Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PERUSAHAAN Endang Afriyeni Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga email : [email protected] ABSTRACT The purpose of this paper is to know the development of a successful research established corporate financial distress prediction models. Using descriptive method of research. The result show that the beginning research focus on a comparison between the financial ratios of companies that experience financial distress and firms that do not experience financial distress. Later development besides statistical techniques kept evolve by using logistic regression method, the study deals with the prediction of financial distress include not only internal factors are measured by financial ratios alone. But also include external factors such as macro economic variables. This is due to macro economic variables are also suspected as the cause of companies experiencing financial distress. Keywords : financial distress, logistic regression method, macro economic 1. PENDAHULUAN Topik penelitian mengenai prediksi financial distress perusahaan merupakan salah satu kajian menarik bidang keuangan dan akuntansi, karena selain berguna bagi perkembangan penelitian dalam bidang keuangan dan akuntansi, juga berguna bagi semua stakeholder perusahaan, baik itu manajemen, investor, pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Dengan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya financial distress, manajemen akan lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan, sementara kreditur dapat memanfaatkannya bagi pertimbangan keputusan kredit. Peneliti mula-mula Ramser dan Foster (1931), Fitzpatrick (1932), Winakor dan Smith (1935), Merwin (1942) berfokus pada perbandingan antara rasio keuangan perusahaan yang gagal dan perusahaan yang tidak gagal dan disimpulkan bahwa rasio keuangan perusahaan gagal adalah lebih buruk dari perusahaan yang tidak gagal.. Penggagas utama lainnya terkait dengan penelitian kebangkrutan perusahaan (financial distress) yaitu Beaver (1996) yang menyajikan pendekatan variabel tunggal (univariat) dari analisis diskriminan yang kemudian diperluas menjadi pendekatan variabel ganda (multivariat) oleh Altman (1968). Selama hampir dua dekade, analisis diskriminan telah menjadi metode utama dalam memprediksi kondisi financial distress/kebangkrutan perusahaan, hingga menjelang tahun 1980-an muncul penggunaan metode baru dalam prediksi yaitu regresi logaritma yang pemakaiannya mulai ditekankan untuk prediksi financial distress atau kebangkrutan. Financial distress terjadi sebelum perusahaan menghadapi kegagalan ataupun kebangkrutan. Kondisi financial distress merupakan kondisi dimana keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau krisis. Financial distress yang cukup mengganggu kegiatan operasional perusahaan merupakan suatu kondisi yang harus ISSN 1858–3717 1 Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 segera diwaspadai dan diantisipasi. Menurut Rodoni dan Ali (2010:176) apabila ditinjau dari kondisi keuangan ada tiga keadaan yang menyebabkan financial distress yaitu faktor ketidakcukupan modal atau kekurangan modal, besarnya beban utang dan bunga serta menderita kerugian. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan. Oleh karena itu harus dijaga keseimbangannya agar perusahaan terhindar dari kondisi financial distress yang mengarah kepada kebangkrutan. Untuk mengatasi dan meminimalisir terjadinya kebangkrutan, perusahaan dapat mengawasi kondisi keuangan dengan menggunakan teknik-teknik analisis laporan keuangan. Analisis laporan keuangan merupakan alat yang penting untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan posisi keuangan perusahaan serta hasil yang telah dicapai sehubungan dengan pemilihan strategi perusahaan yang telah diterapkan. Dengan melakukan analisis laporan keuangan perusahaan, maka dapat diketahui kondisi dan perkembangan financial perusahaan. Selain itu, juga dapat diketahui kelemahan serta hasil yang dianggap cukup baik dan potensi kebangkrutan perusahaan tersebut. Artikel ini akan menguraikan beberapa penelitian yang telah dilakukan para peneliti yang berhasil membentuk model prediksi financial distress perusahaan. Pembahasan dimulai dari kaitan antara manajemen keuangan, financial distress, selanjutnya perkembangan berbagai indikator yang mampu membentuk model prediksi financial distress. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengetahui berbagai penelitian yang mampu membuktikan bahwa rasio keuangan sebagai alat untuk memprediksi kondisi financial distress atau kebangkrutan perusahaan. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kaitan Financial Distress dengan Corporate Finance Financial distress merupakan salah satu kajian menarik yang terus diteliti baik dilihat dari manajemen keuangan maupun akuntansi. Berkaitan dengan financial distress terlebih dahulu akan diuraikan tentang manajemen keuangan. Menurut Brigham dan Houston ( 2006:4) terdapat tiga bidang keuangan yang saling berkaitan, pertama, money and capital market, yang berhubungan dengan pasar sekuritas dan lembaga keuangan. Kedua, investment, yang berfokus pada keputusan-keputusan investasi yang dibuat baik oleh investor individu ataupun kelembagaan ketika memilih surat berharga untuk portofolio investasi. Ketiga adalah financial management atau keuangan perusahaan, yang mencakup keputusan-keputusan dalam perusahaan. Sedangkan menurut Ross et al (2010:12) keuangan perusahaan (corporate finance) sebagai studi dari hubungan antar keputusan-keputusan perusahaan, aliran kas, dan nilai saham perusahaan. Keputusan keputusan keuangan yang menjadi tanggung jawab manajer keuangan dikelompokkan ke dalam tiga jenis yaitu: keputusan tentang investasi (investment decision), pembiayaan kegiatan usaha (financing decision) dan pembagian dividen suatu perusahaan (Weston dan Copeland, 1992: 2). Fungsi-fungsi keuangan dapat dibagi menjadi tiga area utama, yaitu keputusan investasi atau penggunaan dana, keputusan pendanaan atau mendapatkan dana, dan keputusan manajemen aktiva, termasuk mengatur pembagian keuntungan (Moeljadi, 2006). Keputusan pendanaan (financing decision) berhubungan dengan pemilihan sumber pembiayaan perusahaan. Keputusan pendanaan ini tercermin disisi kanan neraca, yang akan menampilkan berbagai sumber pendanaan. Untuk memperoleh dana, manajer keuangan dapat memperolehnya dari dalam (internal) maupun luar (eksternal) perusahaan. Sumber dana internal berasal dari laba ditahan, sedangkan sumber dana eksternal berasal dari utang dan penerbitan saham (ekuitas). Namun dalam pemenuhan dana, perusahaan harus mencari alternatif-alternatif pendanaan yang efisien. ISSN 1858–3717 2 Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 Setiap perusahaan memiliki sejumlah risiko yang melekat pada operasinya, yaitu risiko bisnis yang timbul dari ketidakpastian dalam proyeksi arus kas perusahaan yang berarti ketidakpastian tentang kebutuhan modal dan laba operasinya. Dengan menggunakan utang atau saham istimewa maka biaya tetap perusahaan akan meningkat dan sekaligus meningkatkan risiko bisnis. Peningkatan risiko bisnis karena penggunaan utang merupakan risiko keuangan. Dengan demikian risiko bisnis yang merupakan risiko dasar perusahaan berkaitan dengan keputusan pendanaan. Kraus dan Litzenberger (dalam Jensen, 1984) berpendapat bahwa jika porsi utang dalam struktur modal perusahaan meningkat, maka kemungkinan kebangkrutan juga meningkat. Brigham dan Gapenski (1997) mengatakan bahwa semakin besar pembiayaan dari hutang, dan semakin besar beban bunga tetap, semakin besar probabilitas bahwa penurunan earning akan mengarah kepada kesulitan keuangan, karena itu semakin tinggi probabilitas financial distress. Jadi utang dapat menyebabkan kesulitan keuangan. Struktur modal (Capital Structure) merupakan perbandingan antara utang dengan ekuitas sebagai hasil atau akibat dari pendanaan. Teori struktur modal menjelaskan bagaimana pengaruh keputusan pendanaan terhadap nilai perusahaan atau biaya modal perusahaan. Pecking Order Theory (Myers, 1984), menyatakan bahwa ada semacam tata urutan (pecking order) bagi perusahaan dalam menggunakan modal. Teori ini menjelaskan bahwa perusahaan lebih mengutamakan menggunakan sumber dana internal (menggunakan laba ditahan) daripada menggunakan sumber dana eksternal (menerbitkan saham baru ). Hal itu disebabkan penggunaan laba ditahan lebih murah dan tidak perlu mengungkapkan sejumlah informasi perusahaan (yang harus diungkapkan dalam prospektus saat menerbitkan obligasi dan saham baru). Apabila perusahaan membutuhkan pendanaan eksternal, pertama kali akan menerbitkan utang sebelum menerbitkan saham baru. Penerbitan saham menduduki urutan terakhir sebab penerbitan saham merupakan tanda atau sinyal bagi pemegang saham atau calon investor tentang kondisi perusahaan saat sekarang dan prospek mendatang yang tidak baik. Korajczyk dan Levy, (2002) mengatakan bahwa perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana internal, kemudian dengan utang, dan terakhir dengan ekuitas dalam pembiayaannya. Utang sebagai salah satu sumber dana yang berasal dari luar perusahaan yang sifatnya sementara didalam perusahaan. Utang ini pada saatnya harus dibayar kembali. Dalam kaitannya dengan penggunaan utang dalam struktur modal , teori TradeOff memandang perusahaan akan memiliki struktur modal yang optimal berdasarkan adanya keseimbangan (trade-off) antara manfaat dengan biaya dari penggunaan utang (Peirson, 2006:394). Menurut teori ini manfaat penggunaan utang muncul dari peranan biaya bunga sebagai pengurang dalam penghitungan laba kena pajak. Dengan demikian, perusahaan akan membayar pajak lebih rendah daripada perusahaan yang menggunakan 100% ekuitas disamping memperoleh return on equity (ROE) lebih tinggi karena jumlah modal ekuitas yang ditanam lebih sedikit. Selanjutnya manfaat dari pengurangan pajak akibat penggunaaan utang akan dibandingkan dengan ekspektasi biaya kebangkrutan akibat penggunaan utang. Dengan kata lain, perusahaan menggunakan utang sampai pendapatan marginal utang (the interest tax shelter) sama dengan biaya marginal utang (financial distress and bankruptcy cost), dan struktur modal optimal berada pada posisi dimana keuntungan bersih penggunaan utang menjadi nol (Ross, Westerfield dan Jaffe, 2010:531). Penggunaan tingkat utang yang relatif besar menimbulkan biaya tetap berupa beban bunga yang besar pula. Agar perusahaan dapat membayar kewajiban bunga yang ISSN 1858–3717 3 Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 besar maka perusahaan harus dapat menghasilkan laba (EBIT) yang lebih besar dari kewajiban bunga tersebut dan jika EBIT yang dihasilkan lebih kecil dari kewajiban bunga, maka perusahaan akan mengalami masalah dalam cashflow yang berakibat kepada keterlambatan pembayaran kewajiban, dan jika hal ini berlangsung secara terus menerus kondisi ini disebut financial distress. Kondisi financial distress merupakan kondisi dimana keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau krisis. Financial distress yang cukup mengganggu kegiatan operasional perusahaan merupakan suatu kondisi yang harus segera diwaspadai dan diantisipasi. Menurut Rodoni dan Ali (2010:176) apabila ditinjau dari kondisi keuangan ada tiga keadaan yang menyebabkan financial distress yaitu faktor ketidakcukupan modal atau kekurangan modal, besarnya beban utang dan bunga dan menderita kerugian. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan. Oleh karena itu harus dijaga keseimbangannya agar perusahaan terhindar dari kondisi financial distress yang mengarah kepada kebangkrutan. Kondisi financial distress akan berdampak kepada terjadinya penurunan firm value, penurunan kualitas hubungan dengan pelanggan, dengan pegawai dan dengan kreditur serta terjadinya demotivasi pada karyawan sehingga menurunkan job security (Endang, 2013) 2.2 Rasio Keuangan Salah satu sumber informasi mengenai kemungkinan kondisi financial distress perusahaan dapat dilihat dari laporan keuangan melalui perhitungan rasio keuangan. Dalam menganalisis serta menilai posisi keuangan dan potensi/kemajuan perusahaan, rasio-rasio keuangan biasanya dikelompokkan kedalam kategori-kategori berikut (Brigham dan Houston, 2006:89): 1) Rasio Likuiditas (Liquidity Ratios) Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka pendek. Perusahaan dalam keadaan likuid apabila perusahaan mampu memenuhi kewajiban keuangannya tepat pada waktunya. Perusahaan dikatakan dapat memenuhi kewajiban keuangannya tepat waktu apabila perusahaan tersebut mempunyai alat pembayaran atau aktiva lancar yang lebih besar daripada utang lancarnya. Semakin tinggi rasio likuiditas maka semakin baik kondisi keuangan perusahaan karena menunjukkan bahwa perusahaan dalam keadaan yang likuid. Semakin tinggi rasio likuiditas, maka semakin kecil kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress, akan tetapi rasio likuiditas yang terlalu tinggi menunjukkan bahwa modal kerja perusahaan tidak produktif mengakibatkan munculnya biaya-biaya yang akan mengurangi laba perusahaan dan akan berpengaruh positif terhadap financial distress ( Munthe, 2008) 2) Rasio Manajemen Aktiva (Asset Management Ratios) Rasio ini digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam mengelola aktivanya. Jumlah aktiva yang terlalu banyak akan menimbulkan biaya modal yang besar, sehingga akan menekan keuntungan. Sebaliknya aktiva yang terlalu kecil akan menyebabkan hilangnya penjualaan yang menguntungkan. Semakin besar rasio yang didapat maka semakin baik karena perusahaan semakin cepat mengubah persediaannya menjadi kas sehingga kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan semakin kecil. 3) Rasio Manajemen Utang (Debt Management Ratios) Rasio manajemen utang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang. Suatu perusahaan dikatakan solvabel apabila perusahaan tersebut mempunyai aktiva yang cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya. ISSN 1858–3717 4 Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 Rasio ini dapat dihitung berdasarkan informasi dari neraca, yaitu pos-pos aktiva dan pos-pos hutang. Laitinen dan Laitinen (dalam Munthe, 2008) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat utang yang lebih besar akan lebih mudah mengalami financial distress maupun kebangkrutan jika dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki hutang lebih sedikit. 4) Rasio Profitabilitas (Profitability Ratios) Rasio profitabilitas menunjukkan kemampuan dari perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Profitabilitas suatu perusahaan diukur dengan kesuksesan perusahaan dan kemampuan menggunakan aktivanya secara produktif, dengan demikian profitabilitas suatu perusahaan dapat diketahui dengan memperbandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut. Sehingga semakin tinggi kemampuan perusahaan menghasilkan laba, maka semakin kecil kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. 5) Rasio Nilai Pasar (Market Value Ratios) Rasio ini diterapkan untuk perusahaan yang telah Go Public dan mengukur kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai terutama pada pemegang saham dan calon investor. bagi para investor/calon investor informasi rasio pasar merupakan informasi yang paling mnedasar, karena menggambarkan prospek earning perusahaan dimasa depan. Sehingga semakin kecil baik rasio ini, maka semakin kecil kemungkinan perusahaan untuk mengalami kesulitan keuangan. 6) Rasio pasar antara lain: a. Price Earning Ratio, rasio antara harga pasar saham dengan laba per lembar saham. Jika rasio ini lebih rendah dari pada rasio industri sejenis, bisa merupakan indikasi bahwa investasi pada saham perusahaan ini lebih berisiko daripada rata – rata industri. b. Market to Book Value, perbandingan antara nilai pasar saham dengan nilai buku saham, juga merupakan indikasi bahwa para investor menghargai perusahaan. 3. PEMBAHASAN Perkembangan penelitian tentang financial distress maupun kebangkrutan terus mengalami perkembangan yang signifkan sejalan dengan perubahan yang terjadi. Awalnya penelitian tentang financial distress menggunakan teknik statistik univariate (Beaver, 1966) kemudian dikembangkan lagi menggunakan multivariate dengan analisis diskriminan oleh Altman (1968). Analisa diskriminan ini merupakan suatu teknik statistik yang mengidentifikasikan beberapa macam rasio keuangan yang dianggap memiliki nilai paling penting dalam mempengaruhi suatu kejadian, lalu mengembangkannya dalam suatu model dengan maksud untuk memudahkan dalam menarik kesimpulan dari suatu kejadian. Perluasan dari penelitian yang berkaitan dengan prediksi financial distress suatu perusahaan telah dilakukan dengan memasukkan variabel lain seperti sensitivitas perusahaan terhadap faktor-faktor ekonomi makro yang diekspektasikan memiliki peran utama dalam membedakan perusahaan yang mengalami financial distress dan tidak mengalami financial distress. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Tirapat dan Nittayagasetwat (1994), Luciana (2004), Kornel (2007), Endang (2012). Beberapa penelitian yang berhasil penulis baca, walaupun sebenarnya banyak lagi peneliti-peneliti yang telah memberikan bukti empiris sehubungan dengan variabel-variabel yang dapat digunakan sebagai prediktor kondisi financial distress perusahaan, namun penulis akan memulai uraian pada penelitian yang dilakukan oleh Beaver (1966) dan dilanjutkan dengan beberapa peneliti lainnya.. ISSN 1858–3717 5 Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 Beaver (1966) yang melakukan studi tentang financial ratios as predictors of failure. Dalam studinya ini menggunakan analisis univariat yaitu rasio keuangan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan. Pemilihan rasio didasarkan pada kepopulerannya dalam berbagai literatur, kinerja rasio-rasio tersebut dalam penelitian sebelumnya dan kedekatannya dengan konsep arus kas (cash flow). Menggunakan 30 rasio keuangan , yang dikelompokkan dalam 6 kelompok besar (cash-flow ratio, netincome ratios, debt to total-asset ratios, liquid-asset to total-asset ratios, liquid-assets to current debt ratios, turnover ratios). Hasil penelitiannya adalah terdapat lima rasio keuangan yang memiliki tingkat kesalahan dibawah 24% yaitu : arus kas/total utang, aset bersih/total aset, total utang/total aset, modal kerja/total aset dan rasio lancar. Tetapi kelemahan dari studi Beaver adalah penggunaan analisis univariate yaitu tidak dapat dibentuknya suatu model simultan yang dapat digunakan untuk memprediksi kegagalan perusahaan (Iramani, 2008) Guna mengatasi kelemahan tersebut, Altman (1968) mempelopori penggunaan teknik statistik multivariat melalui analisis diskriminan linear. Dalam penelitiannya, teknik statistik multivariat ini menggabungkan efek dari beberapa variabel dalam model yang mengklasifikasikan perusahaan yang pailit dan perusahaan yang tidak pailit. Menggunakan 33 sampel perusahaan yang pailit dan 33 perusahaan yang tidak pailit dalam kurun waktu 20 tahun ( 1946 sampai dengan 1965). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio-rasio yang dibentuk oleh model memberikan kontribusi yaitu dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan dengan menggunakan rasio-rasio keuangan. Rasio-rasio tersebut adalah Working Capital/Total Assets (WC/TA), Retained Earning/Total Assets (RE/TA), Earning Before Interest And Taxes/Total Assets (EBIT/TA), Market Value Equity/Book Value Of Total Debt (MVE/BVD) dan Sales/Total Assets (S/TA). Hasil model yang terbentuk lebih dikenal dengan nama Altman’s Bankruptcy Prediction Mode (Z-Score), yaitu: Z=0,012X1 + 0,014X2 + 0,033X3 + 0,0006X4 + 0,999X5 dengan ketentuan jiak nilai Z lebih kecil (<) dari pada 1,8, maka perusahaan tersebut dikategorikan pailit dan jika lebih besar (>) daripada 1,8 maka perusahaan tersebut dikategorikan tidak pailit. Selanjutnya, Altman melakukan pengembangan lagi terhadap model Z-score, yaitu dengan menambah jumlah sampel dalam beberapa periode penelitian hingga berjumlah 120 perusahaan dan mengubah variabel X4, yaitu harga pasar ekuitas menjadi nilai buku ekuitas, sehingga variabel X4 menjadi nilai buku ekuitas/nilai buku total kewajiban. Hasil pemodelan adalah: Z = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998 X5 dengan ketentuan jika nilai Z lebih kecil (<) daripada 1,21, maka perusahaan tersebut dikategorikan pailit dan jika lebih besar dari (.>) 2,90 makaperusahaan tersebut dikategorikan tidak pailit; wilayah tidak jelas (grey area) antara 1,23 sampai dengan 2,90. Sejak itu, prediksi kegagalan perusahaan menjadi topik yang cukup menarik dan peneliti-peneliti berikutnya memperluas kajiannya dalam tiga bidang yaitu teknik statistik (Ohlson, 1980), definisi kegagalan (Platt dan Platt, 2002) dan penggunaan berbagai variabel penjelas lainnya (Tirapat dan Nittayagasetwat, 1999). Selanjutnya Ohlson (1980) dalam penelitian Financial Ratios and the Probabilistic Prediction of Bankruptcy menggunakan analisis logit dan probit untuk memprediksi kebangkrutan. Teknik ini digunakan untuk menghindari masalah yang berkaitan dengan asumsi-asumsi yang ketat dari analisi diskriminan linear. Menghasilkan tiga model prediksi yaitu: model prediksi satu tahun, model prediksi dua ISSN 1858–3717 6 Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 tahun dan model prediksi tiga tahun sebelum kebangkrutan. Ketiga model tersebut memiliki kemampuan meramalkan dengan tingkat ketepatan diatas 90%. Rasio-rasio yang digunakan dalam model ini adalah SIZE = log(total assets/GNP price-level index,TLTA (Total Liabilities/Total Assets), WCTA (Working capital/total assets, CLCA (Current Liabilities/Current Assets, OENEG (One if total liabilities exceeds total assets, zero otherwise), NITA(Net income/total assets), FUTL (Funds provided by operations/ total liabilities, INTWO(One if net income was negative for the last two years, zero otherwise, CHIN- (NIt - NIti)/(INItI + INIt-il), where NIt is net income for the most recent period. Pada tahun-tahun berikutnya, penelitian model prediksi financial distress tidak hanya memasukkan faktor internal perusahaan yang diukur dengan rasio keuangan saja. Namun juga memasukkan faktor eksternal yang berupa variabel ekonomi makro. Hal ini disebabkan karena variabel ekonomi makro juga ditenggarai sebagai penyebab perusahaan mengalami financial distress. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Tirapat dan Nittayageswat (1999) terhadap perusahaan di Thailand yang mengalami financial distress. Menggunakan variabel mikro dan makro ekonomi untuk memprediksi financial distress perusahaan di Thailand. Pengujian menggunakan two- step regression. Penelitian ini bertujuan untuk menguji penerapan regresi logistik untuk mengembangkan model financial distress yang berkaitan dengan ekonomi makro dan untuk mengetahui sensitivitas perusahaan terhadap ekonomi makro. Hasil penelitiannya adalah bahwa kondisi ekonomi makro merupakan indikator yang kritikal bagi masalah keuangan perusahan dan semakin tinggi sensitivitas perusahaan terhadap inflasi, semakin tinggi pula probabilitas perusahaan mengalami financial distress. Dalam penelitian ini variabel makro yang paling mempengaruhi prediksi kebangkrutan adalah tingkat inflasi. Luciana (2004) tujuan dari penelitiannya adalah untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi financial distress. Faktor-faktor yang diteliti tersebut adalah rasio keuangan, rasio relatif industri, sensitivitas perusahaan terhadap variabel makro ekonomi, reputasi auditor dan underwriter. Sampel terdiri dari 19 perusahaan dalam kondisi financial distress sebagai kondisi perusahaan yang delisted pada tahun 1999-2002 dan 41 perusahaan listed. Sampel dipilih berdasarkan purposive sampling approach. Menggunakan Analisa regresi logistik untuk menguji hipotesis yang dirumuskan. Hasil empiris menunjukkan bahwa rasio relatif industri memiliki daya klasifikasi lebih tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa sensitivitas perusahaan terhadap variabel ekonomi makro dan reputasi auditor adalah variabel yang signifikan dalam memprediksi kondisi financial distress perusahaan. Sementara itu, Ugurlu dan Aksoy (2006) dalam penelitian Prediction of Corporate Financial Distress in an Emerging Market: The Case of Turkey, bertujuan untuk mengidentifikasi prediktor dari financial distress perusahaan dengan menggunakan model diskriminan dan model logit di pasar modal selama periode turbulensi. Menggunakan 22 rasio keuangan dari 27 perusahaan failed dan 27 perusahaan non-failed yang di analisis dengan menggunakan model diskriminan dan model logit. Pada analisis diskriminan, ditemukan sepuluh rasio keuangan yang dominan dalam menjelaskan prediksi financial distress yaitu rasio EBIT/Sales, EBIT/Paid Capital, Fixed Asset/Shareholders’ Equity, Sales/Net Tangible Asset, (Total Asset/1000)/ Wholesale Price Index, Other Income Before Taxes/Other Income After Taxes yang memiliki hubungan positif dalam menjelaskan prediksi financial distress. Semakin besar rasio ini semakin besar perusahaan akan mengalami financial distress. ISSN 1858–3717 7 Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 Rasio EBITDA/Total Asset, Shareholders’ Equity/Total Assets, Long-Term Debt/Total Debt, Net Income/Shareholders’ Equity memiliki hubungan negatif terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Pada analisis logistic regression ditemukan sebelas variabel yang dapat menjelaskan prediksi financial distress adalah variabel EBIT/Sales, Accounts Payable+Notes Payable/Total Assets, Sales/Net Tangible Assets, Other Income Before Taxes/Other Income After Taxes, (Total Asset/1000)/Wholesale Price Index, Sales/Net Working Capital memiliki hubungan yang positif terhadap kemungkinan perusahaan mengalami financial distress, semakin besar rasio ini semakin besar kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Variabel EBITDA/Total Assets, Sales/Current Assets, Market Value Of Equity/Book Value Of Total Liabilities, Net Working Capital/Long-Term Debt , Net Income/ Shareholders’ Equity memiliki hubugan negatif terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. Semakin kecil rasio ini semakin besar perusahaan mengalami financial distress. Dari kedua alat analisis tersebut ditemukan enam rasio keuangan yang paling dominan dalam menjelaskan prediksi financial distress yaitu EBITDA/Total Asset, EBIT/Sales, Sales/Net Tangible Assets, Return On Equity, (Total Asset/1000)/Wholesale Price Index, dan Other Income Before Taxes/Other Income After Taxes. Perbandingan dari kedua model, bahwa model logit memiliki akurasi prediksi tertinggi dalam menjelaskan financial distress dari pada model diskriminan. Figlewski, Frydman dan Liang (2006) melakukan penelitian dengan judul Modeling the Effect of Macroeconomic Factors on Corporate Default and Credit Rating Transitions. Hasil penelitiannya adalah bahwa variabel ekonomi makro tingkat bunga, inflasi dan pertumbuhan GDP mempengaruhi risiko bisnis perusahaan. Penelitian Munthe (2008) bertujuan untuk memprediksi kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan pada perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia berdasarkan struktur kepemilikan saham, variabel makro ekonomi dan kinerja keuangan perusahaan. Metode analisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil penelitiannya adalah variabel kepemilikan institusi, tingkat bunga deposito, leverage dan profitabilitas signifikan untuk memprediksi kesulitan keuangan. Tingkat akurasi prediksi total untuk 1, 2 dan 3 tahun sebelum kesulitan keuangan adalah masing-masing 92,5452%, 81,5116% dan 76,06119%. Penelitian yang dilakukan Koes et al (2010) secara empiris meneliti dinamika financial distress perusahaan perusahaan publik (perusahaan non keuangan) di Indonesia (BEI) untuk periode 2004-2008. Menggunakan regresi data panel, menganalisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi financial distress perusahaan. Untuk membedakan status kondisi keuangan, perusahaan diklasifikasikan menjadi empat langkah: baik, penurunan awal, kerusakan dan perusahaan bermasalah dalam arus kas. Hasil menunjukkan bahwa current ratio (CR), efisiensi (Eff), ekuitas (EQ) dan variabel dummy status kondisi keuangan yang baik (D3) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Debt Service Coverage (DSC) sebagai proksi dari financial distress. Di sisi lain, leverage (Lev) memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan DSC. Variabel lain seperti profit (P), return earning (RE), good corporate governance (GCG) dan faktor ekonomi makro tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap status kesulitan keuangan perusahaan. Selanjutnya, analisis ini menunjukkan bahwa profitable dari perusahaan tidak menjadi jaminan bahwa perusahaan dapat bertahan untuk memenuhi kewajibannya. Penelitian yang dilakukan oleh Endang ( 2012,a) bertujuan untuk menguji pengaruh kinerja keuangan dan sensitivitas perusahaan terhadap faktor-faktor ekonomi ISSN 1858–3717 8 Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 makro dalam memprediksi kondisi financial distress pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (Periode 2007 sampai dengan 2009). Menggunakan Logistic regression, adalah bagian dari analisis regresi yang digunakan ketika variabel dependen (respon) merupakan variabel dikotomi. Metode yang digunakan adalah Backward Stepwise (Conditional). Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan semua variabel secara bersama-sama. Pada setiap tahapan akan dilakukan pembuangan terhadap variabel-variabel yang paling tidak signifikan sampai diperoleh model regresi yang paling baik. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Tirapat & Nittayagasetwat ( 1999) dan Luciana (2006), bahwa kinerja keuangan dan sensitivitas perusahaan terhadap faktor-faktor makro ekonomi berpengaruh dalam memprediksi kondisi financial distress perusahaan. Variabel yang signifikan mempengaruhi prediksi adalah X1(SETA), X3 (OINS) dan X5 (sensitivitas perusahaan terhadap perubahan tingkat Inflasi). Hasil yang berbeda terjadi pada penelitian Endang (2012,b) dimana pada penelitian ini rasio SETA (X1), RETA (X2), OINS (X3) dan WCTA (X4) digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. Faktor-faktor makro ekonomi yang digunakan adalah tingkat inflasi, tingkat bunga SBI dan tingkat kurs. Hasil penelitian ini adalah bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi prediksi adalah X1 (SETA), X2 (RETA) dan X3 (OINS), sedangkan sensitivitas terhadap faktor-faktor makro ekonomi tidak berhasil membentuk model prediksi. Tidak konsistennya hasil penelitian ini dengan penelitian terdahulu dimana sensitivitas makro ekonomi tidak berhasil membentuk model disebabkan karena pada penelitian ini sampel diambil pada periode 2007 sampai dengan 2010 dimana pada saat itu beberapa variabel makro relatif stabil, selain perbedaan periode waktu juga adanya perbedaan sampel dimana pada penelitian sebelumnya penelitian ini sampel yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sedangkan pada penelitian terdahulu tidak terbatas pada perusahaan manufaktur saja tetapi perusahaan keuangan dan perbankan juga. Hal ini memungkinkan karena sektor keuangan dan perbankan merupakan sektor yang rentan terhadap kondisi ekonomi makro (Tirapat & Nittayagasetwat,1999 dan Luciana, 2006) . Sebaliknya penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Pranowo et al (2010) bahwa laba, return earning (RE), good corporate governance (GCG) dan faktor ekonomi makro tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap financial distress suatu perusahaan DAFTAR PUSTAKA Ahmad Rodoni dan Herni Ali. 2010, Manajemen Keuangan, Edisi Pertama, Mitra Wacana Media, Jakarta Altman, E. I., 1968. Financial ratios, discriminant analysis and the prediction of corporate bankrupcy, Journal of Finance, Vol. 23, September, pp. 589-609. _____________, 1992. Corporate Financial Distress and Bankruptcy : A Complete Guide to Prediction and Avoiding Distress and Profiting from Bankruptcy, Second Edition, John Wiley & Sons, Inc. Beaver, W. (1966). Financial Ratios as Predictors of Failure. Empirical Research in Accounting: Selected Studies, Journal of Accounting Research, (Supplement) Vol. 4, pp. 71-111. Brigham, E. F., Daves, P. R., Intermediate Financial Management, Eighth Edition Brigham, E. F., Gapenski, L. C.. 1996, Intermediate Financial Management, Fifth Edition ISSN 1858–3717 9 Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012 Brigham, E. F., Houston. 2006, Dasar-dasar Manajemen Keuangan . Terjemahan Ali Akbar Yulianto, Buku 1 dan 2, Edisi 10, Penerbit Salemba Empat Endang A, 2012a, Pengaruh Kinerja Keuangan dan Sensitivitas Perusahaan terhadap Faktor-Faktor Ekonomi Makro dalam Memprediksi Kondisi Financial Distress pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia, Prosiding ________, 2012b, Prediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan pada Era Globalisasi dengan Menggunakan Analisis Logit, Laporan Akhir Penelitian DIPA, Politeknik Negeri Padang ________, 2013, Rasio Keuangan, Financial Distress Perusahaan : Suatu Tinjauan, Jurnal Arthavidya, Tahun 14 Nomor 1, hlm. 41-51 Iramani Rr, 2008, Model Prediksi Financial Distress Perusahaan Go Public di Indonesia (Studi pada Sektor Manufaktur), Jurnal Aplikasi Manajemen. Volume 6, Nomor I . April, hlm.183-194 Jensen, C. M.,, The Theory of Corporate Finance : A Historical Overview, New York: McGraw-Hill Inc., 1984 Korajczyk, R. A., and Levy, A., 2002, Capital structure choice: Macroeconomic conditions and financial constraints, Journal of Financial Economics Kornel, M., 2007, Pengaruh Struktur Kepemilikan, Makro Ekonomi dan Kinerja Keuangan Terhadap Kesulitan Keuangan Perusahaan, Media Unika Tahun 20 No. 73 Edisi Ke-4, hlm.277-289 Luciana S. A., Emanuel K, Analisis Rasio Keuangan Untuk Memprediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia (JAAI), 2003 Myers, S., 1984. The Capital Structure Puzle, Jurnal of Finance, Vol. 39. July 1984 Ohlson, J. A., Financial Ratios and the Probabilistic Prediction of Bankruptcy, Journal of Accounting Research, Vol. 18, No. 1 (Spring, 1980), pp. 109-131 Koes P., K., Achsani N.A., Manurung, A. H., 2010. Determinant of Corporate Financial Distress in an Emerging Market Economy: Empirical Evidence from the Indonesian Stock Exchange 2004-2008, International Research Journal of Finance and Economics, ISSN 1450-2887 Issue 52, pp.81-90 Ross S. A, Westefield R. W., Jaffe J., 2010, Corporate Finance, Ninth Edition, Mc. Graw Hill Tirapat, S dan Nittayagasetwat, A., An Investigation of Thai Listed Firms’ Financial Distress Using Macro and Micro Variables, Multinational Finance Journal, 1999 Vol 3, No. 2 pp 103-125 Ugurlu, M., dan Aksoy, H., Prediction of corporate financial distress in an emerging market: the case of Turkey, Cross Cultural Management: An International Journal Vol. 13 No. 4, 2006 pp. 277-295 ISSN 1858–3717 10