Krisis Ekonomi Menggerus Kepuasan Rakyat Terhadap Pemerintahan Jokowi Jumat, 9 Oktober 2015 | 18:02 Lucius Karus. [Istimewa] [JAKARTA] Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lusius Karus mengemukakan menurunnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) dan para menteri dibandingkan survei enam bulan lalu lebih banyak terkait dengan kondisi perekonomian, khususnya sektor moneter berupa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang berlangsung beberapa waktu terakhir. Kepuasan publik pada dasarnya erat terkait dengan hal-hal yang nyata terjadi atau perubahan-perubahan yang dialami. Kebetulan setelah survei enam bulan lalu, perubahan paling kentara adalah melemahnya nilai tukar rupiah. "Publik bisa menilai pemerintahan saat ini, mulai dari presiden hingga menterinya, gagal melahirkan kebijakan yang bisa membuat perekonomian tumbuh ke arah yang lebih baik," kata Lusius di Jakarta, Jumat (9/10). Sebelumnya, pada Kamis (8/10), lembaga survei Indo Barometer merilis hasil survei terhadap kinerja Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla dan para menteri kabinet Kerja. Survei dilakukan tanggal 14-24 September 2015. Hasilnya, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi turun mencapai 11,5 persen. Saat ini tingkat kepuasan hanya 46 persen, sementara enam bulan lalu, tingkat kepuasan mencapai 57,5 persen. Untuk Wapres JK, tingkat kepuasan turun 11,2 persen. Saat ini tingkat kepuasan 42,1 persen, sementara 6 bulan lalu mencapai 53,3 persen. Adapun tingkat kepuasan publik terhadap kinerja para menteri secara umum sebesar 37,1 persen. Jika dibandingkan hasil kepuasan masyarakat enam bulan lalu, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja para menteri masih mencapai 46,8 persen. Lusius menjelaskan kondisi pelemahan rupiah itu mengekspresikan secara umum kinerja pemerintah saat ini. Apalagi pada bidang kehidupan lain, publik juga tak melihat adanya gebrakan nyata dari pemerintah yang bisa melahirkan optimisme. "Dalam banyak kasus, pemerintah (Presiden dan Wakil Presiden) tidak memberikan respons yang cepat sesuai yang diharapkan," turunya. Dalam bidang penegakan hukum, dia melihat kasus KPK terkait para pemimpinnya cukup membuat publik untuk menilai ketegasan Presiden dan Wakil Presiden. Kelambanan dalam memberikan respons berupa keputusan menggerogoti kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kelambanan presiden dan wakil presiden ditambah dengan kinerja para menteri yang tidak menonjol. Hampir semua menteri seperti tak punya program andalan yang memicu munculnya kepercayaan terhadap mereka. Dengan kesunyi-senyapan gebrakan baru dari pemerintah, tagline "Indonesia Baru" dan perubahan yang didengung-dengungkan Jokowi seolah-olah tak berjalan sama sekali. "Presiden, wapres, dan para menteri bekerja bak pegawai biasa yang menjalankan rutinitas," ujarnya. Dia menilai waktu setahun habis dengan konsolidasi, baik antar presiden dan wapres beserta para menteri, maupun presiden dengan partai politik. Padahal yang ditunggu masyakarat adalah Jokowi-JK bisa melahirkan kebijakan yang baru dan pro rakyat. "Karirnya selama memimpin di Solo dan DKI ditandai oleh aksi-aksinya yang berani dan pro rakyat. Aksi-aksi itu yang ditunggu oleh publik. Jokowi mesti bisa melepaskan diri dari lingkaran kepentingan partai politik agar tak terjerumus dalam lingkaran setan yang menghambatnya bekerja untuk rakyat," ungkapnya. Dia menegaskan para menteri adalah pemimpin tertinggi untuk bidang kerja masing-masing. Mereka tak hanya dituntut untuk bekerja membereskan administrasi di kantor, tetapi harus mampu membidik secara tepat permasalahan yang berlanjut dengan inisiasi program yang menjanjikan kebaruan dan perubahan. [R-14/L-8]