BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Stroke adalah suatu sindrom klinis yang berkembang cepat dengan gejala berupa gangguan fungsi otak, baik secara fokal maupun global (pada kasus koma), yang dapat menimbulkan kelainan yang menetap selama lebih dari 24 jam bahkan kematian, dan dikarenakan oleh gangguan vaskuler (WHO, 1986). Stroke merupakan masalah bagi negara maju maupun berkembang. American Heart Association melaporkan bahwa setiap tahun, kurang lebih terdapat 795.000 kasus, dengan rincian sekitar 610.000 kasus merupakan serangan baru dan 185.000 kasus merupakan serangan berulang (Roger et al. 2012). Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per 1000 dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau dengan gejala sebesar 12,1 per 1000. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 10,3 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau dengan gejala sebesar 16,9 per mil (Badan Litbangkes, 2013). Angka mortalitas dan disabilitas karena stroke juga tinggi. American Heart Association melaporkan bahwa satu dari 18 kematian di Amerika terjadi karena stroke (Roger et al. 2012). Sedangkan di Indonesia, dari semua kasus stroke dilaporkan bahwa kecacatan pada 1,6% kasus tidak memburuk seiring waktu, sedangkan 4,3% kasus mengalami perburukan (Soertidewi, 1998). Data yang lebih baru menyebutkan bahwa 15,4% kematian di Indonesia disebabkan karena 1 2 stroke (Kusuma, 2009). Kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan terus meningkat, mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030 (Kementerian Kesehatan, 2014). Stroke harus didiagnosis dan ditangani dengan cepat agar mendapatkan luaran klinis yang baik. Prinsip dasar diagnosis stroke pun telah diketahui dengan jelas. Namun, penelusuran faktor risiko selama ini belum dijadikan pedoman standar dalam pencegahan stroke selanjutnya. Maka dari itu, penelusuran risiko pada pasien stroke harus diperhatikan (Pokdi Stroke PERDOSSI, 2011). Salah satu penyakit yang sering disebut sebagai faktor risiko stroke adalah gagal jantung ketidakmampuan (Appelros, 2006). jantung menyuplai Gagal darah jantung untuk didefinisikan memenuhi sebagai kebutuhan metabolisme (Haeusler et al. 2011). Sedangkan gagal jantung kongestif merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gagal jantung akut maupun kronik dengan bukti kongesti, misal retensi air dan natrium (McMurray et al., 2012). Di negara maju, diperkirakan 1-2% populasi dewasa mengalami gagal jantung, dan prevelansinya terus meningkat seiring waktu. Bahkan, diperkirakan 1 dari 10 orang berusia lebih dari 80 tahun mengalami gagal jantung kongestif. Insidensinya pun meningkat pada populasi yang lebih muda, yakni 1 dari 5 orang yang berusia lebih dari 40 tahun mengalami gagal jantung kongestif. Selain itu, gagal jantung merupakan penyakit yang paling sering membutuhkan rawat inap pada pasien di atas 65 tahun (Dickstein, 2002). AHA Statistical Update (2011) 3 juga menyebutkan bahwa pada tahun 2008 satu dari 9 kematian di Amerika Serikat terjadi karena gagal jantung. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, prevalensi gagal jantung di Indonesia pun semakin meningkat. Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13 persen, dan yang terdiagnosis atau dengan gejala sebesar 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (0,25%), disusul Jawa Timur (0,19%), dan Jawa Tengah (0,18%). Sedangkan prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur (0,8%), diikuti Sulawesi Tengah (0,7%), dan Sulawesi Selatan serta Papua (0,5%). Penelitian oleh Cuadrado-godia et al. (2010), yang berjudul Heart Failure in Acute Stroke Ischemic berkesimpulan bahwa gagal jantung berkaitan dengan risiko terkena stroke iskemik yang lebih tinggi, terutama pada pasien dengan fraksi ejeksi yang rendah. Selain itu, stroke juga meningkatkan keparahan, risiko rekurensi, dan kematian pasien gagal jantung. Penyakit tidak menular, termasuk stroke dan gagal jantung, menciptakan beban ekonomi cukup tinggi, baik bagi individu maupun negara. Pada tahun 2012, penggunaan Jamkesmas paling banyak oleh pasien penyakit jantung, dengan total biaya yang dikeluarkan untuk rawat jalan tingkat lanjut penyakit jantung sebesar Rp. 3.264.033.343,00, dan untuk rawat inap tingkat lanjut sebesar Rp. 22.995.073.768,00 (Kementerian Kesehatan RI, 2014). 4 B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat disimpulkan beberapa masalah, yaitu: 1) Stroke merupakan masalah kesehatan bagi negara maju maupun berkembang, dengan prevalensi dan insidensi yang cenderung meningkat, serta angka mortalitas dan morbiditasnya masih tinggi. 2) Prevalensi dan insidensi gagal jantung juga meningkat. Beban klinis dan finasialnya pun tinggi. 3) Banyaknya kasus stroke iskemik dengan atau dengan riwayat gagal jantung menyebabkan gagal jantung sering dikaitkan dengan perburukan luaran klinis stroke iskemik akut, namun penelitiannya masih kurang. A. PERTANYAAN PENELITIAN Apakah terdapat hubungan antara gagal jantung kongestif dengan perburukan luaran klinis pasien stroke iskemik akut? D. TUJUAN PENELITIAN Mengetahui hubungan antara gagal jantung kongestif dengan perburukan luaran klinis pasien stroke iskemik akut. A. MANFAAT PENELITIAN 1) Untuk bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan klinis pasien stroke iskemik akut dengan atau dengan riwayat gagal jantung kongestif. 2) Memberikan tambahan data bagi institusi kesehatan tentang hubungan gagal jantung kongestif dengan perburukan luaran klinis pasien stroke iskemik akut. 5 3) Sebagai bahan untuk peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut. 4) Memberikan kontribusi bagi kemajuan ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu saraf pada khususnya mengenai stroke. F. KEASLIAN PENELITIAN Sejauh ini di Indonesia, terutama di Yogyakarta, belum ada penelitian yang melihat hubungan antara gagal jantung kongestif dengan luaran klinis pasien stroke iskemik akut, namun pernah dilakukan beberapa penelitian di dunia yang berhubungan, antara lain: 1) Palumbo et al. (2012), memublikasikan penelitiannya yang berjudul The coexistence of heart failure predicts short term mortality, but not disability, in patients with acute ischemic stroke treated with thrombolysis: The Florence area Registry. Outcome yang diukur adalah kematian, sedangkan outcome penelitian yang akan penulis lakukan adalah tingkat defisit neurologis yang diukur menggunakan Skala Stroke Gadjah Mada. 2) Penelitian oleh Abdul-Rahim et al. (2015) yang berjudul Risk of Stroke in Chronic Heart Failure Patients without Atrial Fibrilation mendeskripsikan insidensi dan prediktor stroke pada pasien gagal jantung tanpa atrial fibrilasi. Penelitian ini merupakan sebuah analisis yang menggunakan data dari dua penelitian lain, yang keduanya merupakan penelitian randomized, doubleblind, placebo-controlled, multicenter trial. 3) Abdul-Rahim et al. (2015), juga memublikasikan penelitan lainnya yang berjudul Associations of Chronic Heart Failure with Outcome in Acute Ischaemic Stroke Patients who received Systemic Thrombolysis: Analysis 6 from VISTA. Penelitian ini merupakan sebuah analisis kohort nonrandomized yang hasilnya bahwa kejadian gagal jantung kronik dapat memperburuk luaran klinis pasien stroke iskemik akut yang tidak diberi trombolisis sistemik, sedangkan pasien dengan treatment trombolisis sistemik menunjukkan hasil yang lebih baik. Penelitian ini menggunakan skala Modified Rankin Scale (mRS) dan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS), sedangkan penelitian ini akan menggunakan Skala Stroke Gadjah Mada (SSGM). 4) Lip et al. (2012) memublikasikan penelitiannya yang berjudul Stroke and Mortality in Patients with Incident Heart Failure: the Diet, Cancer and Health (DCH) Cohort Study. Penelitian ini mengukur tingkat kejadian stroke dan kematian pada probandus penelitian tentang diet, gaya hidup, dan kanker yang mengalami gagal jantung. Penelitian ini menggunakan metode kohort prospektif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa insidensi gagal jantung merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke, baik stroke iskemik maupun stroke hemoragik.