Modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Tebu
Menurut Alexander (1973) dan James (2004) taksonomi tanaman tebu
tergolong dalam kerajaan plantae, divisi magnoliophyta, kelas monocotyledoneae,
ordo glumaceae, famili graminae, genus Saccharum, spesies Saccharum
officinarum. Spesies lain yang tergolong dalam genus Saccharum antara lain
Saccharum arundinaceum, Saccharum bengalense, Saccharum edule, Saccharum
procerum, Saccharum ravennae, Saccharum robustum, Saccharum spontaneum,
Saccharum sinense. Pusat keragaman tanaman genus Saccharum diperkirakan
berasal dari daerah sekitar Papua Nugini atau Asia Selatan yaitu India, yang
disimpulkan dari segi religi tentang mitologi purbakala Hindu.
Spesies Saccharum officinarum dahulu terkenal dengan sebutan The Nobel
Canes terbagi dalam tiga jenis yaitu Otaheite, Bourbon, Creole Cane. Jenis
Otaheite merupakan yang pertama dibudidayakan dalam skala dunia. Jenis ini
menjadi standar tanaman budidaya Brazil, Guyana, Hawaii, India, Indonesia,
Meksiko. Indonesia saat pemerintahan kolonial Belanda menggunakan tebu
hibrida POJ2878 atau Cheribon yang sempat sejajar dengan hibrida komersial
kelas dunia lainnya. Hibrida ini berasal dari Pulau Jawa, Indonesia sekitar awal
pertengahan abad 19 (Alexander, 1973). Varietas tebu di Indonesia saat ini
bermacam-macam antara lain PS 864, PS 941, R-579, BL, serta JT 26. Varietas
tersebut dipersilangkan oleh P3GI (Rahmawati, 2007), BBP2TP (Antara, 2010),
dan PTPN XI (Plantus, 2010).
Tebu atau Saccharum officinarum merupakan salah satu tanaman yang
paling efisien dalam mengkonversi energi matahari menjadi energi kimia dalam
bentuk gula melalui proses fotosintesis (Pimentel et al.,1980). Gula sebagai energi
kimia tanaman disimpan di dalam batang tebu. Peralihan masa vegetatif menuju
generatif merupakan fase paling optimal dari kandungan gula tebu, kemudian
akan terus menurun sebelum fase kematian (James, 2004). Efisiensi tanaman tebu
dalam mengkonversi sinar matahari menjadi gula dinilai melalui rendemen.
Semakin tinggi nilai rendemen berarti semakin efisien tanaman tebu tersebut
4
(Nainggolan, 2005). Rendemen nasional tahun 2009 tercatat rata-rata 7.83 % dan
hasil gula kristal putihnya 2.85 juta ton (Indonesia Commercial Newsletter, 2010).
Menurut Soeprapto (1989) batang tebu terdiri dari beberapa ruas yang
disekat oleh buku-buku (Gambar 1a). Panjang satu ruas berkisar 15-25 cm. Ruas
yang terbentuk pada awal pertumbuhan pendek, semakin dewasa ruasnya semakin
panjang, selajutnya semakin mendekati pucuk panjang ruasnya semakin
berkurang. Potensi bobot batang tebu 2-3 kg dengan tinggi batang 3-5 meter.
Sudiatso (1982) menyatakan panjang ruas batang tebu sangat dipengaruhi oleh
faktor luar antara lain iklim, kesuburan tanah, keadaan air, dan penyakit. Selain
ukuran ruas. James (2004) menambahkan setiap ruas mengandung kayu dan kulit
berlilin (epidermis). Kulit berlilin mengelilingi jaringan yang lebih lunak
(parenkim) dan disekat oleh fiber (berkas vaskular). Lapisan lilin menghindarkan
dari kehilangan air akibat evaporasi batang. Kulit yang berserat memberikan
kekuatan dan kekakuan.
(a)
(b)
Sumber : James (2004)
Gambar 1.
Morfologi Batang (a) Organ Batang Tebu dan (b) Keragaan Tunas
Tebu
James (2004) menyatakan buku batang berfungsi memisahkan ruas satu
dengan ruas berikutnya. Buku juga berfungsi sebagai tempat pembentukan tunas
primer dan akar stek atau akar adventif. Secara normal, satu tunas muncul dalam
satu buku. Arah pembentukan tunas berselang-seling mengikuti rumus
pembentukan tunas ½ artinya apabila tunas pertama muncul dari sisi kanan
5
batang, maka tunas akan terbentuk kembali pada sisi kanan batang selang dua ruas
berikutnya.
James (2004) menyatakan daun tersambung dengan batang yang
pembentukannya terjadi pada buku batang. Arah pembentukan daun sama seperti
pembentukan tunas yaitu berselang-seling mengikuti rumus daun ½. Satu daun
terdiri dari pelepah (sheath) dan helaian daun (blade atau lamina) pada
Gambar 2a. Pelepah fungsinya melindungi mata bibit, batang muda, serta
menahan laju evaporasi untuk menunjang perkecambahan. Helai daun berbentuk
pita panjangnya bervariasi antara 1–2 meter dan lebar daun 2-7 cm serta
dipengaruhi faktor lingkungan. Helai daun yang lebar lebih cepat rusak daripada
daun sempit.
Menurut James (2004) setelah bibit stek ditanam dua jenis akar segera
terbentuk yaitu akar batang pada bibit (akar adventif) dan akar batang pada tunas
primer yang baru muncul dari permukaan tanah (akar biasa). Pada tanah gembur
dan cocok untuk perkembangan akar, zona perakaran tebu mampu bergerak
horizontal sejauh 2 meter dan bergerak vertikal sedalam 4 meter. Sebaran sistem
perakaran adalah sebagai berikut 50 % berat akar tanaman berada pada kedalaman
0-20 cm selanjutnya 85 % pada kedalaman 0-60 cm. Kecepatan pertumbuhan akar
juga dipengaruhi oleh suhu. Pada suhu kurang dari 18 0C pertumbuhan akar lebih
lambat, melaju dengan cepat sampai keadaan optimum pada suhu sekitar 35 0C.
(a)
(b)
Sumber : James (2004)
Gambar 2.
Morfologi Daun dan Akar (a) Pelepah Daun Tebu dan (b)
Wilayah Jelajah Perakaran Tebu
6
Menurut James (2004) akar yang bergerak horizontal lebih berperan dalam
serapan hara sekitar top soil, semakin tinggi kerapatan akar semakin banyak
luasan serapan hara (Gambar 2b). Akar yang bergerak vertikal jauh ke dalam
lapisan tanah berperan mencari sumber air di lapisan tanah yang berbeda apabila
lapisan tanah atas tidak memberikan cukup air bagi tanaman. Kisaran tekanan
potensial air yang dapat disediakan bagi tanaman adalah -20 sampai -15 bar.
Perkecambahan Bibit Tebu
Perkebunan tebu rakyat di Cirebon dikenal dengan istilah TRI. TRI 1 atau
plant cane merupakan tanam pertama menggunakan bibit yang dihasilkan dari
kebun bibit, sedangkan TRI 2, 3, 4 atau ratoon cane merupakan budidaya tebu
yang menggunakan sifat meratun tebu setelah tebu ditebang (Asnur, 2000). Secara
berjenjang pengadaan bibit untuk Kebun Tebu Giling (KTG) berurutan yaitu
Kebun Bibit Pokok (KBP) yang disediakan oleh P3GI, Kebun Bibit Nenek (KBN)
disediakan oleh P3GI dan PG, Kebun Bibit Induk (KBI) serta Kebun Bibit Datar
(KBD) disediakan oleh PG (Sutjahja, 1993).
Jenjang kebun bibit tersebut mempengaruhi kualitas bibit yang dihasilkan.
Kualitas bibit dinilai berdasarkan Faktor Hasil Bibit (FHB). FHB merupakan
kemampuan sebuah kebun bibit untuk memenuhi kebutuhan bibit pada jenjang
kebun tebu di bawahnya. FHB bernilai 12 % artinya dibutuhkan 12 Ha KBD
untuk memenuhi 100 Ha KTG. FHB dapat dikonversi dengan satuan
penangkaran. Semakin tinggi nilai penangkaran semakin baik. Umumnya nilai
penangkaran adalah penangkaran tujuh, artinya KBD seluas 1 hektar dapat
memenuhi keperluan bibit KTG seluas 7 Hektar. Laporan Umarjono dan Samoedi
(1993), Ellis dan Merry (2004), serta Insan (2010) menyatakan pertumbuhan bibit
berasal dari KBD lebih baik dibanding bibit berasal dari KTG.
Perkecambahan normal tebu menampakan karakter yang disebut dominasi
pucuk, dengan adanya sifat ini pertumbuhan pada batang menjadi terhambat.
Peristiwa ini dipengaruhi oleh hormon auksin pada bagian pucuk tanaman. Mata
bibit pada posisi lebih muda atau atas lebih mudah berkecambah dibanding bagian
di bawahnya yang lebih tua (Alexander, 1974). Bibit tebu terbaik mengandung
dua sampai tiga mata bibit, panjang bibit maksimum 45 cm, daun kering (sheath)
7
tidak dikupas, berasal dari tanaman berumur 6-7 bulan (Soepardiman, 1992). Ciriciri bibit yang baik adalah kadar air cukup, mata bibit sehat, ruas normal atau
tidak terjadi stagnasi, bebas hama dan penyakit, tingkat kemurnian tinggi
(Direktorat Teknologi PT RNI, 2005). Terdapat perbedaan respon vegetatif antara
bibit tebu dari batang indukan bagian atas, tengah, dan bawah. Pertumbuhan tebu
yang lebih baik ditunjukkan oleh bibit yang berasal dari batang indukan bagian
tengah dan atas, karena kadar haranya tinggi sedangkan kadar sukrosanya rendah
(Insan, 2010).
Menurut Sutardjo (2002) kehidupan tebu terbagai menjadi enam fase yaitu
perkecambahan mata, pertunasan, pertumbuhan memanjang, penghentian
pertumbuhan (pengisian batang dengan gula hasil fotosintesis), pembungaan, dan
kematian batang-batang tebu. Dillewinjn dalam Hendroko et al. (1987) membagi
fase perkecambahan menjadi lima tahapan berdasarkan waktu. Minggu pertama,
mata bibit tebu membentuk taji pendek dan mulai mengeluarkan akar adventif.
Minggu kedua, taji sudah setinggi 11–12 cm dan berakar adventif
banyak.
Minggu ketiga, daun terbuka dan tunas sudah setinggi 20–25 cm. Minggu
keempat, sudah memiliki 4 helai daun dan tingginya ± 50 cm. Minggu kelima,
tunas mulai mengeluarkan akar biasa dan anakan. Menurut Kuyper dalam
Ikhtiyanto (2010) anakan yang terbentuk pada minggu kelima akan terus
bertambah dan mencapai puncaknya saat minggu ke-12 sampai ke-16. Selanjutnya
terjadi penurunan paling tidak 50% anakan mati pada minggu ke-20 sampai ke-24.
Kebutuhan Air Tanaman
Gandakoesoemah (1975) menyatakan bahwa kebutuhan air dipengaruhi oleh
jenis tanaman, jenis tanah, kehilangan air, pemakaian air, dan iklim. Ratio
kebutuhan air tanaman palawija, tebu, dan padi berturut-turut 1: 1.5 : 4. Dalam
pemenuhan kebutuhan air tanaman, maka penerimaan air, tingkat konsumsi, serta
faktor kehilangannya harus dihitung agar penentuan volume air suplesi dapat
dilakukan secara efisien. Dijelaskan oleh
Premono (1985) air suplesi adalah
sejumlah air yang diberikan untuk pertumbuhan optimum tanaman serta dapat
mempertahankan tanah dalam kapasitas lapang.
8
Kebutuhan air tanaman merupakan air yang terpakai selama proses
evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah faktor utama yang mempengaruhi
produksi bahan kering dan menjadi penentu produksi pertanian untuk suatu
wilayah (Tomar dan O’Toole, 1984). Apabila curah hujan turun terus menerus
sampai melebihi nilai evapotranspirasinya mengakibatkan sukrosa dalam nira
pecah secara progresif ke dalam komponen heksosanya yaitu glukosa dan
fruktosa. Reaksi tersebut menghasilkan energi yang mengakibatkan kegiatan
meristematik tebu terus berlangsung (Sudarti, 1994). Kebutuhan evapotranspirasi
tanaman tebu dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Rata-Rata Evapotranspirasi Tebu Budidaya di Ketapang
Umur Tebu
(Bulan)
1
2
3
4
5
6
7
Rata-Rata Evapotranspirasi
(mm/hari)
1.68
1.68
1.91
2.34
3.14
3.55
4.00
Koefisien Tanaman
Tebu
0.55
0.80
0.90
1.00
1.05
1.05
1.05
Sumber : Premono (1985)
Kebutuhan air tebu harus disesuaikan dengan fase kehidupan. Tebu
memerlukan lebih banyak air pada masa pertumbuhan dibanding masa tua dan
panen (Wardojo dan Priono, 1996). Air dibutuhkan dalam mengaktivasi
perkecambahan dan menunjang fotosintesis. Keragaman daya berkecambah
terjadi jika bibit tebu berada pada 50 % air tersedia (Herman, 2005). Tanaman
tebu tidak terganggu fotosintesisnya sampai 70 % air tersedia telah habis atau
senilai kapasitas ambang sebesar 40% (Mubein, 1988).
Curah hujan berhubungan dengan ketersediaan air bagi tanaman di lahan
terbuka. Curah hujan merupakan gejala alam sehingga ketersediaannya bagi
tanaman tidak bisa direncanakan maupun dikendalikan. Bagi tanaman tebu, curah
hujan yang tinggi saat fase perkecambahan menyebabkan kematian mata bibit
karena tanah kasuran menjadi jenuh air. Marpaung (1990) menyatakan bahwa
selama fase perkecambahan, jika tanah kasuran dalam kondisi jenuh air akan
menyebabkan oksigen berkurang, sehingga dapat menghambat perkecambahan
dan bibit akhirnya mati. Perkecambahan bibit yang terganggu akan mempengaruhi
9
jumlah anakan. Sudarti (1994) menguatkan bahwa perkecambahan bibit yang
buruk akan menyebabkan rendahnya jumlah batang saat panen.
Pendugaan besar kecilnya curah hujan bulanan yang akan terjadi selama
satu tahun penting diketahui. Hal ini akan berkaitan dengan perencanaan jadwal
kegiatan budidaya tebu. Schmidth-Ferguson dalam Handoko (1995) menyatakan
suatu bulan disebut bulan kering apabila dalam bulan tersebut curah hujannya
kurang dari 60 mm, selanjutnya bulan lembab jika curah hujan 60 sampai 100 mm
per bulannya, dan bulan basah jika curah hujan melebihi 100 mm per bulan.
Kasuran
Kasuran merupakan tanah yang dibuat gembur di dasar juringan atau kairan
dengan ketebalan ± 6 cm untuk menempatkan bibit tebu dan sebagai media
perkecambahan bibit. Kriteria kasuran yang baik sebagai media perkecambahan
adalah: 1) ketersediaan air cukup untuk diabsorpsi bibit dalam mengaktivasi
perkecambahan, 2) kasuran tidak jenuh air dan aerasi di sekitar bibit baik,
3) mendukung suhu perkecambahan yang optimum dan melindungi mata bibit
agar tidak terbakar sinar matahari, 4) memudahkan taji untuk menerobos tanah
segera setelah berkecambah (Meyer et al., 1963; Marpaung, 1990; Goldsworthy
dan Fisher, 1992; dan Direktorat Teknologi PT RNI, 2005).
Peranan kasuran sangat besar apalagi ketika penanaman jatuh saat musim
hujan. Kasuran harus dapat mengatasi kelebihan air dengan cepat. Modifikasi
bentuk kasuran bertujuan memberikan fungsi tambahan berupa fungsi drainase.
Handoko (1995) menyatakan modifikasi bentuk permukaan akan bermanfaat
dalam mengontrol drainase dan limpasan permukaan yang disebabkan curah hujan
yang berlebihan. Pembagian kelas drainase dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pembagian Kelas Drainase Tanah
Kelas
Rupa Seri
I
1
2
II
3
III
4
5
Penilaian
Cepat
Baik
Cukup Baik
Jelek
Sangat Jelek
Sumber : Soepadirman (1992)
Morfologi Profil
Tanpa becek sama sekali
Sedikit becek
Becek-becek cukup banyak dan tersebar dalam profil
Becek-becek bagian atas, horizon 20-50 cm tereduksi
Profil tereduksi (keabu-abuan)
10
Kasuran standar berbentuk tutup datar pada Gambar 3a. Kasuran tipe ini
masih digunakan pada sistem bukaan lahan manual (reynoso). Di beberapa
daerah, kasuran tutup datar dimodifikasi untuk beberapa keperluan contohnya
untuk mengatasi curah hujan dan bukaan lahan tebu yang menggunakan
mekanisasi. Mekanisasi berbeda dengan reynoso, perbedaan itu terletak pada
lubang
tanamnya.
Mekanisasi
menghasilkan
kairan
sedangkan
reynoso
menghasilkan juringan, sehingga diperlukan bentuk kasuran yang berbeda pula.
Modifikasi bentuk kasuran antara lain kasuran datar tengah, kasuran tutup
miring, dan kasuran berklacen. Bentuk kasuran yang bisa diterapkan pada model
juringan sekaligus kairan adalah klacen. Beberapa bentuk kasuran diilustrasikan
pada Gambar 3.
UTARA
guludan
asal tanah untuk
kasuran
kasuran
(a) Tutup datar penuh1
(c) Tutup miring2
(b) Tutup datar tengah3
(d) Klacen barat3
(e) Klacen timur3
Sumber : 1) PT Perkebunan XIV (1983), 2) PT Perkebunan XIV (1988), 3) Soepadirman (1992)
Gambar 3. Variasi Bentuk Kasuran dan Asal Bahan Tanah Pembentuknya
Perbedaan kasuran tipe klacen dan kasuran tipe tutup adalah letak
penanaman bibitnya. Kasuran tipe klacen, letak bibit di tepi juringan atau di
tengah kairan. Kasuran tipe tutup letak bibit di tengah juringan atau di dinding
kairan (Soepadirman, 1992). Klacen pada dasarnya got kecil sedalam 6 cm dan
lebar 20 cm. Klacen berada sepanjang dan searah juringan serta menghubungkan
11
got malang satu dengan yang lainnya. Kasuran pada tipe klacen hanya selebar
25 cm (55.6%), sedangkan kasuran pada tipe tutup memenuhi seluruh dasar
juringan selebar 45 cm (100%). Permukaan kasuran tutup miring membentuk
sudut lancip terhadap dasar juringan. Arah kemiringan kasuran tutup miring
mengikuti arah kelerengan lahan. Permukaan kasuran tutup datar sejajar dengan
permukaan dasar juringan.
Pengeceran Bibit
Ecer bibit atau tempah merupakan kegiatan mengikat bibit dalam satu
kelompok dan menyebar kelompok bibit tersebut ke setiap juringan. Selanjutnya
kelompok bibit tersebut ditanam satu per satu di atas kasuran. Hal tersebut
dilakukan sebelum penutupan bibit (Sutjahja, 1993). Pengeceran bibit terbagi
menjadi cara ecer, pemilihan jenis bibit, dan pola ecer. Kombinasi dari pemilihan
jenis bibit dan pola ecer menghasilkan nilai kerapatan mata. Kerapatan mata yang
dianjurkan pada musim tanam periode I berkisar 7 mata bibit/meter juringan
(PT Perkebunan XIV, 1983) sampai 9 mata bibit/meter juringan (Direktorat
Jenderal Perkebunan, 2009). Namun, ada pula yang menyebutkan kebutuhan bibit
satu hektar sebesar 60 000 mata bibit (Hakim, 2007).
Cara ecer seperti end to end dan overlapping. End to end yaitu ujung bibit
yang satu berhadapan dengan ujung bibit selanjutnya. Overlapping yaitu bibit
ditanam dalam dua lajur. Single overlapping berarti satu mata bibit pada lajur
pertama berdampingan dengan satu mata bibit dari lajur kedua. Double
overlapping berarti satu bibit pada lajur pertama berdampingan dengan satu bibit
lainnya dari lajur kedua (Direktorat Teknologi PT RNI, 2005).
Pemilihan jenis bibit mempertimbangkan bentuk bibit, varietas, umur bibit,
letak mata tunas, jumlah mata pada setiap bibit. Bibit yang digunakan terdiri dari
empat bentuk yaitu bibit rayungan, siwilan, pucuk, dan bagal. Rayungan
merupakan bibit berupa stek yang tunasnya sudah tumbuh namun akarnya belum
keluar. Siwilan merupakan bibit yang diambil dari tunas-tunas baru dari tanaman
yang pucuknya sudah mati. Pucuk merupakan bibit yang diambil dari bagian
pucuk tebu yang akan digiling berumur 12 bulan dengan jumlah mata yang
diambil sebanyak 2 sampai 3. Bagal merupakan bibit berupa stek yang mata
12
bibitnya belum tumbuh. Bagal dapat diperoleh dengan cara memotong batang
induk menjadi tiga bagian yaitu atas, tengah, dan bawah. Bagal yang berasal dari
batang induk bagian atas disebut topstek. Bagal yang berasal dari batang induk
bagian tegah dan bawah disebut bagal batang tengah atau bagal batang bawah
(PT Perkebunan XIV, 1983; Effendi dan Agustini, 1993; dan Amri, 2007).
Pola ecer menunjukkan jumlah bibit yang ditanam dalam sebuah juringan.
Pola ecer ditulis dalam bentuk rumus misalnya 22+2 atau 20+2. Pada pola ecer
22+2, angka 22 berarti sebanyak 22 bibit ditanam di atas kasuran dan mengalur
membentuk garis lurus sepanjang juringan. Angka +2 berarti 2 bibit ekstra
disisipkan dan ditempatkan di masing-masing ujung juringan. Tujuannya sebagai
pengganti bibit sulaman sebesar 10 % dan fungsi alternatifnya memanfaatkan efek
tanaman pinggir (border effect). Kebijakan menanam dengan tingkat kerapatan
yang lebih tinggi diperbolehkan dengan mempertimbangkan daya tumbuh bibit
(PT Perkebunan XIV, 1988).
Download