FILARIASIS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI DESA BITAHAN KECAMATAN LOKPAIKAT KABUPATEN TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Misbakhul Munir1, Departement of Biolog, Faculty of Sains and Technology, UINSA INTISARI Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis dan untuk mengetahui angka Mf-rate dan Chronic Disease Rate (CDR) di Desa Bitahan, Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin, Propinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Jumlah sampel pada pemeriksaan darah tepi adalah sebanyak 447 sampel. Wawancara dengan kuisioner dilakukan secara acak pada penduduk di lokasi penelitian, yang berumur lebih 15 tahun, yang dipilih secara purposive random sampling sebanyak 100 responden. Analisis data dilakukan secara univariate, bivariate. Berdasarkan pemeriksaan darah jari diketahui angka Mf-rate yakni hanya sebesar 0.224%, sedangkan angka Chronic Disease Rate (CDR)/Elephantiasis Rate (ER) adalah sebesar 0.671%. Hasil analisis hubungan antara 12 variabel bebas (umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, kondisi lingkungan, pengetahuan, ronda malam, buang air besar/kecil di luar rumah, nonton TV bersama di luar rumah, tidak memakai pakaian lengan panjang dan tidak memakai kelambu saat tidur) terhadap kejadian filariasis, menunjukkan tidak adanya hubungan kemaknaan secara statistik (p>0.05) terhadap kejadian filariasis. Spesies nyamuk yang tertangkap adalah Mansonia uniformis, Mansonia bonnae, Mansonia dives, Mansonia annulifera. Kata kunci: Perilaku, sosial budaya, lingkungan, filariasis malayi, Crossectional. PENDAHULUAN Penyakit kaki gajah (filariasis) merupakan penyakit parasit yang masih merupakan masalah yang utama pada kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia. Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing parasit filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk (vector) yang mengandung cacing filaria yang infektif (larva stadium 3 atau L3) ke manusia (host) maupun hospes reservoir (hewan) dan berdampak pada penyumbatan saluran limfe di tubuh manusia. Diperkirakan seperlima penduduk dunia atau 1.1 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Permasalahan filariasis ini telah menjadi masalah dunia sehingga telah diadakan kesepakatan global eliminasi filariasis dengan dicetuskanya resolusi oleh World Assembly (WHA) pada 13 Mei 1997, yang selanjutnya ditindaklanjuti WHO dengan mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Limphatic Filariasis as Public Health Problem by 2020. Di Indonesia pencanangan pelaksanaan eliminasi filariasis pada tanggal 08 April 2002 di Desa Mainan, Kecamatan Banyuasin II Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Depkes.RI., 2005). Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil survai cepat Depkes Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL) tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan adalah sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan sebenarnya karena hanya dilaporkan oleh 42% puskesmas dari 7.221 puskesmas. Tingkat endemisitas filariasis di Indonesia berdasarkan hasil survei darah jari pada desa dengan jumlah penderita terbanyak pada tahun 2002-2005, terutama di Sumatera dan Kalimantan, telah teridentifikasi 84 kabupaten/kota dengan Mfrate sebesar 1% atau lebih. Sampai tahun 2004 di Indonesia diperkirakan 6 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini, dengan jumlah penderita klinis kronik (elefantiasis) lebih dari 8.243 orang terutama penduduk yang tinggal di pedesaan (Depkes. RI, 2005). Suatu daerah dikatakan daerah endemis filariasis apabila dalam pemeriksaan pada sampel darah jari (SDJ) di daerah tersebut didapatkan angka Mf-rate >1%. Ini berarti seluruh penduduk di wilayah tersebut wajib mendapatkan pengobatan massal (Depkes RI, 2005). Filariasis tidak menyebabkan kematian, namun perjalanan penyakit yang menahun dan melemahkan ini sangat merugikan penderitanya sebagai penyebab utama kecacatan yang sukar disembuhkan, stigma sosial, hambatan psikologis yang menetap dan penurunan produktivitas kerja individu. Hal ini menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Hasil penelitian Subdit Filariasis dan Schistosomiasis, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM & PL) bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (FKM-UI) pada tahun 2000, menunjukan bahwa biaya yang diperlukan oleh seorang penderita filariasis per tahun adalah sekitar 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya untuk makan keluarga (Depkes.RI, 2005). Di samping itu, penderita bisa terbaring di tempat tidur lebih dari 5 minggu per tahun karena gejala akut dari filariasis yang mewakili 11% dari masa produktif. Terdapat tiga spesies cacing yang dapat menyebabkan filariasis di Indonesia antara lain Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, serta Brugia timori. Filariasis dapat ditularkan apabila terdapat 5 unsur utama yaitu sumber penular (manusia dan hewan sebagai reservoir), parasit (cacing), vektor (nyamuk), manusia yang rentan (host), dan lingkungan (fisik, biologik, ekonomi, dan sosial budaya). Penularan filariasis banyak berkaitan dengan aspek sosial budaya, antara lain pengetahuan, kepercayaan, sikap dan kebiasaan masyarakat. Penduduk dengan pekerjaan petani, berladang, pencari kayu/rotan dan penyadap karet banyak terinfeksi filariasis (Sri Sumarni dan Soeyoko, 1998). Perilaku penduduk dapat juga mengurangi atau menambah kemungkinan penularan filariasis (Soeyoko, 2002). Adanya pemahaman masyarakat bahwa filariasis disebabkan oleh ilmu hitam “suanggi”, penyakit kutukan, penyakit turunan, alergi makanan, kerja keras dan cuaca dingin dan penyakit yang bersumber dari air juga sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis (Kasnodiharjo, 1990 cit Saniambara, 2005). Provinsi Kalimantan Selatan merupakan daerah yang sudah lama menjadi daerah endemis filariasis di mana filariasis pertama kali dilaporkan oleh Brug pada tahun 1928 yang menemukan catatan Helfrich mengenai penderita elefantiasis yang banyak ditemukan di sekitar Banjarmasin pada tahun 1860. Selain itu, juga ditemukan mikrofilaria pada penderita dari Muara Teweh oleh Knoch pada tahun 1898 dan ditemukan 1 penderita mikrofilaremia dari 9 penderita yang berasal dari Kalimantan oleh Fhu pada tahun 1918. Namun, baru pada tahun 1931 Kalimantan Selatan ditetapkan menjadi daerah endemis filariasis (Marwoto, 1997). Pada waktu itu dilakukan inventarisasi filariasis di Indonesia oleh Brug, yang berhasil menetapkan Kalimanan Selatan dan Kalimantan Timur sebagai daerah endemis filariasis. Pada tahun 1994-1996 berdasarkan laporan Kantor Wilayah Kesehatan TK I Kalimantan Selatan daerah endemis filariasis dengan angka Mf-rate lebih dari 1% ditemukan di semua kabupaten (49 kecamatan, 139 desa). Berdasarkan laporan hasil survei oleh Depkes pada tahun 2000 (rapid mapping) di 95 puskesmas dari 10 kabupaten, jumlah kasus kronis filariasis di Kalimantan Selatan sebanyak 137 kasus. Diperkirakan apabila terdapat 1 orang penderita kronis, terdapat 10 penderita akut dan 100 orang yang sudah terinfeksi mikrofilaria (Depkes RI, 2002b). Propinsi Kalimantan Selatan, sebanyak 13 kabupaten/kota (100%) dinyatakan sebagai endemis filariasis. Kasus kaki gajah ditemukan pada semua kabupaten dengan kasus tertinggi terjadi pada Kabupaten Tapin (38 kasus), Kotabaru (35 kasus), Banjar (33 kasus), Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Utara masing-masing 25 kasus (Dinkes Propinsi Kalimantan Selatan 2005). Daerah kantong-kantong filariasis di Provinsi Kalimantan Selatan terdapat pada daerah-daerah yang berawa dan dikelilingi hutan belukar, daerah pertanian dan perkebunan dengan angka Mf-rate 5.2-24.5%. Beberapa daerah lainnya merupakan wilayah yang masih ditemukan penderita kronis filariasis ( 35 orang) dengan gejala perbesaran pada kaki. Jenis mikrofilaria yang ditemukan Brugia malayi. Adapun jenis vektornya adalah Mansonia uniformis, Mansonia anulifera, Mansonia bonneae dan Mansonia Indiana(Dinkes Kotabaru, 2000). Brugia malayi subperiodik nokturnal ditularkan Mansonia uniformis, Mansonia Indiana, Mansonia anulifera, Mansonia anulata dimana hutan rawa sebagai tempat perkembangbiakannya. Brugia malayi yang subperiodik nokturnal biasanya juga ditularkan oleh Mansonia dives dan Mansonia bonneae dengan rawa/kolam dengan tanaman air sebagai tempat perkembangbiakannya(Depkes RI, 1999). Pemilihan wilayah yang dijadikan lokasi penelitian ini didasarkan pada rapid survei tahun 2005 yang menyatakan Kabupaten Tapin adalah kabupaten endemis filariasis dimana sekitar 23% kecamatan di Kabupaten Tapin telah ditemukan beberapa penderita kronis filariasis. Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel darah jari (SDJ) yang pernah dilakukan di Kecamatan Hatungun Kabupaten Tapin tahun 2005 juga menunjukkan angka Mf-rate sebesar 1,17% (Dinkes Tapin, 2005). Pihak Dinas Kesehatan dan Puskesmas di Kabupaten Tapin juga memberikan petunjuk/arahan penentuan lokasi dan menyatakan bahwa di Kabupaten Tapin terdapat kecamatan yang merupakan daerah endemis filariasis baru (dengan ditemukannya 3 penderita kronis yang mengalami pembengkakan di bagian kaki di wilayah Puskesmas Lokpaikat) tapi belum pernah dilakukan pengambilan sampel darah jari. Adanya 3 penderita elefantiasis, ini juga dijadikan pedoman penentuan daerah endemik filariasis. Menurut Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2M&PLP) tahun 1992 menyatakan bahwa apabila ada satu penderita elefantiasis diantara 1000 penduduk desa, dapat diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 orang (10%) penderita mikrofilaremia. Kabupaten Tapin merupakan salah satu wilayah di Provinsi Kalimantan Selatan yang merupakan kabupaten yang terdiri dari 10 kecamatan dan 131 desa/kelurahan dengan luas wilayah seluruhnya 2.700, 82 km2 atau 4,23% dari seluruh luas Propinsi Kalimantan Selatan. Informasi mengenai faktor penentu kejadian filariasis dalam hubungannya dengan parasit, vektor dan manusia di wilayah tersebut masih sangat terbatas, dan merupakan ”fenomena gunung es” yang belum menggambarkan keadaan sebenarnya, sehingga perlu kita sadari bahwa penyakit tersebut masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di masa-masa mendatang apabila tidak ada langkahlangkah/tindakan tepat yang dilakukan untuk mencegah penyebaran filariasis. Hal ini penting untuk dilakukan studi mengenai filariasis untuk dapat memberikan gambaran dasar mengenai filariasis di wilayah Kabupaten Tapin dan sekitarnya. Stratifikasi daerah endemis filariasis merupakan langkah paling awal dalam menyusun program eliminasi penyakit filariasis. Jika terdapat satu desa atau lebih di satu kecamatan/wilayah kerja puskesmas dengan Mf-rate >1 % maka kabupaten/kota tersebut dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis, sehingga seluruh penduduk yang ada di wilayah tersebut dilakukan pengobatan massal. Apabila angka Mf-rate <1 % maka kabupaten/kota tersebut dinyatakan sebagai daerah endemis rendah filariasis dan dilakukan pengobatan selektif (diberikan kepada setiap orang yang positif mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah). Tingkat endemisitas kasus kronis/klinis, lingkungan, kebiasaan/perilaku terhadap filariasis perlu diketahui (Depkes.RI., 2005). Tingkat endemistas filariasis perlu diketahui, salah satunya dengan menentukan angka prevalensi (berdasarkan pemeriksaan kronis/parasitologis), untuk dijadikan dasar eliminasi filariasis di Kabupaten Tapin. Lingkungan Wilayah Kabupaten Tapin terdiri dari daerah rawa-rawa, hutan rawa yang sangat mendukung terjadinya penularan filariasis. Penduduk di Kabupaten Tapin khususnya penduduk Kecamatan Lokpaikat sebagian besar memiliki kebiasaan/perilaku di luar rumah pada waktu malam yang juga sangat mendukung penularan filariasis diantaranya adalah nonton televisi bersama di luar rumah pada malam hari, ronda, buang air besar/kecil di luar rumah, tidak memakai kelambu saat tidur, tidak memakai pakaian lengan panjang dan lain-lain. Mata pencaharian penduduk di kabupaten ini pada umumnya bertani, berladang, dan berdagang, serta bekerja di hutan. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan secara ilmiah mengenai prevalensi filariasis dan faktorfaktor yang berkaitan dengan kejadian filariasis di Desa Bitahan Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan dalam upaya eliminasi penyakit filariasis di tempat ini. Metodologi Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional/potong lintang, yaitu rancangan penelitian yang meneliti suatu kejadian pada satu titik waktu, dimana variabel dependent (terikat) dan variabel independent (bebas) diteliti sekaligus pada saat yang sama.. Subyek penelitian Populasi kajian dari penelitian ini adalah penduduk di desa terpilih di wilayah kerja Puskesmas Lokpaikat, yaitu Desa Bitahan 597 jiwa. Cara pengambilan sampel adalah dengan purposive random sampling dimulai dari penduduk di sekitar kasus kronis. Penentuan jumlah sampel adalah mengacu penentuan jumlah sampel Depkes RI (1999), sebanyak 447 sampel darah jari (SDJ) diambil dari penduduk desa bitahan yang berumur minimal 2 tahun dalam penelitian ini. Pelaksanaan wawancara tentang filariasis pada responden berdasarkan kesepakatan WHO dilakukan minimal 20% dari jumlah sampel darah jari (Depkes. RI, 2002b). Dalam penelitian ini diambil sampel sejumlah 100 orang penduduk dari lokasi penelitian, berumur lebih dari 15 tahun yang dipilih secara purposive random sampling, termasuk penduduk yang mengalami elefantiasis ataupun positif mikrofilaria berdasarkan pemeriksaan parasitologis. Variabel dalam penelitian ini terdiri faktor sosial dan budaya (pendidikan, penghasilan dan pekerjaan), faktor individu (umur dan jenis kelamin); faktor pengetahuan tentang filariasis, perilaku/kebiasaan (nonton TV di luar rumah pada malam hari, tidak memakai kelambu saat tidur, buang air besar di luar rumah, tidak memakai pakaian lengan panjang, ronda malam); kondisi lingkungan berkaitan dengan filariasis (jarak rawa/hutan rawa dengan pemukiman penduduk) sebagai variabel bebas, sedangkan kejadian filariasis (parasitologis) sebagai variabel terikatnya. Alat penelitian Alat yang digunakan dalam pemeriksaan sampel darah jari filariasis kaca benda (slide), tabung kapiler, lancet, Giemsa, tablet buffer pH. 7,2, spidol anti air/kertas label, tissu gulung, kotak slide, Counter (Hand tally), alkohol 70 %, kapas, aquades, methanol absolut, rak pewarna , gelas ukur, pipet, formulir pencatatan. Jenis kelamin, umur, pekerjaan dicatat bersama-sama dalam pencatatan pemeriksaan sampel darah jari. Pengukuran pengetahuan, dan perilaku/kebiasaan penduduk dilakukan wawancara dengan kuesioner (lampiran 1). Penangkapan nyamuk menggunakan aspirator, senter dilakukan malam hari. Pengamatan lingkungan sekitar dengan observasi lapangan. Prosedur Penelitian Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada penemuan 3 kasus kronis dan informasi petugas senior filariasis Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Analisis situasi lokasi penelitian dengan mengumpulkan data mengenai data-data kasus di tingkat kabupaten serta puskesmas; data keadaan wilayah (topografi, batas-batas wilayah dan iklim; penduduk, meliputi pembagian penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin, pekerjaan dengan melakukan pencatatan individu sebelum dilakukan pemeriksaan sampel darah jari (SDJ). Informed consent terhadap penduduk (sampel) yang dilakukan pengambilan darah jari. Pengambilan darah jari pada malam hari (jam 19.30) dimulai dari sekitar penderita kronis untuk menentukan angka prevalensi filariasis. Hasil pemeriksaan darah jari dalam bentuk sediaan darah kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran (10x10) untuk menentukan jumlah mikrofilaria dan dengan pembesaran tinggi (10x40) untuk menentukan spesiesnya. Hasil dari pemeriksaan di catat dalam formulir pencatatan. Pengukuran pengetahuan, dan perilaku/kebiasaan penduduk mengenai filariasis yang dilakukan wawancara terstruktur dengan kuesioner yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya untuk mengetahui apakah pengetahuan, dan perilaku/kebiasaan mengenai filariasis sudah berlangsung dalam masyarakat. Sebagai responden penelitian ini adalah penduduk asli yang telah berumur minimal 15 tahun baik yang pernah atau belum pernah menderita filariasis di daerah penelitian, baik laki-laki maupun perempuan. Penangkapan nyamuk menggunakan aspirator, senter dilakukan malam hari dan pengamatan lingkungan sekitar dengan observasi lapangan setelah dilakukan pemeriksaan sampel darah jari . Pengolahan Data Data kasus (berdasarkan pemeriksaan parasitologis dan klinis) dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran kondisi endemisitas filariasis di Kabupaten Tapin dan untuk mengetahui jenis cacing filaria yang ditemukan di daerah ini. Data wawacara untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis dianalisis deskripsi variabel penelitian (analisis variabel tunggal/univariate) dimana analisis data hasil penelitian disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel untuk mengetahui proporsi masing-masing variabel yang diteliti. Data juga dianalisis dengan nalisis bivariate untuk mengetahui hubungan masingmasing variabel bebas terhadap variabel terikat. Dalam analisis ini digunakan uji kai-kuadrat (chisquare) dengan derajat kepercayaan 95%. Bila p value <0,05 berarti hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan), dan bila nilai p value >0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna. Hasil dan Pembahasan Pemeriksaan filariasis (parasitologis atau klinis) Tabel 1. Distribusi Responden Survei Darah Jari (SDJ) Menurut Umur, Jenis Kelamin, dan Pekerjaan. Karakteristik Jumlah % Kronis SD Responden + Kategori Umur 1-25 Tahun 111 24.8 1 26 – 35 Tahun 100 22.4 36 – 45 Tahun 90 20.1 1 > 45 Tahun 146 32.7 2 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 222 225 49.7 50.3 1 2 1 Pekerjaan IRT Petani Buruh Pedagang Pegawai Pelajar 117 187 26 18 8 66 26.2 41.8 5.8 4.0 1.8 14.8 - - 3 - 1 - Berdasarkan pengamatan kasus klinis, 1 kasus kronis ditemukan pada responden laki-laki yang berumur 45 tahun dengan mata pencaharian sebagai petani. Dua kasus kronis yang lain ditemukan pada responden perempuan, masing-masing berumur 65 tahun, dan 76 tahun dengan mata pencaharian juga sebagai petani. Berdasarkan pemeriksaan mikrofilaria hanya didapatkan 1 SD positif mikrofilaria pada responden perempuan yang berumur 20 tahun dengan jenis filaria Brugia malayi sebanyak 11 mikrofilaria dalam 60 mikroliter darah yang diperiksa. Berdasarkan hasil tersebut dapat ditentukan angka Mf-rate yakni hanya sebesar 0.224%, sedangkan angka Chronic Disease Rate (CDR)/Elephantiasis Rate (ER) adalah sebesar 0.671%. Tabel 2. Distribusi frekuensi subyek penelitian berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Karakteristik responden Umur 15-25 Tahun 26 – 35 Tahun 36 – 45 Tahun > 46 Tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi Pekerjaan Tidak bekerja Petani Buruh (tambang)/Tukang Pedagang/Wirausaha PN/pensiunan Lainnya (serabutan) Jumlah % 25 32 17 26 25 32 17 26 47 53 47 53 11 41 45 3 11 41 45 3 9 71 7 8 1 4 9 71 7 8 1 4 Penghasilan < Rp. 250.000 per bulan > Rp. 250.000-500.000 per bulan > Rp. 500.000-750.000 per bulan > Rp. 750.000-1000.000 per bulan > Rp. 1000.000 per bulan Kondisi lingkungan sekitar rumah (< 200 meter dari rumah) Berawa-rawa/hutan rawa 14 28 39 16 3 14 28 39 16 3 72 72 Tabel 3. Proporsi Pengetahuan responden tentang filariasis di Desa Bitahan, Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin. Pendapat responden Ya % Tidak % Pernah mendengar tentang filariasis/kaki gajah Penyakit kaki gajah disebabkan oleh cacing Tidak tahu pasti penyebab penyakit kaki gajah Kaki gajah disebabkan oleh keturunan Tahu gejala penyakit kaki gajah Kaki gajah mengalami pembengkakan Bagian tubuh mengalami pembengkakan adalah kaki 63 63 37 37 27 27 73 73 73 73 27 27 11 11 89 89 14 14 86 86 13 13 87 87 13 13 87 87 Penularan kaki gajah,adalah dari orang yg dalam darahnya terdapat mikrofilaria kepada orang lain melalui gigitan nyamuk Kaki gajah tidak dapat menular Cara mencegah kaki gajah adalah dengan menghilangkan tempat berkembang biak nyamuk Kebutuhan masyarakat dalam pencegahan kaki gajah adalah penyuluhan kesehatan Tahu penyakit kaki gajah adalah dari petugas kesehatan 12 12 88 88 88 88 12 12 9 9 91 91 68 68 32 32 4 4 96 96 Perilaku dan kebiasaan Tabel 4. Proporsi perilaku dan kebiasaan responden di Desa Bitahan, Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin. Perilaku dan kebiasaan responden Sering keluar malam Buang air besar/kecil di luar rumah Ngobrol/nonton tv di luar rumah di malam hari Ronda/siskamling Menyadap karet malam hari Tidur tidak menggunakan kelambu Kalau keluar malam tidak memakai pakain lengan panjang Bila sakit mencari obat ke dukun Bila sakit diobati sendiri Jumlah Persen (%) 88 33 88 33 22 22 24 5 24 5 63 63 57 57 23 23 4 4 Hubungan antara faktor umur dengan filariasis (positif mikrofilaria). Tabel 5. Hubungan antara umur dengan filariasis Filariasis Variabel Positif % Umur 15-25 thn 1 26-35thn 0 36-45thn 0 > 45 thn 0 4 0 0 0 Negatif % 24 31 17 27 96 100 100 100 X2 p 3.030 * 0.387* Tabel 5 di atas menunjukkan hanya ada 1 (4%) responden dalam kategori umur antara 15-25 tahun tepatnya berumur 20 tahun yang mengalami filariasis. Berdasarkan hasil analisis bivariate antara umur dengan filariasis didapatkan hasil nilai p = 0.387. Hal ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan filariasis pada = 0.05. Hubungan antara faktor jenis kelamin dengan filariasis Tabel 6. Hubungan antara jenis kelamin dengan filariasis Filariasis Jenis kelamin Laki - laki 0 Perempuan 1 0 1.9 47 52 100 98.1 0 2.5 0 0 13 39 44 3 100 97.5 1.515* 0.679* 100 100 X2 0.896* 0.000 ** p 0.344* 1.000** 1.000*** *. Nilai uji X2 Pearson **. Nilai uji X2 Koreksi kontinuitas ***. Nilai uji X2 Fisher Tabel di atas menunjukkan hanya ada 1 (1.9%) responden dengan jenis kelamin perempuan yang mengalami positif filariasis. Tidak ada responden laki-laki yang mengalami filariasis yaitu 47 (100%) responden tidak mengalami filariasis. Berdasarkan hasil analisis bivariate antara jenis kelamin dengan kejadian filariasis didapatkan hasil nilai p (pearson) = 0.344; p (koreksi ataupun fisher) = 1.000. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan filariasis pada = 0.05. Hubungan antara faktor pendidikan dengan filariasis Tabel 7. Hubungan antara pendidikan dengan filariasis Filariasis X2 Variabel Positif % Negatif % Tabel di atas menunjukkan bahwa baik responden yang berpendidikan tamat SD maupun responden tamat SMA, tidak ada yang mengalami filariasis yakni 44 (100%) responden. Begitu juga responden yang berpendidikan perguruan tinggi yakni 3 (100%) responden juga tidak ada yang mengalami filariasis. Pendidikan tamat SMP yang tidak mengalami filariasis 39 (97.5%) responden dan yang mengalami filariasis hanya 1 (2.5%) responden. Berdasarkan hasil analisis bivariate antara pendidikan dengan filariasis didapatkan hasil nilai p = 0.679. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna atau signifikan antara tingkat pendidikan dengan filariasis pada = 0.05. Hubungan antara faktor pekerjaan dengan filariasis Tabel 8. Hubungan antara pekerjaan dengan filariasis Filariasis Variabel X2 + % % Variabel Negatif % 0 1 0 0 *. Nilai dari uji X2 Pearson *. Nilai dari uji X2 Pearson Positif % Tamat SD Pendidikan Tamat SMP responden Tamat SMA Perg.Tggi p Pekerjaan responden Tidak bekerja Petani Buruh/Tukang Pedagang PN/Pensiunan Lainnya 0 1 0 0 0 0 0 1.4 0 0 0 0 9 70 7 8 1 4 100 98.6 100 100 100 100 p 0.413* 0.995* *. Nilai dari uji X2 Pearson Tabel di atas menunjukkan responden yang mengalami filariasis hanyalah yang memiliki pekerjaan petani dan hanya ada 1 (1.4%) responden. Pekerjaan petani yang tidak mengalami filariasis sebanyak 70 (98.6%) responden. Berdasarkan hasil analisis bivariate antara jenis pekerjaan dengan filariasis didapatkan hasil nilai p = 0.995. Hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dengan filariasis pada = 0.05. Hubungan antara faktor penghasilan dengan filariasis Tabel 9. Hubungan antara penghasilan dengan filariasis Variabel Kejadian filariasis X2 + % - % p < 250.000 250.000- 500.000 Penghasilan >500.000-750.000 per bulan >750.000 -1000.000 > 1000.000 1 0 0 0 0 6.7 0 0 0 0 14 28 39 15 3 93.3 100 100 5.724* 0.221* 100 100 *. Nilai dari uji X2 Pearson Berdasarkan tabel di atas, hanya ada 1 (6.7%) responden dengan tingkat penghasilan <250.000,per bulan yang mengalami filariasis. Berdasarkan hasil analisis bivariate antara penghasilan terhadap filariasis didapatkan hasil nilai p = 0.221. Hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara penghasilan dengan filariasis pada = 0.05. Hubungan antara faktor lingkungan dengan filariasis Tabel 10. Hubungan antara kondisi lingkungan dengan filariasis Filariasis Variabel + Kondisi lingkungan Baik 1 (Jarak Jelek 0 rumah dengan daerah rawa/hutan berawa <200 meter) % 1.4 0 % 71 28 98.6 100 X2 p 0.393* 0.000** 0.531* 1.000** 1.000*** Pengetahuan Baik 0 Kurang 1 0 2.3 100 97.7 1.339* 0.247* 0.020** 0.887** 0.430*** *. Nilai uji X2 Pearson **. Nilai uji X2 Koreksi kontinuitas ***. Nilai uji X2 Fisher Tabel di atas menunjukkan bahwa 1 (2.3%) responden dari 43 (100%) responden yang berpengetahuan kurang baik menderita filariasis. Tidak ada responden dengan pengetahuan baik yang mengalami filariasis. Berdasarkan hasil analisis bivariate antara faktor pengetahuan dengan filariasis didapatkan hasil nilai p (pearson) = 0.247; nilai p (koreksi) 0.887; dan p (fisher) =0.430. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor pengetahuan dengan filariasis pada = 0.05. Hubungan antara faktor perilaku dan kebiasaan ronda malam dengan filariasis Tabel 12. Hubungan antara perilaku dan kebiasaan ronda malam dengan filariasis Variabel Filariasis + % Kebiasaan Ya 1 1.7 Ronda malam hari Tidak 0 0 *. Nilai uji X2 Pearson **. Nilai uji X2 Koreksi kontinuitas ***. Nilai uji X2 Fisher 57 42 - % 59 98.3 40 100 X2 p 1.454* 0.034** 0.228* 0.854** 0.410*** *. Nilai uji X2 Pearson **. Nilai uji X2 Koreksi kontinuitas ***. Nilai uji X2 Fisher Tabel di atas menunjukkan bahwa 1 (1,4%) responden yang mengalami filariasis memiliki tempat tinggal yang dekat dengan daerah rawa (lingkungan yang mendukung penularan filariasis). Namun sebanyak 71 (98.6%) responden yang juga tinggal di dekat lingkungan rawa-rawa tidak menderita filariasis. Berdasarkan analisis bivariate antara faktor lingkungan dengan filariasis didapatkan hasil nilai p (pearson) = 0.531; dan nilai p (koreksi ataupun fisher) = 1.000. Hal ini menunjukkan bahwa juga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan dengan filariasis pada = 0.05. Tabel di atas menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis bivariate antara faktor kebiasaan ronda malam dengan filariasis didapatkan hasil nilai p (pearson) = 0.228; nilai p (koreksi) 0.854; dan p (fisher) = 0.410. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan ronda malam dengan filariasis pada = 0.05. Hubungan antara faktor pengetahuan dengan filariasis Hubungan antara faktor perilaku dan kebiasaan buang air besar/kecil di luar rumah dengan kejadian filariasis. Tabel 11. Hubungan antara pengetahuan dengan filariasis. Filariasis Variabel X2 + % - % p Tabel 14. Hubungan antara perilaku dan kebiasaan buang air besar/kecil di luar rumah dengan filariasis Variabel Filariasis + % - X2 % p Variabel Filariasis X2 + Buang air Ya besar/kecil di luar Tidak rumah 1 1.2 81 0 0 18 98.8 100 0.222* 0.000** 0.638* 1.000** 1.000*** *. Nilai uji X2 Pearson **. Nilai uji X2 Koreksi kontinuitas ***. Nilai uji X2 Fisher Tabel diatas menunjukkan bahwa dari hasil analisis bivariate antara faktor kebiasaan buang air besar/kecil di luar rumah dengan filariasis didapatkan hasil nilai p (pearson) = 0.638; nilai p (koreksi ataupun fisher) = 1.000. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor kebiasaan buang air besar/kecil luar rumah dengan filariasis pada = 0.05. Hubungan antara faktor perilaku dan kebiasaan nonton TV bersama di luar rumah dengan filariasis Tabel 15. Hubungan antara perilaku dan kebiasaan nonton TV bareng luar rumah dengan filariasis Filariasis Variabel X2 p + % % Nonton Ya 1 TV bersama Tidak 0 di luar rumah 1.4 72 98.6 0 27 100 0.374* 0.000** 0.541* 1.000* 1.000*** *. Nilai uji X2 Pearson **. Nilai uji X2 Koreksi kontinuitas ***. Nilai uji X2 Fisher Tabel di atas menunjukkan bahwa bersadarkan hasil analisis bivariate antara faktor kebiasaan nonton TV bersama luar rumah dengan filariasis didapatkan hasil nilai p (pearson) = 0.541; dan nilai p (koreksi ataupun fisher) = 1.000. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor kebiasaan nonton TV bersama di luar rumah dengan filariasis pada = 0.05. Hubungan antara faktor perilaku dan kebiasaan tidak memakai pakaian lengan panjang dengan filariasis Tabel 16. Hubungan antara perilaku dan kebiasaan memakai pakaian lengan panjang keluar rumah dengan filariasis Memakai Ya 0 pakaian lengan panjang Tidak 1 keluar rumah % _ % 0 15 100 1.2 84 98.8 0.178* 0.000** p 0.673* 1.000** 1.000*** *. Nilai uji X2 Pearson **. Nilai uji X2 Koreksi kontinuitas ***. Nilai uji X2 Fisher Berdasarkan hasil analisis bivariate antara faktor kebiasaan tidak memakai pakaian lengan panjang keluar rumah dengan kejadian filariasis didapatkan hasil nilai p (pearson) = 0.673; dan nilai p (koreksi ataupun fisher) = 1.000. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor kebiasaan tidak memakai pakaian lengan panjang dengan kejadian filariasis pada = 0.05. Hubungan antara perilaku dan kebiasaan tidak memakai kelambu saat tidur dengan filariasis Tabel 17. Hubungan antara perilaku dan kebiasaan tidak memakai kelambu saat tidur dengan filariasis Filariasis Variabel X2 p + % % Memakai Ya 0 0 36 100 0.568* 0.451* kelambu 0.000** 1.000** saat tidur Tidak 1 1.6 63 98.4 1.000*** *. Nilai uji X2 Pearson **. Nilai uji X2 Koreksi kontinuitas ***. Nilai uji X2 Fisher Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui hasil analisis bivariate antara faktor kebiasaan tidak memakai kelambu saat tidur dengan filariasis dimana didapatkan nilai p (pearson) = 0.451; dan nilai p (koreksi maupun fisher) = 1.000. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor kebiasaan tidak memakai kelambu saat tidur dengan filariasis pada = 0.05. Berdasarkan keseluruhan hasil analisis bivariate dengan chi square pada 12 variabel dalam penelitian ini (umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, kondisi lingkungan, pengetahuan, ronda malam, buang air besar/kecil di luar rumah, nonton TV bersama di luar rumah, tidak memakai pakaian lengan panjang dan tidak memakai kelambu saat tidur), tidak didapatkan adanya variabel penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan filariasis pada = 0.05. Kesimpulan Desa Bitahan, Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan merupakan daerah endemis rendah dengan angka Mf-rate sebesar 0.224%, dan angka CDR/ER sebesar 0.671% dengan jenis mikrofilaria yang ditemukan adalah Brugia malayi. Tidak ada hubungan antara faktor demografi (umur dan jenis kelamin), faktor sosial budaya (jenis pekerjaan, pendidikan, penghasilan), faktor pengetahuan penduduk tentang filariasis, faktor perilaku dan kebiasaan (buang air besar/kecil di luar rumah, ronda malam, nonton TV bersama di luar rumah, tidak memakai pakaian lengan panjang dan tidak memakai kelambu saat tidur), faktor keadaan lingkungan (jarak rawa/hutan rawa dengan pemukiman penduduk) terhadap filariasis di Desa Bitahan Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung selama pelaksanaan penelitian ini. Daftar Pustaka Depkes. RI. 1999. Pedoman Pemberantasan Filariasis di Indonesia. Ditjen PPM & PLP Dep. Kes. RI. Jakarta -----------. 2002b. Pedoman Program Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di Indonesia. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI. Jakarta -----------. 2005. Pedoman Program Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) di Indonesia. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI. Jakarta Dinas Kesehatan Kab. Kotabaru. 2000. Laporan ELKAGA. Kotabaru, Kalimantan Selatan Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan. 2005. Laporan Survei Cepat Filariasis Propinsi Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan Dinas Kesehatan Kab. Tapin. 2005. Laporan ELKAGA. Tapin, Kalimantan Selatan Marwoto, H.A. 1997. Situasi Filariasis di Kalimantan Selatan, Majalah Kedokteran Indonesia, 47 (4) April: 205-207 Saniambara, N. 2005. Filariasis dan Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Penularannya di Kecamatan Rote Timur Kebupaten Rote Ndao Provinsi NTT. Tesis. Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis. ----------- 2002. Penyakit Kaki Gajah ( Filariasis Limfatik): Permasalahan dan Alternatif Penanggulanganya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. WHO. 1997. Vector Control-Method for Use by Individual and Communities. Report. WHO. Tech. Rep. Ser. WHO, Geneva ------- 2005. Tool Kit for the Eimination of Lymphatic Filariasis AGuide to Implementation for Health Professionals In Indonesia. SISKES Projects GTZ Technical Assistance Team, Kupang, NTT.