PERILAKU BERAGAMA USIA LANJUT Fauziah Nasution Kata kunci : Beragama, Usia Lanjut Manusia dalam menjalani kehidupannya mengalami dua macam perkembangan, yaitu perkembangan fisik dan perkembangan psikis. Menurut Jalaluddin (2002), perkembangan fisik diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan fisik yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya perkembangan psikis diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan psikis disebut dengan istilah kematangan (maturity). Secara umum dapat dikatakan, seseorang disebut tidak matang (immaturity) bila melewati perjalanan usia yang panjang tanpa menghasilkan pengalaman yang menjadikannya mengalami perkembangan pribadi. Sebaliknya orang yang usia kronologisnya tergolong dini namun penuh dengan akumulasi pengalaman dan pelajaran yang diolah dengan seksama dapat menjadi lebih matang daripada orang-orang lain yang seusia atau lebih tua darinya. Salah satu bentuk kematangan adalah dalam hal beragama. Beragama dalam diri manusia merupakan fitrah yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan “suci” yang diilhami oleh Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah manusia mempunyai sifat suci, yang dengan nalurinya secara terbuka menerima kehadiran Tuhan Yang Maha Suci. Beragama dalam kehidupan manusia harus dapat berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu agar dapat menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku sejalan dengan ajaran agama yang dianutnya. Sistem nilai tersebut berpengaruh terhadap kehidupan individu karena nilai dalam realitasnya memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola pikir, dan pola bersikap. Jika sistem nilai didasarkan pada agama tentu akan dapat memberi individu dan masyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat. Oleh karena itu, individu yang memiliki keberagamaan yang matang akan terikat pada ketentuan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan menurut ajaran agama yang dianutnya. Mengacu pada pandangan tersebut, agama menjadi salah satu faktor utama dalam pembentukan kepribadian manusia Indonesia dan seyogyanya harus dipahami dan diamalkan dengan cara yang lebih baik. Melalui pembangunan manusia beragama yang terpadu dengan pembangunan di bidang-bidang lain, diharapkan dapat terwujud manusia Indonesia yang sehat jasmani-rohani, serta tercukupi kebutuhan material-spiritual, sehingga bangsa Indonesia dapat tumbuh dan berkembang sejajar dengan bangsa lain yang telah maju. Sebagai bagian integral dari pembangunan manusia indonesia, pembentukan kepribadian yang memiliki kematangan dalam beragama selama ini belum dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Semaraknya kehidupan beragama belum diikuti dengan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan norma yang berlaku di masyarakat. Orang berlomba-lomba menunaikan ibadah haji, ibadah kurban, dan ibadah puasa, sementara kebiasaan berdusta dan hipokrit (munafik) yang merupakan pangkal dari segala amoralitas seperti praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan ingin menang sendiri, tetap masih menjadi kegemaran (Pikiran Rakyat, 19 September 2007). Permasalahan rendahnya perilaku keberagamaan serta perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran agama sebagaimana dijelaskan di atas ternyata juga menjadi fenomena yang masih sering terjadi pada individu usia lanjut. Nilai-nilai ajaran agama masih belum mengendalikan diri para usia lanjut sepenuhnya. Kehidupan dan pergaulan di masyarakat masih lebih dipengaruhi atau dikendalikan oleh dorongan ataupun ambisi pribadi, belum mengarah kepada tujuan yang sesuai dengan motivasi keagamaan yang tinggi. Berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilainilai dan norma-norma ajaran agama seperti diuraikan di atas menunjukkan masih rendahnya perilaku keberagamaan para usia lanjut secara benar dan utuh. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti menunjukkan adanya peningkatan minat dan perhatian terhadap agama sejalan dengan bertambahnya usia. Namun sebaliknya, ada pula fakta-fakta yang menunjukkan menurunnya minat terhadap agama pada usia tersebut. Hal ini mungkin bisa terjadi bagi mereka yang sejak awal hidupnya kurang diwarnai dengan nilai-nilai keagamaan . Sikap sebagian besar orang berusia lanjut terhadap agama mungkin lebih sering dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan atau apa yang telah diterima pada saat mereka mencapai kematangan intelektualnya. Pola upacara keagamaan dan kehadiran dalam kegiatan keagamaan banyak bersamaan atau telah dimodifikasi oleh lingkungan, yaitu modifikasi yang masuk akal bagi setiap individu. (Elizabeth B. Hurlock, 1991:401). Aktifitas lanjut usia yang berkaitan dengan agama, ternyata juga menunjukkan adanya peningkatan, artinya perhatian mereka terhadap agama semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Salah satu ciri keberagamaan lanjut usia adalah tercapainya kemantapan beragama. Mereka lebih percaya bahwa agama dapat memberikan jalan bagi pemecahan masalahmasalah kehidupan. Selain itu agama juga dirasakan berfungsi sebagai pembimbing dalam kehidupannya dan dapat menenteramkan batinnya. Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, secara teoritis diketahui pentingnya keberagamaan bagi para usia lanjut. Keberagamaan sebagai ciri dari seluruh hidup, tindakan dan pengertian diri yang mengandung pengakuan eksistensi Tuhan dalam setiap aktivitas hidupnya akan mempengaruhi isi, warna, dan corak kehidupan beragama para usia lanjut. Pada sebagian usia lanjut terjadi peningkatan perilaku keberagamaan, sementara pada sebagian usia lanjut lainnya malah terjadi penurunan perilaku keberagamaan. Melalui penelitian ini, peneliti sangat tertarik untuk menelusuri lebih jauh faktor-faktor apa yang mendukung peningkatan perilaku beragama pada usia lanjut serta faktor-faktor apa yang menjadi penghambat sehingga perilaku keberagamaan pada sebagian usia lanjut lainnya malah menjadi menurun. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) untuk menggambarkan perilaku keberagamaan usia lanjut; dan (2) untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong dan menghambat penurunan dan peningkatan perilaku keberagamaan pada orang usia lanjut. A. Pengertian Perilaku Beragama Terdapat banyak definisi tentang perilaku beragama yang dikemukakan oleh para ahli. Fowler (1980) mendefinisikan perilaku beragama sebagai suatu kumpulan tradisi kumulatif tertentu yang dipadatkan dan diendapkan ke dalam seluruh sistem bentuk ekspresi tradisional dan terlembaga mengungkapkan gambaran tentang realitas transenden. Sistem bentuk ekspresi tersebut menurut Fowler meliputi seluruh simbol, upacara, peranan dan cara hidup konkret yang khas. Hal senada juga diungkapkan oleh Smith (dalam Fowler, 1980) yang mengartikan perilaku beragama sebagai suatu kumpulan tradisi kumulatif yang tersusun dari teks-teks kitab suci, atau hukum, termasuk cerita-cerita, mitos-mitos, ramalan-ramalan, sejumlah wahyu, juga tradisi yang mengandung simbol-simbol visual, tradisi lisan, musik tarian, ajaran moral, teologi, upacara, liturgi dan sejumlah unsur lain, yang diendapkan ke dalam suatu sistem bersifat kebudayaan dan lembaga. Menurut Michel Mayer (dalam Kahf, 1995), perilaku beragama didefinisikan sebagai perbuatan yang mengacu pada seperangkat aturan dan keyakinan yang pasti untuk membimbing manusia dalam tindakannya terhadap Tuhan, orang lain, dan terhadap diri sendiri. Adapun Mangunwijaya (1982) menjelaskan bahwa agama bertugas mengatur kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat, serta mengatur pemujaan kepada Tuhan agar tidak simpang siur. Sedangkan James (1952) menyatakan perilaku beragama sebagai perilaku yang mengarah pada suatu relasi dengan sesuatu yang dianggap sebagai yang bersifat ilahi. Berbagai definisi para ahli tentang perilaku beragama sebagaimana yang dikemukakan di atas membawa pengertian bahwa perilaku beragama lebih cenderung kepada tingkah laku atau perbuatan yang didasarkan pada suatu kumpulan tradisi kumulatif yang diendapkan ke dalam sistem bentuk ekspresi tradisional dan terlembaga mengungkapkan gambaran tentang realitas transenden. B. Aspek-aspek Keberagamaan Allport (1953) memberikan tanda-tanda sentimen beragama yang matang yaitu adanya differensiasi, dinamis, konsistensi, komprehensif, integral, dan heuristik. Pertama, memiliki kemampuan melakukan diferensiasi, yang berarti penjabaran dan pembedaan ajaran agama, atau penemuan kebenaran berdasarkan ajaran agama dan fakta-fakta berkaitan dengan proses kognitif. Seseorang yang memiliki kehidupan beragama yang terdiferensiasi dengan baik menerima agama yang dipeluknya secara kritis dan mampu menempatkan rasio sebagai salah satu bagian dari kehidupan beragamanya. Disini individu bersikap dan berperilaku obsertif, objektif, reflektif, kritis, berpikir terbuka, dan menjabarkan. Kedua adalah kehidupan beragama yang dinamis. Dinamis berarti perilaku hidup yang terkontrol, terarahkan dan memberikan makna pada hidupnya. Aktivitas keagamaan dilakukan demi memenuhi kepentingan agama, sifat egosentris tidak ada lagi. Menurut Ahyadi (Ahyadi, 2001), dalam kehidupan beragama yang dinamis ini terdapat motivasi intrinsik, otonom, independen dalam kehidupan beragama. Motivasi intrinsik yaitu dorongan untuk beragama yang berasal dari dalam diri sendiri. Ketiga adalah konsistensi, yaitu pelaksanaan ajaran agama secara konsisten dan produktif. Keberagamaan yang matang menurut Allport (1953) terletak pada konsistensi atau keajegan pelaksanaan hidup beragama secara bertanggung jawab dengan mengerjakan perintah agama sesuai kemampuan dan meninggalkan larangannya. Pelaksanaan hidup beragama atau peribadatan mencakup pelaksanaan aturan, hukum, ketentuan, tata cara, perintah, kewajiban, dan larangan dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, masyarakat, dan alam. Ibadah yang menekankan realisasi hubungan manusia dengan Tuhan, sering disebut ibadah dalam arti khusus. Tata cara peraturan ibadah khusus tersebut telah ditentukan oleh Tuhan melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi sehingga tidak boleh diubah atau dimodifikasikan. Keempat adalah komprehensif, dalam hal ini adalah memiliki pandangan hidup yang komprehensif. Keberagamaan yang matang menurut Allport (1953) memiliki sifat hidup yang utuh dan komprehensif. Keaneka ragaman kehidupan dunia diarahkan pada keteraturan. Keteraturan ini berasal dari analisis terhadap fakta yang ternyata mempunyai hubungan satu sama lain. Fakta yang perlu dicari kaidahnya itu bukan hanya benda materi, akan tetapi keteraturan itu meliputi pula alam perasaan, pemikiran, motivasi, norma, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai kehidupan rohaniah. Manusia memerlukan pegangan agar dapat menentukan pilihan tingkah lakunya secara pasti. Kelima adalah padangan hidup yang integral, artinya bahwa kehidupan beragama telah dijadikan sebagai bagian yang integral dengan seluruh aspek dalam kehidupan seseorang. Keberagamaan yang integral ditandai oleh kemampuan mengintegrasikan atau menyatukan agama dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan, termasuk didalamnya dengan ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, budaya, kesenian, iptek dan sebagainya. Allport (1953) menekankan integrasi antara agama dan ilmu pengetahuan (sains). Orang yang memiliki keberagamaan yang terintegrasi menyadari dan mengakui bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tidaklah bertentangan, akan tetapi saling mendukung karena keduanya sama-sama mencari kebenaran. Keenam adalah heuristik atau semangat pengabdian kepada Tuhan, yang berarti selalu berkembang dan berusaha meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam beragama. Individu yang memiliki sifat heuristik akan terus melakukan evaluasi dan meningkatkan peribadatannya agar menemukan kenikmatan dalam beragama. Walaupun demikian masih merasakan bahwa pengabdiannya kepada Tuhan belum sebagaimana mestinya dan belum sempurna. Semangat dan kegairahan yang terus menerus berkobar dalam dirinya untuk mengabdi kepada Tuhan merupakan realisasi keberagamaan yang matang. Oleh karena itu, meskipun sibuk, ia selalu berusaha menyempatkan diri belajar agama. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan beragama meliputi aspek-aspek: a) Kemampuan melakukan differensiasi yang baik, yang berarti semakin bercabang, makin bervariasi, makin kaya dan makin majemuk suatu aspek psikis dimiliki seseorang; b) Dinamis, yang berarti motivasi kehidupan beragama yang bersifat otonom, tidak lagi dipengaruhi atau dikendalikan oleh dorongan biologis ataupun ambisi pribadi; c) Konsisten, yaitu melaksanakan ajaran agama dengan konsisten, stabil, dan produktif; d) Komprehensif, yaitu agama menjadi filsafat hidup yang utuh dan menentukan tingkah laku dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup; e) Integral, yaitu agama menjadi landasan terpadu yang kuat dan harmonis; dan f) heuristik, yaitu memiliki semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan. C. Perkembangan dan Kematangan Beragama Manusia dalam menjalani kehidupannya, menurut Jalaluddin (2002) mengalami dua macam perkembangan, yaitu perkembangan fisik dan perkembangan psikis. Perkembangan fisik diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan fisik yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya perkembangan psikis diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan psikis disebut dengan istilah kematangan (maturity). Kematangan menurut Nashori (2000) dicapai seseorang melalui perkembangan hidup yang berakumulasi dengan berbagai pengalaman. Akumulasi pengalaman hidup itu terefleksi dalam pandangan hidup, sikap dan perilaku sehari-hari. Secara umum dapat dikatakan, seseorang disebut tidak matang (immaturity) bila melewati perjalanan usia yang panjang tanpa menghasilkan pengalaman yang menjadikannya mengalami perkembangan pribadi. Sebaliknya orang yang usia kronologisnya tergolong dini namun penuh dengan akumulasi pengalaman dan pelajaran yang diolah dengan seksama dapat menjadi lebih matang daripada orang-orang lain yang seusia atau lebih tua darinya. Hal ini dengan suatu catatan, pertumbuhan yang terjadi karena pengalaman dan pelajaran tersebut berlangsung secara wajar dan bukan dipaksakan. Perkembangan yang dipaksakan tentunya akan memunculkan kepribadian matang yang tidak utuh. Maksudnya, ada aspek-aspek tertentu yang tidak berkembang baik, misalnya cenderung menolong orang lain tapi sekaligus sangat keras terhadap pengganggu orang. Salah satu bentuk kematangan adalah dalam hal beragama. Allport (1953) mengatakan bahwa kematangan beragama adalah sentimen keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman. Lebih lanjut dijelaskan oleh Allport, sentimen merupakan sistem kesediaan yang terarah ke dan terorganisasi disekitar objek nilai tertentu. Pengalaman-pengalaman itu membentuk pola-pola respon terhadap objek-objek yang berupa konsep-konsep, prinsip-prinsip, serta kebiasaankebiasaan tertentu, dalam hal ini adalah konsep, prinsip dan kebiasaan keagamaan. Ahyadi (2001) menjelaskan, bahwa bagi seseorang yang memiliki keberagamaan yang matang, pengalaman kehidupan beragama yang terorganisasi merupakan pusat kehidupan mental yang mewarnai keseluruhan aspek kepribadiannya. Semua tingkah laku dalam kehidupannya seperti berpolitik, berekonomi, berkeluarga, dan bermasyarakat diwarnai oleh sistem keberagamaannya. Keberagamaan tidak hanya melandasi tingkah laku yang nampak, tetapi juga mewarnai sikap, pemikiran, i’tikad, niat, kemauan dan tanggapan terhadap nilai-nilai abstrak yang ideal seperti demokrasi, keadilan, pengorbanan, persatuan, kemerdekaan, perdamaian, dan kebahagiaan. Walaupun keberagamaan melandasi berbagai aspek kehidupan mental dan terarah pada bermacam objek, akan tetapi menurut Ahyadi (2001) tetap merupakan suatu sistem yang terorganisasi sebagai bagian dari sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadian untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup, penyesuaian diri dan tingkah laku. Tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup, dan penyesuaian diri merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kematangan beragama seseorang tidak pernah mencapai kesempurnaan. Kehidupan beragama yang diidealkan selalu ada di depan keberagamaan yang mampu direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari. Makin matang keberagamaannya, jurang pemisah antara realisai praktis dengan konsepsi idealnya semakin dekat. Berdasarkan uraian di atas, maka kematangan beragama dalam penelitian ini diartikan sebagai sentimen keberagamaan yang terbentuk melalui pengalaman. Sentimen keberagamaan merupakan sistem kesediaan yang terarah ke dan terorganisasi disekitar objek nilai tertentu, yakni kumpulan tradisi kumulatif dalam bentuk ekspresi tradisional dan terlembaga yang mengungkapkan gambaran tentang realitas transenden. Pengalaman-pengalaman itu kemudian membentuk pola-pola respon terhadap objek-objek yang berupa konsep-konsep, prinsip-prinsip, serta kebiasaan-kebiasaan tertentu, dalam hal ini adalah konsep, prinsip dan kebiasaan keagamaan. D. Usia Lanjut Usia Lanjut merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk Usia Lanjut menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998). Menurut Bernice Neugarten (1968), James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas dewasa ini. Disamping itu untuk mendefinisikan Usia Lanjut dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut Supardjo (1982) usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Dari berbagai aspek pengelompokan Usia Lanjut yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada berbagai sumber data kependudukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan Usia Lanjut menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Usia Lanjut (elderly) 60 -74 tahun, Usia Lanjut tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Sedangkan menurut Prayitno dalam Aryo (2002) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan Usia Lanjut adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya seharihari. Saparinah ( 1983) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap praenisium, pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh / kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Namun demikian masih terdapat perbedaan dalam menetapkan batasan usia seseorang untuk dapat dikelompokkan ke dalam penduduk Usia Lanjut. Dalam penelitan ini digunakan batasan umur 56 tahun untuk menyatakan orang lanjut usia. E. Kebutuhan Hidup Usia Lanjut Setiap orang memiliki kebutuhan hidup. Orang Usia Lanjut juga memiliki kebutuhan hidup yang sama agar dapat hidup sejahtera. Kebutuhan hidup orang Usia Lanjut antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram dan aman, kebutuhan-kebutuhan sosial seperti bersosialisasi dengan semua orang dalam segala usia, sehingga mereka mempunyai banyak teman yang dapat diajak berkomunikasi, membagi pengalaman, memberikan pengarahan untuk kehidupan yang baik. Kebutuhan tersebut diperlukan oleh Usia Lanjut agar dapat mandiri. Kebutuhan tersebut sejalan dengan pendapat Maslow dalam Koswara (1991) yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia meliputi (1) Kebutuhan fisik (physiological needs) adalah kebutuhan fisik atau biologis seperti pangan, sandang, papan, seks dan sebagainya; (2) Kebutuhan ketentraman (safety needs) adalah kebutuhan akan rasa keamanan dan ketentraman, baik lahiriah maupun batiniah seperti kebutuhan akan jaminan hari tua, kebebasan, kemandirian dan sebagainya; (3) Kebutuhan sosial (social needs) adalah kebutuhan untuk bermasyarakat atau berkomunikasi dengan manusia lain melalui paguyuban, organisasi profesi, kesenian, olah raga, kesamaan hobby dan sebagainya; (4) Kebutuhan harga diri (esteem needs) adalah kebutuhan akan harga diri untuk diakui akan keberadaannya; dan (5) Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) adalah kebutuhan untuk mengungkapkan kemampuan fisik, rohani maupun daya pikir berdasar pengalamannya masingmasing, bersemangat untuk hidup, dan berperan dalam kehidupan. Sejak awal kehidupan sampai berusia lanjut setiap orang memiliki kebutuhan psikologis dasar (Setiati,2000). Kebutuhan tersebut diantaranya orang Usia Lanjut membutuhkan rasa nyaman bagi dirinya sendiri, serta rasa nyaman terhadap lingkungan yang ada. Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut tergantung pada diri orang Usia Lanjut, keluarga dan lingkungannya. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan timbul masalah-masalah dalam kehidupan orang Usia Lanjut yang akan menurunkan kemandiriannya. F. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan ini digunakan agar lebih memungkinkan untuk menangkap realita ganda (multiple realities), dan mendeskripsikan secara komprehensif dalam konteks yang sesungguhnya tentang perilaku beragama orang usia lanjut. Ciri metode deskriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Peneliti bertindak sebagai pengamat yang hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasinya. Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha untuk memanipulasikan variabel, karena kehadirannya mungkin mempengaruhi perilaku gejala (reactive measure), peneliti berusaha memperkecil pengaruh ini. Pendekatan yang digunakan dalam upaya untuk mengetahui perilaku beragama orang usia lanjut adalah menelaah sikap dan perilaku manusianya yang berkaitan dengan keberagamaan dan faktor-faktor lainnya yang berkaitan dengan perkembangan keberagamaan usia lanjut. Kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan konsepsi paradigma kematangan beragama yang mengacu pada teori Allport. Dengan demikian, sejalan pada tujuan penelitian berusaha menggambarkan temuan data dan informasi yang ditemukan dari hasil observasi lapangan dan wawancara. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan dengan berfokus pada manusia usia lanjut yang berlokasi di Kecamatan Medan Maimoon. Dengan demikian yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah penduduk berusia lanjut yang tinggal di Kecamatan Medan Maimoon. Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini menampilkan karakteristik (1) diarahkan tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian; (2) tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; (3) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah/peristiwa acak) melainkan pada kecocokan konteks. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui Observasi dan wawancara mendalam (depth-interview). Disamping itu juga dilakukan penelaahan terhadap dokumen-dokumen, laporan dan data yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Dalam proses pengumpulan data, peneliti berfungsi sebagai instrumen utama penelitian. Meskipun demikian pada pelaksanaannya peneliti dibantu dengan pedoman wawancara, dan pedoman observasi terbuka. Instrumen dalam penelitian ini mempunyai empat ciri : 1) Tidak dibuat secara ketat, 2) Bisa disesuaikan dengan konteks penelitian atau kondisi nyata di lapangan, 3) Lebih mengutamakan pendalaman kasus yang dikaji, 4) Dimulai dengan beberapa pertanyaan awal sesuai dengan teknik pengumpulan data yang digunakan. Walaupun bersifat longgar, tetapi tetap berpegang pada struktur dan keabsahan konteks atau kerangka konseptual yang telah dibangun. Agar menjadi informasi yang punya makna dan lebih ringkas, data yang diperoleh dari subjek direduksi dengan mengikuti pola kategori koding Bogdan dan Biklen (1982) dengan sistem pemberkasan ke dalam kartu dan pendekatan potong simpan dalam map. Hal ini dilakukan untuk memecah data menjadi unit yang lebih kecil (kode), memahami unit-unit tersebut, dan kemudian merangkum kembali unit-unit tersebut (dalam bentuk kategori dan hubungan antar kategori). Selanjutnya dikemukakan bahwa analisis data merupakan proses yang terus menerus dilakukan di dalam riset observasi. Data atau informasi yang diperoleh dari lokasi penelitian dianalisis secara kontiniu setelah dibuat catatan lapangan untuk menemukan tema mengenai perilaku beragama usia lanjut. G. Keabsahan Data Faktor keabsahan data dalam penelitian ini juga sangat diperhatikan. Untuk memperoleh keabsahan data penelitian yang telah dikumpulkan, digunakan teknik triangulasi (triangulation). Adapun usaha untuk membuat lebih terpercaya (credible) proses interpretasi dan temuan dalam penelitian ini yaitu dengan cara : (a) keterikatan yang lama (prolonged engagement), peneliti dengan yang diteliti dilaksanakan dengan tidak tergesa-gesa sehingga pengumpulan data dan informasi tentang situasi sosial dan fokus penelitian akan dapat diperoleh secara sempurna; (b) ketekunan pengamatan (persistent observation) terhadap cara-cara untuk memperoleh informasi yang sahih; (c) melakukan triangulasi (triangulation), yaitu informasi yang diperoleh dari beberapa sumber diperiksa silang antara data wawancara dengan data pengamatan; (d) mendiskusikan dengan teman sejawat yang tidak berperan serta dalam penelitian, sehingga penelitian akan mendapat masukan dari orang lain; (e) analisis kasus negatif (negative case analysis) yaitu menganalisis dan mencari kasus atau keadaan yang menyangggah temuan penelitian, sehingga tidak ada lagi bukti yang menolak temuan penelitian; (f) pengujian ketepatan referensi terhadap data temuan dan interpretasi. H. Etika Penelitian Peneliti memperkenalkan diri kepada responden, menceritakan maksud kedatangan dan memohon kesanggupan responden untuk menjadi subyek penelitian. Selain itu dijelaskan kepada responden bahwa semua data hanya semata-mata digunakan untuk kepentingan penelitian, kerahasiaan responden akan dijaga. Wawancara dilakukan setelah responden menyetujui, persetujuan responden untuk menjadi subjek penelitian dilakukan secara verbal (Dahlgren, et al., 2004). I. Temuan Data Penelitian Hasil penelitian melalui observasi terhadap kehidupan usia lanjut menemukan adanya fenomena yang umum dihadapi para usia lanjut berupa penurunan kemampuan fisik yang berdampak pada berkurangnya kekuatan fisik, aktivitas yang menurun, sering mengalami gangguan kesehatan sehingga menyebabkan usia lanjut kehilangan semangat dan munculnya sikap “pasrah”. Temuan ini menunjukkan bahwa manusia usia lanjut adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi. Hal tersebut diindikasikan oleh kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai macam penyakit sudah siap untuk menggerogoti usia lanjut. Dengan demikian di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sisa umur menunggu datangnya kematian. Menurut informasi yang dikumpulkan dari para usia lanjut yang menjadi subjek dalam penelitian ini, ditemukan jawaban mengenai konsekuensi dari kondisi usia lanjut yang dihadapi membuat arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia tua ini, perhatian lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian. Berbicara tentang perubahan orientasi ini, dapat diketahui bahwa disamping kemampuan fisik pada usia lanjut sudah mengalami penurunan, namun di sisi lainnya sudah memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan di masa lalu yang pernah diperoleh usia lanjut sudah tidak lagi memperoleh perhatian, karena secara fisik dinilai sudah lemah. Data yang diperoleh dari sebagian subjek, menginformasikan bahwa kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan batin. Gejolak-gejolak batin tersebut ditemukan mewujud dalam bentuk gangguan kejiwaan seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri (inferiority). Hasil penelusuran penelitian lebih jauh, ditemukan fakta bahwa faktor paling berpengaruh terhadap perubahan minat dan perhatian usia lanjut ke arah kehidupan pengamalan agama adalah meningkatnya perasaan takut terhadap kematian yang akan dihadapi. Timbulnya perasaan takut yang meningkat terhadap kematian berdampak pada peningkatan pembentukan sikap dan perilaku keagamaan. Data hasil penelitian juga menemukan kenyataan bahwa sikap dan perilaku beragama usia lanjut tidak bersifat homogen. Artinya, usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda. Gambaran ini didukung dengan hasil penelitian di lapangan yang menjelaskan bahwa sebagian usia lanjut ada yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti. Ringkasnya, pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Sebaliknya, jika seorang usia lanjut memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai non agama, itu pun akan dipertahankannya sebagai pandangan hidupnya. Kemungkinan ini akan memberi peluang bagi kecenderungan munculnya sikap yang anti agama. Di sisi lain, ada juga temuan penelitian yang menunjukkan bahwa usia lanjut memandang usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan, penolakan, dan keputus-asaan. Kelompok usia lanjut seperti ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri. Secara umum dapat dikatakan, seseorang disebut tidak matang (immaturity) bila melewati perjalanan usia yang panjang tanpa menghasilkan pengalaman yang menjadikannya mengalami perkembangan pribadi. Sebaliknya orang yang usia kronologisnya tergolong dini namun penuh dengan akumulasi pengalaman dan pelajaran yang diolah dengan seksama dapat menjadi lebih matang daripada orang-orang lain yang seusia atau lebih tua darinya. Kenyataan bahwa adanya peningkatan sikap dan perilaku beragama pada usia lanjut semakin jelas melalui data penelitian yang menemukan bahwa usia lanjut merupakan usia yang sudah menyadari makna hidup, dengan kata lain, orang pada usia lanjut sudah memahami nilainilai yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya. Artinya, sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap. Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab meningkatnya kecenderungan sikap dan perilaku beragama pada manusia usia lanjut, secara garis besar dapat diidentifikasi dari data hasil penelitian, antara lain adalah diiringi dengan meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan. Kemudian, pada usia lanjut ditemukan data yang menunjukkan munculnya pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh. Data hasil penelitian juga ditemukan yang mengindikasikan sikap keagamaan pada usia lanjut cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur. Faktor lain yang ditemukan berkaitan dengan sikap dan perilaku beragama usia lanjut adalah inteligensi. Hasil penelitian menemukan bahwa dasar dan arah dari kesiapan usia lanjut dalam mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan, dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar tidak terlepas dari pengaruh fungsi kejiwaan terutama inteligensi. Inteligensi merupakan kemampuan menyesuaikan diri pada keadaan baru dengan menggunakan alat pemikir secara cepat dan tepat. Penyesuaian diri dengan pemikiran terjadi karena pengertian, pendapat, pemahaman, pencarian makna dan hubungannya yang nampak dalam pemecahan dan penguasaan keadaan baru dari kesulitan yang dihadapi. Dengan kata lain, inteligensi sebagai suatu kemampuan umum dalam penyelesaian masalah secara logis dan sistematis merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan beragama usia lanjut terutama dalam pembentukan keyakinan-keyakinan keagamaan. Selama penelitian dilakukan, melalui observasi dan wawancara terhadap subjek, ditemukan fakta lain bahwa ternyata tidak semua kemampuan usia lanjut mengalami penurunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia lanjut tetap memiliki memori yang baik apabila ditunjang dengan aktifitas dan tingkat pendidikan yang baik. Aktifitas usia lanjut yang berkaitan dengan agama ternyata juga menunjukkan adanya peningkatan, artinya perhatian usia lanjut pada agama semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Temuan penelitian ini sejalan dengan asumsi bahwa salah satu ciri keberagamaan pada usia lanjut adalah tercapainya kemantapan dalam beragama. Terdapat persepsi yang sama dari para usia lanjut bahwa agama dapat memberikan jalan bagi pemecahan masalah-masalah kehidupan, dan agama juga berfungsi sebagai pembimbing dalam kehidupan dan menenteramkan batin. Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa individu yang telah memasuki masa usia lanjut memiliki kepribadian yang integarted. Hal ini terindikasikan dari hasil observasi penelitian yang menemukan bahwa individu yang dalam hal ini usia lanjut secara kondisional dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan baik atas segala perubahan yang terjadi pada dirinya dan lingkungannya. J. Pembahasan Data Hasil Penelitian Hasil penelitian sebagaimana telah dipaparkan pada bagian temuan data penelitian menginformasikan bahwa ternyata tidak semua kemampuan usia lanjut mengalami penurunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia lanjut tetap memiliki memori yang baik apabila ditunjang dengan aktifitas dan tingkat pendidikan yang baik. Aktifitas usia lanjut yang berkaitan dengan agama ternyata juga menunjukkan adanya peningkatan, artinya perhatian usia lanjut pada agama semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Temuan penelitian ini sejalan dengan asumsi bahwa salah satu ciri keberagamaan pada usia lanjut adalah tercapainya kemantapan dalam beragama. Terdapat persepsi yang sama dari para usia lanjut bahwa agama dapat memberikan jalan bagi pemecahan masalah-masalah kehidupan, dan agama juga berfungsi sebagai pembimbing dalam kehidupan dan menenteramkan batin. Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa individu yang telah memasuki masa usia lanjut memiliki kepribadian yang integarted. Hal ini terindikasikan dari hasil observasi penelitian yang menemukan bahwa individu yang dalam hal ini usia lanjut secara kondisional dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan baik atas segala perubahan yang terjadi pada dirinya dan lingkungannya. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa usia lanjut lebih mengarahkan diri kepada Tuhan terindikasikan dari semakin meningkatnya kesadaran akan hidup dan kematian dalam diri para usia lanjut. Temuan ini dapat diartikan agama sangat berkaitan erat pada orang yang berusia lanjut. Melalui kehidupan beragama ini dapat menjadi solusi bagi usia lanjut dalam menghadapi dan mengatasi berbagai tekanan akibat perubahan-perubahan yang terjadi padanya. Mengacu pada hasil penelitian sebagaimana telah dipaparkan pada bagian temuan data penelitian diketahui beberapa faktor yang mendorong terjadinya peningkatan sikap dan perilaku beragama pada usia lanjut. Pengabaian terhadap faktor-faktor ini juga diduga dapat menurunkan dan menghambat sikap dan perilaku beragama usia lanjut. 1. Kapasitas Diri Kapasitas diri ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Hasil penelitian menemukan bahwa dasar dan arah dari kesiapan usia lanjut dalam mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan, dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar tidak terlepas dari pengaruh fungsi kejiwaan terutama inteligensi. Inteligensi merupakan kemampuan menyesuaikan diri pada keadaan baru dengan menggunakan alat pemikir secara cepat dan tepat. Penyesuaian diri dengan pemikiran terjadi karena pengertian, pendapat, pemahaman, pencarian makna dan hubungannya yang nampak dalam pemecahan dan penguasaan keadaan baru dari kesulitan yang dihadapi. Kaitannya dengan perilaku beragama usia lanjut dapat dikatakan bahwa inteligensi sebagai suatu kemampuan penyesuaian diri dengan pemikiran akan berfungsi dalam mengorganisasikan dan mempolakan perkembangan beragama usia lanjut secara logis dan sistematis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa inteligensi sebagai suatu kemampuan umum dalam penyelesaian masalah secara logis dan sistematis merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan beragama usia lanjut terutama dalam pembentukan keyakinankeyakinan keagamaan. 2. Pengalaman Kelompok Usia Lanjut bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda. Semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktifitas keagamaan. Namun bagi usia lanjut yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, mengalami berbagai macam kesulitan dan selalu berhadapan dengan hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil. Secara singkat, gambaran ini didukung dengan hasil penelitian di lapangan yang menjelaskan bahwa sebagian usia lanjut ada yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatankesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti. Di sisi lain, ada juga temuan penelitian yang menunjukkan bahwa usia Lanjut memandang usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan, penolakan, dan keputus-asaan. Kelompok usia lanjut seperti ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri. Akumulasi pengalaman hidup itu terefleksi dalam pandangan hidup, sikap dan perilaku sehari-hari. Secara umum dapat dikatakan, seseorang disebut tidak matang (immaturity) bila melewati perjalanan usia yang panjang tanpa menghasilkan pengalaman yang menjadikannya mengalami perkembangan pribadi. Sebaliknya orang yang usia kronologisnya tergolong dini namun penuh dengan akumulasi pengalaman dan pelajaran yang diolah dengan seksama dapat menjadi lebih matang daripada orang-orang lain yang seusia atau lebih tua darinya. 3. Tradisi Agama Kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nili-nilai yang didukung warganya. Karena itu setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai yang ada. Dengan demikian kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi bersama. Sepintas lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam bentuk positif maupun negatif. Misalnya lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan seseorang, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun instansi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan usia lanjut sebagai warganya. Sebaliknya dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung sekuler, kondisi seperti itu jarang dijumpai. Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan usia lanjut. 4. Pendidikan Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pendidikan yang pernah dialami usia lanjut juga turut andil dalam membentuk kualitas keberagamaan usia lanjut. Subjek penelitian yang memiliki latar pendidikan yang lebih tinggi ditemukan memiliki perilaku beragama yang lebih mantap. Pendidikan dalam hal ini dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi yang pernah diikuti. K. Kesimpulan Sikap orang usia lanjut dalam beragama sangat menonjol jika kebutuhan akan beragama tertanam dalam dirinya. Kestabilan hidup seorang usia lanjut dalam beragama dan tingkah laku keagamaan, bukanlah kestabilan yang statis. Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan usia lanjut memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilainilai yang dipilihnya. Beragama bagi usia lanjut sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Namun, masih banyak lagi yang menjadi kendala kesempurnaan orang usia lanjut dalam beragama. Kematangan usia lanjut dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Hasil penelitian menemukan beberapa faktor yang mendorong terjadinya peningkatan sikap dan perilaku beragama pada usia lanjut. Pengabaian terhadap faktor-faktor ini juga diduga dapat menurunkan dan menghambat sikap dan perilaku beragama usia lanjut, yaitu : kapasitas diri, pengalaman masa lalu, tradisi agama, serta pendidikan formal maupun non-formal. L. Saran Manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbangan manusia dilandasi kepercayaan beragama. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya dalam meningkatkan kualitas beragama manusia secara umum, dan para usia lanjut secara khusus. Sejalan dengan hasil penelitian ini, maka upaya peningkatan kualitas beragama dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong perilaku beragama usia lanjut. Pengabaian terhadap faktor-faktor ini juga diduga dapat menurunkan dan menghambat sikap dan perilaku beragama usia lanjut, yaitu : kapasitas diri, pengalaman masa lalu, tradisi agama, serta pendidikan formal maupun non-formal. Untuk peneliti selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian selain di kota Medan. Akan lebih menarik lagi bila dilakukan pada subjek yang lebih heterogen, tidak dikhususkan pada usia lanjut. Variabel penelitian pun perlu diperluas guna memperdalam penelitian penelitian, pelibatan aspek lain yang relevan dan belum menjadi titik perhatian penelitian ini perlu dilakukan, misalnya aspek biologis dan sosial budaya. Metode yang digunakan juga harus menjadi perhatian, misalnya dengan menggunakan metode kuantitatif dan eksperimental.