1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan pesisir (Kiswara, 1999). Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan laut yang paling produktif dan penting. Peranan padang lamun diperairan laut dangkal telah banyak diketahui. Lamun merupakan sumber utama detritus, memberikan peranan sebagai habitat penting untuk ikan, terutama ikan muda yang diantaranya bernilai ekonomis penting, dan membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus sepanjang pantai (Kiswara, 1995). Di sisi lain, lamun juga peka dan terancam dari berbagai aktivitas manusia seperti reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, pembuatan jeti, pemukiman penduduk, limbah industri, dan tidak stabilnya garis pantai (Supriyadi, 2008). Peranan padang lamun begitu besar namun informasi mengenai ekosistem padang lamun di perairan Indonesia masih sedikit sehingga lamun kurang diperhatikan keberadaannya. Luas total padang lamun di Indonesia semula diperkirakan 30.000 km2, tetapi diperkirakan kini telah menyusut sebanyak 30 – 40 % akibat aktifitas manusia (Nontji, 2009). Di pesisir Teluk Banten kerusakan dan hilangnya padang lamun mencapai 50 ha atau sekitar 35% dari luasan lamun yang ada akibat perataan bukit dan pembuatan pelabuhan (Kiswara, 1995). Pengamatan yang dilakukan oleh Kiswara (1999) di Pulau Pari menunjukkan bahwa kerusakan pada lamun disebabkan oleh perputaran air akibat pergerakan perahu nelayan. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan luasan padang lamun pada daerah tersebut sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui 1 2 kondisi padang lamun saat ini. Perubahan ini dapat dipantau secara kontinyu dengan menggunakan teknologi Penginderaan Jarak Jauh. Data penginderaan jauh mampu menghasilkan informasi objektif dan berguna untuk memonitor wilayah pesisir laut yang luas. Penggunaan penginderaan jarak jauh untuk studi pemetaan lamun mempunyai banyak kelebihan, jika dibandingkan dengan cara konvensional menggunakan metode survei ‘in situ’ misalnya dapat menghasilkan informasi secara luas dan relatif lebih murah dan dapat menjangkau daerah yang sulit didatangi manusia. Penelitian mengenai pemetaan dan monitoring ekosistem perairan dangkal (karang, mangrove dan lamun) telah banyak dilakukan dengan menggunakan citra satelit. Namun di Indonesia sendiri pemetaan lamun menggunakan data citra satelit masih jarang dilakukan, baru beberapa daerah misalnya pemetaan lamun di pesisir timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau (Kuriandewa dan Supriyadi, 2005), Teluk Kotania dan Pelitajaya, Seram Barat, Maluku (Supriyadi, 2009), Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur (Supriyadi dan Kuriandewa, 2008), dan Lembeh-Bitung, Sulawesi Utara (Supriyadi, 2008); Klasifikasi multispektral dalam pemetaan kondisi lamun di pesisir Pulau Pari menggunakan citra satelit Advanced Land Observing Satellite (ALOS) yang memiliki resolusi spasial 10 m. Pemetaan lamun dengan menggunakan penginderaan jarak jauh, jika digabungkan dengan data insitu lamun seperti persentase penutupan lamun, jumlah jenis dan biomasa lamun pada setiap titik stasiun maka akan diperoleh informasi mengenai kondisi lamun di titik stasiun sehingga akan sangat bermanfaat untuk dijadikan data dasar untuk mengukur perubahan padang lamun di masa yang akan datang. 3 1.2. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah memetakan sebaran lamun di perairan Pulau Pari dengan menggunakan citra satelit ALOS dan melakukan pengamatan kondisi lamun berdasarkan persentase penutupan, jumlah jenis, dan biomasa lamun.