perilaku beragama usia lanjut - Jurnal Penelitian Medan Agama

advertisement
PERILAKU BERAGAMA USIA LANJUT
Fauziah Nasution
Kata kunci : Beragama, Usia Lanjut
Manusia dalam menjalani kehidupannya mengalami dua macam perkembangan, yaitu
perkembangan fisik dan perkembangan psikis. Menurut Jalaluddin (2002), perkembangan fisik
diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan fisik yang dicapai manusia disebut
kedewasaan. Sebaliknya perkembangan psikis diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas).
Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan psikis disebut dengan istilah kematangan
(maturity).
Secara umum dapat dikatakan, seseorang disebut tidak matang (immaturity) bila melewati
perjalanan usia yang panjang tanpa menghasilkan pengalaman yang menjadikannya mengalami
perkembangan pribadi. Sebaliknya orang yang usia kronologisnya tergolong dini namun penuh
dengan akumulasi pengalaman dan pelajaran yang diolah dengan seksama dapat menjadi lebih
matang daripada orang-orang lain yang seusia atau lebih tua darinya.
Salah satu bentuk kematangan adalah dalam hal beragama. Beragama dalam diri manusia
merupakan fitrah yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan “suci” yang diilhami
oleh Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah manusia mempunyai sifat suci, yang dengan nalurinya secara
terbuka menerima kehadiran Tuhan Yang Maha Suci.
Beragama dalam kehidupan manusia harus dapat berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang
memuat norma-norma tertentu agar dapat menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan
bertingkah laku sejalan dengan ajaran agama yang dianutnya. Sistem nilai tersebut berpengaruh
terhadap kehidupan individu karena nilai dalam realitasnya memiliki pengaruh dalam mengatur
pola tingkah laku, pola pikir, dan pola bersikap. Jika sistem nilai didasarkan pada agama tentu
akan dapat memberi individu dan masyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan
pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat. Oleh karena itu, individu yang
memiliki keberagamaan yang matang akan terikat pada ketentuan mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dilakukan menurut ajaran agama yang dianutnya.
Mengacu pada pandangan tersebut, agama menjadi salah satu faktor utama dalam
pembentukan kepribadian manusia Indonesia dan seyogyanya harus dipahami dan diamalkan
dengan cara yang lebih baik. Melalui pembangunan manusia beragama yang terpadu dengan
pembangunan di bidang-bidang lain, diharapkan dapat terwujud manusia Indonesia yang sehat
jasmani-rohani, serta tercukupi kebutuhan material-spiritual, sehingga bangsa Indonesia dapat
tumbuh dan berkembang sejajar dengan bangsa lain yang telah maju.
Sebagai bagian integral dari pembangunan manusia indonesia, pembentukan kepribadian
yang memiliki kematangan dalam beragama selama ini belum dapat memberikan hasil
sebagaimana yang diharapkan. Semaraknya kehidupan beragama belum diikuti dengan perilaku
yang sesuai dengan ajaran agama dan norma yang berlaku di masyarakat. Orang berlomba-lomba
menunaikan ibadah haji, ibadah kurban, dan ibadah puasa, sementara kebiasaan berdusta dan
hipokrit (munafik) yang merupakan pangkal dari segala amoralitas seperti praktik korupsi, kolusi,
nepotisme, dan ingin menang sendiri, tetap masih menjadi kegemaran (Pikiran Rakyat, 19
September 2007).
Permasalahan rendahnya perilaku keberagamaan serta perilaku yang menyimpang dari
nilai-nilai ajaran agama sebagaimana dijelaskan di atas ternyata juga menjadi fenomena yang masih
sering terjadi pada individu usia lanjut. Nilai-nilai ajaran agama masih belum mengendalikan diri
para usia lanjut sepenuhnya. Kehidupan dan pergaulan di masyarakat masih lebih dipengaruhi
atau dikendalikan oleh dorongan ataupun ambisi pribadi, belum mengarah kepada tujuan yang
sesuai dengan motivasi keagamaan yang tinggi. Berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilainilai dan norma-norma ajaran agama seperti diuraikan di atas menunjukkan masih rendahnya
perilaku keberagamaan para usia lanjut secara benar dan utuh.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti menunjukkan adanya peningkatan
minat dan perhatian terhadap agama sejalan dengan bertambahnya usia. Namun sebaliknya, ada
pula fakta-fakta yang menunjukkan menurunnya minat terhadap agama pada usia tersebut. Hal ini
mungkin bisa terjadi bagi mereka yang sejak awal hidupnya kurang diwarnai dengan nilai-nilai
keagamaan . Sikap sebagian besar orang berusia lanjut terhadap agama mungkin lebih sering
dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan atau apa yang telah diterima pada saat mereka
mencapai kematangan intelektualnya. Pola upacara keagamaan dan kehadiran dalam kegiatan
keagamaan banyak bersamaan atau telah dimodifikasi oleh lingkungan, yaitu modifikasi yang
masuk akal bagi setiap individu. (Elizabeth B. Hurlock, 1991:401).
Aktifitas lanjut usia yang berkaitan dengan agama, ternyata juga menunjukkan adanya
peningkatan, artinya perhatian mereka terhadap agama semakin meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Salah satu ciri keberagamaan lanjut usia adalah tercapainya kemantapan
beragama. Mereka lebih percaya bahwa agama dapat memberikan jalan bagi pemecahan masalahmasalah kehidupan. Selain itu agama juga dirasakan berfungsi sebagai pembimbing dalam
kehidupannya dan dapat menenteramkan batinnya.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, secara teoritis diketahui pentingnya
keberagamaan bagi para usia lanjut. Keberagamaan sebagai ciri dari seluruh hidup, tindakan dan
pengertian diri yang mengandung pengakuan eksistensi Tuhan dalam setiap aktivitas hidupnya
akan mempengaruhi isi, warna, dan corak kehidupan beragama para usia lanjut.
Pada sebagian usia lanjut terjadi peningkatan perilaku keberagamaan, sementara pada
sebagian usia lanjut lainnya malah terjadi penurunan perilaku keberagamaan. Melalui penelitian
ini, peneliti sangat tertarik untuk menelusuri lebih jauh faktor-faktor apa yang mendukung
peningkatan perilaku beragama pada usia lanjut serta faktor-faktor apa yang menjadi penghambat
sehingga perilaku keberagamaan pada sebagian usia lanjut lainnya malah menjadi menurun.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) untuk menggambarkan
perilaku keberagamaan usia lanjut; dan (2) untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong dan
menghambat penurunan dan peningkatan perilaku keberagamaan pada orang usia lanjut.
A.
Pengertian Perilaku Beragama
Terdapat banyak definisi tentang perilaku beragama yang dikemukakan oleh para ahli.
Fowler (1980) mendefinisikan perilaku beragama sebagai suatu kumpulan tradisi kumulatif
tertentu yang dipadatkan dan diendapkan ke dalam seluruh sistem bentuk ekspresi tradisional dan
terlembaga mengungkapkan gambaran tentang realitas transenden. Sistem bentuk ekspresi
tersebut menurut Fowler meliputi seluruh simbol, upacara, peranan dan cara hidup konkret yang
khas.
Hal senada juga diungkapkan oleh Smith (dalam Fowler, 1980) yang mengartikan perilaku
beragama sebagai suatu kumpulan tradisi kumulatif yang tersusun dari teks-teks kitab suci, atau
hukum, termasuk cerita-cerita, mitos-mitos, ramalan-ramalan, sejumlah wahyu, juga tradisi yang
mengandung simbol-simbol visual, tradisi lisan, musik tarian, ajaran moral, teologi, upacara,
liturgi dan sejumlah unsur lain, yang diendapkan ke dalam suatu sistem bersifat kebudayaan dan
lembaga.
Menurut Michel Mayer (dalam Kahf, 1995), perilaku beragama didefinisikan sebagai
perbuatan yang mengacu pada seperangkat aturan dan keyakinan yang pasti untuk membimbing
manusia dalam tindakannya terhadap Tuhan, orang lain, dan terhadap diri sendiri. Adapun
Mangunwijaya (1982) menjelaskan bahwa agama bertugas mengatur kehidupan manusia, baik
sebagai individu maupun masyarakat, serta mengatur pemujaan kepada Tuhan agar tidak simpang
siur. Sedangkan James (1952) menyatakan perilaku beragama sebagai perilaku yang mengarah
pada suatu relasi dengan sesuatu yang dianggap sebagai yang bersifat ilahi.
Berbagai definisi para ahli tentang perilaku beragama sebagaimana yang dikemukakan di
atas membawa pengertian bahwa perilaku beragama lebih cenderung kepada tingkah laku atau
perbuatan yang didasarkan pada suatu kumpulan tradisi kumulatif yang diendapkan ke dalam
sistem bentuk ekspresi tradisional dan terlembaga mengungkapkan gambaran tentang realitas
transenden.
B.
Aspek-aspek Keberagamaan
Allport (1953) memberikan tanda-tanda sentimen beragama yang matang yaitu adanya
differensiasi, dinamis, konsistensi, komprehensif, integral, dan heuristik.
Pertama, memiliki kemampuan melakukan diferensiasi, yang berarti penjabaran dan
pembedaan ajaran agama, atau penemuan kebenaran berdasarkan ajaran agama dan fakta-fakta
berkaitan dengan proses kognitif. Seseorang yang memiliki kehidupan beragama yang
terdiferensiasi dengan baik menerima agama yang dipeluknya secara kritis dan mampu
menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragamanya. Disini individu
bersikap dan berperilaku obsertif, objektif, reflektif, kritis, berpikir terbuka, dan menjabarkan.
Kedua adalah kehidupan beragama yang dinamis. Dinamis berarti perilaku hidup yang
terkontrol, terarahkan dan memberikan makna pada hidupnya. Aktivitas keagamaan dilakukan
demi memenuhi kepentingan agama, sifat egosentris tidak ada lagi. Menurut Ahyadi (Ahyadi,
2001), dalam kehidupan beragama yang dinamis ini terdapat motivasi intrinsik, otonom,
independen dalam kehidupan beragama. Motivasi intrinsik yaitu dorongan untuk beragama yang
berasal dari dalam diri sendiri.
Ketiga adalah konsistensi, yaitu pelaksanaan ajaran agama secara konsisten dan produktif.
Keberagamaan yang matang menurut Allport (1953) terletak pada konsistensi atau keajegan
pelaksanaan hidup beragama secara bertanggung jawab dengan mengerjakan perintah agama
sesuai kemampuan dan meninggalkan larangannya.
Pelaksanaan hidup beragama atau
peribadatan mencakup pelaksanaan aturan, hukum, ketentuan, tata cara, perintah, kewajiban, dan
larangan dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, masyarakat, dan alam. Ibadah yang
menekankan realisasi hubungan manusia dengan Tuhan, sering disebut ibadah dalam arti khusus.
Tata cara peraturan ibadah khusus tersebut telah ditentukan oleh Tuhan melalui wahyu yang
disampaikan kepada Nabi sehingga tidak boleh diubah atau dimodifikasikan.
Keempat adalah komprehensif, dalam hal ini adalah memiliki pandangan hidup yang
komprehensif. Keberagamaan yang matang menurut Allport (1953) memiliki sifat hidup yang
utuh dan komprehensif. Keaneka ragaman kehidupan dunia diarahkan pada keteraturan.
Keteraturan ini berasal dari analisis terhadap fakta yang ternyata mempunyai hubungan satu sama
lain. Fakta yang perlu dicari kaidahnya itu bukan hanya benda materi, akan tetapi keteraturan itu
meliputi pula alam perasaan, pemikiran, motivasi, norma, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai
kehidupan rohaniah. Manusia memerlukan pegangan agar dapat menentukan pilihan tingkah
lakunya secara pasti.
Kelima adalah padangan hidup yang integral, artinya bahwa kehidupan beragama telah
dijadikan sebagai bagian yang integral dengan seluruh aspek dalam kehidupan seseorang.
Keberagamaan yang integral ditandai oleh kemampuan mengintegrasikan atau menyatukan agama
dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan, termasuk didalamnya dengan ilmu pengetahuan, sosial,
ekonomi, budaya, kesenian, iptek dan sebagainya. Allport (1953) menekankan integrasi antara
agama dan ilmu pengetahuan (sains). Orang yang memiliki keberagamaan yang terintegrasi
menyadari dan mengakui bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan, akan
tetapi saling mendukung karena keduanya sama-sama mencari kebenaran.
Keenam adalah heuristik atau semangat pengabdian kepada Tuhan, yang berarti selalu
berkembang dan berusaha meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam beragama.
Individu yang memiliki sifat heuristik akan terus melakukan evaluasi dan meningkatkan
peribadatannya agar menemukan kenikmatan dalam beragama. Walaupun demikian masih
merasakan bahwa pengabdiannya kepada Tuhan belum sebagaimana mestinya dan belum
sempurna. Semangat dan kegairahan yang terus menerus berkobar dalam dirinya untuk mengabdi
kepada Tuhan merupakan realisasi keberagamaan yang matang. Oleh karena itu, meskipun sibuk,
ia selalu berusaha menyempatkan diri belajar agama.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan beragama meliputi
aspek-aspek: a) Kemampuan melakukan differensiasi yang baik, yang berarti semakin bercabang,
makin bervariasi, makin kaya dan makin majemuk suatu aspek psikis dimiliki seseorang; b)
Dinamis, yang berarti motivasi kehidupan beragama yang bersifat otonom, tidak lagi dipengaruhi
atau dikendalikan oleh dorongan biologis ataupun ambisi pribadi; c) Konsisten, yaitu
melaksanakan ajaran agama dengan konsisten, stabil, dan produktif; d) Komprehensif, yaitu
agama menjadi filsafat hidup yang utuh dan menentukan tingkah laku dalam menghadapi
berbagai permasalahan hidup; e) Integral, yaitu agama menjadi landasan terpadu yang kuat dan
harmonis; dan f) heuristik, yaitu memiliki semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan.
C.
Perkembangan dan Kematangan Beragama
Manusia dalam menjalani kehidupannya, menurut Jalaluddin (2002) mengalami dua
macam perkembangan, yaitu perkembangan fisik dan perkembangan psikis. Perkembangan fisik
diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan fisik yang dicapai manusia disebut
kedewasaan. Sebaliknya perkembangan psikis diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas).
Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan psikis disebut dengan istilah kematangan
(maturity).
Kematangan menurut Nashori (2000) dicapai seseorang melalui perkembangan hidup
yang berakumulasi dengan berbagai pengalaman. Akumulasi pengalaman hidup itu terefleksi
dalam pandangan hidup, sikap dan perilaku sehari-hari. Secara umum dapat dikatakan, seseorang
disebut tidak matang (immaturity) bila melewati perjalanan usia yang panjang tanpa menghasilkan
pengalaman yang menjadikannya mengalami perkembangan pribadi. Sebaliknya orang yang usia
kronologisnya tergolong dini namun penuh dengan akumulasi pengalaman dan pelajaran yang
diolah dengan seksama dapat menjadi lebih matang daripada orang-orang lain yang seusia atau
lebih tua darinya. Hal ini dengan suatu catatan, pertumbuhan yang terjadi karena pengalaman
dan pelajaran tersebut berlangsung secara wajar dan bukan dipaksakan. Perkembangan yang
dipaksakan tentunya akan memunculkan kepribadian matang yang tidak utuh. Maksudnya, ada
aspek-aspek tertentu yang tidak berkembang baik, misalnya cenderung menolong orang lain tapi
sekaligus sangat keras terhadap pengganggu orang.
Salah satu bentuk kematangan adalah dalam hal beragama. Allport (1953) mengatakan
bahwa kematangan beragama adalah sentimen keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Allport, sentimen merupakan sistem kesediaan yang terarah ke dan
terorganisasi disekitar objek nilai tertentu. Pengalaman-pengalaman itu membentuk pola-pola
respon terhadap objek-objek yang berupa konsep-konsep, prinsip-prinsip, serta kebiasaankebiasaan tertentu, dalam hal ini adalah konsep, prinsip dan kebiasaan keagamaan.
Ahyadi (2001) menjelaskan, bahwa bagi seseorang yang memiliki keberagamaan yang
matang, pengalaman kehidupan beragama yang terorganisasi merupakan pusat kehidupan mental
yang mewarnai keseluruhan aspek kepribadiannya. Semua tingkah laku dalam kehidupannya
seperti berpolitik, berekonomi, berkeluarga, dan bermasyarakat diwarnai oleh sistem
keberagamaannya. Keberagamaan tidak hanya melandasi tingkah laku yang nampak, tetapi juga
mewarnai sikap, pemikiran, i’tikad, niat, kemauan dan tanggapan terhadap nilai-nilai abstrak yang
ideal seperti demokrasi, keadilan, pengorbanan, persatuan, kemerdekaan, perdamaian, dan
kebahagiaan.
Walaupun keberagamaan melandasi berbagai aspek kehidupan mental dan terarah pada
bermacam objek, akan tetapi menurut Ahyadi (2001) tetap merupakan suatu sistem yang
terorganisasi sebagai bagian dari sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah
dalam kepribadian untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup,
penyesuaian diri dan tingkah laku. Tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup, dan
penyesuaian diri merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa kematangan beragama seseorang tidak pernah mencapai kesempurnaan.
Kehidupan beragama yang diidealkan selalu ada di depan keberagamaan yang mampu
direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari. Makin matang keberagamaannya, jurang pemisah
antara realisai praktis dengan konsepsi idealnya semakin dekat.
Berdasarkan uraian di atas, maka kematangan beragama dalam penelitian ini diartikan
sebagai sentimen keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman. Sentimen keberagamaan
merupakan sistem kesediaan yang terarah ke dan terorganisasi disekitar objek nilai tertentu, yakni
kumpulan tradisi kumulatif dalam bentuk ekspresi tradisional dan terlembaga yang
mengungkapkan gambaran tentang realitas transenden. Pengalaman-pengalaman itu kemudian
membentuk pola-pola respon terhadap objek-objek yang berupa konsep-konsep, prinsip-prinsip,
serta kebiasaan-kebiasaan tertentu, dalam hal ini adalah konsep, prinsip dan kebiasaan
keagamaan.
D.
Usia Lanjut
Usia Lanjut merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan
batasan penduduk Usia Lanjut menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga
aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN
1998).
Menurut Bernice Neugarten (1968), James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu
masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini
adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan
manusiawi dan sosial sangat tersebar luas dewasa ini.
Disamping itu untuk mendefinisikan Usia Lanjut dapat ditinjau dari pendekatan
kronologis. Menurut Supardjo (1982) usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari
hitungan umur dalam angka. Dari berbagai aspek pengelompokan Usia Lanjut yang paling
mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk
diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai sumber
data kependudukan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan Usia Lanjut menjadi 4 yaitu : Usia
pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Usia Lanjut (elderly) 60 -74 tahun, Usia Lanjut tua (old) 75 –
90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo (2002) mengatakan bahwa setiap orang yang
berhubungan dengan Usia Lanjut adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai
penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya seharihari. Saparinah ( 1983) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok
umur yang mencapai tahap praenisium, pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya
tahan tubuh / kesehatan dan berbagai tekanan psikologis.
Namun demikian masih terdapat perbedaan dalam menetapkan batasan usia seseorang
untuk dapat dikelompokkan ke dalam penduduk Usia Lanjut. Dalam penelitan ini digunakan
batasan umur 56 tahun untuk menyatakan orang lanjut usia.
E.
Kebutuhan Hidup Usia Lanjut
Setiap orang memiliki kebutuhan hidup. Orang Usia Lanjut juga memiliki kebutuhan
hidup yang sama agar dapat hidup sejahtera. Kebutuhan hidup orang Usia Lanjut antara lain
kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang
sehat dan kondisi rumah yang tentram dan aman, kebutuhan-kebutuhan sosial seperti
bersosialisasi dengan semua orang dalam segala usia, sehingga mereka mempunyai banyak teman
yang dapat diajak berkomunikasi, membagi pengalaman, memberikan pengarahan untuk
kehidupan yang baik.
Kebutuhan tersebut diperlukan oleh Usia Lanjut agar dapat mandiri. Kebutuhan tersebut
sejalan dengan pendapat Maslow dalam Koswara (1991) yang menyatakan bahwa kebutuhan
manusia meliputi (1) Kebutuhan fisik (physiological needs) adalah kebutuhan fisik atau biologis
seperti pangan, sandang, papan, seks dan sebagainya; (2) Kebutuhan ketentraman (safety needs)
adalah kebutuhan akan rasa keamanan dan ketentraman, baik lahiriah maupun batiniah seperti
kebutuhan akan jaminan hari tua, kebebasan, kemandirian dan sebagainya; (3) Kebutuhan sosial
(social needs) adalah kebutuhan untuk bermasyarakat atau berkomunikasi dengan manusia lain
melalui paguyuban, organisasi profesi, kesenian, olah raga, kesamaan hobby dan sebagainya; (4)
Kebutuhan harga diri (esteem needs) adalah kebutuhan akan harga diri untuk diakui akan
keberadaannya; dan (5) Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) adalah kebutuhan untuk
mengungkapkan kemampuan fisik, rohani maupun daya pikir berdasar pengalamannya masingmasing, bersemangat untuk hidup, dan berperan dalam kehidupan.
Sejak awal kehidupan sampai berusia lanjut setiap orang memiliki kebutuhan psikologis
dasar (Setiati,2000). Kebutuhan tersebut diantaranya orang Usia Lanjut membutuhkan rasa
nyaman bagi dirinya sendiri, serta rasa nyaman terhadap lingkungan yang ada. Tingkat
pemenuhan kebutuhan tersebut tergantung pada diri orang Usia Lanjut, keluarga dan
lingkungannya. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan timbul masalah-masalah
dalam kehidupan orang Usia Lanjut yang akan menurunkan kemandiriannya.
F.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif.
Pendekatan ini digunakan agar lebih memungkinkan untuk menangkap realita ganda (multiple
realities), dan mendeskripsikan secara komprehensif dalam konteks yang sesungguhnya tentang
perilaku beragama orang usia lanjut.
Ciri metode deskriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis
setting). Peneliti bertindak sebagai pengamat yang hanya membuat kategori perilaku, mengamati
gejala, dan mencatatnya dalam buku observasinya. Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa
peneliti terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha untuk memanipulasikan variabel, karena
kehadirannya mungkin mempengaruhi perilaku gejala (reactive measure), peneliti berusaha
memperkecil pengaruh ini.
Pendekatan yang digunakan dalam upaya untuk mengetahui perilaku beragama orang usia
lanjut adalah menelaah sikap dan perilaku manusianya yang berkaitan dengan keberagamaan dan
faktor-faktor lainnya yang berkaitan dengan perkembangan keberagamaan usia lanjut. Kemudian
dilakukan analisis dengan menggunakan konsepsi paradigma kematangan beragama yang
mengacu pada teori Allport. Dengan demikian, sejalan pada tujuan penelitian berusaha
menggambarkan temuan data dan informasi yang ditemukan dari hasil observasi lapangan dan
wawancara.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan dengan berfokus pada manusia usia lanjut yang
berlokasi di Kecamatan Medan Maimoon. Dengan demikian yang menjadi subjek dalam
penelitian ini adalah penduduk berusia lanjut yang tinggal di Kecamatan Medan Maimoon.
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini menampilkan karakteristik (1) diarahkan tidak
pada jumlah sampel besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah
penelitian; (2) tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah
maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam
penelitian; (3) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah/peristiwa acak) melainkan
pada kecocokan konteks.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui Observasi
dan wawancara mendalam (depth-interview). Disamping itu juga dilakukan penelaahan terhadap
dokumen-dokumen, laporan dan data yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
Dalam proses pengumpulan data, peneliti berfungsi sebagai instrumen utama penelitian.
Meskipun demikian pada pelaksanaannya peneliti dibantu dengan pedoman wawancara, dan
pedoman observasi terbuka. Instrumen dalam penelitian ini mempunyai empat ciri : 1) Tidak
dibuat secara ketat, 2) Bisa disesuaikan dengan konteks penelitian atau kondisi nyata di lapangan,
3) Lebih mengutamakan pendalaman kasus yang dikaji, 4) Dimulai dengan beberapa pertanyaan
awal sesuai dengan teknik pengumpulan data yang digunakan. Walaupun bersifat longgar, tetapi
tetap berpegang pada struktur dan keabsahan konteks atau kerangka konseptual yang telah
dibangun.
Agar menjadi informasi yang punya makna dan lebih ringkas, data yang diperoleh dari
subjek direduksi dengan mengikuti pola kategori koding Bogdan dan Biklen (1982) dengan sistem
pemberkasan ke dalam kartu dan pendekatan potong simpan dalam map. Hal ini dilakukan
untuk memecah data menjadi unit yang lebih kecil (kode), memahami unit-unit tersebut, dan
kemudian merangkum kembali unit-unit tersebut (dalam bentuk kategori dan hubungan antar
kategori).
Selanjutnya dikemukakan bahwa analisis data merupakan proses yang terus menerus
dilakukan di dalam riset observasi. Data atau informasi yang diperoleh dari lokasi penelitian
dianalisis secara kontiniu setelah dibuat catatan lapangan untuk menemukan tema mengenai
perilaku beragama usia lanjut.
G.
Keabsahan Data
Faktor keabsahan data dalam penelitian ini juga sangat diperhatikan. Untuk memperoleh
keabsahan data penelitian yang telah dikumpulkan, digunakan teknik triangulasi (triangulation).
Adapun usaha untuk membuat lebih terpercaya (credible) proses interpretasi dan temuan dalam
penelitian ini yaitu dengan cara : (a) keterikatan yang lama (prolonged engagement), peneliti dengan
yang diteliti dilaksanakan dengan tidak tergesa-gesa sehingga pengumpulan data dan informasi
tentang situasi sosial dan fokus penelitian akan dapat diperoleh secara sempurna; (b) ketekunan
pengamatan (persistent observation) terhadap cara-cara untuk memperoleh informasi yang sahih; (c)
melakukan triangulasi (triangulation), yaitu informasi yang diperoleh dari beberapa sumber
diperiksa silang antara data wawancara dengan data pengamatan; (d) mendiskusikan dengan
teman sejawat yang tidak berperan serta dalam penelitian, sehingga penelitian akan mendapat
masukan dari orang lain; (e) analisis kasus negatif (negative case analysis) yaitu menganalisis dan
mencari kasus atau keadaan yang menyangggah temuan penelitian, sehingga tidak ada lagi bukti
yang menolak temuan penelitian; (f) pengujian ketepatan referensi terhadap data temuan dan
interpretasi.
H.
Etika Penelitian
Peneliti memperkenalkan diri kepada responden, menceritakan maksud kedatangan dan
memohon kesanggupan responden untuk menjadi subyek penelitian. Selain itu dijelaskan kepada
responden bahwa semua data hanya semata-mata digunakan untuk kepentingan penelitian,
kerahasiaan responden akan dijaga. Wawancara dilakukan setelah responden menyetujui,
persetujuan responden untuk menjadi subjek penelitian dilakukan secara verbal (Dahlgren, et al.,
2004).
I.
Temuan Data Penelitian
Hasil penelitian melalui observasi terhadap kehidupan usia lanjut menemukan adanya
fenomena yang umum dihadapi para usia lanjut berupa penurunan kemampuan fisik yang
berdampak pada berkurangnya kekuatan fisik, aktivitas yang menurun, sering mengalami
gangguan kesehatan sehingga menyebabkan usia lanjut kehilangan semangat dan munculnya sikap
“pasrah”.
Temuan ini menunjukkan bahwa manusia usia lanjut adalah manusia yang sudah tidak
produktif lagi. Hal tersebut diindikasikan oleh kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga
dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai macam penyakit sudah siap untuk menggerogoti usia
lanjut. Dengan demikian di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka
berada pada sisa umur menunggu datangnya kematian.
Menurut informasi yang dikumpulkan dari para usia lanjut yang menjadi subjek dalam
penelitian ini, ditemukan jawaban mengenai konsekuensi dari kondisi usia lanjut yang dihadapi
membuat arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya
perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia tua ini,
perhatian lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan
itu, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian.
Berbicara tentang perubahan orientasi ini, dapat diketahui bahwa disamping kemampuan
fisik pada usia lanjut sudah mengalami penurunan, namun di sisi lainnya sudah memiliki khasanah
pengalaman yang kaya. Kejayaan di masa lalu yang pernah diperoleh usia lanjut sudah tidak lagi
memperoleh perhatian, karena secara fisik dinilai sudah lemah.
Data yang diperoleh dari sebagian subjek, menginformasikan bahwa kesenjangan ini
menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan batin. Gejolak-gejolak batin tersebut
ditemukan mewujud dalam bentuk gangguan kejiwaan seperti stress, putus asa, ataupun
pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri (inferiority).
Hasil penelusuran penelitian lebih jauh, ditemukan fakta bahwa faktor paling berpengaruh
terhadap perubahan minat dan perhatian usia lanjut ke arah kehidupan pengamalan agama adalah
meningkatnya perasaan takut terhadap kematian yang akan dihadapi. Timbulnya perasaan takut
yang meningkat terhadap kematian berdampak pada peningkatan pembentukan sikap dan
perilaku keagamaan.
Data hasil penelitian juga menemukan kenyataan bahwa sikap dan perilaku beragama usia
lanjut tidak bersifat homogen. Artinya, usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda.
Gambaran ini didukung dengan hasil penelitian di lapangan yang menjelaskan bahwa sebagian
usia lanjut ada yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu
sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang
dan bertekad berbakti. Ringkasnya, pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas
pertimbangan pemikiran yang matang. Sebaliknya, jika seorang usia lanjut memilih nilai yang
bersumber dari nilai-nilai non agama, itu pun akan dipertahankannya sebagai pandangan
hidupnya. Kemungkinan ini akan memberi peluang bagi kecenderungan munculnya sikap yang
anti agama.
Di sisi lain, ada juga temuan penelitian yang menunjukkan bahwa usia lanjut memandang
usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan,
penolakan, dan keputus-asaan. Kelompok usia lanjut seperti ini menjadi terkunci dalam diri
mereka sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental
mereka sendiri.
Secara umum dapat dikatakan, seseorang disebut tidak matang (immaturity) bila melewati
perjalanan usia yang panjang tanpa menghasilkan pengalaman yang menjadikannya mengalami
perkembangan pribadi. Sebaliknya orang yang usia kronologisnya tergolong dini namun penuh
dengan akumulasi pengalaman dan pelajaran yang diolah dengan seksama dapat menjadi lebih
matang daripada orang-orang lain yang seusia atau lebih tua darinya.
Kenyataan bahwa adanya peningkatan sikap dan perilaku beragama pada usia lanjut
semakin jelas melalui data penelitian yang menemukan bahwa usia lanjut merupakan usia yang
sudah menyadari makna hidup, dengan kata lain, orang pada usia lanjut sudah memahami nilainilai yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya. Artinya,
sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap.
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab meningkatnya kecenderungan sikap dan
perilaku beragama pada manusia usia lanjut, secara garis besar dapat diidentifikasi dari data hasil
penelitian, antara lain adalah diiringi dengan meningkatnya kecenderungan untuk menerima
pendapat keagamaan. Kemudian, pada usia lanjut ditemukan data yang menunjukkan munculnya
pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh. Data hasil
penelitian juga ditemukan yang mengindikasikan sikap keagamaan pada usia lanjut cenderung
mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
Faktor lain yang ditemukan berkaitan dengan sikap dan perilaku beragama usia lanjut
adalah inteligensi. Hasil penelitian menemukan bahwa dasar dan arah dari kesiapan usia lanjut
dalam mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan, dan penyesuaian diri terhadap rangsangan
yang datang dari dunia luar tidak terlepas dari pengaruh fungsi kejiwaan terutama inteligensi.
Inteligensi merupakan kemampuan menyesuaikan diri pada keadaan baru dengan
menggunakan alat pemikir secara cepat dan tepat. Penyesuaian diri dengan pemikiran terjadi
karena pengertian, pendapat, pemahaman, pencarian makna dan hubungannya yang nampak
dalam pemecahan dan penguasaan keadaan baru dari kesulitan yang dihadapi.
Dengan kata lain, inteligensi sebagai suatu kemampuan umum dalam penyelesaian
masalah secara logis dan sistematis merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan beragama usia lanjut terutama dalam pembentukan keyakinan-keyakinan
keagamaan.
Selama penelitian dilakukan, melalui observasi dan wawancara terhadap subjek, ditemukan
fakta lain bahwa ternyata tidak semua kemampuan usia lanjut mengalami penurunan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usia lanjut tetap memiliki memori yang baik apabila ditunjang
dengan aktifitas dan tingkat pendidikan yang baik.
Aktifitas usia lanjut yang berkaitan dengan agama ternyata juga menunjukkan adanya
peningkatan, artinya perhatian usia lanjut pada agama semakin meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Temuan penelitian ini sejalan dengan asumsi bahwa salah satu ciri
keberagamaan pada usia lanjut adalah tercapainya kemantapan dalam beragama.
Terdapat persepsi yang sama dari para usia lanjut bahwa agama dapat memberikan jalan
bagi pemecahan masalah-masalah kehidupan, dan agama juga berfungsi sebagai pembimbing
dalam kehidupan dan menenteramkan batin. Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa individu yang
telah memasuki masa usia lanjut memiliki kepribadian yang integarted. Hal ini terindikasikan dari
hasil observasi penelitian yang menemukan bahwa individu yang dalam hal ini usia lanjut secara
kondisional dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan baik atas segala perubahan yang
terjadi pada dirinya dan lingkungannya.
J.
Pembahasan Data Hasil Penelitian
Hasil penelitian sebagaimana telah dipaparkan pada bagian temuan data penelitian
menginformasikan bahwa ternyata tidak semua kemampuan usia lanjut mengalami penurunan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia lanjut tetap memiliki memori yang baik apabila
ditunjang dengan aktifitas dan tingkat pendidikan yang baik.
Aktifitas usia lanjut yang berkaitan dengan agama ternyata juga menunjukkan adanya
peningkatan, artinya perhatian usia lanjut pada agama semakin meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Temuan penelitian ini sejalan dengan asumsi bahwa salah satu ciri
keberagamaan pada usia lanjut adalah tercapainya kemantapan dalam beragama.
Terdapat persepsi yang sama dari para usia lanjut bahwa agama dapat memberikan jalan
bagi pemecahan masalah-masalah kehidupan, dan agama juga berfungsi sebagai pembimbing
dalam kehidupan dan menenteramkan batin. Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa individu yang
telah memasuki masa usia lanjut memiliki kepribadian yang integarted. Hal ini terindikasikan dari
hasil observasi penelitian yang menemukan bahwa individu yang dalam hal ini usia lanjut secara
kondisional dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan baik atas segala perubahan yang
terjadi pada dirinya dan lingkungannya.
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa usia lanjut lebih mengarahkan diri kepada
Tuhan terindikasikan dari semakin meningkatnya kesadaran akan hidup dan kematian dalam diri
para usia lanjut. Temuan ini dapat diartikan agama sangat berkaitan erat pada orang yang berusia
lanjut. Melalui kehidupan beragama ini dapat menjadi solusi bagi usia lanjut dalam menghadapi
dan mengatasi berbagai tekanan akibat perubahan-perubahan yang terjadi padanya.
Mengacu pada hasil penelitian sebagaimana telah dipaparkan pada bagian temuan data
penelitian diketahui beberapa faktor yang mendorong terjadinya peningkatan sikap dan perilaku
beragama pada usia lanjut. Pengabaian terhadap faktor-faktor ini juga diduga dapat menurunkan
dan menghambat sikap dan perilaku beragama usia lanjut.
1.
Kapasitas Diri
Kapasitas diri ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu
terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Hasil
penelitian menemukan bahwa dasar dan arah dari kesiapan usia lanjut dalam mengadakan
tanggapan, reaksi, pengolahan, dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia
luar tidak terlepas dari pengaruh fungsi kejiwaan terutama inteligensi.
Inteligensi merupakan kemampuan menyesuaikan diri pada keadaan baru dengan
menggunakan alat pemikir secara cepat dan tepat. Penyesuaian diri dengan pemikiran terjadi
karena pengertian, pendapat, pemahaman, pencarian makna dan hubungannya yang nampak
dalam pemecahan dan penguasaan keadaan baru dari kesulitan yang dihadapi.
Kaitannya dengan perilaku beragama usia lanjut dapat dikatakan bahwa inteligensi sebagai
suatu kemampuan penyesuaian diri dengan pemikiran akan berfungsi dalam mengorganisasikan
dan mempolakan perkembangan beragama usia lanjut secara logis dan sistematis.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa inteligensi sebagai suatu kemampuan umum
dalam penyelesaian masalah secara logis dan sistematis merupakan faktor yang sangat
berpengaruh dalam perkembangan beragama usia lanjut terutama dalam pembentukan keyakinankeyakinan keagamaan.
2.
Pengalaman
Kelompok Usia Lanjut bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua dialami
dengan cara yang berbeda-beda. Semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang
keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktifitas keagamaan.
Namun bagi usia lanjut yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, mengalami berbagai
macam kesulitan dan selalu berhadapan dengan hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan
ajaran agama secara mantap dan stabil.
Secara singkat, gambaran ini didukung dengan hasil penelitian di lapangan yang
menjelaskan bahwa sebagian usia lanjut ada yang mampu melihat arti penting usia tua dalam
konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatankesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti. Di sisi lain, ada juga temuan
penelitian yang menunjukkan bahwa usia Lanjut memandang usia tua dengan sikap-sikap yang
berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan, penolakan, dan keputus-asaan.
Kelompok usia lanjut seperti ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan
demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.
Akumulasi pengalaman hidup itu terefleksi dalam pandangan hidup, sikap dan perilaku
sehari-hari. Secara umum dapat dikatakan, seseorang disebut tidak matang (immaturity) bila
melewati perjalanan usia yang panjang tanpa menghasilkan pengalaman yang menjadikannya
mengalami perkembangan pribadi. Sebaliknya orang yang usia kronologisnya tergolong dini
namun penuh dengan akumulasi pengalaman dan pelajaran yang diolah dengan seksama dapat
menjadi lebih matang daripada orang-orang lain yang seusia atau lebih tua darinya.
3. Tradisi Agama
Kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nili-nilai yang didukung
warganya. Karena itu setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku
dengan norma dan nilai-nilai yang ada. Dengan demikian kehidupan bermasyarakat memiliki
suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi bersama.
Sepintas lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur
tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata
nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Terkadang pengaruhnya lebih besar dalam
perkembangan jiwa keagamaan baik dalam bentuk positif maupun negatif. Misalnya
lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif
bagi perkembangan jiwa keagamaan seseorang, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam
tatanan nilai maupun instansi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan
berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan usia lanjut sebagai warganya. Sebaliknya
dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung sekuler, kondisi seperti itu
jarang dijumpai.
Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut
mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan usia lanjut.
4.
Pendidikan
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pendidikan yang pernah dialami usia lanjut juga
turut andil dalam membentuk kualitas keberagamaan usia lanjut. Subjek penelitian yang
memiliki latar pendidikan yang lebih tinggi ditemukan memiliki perilaku beragama yang lebih
mantap. Pendidikan dalam hal ini dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang
nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi yang pernah diikuti.
K.
Kesimpulan
Sikap orang usia lanjut dalam beragama sangat menonjol jika kebutuhan akan beragama
tertanam dalam dirinya. Kestabilan hidup seorang usia lanjut dalam beragama dan tingkah laku
keagamaan, bukanlah kestabilan yang statis. Adanya perubahan itu terjadi karena proses
pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada.
Tingkah laku keagamaan usia lanjut memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilainilai yang dipilihnya. Beragama bagi usia lanjut sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya
dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Namun, masih banyak lagi yang menjadi kendala kesempurnaan orang usia lanjut dalam
beragama. Kematangan usia lanjut dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan
keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan
agama dalam hidupnya.
Hasil penelitian menemukan beberapa faktor yang mendorong terjadinya peningkatan
sikap dan perilaku beragama pada usia lanjut. Pengabaian terhadap faktor-faktor ini juga diduga
dapat menurunkan dan menghambat sikap dan perilaku beragama usia lanjut, yaitu : kapasitas diri,
pengalaman masa lalu, tradisi agama, serta pendidikan formal maupun non-formal.
L.
Saran
Manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia
merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang maha kuasa tempat
mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbangan manusia dilandasi
kepercayaan beragama. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya dalam meningkatkan kualitas
beragama manusia secara umum, dan para usia lanjut secara khusus.
Sejalan dengan hasil penelitian ini, maka upaya peningkatan kualitas beragama dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong perilaku beragama usia
lanjut. Pengabaian terhadap faktor-faktor ini juga diduga dapat menurunkan dan menghambat
sikap dan perilaku beragama usia lanjut, yaitu : kapasitas diri, pengalaman masa lalu, tradisi agama,
serta pendidikan formal maupun non-formal.
Untuk peneliti selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian selain di kota Medan.
Akan lebih menarik lagi bila dilakukan pada subjek yang lebih heterogen, tidak dikhususkan pada
usia lanjut. Variabel penelitian pun perlu diperluas guna memperdalam penelitian penelitian,
pelibatan aspek lain yang relevan dan belum menjadi titik perhatian penelitian ini perlu dilakukan,
misalnya aspek biologis dan sosial budaya. Metode yang digunakan juga harus menjadi perhatian,
misalnya dengan menggunakan metode kuantitatif dan eksperimental.
Download