BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Efektivitas Audit Internal Pemerintah 2.1.1.1. Pengertian Efektivitas Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Efektivitas disebut juga efektif apabila tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati target atau sasaran yang telah ditentukan hal ini berarti makin tinggi efektivitasnya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkannya. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya (Siagian, 2008). Pandangan di atas didukung oleh Hidayat (2009) yang mendefinisikan efektivitas sebagai berikut: “Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah tercapai. Dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya” Sawyer et al. (2009) memiliki pandangan terkait efektivitas: “Efektivitas menekankan hasil aktual dari dampak atau kekuatan untuk menghasilkan dampak tertentu.” Menurut Campbell (1989), efektivitas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan secara tepat. Pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dan ukuran maupun standar yang 13 14 berlaku mencerminkan suatu perusahaan tersebut telah memperhatikan efektivitas operasionalnya. Terdapat beberapa cara pengukuran terhadap efektivitas, sebagai berikut: 1. keberhasilan program, 2. keberhasilan sasaran, 3. kepuasan terhadap program, 4. tingkat input dan output, 5. pencapaian tujuan menyeluruh. Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas diukur berdasarkan hasil akhir atau tujuan yang diinginkan dengan tanpa memperhitungkan bagaimana atau seberapa pengorbanan yang diberikan atau ditimbulkan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Semakin besar persentase tujuan atau target yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. 2.1.1.2. Audit Internal Audit internal adalah suatu fungsi penilaian independen yang di bentuk dalam suatu organisasi untuk mengkaji dan mengevaluasi aktivitas organisasi. Menurut Tugiman (2006), audit internal adalah: “Suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilaksanakan”. Menurut Sawyer et al. (2009) audit internal adalah: “Internal auditing is an independent appraisal function establiesed within an organization to examine and evaluate its activities as a service to organization”. 15 Audit internal adalah kegiatan memberi keyakinan dan konsultasi yang independen dan objektif yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan operasional organisasi. Audit internal membantu organisasi untuk mencapai tujuannya, melalui suatu pendekatan yang sistematis dan teratur untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian, dan proses tata kelola perusahaan (IIA, 2012). Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, maka audit internal dianggap perlu untuk membantu pimpinan dan dewan direksi dalam mengawasi aktivitas organisasi. Semakin besar suatu organisasi, maka semakin luas pula rentang pengendalian mengendalikan yang dipikul aktivitas pimpinan. perusahaan, Keterbatasan sehingga pimpinan memerlukan suatu dalam alat pengendalian yang bersifat objektif dan tidak memihak, seperti audit internal, yang akan membantu dalam menentukan apakah rencana-rencana operasi, keuangan, kebijakan dan prosedur-prosedur yang dijalankan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Tanpa fungsi audit internal, pimpinan dan atau dewan direksi tidak memiliki sumber informasi internal yang bebas mengenai organisasi. 2.1.1.3. Fungsi Audit Internal Pemerintah Secara umum, audit internal bertujuan untuk membangun semua tingkatan manajemen agar tanggung jawabnya dilakukan secara efektif. Konsorsium organisasi profesi audit internal (2004) menyatakan bahwa: “Penanggung jawab fungsi internal audit harus mengelola fungsi internal audit secara efektif dan efisien untuk memastikan bahwa kegiatan fungsi tersebut memberikan nilai tambah bagi organisasi”. 16 Dari uraian di atas dapat disimpulkan secara singkat bahwa fungsi audit internal adalah sebagai alat bantu bagi manajemen untuk menilai efisien dan keefektifan pelaksanaan sturktur pengendalian intern perusahaan, kemudian memberikan hasil berupa saran atau rekomendasi dan memberi nilai tambah bagi manajemen yang akan dijadikan landasan untuk mengambil keputusan atau tindakan selanjutnya. Pada lingkungan pemerintahan, fungsi audit internal dijalankan oleh auditor inspektorat. Auditor inspektorat melakukan pengawasan fungsional terhadap pengelolaan keuangan pemerintah agar berdaya guna dan berhasil guna membantu manajemen pemerintahan dalam rangka pengendalian terhadap unit kerja yang dipimpinnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaran Pemerintah manyatakan bahwa pelaksaan urusan pemerintah di daerah meliputi, pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi, pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota, dan pelaksanaan urusan pemerintahan desa. Pelaksanaan terhadap urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh APIP sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Auditor inspektorat provinsi melakukan pengawasan terhadap: a) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota; b) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; dan c) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota. Inspektorat kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap: a) pelaksanaan urusan pemerintahan di 17 daerahakabupaten/kota; b) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa; dan c) pelaksanaan urusan pemerintahan desa. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 2007 juga menjelaskan tentang fungsi inspektorat provinsi, meliputi: a) perencanaan program pengawasan; b) perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan; c) pembinaan dan pelaksanaan pengawasan meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, sosial kemasyarakatan serta keuangan dan kekayaan daerah; d) pemeriksaan, pengusutan pengujian dan penilaian tugas pengawasan; e) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh kepala daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Inspektorat kabupaten dan kota mempunyai kedudukan, tugas pokok dan fungsi yang hampir sama tapi dalam konteks kabupaten dan kota masing-masing, yang diatur dan ditetapkan dengan PERDA masing-masing kabupaten dan kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu, orang-orang yang akan ditempatkan pada lembaga-lembaga pengawasan perlu dipersiapkan secara matang melalui pola pembinaan terpadu dan berkesinambungan. 2.1.1.4. Indikator Efektivitas Audit Internal Auditor inspektorat memiliki tugas dan tanggungjawab dalam mengelola fungsi audit internal pemerintah secara efektif dalam mengawasi kegiatan pemerintahan dan memastikan bahwa seluruh kegiatan pemerintahan telah dilakukan dengan baik sesuai dengan yang telah ditetapkan. Untuk menentukan 18 suatu derajat efektivitas perlu dilakukan pendekatan pada bagian yang berbedabeda. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) pada Bagian I Lingkungan Pengendalian huruf G tentang perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif dijelaskan sebagai berikut. 1. Di dalam instansi pemerintah terdapat mekanisme untuk memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut. a. Aparat pengawasan intern pemerintah, yang independen, melakukan pengawasan atas kegiatan instansi pemerintah. b. Aparat pengawasan intern pemerintah membuat laporan hasil pengawasan setelah melaksanakan tugas pengawasan. c. Untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, secara berkala dilaksanakan telaahan sejawat. 2. Di dalam instansi pemerintah terdapat mekanisme peringatan dini dan peningkatan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah. 3. Di dalam instansi pemerintah terdapat upaya memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan (good governance) tugas dan fungsi instansi pemerintah. 19 4. Hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan sehingga tercipta mekanisme saling uji. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut. a. Instansi pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan Intansi Pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan, serta melakukan pembahasan secara berkala tentang pelaporan keuangan dan anggaran, pengendalian intern serta kinerja. b. Pimpinan instansi pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah yang melaksanakan tanggung jawab pengendalian yang bersifat lintas instansi. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Tugiman (2006) bahwa untuk mencapai fungsi audit internal yang efektif terdapat sembilan dimensi ukuran efektivitas audit internal yang harus dipertimbangkan yaitu sebagai berikut. 1. Kelayakan dan arti penting temuan pemeriksaan beserta rekomendasinya (reasonable and meaningful findings and recommendations). Tolak ukur ini untuk melihat apakah suatu temuan dan rekomendasi dari audit internal dapat memberikan nilai tambah bagi auditee dan apakah dapat dipergunakan oleh manajemen sebagai suatu informasi yang berharga. 2. Respon dari objek yang diperiksa (auditee’s response and feedback). Berkaitan dengan tolak ukur pertama tetapi dengan umpan balik dan respon dari auditee, apakah temuan atau rekomendasi tersebut dapat diterima dan dioperasionalisasikan oleh auditee. Temuan pemeriksaan dan rekomendasi dari auditor yang tidak dapat dioperasionalisasikan dan tidak mendapat 20 respon dari auditee kemungkinan pula terjadi karena adanya kesalahan dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor atau sebab-sebab lainnya. 3. Profesionalisme auditor (profesinalism of the internal audit department). Adapun kriteria dari profesionalisme adalah sebagai berikut: a. independensi, b. integritas seluruh personil pemeriksaan, c. kejelian dan ketajaman review pimpinan tim pemeriksa, d. penampilan, sikap dan perilaku pemeriksa, e. kesanggupan dan kemampuan dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan auditee atas permasalahan yang diajukan, f. kemampuan tim pemeriksa dalam melakukan komunikasi dan didapatnya tanggapan yang baik dari auditee atau manajemen puncak, g. 4. pendidikan dan keahlian para pemeriksa. Peringatan dini (absence of surprise). Auditor dapat memberikan laporan peringatan dini baik dalam bentuk formal maupun informal mengenai kelemahan atau permasalahan operasi perusahaan serta kelemahan pengendalian manajemen. 5. Kehematan biaya pemeriksaan (cost effectiveness of internal audit department). Output dari suatu biaya pemeriksaan tidak dapat diukur. Bila pemeriksaan yang dilakukan mampu meminimalisasi biaya tanpa mengurangi nilai 21 tambah yang dihasilkan, maka pemeriksaan sudah efektif ditinjau dari tolak ukur ini. 6. Pengembangan personil (development of people). Jika pengembangan personil dianggap menjadi peran yang penting, maka pimpinan auditor akan menggunakan waktunya dalam pembinaan untuk penempatan dan pengembangan stafnya. 7. Umpan balik dari manajemen lainnya (operating management’s feedback). Umpan balik dari manajemen lainnya bersifat subjektif dan sangat dipengaruhi oleh profesi auditor itu sendiri. Sampai sejauh mana dukungan yang diberikan oleh para manajemen lainnya terhadap para auditor dalam melakasanakan kegiatan pemeriksaan. 8. Meningkatnya jumlah pemeriksaan (number of request for audit work). Semakin baik dan semakin meningkatnya kemampuan auditor maka manfaat dari audit ini akan semakin dirasakan. Dengan semakin dirasakannya manfaat tersebut, maka jumlah pemeriksaanpun akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan. 9. Tercapainya program pemeriksaan. Hal ini meliputi tindakan evaluasi terhadap resiko objek yang diperiksa serta jaminan bahwa bidang-bidang yang beresiko tinggi telah ditempatkan sebagai prioritas utama dalam perencanaan pemeriksaan. 22 2.1.2. Independensi Auditor 2.1.2.1. Pengertian Independensi Auditor internal harus mandiri dan terpisah dari berbagai kegiatan yang diperiksanya. Para auditor internal dianggap mandiri apabila dapat melaksanakan pekerjaannya secara bebas dan obyektif. Kemandirian para auditor internal dapat memberikan penilaian yang tidak memihak dan tanpa prasangka, hal mana sangat diperlukan atau penting bagi pemeriksaan sebagaimana mestinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana seseorang tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaannya adalah mandiri, tidak mengusung kepentingan pihak tertentu atau organisasi tertentu. Arens et al. (2008) mendefinisikan independensi dalam pengauditan sebagai Penggunaan cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit. Mulyadi (2002) mendefinisikan independensi sebagai berikut: “Keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain dan akuntan publik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan”. Berdasarkan adalah definisi-definisi di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai auditing bergantung pada persepsi publik akan independensi yang dimiliki auditor. Independensi dalam audit artinya mengambil sudut pandang yang tidak bias dalam melakukan uji audit, evaluasi hasil audit, dan pelaporan audit. 23 2.1.2.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Independensi Pernyataan standar umum kedua SPKN (BPK RI, 2007), menyatakan: “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya”. Berdasarkan pernyataan standar umum kedua di atas, organisasi pemeriksa dan para pemeriksanya bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak manapun. SPKN merinci tiga macam ganguan terhadap independensi. 1. Gangguan pribadi Gangguan pribadi adalah gangguan independensi yang berasal dari diri pemeriksa yang bersangkutan. Gangguan ini dapat dipengaruhi karena hubungan keluarga, pengalaman pekerjaan, dan kepentingan tertentu antara pemeriksa dengan entitas yang diperiksa (Par 19 PSP 01). 2. Gangguan ekstern Gangguan ekstern adalah gangguan independensi yang dialami oleh pemeriksa dan atau organisasi pemeriksa yang berasal dari ekstern organisasi pemeriksa (Par 23 PSP 01). 3. Gangguan organisasi Gangguan organisasi adalah gangguan independensi yang dipengaruhi oleh kedudukan, fungsi dan struktur organisasi pemeriksa (Par 25 PSP 01). 24 Mempertahankan perilaku independen bagi auditor dalam memenuhi tanggungjawab mereka adalah sangat penting, namun yang lebih penting lagi adalah bahwa pemakai laporan keuangan memiliki kepercayaan atas independensi itu sendiri. Namun, akuntan Indonesia terbiasa dengan hitungan seimbang, sehingga terpaksa melindungi perusahaan klien dari kebobrokan keuangan yang sebenarnya akan memperburuk citra profesi akuntan itu sendiri. 2.1.3. Budaya Lenge Rasa 2.1.3.1. Pengertian Budaya Lenge Rasa Lenge rasa secara bahasa memiliki arti segan atau sungkan yang disebabkan adanya perasaan tidak enak terhadap orang lain. Lenge rasa memiliki makna yang sama dengan ewuh pakewuh pada etnis Jawa. Menurut Nordholt (1987), pengertian sungkan atau lenge rasa berarti perasaan dalam keadaan terhimpit. Secara konseptual, apabila seseorang yang dianggap memiliki kedudukan sosial lebih tinggi, dalam sikap dan perkataannya dengan lebih jelas memperlihatkan bahwa dia berkedudukan sosial lebih tinggi, maka mereka yang berkedudukan sosial lebih rendah akan merasa begitu tertekan dan merasa terdesak. Dalam situasi tertekan dan terdesak, tak ada cara apapun yang dapat mereka gunakan untuk menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat bertentangan. Dalam keadaan demikian mereka akan tutup mulut, meskipun mereka yang dianggap berkedudukan sosial lebih tinggi dengan jelas melakukan kesalahan. Seperti etnis lain di Indonesia, masyarakat etnis Sumbawa memiliki konsep diri yang selalu mengutamakan rasa saleng dan ilaq (malu/harga diri). Konsep 25 kearifan lokal yang didasari rasa saleng, yaitu: saleng sakiki (saling berbagi rasa), saleng pedi (saling mengasihi), saleng satingi (saling menghormati), saleng satotang (saling mengingatkan), saleng sadu (saling percaya), saleng sayang (saling sayang), saleng tulung (saling bantu), saleng beme (saling bimbing), saleng jango (saling jenguk), saleng santuret (saling seia sekata). Konsep diri masyarakat Sumbawa untuk selalu mengutamakan hidup selaras, serasi, harmonis dan berkeseimbangan dengan rasa saleng (Indonesia: saling) dalam hubungannya dengan orang lain inilah yang menimbulkan perasaan lenge rasa, sehingga masyarakat Sumbawa senantiasa menjaga hubungan baik antar pribadi, antar keluarga dan antar golongan (Zulkarnaen, 2011). Lenge rasa atau perasaan segan dan sungkan diterima oleh etnis Sumbawa sebagai sesuatu yang positif. Lenge rasa yang merupakan manifestasi dari rasa saleng dan ilaq dapat membuat seseorang mengingat lingkungan sosialnya, sehingga menimbulkan keengganan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak pantas atau menyimpang. Sebaliknya, karena tidak memiliki lenge rasa akan menyebabkan banyak orang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang, tanpa memperdulikan kata-kata dan pikiran yang berasal dari lingkungan mereka (Kalimati, 2005). Lenge rasa tidak hanya terjadi di etnis Sumbawa, namun juga terdapat pada etnis-etnis lain di Indonesia. Sutamat Arybowo (Soeharjono, 2011), peneliti kebudayaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan bahwa di etnis Batak terdapat proses demokrasi yang disebut dalihan na tolu, yaitu suatu pandangan hidup yang memposisikan individu atau kelompok di atas, 26 di tengah dan di bawah sebagai salah satu solusi terhadap sikap lenge rasa di antara kelompok etnis Batak. Di etnis Minang, lembaga adat ninik mamak adalah salah satu solusi untuk mengatasi lenge rasa di antara individu atau kelompok etnis Minang. Di Buton, suksesi tahta kerajaan yang dilakukan melalui pemilihan juga dimaksudkan untuk mengatasi lenge rasa di antara anggota keluarga kerajaan. Di etnis Bugis, mereka mengenal budaya siri yang pada hakikatnya juga mencerminkan lenge rasa terkait dengan penyelesaian masalah di antara individu atau kelompok dalam masyarakat etnis Bugis. Dan pada etnis Sasak, masyarakat dibagi atas beberapa kasta berdasarkan garis keturunan. Kasta tertinggi dianggap memiliki keistimewaan (privilege) sehingga kasta-kasta yang berada dibawahnya akan segan dan menghormatinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya lenge rasa tidak hanya terjadi di etnis Sumbawa, namun juga terdapat di etnis-etnis lain di Indonesia. Budaya lenge rasa tersebut memberikan warna terhadap budaya nasional Indonesia. 2.1.3.2. Budaya Lenge Rasa pada Lingkup Pemerintahan Budaya lenge rasa tidak hanya terjadi di etnis Sumbawa, namun juga terdapat di etnis-etnis lain di Indonesia. Budaya lenge rasa telah memberikan warna terhadap budaya nasional Indonesia, kemudian masuk dalam lingkungan pemerintah sehingga lenge rasa di antara aparat pejabat pemerintahan menjadi budaya di Indonesia. 27 Berdasarkan definisi konseptual Nordholt (1987) di atas dapat disimpulkan bahwa budaya lenge rasa pada lingkup pemerintahan, yaitu pola sikap sopan santun di lingkungan pemerintah yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat yang segan atau sungkan menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat bertentangan, demi menghindari konflik dan menjaga jalinan hubungan baik dengan mereka yang dianggap lebih tinggi kedudukan sosialnya. Muhtar (2008) mengemukan bahwa dinamika budaya lenge rasa atau perasaan segan dan sungkan telah masuk dilingkup pemerintahan di kebanyakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sehingga pemerintah belum mampu menunjukkan kinerja yang optimal. Hal ini disebabkan adanya berbagai kelemahan yang berkaitan dengan kultur dan etika, yaitu masih adanya budaya lenge rasa di mana seorang yang bersalah atau melakukan penyimpangan tidak mendapatkan sanksi sebagaimana mestinya. Sikap tersebut bisa terjadi karena orang yang melanggar itu memiliki status kepangkatan atau jabatan yang lebih tinggi, ada hubungan keluarga, atau karena adanya tekanan dan ancaman dari kelompok tertentu. Sikap ini akan mengakibatkan seseorang tidak bertindak rasional dan tidak dapat membedakan mana urusan dinas dan mana urusan pribadi. Berdasarkan hal-hal yang dikemukan di atas, jelas tergambar bahwa sistem pemerintahan perlu ditata secara formal untuk menghindari tindakan yang tidak rasional yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Dengan tata kelola pemerintahan yang baik, maka diharapkan pemerintahan dapat menjadi lebih efektif dan efisien. 28 2.1.3.3. Dimensi Budaya Hofstede, Gray dan Schwartz Terkait dengan pengaruh budaya terhadap lingkungan akuntansi, penelitianpenelitian terdahulu membuktikan bahwa dimensi budaya Hofstede (1980), Gray (1988), dan Schwartz (1994), berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktik-praktik akuntansi, baik di tataran nasional maupun tataran internasional. Hofstede (1980) telah menguraikan empat dimensi preferensi sosial untuk mengukur nilai-nilai dasar (the base values) dari individuindividu dalam berperilaku di masyarakat. Dimensi budaya Hofstede (1980) tersebut adalah sebagai berikut. 1. Individualism (individualitas) Individualitas memeiliki pengertian yaitu suatu preferensi sosial dalam suatu komunitas atau instansi untuk menjalin hubungan sosial yang longgar di mana individu-individu hanya memperhatikan diri mereka dan keluarganya saja. Dimensi ini memiliki nilai atau parameter: derajat interdependensi di antara individu-individu dalam suatu komunitas atau instansi. 2. Power Distance (rentang kekuasaan) Power distance mempunyai pengertian yaitu suatu preferensi sosial dalam suatu komunitas atau instansi di mana kekuasaan atau kewenangan dalam suatu komunitas atau instansi didistribusikan secara berjenjang (hierarki). Adapun nilai atau parameter dari dimensi ini adalah: komunitas dalam suatu instansi dapat menerima ketidaksamaan (inequality) yang terjadi di antara mereka. 29 3. Uncertainty Avoidance (menghindari ketidakpastian) Uncertainty avoidance atau menghindari ketidakpastian, yaitu suatu preferensi sosial dalam suatu komunitas atau instansi untuk menghindari ketidakpastian atau ambiguitas. Nilai atau parameter dimensi ini adalah: tidak bersedia memberikan toleransi terhadap kondisi ketidakpastian atau kondisi ambiguitas (mendua). 4. Masculinity (maskulinitas) Maskulinitas yaitu suatu preferensi sosial dalam suatu komunitas atau instansi untuk menonjolkan sikap keterbukaan atau apa adanya, dengan nilai atau parameternya adalah: membuat prestasi, memompa semangat heroik, bersikap asertif, dan keberhasilan secara materi Selanjutnya, Gray (1988) telah mendefinisikan empat nilai-nilai sub budaya akuntansi (accounting sub culture values atau accounting values), yaitu sebagai berikut. 1. Professionalism (profesionalitas) Profesionalitas mempunyai pengertian sebagai suatu preferensi sosial untuk melaksanakan pertimbangan profesional dan memelihara aturan-aturan atau regulasi profesional yang dibuat untuk kalangan sendiri. Nilai-nilai atau parameter-parameter: melaksanakan keputusan individu secara professional (individual professional judgement), professional (professional self-regulation). dan memelihara aturan-aturan 30 2. Uniformity (keseragaman) Uniformity memiliki pengertian sebagai suatu preferensi social, dengan nilai atau parameter: menyelenggarakan keseragaman praktik-praktik akuntansi di antara perusahaan-perusahaan. Praktik-praktik ini digunakan secara konsisten sepanjang waktu. 3. Conservatism (konservatisme) Konservatisme mempunyai pengertian sebagai suatu preferensi social. Nilai atau parameter: pendekatan kehati-hatian (cautious approach), karena menghadapi kejadian-kejadian di masa mendatang yang belum pasti. 4. Secrecy (kerahasiaan) Secrecy atau kerahasiaan mempunyai pengertian sebagai suatu preferensi social. Nilai-nilai atau parameter-parameter: menjaga kerahasiaan, dan pembatasan informasi tentang bisnis, yaitu hanya kepada mereka yang sangat terkait dengan manajemen. Selain dimensi-dimensi budaya yang dikemukakan oleh Hofstede dan Gray yang telah disebutkan di atas, Schwartz (1994) mendefinisikan enam dimensi budaya, yaitu sebagai berikut. 1. Mastery (penguasaan) Mastery mempunyai pengertian sebagai upaya aktif dari seseorang untuk menguasai, mengeksploitasi dan mengubah lingkungan sosial untuk mencapai tujuan pribadi atau tujuan kelompok. Ambisi, kompetensi, keberanian, dan sukses adalah nilai atau parameter yang terkait dengan mastery. 31 2. Harmony (keselarasan) Harmony memiliki pengertian sebagai preferensi seseorang dalam menjaga lingkungan secara harmonis. Perdamaian dan menyatu dengan alam adalah merupakan nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini. 3. Embeddedness (keterikatan) Embeddedness mempunyai arti sebagai preferensi seseorang untuk berpartisipasi dan mengikuti cara hidup kelompoknya (the group's way of life) serta mengidentifikasikan dirinya dengan kelompoknya. Adapun nilai atau parameter dari dimensi ini adalah keamanan, tradisi, tingkatan sosial (social order), dan kearifan (wisdom). 4. Autonomy (otonomi) Autonomy memiliki arti sebagai pernyataan yang terkait dengan nilai atau parameter: atribut-atribut individu, dan keunikan (uniqueness). Autonomy meliputi hal berikut ini. a. Intellectual Autonomy, yaitu preferensi individu-individu untuk mengikuti ide-ide dan jalan mereka sendiri, dengan nilai atau parameter: cakrawala pandang yang luas (broadmindedness), kreativitas, dan rasa ingin tahu (curiosity). b. Affective Autonomy, yaitu preferensi individu-individu untuk mencari pengalaman-pengalaman positif, dengan nilai atau parameter: kegembiraan (excitement), dan kesenangan (pleasure). 32 5. Hierarchy (hierarki) Hierarchy mempunyai pengertian sebagai preferensi dalam memberikan legitimasi atas ketidaksamaan dalam membagi kekuasaan, sumber daya dan peran. Adapun nilai-nilai atau parameter-parameter yang terkait dengan dimensi ini adalah: otoritas (authority), kekuasaan sosial (social power), kekayaan (wealth), dan kerendahan hati (humility). 6. Egalitarianism (kesamaan kedudukan) Egalitarianism atau kesamaan kedudukan memiliki pengertian sebagai preferensi individu-individu yang mendorong mereka untuk mempertimbangkan satu sama lain sebagai kesamaan moral (moral equals) untuk membagi kepentingan dan kebutuhan dasar sebagai manusia. Kesamaan, kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan social adalah merupakan nilai atau parameter yang terkait dengan dimensi ini. Indikator-indikator tersebut merupakan non actionable indicators, yaitu indikator yang bersifat persepsi atau preferensi, tidak langsung dapat dipengaruhi, dan untuk menunjukkan suatu kondisi lenge rasa diperoleh melalui penggabungan dari berbagai indikator (Soeharjono, 2011). 2.1.4. Karakteristik Individu 2.1.4.1. Pengertian Karakteristik Individu Setiap usaha untuk mengetahui mengapa orang berperilaku seperti yang dilakukannya dalam organisasi, memerlukan pemahaman tentang perbedaan individu. Pengambilan keputusan tentang siapa akan melaksanakan tugas apa 33 dengan cara tertentu, tanpa mengetahui perilaku, dapat menimbulkan persoalan jangka panjang yang tak dapat diubah lagi (Gibson, 1995). Setiap pegawai mempunyai perbedaan dalam banyak hal. Seorang manajer harus mengetahui bagaimana perbedaan tersebut yang mempengaruhi perilaku dan prestasi bawahannya (Gibson, 1995). Dengan mengetahui perbedaan individu (karakteristiknya), para manajer akan dapat menentukan pekerjaan atau tugastugas yang sesuai dengan karakter tersebut. Jika manajer telah dengan tepat memilih karyawan dengan karakter yang sesuai dengan pekerjaannya maka efektivitas kerja dari karyawan akan dapat tercapai. 2.1.4.2. Indikator Karakteristik Individu Sumber daya yang terpenting dalam organisasi adalah sumber daya manusia, orang-orang yang memberikan tenaga, bakat, kreativitas, dan usaha mereka kepada organisasi agar suatu organisasi dapat tetap eksistensinya. Setiap manusia memiliki karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Robbins (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mudah didefinisikan dan tersedia, data yang dapat diperoleh sebagian besar dari informasi yang tersedia dalam berkas personalia seorang pegawai mengemukakan karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungan dan masa kerja dalam organisasi. Menurut Siagian (2008), karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja. 34 Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, indikator karakteristik individu yang membentuk dalam organisasi meliputi: usia, jenis kelamin, status perkawinan, masa kerja, dan jumlah tanggungan. 1. Usia. Kamus Umum Bahasa Indonesia menyatakan bahwa usia (umur) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). Terdapat suatu keyakinan meluas bahwa produktivitas merosot dengan makin bertambahnya usia seseorang. Sering diandaikan bahwa keterampilan individu (terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan, dan koordinasi) menurun seiring dengan berjalannya waktu, dan bahwa kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan intelektual semuanya menyumbang pada berkurangnya produktivitas (Robbins, 2006). Siagian (2008) memiliki pandangan yang berbeda bahwa semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat pula kedewasaan teknisnya, demikian pula psikologis serta menunjukkan kematangan jiwa. Usia yang semakin meningkat akan meningkat pula kebijakan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berpikir rasional, mengendalikan emosi dan bertoleransi terhadap pandangan orang lain, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan motivasinya untuk berprestasi. 2. Jenis Kelamin Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia dibedakan menurut dua jenis kelamin yaitu pria dan wanita. Robbins (2003) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam kemampuan memecahkan 35 masalah, ketrampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas atau kemampuan belajar. Namun, studi-studi psikologi telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita dalam memiliki pengharapan untuk sukses. Bukti yang konsisten juga menyatakan bahwa wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih tinggi dari pada pria. 3. Status Perkawinan Soekanto (2003) menyatakan bahwa perkawinan (marriage) adalah ikatan yang sah antara seorang pria dan wanita yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara mereka maupun turunannya. Tidak terdapat cukup banyak penelitian untuk menarik kesimpulan tentang dampak status perkawinan pada produktivitas. Namun, riset secara konsisten menunjukkan bahwa karyawan yang menikah memiliki prestasi kerja yang lebih baik dari pada karyawan yang belum menikah. Dyne dan Graham (2005) menyatakan bahwa seseorang yang telah menikah cenderung memiliki prestasi kerja yang baik karena akan menerima berbagai bentuk imbalan, baik finansial maupun non finansial yang semuanya menunjukkan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada keluarganya. Mereka yang menikah lebih terikat dengan organisasi, sehingga dapat membentuk suatu komitmen yang kuat terhadap organisasi tempat mereka berada. 4. Masa Kerja Siagian (2008) menyatakan bahwa masa kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-masing pekerjaan atau jabata. Banyak pandangan 36 yang mengaitkan antara lama kerja dengan keterampilan dan prestasi kerja. Anderson (1994) menyatakan bahwa semakin lama pengalaman kerja seseorang maka akan semakin terampil petugas tersebut. Biasanya seseorang yang telah lama bekerja pada bidang tertentu akan semakin mudah memahami tugas dan tanggungjawabnya, sehingga memberi peluang orang tersebut untuk meningkatkan prestasinya. Sejalan dengan pandangan di atas, Robbins (2003) mengemukakan semakin lama karyawan bekerja pada suatu organisasi semakin memberi dia peluang untuk menerima tugas-tugas yang lebih menantang, otonomi yang lebih besar, keleluasan bekerja, tingkat imbalan ekstrinsik yang lebih tinggi dan peluang menduduki jabatan atau posisi yang lebih tinggi. 5. Banyaknya Tanggungan Siagian (2008) menyatakan bahwa jumlah tanggungan adalah seluruh jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan seseorang. Bukti yang kuat menyatakan bahwa banyaknya anak yang dipunyai seorang karyawan mempunyai korelasi yang positif dengan absensi, terutama diantara wanita. Serupa pula tampaknya bukti menunjukkan suatu hubungan yang positif antara banyaknya tanggungan dan kepuasan kerja. Kontras dengan itu, studi menghubungkan banyaknya tanggungan dan pergantian karyawan menghasilkan hasil yang tidak konsisten. Beberapa penelitian menyatakan bahwa anak-anak meningkatkan pergantian yang lain menunjukkan mereka menyebabkan pergantian yang lebih rendah (Robbins, 1996). Menurut Siagian (2008) menyatakan bahwa semakin besar jumlah tanggungan seseorang maka akan semakin besar komitmennya 37 terhadap organisasi, hal ini disebabkan karena seseorang akan semakin rajin dan bersemangat dalam bekerja. 2.2. Landasan Teoritis 2.2.1. Teori Sikap Teori sikap dan perilaku (theory of attitude and behaviour) yang dikembangkan dipandang sebagai teori yang dapat mendasari untuk menjelaskan independensi dan budaya lenge rasa. Teori tersebut menyatakan bahwa perilaku ditentukan untuk apa orang-orang ingin lakukan (sikap), apa yang mereka pikirkan akan mereka lakukan (aturan-aturan sosial), apa yang mereka bisa lakukan (kebiasaan), dan dengan konsekuensi perilaku yang mereka pikirkan. Robbins dan Judge (2008) mengatakan bahwa sikap yang diambil auditor menentukan apa yang akan mereka lakukan. Ketidakselarasan antara sikap dan perilaku bisa terjadi karena adanya tekanan yang sangat kuat terhadap auditor untuk berperilaku dengan cara tertentu. Jika seorang auditor memiliki sikap sesuai dengan etika profesi yang berlaku, maka kinerja audit yang dihasilkan semakin baik dan efektif. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja audit yang dilakukan oleh auditor inspektorat akan dapat dicapai dengan baik dan efektif jika perilaku dan sikap dari auditor inspektorat dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab mereka sebagai auditor internal pemerintah yang melakukan pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan di daerah dilaksanakan secara independen serta dapat 38 bertindak adil tanpa dipengaruhi oleh tekanan atau permintaan dari pihak tertentu yang berkepentingan atas hasil audit. Ketika independensi auditor hilang disebabkan adanya tekanan atau adanya perasaan lenge rasa terhadap obyek pemeriksaan yang dianggap lebih tinggi kedudukannya atau memiliki keistimewaan (privilege) maka akan menghambat kinerja auditor dalam mencapai tujuan dan sasaran audit yang telah ditetapkan. 2.2.2. Teori Keagenan Menurut Hadiprajitno (2013), teori keagenan merupakan ranting yang diturunkan dari teori ekonomi neoklasik Adam Smith. Prinsipal dan agen diasumsikan sebagai orang yang memiliki rasional ekonomis (rational economic person) yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi, tetapi mereka mungkin berbeda rasa dalam preferences, beliefs dan informasi. Prinsip utama teori ini menyatakan bahwa organisasi sebagai suatu hubungan kerja sama antara pemegang saham (prinsipal) dan manajer (agent) berdasarkan kontrak yang telah disepakati. Manajer perusahaan yang bukan pemilik sepenuhnya perusahaan, tidak dapat diharapkan berkinerja baik sesuai tujuan pemilik lainnya. Manajer tidak menanggung resiko atas kesalahan dalam pengambilan keputusan, dan resiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemegang saham (prinsipal). Oleh karena itu, para manajer cenderung melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak produktif untuk kepentingan pribadinya, seperti peningkatan gaji dan status. Scott (2000) menjelaskan bahwa terdapat tiga kondisi yang akan menyebabkan terjadinya kecurangan (fraud triangle teory), yaitu sebagai berikut. 39 1. Tekanan Tekanan merupakan situasi dimana manajemen atau pegawai lain merasakan insentif atau tekanan untuk melakukan kecurangan. Tekanan yakni insentif yang mendorong orang melakukan kecurangan karena tuntutan gaya hidup, ketidakberdayaan dalam soal keuangan, perilaku gambling, mencoba-coba untuk mengalahkan sistem dan ketidakpuasan kerja. 2. Kesempatan Kesempatan yaitu adanya atau tersedianya kesempatan untuk melakukan kecurangan atau situasi yang membuka kesempatan bagi manajemen atau pegawai untuk melakukan fraud. 3. Rasionalisasi Rasionalisasi dapat diartikan sebagai adanya atau munculnya sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis yang membolehkan manajemen atau pegawai untuk melakukan tindakan yang tidak jujur. Rasionalisasi sebagai pemikiran yang menjustifikasi tindakannya sebagai suatu perilaku yang wajar, yang secara moral dapat diterima dalam suatu masyarakat yang normal. Dari uraian diatas, relevan jika dipandang teori keagenan sebagai teori yang dapat mendasari untuk menjelaskan efek memediasi budaya lenge rasa pada pengaruh langsung independensi terhadap efektivitas audit internal pemerintah. Asumsinya bahwa pemerintah sebagai agent pemerintahan dan DPRD sebagai principal pemerintahan. Keduanya mempunyai tujuan berbeda yang telah 40 ditentukan oleh undang-undang. Auditor internal pemerintah yang bertanggungjawab melakukan audit terhadap pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan harus independen dalam menyampaikan hasil audit tanpa dipengaruhi oleh tekanan atau permintaan dari pihak tertentu. Namun, jika auditor merasa tertekan karena adanya permintaan atau adanya perasaan lenge rasa terhadap pihak tertentu sehingga menghalanginya untuk menyampaikan hasil audit yang sebenarnya, maka akan menghambat tercapainya tujuan dan sasaran audit dengan baik dan efektif. 2.2.3. Teori Atribusi Teori atribusi dikembangkan oleh Fritz Heider. Teori atribusi berargumentasi bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan eksternal (eksternal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan (Ikhsan & Ishak, 2008). Hal yang sama dikemukakan Robbins (2006) bahwa teori atribusi adalah perilaku seseorang yang disebabkan oleh faktor internal atau faktor eksternal. Indayani dkk. (2015) dan Wicaksana dkk. (2015) menggunakan karakteristik individu auditor sebagai faktor internal yang mempengaruhi kualitas audit dan rentang waktu penyelesaian audit, menemukan bahwa karakteristik individu auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit dan rentang waktu penyelesaian audit. 41 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selain faktor-faktor eksternal auditor, faktor-faktor internal auditor juga berpengaruh terhadap kinerja auditor dalam mencapai efektivitas audit yang telah ditetapkan. Teori atribusi dipandang sebagai teori yang dapat mendasari untuk menjelaskan pengaruh karakteristik individu auditor terhadap efektivitas audit internal pemerintah. 42 2.3. Kajian Empiris Sebagai acuan dari penelitian ini dapat disebutkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan sebelumnnya, antara lain sebagai berikut. Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu No Nama dan Tahun Penelitian Muh. Taufiq Efendy (2010) Metode Analisis Regresi linear berganda Variabel Independen Kompetensi, independensi, dan motivasi Variabel Dependen Kualitas audit aparat inspektorat 2 Latifa Agustina (2010) Regresi berganda Kompetensi dan independensi Efektivitas peran audit internal dalam mewujudkan good corporate governance Kompetensi dan independensi berpengaruh positif terhadap efektivitas peran audit internal dalam mewujudkan good corporate governance 3 Harry Indradjit Soeharjono (2011) SEM Budaya Birokrasi “Ewuh-Pakewuh Efektivitas Sistem Pengendalian Intern Hasil survei dengan pendekatan kualitatif dan hasil wawancara mendalam membuktikan secara empirik bahwa pengaruh budaya birokrasi ewuhpakewuh menjadikan sistem pengendalian intern tidak efektif. 1 Variabel Kontrol Hasil Penelitian Kompetensi dan motivasi berpengaruh positif terhadap kualitas audit apara inspektorat. Sedangkan variabel independensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit aparat inspektorat 43 No Nama dan Tahun Penelitian Murtiadi Awaluddin (2013) Metode Analisis SEM Variabel Independen Independensi dan kompetensi Variabel Dependen Kepuasan kerja dan kinerja auditor Inspektorat 5 Abdulaziz Alzeban, dan David Gwilliam (2014) Regresi linier berganda Kompetensi IAD (COMP), Ukuran IAD (ZISE), Hubungan antara auditor internal dengan eksternal (RELEX) dan Dukungan manajemen (MSUP), Independensi (IND) Efektifitas audit internal (IAE) 6 Anita Sari (2014) Regresi berganda Keahlian Auditor, Independensi Auditor, dan Etika Auditor Kualitas Audit BPK RI Sulawesi Selatan 4 Variabel Kontrol Hasil Penelitian Independensi dan kompetensi secara parsial dan simultam berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja dan kinerja auditor inspektorat Hasil analisis menyajikan korelasi variabel dependen dan independen. IAE positif dan signifikan berkorelasi dengan lima variabel Independen (p <.01: COMP, UKURAN, RELEX, MSUP; p <.05: IND). Hasil regresi juga menunjukkan bahwa IAE memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan Kompetensi IAD, Ukuran IAD, dan Dukungan manajemen pada p <.01, dan p <.05 pada variable Hubungan Antara Auditor Internal dan Eksternal, dan Independensi di sektor publik Arab Saudi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Independensi auditor berpengaruh terhadap kualitas audit. Semakin auditor mampu menjaga independensinya dalam menjalankan penugasan profesionalnya maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin baik. Secara simultan keahlian, independensi, dan etika berpengaruh signifikan terhadap meningkatnya kualitas audit BPK RI Sulawesi Selatan. 44 No 7 8 Nama dan Tahun Penelitian Putu Ira Indayani, Edy Sujana, dan Luh Gede Emi Sulindawati (2015) Metode Analisis Regresi liner berganda Variabel Independen Gender,tingkat pendidikan formal dan pengalaman kerja auditor Variabel Dependen Kualitas audit Made Wicaksana dan Ketut Budiartha (2015) Regresi liner berganda Tingkat pendidikan, pengalaman kerja, Komitmen Profesional dan disiplin auditor Rentang waktu penyelesaian audit Variabel Kontrol Hasil Penelitian Gender,tingkat pendidikan formal dan pengalaman kerja auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit Tingkat pendidikan, pengalaman kerja, Komitmen Profesional dan disiplin auditor berpengaruh positif terhadap rentang waktu penyelesaian audit 45 Berdasarkan tabel di atas, beberapa penelitian di dalam maupun luar negeri yang dilakukan untuk menguji hubungan independensi terhadap efektivitas kinerja audit internal pemerintah memperoleh hasil temuan yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2010), Awaluddin (2013), Sari (2014), dan Alzeban dan Gwilliam (2014) menemukan bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap efektivitas audit dan kinerja audit. Sementara itu, Efendy (2010) memperoleh hasil temuan yang berbeda bahwa independensi tidak berpengaruh terhadap kinerja auditor. Penulis berargumen bahwa ketidak konsistenan hasil temuan tersebut mungkin disebabkan adanya foktor lain yang mempengaruhi hubungannnya, yaitu adanya pengaruh kultur dan etika. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis menambahkan budaya lenge rasa sebagai variabel intervening pada pengaruh independensi terhadap efektivitas audit internal pemerintah. Penulis meyakini bahwa budaya lenge rasa dapat menggangu independensi auditor dalam menjalankan peran dan fungsi mereka sebagai auditor internal pemerintah sehingga akan menghambat efektivitas kinerja mereka dalam mencapai tujuan dan sasaran audit yang telah ditetapkan. 2.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. 2.4.1. Pengaruh Independensi terhadap Efektivitas Audit Internal Pemerintah Robbins dan Judge (2008) mengatakan bahwa sikap yang diambil auditor menentukan perilaku apa yang akan mereka lakukan dan ketidakselarasan antara 46 sikap dan perilaku bisa terjadi karena adanya tekanan yang sangat kuat terhadap auditor untuk berperilaku dengan cara tertentu. Jika seorang auditor memiliki sikap sesuai dengan etika profesi yang berlaku, maka kinerja audit yang dihasilkan semakin baik dan efektif. Prinsip-prinsip perilaku yang berlaku bagi auditor sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/03/2008 tentang kode etik APIP dan PER/05/M.PAN/03/2008 tentang standar audit APIP, diantaranya adalah mengatur tentang independensi APIP. Independensi diperlukan agar auditor dapat bertindak adil tanpa dipengaruhi oleh tekanan atau permintaan pihak tertentu yang berkepentingan atas hasil audit. Hal ini mengandung arti bahwa independensi auditor diperlukan agar efektivitas hasil audit yang mereka kerjakan meningkat. Asumsi ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Alzeban dan Gwilliam (2014) tentang faktor-faktor yang mendukung efektivitas audit internal pada sektor publik di Arab Saudi menemukan bahwa independensi auditor internal positif dan signifikan berkorelasi terhadap efektivitas audit internal. Semakin tinggi independensi auditor internal maka semakin efektif hasil audit yang dicapai. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Independensi berpengaruh positif terhadap efektivitas audit internal pemerintah. 47 2.4.2. Pengaruh Budaya Lenge Rasa terhadap Efektivitas Audit Internal Pemerintah Budaya lenge rasa adalah sikap sungkan atau rasa segan serta menjunjung tinggi rasa hormat terhadap orang lain. Sikap lenge rasa dikalangan auditor inspektorat bisa terjadi ketika menghadapi obyek audit yang dianggap memiliki status kepangkatan atau jabatan yang lebih tinggi, adanya hubungan keluarga, atau karena adanya tekanan dan ancaman dari kelompok tertentu. Pada kondisi tersebut, auditor lebih memilih diam dan tidak melaporkan hasil temuan audit yang sebenarnya, meskipun mereka yang dianggap memiliki status kepangkatan atau jabatan yang lebih tinggi telah melakukan kesalahan atau penyimpangan. Sikap tersebut bertentangan dengan etika profesi yang berlaku sehingga akan menghambat efektivitas kinerja mereka dalam mencapai tujuan audit yang telah ditetapkan. Perilaku tersebut selain tidak mempertimbangkan gagasan tentang profesionalisme dan akuntabilitas, juga berdampak pada terjadinya nontransparansi bahkan cenderung mengarah pada terjadinya pembiaran terhadap tindak korupsi, kolusi dan nepotisme. Penelitian terkait faktor budaya yang mempengaruhi efektivitas audit internal pemerintah dilakukan oleh Soeharjono (2011) yang membuktikan secara empirik bahwa pengaruh budaya birokrasi ewuh pakewuh menjadikan sistem pengendalian intern tidak efektif. Hal itu dikarenakan pegawai atau pejabat selaku bawahan segan atau sungkan menyatakan pendapatnya yang mungkin bersifat bertentangan. 48 Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Budaya lenge rasa berpengaruh negatif terhadap efektivitas audit internal pemerintah. 2.4.3. Pengaruh Karakteristik Individu terhadap Efektivitas Audit Internal Pemerintah Setiap manusia memiliki karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Karakteristik individu adalah faktor internal merupakan perbedaan dari masing-masing sehingga mempengaruhi perilaku kerja. Dalam penelitian ini indikator yang digunakan adalah usia, jenis kelamin, status perkawinan, masa kerja dan jumlah tanggungan (Robbins, 2006). Dengan mengetahui karakteristik individu seseorang, maka akan dapat ditentukan tugas apa yang sesuai dengannya, sehingga efektivitas kerja akan tercapai. Indayani dkk. (2015) dan Wicaksana dkk. (2015) menggunakan karakteristik individu auditor sebagai faktor internal auditor yang mempengaruhi kualitas audit dan rentang waktu penyelesaian audit. Mereka menemukan bahwa karakteristik individu auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit dan rentang waktu penyelesaian audit. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Karakteristik individu auditor berpengaruh positif terhadap efektivitas audit internal pemerintah. 49 2.4.4. Pengaruh Independensi terhadap Efektivitas Audit Internal Pemerintah Melalui Budaya Lenge Rasa Sebagai Variabel Intervening Beberapa penelitian terdahulu yang menguji hubungan independensi dengan kinerja auditor memperoleh hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2010), Awaluddin (2013), Sari (2014), dan Alzeban dan Gwilliam (2014) menemukan bahwa independensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas audit internal. Namun hasil berbeda di temukan oleh Efendy (2010), bahwa independensi tidak berpengaruh terhadap kualitas audit aparat inspektorat. Berdasarkan hal tersebut, penulis berkesimpulan bahwa ketidak konsistenan hasil temuan pada penelitian terdahulu mungkin disebabkan adanya faktor yang lain yang mempengaruhi hubungan independensi dengan efektivitas kinerja auditor, yaitu adanya budaya lenge rasa dikalangan auditor inspektorat. Perilaku dan sikap independen yang sesuai dengan etika profesi yang berlaku diharapkan dari auditor untuk mencapai hasil audit yang baik dan efektif. Namun, ketidakselarasan antara sikap dan perilaku yang diambil auditor dengan etika profesi yang berlaku karena adanya tekanan atau adanya rasa lenge rasa terhadap pihak tertentu untuk mengungkapkan hasil temuan audit sebenarnya yang mungkin bersifat bertentangan, akan menyebabkan auditor kehilangan independensinya dan pada akhirnya akan menghambat tercapainya tujuan audit secara efektif. Berdasarkan asumsi di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 50 H4: Independensi melalui budaya lenge rasa sebagai variabel intervening berpengaruh negatif terhadap efektivitas audit internal pemerintah. 2.5. Kerangka Konseptual Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya dapat diperoleh kerangka pemahaman bahwa efektivitas audit internal pemerintah dipengaruhi oleh faktor independensi, budaya lenge rasa serta karakteristik individu auditor. Independensi diperlukan agar auditor dapat bertindak adil tanpa dipengaruhi oleh tekanan atau permintaan pihak tertentu yang berkepentingan atas hasil audit. Hal ini mengandung arti bahwa independensi auditor diperlukan agar efektivitas hasil audit yang mereka kerjakan meningkat. Semakin independen auditor yang melakukan audit maka akan semakin baik dan efektif audit yang mereka kerjakan. Audit yang dilakukan oleh auditor inspektorat terkadang menemui kendala dalam pelaksanaannya, diantaranya disebabkan adanya berbagai kelemahan yang berkaitan dengan kultur dan etika, yaitu masih adanya perasaan lenge rasa di mana seorang yang bersalah atau melakukan penyimpangan tidak mendapatkan sanksi sebagaimana mestinya. Sikap tersebut bisa terjadi ketika menghadapi obyek audit yang dianggap memiliki status kepangkatan atau jabatan yang lebih tinggi, adanya hubungan keluarga, atau karena adanya tekanan dan ancaman dari kelompok tertentu. Perilaku tersebut bertentangan dengan etika profesi sehingga dapat menghambat tercapainya tujuan dan sasaran audit yang telah ditetapkan. Faktor lain yang diidentifikasi dapat mempengaruhi efektivitas auditor dalam mencapai hasil audit yang baik adalah karakteristik individu auditor. 51 Karakteristik individu auditor adalah faktor internal yang merupakan perbedaan dari masing-masing sehingga mempengaruhi perilaku kerja. Dengan mengetahui karakteristik individu seseorang, maka akan dapat ditentukan tugas apa yang sesuai dengannya, sehingga efektivitas kerja akan tercapai. Pada penelitian ini penulis menggunakan budaya lenge rasa sebagai variabel intervening pada pengaruh langsung independensi terhadap efektivitas audit internal pemerintah. Hal tersebut berdasarkan hasil review beberapa penelitian terdahulu terkait pengeruh independensi terhadap kinerja auditor memperoleh hasil temuan yang berbeda-beda. Penulis berkesimpulan bahwa ketidak konsistenan hasil temuan tersebut dipengaruhi oleh faktor yang lain, yaitu adanya pengaruh kultur dan etika. Perasaan lenge rasa atau rasa segan, sungkan serta kekhawatiran dari auditor untuk mengungkapkan hasil temuan audit sebenarnya yang mungkin bersifat bertentangan, penulis yakini akan menyebabkan auditor kehilangan independensinya dan pada akhirnya akan menghambat tercapainya tujuan audit secara efektif. Untuk memudahkan pemahaman terhadap kerangka konseptual penelitian, sebagai alur pemikiran dalam menjelaskan penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran teoritis sebagai berikut. 52 Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran H4 Budaya Lenge Rasa Independensi Auditor H2 Efektivitas Audit Internal Pemerintah H1 H3 Karakteristik Individu