Makkah, Perjanjian Hudaibiyah pada 630, dan beberapa khalifah awal juga membuat
pakta perdamaian dengan kerajaan Byzantium. Meskipun tidak ada mekanisme untuk
mengakui pemerintahan non-Muslim yang absah, para fuqaha dengan berdasarkan pada
preseden tersebut memperbolehkan negosiasi gencatan senjata dan pakta perjanjian
dalam durasi terbatas. Para fuqaha menyediakan kebijakan militer yang mengijinkan
penarikan atau pengurangan kekuatan yang berlebihan. Dan sebagian fuqaha
menambahkan satu kategori penengah, yakni da>r al-`ahd atau zona perjanjian dan
da>r al-s}ulh} atau zona perdamaian bagi negara-negara di mana penguasa nonMuslim memerintah orang-orang non-Muslim dan Muslim sekaligus.
Para fuqaha memahami jihad bukan sebagai kewajiban setiap individu Muslim
(fard} al-`ayn), tapi sebagai kewajiban komunitas Muslim (fard} al-kifa>yah). Hanya
dalam keadaan darurat, ketika da>r al-lsla>m berada dalam keadaan diserang, mereka
mengharapkan agar semua Muslim berpartisipasi dalam jihad perang. Dalam keadaan
normal, kegagalan komunitas untuk memenuhi kewajiban jihad adalah dosa; tapi
seorang Muslim tidak perlu berpartisipasi sepanjang Muslim lainnya telah mengemban
tugas ini. Para penulis Syiah membuat kualifikasi lebih jauh bahwa jihad ofensif hanya
diperbolehkan ketika Imam al-Muntazar hadir. Oleh karena itu, jihad ofensif saat ini
sama sekali tidak diijinkan.
Bertentangan dengan konsensus tentang doktrin jihad yang terbatas ini, filosof
hukum terkemuka lbn Taymiyah (1268-1328) mengambil posisi yang lebih aktif. la
menyatakan bahwa seorang penguasa yang gagal menegakkan syariah dalam seluruh
aspeknya termasuk melaksanakan jihad, maka ia kehilangan hak untuk memimpin.
Sebagai kritik keras atas status quo, lbn Taymiyah menyatakan secara tegas, dan
berpartisipasi secara personal dalam jihad sebagai perang terhadap kaum Salib dan
bangsa Mongol yang menduduki sebagian da>r al-lsla>m. lbn Taymiyah
mengemukakan pandangan ini atas dasar tradisi Khawarij yang sudah lama berjalan
dalam sejarah Islam yang mengarahkan jihad terhadap penguasa yang dirasa kurang
Muslim, yakni tradisi Khawarij pada abad 7 dan kaum Asasin pada abad 11 (Sonn
dalam Kelsay, 1990: 132-138). Barangkali yang paling penting bahwa ia memutuskan
hubungan dengan mainstream Islam melalui pendapatnya yang mempertahankan bahwa
seorang Muslim yang telah bersaksi (bersyahadat) namun tidak hidup dengan imannya,
maka ia dipandang tidak beriman. Kebanyakan fuqaha yang mentolerir penguasapenguasa Muslim yang melanggar syariah untuk kepentingan komunitas, meyakini
bahwa tirani itu lebih baik daripada berpecah belah dan tidak ada tatanan, bahkan lbn
Taymiyah menyatakannya dengan lebih radikal (Laoust, 1939: 360-370). la dan para
koleganya adalah para intelektual terkemuka yang merintis jalan bagi islamisme
kontemporer (Sivan, 1990:101).
Perang bukan Jihad
Hukum Islam mengutuk semua bentuk peperangan yang tidak mempunyai kualifikasi
sebagai jihad, khususnya semua bentuk perang sesama Muslim. Tindakan militer
terhadap Muslim hanya dilegitimasi bila mereka tidak lagi berstatus Muslim, yang
diklasifikasi sebagai murtad atau bughat (pemberontak) terhadap otoritas yang sah
(Donner dalam Kelsay, 1991: 51-52). Misalnya, ketika khalifah al-Ma'mun dan
saudaranya al-Amin berjuang untuk mengendalikan kekhalifahan pada 809-813, alMa'mun memandang al-Amin sebagai murtad (Arazi dan El`ad, 1987: 59-60). Para
penulis Muslim menggunakan istilah fitnah untuk menjelaskan terpecah belahnya
komunitas Muslim. Meskipun para penulis Muslim pra modern tidak mengatakan
demikian, fitnah menjadi kondisi yang permanen setelah tahun 750 ketika kesatuan
politik komunitas Muslim telah berakhir.
Seorang penulis Muslim paling awal, Muhammad ibn al-Hasan Shaybani
mengkodifikasi hukum perang dan damai setelah kesatuan umat Islam terpecah belah.
Artinya bahwa hukum Islam tentang masalah perang dan damai diformulasikan hanya
secara retrospektif, dengan mengambil prinsip-prinsip umum dan situasi yang sama
sekali tidak ada dan tidak akan pernah ada. Akibatnya, hukum jihad diformulasi setelah
kondisinya sudah berlalu. Maka para fuqaha mengupayakan rekonsiliasi terhadap
kekacauan dan keterpecah-belahan yang terjadi beberapa abad terakhir secara teoritik,
tapi mereka mencegah pandangan mereka dan realitas perang antar-Muslim. Bahkan
mereka berusaha menegakkan legitimasi otoritas dalam ketiadaan khalifah yang efektif
memerintah kesatuan komunitas Muslim. Pendeknya, hukum Islam tidak pernah sesuai
dengan realitas kekacauan politik dalam dunia Islam.
Cerai berainya dunia Islam tidak menghentikan ekspansi. Jihad dalam arti perang
terus berlanjut meskipun ideal jihad jarang menentukan kebijakan pemerintahanpemerintahan Muslim dan hampir tidak pernah mengijinkan mereka untuk bergabung
bersama menentang musuh non-Muslim. Istilah ghazi yang secara literal berarti razia
sering digunakan sebagai sinonim jihad. Kerajaan Ottoman sering disebut kerajaan
ghazi karena berhasil dalam jihad yang merupakan komponen utama bagi legitimasi
Ottoman. Sebenarnya jihad bukanlah motivasi utama atau bahkan ideologi utama bagi
ekspansi Ottoman. Faktor-faktor lain yang juga memberi kontribusi adalah tekanan
populasi, kompetisi dengan negara-negara Muslim lainnya dan janji-janji perang. Di
samping doktrin jihad, ideologi politik Ottoman bercampur dengan unsur-unsur TurkiMongol, Iran dan Byzantium. Kombinasi serupa dari ideologi dan faktor-faktor lain
mendorong ekspansi Muslim di daratan India. Dalam konteks lain, para penguasa
Muslim seperti Uzun Hasan Aqquyunlu, penguasa Iran Barat dan Anatolia Timur pada
1453-1478, dan penguasa Safawi Shah Tahmasp (1524-1576) berpartisipasi dalam jihad
bukan hanya karena alasan-alasan iman yang abstrak tapi juga untuk memperluas
legitimasi dan memperoleh pengaruh.
Jihad bukan Perang
Perang hanyalah satu interpretasi dari konsep jihad. Makna dasarnya adalah usaha yang
tidak pernah berhenti. Jihad bisa berupa perjuangan batin (untuk melawan kejahatan
dalam diri seseorang) atau perjuangan lahiriah/eksternal (melawan ketidakadilan).
Sebuah hadis mendefinisikan pemahaman tentang istilah ini. Perhatikan bagaimana
Muhammad sekembali dari Perang Badar mengatakan "Kita baru kembali dari jihad
kecil (jiha>d al-asghar) menuju jihad besar (jiha>d al-akbar)". Ketika ditanya
"Apakah jihad besar itu?, ia menjawab "Yaitu jihad melawan din sendiri (jiha>d alnafs)" (al-Hujwiri, 1911: 200-201). Meskipun hadis ini tidak terdapat dalam kitab
kumpulan hadis yang otoritatif tapi ia mempunyai pengaruh cukup mendalam dalam
mistisisme Islam atau sufisme.
Kaum sufi memahami jiha>d al-nafs sebagai perang batin, utamanya perang
melawan instink dasar dan tubuh bahkan juga perlawanan terhadap godaan untuk
berbuat syirik. Sebagian penulis sufi berpendapat bahwa syetan mengorganisir jasmani
dan dunia untuk mengganggu jiwa. Abu Hamid al-Ghazali (1059-1111)
memperumpamakan tubuh seperti sebuah kota yang diperintah oleh jiwa dan dikepung
oleh nafsu yang rendah. Memisahkan diri dari dunia untuk pencarian mistik
membutuhkan kemajuan dalam jihad besar. Sebaliknya, jihad besar adalah bagian
terpenting dari proses memperoleh pencerahan spiritual (Renard, 1988: 225-242;
Hoffman, 1995: 196-200). Hingga abad 11 sufisme mempunyai pengaruh luar biasa dan
barangkali menjadi dominan, menjadi bentuk spiritualitas Islam. Sampai kini, banyak
Muslim memahami jihad sebagai perjuangan yang sifatnya lebih personal daripada
politik. Tapi sufisme mendapatkan tantangan, yang paling keras berasal dari lbn
Taymiyah, yang mengutuk banyak aspek sufisme yang dipercayai bertentangan dengan
syariah. Muridnya lbn al-Qayyim al-Jawziyah (1292-1350) secara eksplisit mengutuk
doktrin jiha>d al-akbar, memandangnya sebagai hadis palsu yang menjadi sumber
konsep tersebut (Jansen, 1986: 22, 102).
Jadi, ada tiga pandangan tentang jihad pada masa pra modern:
1. Pandangan fikih klasik yang melihat jihad sebagai pemaksaan, upaya komunal untuk
mempertahankan dan memperluas da>r al-isla>m;
2. Paham lbn Taymiyah bahwa jihad aktif sebagai bagian tak terpisahkan dari
pemerintahan yang sah; dan
3. Doktrin sufi tentang jiha>d al-akbar.
Tidak mengherankan bahwa ketidaksepakatan atas konsep jihad terus berlanjut hingga
masa modern.
Jihad Perang di Masa Modern
Barangkali perspektif paling awal yang muncul pada periode modern berkembang di
kalangan Muslim India sebagai akibat pemberontakan pada 1857. Sayyid Ahmad Khan
dan lainnya banyak menulis untuk audiens Barat terutama bagi para agamawan, bahwa
jihad hanya berarti perang defensif dan tidak dapat menjustifikasi perlawanan lebih jauh
terhadap pemerintah Inggris sepanjang Inggris tidak secara aktif melakukan
campurtangan terhadap praktik-praktik Islam. Sayyid Ahmad Khan memperlakukan
Islam sebagai agama privat daripada kekuatan publik dan menyajikannya seperti kredo
pasifis (Ali, 1984). Meskipun sangat jelas bahwa pandangannya merupakan reaksi
terhadap kecurigaan Inggris atas Muslim setelah 1857, pandangan-pandangannya
memberi pengaruh terhadap sikap Muslim India.
Para penulis modernis yang mencari jalan rekonsiliasi antara Islam dengan Barat,
melihat al-Qur’an untuk menemukan model Islam dalam membimbing negara-negara
Muslim. Mereka secara fundamental mencari pandangan defensif tentang jihad dan
terhadap tujuan ini berpendapat bahwa semua perang yang dilakukan oleh Nabi dan
Khalifah yang empat adalah perang defensif. Mereka juga berpendapat al-Qur’an
menghendaki Muslim agar menciptakan perdamaian jika musuh menginginkannya, dan
memasukan da>r al-s}ulh} sebagai bagian dari model perdamaian. Pakta perdamaian
bisa berbentuk permanen dan Muslim mengambil posisi netral dalam konflik-konflik
internasional (Mir dalam Shakeel, 1991: 119-122). Kaum modernis juga bekerja untuk
mendamaikan syariah dengan hukum publik internasional. Hal serupa dikemukakan
oleh Muhammad Shaltut, mantan rektor al-Azhar, bahwa syariah menekankan
perdamaian internasional dan hak yang sah untuk mempertahankan diri sesuai dengan
prinsip PBB (Peters, 1977: 66).
Abul A'la al-Mawdudi (1903-1979), seorang pemikir India dan Pakistan, adalah
penulis Islamis pertama yang memahami jihad secara sistematis. la memahami jihad
bukan sekadar perang untuk memperluas dominasi politik Islam tapi juga membangun
pemerintahan yang adil termasuk kebebasan beragama. Kehidupan politik Mawdudi
sendiri mulai dengan partisipasi dalam gerakan Khilafah, sebuah gerakan agitasi pasca
Perang Dunia I di kalangan Muslim India. Gerakan ini dengan berbagai sebab menuntut
kemerdekaan India dari Inggris Raya. Sesuai dengan pandangannya, jihad bagi
Mawdudi lebih dipahami sebagai perang pembebasan; pemerintahan Islam berarti
kebebasan dan keadilan termasuk bagi kaum non-Muslim (Mawdudi, t.th., 9-10).
Islam ingin mempergunakan seluruh kekuatan dan cara yang dapat dimanfaatkan
untuk menjadi revolusi universal dan meliputi semuanya. Islam tidak akan
menghindarkan diri dari usaha-usaha untuk meraih tujuan luhur ini. Perjuangan yang
menjangkau jauh ini terus berlanjut dengan menggunakan seluruh kekuatan dan segala
sarana yang mungkin ini disebut jihad.
Pandangan Mawdudi secara signifikan mengubah jihad, memulainya dengan
berasosiasi dengan gerakan-gerakan antikolonialisme dan pembebasan nasional yang
tidak berupaya untuk memperluas pemerintahan Islam tapi untuk membangun negara
yang merdeka secara politik -- bukan memaksa non-Muslim untuk menerima status ahl
al-dhimmi tapi untuk membuat mereka mandiri secara politik. Pendekatan al-Mawdudi
membuka jalan bagi perlawanan Arab terhadap Zionisme dan Israel sebagai jihad.
Dalam semangat ini, rektor Universitas al-Azhar pada 1973 berpendapat bahwa seluruh
bangsa Mesir termasuk mereka yang Kristen harus berpartisipasi dalam jihad
menentang Israel (Peters, 1979: 134). Arafat juga menyerukan jihad untuk
membebaskan Jerusalem.
Meskipun konsepsi jihad al-Mawdudi membuka pintu bagi interpretasi jihad yang
bersifat sekular dan nasional, ia dan para pembantunya tidak melewati jalan tersebut.
Para pemikir islamis seperti Hasan al-Banna (1906-1949) dan Sayyid Qutb (1906-1056)
mengikuti penekanan al-Mawdudi atas perannya dalam membangun pemerintahan
Islam sejati. Bagi mereka, sebagaimana pendapat lbn Taymiyah, jihad termasuk di
dalamnya upaya menyingkirkan pemerintahan yang gagal menegakkan syariah. Jihad di
sini mengasumsikan gagasan tentang revolusi. Sebelum jihad ditujukan melawan
musuh-musuh eksternal, Muslim kali pertama harus berjihad terhadap pemerintahannya
sendiri. Bila para pemimpin seperti Gamal Abdel Nasser dan Anwar Sadat bukan
Muslim sejati, mereka tidak dapat memimpin jihad bahkan untuk menentang Israel
sekalipun sebagai target jihad. Para islamis memahami mandat jihad bagi seluruh
Muslim, memahaminya sebagai kewajiban individu lebih dari sekadar kewajiban
komunal (Sivan, 1990: 16-21,114-116).
"Kewajiban yang Terabaikan", sebuah judul pamflet yang dibuat pembunuh Anwar
Sadat yang menjelaskan dan menjustifikasi penggunaan kekerasan, barangkali
merupakan ekspresi paling murnii dari perspektif islamis tentang jihad. Pembuatnya
adalah Muhammad Abd al-Salam Faraj yang telah dihukum mati karena pembunuhanpembunuhan yang dilakukannya. la berpendapat bahwa jihad sebagai tindakan
bersenjata adalah inti dari Islam, mengabaikan jihad menyebabkan posisi Islam tertekan
di dunia. Kekuatan harus digunakan karena ia dapat menghancurkan berhala-berhala.
lbrahim dan Muhammad memulai karier mereka dengan menghancurkan berhalaberhala, demikian para islamis memberi contoh. "Kewajiban yang Terabaikan"
mendefinisikan penguasa dunia Muslim saat ini sebagai murtad meskipun mereka
meyakini Islam dan mentaati hukum-hukumnya. "Kewajiban yang Terabaikan" secara
eksplisit bersifat mesianistik, yang mengatakan bahwa Muslim harus mengusahakan
setiap upaya yang mungkin untuk membawa pada tegaknya pemerintahan Islam sejati,
reformasi sistem khilafah, dan memperluas da>r al-isla>m (Jansen, 1986: 162).
Kaum revolusioner Syiah memiliki perspektif serupa. Ayatullah Khomeini (19031989) berpendapat bahwa para ahli hukum, dengan sarana jihad dan upaya menegakkan
kebaikan dan menekan kejahatan, harus menentang dan menyingkirkan para penguasa
tiran dan membangkitkan rakyat sehingga gerakan universal untuk semua membuat
Muslim dapat membangun pemerintahan Islam di wilayah regim tiranik. Ajaran Islam
yang layak akan mendorong semua penduduk untuk menjadi mujahid (Khomeini, 1981:
108, 132). Ayatullah Muhammad Muthahari, ideolog terkemuka Revolusi Iran,
memahami jihad adalah suatu konsekwensi wajib dari ajaran Islam, yang mempunyai
tujuan-tujuan politik. Islam harus memandang suci kekuatan-kekuatan bersenjata dan
menyediakan fatwa hukum untuk menjustifikasinya. Mutahhari mempertimbangkan
jihad defensif, tapi definisinya adalah bertahan terhadap penindasan dan ini
menghendaki apa yang dipahami hukum internasional sebagai perang agresif. Misalnya,
ia mengesahkan serangan atas negara politeis, bukan untuk menanamkan Islam tapi
untuk mengeliminasi kejahatan-kejahatan politeisme. Muthahari berpendapat bahwa
doktrin jihadlah yang membuat Islam superior atas Kristen, karena Kristen kurang
memiliki agenda politik dan sosial yang menjadi keharusan jihad.
Survey ini menunjukkan bahwa sementara konsep jihad masih memperoleh tempat
khusus dikalangan islamis, para pengikut lbn Taymiyah dan para pemikir Islam modern
lainnya, mengembangkan pendekatan yang berbeda terhadap masalah ini.
Jihad Non-Perang di Masa Modern
Ada dua kelompok Muslim kontemporer yang telah mengartikulasikan doktrin tentang
"jihad damai". Kaum modernis melihat konsep jihad sebagai doktrin utama dalam
agama Islam tapi ia dipandang sebagai perjuangan meliputi semua bentuk tindakan
politik dan sosial untuk menegakkan keadilan. Fazlur Rahman, sarjana Pakistan dan
profesor di Universitas Chicago, berpendapat bahwa jihad hadir untuk kepentingan
melaksanakan agenda sosial dan politik Islam. Tidak diragukan bahwa al-Qur’an
menghendaki Muslim agar membangun suatu tatanan politik di muka bumi dengan
tujuan untuk menciptakan tatanan moral-sosial yang adil dan egaliter. Jihad adalah
instrumen untuk mencapai tujuan tersebut (Rahman, 1980: 3-64). Dalam spirit ini,
Presiden Tunisia Habib Borguiba menggunakan jihad untuk menjelaskan perjuangan
demi pertumbuhan ekonomi di Tunisia, sebagaimana Lyndon Johnson berbicara tentang
"Perang melawan Kemiskinan". Dalam konteks ini jihad sama sekali tidak berimplikasi
pada kekerasan sebagaimana pergertian crusade dalam bahasa Inggris dan dunia Kristen
(Peters, 1996: 116-117).
Doktrin sufi tentang jihad besar juga masih tetap hidup. Meskipun kurang
berpengaruh daripada islamisme dalam dunia politik, ia lebih mempunyai pengaruh
pada kehidupan spiritual Muslim setidaknya di Mesir di mana seorang penulis
berpendapat bahwa sejumlah masyarakat Mesir yang aktif dalam sufisme jauh lebih
banyak daripada kaum islamis (Hoffman, 1995: 357-358). Anwar Sadat pernah menulis
untuk kali pertama tentang isu sufi di sebuah jurnal pada 1958 dan 1979, berjudul "The
Greater Jihad", di mana ia menyambut penyebaran gagasan-gagasan sufi (Jansen, 1986:
65-66, 74, 82). Berdasarkan studi lapangan di Mesir, Sudan dan Tunisia, seorang
antropolog menyebutkan jihad hanya dalam konteks puasa Ramadhan: "Berpuasa untuk
sebulan lamanya merupakan upaya menahan diri seorang Muslim…sebuah bentuk
perjuangan individu...bagian dari perjuangan batin melawan nafsu-nafsu duniawi".
Pandangan sufi tetap cukup penting sehingga seorang islamis seperti Hasan al-Banna
merasa terpaksa untuk mengulangi kritik lama terhadap konsep jihad besar (Sonn, 1990:
203). Kritik ini ditambah dengan definisi jihad sebagai perang menyebabkan sufi sering
mempergunakan istilah muja>hadah, kata yang memiliki hubungan dengan jihad besar.
Impak Jihad
Konsep jihad sebagai perjuangan moral menyentuh kehidupan keseharian banyak
Muslim, tidak hanya sufi. Jihad sebagai perang mempunyai dampak yang sempit.
Dalam banyak kasus, jihad sebagai perang memiliki konsekuensi serius. Namun ia tidak
pernah dapat memobilisir massa atau melampaui perpecahan etnik dan politik di dunia
Islam. Sedikit pemerintahan dan sedikit individu Muslim bertindak sesuai dengan
doktrin ini. Konsepsi jihad sebagai perang untuk mempertahankan da>r al-Isla>m tidak
menghasilkan perlawanan pan-lslamisme terhadap kolonialisme.
Banyak gerakan yang muncul menentang ekspansi Eropa dan pendudukannya bersifat
regional dan lokal terkait dengan pemimpin, regim tertentu atau lingkungan khusus
lainnya; jihad tidak pemah membangkitkan kesatuan dari keragaman geografis, sekte
atau politik Islam. Dalam banyak hal, jihad terhadap kolonialisme membentuk bagian
dari program reformasi dan pembaruan agama.
Upaya paling sistematis untuk memobilisir Muslim melawan Barat seperti pernah
dilakukan regim Ottoman untuk jihad melawan sekutu Asing pada 1914 gagal secara
menyeluruh. Dengan deklarasi perang, regim Ottoman secara simultan
mengumandangkan fatwa menyeru perang jihad agar setiap Muslim berpartisipasi di
dalamnya - termasuk orang-orang Muslim yang ada di Rusia, Perancis dan Inggris.
Untuk mendapatkan pengaruh yang sangat luas, fatwa dipublikasikan dalam bahasa
Arab, Urdu, Persia dan Turki. Namun fatwa tersebut tidak memberikan dampak yang
signifikan bagi Muslim dan aliansinya dan tidak pula mencegah pemberontakan Arab
terhadap penguasa Muslim (Peters, 1979: 90-94).
Seruan jihad sering mengalami kemandulan. Seruan jihad menentang Israel
misalnya, tidak mengatasi perpecahan di kalangan penentang Israel atau menghasilkan
mobilisasi efektif terhadap kemampuan mereka untuk menentang Israel. Seruan Saddam
Husain untuk jihad melawan Amerika yang menjadi bagian dari upaya menyeluruh
untuk mengislamisasi citra pemerintahan sekularnya, memang bergaung di kalangan
islamis tapi mereka tidak berdampak pada upaya mengatasi krisis. Hal serupa berlaku
bagi pemimpin Iran Ayatullah Ali Khomeini yang menyerukan perang atas kekuatan AS
sebagai jihad.
Bahkan di Afghanistan di mana para mujahidin melakukan perlawanan keras,
gagasan jihad juga secara mengejutkan hanya mempunyai sedikit pengaruh.
Afghanistan memang berhasil memperoleh dukungan banyak dunia Islam, tapi hanya
tiga negara - Saudi Arabia, Iran dan Pakistan yang benar-benar mengalokasikan
sumberdaya yang signifikan bagi para mujahidin. Konsep jihad gagal mempersatukan
perlawanan Afghanistan yang tetap terpecah belah oleh perbedaan politik, etnik, sosial
dan ideologi. Belakangan bahkan perang Afghanistan-Amerika menampakkan friksi
antara regim berkuasa dengan aliansi utara sebagai akibat dari perang saudara di antara
mereka sendiri pasca terusirnya Uni Soviet dan berdirinya pemerintahan baru (Taliban).
Jadi, konsep jihad memberi pengaruh kecil dalam hal ini.
Kebanyakan Muslim tidak melihat jihad perang sebagai kewajiban aktif, apakah
terhadap individu Muslim ataupun komunitasnya secara menyeluruh. Reinhold Loeffler,
yang bekerja di sebuah desa suku di Iran Selatan, menemukan kritik keras terhadap
konsepsi jihad menurut Republik Islam Iran. Seorang informan mengatakan: "Para
pemuda yang kurang terlatih secara militer pergi ke medan perang dan mereka terbunuh
secara sia-sia. Saya tidak percaya bahwa mereka adalah martir yang akan memperoleh
surga". Informan lainnya yang tidak sepakat dengan seruan Khomeini berkaitan dengan
sikap terhadap Imam Husain mengatakan: "Sebelum pertempurannya yang terakhir,
Imam Husain membebaskan para pengikutnya dari kewajiban jihad sehingga mereka
dapat menyelamatkan jiwa mereka. Khomeini bagaimanapun tidak bisa dipandang
sebagai orang saleh karena telah menghantarkan rakyatnya menuju kematian". Seorang
ayah berkata pada anaknya: "Anakku, sekarang katakanlah padaku tentang Islam sejati.
Mereka yang berjuang dalam perang suci dan terbunuh karenanya, katanya. Saya
katakan padanya bahwa tidak ada perang suci ketika Imam terakhir sudah tiada"
(Loeffler, 1988: 229, 235, 237). Bukti anekdot ini menyimpulkan bahwa seruan
Republik Islam Iran atas jihad bertemu dengan emosi yang campur-baur, bukan
antusiasme universal.
Mujahid Teror vs Mujahid Damai
Memaknai jihad dalam sifatnyanya yang ambivalen, membawa kita untuk membedakan
dua bentuk jihad, jihad teror dan jihad damai, mujahid teror dan mujahid damai. Di sini
perlu dijelaskan mengapa istilah “mujahid teror”, yakni orang yang menggunakan
kekerasan untuk mensucikan komunitas dan memerangi kelompok luar, dipilih. Dan
mengapa istilah itu dipakai untuk “aktor agama” daripada aktor lainnya. Misalnya,
mujahid teror memandang kekerasan fisik terhadap musuh sebagai tugas suci,
sedangkan mujahid damai (peacemaker, peacebuilder, peacekeeper) berusaha
mensublimasi kekerasan, menentang upaya untuk melegitimasi kekerasan atas dasar
agama. Mujahid teror maupun mujahid damai sama-sama merupakan kaum militan. Dua
tipe militan ini sama-sama mengorbankan diri demi tugas suci. Keduanya radikal dalam
arti mengakar dan memperbarui kebenaran-kebenaran fundamental tradisi agamanya.
Dengan demikian, dua tipe militan ini membedakan diri dari orang-orang yang tidak
dimotivasi oleh komitmen keagamaan. Mujahid damai menolak kekerasan sebagai
ekstrem yang dapat diterima dan membatasi perang terhadap para penindas dan
ketidakadilan dengan cara-cara nirpaksaan. Mujahid teror memandang kekerasan
sebagai hak prerogatif agama bahkan imperatif spiritual dalam mencari keadilan.
Untuk itu redefinisi dibutuhkan di sini. Menurut penulis, “mujahid teror” adalah
istilah yang tepat bagi orang yang “terlibat dalam perang”, atau “organisasi sosial” yang
mempergunakan perang dan atau kekerasan sebagai sarana yang efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, sangat berbeda dengan “mujahid damai”
meskipun sama-sama terlibat dalam perang. Para mujahid damai yang nirkekerasan
cenderung menspiritualisasikan kisah-kisah perang dan mentrasendensikan idealidealnya sesuai dengan visi perdamaian dan rekonsiliasi. Dalam Islam dijumpai tokoh
mujahid damai Khan Abdul Ghaffar Khan yang memimpin kaum Pathan dalam protes
nirkekerasan melawan pasukan Inggris. Dalam tradisi Budha dan Hindu, perang
spiritual menekankan disiplin agama melalui berbagai praktik ekstrem, seperti berpuasa,
selibat, ibadah dan meditasi, melawan nafsu, dan mempergunakan kekerasan fisik
sepanjang untuk mempertahankan diri. Karena itu, tantangan bagi mujahid damai adalah
mempertahankan budaya agama yang menolak kekerasan sebagai alat menumpahkan
kekecewaan, keluhan, mempertahankan hak-hak minoritas yang tertindas.
Memperlakukan orang seolah-olah lebih rendah dari makhluk Tuhan, menindas mereka,
dan menginjak-injak martabat mereka, bukan hanya sebuah kejahatan bahkan
merupakan penghinaan dan meludah di wajah Tuhan.
Menentang kejahatan, ketidakadilan dengan kesabaran (systematic effort) adalah
tanda mujahid damai. Mereka berjuang menegakkan hukum dan kondisi sosial yang
selaras dengan martabat kemanusiaan. Mujahid damai tidak punya pilihan, dalam
menghadapi ketidakadilan dan penindasan, mereka berdiri di hadapan Tuhan untuk
menjadi penentang abadi. Pelanggaran atas hak-hak Tuhan harus dikutuk, dan semua
orang yang berkehendak baik harus terlibat dalam memegang dan memelihara hak-hak
tersebut sebagai tugas suci. Karena itu pula, keyakinan ini harus membangkitkan para
pengikut agama-agama untuk menjadi pelindung hak-hak individu. Para mujahid damai
demi martabat manusia bisa menentang kejahatan dengan kekerasan, tetapi kekerasan
dengan batasan-batasan yang sangat ketat, daripada menggunakannya atas nama
keistimewaan takwa dan sebagai sarana suci untuk mencapai tujuan politik. Mujahid
damai yang religius mempergunakan “kekerasan” bukan dengan cara-cara otoriter dan
destruktif. Secara empatik, gentle, dan bertanggung jawab, mereka menjadi bagian dari
makhluk Tuhan yang sejati, dan menyatakan potensinya untuk kebaikan semua demi
harmoni dan kesatuan yang merupakan niat Tuhan dalam mencipta seluruh makhluk.
Perbedaan nyata antara istilah “mujahid teror” dan “mujahid damai” yang banyak
terungkap dalam militansi agama ini, tidak hanya ditemukan dalam penggunaan
kekerasan, bahkan dalam sikap para aktor agama terhadap kekerasan dan pemahaman
mereka tentang peran agama dalam konflik. Mujahid damai yang religius setia pada
gencatan senjata/kekerasan dan resolusi konflik. Rekonsiliasi dan koeksistensi damai
dengan musuh adalah tujuan utama. Sebaliknya, mujahid teror setia pada kemenangan
atas musuh, apakah dengan cara bertahap atau kekerasan langsung dan terus-menerus.
Dengan demikian, kita tidak mengakui agama atau militansi agama per se sebagai
sumber konflik berdarah. Problemnya adalah ekstremisme. Mujahid damai yang
nirkekerasan lebih berpengaruh daripada mujahid teror (ekstremisme agama). Mujahid
damai mencoba dengan biaya besar untuk menghindar dari kekerasan fisik. Dan yang
terpenting adalah mencari dan mengupayakan rekonsiliasi dengan musuh sebagai
bagian integral dari tindakan menentang. Jelas bahwa mujahid damai tidak kurang
gairahnya, tidak kurang radikalnya dari mujahid teror.
Penutup
Muslim kini setidaknya dapat memaknai banyak hal tentang jihad. Para fuqaha klasik
memahami jihad sebagai perang yang terikat oleh syarat-syarat tertentu; lbn Taymiyah
memahaminya sebagai pemberontakan atas penguasa yang zalim; sufi memahaminya
sebagai perjuangan moral; dan paham kaum modernis memaknainya sebagai reformasi
sosial dan politik. Ketidaksepakatan di kalangan Muslim tentang interpretasi jihad
adalah sejati dan berurat berakar dalam pemikiran Muslim yang plural. Dominasi jihad
sebagai perang dalam Islam tidak berarti bahwa Muslim saat ini harus memandang jihad
sebagaimana pandangan para fuqaha satu millenium yang lalu. Teks-teks klasik tidak
berbicara untuk Muslim dewasa ini. Seorang non-Muslim juga tidak dapat
menyimpulkan bahwa jihad selalu bermakna kekerasan atau bahwa semua Muslim
percaya bahwa jihad adalah perang. Sebaliknya, perbedaan pendapat tentang makna
jihad memperbolehkan adanya kekurangan. Seorang Muslim dapat secara terus terang
mengabaikan jihad sebagai perang, tapi ia tidak dapat menolak eksistensi konsep ini.
Istilah jihad bisa menyebabkan sedikit kebingungan karena konteks hampir selalu
menunjukkan apa yang dimaksudkan si pembicara. Variasi interpretasi sedemikian
beragam dalam tradisi intelektual Islam sehingga penggunaan jihad bisa bermakna
ganda.
Daftar Pustaka
Ali, Maulavi Vheragh. A Critical Exposition of the Popular Jihad. Delhi: Idareh-i
Adabiyyat-i Delhi, 1984.
Arazi, Albert and `Amikam El`ad,”L’Epitre a l’Armee”, Studia Islamica 66 (1987).
Bukhari, Muhammad bin Ismail. S}ah}i>h} Bukha>ri>. Medina: Da>r al-Fikr, 1981.
Donner, Fred M,”The Sources of Islamic Conception of War”, in John Kelsay and
James Turner Johnson (Eds.). Just War and Jihad: Historical and Theoretical
Perspectiveson War and Peace in Western and Islamic Tradition. New York:
Greenwood Press, 1991.
Hoffman, Valerie J. Sufism, Mystics and Saints in Modern Egypt. Columbia: University
of South Carolina Press, 1995.
Hujwiri, `Ali ibn `Uthman. The Kahsf al-Mahjub. Transl. Reynold A. Nicholson.
London: Luzac, 1911.
Jansen, Johannes J.G. The Neglected Duty: The Creed of Sadat’s Assasins and Islamic
Resurgence in the Middle East. New York: Macmillan, 1986.
Laoust, Henri. Essai sur les Doctries Sociales et Politique de Taki al-Din Ahmad Ibn
Taymiya. Cairo: Impriere de l’Institute Francais d’Archeologie Oriental, 1939.
Lewis, Bernard. The Political Language of Islam. Chicago: University of Chicago
Press, 1988.
Loeffler, Reinhold. Islam in Practice: Religious Beliefs in a Persian Village. Albany:
State University of New York Press, 1988.
Khomeini, Ruhullah. Islamic Government. Berkeley: Mizan Press, 1981.
Mawdudi, Abul A`la. Al-Jiha>d fi> Sabi>l Alla>h. Gujranwala: Da>r al-`Aruba>t li
Da`wah al-Isla>miyyah, N.A.
Mir, Mustansir,”Jihad in Islam”, in Hadia Dajami Shakeel and Ronald A. Messier
(Eds.). The Jihad and Its Enemies. Michigan: University of Michigan Center for
Near Eastern and North African Studies, 1991.
Peters, Rudolph. Jihad in Medieval and Modern Islam. Leiden: E.J. Brill, 1977.
_______. Jihad and Colonialism: the Doctrine of Jihad in the Modern History. The
Hague: Mouton, 1979.
Rahman, Fazlur. The Major Themes of the Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica,
1980.
Renard, John,”al-Jihad al-Akbar,” Muslim World 78 (1988):225-242.
Sivan, Emmanuel. Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics. New
Haven: Yale University Press, 1990.
Sonn, Tamara,”Irregular Warfare and Terrorism in Islam: Asking the Right Question,”
in John Kelsay and James Turner Johnson (Eds.). Cross Crescent and Sword: The
Justification and Limitation of War in Western and Islamic Tradition. Wesport:
Greenwood Press, 1990: pp. 129-147.
Download