1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu patogen yang menyebabkan tingkat mortalitas yang tinggi dalam budidaya udang windu (Penaeus monodon Fabricius, 1798) adalah White spot syndrome virus (WSSV). Menurut Reddy et al (2013), WSSV tercatat mampu menyebabkan kegagalan panen dengan tingkat morbiditas dan mortalitas P. monodon hingga mencapai 100%. WSSV merupakan virus DNA untai ganda yang tergolong ke dalam genus Whispovirus dan famili Nimaviridae (Tonganunt, et al., 2009). WSSV dapat ditandai dengan munculnya lesi berupa bintik putih pada bagian dalam karapas P. monodon akibat penyimpangan metabolisme kalsium yang menggumpal pada lapisan kutikula udang (Alifuddin et al., 2003; Reddy et al., 2013). Infeksi WSSV dapat menyebabkan kematian dalam jangka waktu pendek, yaitu tiga hingga sepuluh sehari (Jeswin et al., 2013). Karena udang memiliki sistem ketahanan tubuh yang sangat sederhana, penanganan terhadap infeksi virus yang selama ini telah dilakukan adalah pemberian imunostimulan melalui pakan dan injeksi dsRNA untuk gene silencing (Antony et al., 2011; Bartholomay et al., 2012; Saksmerporme et al., 2009; Wang et al., 2014). Pemberian imunostimulan cenderung mahal dan beresiko bersifat toksik bagi inang (Antony, et al., 2011), sedangkan injeksi dsRNA hanya dapat menginduksi gene silencing secara efektif dalam kurun waktu beberapa minggu (Labreuche et al., 2012). Belum adanya solusi tepat guna menghadapi serangan WSSV menunjukkan pentingnya dilakukan persilangan antar induk alam dari 1 2 tempat yang berbeda untuk mendapatkan variasi genetik yang tinggi. Melalui variasi genetik yang tinggi maka akan diperoleh sifat resistensi terhadap penyakit (Luo et al., 2014; Prastowo et al., 2008). Keberhasilan program selective breeding ditunjukkan dengan peningkatan produktivitas dan resistensi terhadap WSSV yang stabil pada udang putih (Litopenaeus vannamei) di Panama (CuellarAnjel et al., 2012). Chakrabarty et al. (2014) melaporkan bahwa jumlah populasi lokal P. monodon di India yang menunjukkan resistensi terhadap WSSV mencapai 59, 5%. Moss et al (2012) juga menyatakan bahwa tingkat ketahanan hidup L. vannamei meningkat 24-37% setelah selective breeding terhadap induk yang menunjukkan resistensi setelah diinfeksi dengan Taura syndrome virus (TSV). Penyebaran keragaman genetik P. monodon di Indonesia sendiri meliputi sejumlah populasi lokal, yaitu populasi Aceh, Cilacap, Madura, Bali, Tarakan, Sumbawa, Sulawesi Selatan, Pangandaran, dan Timika (Prastowo et al., 2008; Ramandey, 2013). Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara telah melakukan persilangan terhadap populasi Aceh dan Pangandaran selama tujuh generasi, hingga mencapai populasi G7, dengan tujuan domestikasi pada lingkungan budidaya (BBPBAP Jepara, 2014). Populasi G7 ini kemudian disilangkan secara selektif dengan sesamanya menghasilkan G8 dan disilangkan dengan populasi induk alam (wild type) asal Aceh menghasilkan G7-Aceh. Persilangan selektif pada budidaya udang semacam ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan variasi genetik untuk pengembangan kualitas komersial 3 indukan P. monodon; salah satunya adalah sifat resistensi terhadap WSSV (Klinbunga et al., 2010). Secara umum, seleksi untuk mendapatkan populasi dengan sifat resisten terhadap penyakit dilakukan melalui uji tantang yang memaparkan udang uji pada virus kemudian mengukur tingkat sintasannya pada jangka waktu tertentu (Prior et al., 2003). Tingkat sintasan saja tidak cukup menjadi parameter seleksi populasi mengingat kerentanan terhadap infeksi patogen, dalam hubungannya dengan parameter untuk mengetahui tingkat resistensi terhadap penyakit, terkait erat dengan sistem imun yang dimiliki oleh organisme (Liu et al., 2014; Moss et al., 2005; Westcott et al., 2008). Crustacea sebagai salah satu invertebrata tidak memiliki immunoglobulin ataupun antibodi yang merupakan komponen kekebalan adaptif. Hewan ini sepenuhnya bergantung pada sistem kekebalan alami yang merupakan kemampuan bawaan (innate) yang diperoleh secara genetis untuk bertahan dan melindungi diri dari berbagai infeksi patogen (Ghosh et al., 2011; Moss et al., 2005). Respon kekebalan alami secara molekular berhubungan dengan tingkat transkripsi gen dan ekspresi protein modulator yang mengenali patogen (Bachere, 2000; Musthaq & Kwang, 2014). Hasil transkrip gen yang terekspresi lebih tinggi saat infeksi patogen memiliki peran yang potensial dalam kekebalan humoral dan seluler pada sistem kekebalan alami Crustacea (Goncalves-Soares et al., 2012; Jeswin et al., 2013; Luo et al., 2003; Tassanakajon et al., 2013). Terkait dengan ekspresi gen yang terinduksi saat terjadi infeksi patogen, penelitian Vatanavicharn et al (2014) berhasil menunjukkan bahwa terdapat gen 4 yang mengkode protein yang bersifat responsif terhadap infeksi WSSV pada hemosit P. monodon (viral responsive protein atau VRP) yang kemudian disebut dengan PmVRP15. Vatanavicharn et al (2014) juga melaporkan bahwa transkrip gen PmVRP15 mengalami peningkatan ekspresi (up-regulation) tertinggi pada fase akut WSSV, yaitu pada 48 jam setelah infeksi. Li et al (2014) dan Liu et al (2014) juga menyatakan bahwa tahap akhir fase akut saat terjadi fase logaritmik replikasi virus WSSV terjadi pada 24-48 jam setelah infeksi. Protein PmVRP15 terdeteksi ada di sekitar membran inti sel di sitoplasma hemosit P. monodon yang terinfeksi WSSV. Ketika dilakukan knockdown pada gen PmVRP15, angka kematian kumulatif pada P. monodon menurun hingga 50% (Vatanavicharn et al., 2014). Knock-down pada gen PmVRP15 tersebut juga menyebabkan menurunnya ekspresi gen-gen WSSV yang terlibat pada fase infeksi awal. Protein PmVRP15 kemudian diduga kuat berfungsi sebagai media propagasi virus pada fase akut WSSV (Vatanavicharn et al., 2014). Penelitian Vatanavicharn et al (2014) tersebut kemudian menjadi tolok ukur pentingnya mengetahui tingkat ekspresi gen PmVRP15 dalam kaitannya dengan pertahanan diri selama infeksi WSSV, yaitu terhadap populasi G8 dan G7-Aceh yang merupakan hasil persilangan selektif yang terdapat di BBPBAP Jepara. Perbandingan tingkat ekspresi gen PmVRP15 antar populasi diharapkan dapat menjadi salah satu penanda untuk menentukan populasi yang paling resisten terhadap infeksi WSSV, sehingga didapatkan populasi unggulan dengan resistensi terhadap WSSV sebagai calon induk P. monodon yang akan digunakan pada generasi selanjutnya. 5 1.2 Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat resistensi populasi G8 dan G7-Aceh hasil persilangan selektif terhadap infeksi WSSV? 2. Bagaimana tingkat ekspresi gen PmVRP15 pada populasi G8 dan G7-Aceh terhadap infeksi WSSV? 3. Bagaimana hubungan antara tingkat ekspresi gen PmVRP15 dan resistensi populasi G8 dan G7-Aceh terhadap infeksi WSSV? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menentukan populasi P. monodon hasil persilangan selektif yang resisten terhadap WSSV. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis tingkat resistensi populasi G8 dan G7-Aceh terhadap infeksi WSSV 2. Menganalisis tingkat ekspresi gen PmVRP15 pada populasi G8 dan G7-Aceh terhadap infeksi WSSV 3. Menganalisis hubungan antara tingkat ekspresi gen PmVRP15 dan resistensi pada populasi G8 dan G7-Aceh terhadap infeksi WSSV 6 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelilitian diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai ekspresi gen PmVRP15 pada P. monodon hasil persilangan selektif (selective breeding) terkait dengan resistensi terhadap WSSV. Informasi mengenai ekspresi gen tersebut juga dapat digunakan untuk memahami mekanisme respon imun invertebrata terhadap infeksi virus dan patogen lain. Pada tingkat komersiil, ekspresi gen PmVRP15 diharapkan dapat menjadi parameter untuk menentukan populasi hasil persilangan P. monodon yang resisten terhadap infeksi WSSV, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan populasi unggulan sebagai broodstock. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penaeus monodon hasil persilangan yang digunakan dalam penelitian dibatasi pada dua populasi yang terdapat di tambak National Shrimp Broodstock Center (NSBC) di BBPBAP Jepara, yaitu: 1) G8 (hasil persilangan inbreeding sesama G7 hasil domestikasi); dan 2) hasil persilangan antara induk betina dari populasi G7 dan induk alam jantan dari Aceh (outbreeding), yang kemudian disebut G7-Aceh. Tingkat ekspresi gen PmVRP15 antar tiap populasi P. monodon dikuantifikasi secara relatif melalui real time PCR (qPCR) dengan metode comparative threshold cycle (CT).