tema utama REPUBLIKA ● AHAD, 31 OKTOBER 2010 B5 Wirid dan Amalan Rifa’iyah KALIMAT THAYYIBAH MENJADI AMALAN UTAMA SETIAP TAREKAT. Oleh Nidia Zuraya ILUSTRASI: DAʼAN YAHYA/REPUBLIKA etiap tarekat memiliki amalan zikir atau wirid. Zikir dan wirid ini merupakan amalan ‘pokok’ yang harus dilaksanakan oleh setiap anggotanya. Dalam keseharian, mereka harus menjalankan praktik zikir atau wirid ini. Umumnya, hal itu dilaksanakan setelah shalat fardhu. Tentu saja, wirid dan zikir antara satu tarekat dengan lainnya berbeda-beda. Termasuk dalam hal ‘lelaku’ atau gerakan zikir ini. Namun, satu hal yang menjadi kesamaan hampir dalam seluruh tarekat adalah zikir kalimat tahlil, yakni La Ilaha illallah (Tiada Tuhan kecuali Allah). Kalimat ini senantiasa dibaca secara berulang-ulang. Bentuk lainnya berupa zikir vokal yang diucapkan secara teratur oleh kaum Rifa’iyah dalam zawiyah mereka. Dalam beberapa cabang Rifa’iyah, para pengikut mengucapkan berbagai doa dan selalu melafalkan namanama Allah (asmaul husna). Misalnya, Allah, Hu (Dia), Hayy (Yang Hidup), Haqq (Yang Nyata), Qayyum (Yang Mandiri), Rahman (Yang Pengasih), Rahim (Yang Penyayang), dan lainnya. Ciri khas Tarekat Rifa’iyah terletak pada zikirnya. Zikir kaum Rifa’iyah ini disebut ‘darwis melolong’ karena dilakukan bersamasama dan diiringi oleh suara gendang yang S ILUSTRASI: DAʼAN YAHYA/REPUBLIKA TANBIHUN.COM Oleh Syahruddin El-Fikri arekat Rifa’iyah dan organisasi kemasyarakatan (ormas) Rifa’iyah yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, merupakan dua nama yang berbeda. Tarekat Rifa’iyah adalah murni gerakan keagamaan dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ahmad Rifa’i dari Irak bagian selatan. Sedangkan, ormas Rifa’iyah di Indonesia merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang juga memiliki fungsi mengajak umat untuk lebih dekat dengan Allah. Kendati memiliki tujuan serupa, ada perbedaan prinsip di antara keduanya. Rifa’iyah yang ada di Indonesia didirikan oleh Syekh Haji Ahmad Ar-Rifa’i Al-Jawi Bin Muhammad Bin Abi Sujak Bin Sutjowijoyo. Terkadang, ada yang menyebutnya dengan nama Haji Rifangi sesuai dengan dialek Jawa dalam menye- T bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan. Saat itu, mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, misalnya bergulingguling dalam bara api, tetapi tidak terbakar sedikit pun. Sebelumnya, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, sebagian kaum Rifa’iyah terkenal karena mengikutkan praktik upacara, seperti menusuk kulit dengan pedang dan makan kaca. Praktik seperti ini menyebar bersama Tarekat Rifa’iyah hingga ke kepulauan Melayu. Namun, pada masa kini, praktikpraktik tersebut tidak lagi dijalankan oleh para pengikut Rifa’iyah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Di wilayah Sumatra, para pengikut Rifa’iyah memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan sepotong senjata tajam yang diiringi dengan zikir-zikir tertentu. Dabus dalam bahasa Arab artinya besi yang tajam. Christiaan Snouck Hurgronje dalam De Acehers mengatakan bahwa dabus dan rabana yang kerap dimainkan di wilayah Sumatra ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa’iyah. Dabus ini juga berkembang di Tanah Sunda, sebagaimana diungkapkan oleh C Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri Soenda. Di Sumatra Barat, kesenian dabus ini dikenal dengan badabuih. Dalam Encyclopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa’iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus. Tiga ajaran dasar Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa’iyah harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu minggu pada awal Muharram. Menurut Sayyid Mahmud Abul al-Faidl alManufi, Tarekat Rifa’iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu tidak meminta sesuatu, tidak menolak, dan tidak menunggu. Sementara itu, menurut asy-Sya’rani, tarekat ini menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan makrifat (puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf). Dalam pandangan Syekh Ar-Rifa’i, sebagaimana diriwayatkan asy-Sya’rani, asketisme merupakan landasan keadaankeadaan yang diridhai dan tingkatantingkatan yang disunahkan. Asketisme adalah langkah pertama orang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah, dan bertawakal kepada Allah. Menurut Syekh Ar- Rifa’i, “Barang siapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi benar.” Mengenai makrifat, Syekh Ar-Rifa’i berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan tersingkapnya hakikat realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan makrifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri. Irhamni MA dalam tulisannya mengenai Syekh Ahmad Ar-Rifa’i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa’iyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema “Cinta Ilahi”. “Andaikan malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di bawahku lautan menggelorai kecewa. Tanyalah atau biarlah mereka bernyawa. Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya. Sementara dia bisa dipercaya tanpaNya. Dan, dia tidak terbunuh, kematian itu istiroh baginya. Bahkan, dia tidak dapat maaf sampai bebas karenanya.” Syair di atas merupakan salah satu bentuk asketisme yang dilakukan Syekh Ahmad Rifa’i dalam mencapai hakikat tertinggi mengenal Allah, yakni makrifat. ■ ed: syahruddin el-fikri GERAKAN RIFA’IYAH DI INDONESIA butkan huruf ‘ain menjadi ngain. Namun, Haji Rifa’i ini juga merupakan tokoh Tarekat Rifa’iyah. Menurut Prof Dr Sartono Kartodirdjo, sejarawan Indonesia, dalam sebuah seminar nasional “Mengungkap Pembaruan Islam Abad XIX: Gerakan KH Ahmad Rifa’i, Kesinambungan, dan Perubahannya” di Yogyakarta, beberapa tahun silam, gerakan yang dilakukan KH Ahmad Rifa’i merupakan gerakan revivalistik yang berkembang menjadi gerakan protes melawan kaum birokrat tradisional dan pemerintah Kolonial Belanda. Hal yang sama juga diungkapkan Ahmad A Daby Darban dalam artikelnya yang berjudul “Rifa’iyah: Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah Tahun 18501982”. Ia menyebutkan, gerakan ini muncul sebagai gerakan reformasi atau pembaruan Islam karena munculnya pengaruh Wahabi yang dibawa KH Ahmad Rifa’i setelah kembali dari Makkah. Ia mengembangkannya di Indonesia dan menentang gerakan yang dilakukan oleh kaum tradisional. Banyak pro dan kontra menyikapi gerakan atau pemahaman yang dikembangkan oleh KH Ahmad Rifa’i. Salah satunya adalah pemahaman tentang rukun Islam hanya satu atau sawiji beloko, yakni dua kalimat syahadat saja. Sedangkan, shalat, zakat, puasa, dan haji, menurut KH Ahmad Rifa’i, merupakan peribadatan yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam. Untuk mengenalkan Islam sebagaimana yang diperolehnya di Tanah Suci, KH Ahmad Rifa’i menuliskan sebuah kitab yang berisi tentang paham keagamaan Rifa’iyah, yakni Tarojumah. Dalam kitab ini, terdapat tiga hal pokok yang menjadi paham keagamaan. Yakni, fikih (hukum-hukum atau syariat Islam, seperti tuntunan shalat, berhaji, puasa, dan zakat), ushuluddin mengenai akidah dan ketuhanan, serta tasawuf yang menekankan etika kehidupan. Menurut Daby Darban, ketiga paham ini sebenarnya tidak berbeda dengan mayoritas amalan umat Islam lainnya. Namun, pemahaman keagamaan Rifa’iyah ini dipertegas lagi dengan kedisplinan untuk menjalankan ajaran Islam sebagaimana tuntunan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW, tanpa bercampur dengan hal-hal yang berbau khu- rafat dan bid’ah. Salah satu ajaran yang dikembangkan oleh KH Ahmad Rifa’i di kalangan pengikutnya adalah pernikahan. Bagi pengikut Rifa’iyah, sebuah pernikahan dianggap tidak sah hukumnya, kecuali melalui ulama Rifa’iyah. Alasan yang dijadikan landasan KH Ahmad Rifa’i karena saat itu adalah masa penjajahan Belanda di Indonesia. Pada masa penjajahan itu, banyak penghulu (modin) yang diangkat oleh pihak Belanda. Kalangan Rifa’iyah menganggap bahwa orang Belanda saat itu kafir dan fasik. Oleh karena itu, penghulu yang diangkat oleh Belanda dan dianggap kafir itu tidak sah menikahkan seseorang. Karena itu, ajaran ini sempat menjadi tradisi di kalangan warga Rifa’iyah. Bila ada yang melakukan hal tersebut di kalangan pengikutnya, mereka harus dinikahkan ulang oleh ulama Rifa’iyah. Karena gerakan dan ajaran seperti ini, KH Ahmad Rifa’i kemudian diasingkan oleh Belanda ke Ambon dengan tuduhan telah membuat kekisruhan dan perpecahan di kalangan masyarakat, khususnya umat Islam. Akibatnya, gerakan ini yang awalnya sangat agresif dalam menentang penjajah, secara perlahan, mengalami kemunduran karena hilangnya tokoh sentral. Belakangan, jelas Daby Darban, gerakan ini berubah dari yang awalnya agak radikal menjadi lembut dengan semangat perdamaian dan persatuan. Sejumlah pondok pesantren Rifa’iyah pun berdiri. Mereka mulai berbaur dengan masyarakat sekitar. Namun, yang masih dipertahankan sebagai ciri khasnya adalah isolasi dalam shalat berjamaah. Wallahu a’lam. ■