BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anak Jalanan 2.1.1 Anak Jalanan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anak Jalanan
2.1.1 Anak Jalanan
Anak jalanan, anak gelandangan, atau kadang disebut juga anak mandiri, sesungguhnya
adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang. Hal ini
dibuktikan karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini, mereka sudah harus berhadapan
dengan lingkungan kota yang tidak kondusif dan bahkan sangat tidak bersahabat. Alasan anak
jalanan yang mengatakan bahwa tinggal di jalanan adalah sekadar untuk menghilangkan rasa
lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarga tampaknya secara sosial kurang atau bahkan
tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Hal ini mengakibatkan timbulnya steorotipe bahwa
anak jalanan dianggap sebagai penggangu ketertiban dan membuat kota menjadi kotor sehingga
yang namanya razia bukan lagi hal yang mengejutkan bagi mereka. Marginal, rentan dan
eksploitatif adalah istilah-istilah yang sangat erat untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan
anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang
kariernya, kurang dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan.
Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang secara
kenyataaan dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Sedangkan disebut eksploitatif
karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar yang sangat lemah, tersubordinasi dan
cenderung menjadi objek perlakuan yang sewenang-wenang dari ulah preman atau oknum aparat
yang tidak bertanggung jawab. Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan
9
Universitas Sumatera Utara
bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam dan dapat dibedakan atas dasar
pekerjaannya, hubungannya dengan orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis
kegiatannya di jalanan, serta jenis kelaminnya. Secara garis besar anak jalanan terbagi atas tiga
kategori, yaitu (Bagong dan Sri, 2002: 41) :
1. Children on the street, yaitu anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan
yan masih memiliki hubungan dengan keluarga. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan
kepada orang tuanya. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu
memperkuatpenyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang harus
ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. Ada dua kelompok
anak jalanan dalam kategori ini, yaitu: a. Anak-anak jalanan yang masih tinggal bersama
orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari. b. Anak-anak yang tinggal di jalanan
namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala
ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.
2. Children of the street, yaitu anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian
besar waktunya di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi dan ia memutuskan hubungan
dengan orangtua atau keluarganya. Ada beberapa di antara mereka masih mempunyai hubungan
dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak di antara
mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan, sehingga lari atau pergi
dari rumah. Anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara
sosial-emosional, fisik maupun seks.
10
Universitas Sumatera Utara
3. Children from families of the street yaitu anak yang keluarganya memang di jalanan
yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau
tinggalnya juga di jalanan.
2.2 Anak Dalam Aspek Sosiologis
Dalam aspek sosiologis, anak senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat.
Dalam menjamin perkembangan dirinya, sejak usia dini perlu pendidikan dan sosialisasi,
pengajaran tanggung jawab sosial, peran- peran sosial untuk menjadi bagian masyarakat ( Abu,
2006: 27 ). Jadi, menurut kodratnya, anak manusia adalah makhluk sosial, dapat dibuktikan
dimana ketidak berdayaannya terutama pada masa bayi dan kanak- kanak yang menuntut adanya
perlindungan dan bantuan dari orang tua. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan pertolongan
orang lain untuk menjadi manusia yang bulat dan paripurna. Anak manusia tidak dapat hidup
tanpa masyarakat atau tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, dirawat, dididik,
tumbuh, berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusia di dalam lingkungan
cultural sekelompok manusia. Anak tidak akan terlepas dari lingkungan tertentu, karena anak
sebagai individu tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan orang lain kehidupan anak bisa
berlangsung apabila ia ada bersama orang lain. Anak manusia bisa memasuki dunia manusia jika
dibawa atau dimasukkan kedalam lingkungan manusia sehingga memperoleh pemahaman akan
pendidikan.
2.3 Sosialisasi Dalam Pembentukan Perilaku
Sosialisasi adalah sebuah proses pengajaran atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan
dari satu generasi kegenerasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah
sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peran ( role theory ). Hal ini disebabkan
11
Universitas Sumatera Utara
dalam proses sosialisasi, diajarkan peran- peran yang harus dijalankan oleh individu.
(http://id.wikipedia.org/wiki/sosialisasi, diakses 30 November 2012, pkl 09.20).
Perilaku menyimpang dari norma – norma umum pada masyarakat merupakan produk
dari proses sosialisasi. Proses tersebut berlangsung secara progresi, tidak sabar, berangsurangsur dan berkesinambungan. Akibatnya, semua bentuk pelanggaran terhadap norma- norma
sosial dirasionalisir secara progresif, dibenarkan dan akhirnya dijadikan pola tingkahlaku seharihari. Sosialisasi dalam keuarga dianggap berjalan dengan tidak baik ketika peran keluarga
sebagai orang terdekat terhadap anak, kurang atau tidak berfungsi sama sekali seperti apa yang
diharapkan dan dibutuhkan oleh anak.
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standard dan nilai yang berbeda. Misalnya,
standar “apakah seseorang itu baik atau tidak” di sekolah dengan kelompok sepermainan tidak
sama. Di sekolah, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya diatas tujuh atau tidak pernah
terlambat masuk sekolah. Sementara di kwlompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila
solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari
tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi, yaitu formal dan informal. Sosialisasi formal
terjadi melalui lembaga- lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam
Negara, seperti pendidikan disekolah. Sedangkan sosialisasi informal, terdapat di masyarakat
atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesame anggota
klub
dan kelompok- kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Meskipun proses
sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat sulit untuk dipisahpisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
12
Universitas Sumatera Utara
Sosialisasi dapat di bagi menjadi dua pola : sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris.
Sosialisasi represif ( repressive socialization ) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap
kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adlah penekanan pada penggunaan materi dalam
hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada
komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak
pada orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris
(participatory socialization) merupakan pola dimana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik.
Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini akan diberi
kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi
pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak.
2.4 Jenis sosialisasi
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu: sosialisasi primer (dalam
keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Sosiolog, E. Goffman berpendapat
bahwa kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat
bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama,
terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup
yang terkukung, dan diatur secara formal (M. Poloma, 2000: 238).
2.4.1 Sosialisasi primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi
pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat
(keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum
masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara
13
Universitas Sumatera Utara
bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya (T.O.
Ihromi, 1999:32). Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat
penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna
kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara
anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
2.4.2 Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer
yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu
bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi
suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami
'pencabutan' identitas diri yang lama.
2.5 Tipe sosialisasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. Misalnya,
standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tidak
sama. Di sekolah, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah
terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila
solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari
tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi, yaitu formal dan informal. Sosialisasi formal
terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam
negara, seperti pendidikan di sekolah. Sedangkan sosialisasi informal, terdapat di masyarakat
atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota
klub dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Meskipun proses sosialisasi
14
Universitas Sumatera Utara
dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat sulit untuk dipisah-pisahkan
karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
2.6 Pola sosialisasi
Sosialisasi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi
partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan
hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada
penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua.
Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan
sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai
significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana
anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik.
Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan
komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak.
Keluarga menjadi generalized other.
2.6.1 Proses sosialisasi Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat
dibedakan melalui beberapa tahapan, diantaranya tahap persiapan, tahap meniru, tahap siap
bertindak dan tahap penerimaan kolektif. (G. Ritzer, 2007: 282).
2.6.1.1 Tahap Persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk
mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini
15
Universitas Sumatera Utara
juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. Contoh: Kata "makan"
yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut
juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata
makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
2.6.1.2 Tahap Meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran
yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri
dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa
yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain,
kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini.
Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk.Sebagian
dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan
bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang
orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other).
2.6.1.3 Tahap Siap Bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara
langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada
posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara
bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama
dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya
semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah.
Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami.
16
Universitas Sumatera Utara
Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar
keluarganya.
2.6.1.4 Tahap Penerimaan Norma Kolektif (Generalized
Stage/Generalized other) Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah
dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat
bertenggang rasa tidak hanya dengan orang orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan
masyarakatluas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama,
bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap. Manusia dengan perkembangan
diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
2.7 Agen sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada
empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan
lembaga pendidikan sekolah. Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak
selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa
jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah
anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minuman keras dan menggunakan obatobatan terlarang (narkoba), tetapi mungkin saja mereka dengan leluasa mempelajarinya dari
teman-teman sebaya atau media massa. Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesanpesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling
mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam
situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
17
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Keluarga
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung,
dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah.
Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family),
agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa
keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada
masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orang
yang berada di luar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi
yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pengasuh bayi (baby sitter). Peranan
para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak
sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
2.7.2 Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia
ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai
kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses
sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja.
Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat
(berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan
cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab
itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-
18
Universitas Sumatera Utara
orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan. Anak-anak rawan
terhadap tekanan teman sebaya (Sal Severe, 2001:254).
2.7.3 Lembaga Pendidikan Formal (sekolah)
Dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung.
Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan aturan mengenai kemandirian (independence),
prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah, seorang
anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di
sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung
jawab.
2.7.4 Media massa
Kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media
elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada
kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
2.7.5 Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan
oleh institusi agama, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya
membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya.
2.8 Perspektif Struktural Fungsional dan Pendidikan
Para penganut struktural fungsionalisme percaya bahwa masyarakat cenderung bergerak
menuju ekuilibrium dan mengarah pada terciptanya tertib sosial. Mereka masyarakat sebagai
19
Universitas Sumatera Utara
tubuh manusia, sehingga masyarakat dipandang sebagai institusi yang bekerja seperti organ
tubuh manusia. Oleh karena itu perspektif struktutal fungsional meyakini bahwa tujuan uatama
dari institusi penting dimasyarakat, seperti pendidikan adalah mensosialisasikan generasi muda
menjadi anggota masyarakat.
Sosialisasi merupakan proses yang dapat dijadikan tempat pembelajaran bagi generasi
muda untuk mendapat pengetahuan, perubahan perilaku dan penguasaan tata nilai yang mereka
perlukan agar bisa tampil sebagai bagian dari Negara yang produktif. Perspektif struktural
fungsional memang mengarahkan focus kajian pendidikan terhadap nilai- nilai dan budaya,
sosialisasi, stratifikasi dan pelembagaan.
Tegasnya suatu pendidikan harus memainkan peran dan fungsinya mencerdaskan warga
masyarakat terutama pada anak jalanan yang begitu penting bagi mereka sebuah pendidikan itu.
Karena pendidikan adalah kunci nterpenting dalam menentukan keberhasilan dalam membangun
kehidupan. Oleh karena itu para penganut fungsionalisme memfokuskan perhatiannya pada
proses pendidikan dalam menjamin tertib sosial. Dalam teori ini bahwa pendidikan itu harus
memilki relevansi dengan pengembangan sistem ekonomi dan dengan demikian juga
relevansinya dengan upaya membantu mengintegrasi masyarakat termasuk anak jalanan. Dengan
penekanan adanya suatu bentuk trtib sosial dan pola- pola yang didapat dalam sosialisasi
setidaknya anak jalanan dapat lebih memahami tentang suatu hal yang akan menjadi acuan
mereka generasi- generasi muda untuk mendapat pengetahuan, perubahan perilaku dan tata nilai
yang mereka perlukan sebagai pegangan mereka kedepannya.
Memang faktanya teori struktural fungsional merupakan perspektif pemikiran sosiologis
yang sangat berpengaruh, terutama tahun 1960an. Begitu berpengaruhnya, sehingga setidak-
20
Universitas Sumatera Utara
tidaknya sampai dua dekade setelah perang dunia ke II, perpektif ini boleh dikatakan identik
dengan sosiologi itu sendiri.
2.9 Pendidikan
Pendidikan saat ini merpakan kebutuhan primer setiap manusia. Karenanya, pendidikan
tidak boleh dianggap sepele, karena pendidikan akan meningkatkan harkat dan martabat manusia
itu sendiri. Terlebih lagi di era globalisasi setiap manusia di tuntut untuk menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi dan bagi manusia yang tidak memiliki pendidikan maka dengan
sendirinya akan tersisih dari persaingan global tersebut.
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk m
emiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, bangsa dan Negara.
Samanui.wordpress.com/…/pendidikan-merupakan-kebutuhan-primer..
2.9.1
Pendidikan Non Formal
Proses belajar bagi anak ( manusia ) sebetulnya tidak dibatasi hanya oleh institusi
sekolah. Sejak dilahirkan, anak mengalami proses belajar bersama dengan lingkungannya.
Institusi sekolah seharusnya berfungsi sebagai sarana atau alat dalam proses belajar. Namun,
dalam kenyataannya sekolah justru mendominasi gagasan tentang pendidikan bagi masyarakaktt.
Gagasan dan praktik sekolah tersebut telah melahirkan tketidak setaraan ( inequality ) ketika
tidak semua orang bisa mengaksses pendidikan sekolah, bentuk- bentuk pendidikan luar sekolah
( pendidikan non formal ) telah dikenal sejak lama. RA kartini misalnya, memulai pendidikan
kepada kaum perempuan diluar sekolah dengan materi pendidikan selain baca dan tulis, juga
keterampilan yang dibutuhkan kaum perempuan saat itu. Begitu juga Ki Hajar Dewantara
bahkan secara keras menantang stigmasi pemerintahan colonial belanda terhadap sekolah-
21
Universitas Sumatera Utara
sekolah yang di cap sebagai sekolah liar. Karena itu, dia membangun taman siswa sebagai suatu
proses belajar bersama kaum pribumi yang saat ini tidak bisa mengakses pendidikan formal,
dengan mengembangkan nilai- nilai nasionalisme anti penjajahan yang dibutuhkan masyarakat
terjajah pada saat itu.
Sekarang kebutuhan masyarakat Indonesia tentunya tidak sama persis dengan kondisi
masa Kartini dan Ki Hajar Dewantara, tapi ada kondisi yang sama ada sekelompok masyarakat
yang tidak dapat melakukan suatu proses emansipatoris yang dimiliki manusia, yaitu belajar dan
bebas.
22
Universitas Sumatera Utara
Download