BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anak Jalanan 2.1.1 Anak Jalanan Anak jalanan, anak gelandangan, atau kadang disebut juga anak mandiri, sesungguhnya adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang. Hal ini dibuktikan karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini, mereka sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang tidak kondusif dan bahkan sangat tidak bersahabat. Alasan anak jalanan yang mengatakan bahwa tinggal di jalanan adalah sekadar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarga tampaknya secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Hal ini mengakibatkan timbulnya steorotipe bahwa anak jalanan dianggap sebagai penggangu ketertiban dan membuat kota menjadi kotor sehingga yang namanya razia bukan lagi hal yang mengejutkan bagi mereka. Marginal, rentan dan eksploitatif adalah istilah-istilah yang sangat erat untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, kurang dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang secara kenyataaan dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Sedangkan disebut eksploitatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar yang sangat lemah, tersubordinasi dan cenderung menjadi objek perlakuan yang sewenang-wenang dari ulah preman atau oknum aparat yang tidak bertanggung jawab. Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan 9 Universitas Sumatera Utara bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan, serta jenis kelaminnya. Secara garis besar anak jalanan terbagi atas tiga kategori, yaitu (Bagong dan Sri, 2002: 41) : 1. Children on the street, yaitu anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yan masih memiliki hubungan dengan keluarga. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuatpenyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang harus ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu: a. Anak-anak jalanan yang masih tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari. b. Anak-anak yang tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin. 2. Children of the street, yaitu anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi dan ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Ada beberapa di antara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan, sehingga lari atau pergi dari rumah. Anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seks. 10 Universitas Sumatera Utara 3. Children from families of the street yaitu anak yang keluarganya memang di jalanan yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. 2.2 Anak Dalam Aspek Sosiologis Dalam aspek sosiologis, anak senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Dalam menjamin perkembangan dirinya, sejak usia dini perlu pendidikan dan sosialisasi, pengajaran tanggung jawab sosial, peran- peran sosial untuk menjadi bagian masyarakat ( Abu, 2006: 27 ). Jadi, menurut kodratnya, anak manusia adalah makhluk sosial, dapat dibuktikan dimana ketidak berdayaannya terutama pada masa bayi dan kanak- kanak yang menuntut adanya perlindungan dan bantuan dari orang tua. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan pertolongan orang lain untuk menjadi manusia yang bulat dan paripurna. Anak manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakat atau tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, dirawat, dididik, tumbuh, berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusia di dalam lingkungan cultural sekelompok manusia. Anak tidak akan terlepas dari lingkungan tertentu, karena anak sebagai individu tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan orang lain kehidupan anak bisa berlangsung apabila ia ada bersama orang lain. Anak manusia bisa memasuki dunia manusia jika dibawa atau dimasukkan kedalam lingkungan manusia sehingga memperoleh pemahaman akan pendidikan. 2.3 Sosialisasi Dalam Pembentukan Perilaku Sosialisasi adalah sebuah proses pengajaran atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi kegenerasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peran ( role theory ). Hal ini disebabkan 11 Universitas Sumatera Utara dalam proses sosialisasi, diajarkan peran- peran yang harus dijalankan oleh individu. (http://id.wikipedia.org/wiki/sosialisasi, diakses 30 November 2012, pkl 09.20). Perilaku menyimpang dari norma – norma umum pada masyarakat merupakan produk dari proses sosialisasi. Proses tersebut berlangsung secara progresi, tidak sabar, berangsurangsur dan berkesinambungan. Akibatnya, semua bentuk pelanggaran terhadap norma- norma sosial dirasionalisir secara progresif, dibenarkan dan akhirnya dijadikan pola tingkahlaku seharihari. Sosialisasi dalam keuarga dianggap berjalan dengan tidak baik ketika peran keluarga sebagai orang terdekat terhadap anak, kurang atau tidak berfungsi sama sekali seperti apa yang diharapkan dan dibutuhkan oleh anak. Setiap kelompok masyarakat mempunyai standard dan nilai yang berbeda. Misalnya, standar “apakah seseorang itu baik atau tidak” di sekolah dengan kelompok sepermainan tidak sama. Di sekolah, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya diatas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kwlompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi, yaitu formal dan informal. Sosialisasi formal terjadi melalui lembaga- lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam Negara, seperti pendidikan disekolah. Sedangkan sosialisasi informal, terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesame anggota klub dan kelompok- kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat sulit untuk dipisahpisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus. 12 Universitas Sumatera Utara Sosialisasi dapat di bagi menjadi dua pola : sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif ( repressive socialization ) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adlah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola dimana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini akan diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. 2.4 Jenis sosialisasi Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Sosiolog, E. Goffman berpendapat bahwa kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal (M. Poloma, 2000: 238). 2.4.1 Sosialisasi primer Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara 13 Universitas Sumatera Utara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya (T.O. Ihromi, 1999:32). Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya. 2.4.2 Sosialisasi sekunder Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama. 2.5 Tipe sosialisasi Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. Misalnya, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tidak sama. Di sekolah, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi, yaitu formal dan informal. Sosialisasi formal terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah. Sedangkan sosialisasi informal, terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Meskipun proses sosialisasi 14 Universitas Sumatera Utara dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat sulit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus. 2.6 Pola sosialisasi Sosialisasi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other. 2.6.1 Proses sosialisasi Menurut George Herbert Mead George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui beberapa tahapan, diantaranya tahap persiapan, tahap meniru, tahap siap bertindak dan tahap penerimaan kolektif. (G. Ritzer, 2007: 282). 2.6.1.1 Tahap Persiapan (Preparatory Stage) Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini 15 Universitas Sumatera Utara juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya. 2.6.1.2 Tahap Meniru (Play Stage) Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk.Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other). 2.6.1.3 Tahap Siap Bertindak (Game Stage) Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. 16 Universitas Sumatera Utara Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya. 2.6.1.4 Tahap Penerimaan Norma Kolektif (Generalized Stage/Generalized other) Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakatluas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama, bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya. 2.7 Agen sosialisasi Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah. Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minuman keras dan menggunakan obatobatan terlarang (narkoba), tetapi mungkin saja mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa. Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesanpesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan. 17 Universitas Sumatera Utara 2.7.1 Keluarga Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pengasuh bayi (baby sitter). Peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri. 2.7.2 Teman pergaulan Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu. Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang- 18 Universitas Sumatera Utara orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan. Anak-anak rawan terhadap tekanan teman sebaya (Sal Severe, 2001:254). 2.7.3 Lembaga Pendidikan Formal (sekolah) Dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah, seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab. 2.7.4 Media massa Kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan. 2.7.5 Agen-agen lain Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya. 2.8 Perspektif Struktural Fungsional dan Pendidikan Para penganut struktural fungsionalisme percaya bahwa masyarakat cenderung bergerak menuju ekuilibrium dan mengarah pada terciptanya tertib sosial. Mereka masyarakat sebagai 19 Universitas Sumatera Utara tubuh manusia, sehingga masyarakat dipandang sebagai institusi yang bekerja seperti organ tubuh manusia. Oleh karena itu perspektif struktutal fungsional meyakini bahwa tujuan uatama dari institusi penting dimasyarakat, seperti pendidikan adalah mensosialisasikan generasi muda menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi merupakan proses yang dapat dijadikan tempat pembelajaran bagi generasi muda untuk mendapat pengetahuan, perubahan perilaku dan penguasaan tata nilai yang mereka perlukan agar bisa tampil sebagai bagian dari Negara yang produktif. Perspektif struktural fungsional memang mengarahkan focus kajian pendidikan terhadap nilai- nilai dan budaya, sosialisasi, stratifikasi dan pelembagaan. Tegasnya suatu pendidikan harus memainkan peran dan fungsinya mencerdaskan warga masyarakat terutama pada anak jalanan yang begitu penting bagi mereka sebuah pendidikan itu. Karena pendidikan adalah kunci nterpenting dalam menentukan keberhasilan dalam membangun kehidupan. Oleh karena itu para penganut fungsionalisme memfokuskan perhatiannya pada proses pendidikan dalam menjamin tertib sosial. Dalam teori ini bahwa pendidikan itu harus memilki relevansi dengan pengembangan sistem ekonomi dan dengan demikian juga relevansinya dengan upaya membantu mengintegrasi masyarakat termasuk anak jalanan. Dengan penekanan adanya suatu bentuk trtib sosial dan pola- pola yang didapat dalam sosialisasi setidaknya anak jalanan dapat lebih memahami tentang suatu hal yang akan menjadi acuan mereka generasi- generasi muda untuk mendapat pengetahuan, perubahan perilaku dan tata nilai yang mereka perlukan sebagai pegangan mereka kedepannya. Memang faktanya teori struktural fungsional merupakan perspektif pemikiran sosiologis yang sangat berpengaruh, terutama tahun 1960an. Begitu berpengaruhnya, sehingga setidak- 20 Universitas Sumatera Utara tidaknya sampai dua dekade setelah perang dunia ke II, perpektif ini boleh dikatakan identik dengan sosiologi itu sendiri. 2.9 Pendidikan Pendidikan saat ini merpakan kebutuhan primer setiap manusia. Karenanya, pendidikan tidak boleh dianggap sepele, karena pendidikan akan meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Terlebih lagi di era globalisasi setiap manusia di tuntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan bagi manusia yang tidak memiliki pendidikan maka dengan sendirinya akan tersisih dari persaingan global tersebut. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk m emiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, bangsa dan Negara. Samanui.wordpress.com/…/pendidikan-merupakan-kebutuhan-primer.. 2.9.1 Pendidikan Non Formal Proses belajar bagi anak ( manusia ) sebetulnya tidak dibatasi hanya oleh institusi sekolah. Sejak dilahirkan, anak mengalami proses belajar bersama dengan lingkungannya. Institusi sekolah seharusnya berfungsi sebagai sarana atau alat dalam proses belajar. Namun, dalam kenyataannya sekolah justru mendominasi gagasan tentang pendidikan bagi masyarakaktt. Gagasan dan praktik sekolah tersebut telah melahirkan tketidak setaraan ( inequality ) ketika tidak semua orang bisa mengaksses pendidikan sekolah, bentuk- bentuk pendidikan luar sekolah ( pendidikan non formal ) telah dikenal sejak lama. RA kartini misalnya, memulai pendidikan kepada kaum perempuan diluar sekolah dengan materi pendidikan selain baca dan tulis, juga keterampilan yang dibutuhkan kaum perempuan saat itu. Begitu juga Ki Hajar Dewantara bahkan secara keras menantang stigmasi pemerintahan colonial belanda terhadap sekolah- 21 Universitas Sumatera Utara sekolah yang di cap sebagai sekolah liar. Karena itu, dia membangun taman siswa sebagai suatu proses belajar bersama kaum pribumi yang saat ini tidak bisa mengakses pendidikan formal, dengan mengembangkan nilai- nilai nasionalisme anti penjajahan yang dibutuhkan masyarakat terjajah pada saat itu. Sekarang kebutuhan masyarakat Indonesia tentunya tidak sama persis dengan kondisi masa Kartini dan Ki Hajar Dewantara, tapi ada kondisi yang sama ada sekelompok masyarakat yang tidak dapat melakukan suatu proses emansipatoris yang dimiliki manusia, yaitu belajar dan bebas. 22 Universitas Sumatera Utara